TANAH
ULTISOL
TANAH ULTISOLS
Ultisols: Low base status soils
1. Vegetasi: Hutan
2. Iklim: berbagai rezim suhu tanah 1. Bahan induk yang sedikit mengandung
3. Rezim lengas-tanah: precipitation > kation basis seperti batuan silikat kristalin
evapotranspiration, XERIK atau (mis. granite)
2. Material sedimen yang miskin basa (mis.
AQUIK
Sedimen dataran pantai yg sudah terlapuk)
4. Ciri tanah: Kejenuhan basa rendah 3. Most of geologically old landscapes are
5. Horison penciri: argillic, kandic, covered by parent material rich in silica but
albic poor in bases
6. Epipedon: ochric (umbric, mollic) 4. There are some Ultisols formed in parent
7. Proses genesis: Pencucian, Eluviasi material with higher base status and less
dan Iluviasi weathered material (e.g. volcanic ash,
basic ignenous or metamorphic rocks):
8. Karakteristik: Tanah-tanah dengan
5. Bahan induk basis, banyak hujan,
status basanya rendah
pelapukan cepat, pencucian basa intensif.
Iklim
Ultisols berkembang di daerah iklim, dimana curah hujan melebihi evapotranspirasi
potensial selama periode tertentu dalam setahun. Jumlah hujan melebihi kapasitas
simpanan air-tanah sehingga memungkinkan air mengalami perkolasi dalam profil
tanah. Fenomena ini snagat penting untuk mempertahankan rendahnya status basa
dalam tanah.
Ultisols are found in tropical areas, where they tend to have somewhat finer
textured E horizons, containing more organic matter and iron, than do the majority
of Ultisols formed in temperate climate.
Ultisols also may form in frigid soil temperature regimes.
Rezim lengas-tanah pada Ulsitos adalah Xeric, perudic, udic, ustic, dan
aquik.
Vegetasi:
Banyak Ultisols berkembang pada vegetasi hutan (mis. Hutan
campuran hardwood, pine, oak, hickory), meskipun ada juga vegetasi
savana dan vegetasi rawa-rawa.
“Because of their low base status most Ultisols are used for timber
production but they are also used in agriculture, where liming and
fertilization is important to decrease acidity and incease soil fertility.”
Relief:
There are no limitations for relief where Ultisols might form. They may
occupy hillslopes or level upland areas.
The upper soil profile is depleted by clays and lower soil horizons enriched in
clays, i.e., an argillic or kandic diagnostic horizon is formed. Fine clays are more
likely to be translocated compared to coarse clays.
Also newly formed clay is more likely to move in percolating water than is clay
coated with humic substances.
Redeposition results from the effect as water is withdrawn by capillarity into the
soil leaving the suspended clays as coatings on the surface of peds. Other
particles, such as sesquioxides and organic matter may also be translocated in
this manner. Only limited leaching is required to form Ultisols in acid parent
materials containing few weatherable minerals. If the parent material is rich in
bases extensive leaching over a long time is necessary to form Ultisols.
Banyak Ultisols yang berkembang pada landskap tua tidak mempunyai selimut
liat pada horison argilik atau kandik, karena proses “lessivage” tidak aktif dalam
tanah yg miskin mineral mudah lapuk, namun proses ini lebih aktif pada awal fase
pedogenesis.
Zone illuviation biasanya berupa horison argillik, tetapi mungkin juga berupa
fragipan yg memenuhi persyaratan horison argillik atgau mempunyai argillan
yang tebal.
Dalam beberapa tanah, rendahnya status basa terjadi akibat pencucian yg intensif
bahan induk yg semula mengandung mineral-mineral mudah lapuk; sedangkan pada
tranah-tanah lainnya memang bahan induknya miskin basa dan miskin mineral
mudah lapuk.
Kapasitas tukar kation (KTK = CEC) rendah, dengan KTK agak lebih
tinggi dalam horison bagian atas karena adanya daur-ulang hara secara
bioligis.
Mineral liat pada Ultisols biasanya tipe 1:1 (kaolinite) atau gibbsite –
hanya ada sedikit liat tipe 2:1. Oleh karena itu, KTK dan daya simpan
air pada kebanyakan Ultisols relatif rendah.
