Anda di halaman 1dari 127

Teknik untuk mempelajari

struktur dan fungsi


makromolekul
Bagian I

SPEKTROFOTOMETER UV/VIS
Transmitan (T) dan Absorban (A)
• Intensitas sinar datang, Po,
akan berkurang akibat:
– Peristiwa pemantulan sinar oleh
dinding antarmuka sel. Sinar
Sinar
– Akibat scattering oleh molekul Datang, Po Keluar, P
yang besar.
– Absorpsi oleh bahan material
dinding sel.
• Untuk mengkompensasi efek di
atas, kekuatan sinar yang
dilewatkan oleh larutan sampel
biasanya dibandingkan dengan
kekuatan sinar yang dilewatkan
oleh sel yang sama/identik yang
hanya mengandung pelarut.
T = Plarutan / Ppelarut = P / Po A = log ( Ppelarut / Plarutan )
A  log ( P / Po )
Hukum Beer
• Hukum Beer, menyatakan hubungan yang linier
antara absorban dan konsentrasi.
Po
A   log T  log   bc
P
• Bila terdapat lebih dari satu senyawa yang
menyerap yang tidak bereaksi satu sama lain,
maka
Atotal = A1 + A2 + … + An
Penyimpangan terhadap hukum Beer

• Konsentrasi tinggi (biasanya > 0.01 M)


– Mempersempit jarak antar molekul absorber hingga
dapat saling mempengaruhi distribusi muatan molekul
tetangganya.
– Mempengaruhi nilai indeks bias (n) larutan. Untuk
mengoreksi  harus diganti dengan
n / (n2 + 2)2
• Disosiasi, asosiasi absorber, atau reaksi dengan
pelarut menghasilkan produk yang memiliki
spektrum absorpsi berbeda.
Absorpsi
• Absorpsi UV/VIS suatu absorber M dapat
dianggap terjadi dalam dua tahap:
– Pertama  eksitasi elektronik
M + hv  M* (spesi yang tereksitasi)
Lifetime spesi M* ~ 10-8 – 10-9 detik
– Terminasi M* melalui beberapa proses relaksasi.
• Pengubahan energi tereksitasi menjadi kalor
M*  M + kalor
• Pada saat relaksasi dapat juga terjadi dekomposisi M* menjadi
spesi baru. Peristiwa ini disebut reaksi fotokimia.
• Terjadi reemisi radiasi fluoresensi atau fosforesensi
Aplikasi UV/VIS
Absorpsi UV/VIS biasanya terjadi sebagai
hasil dari eksitasi elektron ikatan, akibatnya:
– Panjang gelombang puncak absorpsi dapat
dikorelasikan dengan jenis ikatan dalam spesi
yang dipelajari.
– Dapat digunakan untuk mengidentifikasi gugus
fungsi molekul absorber.
– Menentukan konsentrasi senyawa yang
mengandung gugus pengabsorpsi.
Tipe elektron pengabsorpsi

Elektron yang berkonstribusi pada


absorpsi suatu molekul organik adalah:
– Elektron yang berpartisipasi langsung dengan
pembentukan ikatan antar atom, sehingga
berkaitan dengan lebih dari satu atom
– Elektron non-ikatan terluar yang terlokalisasi,
seperti pada atom oksigen, nitrogen, sulfur
dan halogen.
Orbital molekul

• Bila dua orbital atom bergabung


hingga overlap (dalam
pembentukkan ikatan kovalen), antibonding
maka akan terbentuk orbital
molekul ikatan berenergi rendah E
dan orbital molekul antibonding
berenergi tinggi.
• Elektron dari suatu molekul akan
mengisi keadaan dasar dari
orbital molekul ikatan.
Bonding
Tipe orbital molekul
• Orbital molekul yang
berasosiasi dengan ikatan H H
tunggal pada molekul H C C H
organik adalah orbital sigma H H Orbital 
().
• Orbital molekul berasosiasi
untuk ikatan rangkap ada
dua: orbital sigma () untuk H H
pasangan yang satu dan H C C H
orbital pi () untuk H H
pasangan yang lain.
• Untuk orbital nonbonding
disimbolkan dengan n.
Orbital 
Transisi elektronik:   *
Empat transisi eletronik yang
mungkin:
Transisi   *. Transisi ini
Antibonding
memerlukan energi yang *
sangat besar yang
sebanding dengan frekwensi * Antibonding
radiasi daerah UV vakum.

  *

n  *
  *

n  *
Contohnya:

Energi
-Metana (CH4)  max = 125
Nonbonding
nm n
-Etana (C2H6)  max = 135
nm  Bonding

Mengapa max untuk etana


lebih panjang dari pada 
Bonding
metana?
Transisi n  *
• Senyawa karbon jenuh yang
memiliki atom dengan Contoh:
pasangan eletron bebas (tidak Zat max(nm) max
berikatan) dapat melakukan
transisi n  *. -----------------------------------
• Transisi ini dapat berlangsung H2O 167 1480
oleh radiasi pada panjang CH3OH 184 150
gelombang 150-250 nm,
CH3Cl 173 200
dimana sebagian besar puncak
absorpsi terjadi pada  lebih CH3I 258 365
pendek dari 200 nm. (CH3)2O 184 2520
• Serapan maksimum cenderung
CH3NH2 215 600
bergeser pada  lebih pendek
dengan adanya pelarut polar, (CH3)3N 227 900
seperti air dan etanol. ----------------------------------
Transisi n  * dan   *
Transisi n  * Transisi   *
• Absorptivitas molar • Absorptivitas molar
umumnya rendah berkisar umunya tinggi berada
antara 10 – 100 L cm-1 mol- pada kisaran 1000 –
1
10.000 L cm-1 mol-1.
• Bertambahnya polaritas • Bertambahnya polaritas
pelarut akan menyebabkan pelarut akan menyebabkan
pergeseran max ke nilai pergeseran max ke nilai
yang lebih pendek (efek yang lebih panjang (efek
hipsokromik). batokromik).
Kromofor organik
----------------------------------------------------------------------------------
Kromofor Contoh Pelarut max(nm) max Tipe transisi
----------------------------------------------------------------------------------
Alkena C6H13CH=CH2 n-heptana 177 13.000   *
Alkuna C5H11CC-CH3 n-heptana 178 10.000   *
196 2.000 -
225 160 -
Karbonil CH3COCH3 n-heksana 186 1.000 n  *
280 16 n  *
CH3CHO n-heksana 180 besar n  *
293 12 n  *
Karboksil CH3COOH etanol 204 41 n  *
----------------------------------------------------------------------------------
Efek konjugat dari kromofor
Dalam orbital molekul, elektron  dapat terdelokalisasi oleh konjugasi. Efek
dari delokalisasi ini adalah menurunkan tingkat energi orbital *. Akibatnya
absorpsi maksimum akan bergeser ke  yang lebih panjang.
Contoh:
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Senyawa Tipe max(nm) max
-------------------------------------------------------------------------------------------------
CH3CH2CH2CH==CH2 Olefin 184 10.000
CH2==CH(CH2)2CH==CH2 Diolefin (unconjugated) 185 20.000
H2C==CHCH==CH2 Diolefin (terkonjugasi) 217 21.000
H2C==CHCH==CHCH==CH2 Triolefin (terkonjugasi) 250 -
CH2==CHCOCH3 ,-unsaturated ketone 324 24
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Efek konjugasi adalah aditif.
Kromofor UV di dalam protein
Daerah UV dekat dari spektrum (250-350 nm) mengandung
transisi * energi terendah dari tiga asam amino
aromatik: fenilalanin, tirosin dan triptofan.
------------------------------------------------------------------
Asam amino max(nm) (mM-1cm-1)
------------------------------------------------------------------
Fenilalanin 257 0.2
Tirosin (pH 7.4) 275 1.4
Tirosinat (pH 12) 294 2.3
Triptofan 280 5.6
------------------------------------------------------------------
Aplikasi UV untuk analisis protein
• Analisis kwantitatif
– Penentuan konsentrasi
– Penentuan jumlah Tyr dan Trp yang terekspos
pada permukaan protein
• Analisis unfolding/refolding
• Analisis struktur sekunder
• Interaksi protein-ligan
Metode Warburg-Christian
• Prinsip: Metode ini didasarkan pada
absorbansi Tyr and Trp pada 280 nm.
A280 =   l  [protein]
• Molar absorptivitas () harus ditentukan baik
secara eksperimen maupun melalui
perhitungan.
Penentuan koefisien extingsi molar dari protein
• Dari hubungan Beer-Lambert diketahui bahwa untuk
menentukan konsentrasi perlu diketahui besarnya
koefisien extingsi molar dari suatu sampel.
A=xcxl
• Hanya Trp, Tyr dan ikatan disulfida yang memberikan
absorban dari protein pada panjang gelombang UV biasa
(270 nm-300 nm).

