Anda di halaman 1dari 108

ANATOMI – FISIOLOGI-Px pada HIDUNG & SINUS

PARANASAL

Fatiya Hidayati 30101306943


Pembimbing :
Kolonel(PURN) CKM dr. Budi Wiranto, Sp.THT-KL
ANATOMI
• Nasus eksternus
KERANGKA HIDUNG
• Tulang
1. Os nasalis
2. Pros Frontalis os
Maxillaris
3. Proc. Nasalis os frontal
• Tulang Rawan
1. Kartilago lateral hidung
2. Kartilago alaris mayor
3. Kartilago alaris minor
4. Ksrtilago Septi Nasal
Cavitas Nasi
...cavum nasi...

MEDIAL  SEPTUM NASI


DASAR
Bagian Tulang
1. Proc. Palatinus Os Maxilla 1. Lamina Perpendikularis Os Ethmoid
( ¾ depan ) 2. Vomer
2. Proc. Horizontalis Os 3. Krista Nasalis Os Maxilla
Palatinus ( ¼ blkg ) 4. Krista Nasalis Os Palatina
Bagian Tulang Rawan
5. Lamina Kuadrangularis
ATAP ( kartilago septum )
1. Proc. Nasalis Os Frontalis 6. Kolumela
( depan )
2. Lamina Cribosa Os
Ethmoidalis ( tengah )
3. Os Sphenoidalis ( blkg )
...cavum nasi...
Dinding Lateral Rongga Hidung . . . .

LATERAL
Berbatasan dg dinding medial Sinus
Maxillaris Os Maxilla
Terdapat 4 konka
‒ Konka nasi inf. (KI)
‒ Konka nasi med. (KM)
‒ Konka nasi sup. (KS)
‒ Konka supreme

7
Dinding Lateral Rongga Hidung

Konka (tonjolan tulang, dilapisi mukosa):


• konka inferior (KI),
• medius (KM)
• superior (KS) 8
KONKA NASI INFERIOR
Terbesar & terpanjang KONKA NASI MEDIUS
Kaya pembuluh darah  Plx.
Dibawahnya ada Meatus Nasi
Cavernosus Concharum Medius muara Sinus Frontalis,
Etmoid Anterior & Maxillaris
Dibawahnya ada Meatus Nasi
Inferior muara Duct. Kompleks Ostiomeatal ( KOM )
Nasolacrimalis
( Katub Hasner )

KONKA NASI SUPERIOR


Dibawahnya ada Meatus Nasi Superior muara
Sinus Ethmoid Posterior & Sphenoid

KONKA NASI SUPREMA


Terkecil, kadang ada/tidak
SF
RSE KS MS
KM MM

SS
KI

OT MI

Sinus Sfenoid (SS), Sinus Frontal (SF),konka Inferior (KI),


Konka Medius (KM), Konka Superior (KS), Meatus Superior
(MS), Meatus Medius (MM), Meatus Inferior (MI), Ostium
Tuba Eust. (OT), Resesus Sfeno-etmoid (RSE)
MUKOSA OLFAKTORIUS