Dalam sistem Soil Taxonomy, 'plinthite' dipakai untuk mencirikan Ultisols kalau > 5
% volume suatu horison tanah ditempati oleh “plinthit”.
Fragipans terbentuk pada kondisi lingkungan yang serupa , fragipans
dan plinthite dapat ditemukan pada tanah yang sama. Fragipans
merupakan lapisan yang bobot-isinya tinggi, “rapuh” kalau lembab
dan keras kalau kering.
Sifat “getas” (brittlesness) disebabkan oleh adanya pengikatan material amorf dan
pembentukan agen pengikat (perekat) aluminosilikat.
Profil Ultisol yang khas dicirikan oleh adanya horison E yang jelas, menebal
ke arah atas ke horison argilik di atasnya dan ke arah bawah memasuki
fragipan, susunan horisonnya A, E, BE, Bt, BC, dan C.
Horison A biasanya tebalnya kurang dari 15 cm, warnanya coklat kelabu
(gelap) dan struktur granuler lemah dan moderat.
E horizons are comparable in thickness and have a weak structure or are
structureless and may meet the criteria set for albic horizons. Chromas of 3 to
5 and values of 4 to 6 are common in most E horizons. Colors of the B horizon
are generally 10YR or redder hue with values of 4 to 6 and chromas 6 to 8.
Horison B strukturnya gumpal-bersudut moderat, medium dan semakin lebih
lemas dan lebih kasar dengan kedalaman tanah.
Horison C mempunyai struktur yang lebih lemas dan lebih kasar, atau tidak
berstruktur. Warnanya kurang merah dan akandungan liatnya lebih rendah.
Aquults: Tanah ini jenuh air dalam periode etertentu dalam setahun
atau mengalami drainage buatan. Kondisi Aquik menghasilkan ciri-ciri
redoximorfik.
Xerults:
Ultisols yang berkembang pada rezim lengas-tanah Xerik.
In Soil Taxonomy, the content and distribution of organic matter together with soil-
drainage characteristics are definitive criteria for Humic, Umbric, and Sombric taxa.
A sombric horizon is a subsurface horizon of illuvial accumulation of organic matter,
which is not found under an albic horizon (e.g. Sombrihumults, Sombric
Kandiudults). They are not known to occur in the U.S. and have been reported only
in cool, moist, high plateau and mountain areas in intertropical regions. Organic
matter in sombric horizons is not associated with large quantities of Al to the extent
it is in spodic horizons.
Umbrik, yaitu adanya epipedon umbrik dianggap pada tingkat subgroup (mis.
Umbric Fragiaquults).
Humic Ultisols menunjukkan horison Ap, atau horison A setebal 15 cm atau lebih,
yang mempunyai warna VALUE lembab 3 atau kurang dan VALUE kering 5 atau
kurang, yang secara tidak langusng mencerminkan adanya humus (mis. Humic
Hapludults).
Diunduh dari: ………….. 25/2/2013
TANAH ULTISOLS
KLASIFIKASI TANAH
Udults:
Ultisols yang berkembang didaerah humid, periode keringnya singkat
dan diklasifikasikan sebagai Udults. Kandungan bahan organiknya
rendah. Selama periode waktu yg singkat, muka-air-tanahnya ada di
dekat permukaan , tetapi Udults tidak menunjukkan ciri redoximorfik
yang tegas.
For example, Udults extend from the east coast (Maryland to Florida)
and beyond the Mississippi River Valley and are the most extensive
soils in the humid southeast.
Ultisols yg berkembang dari bahan induk abu vulkanik atau bahan pryoclastics
lainnya , diklasifikasikan sebagai 'Andic'. Mereka ini mempunyai banyak alofan yg
reaktif atau material alumino-silikat amorf lainnya.
Bobot isi rendah (<= 1.0 g/cm3) , tetapi tanah-tanah ini mempunyai kemampuan
yang tinggi untuk menahan air (mis. Andic Kandihumults, Andic Kanhaplustults).
KLASIFIKASI TANAH
KLASIFIKASI TANAH
ULTISOLS
Konsep sentral Ultisols adalah tanah-tanah
yang mempunyai horison yang kaya mineral
liat silikat angkutan (Horison ARGILIK atau
KANDIK) dan miskin basa-basa (kejenuhan
basa kurang dari 35 %).
Ultisols
Tanah-tanah yang mempunyai
horison ARGILIK dan kejenuhan
basanya rendah < 35% pada 125 cm
di bawah “the top of the argillic” atau
pada 200 cm, apabila lebih dangkal.
Aquults
Aquults adalah Ultisols di daerah basah, dimana muka-air-tanah sangat dekat
dengan permukaan selama periode waktu tertentu setiap tahun, biasanya pada
musim winter dan spring. Tanah-tanah ini ada di dataran pantai, seperti di pantai
Atlantic Ocean dan Teluk Mexico. Lerengnya “gentle”. Kebanyakan tanah-tanah ini
dahulunya berupa vegetasi hutan; tetapi ada juga yang masih berupa hutan hingga
sekarang.
Humults
Humults are the more or less freely drained, humus-rich Ultisols. They are in Oregon
and Washington and also occur in California and Puerto Rico. They commonly
receive high rainfall but also have a moisture deficit during some season. The
vegetation was mostly coniferous forest in the Northwest and rain forest in the
tropics. Most of these soils are used as forest or have been cleared and are used as
cropland or pasture.
Ustults
Ustults adalah Ultisols yg drainagenya bagus, mempunyai rezim-lengas tanah USTIK,
dan mempunyai kandungan C-organik relatif rendah. Vegetasinya biasanya berupa
hutan atau savanna. Sebagian tanah telah dibuka dan digunakan / dikelola sebagai
lahan pertanian atau pasture.
Xerults
Xerults are the more or less freely drained Ultisols of Mediterranean climates. They are in
California and Oregon. The vegetation formerly was and currently is mostly coniferous forest.
Most of these soils are used as forest, but some have been cleared and are used as cropland
or pasture.
Typic Hapludult
Arkansas bagian barat
RANGE IN CHARACTERISTICS:
C--82 to 100 inches; variegated red (2.5YR 4/8), strong brown (7.5YR
5/8), brownish yellow (10YR 6/8) and gray (10YR 5/1) sandy clay
loam; massive; friable; slightly sticky, slightly plastic; strongly acid.
Horison E :
Color--hue of 10YR or 2.5Y, value of 4 to 7, chroma of 2 to 6
Texture--loamy sand, sandy loam, fine sandy loam, or loamy fine
sand. Some pedons are fine sand or sand.
BE horizon (where present):
Color--hue of 10YR or 2.5Y, value of 4 to 6, chroma of 3 to 8
Texture--sandy loam or fine sandy loam
Bt horizon (upper):
Warna --hue of 7.5YR to 2.5Y, value of 5 to 8, chroma of 3 to 8
Tekstur --sandy loam, fine sandy loam, sandy clay loam, or clay loam
Sifat Redoximorfik (kalau ada) -- masses of oxidized iron in shades of red,
yellow, or brown and iron depletions in shades of brown, yellow, or olive
C horizon:
Color--hue of 2.5YR to 5Y, value of 4 to 8, chroma of 3 to 8, or is variegated
in shades of these colors
Texture--loamy coarse sand, loamy sand, loamy fine sand, coarse sandy
loam, sandy loam, fine sandy loam, sandy clay loam, clay loam, or sandy
clay. Some pedons have layers of coarser or finer textured materials.
Redoximorphic features--masses of oxidized in shades of red, yellow, or
brown and iron depletions in shades of brown, yellow, olive, or gray
TAXONOMIC CLASS:
Fine-loamy, kaolinitic, thermic Plinthic Kandiudults
PEDON TIPIKAL:
Dothan sandy loam--cultivated field. (Colors are for moist
soil.)
Ciri-ciri penting:
Tanah Ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi
sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial, asalkan
dilakukan pengelolaan yang memperhatikan kendala yang ada pada Ultisol ternyata
dapat merupakan lahan potensial apabila iklimnya mendukung. Tanah Ultisol
memiliki tingkat kemasaman sekitar pH = 5,5 (Munir, 1996).
