Anda di halaman 1dari 26

‫نجوى الرسول صلى هللا‬

‫عليه و سلم‬

‫أحمد مبشر‬
B E R K O N S U LTA S I
DENGAN
RASULULLAH

Ahmad Mubassyir
IAT 6 A Ushuluddin PTIQ Jakarta

Rabu, 17 Maret 2021


S U R A H A L - M U J A D I L A H A YA T 1 1 - 1 3
ُ ‫يل ا ْن ُش ُزوا فَا ْن ُش ُزوا يَرْ فَ ِع هَّللا‬
َ ِ‫ح هَّللا ُ لَ ُك ْم ۖ َوإِ َذا ق‬ِ ‫س‬
َ ْ
‫ف‬ َ ‫ي‬ ‫ُوا‬‫ح‬ ‫س‬َ ْ
‫ف‬ ‫ا‬َ ‫ف‬ ‫س‬
ِ ِ ‫ل‬‫ا‬‫ج‬َ ‫م‬َ ْ
‫ال‬ ‫ي‬ ‫ف‬
ِ ‫ُوا‬‫ح‬ َّ
‫س‬ َ ‫ف‬َ ‫ت‬ ‫م‬
ْ ُ
‫ك‬ َ ‫ل‬ ‫ل‬َ ‫ي‬ِ ‫ق‬ ‫ا‬ َ
‫ذ‬ ِ ‫إ‬ ‫وا‬ُ ‫ن‬ ‫م‬
َ ‫آ‬ ‫ين‬
َ ‫ذ‬
ِ َّ ‫ال‬ ‫ا‬َ ‫ه‬ ُّ ‫ي‬َ ‫يَا أ‬
‫ين آ َمنُوا إِ َذا نَا َج ْيتُ ُم ال َّرسُو َل‬ َ ‫) يَا أَيُّهَا الَّ ِذ‬11(‫ون َخبِي ٌر‬ َ ُ‫ت ۚ َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َمل‬ ٍ ‫ين أُوتُوا ْال ِع ْل َم َد َر َجا‬ َ ‫ين آ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذ‬ َ ‫الَّ ِذ‬
‫) أَأَ ْشفَ ْقتُ ْم أَ ْن تُقَ ِّد ُموا‬12( ‫طهَ ُر ۚ فَإِ ْن لَ ْم تَ ِج ُدوا فَإِ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬ ْ َ‫ك َخ ْي ٌر لَ ُك ْم َوأ‬َ ‫ص َدقَةً ۚ ٰ َذ ِل‬ َ ‫فَقَ ِّد ُموا بَي َْن يَ َديْ نَجْ َوا ُك ْم‬
ُ ‫صاَل ةَ َوآتُوا ال َّز َكاةَ َوأَ ِطيعُوا هَّللا َ َو َرسُولَهُ ۚ َوهَّللا‬ َّ ‫اب هَّللا ُ َعلَ ْي ُك ْم فَأ َ ِقي ُموا ال‬َ َ‫ت ۚ فَإِ ْذ لَ ْم تَ ْف َعلُوا َوت‬ ٍ ‫ص َدقَا‬ َ ‫بَي َْن يَ َديْ نَجْ َوا ُك ْم‬
)13( ‫ون‬ َ ُ‫َخبِي ٌر بِ َما تَ ْع َمل‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepada kalian “Berilah kelapangan didalam majelis-majelis”, maka
lapangkanlah, niscaya Allah akan memberikan kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan “Berdirilah kalian” maka
berdirilah niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi
ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti terhadap apa yang kalian kerjakan (11) Wahai orang-orang yang beriman,
Apabila kalian mengadakan pembicaraan khusus dengan Rosulullah, hendaklah kalian mengeluarkan sedekah (kepada orang
miskin) sebelum (melakukan) pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian dan lebih bersih. Tetapi jika kalian
tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sungguh, Allah Maha Pengampun Maha Penyayang (12) Apakah kalian
takut (menjadi miskin) karena kalian memberikan sedekah sebelum (melakukan) pembicaraan dengan Rosulullah? Tetapi jika
kalian tidak melakukannya dan Allah telah memberi ampun kepada kalian, maka laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat
serta taatlah kepada Allah dan rasul-nya. Dan Allah Maha Teliti terhadap apa yang kalian kerjakan (13)”
‫التحليل اللفظي‬
Kosa Kata Kunci
‫تَفَ َّسحُوا‬
Berikanlah kelapangan dalam majelis,hendaknya memberikan kelonggaran satu sama lain
‫ يَ ْف َس ُح‬- ‫ = فَ َس َح‬Memperlonggar tempat dalam majlis
‫ يَ ْف َس ُح‬-‫ = فَ ُس َح‬Menjadi luas

‫ان ْ ُش ُزوا‬
bangun dan beranjaklah, makna aslinya diambil dari “annasyzu” yakni tempat yang tinggi di bumi
Maksud kata tersebut dalam konteks ayat adalah apabila dikatakan, “Bangunlah kamu!” maka beranjak dan
berdirilah.”