MUKOSA – Septum nasi 1/3 atas


– Atap cavum nasi
– Konka superior
– Epitel Pseudostratified Columnar Non
MUKOSA RESPIRATORIUS Ciliated
– Septum Nasi 2/3 bawah – Tdd 3 sel
– Dasar cavum nasi 1. Supporting Cell
– Dinding lateral cavum nasi 2. Basal Cell
dibawah Konka Superior 3. Olfactory Cell
– Nasofaring ½ atas
– Sinus Paranasalis
• Epitel Pseudostratified Columnar
Ciliated
• Jar. Ikat sub epitel longgar kaya
kavernosa erektil & sel goblet
• Diatur saraf Otonom
Mukosa respirasi
Mukosa Respiratori = Epitel Kolumnar berlapis semu
bersilia
Jaringan ikat sub epitel longgar ; banyak pembuluh darah
(jaringan kavernosus) ➜ mudah vasodilatasi /vasokontriksi yg
diatur oleh saraf otonom) berfungsi pada pengaturan volume,
temperatur, kelembaban udara dihirup (air conditioning)
Terdapat sel-sel Goblet (sel kelenjar mukus).
Pergerakan silia yg diselimuti selaput lendir
(mucosal Blanket) berperan pada auto clearance
Meliputi - 2/3 bag bawah septum nasi, dinding
lateral kavum nasi dibawah konkha superior, dasar
cavum nasi, 1/2 bag atas Nasopharynx dan sinus
Paranasalis
Mukosilier Hidung
Epitel merupakan:
“ciliated pseudo stratified
columnar epithelium”.
Mengandung sel goblet serta
kelenjar serus dan mukus
Silia berjumlah 25-100/sel
dan selalu mengadakan
gerakan menyapu (“stroke”)
ke arah belakang (koana)
untuk mendorong selimut
lendir ke nasofaring (1300
gerakan/menit)
15
VASKULARISASI HIDUNG
• Atas rongga hidung : a. ethmoid
anterior dan posterior cabang a
oftalmika dari a karotis interna
• Bawang rongga hidung : cabang a
maxilaris interna
• Depan hidung : cabang a fasialis
• Depan septum : Pleksus Kiesselbach
(Little’s area)
 anastomose a. sfenopalatina. A.
etmoid anterior, a. labialis superior & a.
palatina mayor yg terletak superfisial di
bagian depan septum
INERVASI

1. Saraf Pembau : N. Olfactorius


2. Saraf Sensoris : cab. N. Trigeminus
– N. Opthalmicus  N. Ethmoidalis Anterior
– N. Maxillaris melalui Ganglion Sphenopalatina
3. Saraf Otonom
• Simpatis : Ganglion Cervikalis Superior
 Ganglion Sphenopalatina
• Parasimpatis : N. Facialis
 Ganglion Sphenopalatina
 N. Vidianus
Gambar : Suplai Saraf
SINUS PARANASAL
(adl rongga didalam tulang disekitar hidung)

• SINUS MAKSILA
• SINUS FRONTAL
• SINUS (SEL) ETMOID
(GRUP ANTERIOR & POSTERIOR)
• SINUS SFENOID
Posterior Group Anterior Group
- Sinus Ethmoidalis Posterior - Sinus Maxillaris
- Sinus Sphenoidalis - Sinus Frontalis
bermuara pada meatus nasi - Sinus Ethmoidalis Anterior 
nasi superior bermuara pada meatus
22
Sinus Maksila (SM) • Terletak di tulang maksila
kanan dan kiri
• Sinus paling besar
• Atap : dasar orbita(X)
• Dinding medial sinus =
Dinding lateral rongga
hidung(XX)
‒ Dasar sinus tempat akar gigi
X geraham atas (P2 M1dan M2)
Ost ‒ Lantai sinus maksila 5 – 10 mm
SM lebih rendah dp dasar cavum
nasi
XX ‒ Ostium di meatus nasi medius
(di KOM)

DS 23
Sinus (sel) Etmoid (SE)
• Terdiri banyak sel di dalam
tulang etmod, dibagi : grup
anterior dan grup posterior
• Grup anterior drainase ke
meatus nasi medius di KOM,
SE SE Grup posterior ke meatus nasi
superior
SS SS • Atap berbatasan dengan fosa
kranii anterior, dinding lateral:
lamina papirasea (dinding
medial orbita) 24
Sinus Frontal (SF)
• Pada os frontal (tulang dahi)
SF
• Sepasang, kanan dan kiri,
SF tidak sama besar, kadang-
kadang hanya tumbuh
sebelah
• Ke atas dan belakang
berbatasan dengan fosa kranii
anterior
• Ke bawah berbatasan dengan
rongga orbita
• Ostium di meatus nasi medius
(di KOM)
25
Sinus Sfenoid (SS)
• Di tulang sfenoid, kanan
dan kiri
• Ostium di resesus sfeno-
etmoid
• Ke atas berbatasan
dengan hipofise
SS • Ke lateral berbatasan
SSS dengan fosa kranii medius
• Ke bawah berbatasan
dengan nsofaring
26
DRAINASE SINUS Anterior
FRONTALIS & MAKSILARIS