Pengapuran dilakukan dnegan tujuan untuk mempengaruhi sifat fisik tanah, sifat
kimia dan kegiatan jasad renik tanah. Pengapuran pada Ultisol di daerah beriklim
humid basah tidak harus hingga mencapai pH tanah 6,5 (netral), biasanya hingga
mencapai pH 5,5 sudah dianggap baik, karena pada kondisi ini efek toksik dari Al
yang berlebihan sudah dapat dikurangi.
Pengapuran, sistem pertanaman lorong, dan aplikasi pupuk organik & anorganik
dapat mengatasi kendala dalam pemanfaatan tanah Ultisol.
Pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan tanaman perkebunan relatif tidak
menghadapi kendala, tetapi untuk tanaman pangan biasanya terkendala oleh sifat-
sifat kimia , terutama tingginya kejenuhan Al, dan rendahnya ketersediaan hara.
KARAKTERISTIK, POTENSI, DAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAH ULTISOL UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN
LAHAN KERING DI INDONESIA. B.H. Prasetyo dan D.A. Suriadikarta . Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
Komposisi mineral primer yang dominan pada horizon argilik tanah
Ultisol dari beberapa bahan induk.
KARAKTERISTIK, POTENSI, DAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAH ULTISOL UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN
LAHAN KERING DI INDONESIA. B.H. Prasetyo dan D.A. Suriadikarta . Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
TEKNOLOGI PENGELOLAAN ULTISOL
Beberapa kendala yang dominan pada tanah Ultisol adalah kemasaman tanah tinggi,
pH < 4,50, kejenuhan Al yang tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca,
dan Mg; dan rendahnya kandungan bahan organik tanah.
Profil tanah yang dalam dengan KTK medium hingga tinggi, sehingga
tanah Ultisol dapat dimanfaatkan untuk berbagai jenis tanaman.
Tanah Ultisol umumnya peka terhadap erosi serta mempunyai pori aerasi
dan indeks stabilitas rendah sehingga tanah mudah menjadi padat.
Akibatnya pertumbuhan akar tanaman terhambat karena daya tembus
akar ke dalam tanah menjadi berkurang.
Aplikasi bahan organik dapat meningkatkan agregasi tanah, memperbaiki
aerasi dan perkolasi, serta membuat struktur tanah menjadi lebih remah
dan mudah diolah.
Bahan organik tanah berpengaruh nyata terhadap pergerakan dan
pencucian hara dalam tanah.
Asam fulvat berkorelasi positif dengan kadar dan jumlah ion yang tercuci,
sedangkan asam humat berkorelasi negatif dengan kadar dan jumlah ion
yang tercuci (Subowo et al. 1990).
1. Subowo, J. Subaga, dan M. Sudjadi. 1990. Pengaruh bahan organik terhadap pencucian hara tanah Ultisol
Rangkasbitung, Jawa Barat. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 9: 26−31.
KARAKTERISTIK, POTENSI, DAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAH ULTISOL UNTUK PENGEMBANGAN
PERTANIAN LAHAN KERING DI INDONESIA.
B.H. Prasetyo dan D.A. Suriadikarta . Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
PENGELOLAAN TANAH ULTISOL
Aplikasi Bahan Organik
1. Erfandi, D., I. Juarsah, dan U. Kurnia. 2001. Perbaikan sifat fisik tanah Ultisol Jambi, melalui pengelolaan bahan
organik dan guludan. hlm. 171−180. Dalam A. Sofyan, G. Irianto, F. Agus, Irawan, W.J. Suryanto, T. Prihatini, M.
Anda (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk,
Cipayung, 31 Oktober−2 November 2000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
2. Nursyamsi, D., J. Sri Adiningsih, Sholeh, dan A. Adimihardja. 1997. Penggunaan bahan organik untuk
meningkatkan efisiensi pupuk N pada Ultisol Sitiung, Sumatera Barat. hlm. 319−330. Dalam H. Subagyo, S.
Sabiham, R. Shofiyati, A.B. Siswanto, Irawan, A. Rachman, Ropiq (Ed.). Prosiding Kongres Nasional VI HITI.