‫ات‬
ٍ ‫َد َر َج‬
martabat/kedudukan yang tinggi.
“darajah” = kedudukan yang tinggi,
la diambil dari kata “ad-durj” = tangga yang digunakan untuk menaiki atap rumah.
‫التحليل اللفظي‬
Kosa Kata Kunci
‫ج َواك ُْم‬
ْ َ‫ن‬
kata “an-najwa” adalah mashdar yang artinya “at-tandji”, yaitu pembicaraan khusus, diambil dari kata “An-najwah”
yakni tanah yang meninggi, karena dua ofang yang sedang melakukan pembicaraan khusus menyepi dengan rahasia
mereka, sebagaimana tonjolan tinggi permukaan tanah yang berada di tengah tanah datar.” Ada yang mengatakan
bahwa kata “an-najwda” diambil dari kata “al-mundjah” yang maknanya kemurnian. Sebab, seakan-akan dua orang
yang berbisik bahu-membahu untuk saling membersihkan.” Makna kata tersebut dalam konteks ayat adalah apabila
kamu hendak melakukan perbincangan khusus dengan Rasulullah Saw. karena suatu urusan penting, maka sebelum itu
hendaklah kamu bersedekah.

‫َوأ َ ْط َه ُر‬
artinya lebih bersih untuk jiwa-jiwa kalian dan lebih bagus di sisi Allah. “

‫أَأ َ ْشفَقْتُ ْم‬


kata “al-isyfaq” berarti takut atau khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Makna kata tersebut
dalam konteks ayat adalah apakah kamu takut dan bakhil dengan sedekah, dan apakah yang demikian itu berat
bagimu? Ibnu Abbas berkata, Redaksi “a-asyfaqtum” maksudnya apakah kamu bakhil untuk bersedekah?”"'
Ungkapan ini merupakan tanya yang maknanya menetapkan.
‫المعنى اإلجمالي‬
Rumusan Tafsir
Allah yang Maha Agung berfirman yang maknanya kurang lebih sebagai berikut:Wahai orang-
orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu berikanlah kelapangan dalam majelis untuk
saudara-saudaramu, maka hendaklah kamu memberikan kelonggaran, dan bergeserlah untuk
mereka. Supaya, orang yang baru datang mendapat tempat duduk di majelis. Hal itu akan
menumbuhkan saling sayang dan cinta di antara kalian serta mengundang kelembutan dan
kemurnian hati. Ketahuilah, apabila kamu memberikan kelapangan untuk mereka, maka
sesungguhnya Allah akan memberikan keluasan untukmu dengan rahmat-Nya, menyinari
hatimu, dan memberimu kelapangan, baik selama di dunia maupun di akhiratJika diperintahkan
atasmu—-wahai orang orang beriman—bangkitlah untuk shalat,berjihad, dan amal kebajikan,
maka segera lakukan. Atau, dikatakan kepada kalian bangunlah dari tempat dudukmu untuk
memberikan kelonggaran pada orang lain, maka taatilah itu. Allah menyukai para hamba-Nya
yang mempunyai sifat tat, menjunjung kedudukan orang-orang Mukmin, para ulama yang
mengamalkan ilmunya. Mereka itu hanya mengharapkan ridha Allah dengan amal-amalnya.
‫المعنى اإلجمالي‬
Rumusan Tafsir
Ulama adalah pewaris para nabi, dan barang siapa dikehendaki baik oleh Allah, maka Dia akan menjadikannya paham
terhadap agama. Kedudukan tinggi di sisi Allah bukanlah mendapat tempat khusus dalam majelis, tetapi karena keimanan
dan ilmu yang dimiliki.
Setelah itu, Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman apabila mereka hendak melakukan pembicaraan khusus
dengan Nabi Saw. tentang suatu urusan, agar bersedekah terlebih dahulu sebelum melakukan pembicaraan. Hal tersebut
dilakukan sebagai bentuk penghormatan atas kedudukan beliau dan memberikan kemanfaatan pada orang-orang fakir, di
samping untuk membedakan mana yang imannya tulus dan mana orang munafik yang berpura-pura. Yang demikian itu lebih
bersih untuk jiwamu, lebih suci untuk hatimu, dan lebih mulia di sisi Allah. Akan tetapi, jika seorang Mukmin tidak mampu
bersedekah, maka tidak ada salah dan dosa atasnya.
Kemudian Allah Swt. menegaskan, perbuatan baik seperti sedekah dan semacamnya tidak semestinya dikhawatirkan oleh
seseorang. Lalu, Allah Swt. berfirman yang maknanya kurang lebih, “Apakah kamu sekalian takut memberikan sedekah
karena harus mengeluarkan sebagian harta? Jika kamu tidak melaksanakan apa yang diperintahkan, lalu Allah menerima
taubatmu dan memberikan keringanan untuk tidak melaksanakan itu. Karenanya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan
janganlah lalai terhadap keduanya, begitu juga dengan ritual-ritual ibadah lain, karena sesungguhnya Allah Maha Tahu atas
apa yang kamu kerjakan.”
‫سبب النزول‬
Sebab Turun Ayat
Pertama, diriwayatkan, bahwa pada hari Jum’at, Rasulullah Saw. Berada di shuffah (jerambah masjid tempat berkumpul para
Sahabat) yang ketika itu tampak padat. Beliau hendak menghormat para pejuang Badar, baik dari kalangan Muhajirin maupuo
Anshar. Para pejuang itu pun hadir, di antaranya ialah Tsabit bin Qais bin Syammas, Mereka ini sudah ketinggalan. Mereka
berdiri untuk mendapatkan perhatian dari Nabi Saw, sambil menyampaikan salam, ‘Assalamu ‘alaika, ayyuhan nabiy
warahmatulldh wabarakatuh.” Dan Nabi pun menjawab salam mereka itu. Kemudian mereka beralih memberi salam kepada
kaum yang sedang duduk bersama Nabi itu, dan mereka pun membalas salam tersebut. Mereka tetap berdiri sambil menunggu
Rasulullah Saw. Mengatur tempat duduk mereka, fetapi mereka yang sedang duduk itu tidak mau bergeser untuk kawannya
yang baru datang itu. Melihat hal itu beliau mera kurang enak, lalu beliau membisikkan kepada orang yang duduk di samping
beliau, “Berdirilah, hai Fulan, berdirilah hai fulan!”, sampai ada beberapa orang yang harus berdiri secukupnya buat kawan-
kawan yang baru datang itu. Melihat kejadian semacam itu membuat hati orang-orang yang hadir itu kurang enak, dan hal itu
tampak sekali dalam wajah mereka, Sementara si munafik berkata, “Tidak adil, orang sudah duduk kok disuruh berdiri, dan dia
(Muhammad) lebih senang duduk berdampingan dengan orang-orang yang terlambat datang itu.” Demikianlah, lalu turun ayat,
“Hai orang-orang yang beriman apabila dikatakan u dalam majelis-majelis luaskanlah, maka luaskanlah (QS. Al-Mujadilah)
‫سبب النزول‬
Sebab Turun Ayat