Nilai rata-rata dari Nilai (M-1cm-1) untuk senyawa model


Kromofor 280(M-1cm-1) dari dalam 6.0 GdmCl pada panjang
protein nativ gelombang (nm)
276 278 279 280 282
Tirosin 1490 1450 1400 1345 1280 1200
Triptofan 5500 5400 5600 5660 5690 5600
Cystine 125 145 127 120 120 100
Metode 1: Perhitungan koefisien extingsi molar
dari suatu protein
1. Pastikan bahwa protein tidak mengandung ligan atau
gugus prostetik yang menyerap pada  antara 250 –
300 nm.
2. Hitung jumlah residu Trp (nTrp) dan Tyr (nTyr) dalam
urutan protein.
3. Hitung jumlah ikatan disulfida. Bila jumlahnya tidak
diketahui, ikuti asumsi berikut:
 Untuk protein sitosolik jumlah ikatan disulfidanya adalah nol
 Untuk protein yang disekresi, jumlah ikatan disulfidanya adalah
nSS = nCys/2
4. Hitung nilai koefisien extingsi molar dengan persamaan
berikut
280[M-1cm-1] = 5500  nTrp + 1490  nTyr + 125  nSS
Metode 2: Penentuan extingsi molar dari
protein native dan unfolded
1. Siapkan dua larutan protein (nativ dan
denatured) dengan konsentrasi yang sama.
2. Ukur absorban kedua protein pada panjang
gelombang 276, 278, 279, 280, dan 282 nm.
3. Karena [protein] pada kedua sampel sama, maka
C N = CD
AN / N = AD / D
N = D  (AN / AD)
4. Untuk menghitung D pada berbagai panjang
gelombang gunakan persamaan pada metode 1
Koreksi untuk asam nukleat

• Asam nukleat menyerap


kuat pada 260 nm,
sehingga harus ada
koreksi bila asam nukleat
ada dalam larutan protein.
• [Protein] kasar dapat
dihitung dengan formula
Schleif-Wensink (1981)
[Protein], mg/ml = 1.55A280 –
0.76A260
Koreksi terhadap scattering
• Bila ukuran protein, terutama
kompleks protein kira-kira
sebanding dengan panjang
gelombang pengukuran (biasanya
memiliki jari-jari > 10 nm), maka
jumlah caya yang di scatter
menjadi signifikan, menghasilkan
kenaikan nilai kerapatan optik
(OD).
• Menurut teori scattering cahaya
Rayleigh, intensitas cahaya yang
discatter sebanding dengan 1/4.
Jadi adanya scattering biasanya
teramati oleh adanya absorbansi Spectrum kompleks
yang menurun pada nonabsorbing Protein PRP-OMPC
region (>320 nm). logOD-log antara
• Koreksi terhadap scattering:
320-350 nm
OD(280) = 10[2.5logOD(320) – 1.5logOD(350)]
Spektrum terkoreksi
Koreksi scattering dengan spektrum
turuan kedua
Light scattering
component
• Spektrum turunan kedua
hanya sensitif terhadap fine Original spectrum
spectral feature dari asam + Light scattering-
Corrected spectrum
amino aromatik tetapi tidak
terpengaruh oleh adanya pita
spektrum yang melebar
sebagai efek dari scttering.
• Puncak turunan kedua juga
memenuhi hukum Lambert-
Beer dan dapat diintegralkan
untuk mendapatkan
konsentrasi.
Metode beda spektra tirosinat
• Metode yang lebih akurat dalam menentukan [protein] adalah
didasarkan pada perubahan absorban dari residu Tyr bila
terionisasi pada pH tinggi.
• Metode di atas didasarkan pada fakta :
1. Beda koefisien extingsi untuk Tirosinat minus Tirosin relatif
konstan pada sebagian besar protein.
2. Transisi   * untuk Trp tidak dipengaruhi oleh kenaikan pH
• Konsentrasi protein ditentukan dalam mM
[Protein] = (A295 nm/2,330 x N) x 10
 A295 nm= A295 nm dari beda spektrum antara pH 12.0 – pH 7.4
– 2,330 = beda koefisien ekstingsi molar antara tirosinat – tirosin
– N = jumlah residu Tyr dalam protein
– 10 = Faktor pengenceran
Penentuan jumlah Tyr dan Trp yang
terekspos pada permukaan protein

Trp Terekspos
Tyr Ke solvent
Solvent Perturbation Spectroscopy
Prinsip:
“Residu yang terekspos dipermukaan akan mengalami
perubahan lingkungan bila komposisi pelarut diubah,
sedangkan residu yang terkubur di dalam interior protein,
bila tidak ada denaturan, tidak dipengaruhi oleh komposisi
pelarut”

Trp Terekspos
Tyr Ke solvent
Solvent Perturbation Spectroscopy
• Bila absorpsi UV suatu protein
diukur dalam suatu buffer tertentu
dan kemudian diukur kembali
pada buffer yang mengandung
20% etilen glikol, maka
perbedaan yang terukur dapat
dihubungkan dengan residu yang
terdapat pada permukaan
protein.
• Perbedaan ini dapat diperjelas
dengan mengambil beda antara
dua spektra. Contoh beda
spektra untuk Tyr dan Trp yang
diukur pada buffer yang
mengandung dan tanpa 20%
etilen glikol.
Solvent Perturbation Spectroscopy
Koefisien extingsi molar N-asetil tirosin ester (Tyr) dan N-asetil triptofan
etil ester (Trp) untuk berbagai perturbant dalam larutan air.

max  pada max Trp max  pada max Tyr


Perturbant
Trp TRP TYR Tyr TRP TYR
90% D2O 292.0 -203.6 -12.2 285.5 -120.0 -67.1
20% Metanol 291.5 235.4 16.8 285.5 135.9 75.5
20% DMSO 292.5 489.5 35.5 286.0 168.4 213.7
20% Etilen glikol 292.0 305.1 16.1 285.5 172.2 92.1
20% Glicerol 292.0 304.4 12.9 285.0 195.6 79.8
20% Glukosa 292.5 192.2 6.2 286.0 94.3 187.0
20% Sukrosa 292.5 192.2 6.6 285.5 118.0 46.1
Aplikasi Solvent Perturbation Spectroscopy
• Penentuan jumlah Tyr dan Trp yang terekspos ke solvent.
• Tyr dan Trp dalam protein akan memberikan spektra yang
overlap. Oleh karena itu kita harus mengamati perubahan
pada lebih dari satu panjang gelombang.
– Contohnya bila digunakan 20% etilen glikol sebagai perturbant.
Diketahui bahwa max untuk beda spektra Tyr dan Trp adalah
masing-masing 286 dan 292 nm. Beda koefisien extingsi molarnya
juga telah diketahui dari tabel. Untuk menghitung jumlah residu Tyr
dan Trp dipermukaan protein, kita gunakan metode Herskovits dan
Sorensen:
292 = (a) Trp292 + (b) Tyr292
286 = (a) Trp286 + (b) Tyr286
Atau
292 = 305.1(a) + 16.1(b)
286 = 172.2(a) + 92.1(b)
– Dimana a dan b berturut-turut menyatakan jumlah asam amino Trp
dan Tyr yang terdapat pada permukaan protein
Raising temp.
Exposing to denaturant
Changing pH

