Anda di halaman 1dari 271

SATUAN ACUAN PERKULIAHAN

I PENDAHULUAN
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Khusus
B. Kedudukan Hukum Pidana Khusus dalam Sistem
Hukum Pidana Nasional
C. Sumber Hukum Pidana Khusus
D. Latar Belakang dan Perkembangan Hukum Pidana
Khusus
E. Penyimpangan Hukum Pidana Khusus dari Hukum
Pidana Umum
II . CIBER CRIME
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Ciber Crime
B. Bentuk-bentuk Ciber Crime dalam UU ITE.
C. Beberapa ketentuan khusus hukum pidana
materil dan formil dalam UU ITE
III. TINDAK PIDANA TERORISME
A. Pengertian Terorisme dan Tindak Pidana
Terorisme
B. Latar Belakang Pengaturan Tindak Pidana
Terorisme
C. Bentuk-bentuk tindak pidana terorisme dalam UU
Pemberantasan Terorisme
D. Penyimpangan hukum pidana materil dan formil
dalam UU Pemberantasan Terorisme
III. TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana
Perdagangan Orang
B. Latar Belakang Pengaturan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
C. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang
dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
D. Beberapa ketentuan khusus secara materil
dan formil dalam UU Pemberantasan
Perdagangan Orang.
E. Langkah Pemerintah dan Kerjasama
Internasional dalam Penanggulangan
Perdangangan Orang
IV TINDAK PIDANA KORUPSI
a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
b. Macam-Macam Tindak Pidana Korupsi
c. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi
d. Tindak Pidana yang Berkaitan Dengan Tindak
Pidana Korupsi
e. Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi
IV. TINDAK PIDANA NARKOTIKA
a. Pengertian Tindak Pidana Narkotika
b. Tujuan Pengaturan Narkotika Dalam UU
c. Macam-Macam Tindak Pidana Narkotika dan
Unsur-Unsurnya
d. Badan Narkotika Nasional
e. Penyidik Tindak Pidana Narkotika
f. Kewenangan Penyidik Tindak Pidana Narkotika
g. Penyelesaian Tindak Pidana Narkotika
Bahan Bacaan
• Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan
Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Kejahatan, Jakarta: Kencana Predana Media Group,
2007
• _____________________, Antisipasi Penanggulangan
Cybercrime Dengan Hukum Pidana. Jakarta: Perdana
Kencana Group, 2007, hal. 237.
• _____________________,Tindak Pidana Mayantara,
Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia,
Jakarta: RajaGrafindo, 2006
• _____________________,Tindak Pidana
Mayantara, Perkembangan Kajian Cyber Crime di
Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo, 2006
• _____________________, Kapita Selekta Hukum
Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003
• _____________________, Perbandingan Hukum
Pidana, Jakarta: RajaGrafindo, 2002
• _____________________, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya
Bakti, 1996, hal. 47.
• Harkristuti Harkrisnowo, Laporan Perdagangan
Manusia di Indonesia, Sentra HAM UI, Jakarta, 2003
Latifah Iskandar, Perdagangan (Trafficking)
Perempuan dan Anak Indonesia
Suhariyono Ar, Makalah Aspek Hukum Anti
Perdagangan Manusia (Human Trafficking).