Jakarta, 12−15 Desember 1995
1. Adimihardja, A., I. Juarsah, dan U. Kurnia. 2000. Pengaruh penggunaan beberapa jenis dan takaran pupuk kandang
terhadap produktivitas tanah Ultisol terdegradasi Desa Batin, Jambi. hlm. 303−320. Dalam Agus, F., I. Las, A. Sofyan,
Sukarman, W.J. Suryanto, Sri Rochayati, M. Anda (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan
Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Lido-Bogor, 6−8 Desember 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
2. Kurnia, U., D. Erfandi, dan I. Juarsah. 2000. Pengolahan tanah dan pengolahan bahan organik pada Typic Haplohumults
terdegradasi di Jasinga, Jawa Barat. hlm. 285−302. Dalam F. Agus, I. Las, A. Sofyan, Sukarman, W.J. Suryanto, Sri
Rochayati, M. Anda (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, lklim, dan Pupuk.
Cipayung, 31 Oktober−2 November 2000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Pengapuran efektif mereduksi kemasaman (Wade et al. 1986), dan pemberian kapur setara
dengan l x Aldd dapat menurunkan kejenuhan Al dari 87% menjadi < 20% (Sri Adiningsih dan
Prihatini 1986).
Pada tanaman kedelai, pemberian kapur hingga kedalaman 30 cm dapat memberikan hasil
tertinggi, tetapi residu kapur tidak mempengaruhi tinggi tanaman jagung yang ditanam
setelah kedelai, dan hanya berpengaruh pada bobot tongkol basah (Suriadikarta et al. 1987a;
1987b).
Pemberian kapur dapat mengatasi masalah kemasaman tanah dan juga menjamin tanaman
dapat bertahan hidup dan berproduksi bila terjadi kekeringan (Amien et al. 1990).
1. Amien, L.I., C.L.I., Evensen, and R.S. Yost. 1990. Performance of some improved peanut cultivars on an acid soil of West
Sumatra. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 9: 1−7.
2. Sri Adiningsih, J. dan T. Prihatini. 1986. Pengaruh pengapuran dan inokulan terhadap produksi dan pembintilan tanaman
kedelai pada tanah Podsolik di Sitiung II, Sumatera Barat. hlm. l39−150. Dalam U. Kurnia, J. Dai, N. Suharta, I.P.G.
Widjaya-Adhi, J. Sri Adiningsih, S. Sukmana, J. Prawirasumantri (Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah,
Cipayung 10−13 November 1981. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
3. Wade, M.K., M. Aljabri, and M. Sudjadi. 1986. The effect of liming of soybean yield and soil acidity parameters of three
red yellow podzolic soils of West Sumatra. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 6: 1−8.
Takaran kapur didasarkan pada Aldd atau persentase kejenuhan Al, karena setiap
jenis tanaman khususnya tanaman pangan mempunyai toleransi yang berbeda
terhadap kejenuhan Al.
Makin besar persentase kejenuhan Al dalam tanah, makin banyak kapur yang harus
diberikan ke dalam tanah untuk mencapai pH agak netral sampai netral.
Upaya pengelolaan Ultisol secara fisika dan kimiawi dilakukan untuk meningkatkan
nilai pH tanah dan ketersediaan hara. Untuk mengoptimalkan manfaat pengelolaan
Ultisol, maka pengelolaan biologis pada tanah ini sangat penting.
Total populasi mikroba rendah, namun keaneka ragaman jenisnya cukup tinggi dan
mengandung mikroba bermanfaat.
Pengelolaan biologis Ultisol dapat ditempuh melalui masukan mikroba atau dengan
memperbaiki lingkungan tumbuh mikroba indigenous yang telah ada, misalnya
dengan aplikasi bahan organik.
Beberapa jenis beneficial microbe yang berhasil diisolasi dari lahan Ultisol, Lampung Tengah,
adalah bakteri penambat nitrogen non-simbiotik, bakteri dan jamur pelarut fosfat, dan
mikoriza vesikular arbuskular.
Isolat-isolat murni beneficial microbe dikembangkan dalam bentuk formulasi sebagai agen
hayati yang dapat diaplikasikan ke tanah untuk pengelolaan Ultisol.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengembangkan indigenous microbe yang bersifat
beneficial microbe dengan memelihara lingkungan tumbuhnya secara alami.