Folded Unfolded
(N) (U)

Analisis Unfolding/Refolding
dengan spektroskopi UV
Folded-Unfolded Difference Spectra
• Saat protein unfold, residu
asam amino yang terkubur di
dalam interior non-polar dari
protein akan terekspos ke
dalam pelarut. Diantara residu
yang terkubur ini seringkali
terdapat tirsoin dan triptofan.
• Secara kualitatif unfolding
memberikan efek yang sama
seperti solvent perturbation.
Contoh BSA memberikan
pergeseran biru setelah
diekspos ke dalam larutan
GuCl 6M.
UV spectra untuk RNAse T1 wild type
dan varian Trp59Tyr
turun
Native
Wild Trp59 Unfolded
Type Tyr
RNAse T1
Wild type: 1 Trp; 9 Tyr
Trp59Tyr: 10 Tyr

Puncak Tyr
(287 nm)
Puncak Trp
(292 nm & 300 nm)
Kebergantungan Tyr dan Trp terhadap
konsentrasi denaturan

• Hasil pengukuran absorbansi Tyr pada 287 nm


dan Trp pada 291 nm menunjukkan kenaikan
dengan bertambahnya konsentrasi denaturan,
walaupun transisi struktur tidak terjadi. Hal ini
disebabkan terjadi pergeseran merah akibat
perubahan polaritas dari pelarut.
• Akibatnya meskipun tidak terjadi perubahan
struktur, absorbansi protein akan naik dengan
bertambahnya konsentrasi denaturan.
Tyr

Trp
Titrasi protein dengan denaturan

Titrasi BSA dengan guanidine hydrochloride diukur berdasarkan


beda absorbansi pada 287 nm antara sampel minus spektrum nativ
Kurva unfolding protein
• Konversi hasil pengukuran X baik
sebagai hasil dari spektroskopi
fluoresensi, CD, UV dll, bila kita
dapat mendefinisikan nilai unik
untuk suatu protein pada keadaan
terdenaturasi XD dan keadaan nativ
XN, maka nilai pengukuran pada
setiap kondisi larutan dapat
dituliskan:
X = fDXD + fNXN atau
X = fDXD + (1 – fD)XN
sehingga
Plot fraksi denaturasi (fD) untuk BSA
fD = (X – XN) / (XD – XN) sebagai fungsi dari konsentrasi Gdn.
Pada kasus ini XD dan XN adalah
• Bila mengambil data dari beda 0,11138 dan nol. Sehingga
spektra UV, maka A = X – XN. fD = A/0,11138
Energi bebas Gibbs untuk reaksi denaturasi

N↔D
K = [D]/[N]
K = fD/fN = fD/(1 – fD)
G = -RT ln K

GH2O
Perbandingan kurva unfolding protein hasil
pengukuran dengan UV, fluoresence, dan CD
Kinetika proses refolding protein
Analisis Struktur Sekunder
protein dengan spektroskopi UV
Aplikasi spektroskopi UV jauh

250 nm Batas limit instrumen


(200 dan 180 nm)
Spektrum UV jauh struktur sekunder protein

• Ikatan peptida menyerap


pada 200 dan 220 nm.
• Ikatan peptida dalam bentuk
struktur sekunder -helix, -
sheet dan random coil
memberikan spektrum UV
jauh yang berbeda.
• Masalah:
– Kontribusi rantai samping asam
amino yang mengaburkan Spektrum UV jauh untuk poli-L-lisin
puncak ikatan peptida. hidroklorida. Random koil diukur pada
– Pengaruh dari perubahan pH 6,0 dan 25 oC;
konformasi. -helix diukur pada pH 10,8 dan 25 oC;
-sheet diukur pada pH 10,8 dan 52 oC.
Interaksi Protein-Ligand
dengan spektroskopi UV
Aplikasi dari spektrum UV turunan
kedua
Keuntungan spektra turunan kedua

• Spetra turunan kedua dapat menekan broad spectral


feature sebagai akibat dari adanya
– Serapan sistein
– Light scattering
– Absorban beberapa komponen buffer
– Absorban kofaktor
• Dapat memperlihatkan dengan jelas karakteristik
spektra asam amino aromatis di dalam protein.
Analisis interaksi protein-ligan dengan
spectra turunan kedua
Spektrofotometer Fluoresens
Spektroskopi Fluoresensi:
Proses Absorpsi S1
• Apabila saat molekul dikenai cahaya
(gelombang elektromagnetik) terjadi
E = hc/
transformasi dari ‘ground’ state ke S0
‘excited’ state, maka energy foton yang
diserap dari cahaya sebanding dengan
beda energy dari kedua state ini.
– UV dan VIS memiliki  berkisar antara 200-
800 nm atau sebanding dengan energi
C C
sekitar 14.3-35.8 kcal/mol.
• Absorpsi cahaya menyebabkan transisi
elektronik dari atom atau molekul.
– Untuk atom: transisi elektronik melibatkan C C 
promosi elektron orbital dari kulit terluar ke
orbital yang kosong.

– Untuk molekul: transisi elektronik
melibatkan promosi elektron dari ‘the
highest occupied molecular orbital’
(HOMO) ke ‘the lowest unoccupied Energy

molecular orbital’ (LUMO). Proses ini di


atur dengan aturan seleksi dan peluang C C C C
absorpsi foton yang direfleksikan dengan
besarnya nilai molar absorptiviti,  (M-1 cm-  
1).

   
Fenomena Fluoresensi dan Fosforesensi
• Fluoresensi adalah emisi
dari suatu singlet state,
dimana spin elektron +
dalam molekul
berpasangan. Ground Singlet

• Fosforesensi adalah
emisi dari triplet excited
state. Eksitasi triplet
- - -
melibatkan perubahan
orientasi spin dan ada tiga
Triplet
kemungkinan orientasi,
sehingga disebut sebagai
triplet.
Diagram Jablonski
Kompetisi proses
I deeksitasi
I
S2(0) I
Energi

3 ISC I
2 S1(0)
PR NR T1(0)
1 4
Phosphorescence
A
h

S0(0)
I = internal conversion S4 S3
PR = photoproduct formation
NR = non-radiative deactivation S2
ISC= intersystem crossing
h = radiative or fluorescence process
S1 Fluorescence
A

Phosphorescence

Panjang gelombang 
Berbagai proses deeksitasi
Absorpsi foton: setelah M(S0) + h  M(S1)
relaksasi vibrasi ke S1(0)

Intersystem crossing M(S1)  M(T1) kISC

Photochemistry M(S1)  Product kPR

Non-radiative relaxation M(S1)  M(S0) kNR

Radiative (fluoresence) M(S1)  M(S0) + h kR

Quenching M(S1) + [Q]  M(S0) + [Q] kQ[Q]

Resonance energy transfer M(S1) + Acceptor  M(S0) + Acceptor kET

M(S1) mewakili molekul dalam keadaan terkesitasi


Fluorescence quantum yield, F
• Quantum yield dari fluoresensi, F didefinisikan sebagai
F = jumlah foton yang diemisikan / jumlah total foton yang diabsorpsi
• Nilai maksimum dari F adalah 1.
• Bila dikaitkan dengan berbagai peristiwa deeksitasi, maka

F = kR / (kR + kNR + kISC + kPR)