Disampaikan dalam Seminar tentang Perlindungan
dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri, Surabaya, 30- 31 Agustus 2005
Anang Iskandar, 2014, Jalan Lurus Penanganan
Penyalah Guna Narkotika Dalam Konstruksi Hukum
Positif, Jakarta: Tanpas Communication
Andi Hamzah, 2001, Hukum Acara Pidana Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika
___________. 1996, Pengusutan Perkara Kriminal
Melalui Sarana Teknik dan Sarana Hukum, Jakarta:
Ghalia Indonesia
___________. Bunga Rampai Hukum Pidana dan
Hukum Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia
Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, 1987, Surat Dakwaan
(Suatu Kupasan Praktis Berdasar Teori), Bandung:
Alumni
Ansorie Sabuan, dkk. 1994, Hukum Acara Pidana,
Bandung: Angkasa
Leden Marpaung, 1995, Proses Penangan Perkara
Pidana, Jakarta: Sinar Grafika
M. Yahya Harahap, 2009, Pembasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan Penuntutan), Jakarta: Sinar
Grafika
M. Yahya Harahap, 2009, Pembasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Persidangan), Jakarta: Sinar Grafika
Hartono, 2010, Penyidikan dan Penegakan
Hukum Pidana (melalui pendekatan hokum
progresif), Jakarta: Sinar Grafika
Paulina G. Padmohoedojo, 2006, Pencegahan
Penyalagunaan Narkoba (Narkotika, Obat
Psikotropika dan Bahan Berbahaya), Jakarta:
Yayasan Research Consultants Indonesia
(Recon-Indo)
Pusat Dukungan Pencegahan Pelaksana Harian
Badan Narkotika Nasional (BNN), 2005, Modul
Pelatihan Tokoh Masyarakat Sebagai
Fasilitator Penyuluh Pencegahan
Penyalahgunaan Narkoba, Jakarta: BNN
Soedjono D, 1985, Narkotika dan Remaja,
Bandung: Alumni
___________. 1986, Penyalahgunaan Narkotika
dan Psikotropika, Bandung: Alumni
UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Peraturan Presiden tentang Badan Narkotika
Nasional
Peraturan Kepala BNN No. 11 Tahun 2014 tentang
Tata Cara Penanganan Tersangka atau Terdakwa
Pecandu Narkotika atau Penyalahgunaan
Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi
ISTILAH HUKUM PIDANA KHUSUS
• Hukum Pidana Khusus terjemahan dari het
bijzonder strafrecht
1. Sudarto menggunakan istilah Hukum Pidana
Khusus dan UU Pidana Khusus untuk
menggambarkan UU di luar KUHP
2. Nolte menggunakan istilah het strafrecht in de
afzonderlijke wetten (hukum pidana dalam
undang-undang yang tersendiri). Nolte
menggunakan istilah ini untuk menjelaskan
tentang hukum pidana dalam peraturan
perundangan yang ada di luar WvS atau yang
disebutnya dengan niet-gecodificeerd strafrecht.
Sebagian dari niet-gecodificeerd strafrecht itu
menurut Nolte disebut juga dengan het bijzonder
strafrecht, seperti hukum pidana fiskal (het
fiscale strafrecht).
3.Van Bemmelen menggunakan istilah Peraturan
Pidana Khusus dalam menjelaskan ketentuan
pidana khusus yang terdapat dalam Pasal 55 ayat
(2) WvS.
4. Simons ketika menguraikan aturan dalam
pasal yang sama menggunakan istilah
Ketentuan Pidana Khusus.
5. Schaffmeister juga menggunakan istilah yang
sama yaitu Ketentuan Pidana Khusus,
disamping istilah lain yaitu Aturan Pidana
yang Khusus.
6.Satochid Kartanegara menggunakan istilah
Peraturan Pidana Khusus, ketika menjelaskan
tentang aturan yang terdapat dalam Pasal 63
ayat (2) KUHP tersebut.
PENGERTIAN
Hukum pidana merupakan suatu ilmu yang mempelajari
tentang hukum pidana positif.
Hukum pidana positif adalah ketentuan hukum pidana
yang sedang berlaku pada waktu dan tempat tertentu.
Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar
dan aturan untuk menentukan; perbuatan mana yang
dilarang atau tidak boleh dilakukan dan disertai
ancaman atu sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
siapa melanggar larangan tersebut
Hukum pidana terdiri dari:
1.Hukum pidana materil yaitu peraturan-
peraturan yang memuat rumusan:
a. Perbuatan apa yang dapat dipidana,
b. Siapa yang dapat dipidana,
c. Pidana apa yang dapatdijatuhkan terhadap
seeorang yang melakukan tindak pidana.
2.Hukum pidana formil yaitu aturan hukum
pidana yang mengatur cara-cara negara
menggunakan haknya untuk melaksanakan
hukum pidana materil
3.Hukum Pidana umum (Algemene Strafrecht ) Yaitu
hukum pidana berlaku umum atau berlaku untuk
semua orang.
Sumber hukum pidana umum ini adalah ; KUHP
Contoh ; Pasal 338 KUHP ( Pembunuhan ), Pasal 362
KUHP ( pencurian ) dll.
