Anda di halaman 1dari 14

Penyelenggaraan pemerintahan desa pada masa

penjajahan Belanda & pendudukan Jepang

IPEM 4208 / Sistem Pemerintahan Desa

Dra Siti Nuraini M.Si


sitinurainiwahyu@gmail.com
Dr. Siti Aisyah.,M.Si
Beberapa pengertian tentang desa

Desa berasal dari bahasa India yakni Swadesi artinya tempat


asal, tempat tinggal, negeri asal, atau tanah leluhur yang
merujuk pada satu kesatuan hidup, dgn satu kesatuan
norma, serta memiliki batas yang jelas.
Desa merupakan suatu kesatuan hukum, dimana bertempat
tinggal suatu masyarakat yg berkuasa dan mengadakan
pemerintahan sendiri. Desa terjadi bukan hanya dari satu
tempat kediaman masyarakat saja, namun terjadi dari satu
induk desa dan beberapa tempat kediaman. Sebagian dari
mana hukum yang terpisah yang merupakan kesatuan
tempat tinggal sendiri, kesatuan mana pedukuhan, ampean,
kampung, cantilan, beserta tanah pertanian, tanah perikanan
darat, tanah hutan dan tanah belukar (Inayatullah,1977).
Menurut Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang
Desa yang dimaksud dengan Desa adalah desa dan
desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintahan desa di masa penjajahan Belanda

Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (IGOB) yang berlaku untuk


luar Jawa dan Madura (Staatsblad 1938 No.490 juncto Staatsblad 1938 No.81).
Indische Staatsregeling (IS) Pasal 128 ialah landasan peraturan yang
menyatakan tentang wewenang warga masyarakat desa untuk memilih sendiri
kepala desa yang disukai sesuai masing-masing adat kebiasaan setempat.
Herzien Indonesisch Reglement (HIR) dan reglemen Indonesia Baru (RIB)
isinya mengenai Peraturan tentang hukum Acara Perdata dan Pidana pada
Pengadilan-pengadilan Negeri di Jawa dan Madura.
Inlandsche Gemeente Ordonantie tanggal 1 Mei 1906 (Staatblad tahun
1906 No.83) yang diberlakukan untuk desa-desa di Jawa dan Madura.
Dalam Ordonansi ini salah satu ketentuan yang sangat menonjol adalah
mengenai kuatnya kedudukan hukum adat dan kolektifitas pemerintahan Desa.
pengangkatan dan pemberhentian anggota-anggota pemerintah desa kecuali
Kepala Desa, diserahkan kepada adat kebiasaan setempat, Pasal 2 ayat (2).
Untuk pemilihan dan pengesahan Kepala Desa dilakukan oleh residen melalui
suatu peraturan yang berdasarkan pada Pasal 71 IS (Pasal 2 ayat (1) ). Pasal
71 I.S. juga memberikan perhatian yang besar kepada adat dan kebiasaan
masyarakat yang berlaku;
Segala sesuatu yang perlu dimusyawarahkan bersama, harus dilakukan
dengan cara yang sesuai dengan kebiasaan setempat (Pasal 6 ayat (2);
Penggunaan tenaga rodi desa harus memperhatikan kebiasaan setempat
(Pasal 16 ayat 1);
Dalam menjalankan pekerjaannya maka sedapat-dapatnya Kepala Desa
meminta pertimbangan-pertimbangan anggota-anggota pemerintah Desa
lainnya. (Pasal 6 ayat 1);
Dalam hal yang penting, Kepala Desa tidak boleh memutuskan sebelum
bermufakat dalamsuatu musyawarah Desa yang dihadiri oleh semua
penduiduk desa yang berhak memilih (Pasal 6 ayat 2).
Pemerintah Hindia Belanda juga mengeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai desa
bumi putra lainnya yang diberlakukan untuk daerah-daerah tertentu juga dikeluarkan seperti :
Ordonansi Desa Bumiputra di Sumatera Barat (Ordonansi tanggal 27 September 1918 Stb. No.677).
Ordonansi Desa Bumiputra di Bangka dan daerah-daerah taklukkannya (Ordonansi tanggal 26 Juli
1919 Stb. No.453).
Ordonansi Desa Bumiputra di wilayah Palembang (Ordonansi tanggal 12 Desember 1919 Stb. No.
814).
Ordonansi Desa Bumiputra di Wilayah Lampung (Ordonansi tanggal 26 Agustus 1922).
Ordonansi Desa Bumiputra di wilayah Tapanuli (Ordonansi tanggal 21 September 1923 Stb. NO.
469).
Ordonansi Desa Bumiputra di wilayah Ambon (Ordonansi tanggal 21 September 1923 Stb. No. 471).
Ordonansi Desa Bumiputra di wilayah Belitung (Ordonansi tanggal 21 Pebruari 1924 Stb. No. 75).
Ordonansi Desa Bumiputra di Kalimantan Selatan dan Timur (Ordonansi tanggal 1 Juni 1924 Stb.
No. 275).
Ordonansi Desa Bumiputra di wilayah Bengkulu (Ordonansi tanggal 12 januari 1931 Stb. No.6).
Ordonansi Desa Bumiputra di wilayah manado/Minahasa (Ordonansi 30 Maret 1931 tanggal Stb. No.
138).
Dari berbagai macam Ordonansi yang dikeluarkan oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk desa bumiputra
dapat dilihat 3 sifat yang penting dari kebijakannya
mengenai penyelenggaraan pemerintahan Desa sebagai
berikut :