Kedua, diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Qatadah. Konon, ada sekelompok kaum
Muslimin yang sering mengadakan pembicaraan dengan Rasulullah Saw., padahal tidak
ada kepentingan yang istimewa, paling-paling hanya untuk memperlihatkan simpatinya
kepada beliau. Sedangkan Rasulullah Saw. Selalu terbuka untuk setiap orang. Maka
turunlah ayat “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengadakan
pembicaraan dengan Rasul, maka sampaikan sedekah sebelurn kamu mengadakan
pembicaraan itu (QS. Al-Mujadilah
Ketiga, diriwayatkan oleh Mugatil, bahwa ada beberapa orang kaya yang sering
mengadakan pembicaraan dengan Rasululiah Saw. Dalam waktu yang cukup lama
sehingga para fakir miskin tidak berkesempatan untuk maksud yang sama. Akibatnya
sikap mereka membuat Rasulullah Saw. Tidak simpati. Lalu turunlah ayat “Apabila kamu
hendak mengadakan pembicaraan dengan Rasul... (QS. AlMujadilah
‫وجوه القراءات‬
Keragaman Qiraat
Pertama, firman Allah Swt., “Idzd qila lakum tafassahu fil majalis (apabila dikatakan
kepadamu, ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis’) (QS. Al-Mujadilah [58): 11)”
Jumhur ulama membacanya “tafassahi” dengan sin bertasydid, sementara Qatadah dan Al-
Hasan membaca “Tafasaha.”
Kedua, jumhur ulama membaca “Fil majlis” dalam bentuk mufrad (timggal) yang
maksudnya jamak. Sedang Ashim dan Qatadah membaca “al-majalisi” dalam bentuk
jamak.”
‫وجوه القراءات‬
Keragaman Qiraat
Ketiga, firman Allah Swt., “Unsyuza fansyuzt [‘berdirilah kamu’, maka berdirilah} (QS.
Al-Mujadilah {58}: 11)” Jumhur ulama membeca dhammah pada dua syin sekaligus.
Sedang Hamzah dan Al-Kisa’i membaca “Insyiza fansyizh” dengan syin dikasrah peda
keduanya. Al-Farra’ berkata, “Keduanya merupakan dialek Arab yang sama-sama fasihat”
seperti kata “ya’kaftina”, dan “ya'risyana.”
Keempat, Jumhur ulama membaca “Faqaddimu baina yaday najwakum shadaqatan
(hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)] (QS. Al-Mujadilah {58}:
12)” dalam bentuk mufrad. Akan tetapi, ia juga dibaca “shadagdtin” dalam bentuk jamak,
untuk jamak orang yang diajak bicara.”
‫وجوه اإلعراب‬
Keragaman I’rab
Pertama, firman Allah Swt., "Yafsahillahu lakum [niscaya Allah akan memberikan
kelapangan untumu] (QS. Al-Mujadilah [58]: 11). Kata “yafsahi” adalah fi'il mudhar? yang
di-jazm-kan karena ia merupakan jawab-thalab. Diharakati kasrah karena bertemu dua
huruf mati. Ini seperti membaca “Yarfa’illahu” yang fil mudhari-nya dibaca jazm karena ia
merupakan jawabul amr. Seakan-akan dikatakan: “Jika kamu memberikan kelapangan,
maka Allah Azza wa Jalla akan meninggikan kedudukan orang-orang Mukmin sebagai
balasan pemenuhan perintah””
‫وجوه اإلعراب‬
Keragaman I’rab
Kedua, firman Allah Swt., “Walladzina atul ‘ilma darajatin [dan orang-orang yang diberi ilmu] (QS. Al-
Mujadilah [58]: 11)” Menurut Abu Hayyan, ungkapan tersebut di-athaf-kan pada kalimat “Alladzina
Amant” berupa athaf shifat.
Sehingga maknanya adalah Allah mengangkat kedudukan orang-orang beriman yang berilmu beberapa
derajat. Dua sifat tersebut diperuntukkan untuk satu objek.
