0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
12 tayangan9 halaman
Kasus korupsi pembelian helikopter MI-2 oleh Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Puteh dihukum 10 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi karena terbukti menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri dengan memindahkan dana pembelian helikopter ke rekening pribadinya. Putusan ini dikonfirmasi Mahkamah Agung yang menyatakan perbuatan Puteh memenuhi unsur korupsi.
Kasus korupsi pembelian helikopter MI-2 oleh Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Puteh dihukum 10 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi karena terbukti menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri dengan memindahkan dana pembelian helikopter ke rekening pribadinya. Putusan ini dikonfirmasi Mahkamah Agung yang menyatakan perbuatan Puteh memenuhi unsur korupsi.
Kasus korupsi pembelian helikopter MI-2 oleh Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Puteh dihukum 10 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi karena terbukti menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri dengan memindahkan dana pembelian helikopter ke rekening pribadinya. Putusan ini dikonfirmasi Mahkamah Agung yang menyatakan perbuatan Puteh memenuhi unsur korupsi.
- Mukhammad Wildan Armansyah ( 2016 – 266 ) - Ivan Fanani (2016 – 247) - Bongkar Egy Puri Laksono (2016 – 390) white collar crime biasanya pelaku orang-orang terpelajar dan berkedudukan sosial terpandang dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan motif untuk mencari keuntungan dari segi ekonomi. Ciri-ciri lain yaitu pelaku bekerja secara individual, pekerja perusahaan atau bisnis, petugas pembuat kebijakan untuk perusahaan, pekerja perusahaan terhadap masyarakat umum atau pelaku bisnis terhadap konsumennya. URAIAN KASUS KORUPSI SEBAGAI WHITE COLLAR CRIME DALAM PERKARA ABDULLAH PUTEH
Abdullah puteh seorang gubernur nangroe aceh darussalam yang
terjerat korupsi pembelian 2 helikopter MI-2 merk PLC buatan rostov Rusia senilai 12,5 milyar. Dalam putusan kasasi MA atas terdakwa abdullah puteh sebagai berikut:
Mahkamah Agung (MA) dalam putusan atas kasasi Abdullah Puteh,
terdakwa kasus korupsi pembelian helikopter Mi-2 milik pemerintah daerah Nangroe Aceh Darussalam menyatakan bahwa perbuatan terdakwa memenuhi unsur memperkaya diri sesuai dengan dakwaan primair yang diajukan oleh jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam persidangan yang berlangsung di ruangan Wiryono gedung Mahkamah Agung Jakarta, Selasa, Artijo Alkostar selaku Ketua majelis hakim memvonis Abdullah Puteh 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan penjara.
Majelis hakim juga memutuskan gubernur non aktif Nangroe Aceh
Darussalam tersebut membayar ganti rugi kepada negara sejumlah Rp6,564 miliar yang harus dipenuhi paling lambat satu bulan setelah keputusan kasasi tersebut. “Bila tidak dapat memenuhinya maka terdakwa akan dikenai tambahan pidana penjara selama tiga tahun,” kata Artijo saat membacakan putusan kasasi. Penilaian majelis hakim bahwa Puteh melakukan perbuatan memperkaya diri serta merugikan negara salah satunya berdasar pada perintah gubernur NAD tersebut kepada Kepala Kas Daerah Pemda NAD Zainuddin untuk memindahkan uang senilai Rp7 miliar dalam dua tahap masing-masing Rp3 miliar dan Rp4 miliar ke dalam rekening pribadi atas nama Puteh di Bank Bukopin. “Tindakan Puteh selaku gubernur NAD tersebut terbukti sebagai tindakan memperkaya diri yang merugikan keuangan negara,” kata Artijo. Sebelumnya pada 11 April 2005, majelis hakim pengadilan Tipikor yang diketuai Kresna Menon menjatuhkan vonis 10 tahun dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan karena Puteh terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara Rp 3,687 miliar dalam pembelian helikopter MI-2 merek PLC buatan Rostov, Rusia.
Dia juga diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp3,687 miliar
dengan waktu selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Majelis hakim juga memerintah Puteh tetap ditahan di rumah tahanan negara.
Puteh kemudian mengajukan banding ke PT Tipikor namun dalam putusan
pada Kamis 16 Juni 2005, majelis hakim PT Tipikor tetap menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta dengan uang pengganti Rp1 miliar. Dalam putusan di Pengadilan Tipikor, Puteh dijatuhi putusan sesuai dengan dakwan primer yakni tindak pidana yang dilakukan berkaitan dengan jabatannya.
Sedangkan dalam putusan PT Tipikor, Puteh dibebaskan dari dakwaan primer
dan yang dianggap terbukti dakwaan subsider yakni penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain secara berlanjut. Kemudian atas putusan Pengadilan Tinggi tersebut baik Puteh dan penasehat hukumnya dan Jaksa Penuntut Umum dari KPK mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Puteh dan penasehat hukumnya mengajukan kasasi karena menilai putusan PT
memperkuat putusan pengadilan tipikor tingkat pertama dan dalam memori banding tersebut mereka juga mempermasalahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus Puteh. Menurut terdakwa, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang diputuskan pada 18 Februari 2005 tentang retroaktif bahwa KPK hanya berwenang menangani perkara yang ada setelah Undang-undang tersebut berlaku. JPU mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung karena menilai putusan PengadilanTinggi yang menyatakan Puteh hanya terbukti melakukan dakwaan subsider yakni menyalahgunakan jabatan untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain secara berlanjut.
Sementara dakwaan primair yaitu pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 ayat 1 huruf a,
huruf b, ayat 2, ayat 3 UU no 31/1999 jo UU no 20/2001 jo pasal 55 ayat 1 jo pasal 54 ayat 1 KUHP yakni tindak pidana yang dilakukan berkaitan dengan jabatannya tidak terbukti. Pada sidang pembacaan putusan kasasi tersebut, majelis hakim mempertimbangkan memori kasasi dari keduabelah pihak.
Dengan putusan MA yang dibacakan oleh majelis hakim yang beranggotakan
MS Lumee, Hamrat Hamid, Krisna Harahap, Mansyur Kartayasa dan diketuai oleh Artijo Alkostar tersebut maka putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam perkara banding Puteh tertanggal 16 Juni 2005 dibatalkan. suara merdeka cybernews 13 september 2005 Jika kita mengacu pada Pasal 12 ayat 1 UU No. 20/2001, Pasal 15 UU No. 31/1999, Pasal 16 No. 31/1999, dapatlah dipahami bahwa membedakan korupsi dengan kejahatan lain adalah sebagai modus antara lain :
Penggelapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 372 sampai dengan
pasal 377 KUHP. Dalam penjelasan pasal 371 KUHP, pengelapan artinya mengambil suatu barang yang sebagaian atau seluruhnya adalah hak milik orang lain yang berada didalam kekuasaanya untuk dimiliki melawan hak yang di dalam pasal 371 ayat 1 tersebut dikatakan “ dalam hal pemidanaan karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dapat dinyatakan pencabutan hak-hak tersebut pada pasal 35 no 1-4. Yang kemudian hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat di cabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang- undang ini,atau dalam aturan umum lainnya ialah:
Ke-1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang
tertentu Ke-2. Hak memasuki angkatan bersenjata Ke-3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum. Ke-4. Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke bewindvoerder) hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak SEKIAN TERIMA KASIH