Anda di halaman 1dari 13

ANEMIA HEMOLITIK

AUTOIMUN
Anemia hemolitik autoimun (autoimmune hemolytic anemia/
AIHA) merupakan suatu kelainan di mana terdapat antibodi terhadap
sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek.
• Insiden
Insidens dari AIHA tipe hangat sekitar satu dari total 75-80.000
populasi di USA. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat dapat muncul
pada usia berapapun, tidak seperti AIHA tipe dingin yang seringkali
menyerang usia pertengahan dan lanjut, atau Paroxysmal Cold
Hemoglobinuria (PCH) yang melibatkan usia kanak. Namun, di
Indonesia tidak ada data yang khusus membahas tentang prevalensi
dan insiden kasus AIHA secara nasional.
• Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas,
kemungkinan terjadi karena gangguan central tolerance, dan gangguan
pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual.
• Patofisiologi
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi
sistem komplemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi keduanya.
Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya
membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskular yang ditandai dengan
hemoglobinemia dan hemoglobinuria.
Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif.
Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM,
IgG1, IgG2, IgG3 disebut sebagai agglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan
dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah
suhu tubuh. Antibodi IgG disebut agglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen
permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.
Klasifikasi
• Anemia hemolitik tipe hangat
• Anemia hemolitik tipe dingin
A. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi bereaksi secara
optimal pada suhu 37°C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain.
Gejala dan Tanda: penyakit ini dapat terjadi pada semua usia dan semua jenis kelamin,
timbul sebagai anemia hemolitik dengan keparahan yang bervariasi. Limpa seringkali
membesar. Penyakit ini cenderung mengalami remisi dan relaps, dapat timbul sendiri atau
disertai penyakit lain, atau muncul pada beberapa pasien akibat terapi metildopa.
Awitan penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan demam. Pada
beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri abdomen, dan
anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuria. Ikterik terjadi pada 40%
pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60%, Hepatomegali terjadi pada
30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak disertai
pembesaran organ dan limfonodi.
Laboratorium: temuan laboratorium dan biokimia bersifat khas pada
anemia hemolitik ekstravaskular dengan sferositosis yang menonjol
dalam darah tepi. Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7 g/dl.
Pemeriksaan Coomb direk biasanya positif. Autoantibodi tipe hangat
biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel
eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan
semua sel eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat ini biasanya
bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya
antigen Rh.
Terapi:
1. Kortikosteroid: 1-1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan menunjukkan
respon klinis baik (Ht meningkat, retikulosit menurun, tes coombs direk positif lemah, tes
comb indirek negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-
90. Bila ada tanda respon terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu 10-20 mg/hari.
Terapi steroid dosis <30 mg/hari diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan
memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah, namun bila dosis perhari
melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar Ht, maka perlu segera
dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.
2. Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering dosis
selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan
menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus
berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat
antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang
sama. Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%, namun tidak bersifat
permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah splenektomi.
3. Imunosupresi. Azatioprin 50-200 mg/hari, siklofosfamid 50-150 mg/hari.
4. Terapi lain: danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-
sama steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan
dosis danazol diturunkan menjadi 200-400 mg/hari. Terapi immunoglobulin
(400 mg/kgBB per hari selama 5 hari) menunjukkan perbaikan pada
beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada
beberapa pasien lain. Jadi terapi ini diberikan bersama terapi lain dan
responnya hanya bersifat sementara. Terapi plasmafaresis masih
kontroversial.
5. Terapi transfusi. Terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak.
Pada kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb < 3 g/dl) transfusi dapat
diberikan, sambil menunggu steroid dan immunoglobulin untuk berefek.
Prognosis dan Survival: Hanya sebagian kecil pasien mengalami
penyembuhan komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan
penyakit yang berlangsung kronik, namun terkendali. Survival 10 tahun
berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli paru, infark limpa, dan kejadian
kardiovaskular lain terjadi selama periode penyakit aktif. Mortalitas
selama 5-10 tahun sebesar 15-25%. Prognosis pada AIHA sekunder
tergantung penyakit yang mendasari.
B. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Dingin
Antibodi biasanya adalah IgM dan paling baik berikatan dengan
eritrosit pada suhu 4°C. Antibodi IgM sangat efisien dalam memfiksasi
komplemen dan dapat terjadi hemolisis intrvaskular dan ekstravaskular.
Komplemen sendiri biasanya terdeteksi pada eritrosit, antibodinya
telah mengalami elusi dari sel pada bagian sirkulasi yang lebih hangat.
Pada hampir semua tipe ini, antibodi ditujukan pada antigen ‘I’ di
permukaan eritrosit.
Gambaran klinis: Pasien mungkin menderita anemia hemolitik kronik
yang diperburuk oleh dingin dan seringkali disertai dengan hemolisis
intravascular. Dapat terjadi ikterus ringan dan splenomegali. Pasien
dapat menderita akrosianosis di ujung hidung, telinga, jari-jari tangan
dan kaki yang disebabkan oleh aglutinasi eritrosit dalam pembuluh
darah kecil. Hemolisis berjalan kronik. Anemia biasanya ringan dengan
Hb 9-12 g/dl.
Laboratorium: Anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs
langsung memperlihatkan komplemen (C3d) saja pada permukaan
eritrosit, eritrosit beraglutinasi dalam suhu dingin.
Prognosis dan Survival: Pasien dengan sindrom kronik akan memiliki
survival yang baik dan cukup stabil.
Terapi: Menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis,
prednisone dan splenektomi tidak banyak membantu, klorambusil 2-4
mg/hari, plasmaferesis untuk mengurangi antibodi IgM secara teoritis
bisa mengurangi hemolisis, namun secara praktik hal ini sukar
dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai