Anda di halaman 1dari 14

Pengaruh Sosial Budaya Dengan

Pangan Dan Gizi


Disusun Oleh:
Kelompok 3
• Agnes Marya Hulu (P031219055)
• Arlya Fairuz Saragih (P031219059)
• Azhami Aprylla Xastro (P031219061)
• Cindy Fresha Gea (P031219064)
• Elsa Grace Laura Sipahutar (P031219069)
• Hasri Jwina Purba Dasuha (P031219074)
• Jumri Sari Sinaga (P031219080)
• Louise Yulia Manalu (P031219083)
• Melly Juwita Syahputri (P031219086)
• Nur Aina Rizkah (P031219090)
• Sonia Shafitri Harahap (P031219100)
• Vina Afrischa Putri (P031219104)
• Yulia Ananda (P031219106)
Terbentuknya kebiasaan makan yang ada pada individu maupun
keluarga sebenarnya adalah dalam rangka penyesuaian untuk memenuhi
kebutuhan fisik, penyesuaian dengan kebutuhan sosial yang tidak
bertentangan dengan norma yang ada, serta penyesuaian dengan budaya
yang ada. Kebiasaan makan akan berbeda antara masyarakat yang satu
dengan masyarakat yang lain, sangat tergantung dari potensi daerah dan
juga sebagai akibat dari unsur-unsur budaya yang ada pada masyarakat
tersebu

Terdapat beberapa perilaku yang penting dan dipengaruhi oleh


budaya, salah satunya adalah makanan dan kebiasaan makan, yang akan
berbeda antar kelompok kultur yang satu dan yang lainnya. Berdasarkan
aspek budaya secara keseluruhan, sesungguhnya masyarakat hidup di
tengah budaya yang mendukung kebiasaan makan pangan lokal. Nilai
yang berlaku dimasyarakat mendukung kebiasaan makan pangan lokal.
1. Kajian Pola dan Kebiasaan Makan Masyarakat Cireundeu Di
Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi, Kabupaten
Bandung
A. Aspek Sosial
Secara fisik, masyarakat Cireundeu mengkonsumsi onggok singkong sebagai makanan
pokok akibat masa sulit (paceklik) yang pernah terjadi sekitar tahun 1918. Karena masa sulit
untuk mendapat beras tersebut maka masyarakat bersumpah untuk tidak makan beras
sebagai makanan pokok dan diganti dengan onggok singkong karena pohon singkong
memiliki kelebihan dibanding jenis tanaman lain yaitu tahan terhadap pengaruh iklim.
Alasan lain masyarakat Cireundeu mengkonsumsi onggok singkong adalah karena aliran
kepercayaan yang dianut masyarakat, dimana aliran kepercayaan yang berpusat di Kuningan
– Cirebon, mewajibkan pengikutnya mengkonsumsi makanan non beras.

1. Nilai Sosial Pangan


Mengkonsumsi onggok singkong adalah simbol identitas sebagian masyarakat dan
pernyataan ini didasarkan pada 1) fakta bahwa onggok singkong tidak dikonsumsi oleh
seluruh masyarakat, 2) masyarakat yang mengkonsumsi onggok singkong karena alasan
kepercayaan atau keyakinan yang mewajibkan makan non beras, namun tidak semua
masyarakat Cireundeu manganut kepercayaan ini, 3) kebiasaan mengkonsumsi onggok
singkong umumnya terjadi karena faktor keturunan sebagai proses sosialisasi primer dan
bukan karena adanya interaksi dengan masyarakat lain atau lingkungan.
2. Tata Hubungan Sosial Kemasyarakatan
masyarakat Cireundeu lebih memilih sesepuh sebagai tokoh panutan di masyarakat (69.2%).
Pemilihan ini kemungkinan disebabkan karena sesepuh tersebut adalah penduduk asli, termasuk
kelompok masyarakat berusia tua dan mengetahui seluk beluk kebiasaan dan kebudayaan desa
Cireundeu. Kebanyakan sesepuh yang jadi panutan ini menganut aliran kepercayaan dan
termasuk kelompok masyarakat yang mengkonsumsi onggok singkong. Rasa toleransi di
masyarakat cukup tinggi, hal ini dapat dilihat pada saat pembagian makanan ketika ada acara
tertentu. Kelompok yang mengkonsumsi onggok singkong (non beras) mereka akan dikirim
onggok singkong, sedangkan untuk kelompok beras mereka akan dikirim nasi