27
DRAINASE SINUS Posterior
ETMOIDALIS & SFENOIDALIS
DRAINASE DUKTUS NASOLAKRIMALIS

Di meatus Nasi Inferios

29
FUNGSI HIDUNG
I. FUNGSI PERNAFASAN
Menyiapkan udara ~ keadaan fisiologis paru
1. Mengatur jumlah udara yang masuk
2. Menyiapkan udara pernafasan
a. Menyaring
• Vibrissae  partikel kasar
• Mucous Blanket (palut lendir)  partikel halus
b. Melembabkan
- Sel Goblet  palut lendir
c. Memanaskan
- Conchae nasi ( terutama konka inferior), kaya pembuluh darah

3. Desinfeksi
a. Mucous Blanket
b. Enzym Lyzozym
c. Suasana asam (Ph 6,5)
d. S i l i a
e. Sel fagosit, limfosit, histiosit
(sub mucosa)
f. Kelenjar getah bening regional
mucocillary blanked
II. FUNGSI PENGHIDU
mukosa olfaktorius di atap cavum nasi, concha superior & 1/3 bagian atas
septum bekerja sama dengan fungsi pengecapan

III. FUNGSI RESONANSI SUARA & PROSES BICARA


‒ Bila buntu hidung  bindeng sulit mengucapkan huruf m, n, ng, ny,
(rinolalia oklusa).
‒ Bila hidung terbuka, mis celah bibir (labioshcisis) dan celah langit-langit
(palatoshcisis) sulit mengucapkan huruf b, d, p, k, g, t (rinolalia aperta)

IV. FUNGSI DRAINASE & VENTILASI


 dari sinus paranasales & kelenjar lacrimalis

V. REFLEK NASAL  Bila mekanisme pembersihan yg diatas blm efektif 


Mengiritasi terjadinya bersin (bakteri dan debu dlm palud lendir,
partikel-partikel lbh besar, benda asing, bau tertentu)
PEMERIKSAAN
HIDUNG & SINUS PARANASAL
1. Pemeriksaan hidung bagian luar
2. Rinoskopi anterior
3. Rinoskopi posterior
4. Diafanoskopi/Transiluminasi sinus paranasal
5. Palatal phenomen

33
Pemeriksaan hidung bagian luar
dan Rinoskopi anterior
1. Persiapan
a. Penderita/pasien : salam, memperkenalkan diri, inform
concent
b. Alat dan bahan : lampu kepala, spekulum

c. Pemeriksa/operator
Cuci tangan sebelum melakukan pemeriksaan
Cara pemeriksaan
PEMERIKSAAN HIDUNG BAGIAN LUAR

1. Inspeksi : bentuk hidung, warna kulit hidung, massa


2. Palpasi
- Dorsum Nasi: - Crepitasi
- Dislokasi
- Tumor
- Vestibulum nasi : tekan ala nasi
- Sinus frontal :
tekan lantai / dasar & dinding depan Sinus Frontalis dengan ibu jari
- Sinus maksila :
tekan Fossa Canina dg ibu jari tenaga optimal simetris kanan & kiri,
hindari Foramen Supra/ Infra Orbitalis
3. Rhinoscopia Anterior
Pemeriksaan Cavum Nasi dari depan (Nares) dengan bantuan
lampu kepala & spekulum hidung (Hartmann Speculum)
Untuk memeriksa :
 Dasar Cavum Nasi
 Choncha Nasi Inferior & Media
 Meatus Nasi Inferior & Media
 Septum Nasi
 Palatum Mole Phenomena
4. Rhinoscopia Posterior
Pemeriksaan Cavum Nasi dari belakang (Choane)
dengan bantuan lampu kepala, spatula lidah & kaca
cermin kecil bertangkai

Untuk memeriksa
 Nasopharynx
 Choanal
 Tepi dorsal septum nasi
 Cauda concha nasi superior & media
 Ostium tuba Eustachius
... rinoskopi
posterior ...
5. Transiluminasi / Diaphanoscopia

Pemeriksaan Sinus dengan bantuan lampu dalam kamar


gelap

Sinus Frontalis

Lampu diletakkan di dasar


sinus lihat kedua sisi kanan-
kiri secara bergantian,
pancaran sinar pada dahi
penderita
Sinus Maxillaris

1. lampu dimasukkan dalam rongga mulut


 lihat pancaran lampu didaerah infra orbital kanan / kiri

2. lampu diletakkan di Fossa Canina kanan / kiri bergantian 


lihat pancaran lampu pada dasar Sinus & Palatum.