Ath-Thayyibi memilih pendapat bahwa dalam kalimat tersebut mestinya ada lafazh yang dikira-kirakan,
sesuai dengan arah pembicaraan sehingga pernyataan itu menjadi: Allah meninggikan (kedudukan)
orang-orang yang beriman selama di dunia dengan pertolongan dan penyebutan yang baik, selain itu juga
mengangkat orang-orang yang diberi beberapa derajat sebagai bentuk penghargaan untuk mereka.”
Ketiga, firman Allah Swt, ‘A-asyfaqtum an tuqaddima (apakah kamu takut (akan
Menjadi miskin)] (QS. Al-Mujadilah [58]: 13).” “an” dan kalimat setelahnya ditakwil mashdar menjadi
maf’ul dari “a-asyfaqtum.” Wallahu Alam.
‫لطائف التفسير‬
Rumusan Hukum Berdasarkan
Analisis Data Tafsir
Pertama, setelah Allah Swt. melarang kaum Mukminin berbuat sesuatu yang menimbulkan rasa
kebencian antar satu dengan lainnya, lalu dalam ayat-ayat ini Allah menyuruh mereka mengerjakan
sesuatu yang dapat menumbuhkan rasa mahabah dan cinta kasih. Karena para Sahabat ra. adalah
orang-orang yang gandrung sekali gntuk berdekatan dengan Nabi Saw. dan duduk di sampingnya
guna mendengarkan pengajiannya, maka mereka pun diperintahkan untuk memperluas tempat buat
duduk saudara-saudaranya yang baru datang guna membersihkan hati mereka. Inilah rahasia
diturunkannya ayat-ayat ini sesudah terlebih dahulu diturunkan ayat-ayat melarang berbincang yang
membawa dosa dan permusuhan
Kedua, pada permulaan ayat ini, Allah menuturkan kedudukan kaum Mukmin kemudian diikuti
dengan menyebut kedudukan para ulama (cendekiawan), yang dalam istilah gramatika bahasa Arab
disebut “‘athaf al-khash ‘ald al-am", sebagai upaya mengagungkan kedudukan para ulama yang
seolah-olah mereka itu suatu jenis tersendiri. Justru itu, isim maushul “alladzina” dalam ayat tersebut
diulang dua kali; “alladzina Amanu” dan “walladzina utul ‘ilma”
‫لطائف التفسير‬
Rumusan Hukum Berdasarkan Analisis Data Tafsir
Ketiga, kaum Muslimin diperintahkan untuk membawa sedekah ketika hendak mengadakan pembicaraan
dengan Rasulullah Saw. memiliki beberapa keuntungan: a. Menunjukkan kebesaran Rasulullah Saw. dan
keagungan bermunajat (berbincang) dengan beliau. b. Sedekah itu berguna sekali bagi kesejahteraan fakir
miskin (karena seluruh sedekah tersebut diperuntukkan buat mereka, sebab Nabi sendiri tidak boleh makan
sedekah). c. Supaya orang tidak malas bertanya kepada Rasulullah Saw. d. Untuk membedakan antara mukmin
yang mukhlis dan yang munafiq, serta mencintai dunia dan akhirat
Keempat, dalam firman Allah Swt. “Maka sampaikanlah sedekah sebelum kamu mengadakan pembicaraan
(QS, Al-Mujadilah [58]: 12) terdapat kata yang maknanya dipinjam. Oleh para ulama ahli balaghah
diistilahkan dengan “isti’arah tamtsiliyah”, Yaitu kata-kata “yaday” (dua tangan), sehingga percakapan itu
diibaratkan seperti Manusia yang mempunyai “dua tangan” yang berarti di depan/sebelum. Sementara ada
yang berpendapat “istiarah makniyah”, yaitu dipersamakan percakapan itu dengan manusia, lalu kata manusia
(sebagai musyabbah bih) dibuang dengan cukup disebut ciri-cirinya Saja
‫لطائف التفسير‬
Rumusan Hukum Berdasarkan Analisis Data Tafsir