B. Aspek Budaya
1. Tindakan/Kebiasaan Makan
Penduduk Cireundeu biasa mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan sebagai sumber vitamin
dan mineral (76.92%), yang biasanya diolah dalam bentuk tumis, kukus, lalapan segar ataupun
sayuran berkuah (96.15%). Lauk pauk sebagai sumber protein hewani (daging, ayam, telur, ikan
asin) dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk (73.08%), disamping pangan sumber protein
nabati (tahu, tempe) yang mendampinginya (76.92%). Lauk pauk ini biasanya diolah dengan
cara digoreng (65.38%). Kebiasaan makan mereka untuk jenis makanan onggok/nasi dan lauk
pauk sebagai sumber protein mereka konsumsi sebanyak 3 kali hari-1 pada waktu pagi siang dan
malam. Sedangkan sayuran dan buah-buahan kebanyakan hanya dikonsumsi sebanyak 2 kali
hari-1 , pada waktu siang dan malam.
2. Kepercayaan yang Berhubungan dengan Makanan (Tabu)
Beberapa jenis makanan yang mereka tabukan diantaranya adalah, Pisang ambon, nenas, ketimun, bawang,
untuk seorang gadis. Jenis makanan tersebut mereka yakini akan memberikan efek negatif seperti keputihan dan
bau keringat yang tajam. Makanan pedas, nenas, merupakan makanan tabu bagi ibu hamil karena akan
memberikan akibat seperti keguguran ataupun diare. Bagi ibu yang menyusui dan anak balita biasanya ditabukan
untuk mengkonsumsi makanan pedas dan ikan, karena akan mengakibatkan diare pada bayinya, cacingan ataupun
aroma asi yang menjadi anyir. Pisang emas menjadi makanan tabu bagi seluruh warga Cireundeu karena pisang
emas adalah symbol makanan leluhur yang tidak boleh dikonsumsi. Sebagai rasa hormat masyarakat pada nenek
moyang dan leluhurnya, pisang emas selalu menyertai pada setiap upacara adat yang diselenggarakan oleh
masyarakat tersebut. Oleh karena itu pisang emas ditabukan karena dianggap tidak menghormati leluhur.