• Apabila I0 adalah intensitas dari cahaya (foton per detik), maka intensitas
fluoresensi, IF (foton s-1) adalah
IF ~ (jumlah total foton yang diserap/s, IA). (F)
Menurut hukum Lambert-Beer:
A =  c l dan  c l = log(I0 / I)
dimana I adalah intensitas cahaya yang ditransmisikan dalam foton s -1.
IA = I0 – I = I0(1 – 10-cl)
dan
IF = I0(1 – 10- cl)(F)

sehingga intensitas fluoresensi bergantung pada intensitas cahaya, absrobansi


dari sampel pada panjang gelombang eksitasi, EX, dan F
E
(Emission ~10-15 sec)
Before phosphoresence
102 – 10–4 sec

Nonradiative

1 st

triplet
102 – 10-11 sec
rs
cro

~1
y
Emission lifetimes

0
Inte ssing
stem

-8 se
c

Internal
conversion

~10-12 sec
Absorption ~ 10-15 sec

Nonradiative ~ 10-8sec

Before fluorescence 10-8 sec

(Emission ~ 10-15 sec)


1st
2nd

singlet
singlet

state
Ground
Singlet and radiative lifetime
Apabila suatu sampel dieksitasi dengan pulsa cahaya
sangat sempit dan menghasilkan populasi molekul
dalam keadaann tereksitasi, maka dapat dituliskan
persamaan diferensial yang mengaitkan konsentrasi
M(S1) pada setiap saat, t, dengan berbagai proses
deeksitasi:
-dM(S1)/dt = (kR + kNR + kISC + kPR) M(S1) Imax

I, fluoresens
bila diintegrasi akan memberikan
M(S1)(t) = M(S1)(0)e-kt = M(S1)(0)e-t/
Secara definisi waktu hidup (S) dari keadaan
tereksitasi, M(S1) adalah Imax /e
S = 1/(kR + kNR + kISC + kPR)
Radiative (fluorescence) lifetime dari S1 didefinisikan
sebagai: t
R = 1/kR 
sehingga, quantum yield, F dapat direfolmulasi
menjadi
F = S / R
Jadi bila F dan S telah diukur, maka tetapan laju
molekul intrinsik, kR = 1/ R dapat dihitung.
Pengukuran quantum yield
• Quantum yield dapat
S M ( )  F ( M ) AM
diaplikasikan untuk menentukan 
efisiensi fluoresensi dari suatu S S ( )  F ( S ) As
sampel untuk mengaitkan
fluoresensi dengan sifat2 struktur
dan interaksi dari molekul. S M ( ) AS
• Pengukuran F umumnya  F (M )     F (S )
dilakukan dengan cara S S ( ) AM
membandingkan dengan standar
yang nilai mutlak F-nya telah
diketahui. Dimana SM() dan SS() adalah luas
SM() ~ F(M)AM daerah dibawah kurva untuk sampel
SS() ~ F(S)AS dan standar. Sedangkan AM dan AS
adalah absorban pada EX.
Standar untuk perhitungan quantum yield

Standar/kondisi Rentang spektra (nm) Eksitasi / (nm) F


N-Acetyltryptophanamide 300-450 280-300 0.14
(NATA)/aqueous buffer, pH
6-7, 20oC

Quinine sulphate/ 380-580 260-390 0.546


1 N H2SO4, 25oC

2-Aminopyridine/ 315-480 250-300 0.66


0.1 N H2SO4, 20oC

9,10-Diphenylanthracene/ 390-530 320-380 0.95


Ethanol, 20oC, degas
Bila pelarut standar berbeda dari sampel

2
n (sampel)
F    2
'
F
n (standar)

F = quantum yield terkoreksi


F’ = quantum yield belum terkoreksi (hasil
pengukuran)
n = indeks bias
Fluorescence Instrumentation
Source
Source

Excitation
Excitation sample
sample
monochromator
monochromator

Emission
Emission Detector
Detector
monochromator
monochromator

Electronics
Electronics
Fluorescence Spectroscopy
• Semua proses deeksitasi
radiatif selalu terjadi dari
tingkat vibrasi paling dasar
pada “first excited state”
(bilangan kwantum 0’).
• Mengapa spektrum
fluoresence berada pada 
lebih panjang dibanding
spektrum absorpsi?

04’
05’ 03’ 40’
02’ 30’
50’
Intensity

06’ 01’ 20’


Absorpsi 07’ 00’10’ 60’
Fluoresen 08’

Wavelength 
Fluorescence Spectroscopy
max
S1(0)
5
Flurescence (arb. Units)

4 h

3 S0(n)
The most probable
2 radiative transition
from S1(0)  S1(n)
1

290 310 330 350 370 390


Panjang gelombang (nm)
Fluorescence Spectroscopy:
Solvent Effects
• General solvent effects bergantung pada
polarisabilitas pelarut. Bertambahnya tetapan
dielektrik akan menggeser spektrum fluoresence ke
 yang lebih panjang.
• Specific solvent effects terjadi akibat reaksi kimia
dengan pelarut pada “excited state”. Reaksi kimia
yang penting termasuk ikatan hidrogen, reaksi asam-
basa, dan pembentukan kompleks transfer muatan
dimana elektron dalam fluorofore ditransfer ke gugus
lain saat berada pada keadaan tereksitasi.
Solvent effects

Spektra 2-anilinonaftalen (2-AN) dalam Spektra 2-anilinonaftalen (2-AN) dalam dua


dua pelarut yang berbeda. Adanya pelarut dengan polarizabilitas berbeda.
ikatan hidrogen 2-AN dengan etanol Tingginya momen dipol dari air relatif
menyebabkan pergeseran spektrum terhadap campuran sikloheksana-etanol
(specific solvent effects). menggeser puncak spektrum emisi dari
400 ke 448 nm (general solvent effect).
Fluorescence spectroscopy:
Inner filter effects
Persamaan
IF = I0(1 – 10- cl)(F)
menyatakan bahwa laju emisi fluoresensi,
IF ditentukan oleh laju cahaya absorban.
Untuk larutan yang encer, persamaan di
atas dapat direduksi menjadi I0
IF = I0(cl)F
Pendekatan ini dapat menyebabkan error
yang disebut dengan ‘inner filter effect’.
Larutan pada muka sel lebih terekspos
dengan intensitas cahaya, sehingga l
jumlah eksitasinya lebih tinggi dibanding
dengan sampel dekat sisi muka yang
berlawanan akibat adanya larutan antara. Intensitas Intensitas
Hal ini akan menyebabkan hubungan non- tinggi lebih rendah
linier antara IF dengan A. Oleh karena itu
konsentrasi harus diatur sedemikian rupa
sehingga absorban pada EX tidak melebihi
0.1
Florescence spectroscopy:
Scattering effects
Light scattering Exitasi
1. Elastic (Rayleigh) scaterring, IRS ~
r6/4, dimana r adalah jari-jari Emission
partikel. Untuk mengurangi efek dari F
elastic scattering EX dipilih
4 nm
mendekati nilai AMAX. 4 nm

2. Inelastic (Raman) scaterring dari


pelarut. Dalam proses scattering ini
energi cahaya pengeksitasi  (nm)
dipisahkan oleh mode vibrasi
molekul pelarut. Untuk air, mode
vibrasi yang paling dominan adalah
untuk O-H stretch yang teramati Solute-solvent
pada bilangan gelombang 3300 cm-1.
Panjang gelombang Raman solute
scattering, RA dapat dihitung Raman
dengan cara: F scattering
1/ RA = 1/ EX – 0.00033
contoh bila EX = 290 nm, maka solvent
puncak Raman scatter akan teramati
pada RA = 321 nm.  (nm)
Protein fluorescence
Absorpsi Fluoresensi
Senyawa/
max max max F
kondisi
(nm) X 10-3 (nm)
Trp (H2O, pH 7) 280 5.6 348 0.20

Tyr (H2O, pH 7) 274 1.4 303 0.14

Phe (H2O, pH 7) 257 0.2 282 0.04

18:1 of Tyr:Trp
Spektrum
Spektrumprotein
proteinmendekati
mendekatispektrum
spektrum
Trp,
Trp,karena
karenaintensitas
intensitasfluoresensi
fluoresensidari
dari
I/Imax

Tyr
Tyrdipadamkan
dipadamkan(quenched)
(quenched)oleh
olehTrp
Trp
Trp akibat
akibatdari
dariefek
efekenergi
energitransfer.
transfer.

albumin

 (nm)
Tyrosine Fluoresence
 max emisi dari Tyr tidak sensitif terhadap
perubahan lingkungan  intensitas Tyr
digunakan sebagai marker perubahan
lingkungan dp max 298-305 nm
– Contoh Interaksi Protein-DNA: Intensitas
Tyr akan dipadamkan akibat adanya
interaksi - antara residu Tyr dan basa
asam nukleat. Efek pemadaman dapat
dikurangi dengan menaikan kekuatan
ion. Apabila asam amino bermuatan
positif seperti Arg diganti dengan Cys,
maka kekuatan ion yang diperlukan
untuk mengurangi efek pemadaman
akan berkurang. Arginin berfungsi untuk
meningkatakan kestabilan kompleks via
interaksi ionik dengan phosphate
backbone dari DNA. Oleh karena itu
metode ini dapat dipakai untuk
menentukan kekuatan afinitas
pengikatan antara Protein dan DNA.
• Intensitasnya dipadamkan apabila ada 280 300 320 240 360 380 400
Trp
Panjang gelombang (nm)
Tyrosin sebagai probe fluoresensi

Apocalmodulin Holocalmodulin
(Ca2+-free calmodulin) (Ca2+-saturated
calmodulin)

| | | | | |
280 300 320 340 360 380
Tryptophan fluorescence
• Fluoresnsi dari Trp lebih umum
digunakan sebagai probe.
 max emisi dari Trp lebih sensitif
terhadap perubahan polaritas pelarut. Native
– Bila polaritas pelarut menurun  max Denatured
emisi akan bergeser ke nilai yang lebih
rendah.
• Dalam air max emisi dari Trp = 350 nm,
tetapi di dalam pelarut hexana max
emisinya menjadi 310 nm.
• Bila Trp terdapat didalam interior non-
polar dari protein, maka max emisinya =
325-330 nm, tetapi bila Trp terdapat pada
permukaan maka max emisinya = 345-
350 nm.
• Sehingga bila protein memiliki satu residu
Trp, maka max emisinya dapat digunakan
sebagai probe untuk menunjukan
perubahan lingkungan.
• Untuk protein yang memiliki lebih dari 290 450
satu Trp, maka max emisinya akan
mencerminkan kontribusi semua residu Panjang Gelombang (nm)
Trp.
Flourescence resonance energy transfer (FRET)
• Pada keadaan tertentu, energi eksitasi
suatu fluorofor dapat ditransfer ke 3 4
fluorofor yang lain apabila memenuhi

F
persayaratan berikut: 1 2 A
A
– Adanya interaksi dipol antara dua
fluorofor D
D
– Adanya overlap antara spektrum
fluoresensi donor dengan spektrum
absorpsi dari aseptor.
• Keharusan adanya interaksi antar dipol Panjanggelombang
 (nm)
menyebabkan kebergantungan dari
energi transfer terhadap jarak antar
gugus yang ada pada fluorofor yang
berpartisipasi.
1
Efisiensi 
1   r / R0 
6

• Nilai efisiensi adalah dari 0 hingga 1. R0


adalah jarak antar gugus fluorofor ketika
efisiensi = 0,5. Nilai R0 karakteristik
untuk setiap pasangan donor-aseptor
R0 (nm) beberapa pasangan donor-aseptor
Phe-Phe 0.6 ANS = 1-anilinonaphtalene-8-sulfonate
Phe-Tyr 1.4 DNS = dimethylaminonaphtalene-S-sulfonate
Tyr-Tyr 0.8 Flu = fluorescein
Tyr-Trp 1.5 Rho = rhodamine
Trp-Trp 0.6 Efisiensi rendah
Tyr-heme 2.5
Tyr
Trp-heme 2.8 Trp Efisiensi tinggi

Tyr-DNS 2.0 Tyr


Trp-DNS 2.0
Trp-ANS 2.2
DNS-SNS 0.9
DNS-heme 6.0
Flu-Rho 4.5
Aplikasi FRET
Tanpa c-AMP
+ c-AMP
Catalitic Catalitic
subunit subunit C-Amp akan mendisosiasi
protein kinase, sehingga
meniadakan energi transfer
Regulatory Regulatory ke dari Flu ke Rho
subunit subunit

C-AMP-dependent F
protein kinase

| | | | | |
500 520 540 560 580 600
Fluoroscein (EM = 520 nm)
Panjang gelombang (nm)
Rhodamine (EM = 580 nm)
Fluorescence quenching
Intramolecular quenching
• Dalam protein fluoresensi Trp seringkali dipadamkan melalui interaksi
intramolekul dengan asam2 amino yang berbeda. Proses pemadaman
ini berpengaruh pada besarnya tetapan laju relaksasi non-radiativ, kNR.
• Trp dipadamkan oleh Cys dan juga jembatan disulfida apabila
jaraknya dengan Trp sekitar 6-10 Å. Penyebabnya adalah pertukaran
elektronik.
• His memadamkan Trp melalui mekanisme transfer proton. Posisi 4
dari cincin indol Trp memiliki kerapatan elektron lebih tinggi pada
keadaan tereksitasi sehingga dapat menerima proton dari donor
seperti His.
• Gugus amida netral dari glutamin atau asparagin dan juga amida
backbone dari protein juga dapat memadamkan fluoresensi Trp yang
diakibatkan oleh ‘short range electron transfer process’.
• Bila Trp terletak di dalam lingkungan yang hidrofob dari protein, maka
F akan naik dan puncak spektrumnya bergeser ke energi yang lebih
tinggi dibanding saat residu Trp terekspos ke dalam pelarut.
Intermolecular quenching
Tanpa adanya quencher, Q,
• Quencher: acrylamide, I-, dan Cs+. kR
 Fo 
• Konsentrasi : 0.01 – 0.5 M kR  k 0
• Acrylamide sering digunakan dimana k0  kNR  kISC  kPR
untuk menentukan derajat
‘exposure” dari residu Trp didalam Bila ada quencher
protein. kR
Caranya: acrylamide ditambahkan F 
kR  k0  kQ [Q]
sedikit demi sedikit dan fluoresensi
diukur pada setiap penambahan. rasio  Fo dan  F :
• Proses quenching dapat
 Fo kR  k0  kQ [Q]
diagambarkan sbb: 
M(S1) + [Q]  M(S0) + [Q]kQ[Q] F kR  k 0
tetapan laju orde kedua, kQ, karena ' unquenched singlet life time' ,
adalah ukuran dari proses  S  1 /(kR  k0 ) maka
qenching tsb.
 Fo Stern Volmer
 1  kQ S [Q]
F relationship
Aplikasi hubungan Stern Volmer
karena  F  F, maka  F /  Fo  Fo /F
4.5
Linear Stern Volmer plot
High [Q] surrounding the fluorofore
Dua kromofor mengalami
quenching dengan efisiensi
Fo/F

yang berbeda

Slope==KKSVSV==kkQQSS==degree
Slope degreeof
ofexposure
exposure

1
Linear Stern Volmer plot yang menunjukkan
Rendahnya akses Q terhadap fluorofor
0 [Quencher] M 0.5
Aplikasi spektroskopi fluoresens untuk
mempelajari interaksi protein-ligan

CaM-binding
4 Ca2+ peptide

holoCaM-MLT
apoCaM holoCaM
Spektrum fluoresens CaM-peptide

F
Kompleks Calmodulin-Polistes mastoparan
Polistes mastoparan memiliki satu residu | | | | | |
Trp, sedangkan calmodulin memiliki 2 300 325 350 375 400 425
residu Tyr. Eksitasi pada 295 nm akan Panjang gelombang (nm)
meniadakan efek fluoresen Tyr pada
calmodulin, sehingga spektrum murni Polistes mastoparan bebas
berasal dari Trp dari Polistes Kompleks Polistes mastoparan-CaM
mastoparan.
Efek konsentrasi ion kalsium pada spektrum fluoresens
kompleks calmodulin-mastoparan
2,4 ─
Fo = Intensitas fluoresens
mastoparan.
2,0 ─
F = Intensitas fluoresens terukur.

1,6 ─ 320 nm
F/Fo

340 nm
1,2 ─ 360 nm

Titrasi kalsium pada larutan yang


0,8 ─ mengandung konsentrasi sama
dari calmodulin dan polistes
mastoparan. [Data dari D.A
0,4 ─ Malencik and S.R. Anderson
(1983). Biochem. Biophys. Res.
| | | | | | Comm. 114, 50-56]
0 2 4 6 8 10
[Ca2+]/[calmodulin]
Penentuan tetapan pengikatan ligan: kompleks
calmodulin-porcine glucagon

P + L  PL 1,7 ─

[PL] 1,6 ─
K
[P][L] 1,5 ─

1,4 ─
F/Fo

1,3 ─

1,2 ─

1,1 ─

1,0 ─| | | | | |
0 5 10 15 20 25
Konsentrasi calmodulin (M)
Circular Dicroism
Electromagnetic Wave

E
H

Arah propaga
si
H

Arah propagas
i
E vectors
polarizer
Pengertian Linear dan circular Dichroism
• Dichroism adalah fenomena dimana absorpsi cahaya berbeda untuk arah polarisasi yang
berbeda.
• Linearly polarized light  arah vektor medan listrik adalah konstan hanya besarnya
bervariasi. Molekul yang mengandung dipol searah dengan vektor medan listrik dapat
menyerap cahaya dari linearly polarized light.
Liniear dichroism didefinisikan sebagai beda antara absopsi paralel dan tegak lurus. LD()
= A║() - A┴()
• Circularly polarized light  besarnya vektor medan listrik sama tetapi arahnya berbeda. Arah
vektor medan listrik untuk circularly polarized light bisa right or left handed dan kedua arah
memenuhi hukum Lamber Beer.
Circular dichroism adalah beda absopsi antara right dan left handed circularly polarized
light. CD() = AL() - AR() = [L() - R()]lc = lc

Linearly polarized light

E
E

Circularly polarized light

E
Circularly polarized light formation

P = polarisator
R = pelambat ¼ gelombang
Circularly Polarized Light
Pembentukan cahaya
terpolarisasi sirkuler.
Bila ada vektor-vektor E
dari dua gelombang
elektromagnetik berbeda
¼ dan saling tegak lurus,
maka resultan dari vektor-
vektor E tsb akan berotasi
sehingga membentuk
lintasan heliks (dotted line).
Elliptically polarized
• Bila gelombang terpolarisasi sirkuler kanan (R)
dan kiri (L) keduanya memiliki amplitudo yang A
sama, maka akan dihasilkan bidang
terpolarisasi, karena pada setiap titik
penjumlahan vektor E akan menghasilkan vektor
seperti pada gambar A.
EL ER
• Akan tetapi cahaya bidang terpolarisasi dapat
didekomposisi menjadi komponen L dan R, bila
amplitudo dari cahaya terpolarisasi sirkuler tidak
sama. Ujung dari vektor E akan mengikuti
lintasan elips dan cahaya tersebut dapat
dikatakan elliptically polarazed (gambar B)
• Parameter yang disebut ellipticity, , seringkali
digunakan untuk menggambarkan polarisasi B
eliptis. Ellipticity adalah sudut yang dukur dari
nilai tangen perbandingan sumbu mayor dan
sumbu minor dari elips.

EL ER

a
 = tan-1(b/a)
b
Senyawa optik aktiv
H Cl
• Senyawa yang optik
H C C* OH
aktiv memiliki indeks
H H
bias, nL dan nR, dan
1-Choloro-1-hydroxylethane
koefisien absopsi molar,
L dan R, yang berbeda.
• Sifat optik aktiv
disebabkan oleh
asimetri dari molekul
tsb.
Rotasi bidang polarisasi
A B

Incident
light The
L R L R Theextent
extentofofthe
therotation
rotation
produced
producedbybyaasample
sampleofofaa
given
givenvolume
volumedepends
dependson onthe
the
number
numberofofchromophores
chromophoreswith with
nL = nR nL ≠ nR wich
wichthe
thewave
waveinteracts
interacts

Emerging
light 180d
L R
L   (nL  nR )
R 
EL dan ER d = path length
Retarded equally EL retarded  = wavelength
more than ER
Optical rotatory dispersion spectrum
• Umumnya istilah specific rotation, [] dan molar rotation, [M] lebih sering
digunakan.
[] = L/(dc)
dimana L adalah rotasi yang teramati dalam derajat, d adalah panjang
lintasan (centimeter), dan c adalah konsentrasi (gram/cm3)
[M]=( M)/(10dc)
dimana M adalah berat molekul (gram/mol). Satuan dari [M] adalah deg M-1
cm-1.
• Bila sampel yang diukur adalah polimer yang lebih umu dipakai adalah
mean residual rotation, [m] yang didefinisikan sebagai
[m] = ( M0)/(10dc)
dimana M0 adalah mean residue molecular weight  berat molekul dari
polimer dibagi dengan sumlah monomernya.
• Kurva yang menunjukkan hubungan panjang gelombang dengan rotasi
optik dan dinyatakan dengan salah satu dari , [], [M] atau [m], disebut
optical dispersion spectrum
Circular Dichroism
• Abropsi cahaya terpolarisasi sirkular kiri (L) dan
kanan (R)
– Untuk senyawa non-optik aktiv, absorpsi terhadap L dan R
adalah sama.
– Untuk senyawa optik-aktiv, dalam rentang panjang
gelombang dimana absorpsi terjadi, untuk setiap panjang
gelombang akana terjadi perbedaan absorpsi terhadap L
dan R, Ldan R, yaitu sebesar
L - R = 
dimana  disebut juga circular dichroism atau CD.
  positif, bila L - R > 0 dan negatif bila L - R < 0 artinya bila
molekul optik aktiv memiliki nilai CD positif, maka bayangan
cerminnya akan memiliki CD negatif dengan nilai yang sama
persis.
CD spektrum
• Pada eksperimen biasanya yang diukur adalah , tetapi dengan
alasan sejarah nilai elipticity, , yang diplot;  didefinisikan sbb:
 = 2.303(AL – AR)180/4 = 33 A degrees
Kurva kebergantungan  terhadap  disebut kurva CD atau spektrum
CD.
• Umumnya, istilah molar ellipticity dan mean residue ellipticity sering
digunakan.
[ ] = (M)/(10dc)
dimana  adalah elipticity yang teramati (deg), M adalah berat molekul
atau mean residue molecular weight, d adalah panjang lintasan (cm)
dan c adalah konsentrasi (gr/mL)
• Dengan menggabung kedua persamaan diatas dan menggunakan
hubungan antara A dan  dari hukum Beer-Lambert akan diperoleh:
[ ] = 3300 
Spektrum CD vs Absorpsi
Native E. coli DNA
Denatured E.coli DNA
CD rata-rata empat nukleotida dalam air

 Spektrum CD hanya akan muncul


kalau spektrum absorpsinya juga ada.
 Spektrum absorpsi selalu positif,
sedangkan spektrum CD bisa positif
dan negatif.
 Pada spektrum CD nampak pita-pita
yang tidak dapat dipisahkan pada
spektrum absorpsi
Electronic CD of nucleotides

Nukleotida adalah molekul


asimetrik, sehingga CD
spektrumnya dapat teramati.
Electronics CD of polynucleotides:
Efek perubahan konformasi
CD poly d(GC)-poly d(GC) dalam berbagai
bentuk konformasi.
Bentuk B dalam larutan buffer pH 7.
B-form A-form Bentuk A dalam 80% 2,2,2-trifluoroetanol
Bentuk Z dalam 2 M sodium perklorat pH 7

Z-form
Electronics CD of polynucleotides:
Efek komposisi nukleotida
Electronic CD of Proteins
 Kromofor CD utama dari protein
adalah gugus amida yang
terbentuk ketika dua asam amino 0
bergabung.
 N-asetil-L-alanin-N’-metilamida


digunakan sebagai model amida
dengan karbon- asimetrik dan
rotasi bebas antara dua gugus -5
amida. Senyawa model ini
menghasilkan puncak spektrum
CD pada 195 nm yang
berpadanan dengan amida *. | | | | |
CD spektrumnya juga sama 160 200 240
dengan CD spektrum random koil Panjang gelombang (nm)
untuk kolagen.
N-asetil-L-alanin-N’-metilamida
Kolagen
Electronic CD of Polypeptide
20 – -helix
 Poly (L-glutamic acid) pH 4,5
- -sheet (-helix)
 Poly (L-lysine-L-leucine) pH 7
10 – -turn tipe II (-sheet)
 Poly (L-alanine2-glycine2) pH 7
-
(-turn tipe II)


0–
 -helix: 190 nm (pita positif,
- *┴); 208 nm (pita negaif,
*║); 222 nm (pita negatif,
-10 – n*)

-  -sheet:198 nm (pita positif),


| | | | | | 215 nm (pita negatif).
160 180 200 220 240
Panjang gelombang (nm)
Struktur -turn
Electronic CD of Proteins
16 –
14 –
Hemoglobin  CD spektrum bergantung pada
12 –
struktur sekunder dari protein
10 – EcoRI endonuklease  bentuk CD spektrum dari
protein bergantung pada fraksi
8– Tumor nectrosis factor- struktur sekunder.
6–
 Hemoglobin, struktur sekunder
utamanya adalah -heliks


4–
2–  Tumor nectrosis factor-, tidak
memiliki -heliks dan hanya
0–
memiliki struktur -sheet.
-2 –
 EcoRI endonuklease memiliki
-4 – kedua struktur sekunder baik -
heliks dan -sheet.
-6 –
-8 –| | | | | |
170 190 210 230 250 270
Panjang gelombang (nm)
Analisis perubahan struktur

ApoCaM

+ 4 Ca2+

HoloCaM
Analisis perubahan struktur
2000

1000

0
200 210 220 230 240 250 260
[q]MRD (degree.cm2.dmol-1)

-1000

-2000 25C
30C
40C
-3000 50C
55C
-4000 60C
70C
80C
-5000 90C

-6000 Outer surface protein A

-7000

Wavelength (nm)
Analisis interaksi protein-ligan

HoloCaM

HoloCaM-melittin
Aplikasi ORD dan CD
ORD CD

1
1. -heliks
2. -sheet Pada  = 208 nm
3. Random coil [ ]  = [  ]R

[m] 2
[ ]
3

2
3
1

200 220 240 200 220 240


 
Prediksi fraksi -heliks
• Pada  = 208 nm intensitas CD untuk random coil dan beta-
sheet adalah sama, tetapi lebih besar dari pada -heliks.
• Dengan menggunakan poly-L-lisin spektra sebagai standar [ ]
208 = -4000 dan [ ]208 = -33000.
 

• Dengan menggunakan standar di atas fraksi -heliks dari suatu


protein dapat dihitung sbb. Kita asumsikan
f + f + fR = 1.0
Bila kita definisikan X = f + fR
maka X = 1 - f. Ingat bahwa [ ]208 = [ ]208R = -4000, maka
[ ]208 = f (-33000) + (1- f )(-4000)
sehingga
f = ([ ]208 + 4000)/-29000
Bagian II

Spektroskopi Infrared (IR)

Penentuan struktur sekunder dan


analisis kestabilan protein
Prinsip-prinsip vibrasi molekul
• Transisi vibrasi dalam
suatu molekul terjadi
diantara tingkat energi
vibrasi.
• Vibrasi inter dan
intramolekul akan
berpengaruh pada
spektrum.
Model vibrasi molekul diatom
• Diasumsikan ikatan antar atom
pada molekul diatom
sebanding dengan pegas yang
menghubungkan dua bola
bermassa m1 dan m2.
• Gaya yang bekerja pd saat
kompresi dan ekspansi:
F = -k(r – ro)
dimana k adalah konstanta
r – ro adalah beda jarak
kesetimbangan akibat
pengaruh gaya.
• Gaya bekerja berlawanan
dengan perpindahan atom
sehingga bertanda negatif.
Energi potensial harmonik

Energi potensial sistem


berosilasi:
E = ½ k (r – r0)2
Energi bertambah secara
simetris bila jarak antara
dua atom berkurang atau
bertambah terhadap
jarak kesetimbangannya.
Pendekatan kuantum untuk vibrasi
Menurut mekanika kuantum:
• Energi potensial vibrasi yang dibolehkan adalah
E = ( + ½ )hvvib  = bilangan kuantum (0, 1, 2, …)
Persamaan ini menyarankan bahwa vibrator mekanika
kuantum hanya boleh memiliki satu energi diskrit tertentu saja.
Energi terendahnya adalah E = ½ hv ( = 0). Artinya molekul
tidak akan pernah memiliki energi vibrasi nol.
• Transisi juga harus memenuhi aturan seleksi, yaitu:  = ± 1.
Sehingga energi transisi antara dua tingkat vibrasi adalah
E+1 - E = ( + 1 + ½ )hv - ( + ½ )hv = hv
• Perubahan energi vibrasi hanya teramati pada spektrum bila
energi vibrasi dapat berinteraksi dengan radiasi, yaitu bila
momen dipol dari molekul berubah akibat vibrasi.
Osilator anharmonik
Dasar:
Molekul tidak benar-benar berkelakuan seperti massa yang dihubungkan
dengan pegas seperti yang dijelaskan pada gerak harmonik.
• Ikatan sebenarnya adalah elastis, tidak memenuhi hukum Hook. Deskripsi
empirik tentang hal ini dikemukakan oleh P.M. Morse dan dikenal dengan
fungsi Morse.
E = Dmin [1 – exp{-a(r-r0)}]2
dimana a adalah konstanta untuk ikatan tertentu dan Dmin adalah energi
disosiasi.
• Tingkat energi vibrasinya menjadi
 = ( + ½)hv – ( + ½)2 hvx
dimana x adalah konstanta ketidak harmonisan. Besarnya tetapan ketidak
harmonisan akan semakin mengecil dengan bertambahnya orde.
• Aturan seleksi untuk osilator tidak harmonis adalah  = ±1, ±2, ±3, …
Aturannya mirip dengan osilator harmonis, tetapi untuk osilator tidak
harmonis bisa melompat. Akan tetapi intensitasnya berkurang dengan pada
tiap beda tingkat energi dan transisi  = ±3 jarang terjadi.
Osilator tidak harmonis
Derajat kebebasan vibrasi
• Gerak molekul: Translasi, rotasi, dan vibrasi
• Molekul dengan N atom bila dalam keadaan diam (posisi
dan sudut ikatannya tetap), dapat dideskripsikan dengan
menyatakan lokasi setiap atomnya dalam koordinat x, y, z.
Molekul memiliki 3N derajat kebebasan.
• Bila molekul melakukan translasi, juga diperlukan 3 derajat
kebebasan.
• Bila molekul non-linier melakukan gerak rotasi, juga
diperlukan tambahan 3 derajat kebebasan. Tetapi untuk
molekul linier hanya diperlukan 2 derajat kebebasan
karena rotasi disekitar sumbu ikatan tidak akan mengubah
posisi atom.
• Oleh karena itu derajat kebebasan untuk molekul:
3N – 3 – 3 = 3N – 6 (molekul non-linier)
3N – 3 – 2 = 3N – 5 (molekul linier)
Frekuensi Vibrasi
• Frekuensi vibrasi molekul diatomik: 1 k
vvib 
2 
dimana  adalah massa tereduksi dari sistem.
m1  m2

m1  m2
• Jadi frekuensi osilasi hanya bergantung pada konstanta
dan massa dari atom yang berosilasi.
– Semakin besar massa atom, semakin kecil frekuensi vibrasinya.
– Amplitudo tidak berpegaruh pada frekuensi.
• Suatu molekul hanya dapat menyerap radiasi bila radiasi
IR yang diberikan memiliki frekuensi yang sama dengan
salah satu modus vibrasi fundamental dari molekul
tersebut.  Hal ini berarti gerak vibrasi pada sebagain
kecil molekul bertambah tetapi bagian lainnya tidak
terpengaruh.
Klasifikasi Vibrasi
• Vibrasi dapat melibatkan perubahan
panjang ikatan (stretching) atau sudut
ikatan (bending).
• Vibrasi: simetris dan asimetris
– Vibrasi valensi (stretching) simetris: vs
– Vibrasi valensi (stretching) asimetris: vas
– Vibrasi deformasi (bending) simetris: s
– Vibrasi deformasi (bending) asimetris: as
• Vibrasi deformasi dapat berlangsung satu
fasa atau keluar fasa.
Contoh vibrasi stretching dan bending
H
O
C O O
H H
H H
H
Stretching Stretching Bending

O
R O H
H H

Symmetric stretching Asymmetric stretching


Tipe vibrasi bending
Tipe vibrasi molekul sederhana: Tipe vibrasi molekul kompleks:
H3C CH3

H H H H
C C

C C H3C H
+
Deformation Rocking
Out-of-plane bending

+ + + - H3C CH3
H H H H
C C
C C
Wagging Twisting H3C H

In-plane bending
Intensitas pita infrared
• Suatu vibrasi hanya dapat menyerap readiasi IR, bila
vibrasi tersebut menyebabkan perubahan momen
dipol dalam molekul. Semakin besar perubahan
dipol, semakin tinggi intensitas pitas serapannya.
• Atom C dan O dalam gugus karbonil memiliki
perbedaan kelektronegatifan sehingga gugus
karbonil terpolarisasi secara permanen. Stretching
pada ikatan ini akan lebih meningkatkan lagi momen
dipol, oleh karena itu stretching C=O menyerap IR
dengan kuat.
- + -
O=C=O O=C=O O=C=O

Manakah di antara ketiga modus vibrasi CO2 di atas yang aktif IR?
Spektrum representasi dari IR
• Absis adalah bilangan gelombang (cm-1).
• Ordinat adalah absorban atau transmitan.
• Spektrum IR dibagi ke dalam tiga daerah:
1. IR jauh: < 400 cm-1.
2. IR tengah: 4000-400 cm-1.  Paling banyak dipakai.
Hanya ada sedit pita IR pada daerah 4000-1800 cm-1,
tetapi banyak pita IR antara 1800-400 cm-1. Oleh karena
itu, pada spektrum IR seringkali skala antara 1800-400
cm-1 diperbesar sedangkan skala antara 4000-1800 cm-1
diperpendek.
3. IR dekat: 14.285-4000 cm-1.
Contoh representasi spektrum IR

Abrobance
Contoh representasi spektrum IR
Aplikasi IR untuk analisis struktur polipeptida

• Spektrum IR dari protein berasal dari absopsi gugus amida yang terdapat
pada ikatan peptida.
O
N C
H
• Gugus amida pada protein adalah planar dan memiliki 5 modus vibrasi in-
plane dan satu out-of-plane.
• Modus vibrasi in-plane berasal dari stretching C=O, C-N, N-H, dan
bending O-C-N; sedangkan out-of-plane berasal dari torsi C-N.
• Pita karakteristik dari gugus amida ada 9 pita: pita amida A dan B, serta
pita amida I-VII diurut berdasarkan turunnya frekuensi.
• Pita yang sering dipakai untuk studi konformasi adalah pita amida A,
amida I dan amida II.
Karakteristik pita IR amida dari protein
Pita Frekuensi (cm-1) Sifat vibrasi
A 3300 Stretching N-H
B 3110 Stretching N-H
I 1653 80% C=O stretching; 10% C-N stretching;
10% N-H bending
II 1567 60% N-H bending; 40% C-N stretching
III 1299 30% C-N stretching; 30% N-H bending; 10%
C=O stretching; 10% O=C-N bending; 20%
modus vibrasi lain.
IV 627 40% O=C-N bending; 60% yang lain
V 725 N-H bending
VI 600 C=O bending
VII 200 C-N torsion
Aplikasi IR untuk analisis struktur polipeptida

• Analisis struktur sekunder digunakan pita amida I (~1700 -


1600 cm-1).
• Frekuensi eksak dari pita I ini bergantung pada ikatan
hidrogen antara gugus C=O dan N-H.
• Pita amida II sensitif terhadap deuterasi sehingga banyak
digunakan untuk mempelajari “accessibility” dari pelarut
terhadap “peptide backbone”. Lingkungan yang hidrofob atau
struktur yang ketat, seperti -heliks, atau -struktur akan
mengurangi peluang untuk terjadinya pertukaran proton
amida N-H oleh deuterium.
• Kontribusi rantai samping dapat memperumit spektrum IR dari
protein, tetapi kontribusinya sangat kecil dalam pelarut D2O
dibanding dengan kontribusi pita amida I.
Analisis pita amida I
• Pita amida I dari protein dan
peptida terdiri dari pita-pita
komponen yang saling
overlap yang terbentuk
akibat adanya struktur
sekunder dalam protein.
• Peningkatan resolusi pada
pita I ini dapat dipakai untuk
identifikasi berbagai
struktur.
Analisis pita amida I
• Metoda terbaik untuk memperkirakan struktur
sekunder dari protein adalah dengan melakukan
band-fitting pada pita amida I.
• Parameter yang diperlukan, dan jumlah komponen
pita serta posisinya diperoleh dari spektra dengan
resolusi tinggi.
• Luas fraksi dari “fitted component bands” berbanding
lurus dengan jumlah realtif dari struktur yang
diwakilinya.
• Frekuensi karakteristik dari struktur sekunder dapat
diperkirakan dari perhitungan koordinat pada peptida
model dan protein yang telah diketahui strukturnya.
Frekuensi karakteristik pita I amida dari
struktur sekunder protein
Frekuensi (cm-1) Struktur sekunder
1621-1627 -sheet
1628-1634 -sheet
1635-1640 -sheet
1641-1647 Random coil
1651-1657 -helix
1658-1666 Turns and bends
1668-1671 Turns and bends
1671-1679 -sheet
1681-1685 Turns and bends
1687-1690 Turns and bends
1692-1696 Turns and bends
Curve-fiited amide I band dari lisozim
dalam D2O
Analisis pita amida I dari lisozime dalam
D2 O
Frekuensi (cm-1) Luas relatif (%) Struktur sekunder

1623 1 -sheet
1632 15 -sheet
1640 16 Random coil
1648 24 -helix
1657 24 -helix
1667 11 Turns and bends
1675 7 -sheet
1684 2 Turns and bends

Total: -helix = 48%; -sheet = 23%; Turns and bends =13%; dan Random coil = 16%

Anda mungkin juga menyukai