Anda di halaman 1dari 2

Terdakwa Korupsi Lolos Karena Pasal 51 (1) KUHP

Hakim melihat pada aspek kewenangan yang tak dimiliki terdakwa.


Sejumlah terdakwa perkara korupsi di instansi pemerintah beralasan mereka menjalankan
perintah jabatan atau perintah atasan. Di Pengadilan Tipikor Jakarta misalnya, terdakwa
Oentarto Sindung Mawardi berdalih pembuatan radiogram penyediaan mobil pemadam
kebakaran kepada kepala daerah sebagai perintah jabatan. Mantan Dirjen Bantuan dan Jaminan
Sosial Amrun Daulay juga pernah mengajukan pledoi senada. Toh, Oentarto dan Amrun tetap
divonis bersalah di tingkat pertama.

Para terdakwa korupsi, termasuk Ontarto dan Amrun, masih punya peluang bebas di tingkat
yang lebih tinggi: banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK). Peluang itu bukan sesuatu yang
mustahil. Seperti yang dialami Syamsul Bahri bin Said Makkoaseng. Mahkamah Agung baru saja
memublikasikan putusan perkara pria yang kelahiran 31 Desember itu melalui laman resmi
Mahkamah.

Syamsul Bahri lolos dari jeratan pidana korupsi di tingkat PK. Majelis hakim agung dipimpin
langsung Ketua MA, Harifin A. Tumpa, mengoreksi putusan majelis kasasi. Dua hakim lain Hj
Rehngena Purba dan H. Dirwoto juga sepakat. Tak ada dissenting opinion. Putusan PK membuat
terdakwa lolos dari kemungkinan penjara 1,5 tahun plus denda 50 juta rupiah dan ganti rugi 2,4
juta rupiah.

Argumentasi penting majelis hakim PK membebaskan Syamsul Bahri berkaitan dengan Pasal 51
ayat (1) KUH Pidana. Perbuatan terdakwa membeli mobil ambulance dari dana bantuan untuk
orang miskin dan menggunakan anggaran lain untuk perjalanan dinas bupati, tak bisa
dikriminalisasi lantaran masuk lingkup Pasal 51 ayat (1) KUH Pidana.

Pasal 51 KUHP dikenal sebagai klausul perintah jabatan (ambtelijk bevel). Sering digunakan
sebagai alasan untuk menghapus pidana terhadap terdakwa (exemption from liability). Pasal 51
ayat (1) KUH Pidana menyebutkan “tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan suatu
perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh suatu
kekuasaan yang berwenang memberikan perintah tersebut”. Dalam bahasa Belanda, rumusan
ayat ini adalah ‘Niet strafbaar is hij die een feit begaat ter uitvoering van een ambtelijk bevel,
gegeven door het daartoe bevoegde gezag’.

Poin penting ayat ini adalah pemberian wewenang oleh pejabat yang berwenang. Jika perintah
diberikan oleh pejabat yang tak berwenang, terdakwa tidak bisa menggunakan dalih ini untuk
lolos dari jerat hukum. Kecuali ia bisa membuktikan adanya iktikad baik. Begitulah yang
dirumuskan lebih lanjut pada ayat (2) pasal 51 KUHP.

Dalam kasus Syamsul Bahri, majelis PK melihat semua perbuatan terdakwa dilakukan atas
perintah Bupati Jeneponto yang sah. Bupati memerintahkan terdakwa menyimpan buku
rekening dana proyek Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi Bidang
Kesehatan (PD PSE-BK) yang kemudian berubah menjadi Program Kompensasi Pengurangan
Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan PKPS BBM-BK). Penggunaan anggaran bantuan
orang miskin untuk pembelian ambulance juga atas perintah Bupati Jeneponto.

Kalaupun terdakwa hendak dimintai tanggung jawab, ternyata terdakwa bukan orang yang
punya kewenangan menentukan. Terdakwa hanya sebagai Kepala Bagian Keuangan Pemkab
Jeneponto, bukan sebagai pengelola proyek PKPS BBM-BK. “Penggunaan uang dalam rekening
tersebut semuanya adalah atas perintah dari bupati,” begitu argumentasi majelis PK. “Karena itu
sebagai bawahan (terdakwa—red) tidak mempunyai pilihan untuk menolak”.
Pada bagian lain pertimbangan, majelis PK menyebutkan “terdakwa tidak mempunyai wewenang
untuk menggunakan uang tersebut tanpa ada perintah dari bupati”. Majelis melanjutkan: “yang
bertanggung jawab atas penggunaan rekening tersebut, apabila ternyata ada kerugian negara,
seharusnya adalah bupati”.

Putusan PK tertanggal 11 Agustus 2011 itu tak melulu menyinggung Pasal 51 ayat (1) KUH
Pidana. Koreksi terhadap putusan kasasi dilakukan karena judex juris dianggap tak
mempertimbangkan apakah putusan bebas yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi bersifat bebas
murni atau tidak murni. Yurisprudensi Mahkamah Agung menyatakan hanya putusan bebas
tidak murni yang bisa diajukan kasasi.

Melalui putusan PK tersebut, Syamsul Bahri bisa bernafas lega. Sejak 2007 ia harus menghadapi
dakwaan dan tuntutan jaksa. Ia dituduh melakukan perbuatan tindak pidana korupsi ketika
mengalihkan dana program PKPS BBM-BK untuk membeli ambulance dan aksesorisnya. Selain
uang pengembalian pembelian aksesoris tidak dikembalikan ke kas negara, melainkan dipakai
untuk menutupi biaya perjalanan dinas bupati. Perbuatan terdakwa melanggar UU No 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Terhadap penggunaan UU No 1 Tahun 2004, pengacara Syamsul Bahri juga mempersoalkan


pada memori PK. Perbuatan terdakwa yang dikualifisir jaksa sebagai perbuatan melawan hukum
terjadi pada sekitar Juni 2002, tetapi kemudian dijerat dengan Undang-Undang yang baru
disahkan pada 2004. Jaksa telah melanggar asas legalitas dan asas larangan tidak berlaku surut.
Bagaimana mungkin seseorang dinyatakan melakukan perbuatan yang melanggar Undang-
Undang tahun 2004 padahal perbuatan itu terjadi pada 2002? Sayang, argumentasi ini tak
dipertimbangkan lebih lanjut oleh majelis PK.

Anda mungkin juga menyukai