3. Pola Terbentuknya Budaya Pangan


Pola konsumsi onggok singkong terbentuk sebagai akibat adanya pengalaman sejarah masa lalu dimana
masyarakat sulit untuk mendapatkan beras karena ulah penjajah. Sejak itu tokoh panutan masyarakat tersebut
bersumpah tidak akan makan “beras/nasi” yang telah menyengsarakan rakyat. Tokoh tersebut juga berharap
semoga dengan makan onggok singkong mereka menjadi lebih kuat, dan tetap eksis meskipun tidak
mengkonsumsi beras/nasi. Mereka dapat memanfaatkan sumber daya yang tersedia didaerahnya tanpa harus
bergantung dari daerah lain untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Sumber protein hewani yang disukai
cenderung berasal dari ternak darat. sumber protein hewani yang disukai cenderung berasal dari ternak darat.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Terbentuknya kebiasaan konsumsi onggok singkong pada
masyarakat Cireundeu dilatarbelakangi oleh kepercayaan atau keyakinan masyarakat dan hasil penyesuaian
masyarakat terhadap lingkungan untuk mengatasi masalah kerawanan pangan. 2. Nilai sosial pangan masyarakat
Cireundeu dicerminkan dari pengakuan seluruh masyarakat terhadap kebiasaan konsumsi onggok singkong. 3.
Konsumsi onggok singkong hanya merupakan simbol identitas dan tidak menunjukkan status sosial dalam
masyarakat.
2. Pandangan Sosial Budaya Terhadap ASI Ekslusif di
Wilayah Panarung Palangkaraya
Faktor sosial budaya merupakan suatu faktor pendorong yang cukup kuat terhadap
seseorang untuk berperilaku. Faktor sosial budaya ini yang membentuk seorang ibu
bersedia memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif.
Penelitian faktor sosial budaya ini, menunjukkan bahwa sebagian ibu termotivasi
sendiri untuk menyusui bayinya. Sebagian lagi dari mereka menyusui karena anjuran
dari orang tua, suami, bidan, dan paraji. Keadaan ini menunjukkan bahwa
lingkungan sosial ikut berperan terhadap perilaku pemberian ASI dan tenaga penolong
persalinan juga ikut andil memotivasi ibu yang baru melahirkan untuk menyusui bayinya.
Pada ibu yang melahirkan di pelayanan kesehatan biasanya makanan prelakteal yang
diberikan adalah susu formula. Ibu-ibu yang melahirkan hanya sebagian kecil yang
melakukan IMD, praktik pemberian makanan prelakteal ini berdampak negatif terhadap
program ASI eksklusif. Para informan menyatakan pemberian makanan prelakteal ini saran
dari orang tua dan orang-orang di sekitar ibu.
Dari banyaknya informasi mengenai informasi dan pemberian makanan kepada bayi,
yang paling banyak dituruti oleh ibu adalah perkataan orang tua dan pada saat
persalinan adalah peran serta tenaga kesehatan. Orang tua sering menganjurkan
pemberian makanan seperti madu, kopi selain diberikan ASI dengan berbagai tujuan
seperti kepercayaan atau adat istiadat.
Faktor sosial budaya menurut petugas kesehatan di Panarung sangat memegang peranan
penting dalam pemberian ASI eksklusif. Hal ini seperti penuturan ahli gizi dan bidan di
Puskesmas Panarung berikut ini:
“Jelas sekali di sini sosial budaya sangat mempengaruhi, ibu bayi sangat terpaku dan patuh
dengan adat kebiasaan. Contoh saja: seperti bayi yang baru lahir diberikan air kopi katanya
agar tidak step. Air gula dan santan kental jika ASI ibunya belum keluar kalau akikahan
diberikan madu dan sari kurma dioleskan di bibir sang bayi” (Yt, ahli gizi).
“Sangat berpengaruh, karena banyak informasiinformasi yang berdasar pada sosial budaya
tidak relevan dengan informasi kesehatan” (IIY, bidan).
Dalam penelitian yang dilakukan Afifah (2007), sama seperti imbauan dari WHO yaitu
melarang diberikan madu pada bayi dibawah usia 1 tahun. Disebabkan pada madu
mengandung spora yang berbahaya dan mematikan bagi bayi yang disebut Clostridium
botulinum.
Kesimpulan: Makanan prelakteal yang diberikan berupa madu hutan, air kopi, santan kental,
air gula merah, dan susu formula. Makanan prelakteal dipercaya secara budaya, contohnya
pemberian madu hutan karena manis, air kopi supaya tidak step, santan kental untuk
membersihkan perut. Informan ibu menjelaskan bahwa informasi pemberian makanan
prelakteal ini dipengaruhi oleh orang tua. Ada juga peran bidan, tetangga, posyandu,dan
ada juga yang mencari informasi sendiri. Menurut informan tenaga kesehatan ahli gizi dan
bidan sosial budaya sangat mempengaruhi dalam pemberian makanan bayi dan ASI
eksklusif, ibu bayi sangat terpaku dan patuh dengan adat kebiasaan.
3. Budaya dan Kebiasaan Makan Pangan Lokal

Kebiasaan makan adalah suatu pola perilaku konsumsi pangan yang diperoleh
karena terjadi berulang-ulang. Menurut Suhardjo (1989), kebiasaan makan individu
atau kelompok individu merupakan kegiatan memilih pangan dan mengonsumsinya
sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, sosial dan budaya.
Pangan lokal memiliki fungsi ekonomi, sosial, dan budaya. Pangan lokal bernilai
penting bagi kehidupan ekonomi keluarga. Secara budaya, proses pengadaan
pangan lokal tersebut berdasarkan pengetahuan lokal, dan biasanya dikembangkan
dengan preferensi konsumen lokal pula. Secara sosial, pangan lokal menunjukkan
identitas dan jati diri masyarakat. Pangan lokal tentunya memiliki peran strategis
dalam pembangunan ketahanan pangan.Kebiasaan makan akan berbeda antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, sangat tergantung dari potensi
daerah dan juga sebagai akibat dari unsur-unsur budaya yang ada pada masyarakat
tersebut.
Berdasarkan aspek budaya secara keseluruhan, sesungguhnya masyarakat hidup
di tengah budaya yang mendukung kebiasaan makan pangan lokal. Nilai yang
berlaku dimasyarakat mendukung kebiasaan makan pangan lokal.
Hal ini dapat dilihat dari suatu kesadaran bahwa pangan lokal merupakan wujud dari
kekayaan pangan yang ada di tengah masyarakat, dimana pangan lokal ini menjadi potensi
dalam menunjang kebutuhan pangan dan kelangsungan hidup, sehingga keberadaannya dan
penggunaannya sebagai bahan pangan juga harus tetap dipertahankan. Meskipun sudah memiliki
kebun sawit atau sawah yang menjadi sumber penghasilan utama rumah tangga, tetapi
masyarakt masih tetap menanam tanaman sumber pangan di lahan, kebun, dan pekarangan
dengan tanaman singkong, ubi jalar, jagung, ataupun bahan pangan lainnya seperti suweg dan
keladi. Hal ini dilakukan untuk berjaga-jaga jika tanaman utama yang mereka tanam tidak
memberikan hasil optimal, baik karena perubahan musim atau karena rendahnya harga di
pasaran.
Aspek sistem sosial menunjukkan peran keluarga dan tetangga cukup mempengaruhi dalam
upaya membangun kebiasaan makan pangan lokal. Anggota keluarga ikut menentukan preferensi
bahan pangan yang akan dikonsumsi, karena tidak semua bahan pangan lokal disukai oleh
anggota keluarga. Ibu rumah tangga biasanya akan menyesuaikan dengan apa yang disukai
oleh anggota keluarga, karena tingkat kepuasan akan muncul apabila semua anggota keluarga
dapat menikmati apa yang sudah disediakan. Anggota keluarga sangan berperan dalam
keputusan konsumsi, meskipun eksekusi akhir tetap di tangan para ibu.
Kesimpulan: Jenis pangan lokal yang biasadikonsumsi oleh rumah tangga adalah relatif sama
yaitu, singkong, ubi jalar, dan jagung. Terdapat perbedaan bagaimana sumber pangan diperoleh
dan bagaimana melakukan penyiapan dan pengolahan pangan lokal.Berdasarkan aspek budaya
secara keseluruhan, masyarakat perdesaaan hidup di tengah budaya yang mendukung kebiasaan
makan pangan lokal
4. Dimensi Etnis Terhadap Budaya Makan dan Dampaknya
Pada Masyarakat
Dominasi kebudayaan manusia menjadi sangat berperan terutama dalam pola makannya.
Makanan terkategorisasi menjadi makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan. Makanan yang
dianggap nutriment belum tentu menjadi makanan yang boleh dimakan. Begitu sebaliknya,
makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan belum tentu memiliki nilai gizi yang memadai.
Dengan demikian kategori makanan menjadi pemicu akan munculnya berbagai hal, seperti
perilaku makan, perubahan gaya hidup, persepsi masyarakat, nilai keagamaan, ekspresi simbolik.