Bersifat legalistik dan sekedar memberikan legitimasi.


Peraturan yang dibuat tersebut, sifatnya hanya
memberikan pengesahan (legitimasi) terhadap hal-hal
yang sudah ada dan berlaku di dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa bumiputra. Peraturan-peraturan
tersebut, hamper-hampir tidak memberikan suatu yang
baru yang bermanfaat bagi masyarakat desa;
Bersifat statis yaitu memelihara status Quo.
Peraturan-peraturan yang diterbitkan Pemerintah
Hindia Belanda, dengan dalih menghormati hukum
adat dan kebiasaan adat istiadat setempat sama sekali
tidak memberikan sentuhan kemajuan sehingga
masyarakat desa tetap dalam keadaan terbelakang;
Bersifat statis yaitu memelihara status Quo.
Peraturan-peraturan yang diterbitkan Pemerintah
Hindia Belanda, dengan dalih menghormati hukum
adat dan kebiasaan adat istiadat setempat sama
sekali tidak memberikan sentuhan kemajuan
sehingga masyarakat desa tetap dalam keadaan
terbelakang;
Bersifat parsial
Peraturan-peraturan perundangan yang dibuat, ditetapkan
secara khusus untuk daerah-daerah tertentu yang berbeda-
beda satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya
keanekaragaman dan perbedaan tersebut tetap terpelihara
dan masing-masing kelompok masyarakat daerah, terdorong
untuk membanggakan daerahnya dan berorientasi kepada
kepentingan kelompok masyarakatnya sendiri.
Model peraturan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda ini
sangat merugikan penduduk pribumi dan sebaliknya
menguntungkan pemerintah Hindia Belanda karena hal ini
didasarkan pada tujuanj agar :
Dengan hanya memberikan legitimasi saja yang diwujudkan
dengan memberikan pengakuan kepada kedudukan pemerintah
Desa maka pemerintah desa secara resmi diangkat sebagai
bagian dari pemerintahan kolonial. Dengan demikian pemerintah
Hindia Belanda telah memperoleh tenaga kerja bagi
penyelenggaraan pemerintahannya dengan biaya yang sangat
murah. Pemerintah Hindia Belanda dengan mudah memperoleh
ribuan tenaga pegawai pemerintahan, tanpa memberikan upah
karena yang memberikan gaji untuk pemerintah desa adalah
Desa (penduduk desa) itu sendiri.
Pemerintahan desa pada masa pendudukan Jepang di bawah Jepang

Desa ditempatkan sebagai institusi diatas aza (kampung,dusun) yang merupakan


institusi terbawah. Setiap Desa yang disebut dengan Ku dan Kepala Desanya
disebut Kutyo(kuco) dibagi dalam beberapa kampong. Rakyat desa dimobilisasi
untuk keperluan perang, menjadi satuan-satuan milisi,seperti Heiho,
Kaibodan,Seinendan dan lain-lain. Kepala Desa dipaksa mengawasi penduduknya
untuk menanam nila, jarak,tebu,padi,jagung dan apa saja agar memberikan hasil
yang baik dan kemudian hasilnya hamper semuanya diambil oleh tentara Jepang
sehingga yang tersisa tidak cukup untuk kebutuhan penduduknya. Pemerintah Desa
merupakan bagian dari kekuasaan nasional dan menjadi pelaksana-pelaksana paling
depan dari keputusan-keputusan yang dibuat atau ditetapkan, tetapi desa sama
sekali tidak mempunyai akses apapun dalam proses pembuatan keputusan tersebut.
Pemerintah Desa terdiri dari 9 (sembilan) pejabat : Lurah, carik, 5 (lima) orang
mandor, polisi Desa dan amir (mengerjakan urusan agama).Dapat disimpulkan
pemerintah Desa hanya menjalankan fungsi pengawasan dan tidak mengandung
unsur “pembangunan” untuk memperbaiki nasib rakyat.

Anda mungkin juga menyukai