Kelima, Al-Qur’an menyiarkan pujian yang tinggi tentang kedudukan para ul


berikut kedudukannya di hadapan Allah Swt. Kiranya, cukup penghormatan dan
penghargaan terhadap mereka, apa yang disampaikan Rasulullah Saw. dalam
sebuah haditsnya:
ْ َ‫ت َوهُ َو ي‬
ٌ‫طلُبُ ْال ِع ْل َم لِيُحْ يِ َي بِ ِه اإْل ِ ْساَل َم فَبَ ْينَهُ َوبَي َْن النَّبِيِّي َْن َد َر َجة‬ ُ ‫َم ْن َجا َءهُ ْال َم ۧو‬
“Siapa yang direnggut oleh kematian di saat dia sedang mencari ilmu yang
dengan ilmu itu dia bisa menghidupkan Islam, maka letak dia dan para Nabi (di
akhirat kelak) hanya satu tingkat”
‫األحكام الشرعية‬
Produk Hukum Dari Hasil Penafsiran

pertama Apa maksud “al-majdlis"? Para Ulama ahli tafsir berbeda pendapat mengenai maksud kata “al-
majalis” dalam ayat tersebut. Mereka terbagi dalam tiga mazhab: pertama, yang dimaksud ialah majelis
pada masa Rasulullah Saw. saja. Yang Berpendapat demikian, ialah Mujahid. Kedua, yang dimaksud
ialah majelis peperangan dan tempat menunggu pertempuran, Karena Para sahabat itu sangat gandrung
untuk mati syahid sehingga mereka enggan persenang-senang, Yang berpendapat demikian ialah Ibnu
Abbas dan Al-Hasan. Ketiga, yang dimaksud ialah majelis mudzakarah (pengajian) secara umum. Yang
perpendapat demikian ialah Qatadah, dan itulah yang benar. Ath-Thabari mengatakan: “Pendapat yang
benar dalam masalah ini ialah pendapat yang mengatakan, bahwa Allah Swt. dalam menyebutkan urusan
orang-orang Mukmin ialah ‘supaya mereka itu memperluas majelis.’ Di situ Allah tidak mengkhususkan.
Keduanya juga disebut majelis. Justru itu ‘majelis’ yang dimaksud dalam ayat di atas adalah semua
majelis, baik majelis Rasulullah Saw. maupun majelis pertempuran/peperangan”. Al-Qurthubi juga
mengatakan: “Yang betul, majelis yang dimaksud dalam ayat di atas adalah umum, meliputi semua
majelis di mana kaum Muslimin bertemu untuk membicarakan kebajikan dan pahala, baik itu majelis
peperangan, majelis zikir atau pun majelis Jumat. Masing-masing berhak mendapat tempat”
‫األحكام الشرعية‬
Produk Hukum Dari Hasil Penafsiran
Kedua, Bolehkah menempati tempat duduk orang lain tanpa seizinnya? Ayat di atas menunjukkan adanya keharusan untuk memperluas tempat bagi Orang
yang baru datang. Ini termasuk akhlak mulia yang diajarkan Islam. Tetapi seorang tidak diperkenankan menyuruh orang lain berdiri untuk ditempatinya sendiri,
‫ َ َو‬ª‫حُوْ ا َو‬ª‫س‬ªªª‫ت‬
Rasulullah Saw. bersabda: ‫وْ ا‬ª‫س َُّع‬ªªª‫ت‬ ‫ َو َ ِك‬ª‫ْه‬ªªª‫ف‬
َّ َ‫ ْن َ ف‬ªª‫ل‬ ª‫ ُ َّم‬ª‫ه‬ªِ ‫رج َُل ِم ْن َمجلِ ِس‬ªª‫ا‬
ِ ‫جْ لِ ُس ِ ي‬ªª‫ َ ي‬ªªª‫ث‬ َّ ‫َّرج ُُل ل‬ªª‫ لا‬ª‫ي ُْم‬ªª‫‘ اَل ُ قِي‬Seseorang tidak boleh mendirikan orang lain dari tempat duduknya
kernudian dia Sendiri duduk di situ, tetapi hendaklah kalian memperluas dan memperlebar.
Ketentuan hukum telah berjalan, bahwa yang datang lebih dahutu itulah yang lebih berhak atas majelis tersebut, yaitu dalam majelis yang mubah. Sedang orang
yang baru datang hendaklah duduk di mana dia sampai di majelis tersebut. Tetapi, menurut etika sosial, bahwa orang-orang penting itulah yang diutamakan. Ini
sudah menjadj kebiasaan masyarakat, baik yang masih primitif maupun yang modern.
Etika yang luhur ini pun berlaku di kalangan para Sahabat dalam majelis Rasulullah Saw. Mereka biasa mendahulukan kelompok Muhajirin, mereka yang
berpengetahuan luas maupun yang tua. Maka apa yang dilakukan Rasulullah Saw. Terhadap pejuang Badar, di antaranya ialah Tsabit bin Qais, ini adalah untuk
mengajari orang-orang tentang akhlak mulia. Lebih-lebih kaum Anshar yang mulia dan berpengetahuan.
Ibnu Al-‘Arabi meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas bin Malik ra. Ia berkisah: “Ketika kami bersama Rasulullah Saw. Berada di masjid, sementara para
Sahabat duduk mengelilingi beliau, tiba-tiba Ali bin Abu Thalib datang, lalu beliau berdiri sambil memberi salam, kemudian ia pun melihat sebuah tempat