Hubungan antar mikroba tanah yang bermanfaat dapat saling mendukung aktivitasnya dalam
membantu pertumbuhan tanaman dan hubungan sinergisme yang baik antara mikroba
dengan tanaman dapat meningkatkan hasil tanaman.
1. Tanah utisol pada tambang batubara Sangatta, mempunyai nilai KTK dari sedang
sampai tinggi (10,4-17,36 me/100 gram), tanah tersebut dapat dimanfaatkan
untuk berbagai usahatani, terutama budidaya tanaman keras atau tanaman
perkebunan
2. Tanah ini miskin bahan organik, sehingga untuk meningkatkan kesuburan tanah,
dibutuhkan pemupukan pupuk organik
3. Tanah ini bersifat asam, kejenuhan Al tinggi, sehingga tanaman tidak dapat
tumbuh secara normal. Untuk mengurangi keasaman tanah dapat dilakukan
dengan pengapuran atau dengan pemupukan phospat (unsur P) dan KCl.
Pengapuran
Aplikasi kapur – pertanian bertujuan untuk meningkatkan pH tanah dari
sangat masam atau masam menjasi pH mendekati netral atau netral, serta
menurunkan kadar Al aktif.
Aplikasi kapur juga dapat meningkatkan kadar Ca dan kejenuhan basa, dosis kapur
setara dengan 1 x Aldd dapat menurunkan kejenuhan Al dari 87% menjadi < 20% (1).
Setiap jenis tanaman pangan mempunyai toleransi tertentu terhadap kejenuhan Al,
semakin besar kejenuhan Al dalam tanah, dibutuhkan semakin banyak kapur.
Aplikasi kapur diharapkan dapat mengatasi masalah kemasaman tanah, dianjurkan
pengapuran sebaiknya dilakukan hanya untuk wilayah yang mempunyai pH < 5.
1. Prasetyo, B.H., dan Suriadikarta, D.A., Karakteristik, Potensi, dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol
untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Indonesia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan. Bogor.
Masalah-masalah pada tanah Ultisol adalah: (1) Al yang dapat dipertukarkan (Aldd) dan
kejenuhan Al tanah tinggi sehingga menjadi racun dan menghambat ketersediaan P karena
fiksasi (Al-P) sehingga P tidak tersedia untuk tanaman; (2) kadar besi (Fe) tinggi, potensial
menjadi racun dan memfiksasi P (Fe-P) sehingga ketersediaan P rendah tersedia; (3) kadar bahan
organik umumnya rendah, menyebabkan daya sangga (buffering capacity) tanah rendah.
Tanaman kedelai tidak dapat tumbuh optimal pada Ultisol yang memiliki kemasaman tinggi (pH
tanah < 4,5) dan kejenuhan Aldd > 20%. Untuk pemecahan masalah keracunan Al dan Fe pada
Ultisol umumnya memakai amelioran tanah dengan bahan baku mineral seperti kapur pertanian
(kalsit atau CaCO3, kapur tohor atau CaOH), dolomit maupun zeolit.
Sistem olah tanah konservasi (no tillage, minimum tillage) dengan pertanaman
tumpangsari dan monokultur dapat mengendalikan penurunan kualitas sifat fisika
tanah dan meningkatkan hasil panen.
Untuk mengetahui sistem olah tanah konservasi yang paling sesuai dengan
kondisi tanah dan pola tanam yang lebih baik dalam rangka konservasi tanah,
sebaiknya dilakukan penelitian dalam beberapa musim tanam.
Pemberian pupuk guano dan pupuk hijau Lamtoro hingga 20 ton/ha dapat
meningkatkan pH tanah, C-organik tanah, N-total tanah, KTK tanah, bobot kering
tanaman, serapan N tanaman; dan menurunkan kadar Aldd tanah.
Interaksi antara pupuk guano dan pupuk hijau Lamtoro berpengaruh terhadap C-
organik tanah, N-total tanah, KTK tanah, bobot kering tanaman, serapan N
tanaman dan kadar Aldd tanah.
Pemberian kompos sisa biogas kotoran sapi sebanyak 20 ton ha-1 pada
Ultisol dapat meningkatkan hasil Kedelai hingga 1,083 ton ha-1.