Anda di halaman 1dari 5

Suami (Ayah).

Dalam bahasa Ibrani kata bapak (suami disini) disebut dengan (ab), yang dapat diartikan dengan seorang pemimpin di dalam rumah
tangga. Menurut Scmimmidt, bahwa tokoh seorang bapak di dalam Perjanjian Lama adalah merupakan teladan (pola anutan).
Bapak merupakan pemimpin tertinggi dalam keluarga, sekaligus sebagai tulang punggung keluarga untuk kebutuhan jasmani maupun
rohani keluarga. Tetapi bapak sebagai kepala rumah tangga bukanlah mendapat tekanan pada soal kuasa pribadi. [9]
Sebab banyak orang yang berpendapat bahwa bapak selalu memakai sifat kuasanya yang otoriter. Artinya yang mempunyai
kekuasaan mutlak, sehingga kedudukan bapak disini penentu dalam sesuatu. Tetapi seorang bapak haruslah benar-benar menjadi
wakil Tuhan dihadapan anak-anaknya. Otoritas si ayah haruslah benar-benar tumbuh dari iman kepercayaan dan tingkah laku
hidupnya sehari-hari dengan sendirinya.
Bapak atau suami bertanggungjawab untuk bertindak berdasarkan kasih kepada keluarganya, sekaligus berinisiatif untuk melayani
seorang sebagaimana dirinya dan bertindak dalam pelayanan dengan merendahkan dirinya kepada manusia. Maka suami haruslah
pula memiliki kekuatan untuk mencintai orang lain, menerima kasih dari pada orang lain didalam persekutuannya dengan orang yang
dikasihi antara keluarga sendiri ( Bnd. 1 Korintus 1:10; Efesus 21:21-23)[10]
Lindsay mengutarakan bahwa ada 7 butir tingkah laku dari seorang suami yang dikehendaki oleh istrinya, yaitu:[11]
“ Lemah lembut, Sopan santun, Ramah tamah, Penuh Pengertian, Bersikap adil, Penuh pengabdian, Bersikap Jujur”.
Ketujuh tingkah laku yang disebutkan diatas adalah sangat penting mencapai keluarga yang diidamkan. Namun mungkin sang suami
memiliki sifat ini secara sempurna, tetapi istri dapat membantu mengilhami suaminya supaya berhasil untuk membudidayakannya.
Jadi dapat dikatakan bahwa “pembentukan sebuah keluarga adalah merupakan suatu wadah yang mengarahkan seseorang kepada
kedewasaan kepribadian dan kedewasaan cinta kepada keluargannya dan orang lain di sekitarnya.
Sebagai seorang ayah bagi anak-anak dan suami bagi sang istri, maka ayah selalu bejalan pada perintah dan peraturan dari pada
Allah, mewujudkan perkataan Tuhan Yesus di dalam setiap kehidupannya. Allah selalu berfirman kepada para suami untuk selalu
mengasihi istrinya, dimana hal ini telah mencakup suatu penggilan kudus memasuki persekutuan bersama penderitaan dengan Yesus,
menjadi idaman yang penuh dengan kasih.
A factor internal
Bimbingan rohani.
Orang tua merupakan panutan (teladan) bagi anak. Termasuk bimbingan kepada pertumbuhan
imannya. Selaku orang tua adalah berfungsi sebagai motivator dalam pengajaran dalam
pembentuka kepribadain anak sehingga bertumbuh dengan lebih baik.