duduk yang membimbangkannya. Rasulullah Saw, memperhatikan wajah para Sahabatnya, mana kira-kira yang dapat memberi tempat kepada Ali. Waktu itu
Abu Bakar duduk di sebelah kanan Nabi Saw., lalu ia pun bergeser dari tempat duduknya untuk Ali, seraya berkata, ‘Di sinilah, hai Abul Hasan!’ Kemudian, Ali
duduk di dekat Nabi Saw. Pun menyatakan kepada Abu Bakar, “Hai Abu Bakar, hanya orang-orang penting yang tahu perkara penting untuk orang penting.”
‫األحكام الشرعية‬
Produk Hukum Dari Hasil Penafsiran
Dalam kitab Shahih Al-Bukhari juga dituturkan, bahwa Umar bin Al-Khathab pernah mendahulukan
Abdullah bin Abbas daripada sahabat-sahabat lainnya. Lalu para Sahabat itu memprotes Umar.
Kemudian Umar mengundang mereka berikut Ibnu Abbas sendiri, seraya menanyakan kepada mereka
tentang tafsir surah “Idza ja’a nashrullahi wal fath” Namun, mereka diam, tidak menjawab sepatah kata
pun. Lalu Ibnu Abbas menerangkan, “Itu menandakan sudah dekatnya ajal Rasulullah Saw” Lalu, Umar
menjawab, “Aku tidak tahu tentang ayat tersebut, melainkan aps yang engkau katakan itu.” Selanjutnya
Umar mengatakan kepada para Sahabat yang Jain. “Itulah sebabnya saya kedepankan anak muda ini”
Kemudian apabila seseorang meninggalkan tempat duduknya karena sesuatu keperluan, lalu dia kembali
lagi, maka dialah yang lebih berhak atas tempat tersebut. Demikian, sebagaimana disabdakan Rasulullah
Saw.:
ٌّ ‫َم ْن قَا َم ِم ْن َمجْ لِ ِس ِه ثُ َّم َر َج َع إِلَ ْي ِه فَه َُو أَ َح‬
‫ق بِ ِه‬
‘Siapa yang berdiri dari tempat duduknya, kemudian kembali lagi, maka dialah yang lebih berhak atas
tempat tersebut’
‫األحكام الشرعية‬
Produk Hukum Dari Hasil Penafsiran
Ketiga. Bolehkah berdiri untuk menghormati orang penting? jumhur fuqaha berpendapat, seseorang boleh berdiri dari
tempat duduknya untuk genghormati orang penting yang baru datang, apabila orang penting tersebut orang baik-baik dan
beragama Islam. Sebab menghormat seorang Muslim itu hukumnya wajib, sedang menghormatinya demi keagamaan dan
kebaikannya itu termasuk yang diserukan oleh Islam. Karena hal tersebut merupakan jalan menuju tercapainya perasaan
cinta dan kasih sayang. Rasulullah Saw. menegaskan secara umum:
َ ‫ك َو أَ ْن‬
َ ُ‫ت ُم ْنبَ ِسطٌ إِلَي ِه َوجْ ه‬
‫ك‬ َ ‫ف َو أَ ْن تُ َكلِّ َم أَ َخا‬
ِ ‫اَل تَحْ قِ َر َّن َش ْيئًا ِم َن ْال َم ْعر ُْو‬
‘Janganlah engkau meremehkan sesuatu kebaikan, kendati misalnya engkau hanya berkata kepada saudaramu sambil
menghadapkan wajahmu kepadanya’. Jadi, berdiri untuk menghormati seseorang yang baru datang itu boleh. Asalkan orang
yang dihormati itu bukan orang fasik, tidak menyebabkan kesombongan dan riya, dan selama tidak menyusahkan orang
lain. Misalnya keluar masuk majelis, maka dimakruhkan. Terkait persoalan ini, Ibnu Katsir mengatakan: Tentang kebolehan
berdiri untuk menghormati orang yang datang itu, ada beberapa pendapat ulama: Pertama, ada yang memperbolehkan.
Mereka beralasan dengan redaksi hadits: ª‫ ِد ُك ْم‬ªِّ‫ي َسي‬ªª‫و ُموا ِ َلَّإ‬ªª‫“ ُ ْق‬Berdirilah untuk (menghormat) tuanmu”. Kedua, ada pula yang
melarangnya. Mereka beralasan dengan hadits:
ْ
ِ َّ‫َم ْن أَ َحبَّ أَ ْن يَ ْمثُ َل لَهُ الرِّ َجا ُل قِيَا ًما فَ ْليَتَبَ َّوأ َم ْق َع َدهُ ِم َن الن‬
‫ار‬
“Siapa yang suka dihormati oleh manusia dengan berdiri, maka bersiap-siaplah untuk duduk di neraka”.
‫األحكام الشرعية‬
Produk Hukum Dari Hasil Penafsiran
Ketiga, ada pula yang merincikan sebagai berikut, boleh berdiri apabila yang baru datang itu dari bepergian jauh atau yang datang itu
seorang hakim di tempat kekuasaannya. Dasarnya adalah kisah Saad bin Mu’adz. Ketika diangkat oleh Nabi Saw, sebagai penguasa di
wilayah Bani Quraizhah. Lalu, Nabi Saw. Melihat dia datang. Kemudian beliau bersabda kepada kaum Muslimin, “Berdirilah untuk
(menghormat) tuanmu? Ini, tidak lain demi wibawa hukumnya. Wallahu a’lam.”