Hasil bermakna jika terdapat perbedaan antara kanan & kiri.


6. Pemeriksaan Radiologik
- X. Foto Posisi Water’s
Terutama untuk Sinus Maxillaris
 Air fluid level, perselubungan,
Penebalan mukosa,
Tumor, Destruksi dinding tulang, dll

- X. Foto Posisi Caldwel (PA)


 Sinus Frontalis

- X. Foto Posisi Lateral


 Sinus Frontalis, Ethmoidalis & Sphenoidalis
7. Punksi Percobaan
Hanya dikerjakan untuk Sinus Maxillaris, untuk diagnostik
sekaligus terapi

8. Biopsi
Dapat dilakukan untuk Tumor pada Cavum Nasi maupun
Sinus Paranasales

9. Laboratorium
 Sitologi
 Immunologi
 Histopatologi
 Bakteriologi
 Rutin
10. Pemeriksaan Endoskopi

Nasoendoskopi
Sinoskopi
CT SCAN SINUSES

45
46
47
SKDI
1. Epistaksis 4A
2. Furunkel pada hidung 4A
3. Rhinitis alergika 4A
4. Rhinitis akut 4A
5. Rhinitis vasomotor 4A
1. Epistaksis
Definisi: Keluarnya darah dari cavum nasi. Epistaksis merupakan suatu gejala
dan bukan suatu penyakit.

Etiologi
Kelainan Lokal
Trauma
Kelainan anatomi  spina septi tajam
Kelainan pembululuh darah (tipis)
Infeksi lokal
Benda asing
Tumor (angiofibroma)
Kelainan Sistemik
• Penyakit kardiovaskular (hipertensi)
• Kelainan darah (trombositopenia, hemofilia)
• Infeksi sistemik (Demam berdarah)
• Perubahan tekanan atmosfer (cuaca sangat dingin atau
kering)
• Kelainan hormonal (wanita hamil)
• Kelainan kongenital (telangiektasis hemoragik herediter)
Patogenesis
Sumber perdarahan
Epistaksis
Posterior
- a. etmoidalis
Epistaksis posterior/a.
Anterior sfenopalatina
- Plesus - lebih hebat,
Kiesselbach jarang berhenti
- Ringan sendiri
Diagnosa
• ANAMNESA
» Riwayat perdarahan sebelumnya
» Lokasi perdarahan, apakah bila pasien duduk tegak darah mengalir
ke tenggorok (posterior) ataukah keluar dari hidung depan
» Lama perdarahan dan frekuensinya
» Kecenderungan perdarahan
» Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
» Riwayat penyakit lain (hipertensi, diabetes, penyakit
hati,jantung,dll)
» Riwayat penggunaan obat-obatan (antikoagulan, NSAID,
fenilbutazon,dll)
» Riwayat trauma (terutama pada hidung)
• PEMERIKSAAN FISIK
» Vital sign
» Rhinoskopi anterior-posterior

• PEMERIKSAAN PENUNJANG
» Pemeriksaan lab (darah lengkap, hapusan darah,faal hemostasis,
tes fungsi hati, tes fungsi ginjal,dll)
» Radiologi x-photo, CT scan, MRI (berkaitan dengan trauma dan
penyakit lain)
Tatalaksana
PRINSIP
Menghentikan
UTAMA
Menghentikan perdarahan
PERDARAHAN ANTERIOR
PERDARAHAN POSTERIOR
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab
biasanya perdarahan hebat dan agak sukar mencari sumber
perdarahan di posterior dengan rinoskopi anterior, sehingga
kadang-kadang tidak mungkin untuk mencari sumber
perdarahan itu.
Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan
pemasangan tampon posterior yang disebut tampon Bellocq.
Tampon ini harus tepat menutup koana (nares posterior).
Pada tampon bellocq terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah
pada satu posisi dan sebuah benang pada sisi lainnya.
Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi karena proses epistaksis atau karena proses usaha
penanggulangan epistaksis sendiri.
Aspirasi darah ke saluran napas
Syok
Anemia
Tekanan darah menurun  hipoksia  iskemia serebri  insufisiensi koroner
 infark miokard  kematian
Infeksi
Pemasangan tampon  Rinosinusitis  otitis media
Septikemia
Hemotimpanum
Airmata berdarah
Laserasi palatum mole karena pemasangan tampon Belloc
PENCEGAHAN
Cari faktor penyebab
• Pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan untuk mencari
faktor penyebab dan mencegah berulangnya epistaksis.
Pemeriksaan dapat berupa:
– Pemeriksaan darah lengkap
– Fungsi hepar dan ginjal
– Gula darah
– Hemostasis
– Foto polos atau CT scan sinus
2. FURUNKEL HIDUNG
Definisi  Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan
subkutan sekitarnya. Furunkel dapat terbentuk pada lebih dari satu tempat.
Jika lebih dari satu tempat disebut furunkulosis.

