Anda di halaman 1dari 10

Tugas Tindak Pidana Korupsi

KORUPSI DAN INTEGRITAS

Nama : Fadlan Iswahyudi Tobuhu


Nim : 1011418111
Korupsi
• Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata
kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan
pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta
pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak
wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik
yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan
keuntungan sepihak.
• Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam
praktiknya
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
• perbuatan melawan hukum,
• penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
• memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
• merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
• Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, tetapi bukan semuanya, adalah
• memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
• penggelapan dalam jabatan,
• pemerasan dalam jabatan,
• ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara),
dan
• menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Perilaku Koruptif
• Misalnya pemberian uang atau barang jaminan
kepada keluarga atau rekan agar seseorang diterima
menjadi pegawai negeri atau swasta.

• memberi uang pelicin untuk mempercepat urusan


administrasi seperti pembuatan Kartu Tanda
Penduduk atau Kartu Keluarga dan lain sebagainya.
Bentuk Bentuk Korupsi
• Terkait keuangan negara/perekonomian Negara,
• Suap-menyuap,
• Penggelapan dalam jabatan,
• Pemerasan,
• Perbuatan curang,
• Benturan kepentingan dalam pengadaan dan
• Korupsi terkait gratifikasi.
Integritas

• Berdasarkan kamus kompetensi perilaku KPK, yang dimaksud


dengan integritas adalah bertindak secara konsisten antara apa
yang dikatakan dengan tingkah lakunya sesuai nilai-nilai yang
dianut (nilai-nilai dapat berasal dari nilai kode etik di tempat
dia bekerja, nilai masyarakat atau nilai moral pribadi).
Integritas dalam konteks pemerintahan dan birokrasi adalah
penggunaan kekuasaan resmi, otoritas dan wewenang oleh
para pejabat publik untuk tujuan-tujuan yang syah (justified)
menurut hukum. Integritas dengan demikian adalah keteguhan
diri aparatur birokrasi dan pejabat publik untuk tidak meminta
atau menerima apapun dari masyarakat.
• Dengan demikian, integritas merupakan antitesis dari
korupsi yang merupakan penggunaan kekuasaan
untuk tujuan-tujuan tidak syah atau ilegal  baik oleh
individu maupun kelompok yang memegang
kekuasaan, otoritas dan wewenang. Karena itu,
penciptaan dan penguatan integritas para pejabat
publik merupakan salah satu faktor terpenting tidak
hanya dalam pemberantasan korupsi, tetapi juga
dalam reformasi administrasi guna terbentuknya good
governance.
Sejarah perkembangan Korupsi di indonesia

• Orde Lama
Antara 1951–1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti
Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar.
Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran
tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa
kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas
intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar
negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok
Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan
Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam
kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin
Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur
Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena
dianggap sebagai lawan politik Sukarno.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958
dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya
Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-
perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru
melahirkan korupsi di tubuh TNI. Jenderal Nasution sempat memimpin tim
pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil.
Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur.
Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam
kasus korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono,
dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima
Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses
hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian
mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung.
• Orde Baru
usai tragedi gerakan 30 September, dan Orde Baru berkuasa, kebijakan berubah.
Kebijakan ekspor tak lagi dipegang daerah, melainkan pemerintah pusat. Kondisi
ini menyebabkan perpindahan besar-besaran kantor pusat yang bermula berada
di daerah ke Jakarta.
Dalam kebijakan awal, perizinan ekspor impor barang harus dilakukan di Jakarta.
Kondisi ini membuat sejumlah perusahaan membangun kantor cabang di ibu kota.
Namun, pemerintah Orde Baru memutuskan mengubah sistem perpajakan di
mana perhitungan pajak ditentukan sepenuhnya oleh pusat.
Itulah yang menjadi awal mula korupsi, kebijakan yang sebelumnya didasarkan
kepada daerah masing-masing diubah dengan sistem sentralistik. Kondisi itu
menyebabkan terjadinya kongkalikong antara pengusaha dan birokrat agar cepat
merealisasikan permintaan mereka. Sejak saat ini korupsi justru semakin
mewabah dan mengakar kuat di segala sendi-sendi penting pemerintahan dan
swasta layaknya kanker.

Anda mungkin juga menyukai