Jumhur ulama membolehkan berdiri untuk menghormati orang yang baru datang, terkecuali terhadap orang fasik, pendurhaka, pelaku dosa
besar, odisanjung-sanjungl dengan kesombongannya dan orang yang suka disanjung-sanjung.

Adapun hadits, “Siapa yang suka dihormati manusia dengan berdiri.., yang dijadikan dalil oleh golongan yang melarangnya itu sebenarnya
kurang sesuai untuk dijadikan dalil, sebab di situ Rasulullah Saw. Tidak menyebutkannya dengan mutlak, tetapi diikat dengan suatu sifat
yang menunjukkan pada kesombongan dan suka disanjung-sanjung, yaitu kalimat “suka dihormati...” Rasulullah Saw. Dalam haditsnya itu
tidak menyatakan “Siapa yang dihormat manusia dengan berdiri...” Tidak syak lagi, bahwa sifat ini tidak sesuai kecuali terhadap orang yang
sombong. Antara dua kalimat tersebut jauh berbeda, justru itu tidak boleh dilupakan.

Adapun alasan yang lain, bahwa berdiri itu salah satu rukun shalat, karena itu diharamkan berdiri menghormat orang, karena hal itu
menyerupai ibadah.., menunjukkan suatu kebodohan yang tidak layak keluar dari mulut seorang pakar figih yang alim yang hendak ber-
isthinbath (mengeluarkan) hukum-hukum agama.
‫األحكام الشرعية‬
Produk Hukum Dari Hasil Penafsiran
Bagaimana mungkin berdiri ini dapat disamakan dengan rukun shalat, sedangkan shalat itu mempunyai beberapa
rukun, seperti: duduk, membaca Al-Qur’ an, tasyahud dan shalawat atas Nabi—menurut sebagian pendapat seperti
yang masyhur dalam mazhab Syafi’i—maka apakah boleh seseorang mengatakan duduk di hadapan seorang alim
itu hukumnya haram, lantaran duduk itu salah satu rukun shalat?, Membaca Al-Qur’an di hadapan seseorang juga
haram, karena membaca Al-Qur’an itu salah satu rukun shalat? Membaca shalawat itu salah satu rukun shalat?
Mengiaskan berdiri dengan ruku’ dan sujud dalam hal haramnya berdiri menghormat orang yang baru datang itu
adalah suatu qiyas yang jauh berbeda, dan merupakan giyas yang batil. Sebab ruku’ dan sujud memang tidak boleh
untuk selain Allah, sebagaimana ditegaskan Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadits beliau:
‫ت ْال َمرْ أَةَ أَ ْن تَ ْس ُج َد لِ َز ْو ِجهَا‬
ُ ْ‫ت ٓا ِمرًا أِل َ َح ٍد أَ ْن يَ ْس ُج َد أِل َ َح ٍد أَل َ َمر‬
ُ ‫لَ ْو ُك ْن‬
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang sujud ke hadapan seseorang, niscaya akan kuperintahkan seorang
istri bersujud di hadapan suaminya.”
Masalah larangan sujud ini adalah berdasar nash yang jelas. Adapun masalah perdiri. Duduk dan berbaring (dalam
kasus penghormatan ini) tidak bisa dipersamakan gengan sujud dan ruku’, Kiranya, cukup bagi kita untuk
membuktikan kebodohan dan kepicikan ilmunya
‫األحكام الشرعية‬
Produk Hukum Dari Hasil Penafsiran
Keempat, Apakah memberikan sedekah ketika hendak mengadakan percakapan dengan Nabi Saw. Hukumnya wajib?
Dalam ayat dikatakan “Maka sampaikanlah sedekah sebelum kamu mengadakan percakapan dengan Nabi (QS. Al-Mujadilah (58]:
12).” Tentang masalah ini para ulama berbeda pendapat, apakah perintah itu menunjukkan wajib atau sekadar sunnah?
Pertama, sebagian ulama yang berpendapat wajib. Pendapatnya ini diperkuat dengan kelanjutan ayat, “Tetapi jika kamu tidak
mendapatkan (barang sesuatu), maka sesungguimya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Mujadilah (58): 12)”
Bentuk ungkapan seperti ini tidak bisa dikatakan lain selain wajib yang tidak boleh ditinggalkan.
Kedua, sebagian yang lain berpendapat sunnah. Ini, berdasar firman Allah dalam kelanjutan ayat tersebut, “Bahwa yang demikian itu
lebih baik bagi kamu dan lebih bersih (QS. Al-Mujadilah [58]: 12).” Ungkapan seperti ini merupakan garinah (indikasi) untuk
memalingkan makna perintah (yang semula menunjukkan wajib) kepada arti lain, yang biasa dipergunakan untuk arti sunnah, bukan
wajib. Ditambah lagt dengan alasan lain, yaitu firman Allah dalam ayat berikutnya, “Apakah kamu merasa keberatan untuk
menyampaikan sedekah (kepada Nabi) sebelum kamu mengadakan pembicaraan itu? (QS. Al-Mujadilah [58]: 13)” Penegasan ini
cukup menjadi alasan untuk menghilangkan kemungkinan wajib dalam perintah sehingga dengan demikian perintah itu tetap menjadi
sunnah.”
Namun demikian, tampaknya para ulama sepakat bahwa ayat “membawa sedekah” itu dinasakh dengan ayat sesudahnya yaitu
“apakah kamu merasa keberatan untuk menyampaikan sedekah....” Hanya saja mereka masih berbeda pendapat tentang batas
ditangguhkannya yang menasakh dari yang dinasakh. Ada yang berpendapat, bahwa Perintah membawa sedekah itu masih tetap
berlangsung sampai sepuluh hart, kemudian baru dinasakh. Sementara ada pula yang berpendapat, bahwa perintah membawa ‘edekah
itu berlangsung beberapa saat di siang hari saja, sesudah itu lalu dinasakh,
‫األحكام الشرعية‬
Produk Hukum Dari Hasil Penafsiran
Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib ra., ia mengatakan:
“Sungguh dalam Kitabullah ada sebuah ayat yang belum pernah diamalkan oleh siapa
pun sebelumku, bahkan juga sesudahku. Yaitu, aku pernah mempunyai uang 1 dinar,
yang kutukar dengan 10 dirham. Kemudian ketika aku hendak tmengadakan percekapan
dengan Rasulullah Saw., kuserahkan kepada beliay barang 1 dirham sebelum percakapan
itu dimulai. Kemudian ayat itu dinasakh, tebelum orang lain mengamalkannya.”
Al-Qurthubi mengatakan:
“ini menunjukkan dibolehkannya menasakh ayat sebelum diamalkan. Adapun yang
diriwayatkan dari Ali itu lemah, sebab Allah Ta’ala sendiri berfirman “Tetapi jika
sekiranya kamu tidak mengerjakan..., menunjukkan, ada seseorang yang sama sekali
tidak membawa sedekah. Wallahu a’lam”
Pertama, wajib memberi tempat duduk kepada orang yang baru
datang, karena yang demikian itu termasuk akhlak mulia.
‫حكمة التشريع‬ Kedua, memberi tempat duduk kepada orang Mukmin adalah
sebab rahmat Allah Swt. dan jalan menuju keridhaan-Nya.
Hikmah dan Ketiga, keluhuran, kehormatan, dan kemuliaan seseorang di sisi
Kontekstualis Allah adalah lantaran ilmu dan imannya.
Keempat, wajib menghormat Nabi Saw. dan bersungguh-sungguh
asi untuk mengadakan percakapan ilmu dengan beliau.
Kelima, menyampaikan sedekah sebelum dimulai percakapan
adalah suatu manifestasi penghormatan atas Nabi Saw.
Keenam, penghapusan hukum syariat demi kemaslahatan manusia
adalah suatu bentuk keringanan dari Allah kepada hamba-Nya.
Ketujuh, shalat dan zakat adalah rukun Islam yang paling besar.
Oleh karena itu,
Al-Qur‘an dalam beberapa ayatnya selalu menyebutkan dua rukun
tersebut secara beriringan.

Anda mungkin juga menyukai