Etiologi dan Faktor Predisposisi


Iritasi
Tekanan
Gesekan
Dermatitis (kerusakan dari kulit dipakai sebagai jalan masuknya
Staphylococcus aureus)
Furunkulosis dapat menjadi kelainan sistemik karena faktor predisposisi :
malnutrisi atau keadaan imunosupresi termasuk AIDS dan diabetes mellitus
Gejala

Mula-mula nodul kecil


kemudian menjadi pustule 
nekrosis  menyembuh
setelah pus keluar  sikatriks.

Nyeri terjadi terutama pada


furunkel yang akut, besar, dan
lokasinya di hidung. Bisa timbul
gejala prodromal yang seperti
panas badan, malaise, mual.
Tatalaksana
Pengobatan topikal,
Bila lesi masih basah atau kotor dikompres dengan solusio
sodium chloride 0,9%.
Bila lesi telah bersih, diberi salep natrium fusidat atau
framycetine sulfat kassa steril

 Antibiotik sistemik : mempercepat resolusi penyembuhan dan


wajib diberikan terutama pada seseorang yang beresiko
mengalami bakteremia. Antibiotik diberikan selama 7-10 hari.
Lebih baiknya, antibiotik (Levofloxacin 500 mg/hari) diberikan
sesuai dengan hasil kultur bakteri terhadap sensitivitas antibiotik
3. RINITIS ALERGI
Definisi
Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan
allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut

Kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa


gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen
yang diperantai IgE. (WHO)
Patofisiologi
Fase Sensitisasi
Reaksi Alergi Fase Cepat (<1 jam)
Reaksi Alergi Fase Lambat
(24-48 jam)
Gambaran histologik
• Dilatasi pembuluh darah
• Pembesaran sel goblet dan sel kelenjar mukosa
• Pembesaran ruang interseluler
• Penebalan membran basal
• Infiltrasi sel-sel eosinofil pada mukosa dan submukosa hidung
• Persisten: proliferasi jaringan ikat, hiperplasia mukosa
(irreversibel)
Macam-macam alergen
• Inhalan
• Ingestan
• Injektan
• Kontaktan
Klasifikasi (berdasar WHO ARIA, 2007)
Berdasar sifat berlangsungnya:
 Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala <4 hari/minggu / <4 minggu
 Persisten (menetap) : bila gejala >4 hari/minggu dan >4 minggu

Berdasar berat ringannya penyakit:


 Ringan : bila tidak ada gangguan tidur, gangguan aktifitas harian
(bersantai, berolahraga), tidak ada gangguan ketika bekerja/bersekolah

Sedang-berat : bila terdapat satu/lebih gangguan diatas


Diagnosis
Anamnesis
• Gejala khas: bersin-bersin
berulang >5kali, terutama
pagi hari atau setelah paparan
debu

• Gejala lain: rinore encer dan


banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal,
kadang lakrimasi
Pemeriksaan Fisik
• Rinoskopi anterior: mukosa edema, basah, warna pucat,
sekret encer dan banyak. Bila persisten: mukosa hipertrofi

• Nasoendoskopi: bayangan gelap di daerah bawah mata akibat


stasis vena sekunder karena obstruksi hidung (allergic shiner).