Perubahan gaya hidup suatu masyarakat dalam kaitannya dengan makanan berkaitan juga pada
perubahan budaya. Makanan alamiah yang berasal dari pertanian seperti beras, gandum,
jagungmenjadi lebih menarik lagi apabila diolah dengan lebih modern sesuai dengan tuntutan
zaman. Makanan siap saji menjadi lebih diminati karena dianggap lebih cepat dan praktis dapat
menunjang kebutuhan masyarakat urban yang sangat sibuk bekerja. Dengan demikian
perkembangan dan peningkatan perekonomian sebagian masyarakat juga membentuk kebiasaan
makannya. Perubahan gaya hidup muncul ketika orang lebih tertarik dengan makanan siap saji
(fast food) yang ditawarkan di daerah pertokoan elit (dengan tempat yang nyaman dan menarik)
dan hal itu dianggapnya dapat memberikan nilai tambah baginya. Selain itu perubahan gaya hidup
tersebut juga membawa perubahan persepsi pada masyarakat terhadap makanan, yaitu munculnya
persepsi masyarakat konsumtif (the consumer society) Perilaku konsumtif muncul karena adanya
unsur teknologi, seperti iklan yang menawarkan berbagai kebutuhan manusia akan makanan.
Dimensi etis muncul ketika makanan berada di tangan konsumen, produsen,
dan lingkungan manusia. Interaksi antara konsumen dengan produsen
memunculkan aspek etis, yaitu hak dan kewajiban serta tanggung jawab
moral. Berada pada posisi yang lemah, maka konsumen sebagai penyantap
makanan berhak mendapat perlindungan dari instansi yang berwewenang,
produsen (petani, peternak pemilik pabrik), ilmuwan tentang makanan yang
disantapnya. Selain itu konsumen juga berhak untuk hidup sehat, mendapat
kesetaraan kualitas makanan. Makanan yang baik dan sehat menjadi milik,
dan hak bagi semua orang.
Pola hubungan antara perilaku masyarakat dengan perilaku budayanya
merupakan pola yang terstruktur oleh kesadaran masing-masing individu.
Melalui pengaruh lingkungan serta pandangan hidupnya, maka kesadaran
(cara berpikir) individu tersebut terbentuk sehingga menimbulkan berbagai
persepsi ataupun pola berpikir yang sifatnya ideologis. Dampak persepsi
tersebut memunculkan suatu bentuk masyarakat konsumtif (consumer
society). Masyarakat konsumtif tersebut terbentuk karena munculnya teks
label yang bersifat persuasif serta bersifat utopis, dan ideologis.
5. Faktor Sosial Budaya Dan Pemeriksaan Kehamilan Yang
Berhubungan Dengan Kejadian BBLR ( Studi di Wilayah Kerja
Puskesmas Singkawang Tengah di Kota Singkawang)
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah berat pertama janin yang diukur dalam
satu jam pertama setelah lahir yang kurang dari 2.500 gram (hingga 2.499 gram).
BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas dan disabilitas
neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak jangka panjang baik dari segi
fisik maupun psikis terhadap kehidupannya di masa depan.
Ada berbagai faktor penyebab gizi yang tidak tepat atau kurang gizi pada ibu.
Pada sebagian besar masyarakat, tabu makanan ditujukan pada seorang wanita,
terutama mereka yang berada dalam usia subur. Dalam situasi tertentu,
kepercayaan terhadap budaya dan tahayul yang berlaku di dalam masyarakat lokal
harus dipelajari dan jika memungkinkan, ibu hamil harus dibantu untuk melihat
bahwa menjalankan tabu tersebut merupakan sumber bahaya, tidak hanya pada
kesehatannya sendiri, tapi juga terhadap kesehatan bayi yang dikandungnya.
Mengurangi nutrisi pada ibu hamil merupakan hal yang tidak masuk akal. Ibu
hamil adalah anggota keluarga yang sudah dewasa, oleh karena itu maka
makanannya juga akan sama dengan kebiasaan makan anggota keluarga lainnya.
Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa orang tua yang
berperan dalam menganjurkan anaknya untuk pantang terhadap
makanan/minuman tertentu memiliki risiko BBLR. Dapat disimpulkan bahwa
responden yang memiliki orang tua yang menganjurkan untuk pantang
terhadap makanan/minuman tertentu memiliki peluang lebih besar
mengalami BBLR.
Orang tua responden memiliki kecenderungan untuk menganjurkan
pantang terhadap makanan/minuman tertentu kepada anaknya yang
sedang hamil. Orang tua yang menganjurkan pantang cenderung akan
ditaati oleh anaknya karena khawatir apabila pantangan tersebut dilanggar
maka anak yang dilahirkan tidak sempurna fisiknya (cacat).
Salah satu contoh pengaruh budaya yaitu dengan minum jamu. Beberapa
hasil penelitian menemukan bahwa kebiasaan minum jamu selama masa
kehamilan tidak berpengaruh terhadap bayi yang dilahirkan. Jamu
merupakan obat yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan atau tumbuhan
obat yang memiliki khasat tertentu. Kandungan zat gizi jamu hanya terdiri
dari beberapa mineral, vitamin, dan zat berkhasiat obat (fitokimia). Sehingga
tubuh tetap membutuhkan asupan zat gizi untuk mencapai kesuburan.
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah ibu hamil dianjurkan unuk
memperhatikan kesehatannya dengan memeriksakan kehamilan secara dini dan
teratur. Perlu adanya penyampaian informasi melalui KIE pada pertama kali
ibu hamil memeriksakan kehamilannya mengenai pentingnya pemeriksaan
kehamilan secara tepat sehingga ibu hamil dapat rutin memeriksakan
kehamilannya

Kesimpulan:
1. Ada hubungan antara peran orang tua dengan kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Singkawang Tengah di Kota Singkawang.
2. Ada hubungan antara kebiasaan makan dengan kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Singkawang Tengah di Kota Singkawang.
3. Tidak ada hubungan antara kebiasaan minum jamu dengan kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Singkawang Tengah di Kota Singkawang.
4. Ada hubungan antara pemeriksaan kehamilan dengan kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Singkawang Tengah di Kota Singkawang.

Anda mungkin juga menyukai