Fungsi dan Peranan Keluarga Kristen


Sebagai unit terkecil dalam masyarakat dan negara, keluarga Kristen juga terpanggil menjadi
prototype (gambaran permulaan) rumah sorgawi di dunia ini. Sehingga setiap keluarga Kristen
mempunyai peran dan fungsi membawa dan menjadi garam dan terang abadi Kristus, (Matius 5:13-
15). Untuk itu setiap anggota keluarga, yakni antara orang tua dan anak, anak dan orang tua,
haruslah senantiasa mengamalkan kasih Kristus sebagai landasan hidup keluarga, sehingga
terciptalah hubungan kasih persaudaraan dengan sepenuh hati dan jiwa (1 Pet. 1:15-21). Dengan
kata lain setiap keluarga Kristen ditetepkan Allah untuk tampil dan berperan supaya saling
mengasihi, mengampuni dan bekerjasama, berbakti dan sama-sama bertumbuh dalam dalam
pengharapan, iman dan kasih (Kol. 113-14).
Peranan Orang Tua di dalam Perjanjian Lama.
Keluarga adalah persekutuan beberapa orang yang dihubungkan oleh perkawinan atau pertalian
darah.[27] Sebuah keluarga dapat mencapai jumlah yang besar pada masa Israel Kuno,
Fungsi keluarga adalah sebagai tempat persekutuan religius, memelihara dan meneruskan tradisi
kepada generasi berikut. Tugas ini diserahkan Allah kepada setiap keluarga, sebagaimana Firman
Tuhan menyebutkan :
“Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan keturunannya
supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan Tuhan, dengan melakukan kebenaran dan
keadilan, dan supaya Tuhan memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikanNya kepadanya”
(Kej.18:19).
Ayat ini menunjukkan pentingnya pendidikan iman kepada anak dalam keluarga. Hukum dan
sejarah adalah topik utama dalam pendidikan di kalangan Yahudi. Lingkup pendidikan iman di
kalangan keluarga Israel kuno berlangsung dalam tiga cara yaitu :
Pertama, proses belajar berlangsung melalui kegiatan imformal. Orang tua mengajarkan suatu
keterampilan khusus kepada anak-anaknya. Anak laki-laki dilatih berburu, memelihara ternak dan
memanah. Sebaliknya anak perempuan dilatih menggiling padi, membakar roti, memintal,
menenun dan menjahit. Pelatihan ini berkembang sesuai dengan perkembangnan budaya
mereka. Setelah menetap (tidak nomaden), anak dilatih mengurus pertanian, ternak dan
pertukangan, industri rumah tangga dan memperdagangkannya.
Pendidikan kejuruan ini sangat penting sehingga seorang rabi berkata, “Seseorang yang tidak
mengajarkan keahliah kepada anaknya, berarti pengajarkan anaknya menjadi perampok.[28]
Kedua, melalui pengajaran etika dan pengawasan perilaku anak berkenan dengan ini,
Sherril menandaskan bahwa orangtua memegang peran utama untuk mengarahkan
anaknya kepada Allah sehingga kehendak Allah menjadi dasar bertindak dalam hidup
mereka sehari-hari.[29]Orang tualah yang pertama membentuk perkembangan
kepribadian anak-anaknya. Relasi sifat, dan tingkah laku orang tua terhadap anak-
anaknya membentuk perkembangan kepribadian mereka.
Ketiga, melalui penyampaian tradisi religious. Ayah menceritakan peristiwa-peristiwa
yang dirasakan sebagai perbuatan Allah yang besar bagi bangsa Israel, misalnya : pada
perayaan Sabat dan Paskah. Keluarga melakukan persiapan untuk merayakan Sabat.
Anak-anak dilibatkan untuk membawa pelita. Pada malam Sabat, pelita dinyalakan. Ayah
menceritakan kembali penciptaan dunia dan segala isinya. Ibu menyajikan makanan
khusus pada malam itu. Pada malam Paskah, ibu menyiapkan sayur pahit dan membuat
roti yang tidak beragi. Ketika mereka makan bersama, salah seorang dari anak, biasanya
yang bungsu bertanya, “Mengapa malam ini berbeda dari malam sebelumnya?” Lalu
ayah memberi jawaban tentang anugerah Allah yang dialami nenek moyang mereka.
Suasana perayaan agama perlu dibangun untuk menumbuhkan spiritualitas anak. Anak-
anak turut dipersiapkan dalam perayaan-perayaan (celebrating). Mengenai hal ini
Westerhoff melihat bahwa tujuan pendidikan Kristiani, bukan semata-mata menjadikan
orang beragama Kristen, melainkan menjadikan orang beriman kepada Yesus Kristus.
[30]
Menciptakan kekaguman dan rasa ingin tahu (curiosity) menjadi cara pendidikan
dikalangan Israel. Mengenai hal ini Brueggemann menyatakan bahwa pendidikan
agama di Israel dimulai dengan pertanyaan anak kepada orang tua atau imam.[31]
 Materi pelajaran berawal dari anak sehingga pendidikan itu sungguh
menyenangkan dan membebaskan.
Dari kutipan ini dapat kita katakan bahwa membentuk kepribadian dan iman
kristen pada anak berarti membangun atau memberikan pengajaran sekaligus
mengarahkan anak agar berbuat dan berperilaku sesuai dengan Firman Tuhan.
Dalam Efesus 4:11-16; 1 Korintus 12:1-4, dikatakan dengan jelas bahwa Allah
melengkapi semua orang dengan berbagai talenta yang perlu dibentuk atau dibina
agar semakin memiliki kepribadian yang baik dan menjadi garam dan terang.
Ibadah seseorang atau kelompok tertentu bergerak melakukan sesuatu karena
ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan
perbuatannya.[32]
Pembentukan kepribadian dan iman harus dilihat sebagai pernyataan karya
pembebasan dan persatuan yang diberlakukan Allah dalam diri Kristus. anak
mempunyai panggilan untuk menghadapi diri agar menjadi dewasa dan
bertanggungjawab dalam rumah tangga, gereja dan masyarakat.
Dengan usaha pembinaan yang terarah maka para anak akan mengembangkan diri
dengan seimbang sehingga tercipta hubungan yang serasi antara aspek rasio,
emosional, inteligentia dan spiritual.

Anda mungkin juga menyukai