Dapat ditemukan hal-hal berikut:


• Anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan punggung
tangan (allergic salute).
Allergic crease : garis melintang pada dorsum nasi 1/3 bagian
bawah akibat bekas gosokan tangan anak

Facies adenoid: mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit


tinggi disertai gangguan pertumbuhan gigi-geligi

Cobblestone apperance : dinding posterior faring tampak granular


dan edema
Penebalan dinding lateral faring

Geographic tongue: lidah seperti gambaran peta

Orang yang alergi menjadi sensitif terhadap rangsang dingin


 Pemeriksaan Penunjang
In vitro:
 Hitung eosinofil darah tepi : dapat normal/meningkat
 IgE total : seringkali normal kecuali jika terdapat bersamaan
penyakit alergi yang lain
 IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test)/ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Test)
In vivo:
 Mencari allergen penyebab (Skin test, uji intrakutan atau
intradermal tunggal atau berseri (SET))
 Alergi makanan diidentifikasi dengan Intracutaneus
Provocative Dilutional Food Test (IPDFT) atau diet
eliminasi dan provokasi (Challenge Test)
Tatalaksana
 Menghindari kontak dengan allergen penyebab
 Medikamentosa:
 Non-operatif  AH1
Oral:
Generasi 1:
Chlorpheniramin
dewasa 3-4x4 mg/hari (max 24 mg/hari)
anak-anak 6 – 12 tahun: 0.5 dosis dewasa
anak-anak 1 – 6 tahun: 0.25 dosis dewasa

Generasi 2:
Cetirizine 1x10 mg/hari
Loratadine 1x10 mg/hari
Topikal (intranasal)
 Azelastine nasal spray (137 mcg per spray)
Dekongestan oral  Ephedrine 3-4x50 mg,
Phenylpropanolamine 3-4x25 mg, Pseudoephedrine 3-4x60
mg

 Dekongestan topikal (intranasal)


Oxymethazoline tetes hidung 1-3 x 2-3 tetes larutan 0,05%
(HCl) di setiap lubang hidung
• Kortikosteroid topikal (intranasal)
Dipilih apabila gejala utama sumbatan hidung akibat
respon fase lambat tidak berhasil diatasi,
Triamnicolone acetonide nasal spray 220 mcg/hari (2
semprotan tiap lubang hidung sehari)

• Antikolinergik topikal
Ipratropium bromida 3-4 x 0,4-2 ml/hari (3-4 x 2
semprot)
Operatif
• Konkotomi parsial (pemotongan sebagian
konka inferior)
• Konkoplasti
Dignosis Rinitis alergi

(anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit)


Penghindaran alergen

Intermitten Persisten/menetap

Ringan Sedang/berat Sedang/berat

-AH oral/topical -AH oral/topical, atau KS topikal


Atau -AH + dekongestan oral,
-AH + dekongestan oral atau Evaluasi setelah 2-4 minggu
-KS topical,atau
-(Na kromoglikat) Membaik Tidak ada
Gejala persisten
Biterapi mundur 1 -Salah diagnosis
Evaluasi setelah 2-4 minggu
langkah dan terapi -Nilai kepatuhan
Bila gagal : maju 1 dilanjutkan 1 bulan pasien
langkah -komplikasi/infeksi
-faktor kelainan
Bila terapi berhasil : anatomis
lanjutkan 1 bulan
Pertimbangkan Sumbatan hidung menetap KS topical Gatal hidung Rinore
imunoterapi menetap ditingkatkan
Dekongestan (3-5 hari) KS topikal+AH Ipratroprium
atau KS oral (jangka bromida
pendek)
Gagal
Kaustik konka/konkotomi
Komplikasi
• Polip hidung
• Otitis media
• Sinusitis paranasal
4. RHINITIS AKUT
Definisi
Radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi
bakteri atau virus. Penyakit ini sering ditemukan dan merupakan
manifestasi :
◦ Rinitis simpleks (commod cold)
◦ Influenza
◦ Beberapa penyakit eksantesma (morbili, variola, varisela,
pertusis), dan beberapa penyakit infeksi spesifik.
◦ Penyakit ini dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder akibat
iritasi lokal atau trauma.
a). Rinitis Simpleks (Pilek, Salesma, Common cold,
Coryza)
• Penyakit ini sangat menular dan gejalanya dapat timbul
sebagai akibat tidak adanya kekebalan atau menurunnya
daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya penyakit
menahun dll).
• Etiologi:
– Rhinovirus
– Myxovirus
– Virus coxsackie
– Virus ECHO
Diagnosa
Stadium prodromal (berlangsung beberapa jam)
◦ Rasa panas
◦ Kering
◦ Gatal dalam hidung
◦ Bersin bersin berulang
◦ Hidung tersumbah
◦ Ingus encer (disertai deman dan nyeri kepala)
◦ Permukaan hidung tampak merah dan membengkak
Infeksi sekunder oleh bakteri
◦ Sekret menjadi kental
◦ Sumbatan hidung >>
◦ Bila tidak terjadi komplikasi  gejala akan berkurang  pasien sembuh sesudah 5 -10 hari.
◦ Komplikasi yang mungkin terjadi adalah : Sinusitis
◦ Tuba katar
◦ Otitis media
◦ Faringitis
◦ Bronkitis
◦ Penumon
• Bila tidak terjadi komplikasi  gejala akan
berkurang  pasien sembuh sesudah 5 -10 hari.
• Komplikasi yang mungkin terjadi adalah : Sinusitis
– Tuba katar
– Otitis media
– Faringitis
– Bronkitis
– Penumon
Penatalaksanaan
• Tidak ada terapi spesifik
• Non medikamentosa :
– Istirahat
• Medikamentosa (simtomatis) :
– Analgetik
– Antipiretik
– Obat dekongestan
5. RINITIS VASOMOTOR
Definisi
Keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi,
alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan), dan
pajanan obat (kontrasepsi oral, b-bloker, obat topikal
dekongestan).

Disebut juga vasomotor cattarh, vasomotor rinorhea, nasal


vasomotor instability, atau non-allergic parenhial rhinitis
Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan
vasomotor
Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf
simpatis (spt : ergotamin, chlorpromazin, obat anti
hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal).
Faktor fisik (spt : iritasi oleh asap rokok, udara dingin,
kelembapan udara yang tinggi dan bau yang merangsang
dan makanan yang pedas dan panas).
Faktor endokrin (spt : kehamilan, pubertas, pemakai pil anti
hamil dan hipotiroidisme).
Faktor psikis (seperti : rasa cemas, tegang).
Etiologi dan patofisiologi
Etiologi dan patofisiologi belum diketahui dengan
pasti namun terdapat beberapa teori yang
mengemukakan patofisfiologi rinitis vasomotor:
• Neurogenik (disfungsi saraf otonom)
• Neuropeptida
• Nitrit Oksida (NO)
• Trauma
Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan melakukan eksklusi yaitu menyingkirkan adanya:
◦ rinitis infeksi
◦ rinitis alergi
◦ rinitis okupasi
◦ rinitis hormonal
◦ rinitis akibat obat
 Hidung tersumbat bergantian kanan kiri (tergantung pada posisi pasien),
 Rinorhea mukus atau serus (terkadang agak banyak).
 Jarang disertai bersin dan tidak terdapat rasa gatal pada mata.
 Gejala memburuk pada pagi hari (waktu bangun tidur oleh karena adanya
perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab) atau memburuk oleh karena
asap rokok dsb.
Gejala Klinis
3 golongan:
Golongan bersin (sneezers) : gejala biasanya memberikan
respon yang baik dengan terapi antihistamin dan
glukokortikosteroid topikal
Golongan rinore (runners) : gejala dapat diatasi dengan
pemberian antikolinergik topikal
Golongan tersumbat (blockers) : kongesti umumnya
memberikan respon yang baik dengan terapi
glukokortikosteroid topikal dan vasokontriksi oral
Pemeriksaan Fisik
 Rinoskopi anterior:
 edema mukosa hidung
 konka warna merah gelap atau pucat, permukaan licin atau berbenjol-
benjol
 sekret mukoid biasanya sedikit

Pemeriksaan Penunjang
Lab untuk menyingkirkan rinitis alergi. Kadang ditemukan eosinofil
pada sekret hidung tapi sedikit. IgE spesifik tidak meningkat.
Perbedaan

RHINITIS ALERGI RHINITIS VASOMOTOR

Sering ditemukan pada usia < Sering ditemukan pada usia >

20 tahun 20 tahun

Skin test (+) Skin test (-)


Penatalaksanaan
Terapi Non-Medikamentosa:
• Hindari stimulus atau faktor pencetus

Terapi Medikamentosa
Non-Operatif
• Dekongestan oral  Ephedrine 3-4x50 mg,
Phenylpropanolamine 3-4x25 mg, Pseudoephedrine 3-4x60
mg
• Cuci hidung dengan larutan garam fisiologis
• Kauterisasi konka hipertrofi dengan AgNO3 25% atau triklor-
asetat pekat
 Kortikosteroid topikal  beklometason dipropionat 100-800 mikrogram/hari
 Antikolinergik topikal, ipratropium bromida 40 mcg, 3-4x/hari (untuk rinore
berat)

Operatif
Bedah beku
Elektrokauter
Konkotomi parsial konka inferior
Neurektomi n.vidianus atau blocking gangglion sferopalatina
RHINITIS MEDIKAMENTOSA
• Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan pada
hidung, berupa gangguan respon normal
vasomotor, sebagai akibat pemakaian
vasokonstriktor topikal (obat ttes hidung atau obat
semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan
sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang
menetap. Dapat dikatakan bahwa hal ini disebabkan
oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).
Patofisiologi
• Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada
pemakaian obat tetes hidung dalam waktu lama ialah :
– silia rusak
– sel goblet berubah ukurannya
– membran nasal menebal
– pembuluh darah melebar
– stroma tampak edem
– hipersekresi kelenjar mukus
– lapisan submukosa menebal
– lapisan periostium menebal
• Mukosa hidung merupakan organ yang sangat
peka terhadap rangsangan (iritant), sehingga harus
berhati-hati memakai vasokonstriktor topikal.
• Oleh karena itu obat vasokonstriktor topikal
sebaiknya yang isotonik dengan sekret hidung yang
normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5 serta
pemakaiannya tidak lebih dari satu minggu.
Gejala klinis
• Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus
menerus. Pada pemeriksaan tampak edem
konka dengan sekret hidung yang berlebihan.
Apabila diuji dengan adrenalin, edem konka
tidak berkurang.
Penatalaksanaan
Hentikan pemakaian obat tetes atau obat semprot hidung
untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion)
beri kortikosteroid secara penurunan bertahap (tapering
off) dengan menurunkan dosis sebanyak 5 mg setiap hari.
(misalnya hari 1 : 40 mg, hari 2 : 35 mg dan seterusnya)
Obat dekongestan oral (biasanya mengandung
pseudoefedrin). Apabila dengan cara ini tidak ada perbaikan
setelah 4 minggu, pasien dirujuk ke dokter spesialis THT
CORPUS ALIENUM PADA HIDUNG
Definisi : ditemukannya benda asing pada lubang
hidung
Etiologi :
• Benda asing dihidung pada umumnya dijumpai pada
anak anak
• Bisa berupa :
Benda Mati (Peluru, Spons Biji-bijian, manik)
Benda Hidup (Lintah/pacet, Larva
lalat/Myasis Nasi)
• Jika lama bisa terjadi Rhinolith.
Gejala :
• Bau busuk & sekret mukopurulen pada salah satu
sisi cavum nasi  obstruksi 1 sisi
• kadang nyeri, demam, mimisan, dan bersin

Tanda :
- Tampak edema dengan inflamasi mukosa hidung 1
sisi
PENATALAKSANAAN :
*Anak kooperatif, dioleskan anestetik topikal
terkadang anastetik umum
* Ekstraksi Corpus Alienum
- untuk benda asing dengan permukaan kasar
pipih pakai pinset (Forcep aligator)
• - untuk benda bulat/permukaan licin pakai
pengait dengan ujung
bengkok/tumpul/bulat

Pengait masuk hidung menyusuri atap cavum nasi dan menyentuh nasofaring,
pengait diturunkan sedikit dan ditarik ke depan shg tertarik keluar

KOMPLIKASI :
Bahaya nekrosis, infeksi sekunder dan aspirasi ke dalam saluran napas bawah
Terima Kasih 

Anda mungkin juga menyukai