4.Hukum Pidana Khusus (Bijzonder Strafrecht) yaitu
hukum pidana yang berlaku khusus bagi orang dan
golongan orang tertentu dan terhadap perbuatan
tetentu. Berlaku bagi orang dan golongan tertentu
seperti anggota ABRI. Sedangkan terhadap perbuatan
tertentu, misalnya Tindak pidana ekonomi, Tindak
pidana korupsi, Tindak pidana narkotika.
Persamaan hukum pidana umum dengan
hukum pidana khusus adalah sama-sama
mengatur perbuatan yang dapat dihukum
5. Hukum Pidana Nasional;
6. Hukum Pidana Internasional;
7. Hukum Pidana Tertulis;
8. Hukum Pidana Tidak Tertulis;
9. Hukum Pidana Obyektif;
10. Hukum Pidana Subyektif.
Pengertian Hukum Pidana Khusus
POMPE
Memberikan pengertian hukum pidana khusus secara luas,
yang meliputi baik hukum pidana materil dan hukum
pidana formil.
Hukum pidana khusus, orangnya yang khusus dan
perbuatan yang khusus.
Orang yang khusus , dalam hukum pidana Militer.
Perbuatan yang khusus, seperti Hukum pidana fisikal
untuk tindak pidana perpajakan, Hukum pidana ekonomi
untuk tindak pidana ekonomi, Hukum pidana korupsi.
Paul Scholten
Kriteria yang dipakai sebagai patokan adalah”
berlaku umum” dan” berlaku khusus”
Semua hukum yang berlaku umum adalah
Hukum Pidana Umum.
Hukum pidana khusus menurutnya adalah
perundang-undangan hukum pidana yang di
dalamnya mengandung sanksi pidana yang
disebut dengan hukum pidana pemerintahan
SOEDARTO
Hukum Pidana Khusus adalah hukum pidana
yang ditetapkan untuk golongan-golongan
tertentu/ orang tertentu dan berhubungan
dengan perbuatan- perbuatan yang khusus.
Andi Hamzah
Perundang-undangan pidana khusus adalah
semua perundang-undangan di luar KUHP
yang mengandung ketentuan pidana,
sedangkan perundang-undangan
pidana umum ialah KUHP dan semua perundang-
undangan yang merubah dan menambah KUHP
Satochid Kartanegara mengatakan Peraturan
Pidana Khusus memiliki unsur-unsur sebagai
peraturan hukum pidana umum, akan tetapi di
samping itu terdapat juga peraturan hukum
pidana khusus
Ilhami Bisri : Hukum Pidana Khusus yaitu hukum
pidana yang berlaku bagi orang-orang yang
mempunyai kualifikasi khusus atau tertentu di
wilayah Indonesia
Yang termasuk dalam pengertian hukum pidana
khusus ini adalah Hukum Pidana Militer
(golongan orang-orang khusus), Hukum
pidana fisikal (perbuatan-perbuatan yang
khusus), Hukum pidana ekonomi.
Hukum pidana militer telah dikodifikasi,
sedang hukum pidana fisikal terdapat dalam
berbagai peraturan tentang pajak. Hukum
pidana ekonomi,
diatur dalam undang-undang tindak Pidana
ekonomi (UU No.7 tahun 1955), yang menunjuk
kepada peraturan-peraturan hukum lainnya.
Di samping hukum pidana khusus ini, hukum
pidana umum (ius Commune) tetap berlaku
sebagai hukum yang menambah.
Timbul pertanyaan, di manakah letak kekhususan
dari hukum pidana khusus ? Dalam hukum
pidana khusus itu terdapat ketentuan-ketentuan
yang menyimpang dari hukum pidana umum.
Kekhususan Hukum Pidana Militer
Asas-asas pokok yang terdapat dalam hukum
pidana umum harus diperhatikan dan
penyimpangan itu ada apabila diperlukan
untuk kepentingan militer atau dalam keadaan
khusus di mana militer itu berada.
Pasal 1 KUHPT itu sendiri menerangkan, bahwa
ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana
umum berlaku, termasuk juga Bab IX dari
Buku I KUHP, kecuali apabila ditetapkan lain
dalam undang-undang.
Kekhususan Hukum Pidana Fisikal dan Hukum
Pidana Ekonomi. Dapat dilihat, adanya ketentuan-
ketentuan mengenai dapat dipidananya suatu
perbuatan, ketentuan tentang pidana, dan
mengenai dapat dituntutnya perbuatan.
Penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan-
ketentuan umum inilah yang merupakan ciri dari
hukum pidana khusus. Namum dalam
pelaksanaannya, hukum pidana khusus tetap
menghormati asas hukum pidana umum, yaitu”
tiada pidana tanpa kesalahan”Geen Straft Zonder
Schuld.
Undang-undang pidana khusus yaitu undang-
undang hukum pidana selain KUHP yang
merupakan induk peraturan hukum pidana.
Ada 3 kelompok yang dapat dikualifikasikan
sebagai undang-undang khusus. 
1. Undang-undang yang tidak dikodifikasikan
Contoh UU No.5 tahun 1997 tentang
Psikotropika UU No.35 Tahun 2009, UU No.20
tahun 2001 Perubahan dari UU No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak PIdana
Korupsi.
2. Peraturan hukum administrasi yang memuat
sanksi pidana (Administrative Penal Law),
Contoh; UU No. 5 Tahun 1960 tentang UU
Pokok Agraria. 

3. Undang-undang hukum pidana khusus yang


memuat delik-delik untuk kelompok orang
tertentu atau yang berhubungan dengan
perbuatan tertentu., Contoh: UU No.7 tahun
1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.
KEDUDUKAN HK PID KHUSUS DALAM
SISTEM HK PID IND
• PELENGKAP DARI HUKUM PIDANA UMUM
• HUBUNGAN H.PIDANA KHUSUS DENGAN H.PIDANA
UMUM:
– PASAL 103 KUHP : BUKU I BERLAKU SEPANJANG TIDAK
DITENTUKAN LAIN
– PASAL 284 KUHAP :PENGECUALIAN KETENTUAN KHUSUS
ACARA PIDANA PADA UU TERTENTU
– ASAS LEX SPECIALIS DEROGAAT LEGI GENERALIS :
KETENTUAN KHUSUS MENGALAHKAN KETENTUAN
UMUM
Masalah yang timbul dengan adanya undang-
undang Pidana Khusus. Undang-undang pidana
khusus ( dalam arti luas ) mempunyai
kedudukan penting dalam tata hukum Indonesia
dewasa ini, antara lain UU No. 7 Tahun 1955
Tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU No.35
Tahun 2009 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Narkotika, UU No. 20 Tahun 2001
tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi,
UU No. 26 Tahun 1999 tentang Kejahatan
Negara, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas Jalan Raya.
Dengan kenyataan tersebut , adanya UU pidana khusus
memberi corak kepada tata hukum pidana kita yang
terpecah-pecah. Sifat terpecah-pecah itu, apabila
ditambah dengan penyimpangan-penyimpangan dari
asas-asas hukum pidana yang terdapat dalam ketentuan
umum dari hukum pidana umum, mempunyai implikasi
yang tidak menguntungkan untuk penegakan hukum
pidana itu sendiri. Tiap undang-undang menghendaki
agar dilaksanakan. Oleh karena itu untuk melaksanakan ,
undang-undang pidana tersebut harus digerakkan sekian
banyak instansi pemerintah dan anggota masyarakat
sendiri, apabila hendak dicapai apa yang dikehendaki
oleh undang-undang itu.
Pembentukan undang-undang pidana khusus termasuk
dalam rangka politik kriminal, ialah usaha masyarakat
dengan perantaraan berbagai organ pemerintah
untuk secara rasional menanggulangi kejahatan.
Dengan adanya Undang-undang pidana khusus ini
dimungkin adanya penyimpangan-penyimpangan dari
asas umum hukum pidana dan dari hukum acara
pidana yang umum. Namun penyimpangan itu tidak
boleh mendatangkan ketidakpastian hukum yang
dapat berakibat adanya rasa tidak tentram dalam
masyarakat, dan juga tidak boleh mengakibatkan
politik kriminal dari negara tidak efektif, karena
adanya kesimpang siuran dalam penegakakan hukum.
Ruang Lingkup Hukum Pidana Khusus

Yang merupakan ruang lingkup hukum pidana


khusus, yang memuat delik-delik untuk
kelompok orang tertentu atau perhubungan
dengan perbuatan tertentu,adalah :
1.Subyeknya adalah orang tertentu atau
golongan orang tertentu.
2. Perbuatan yang khusus.
3. Peraturan perundang-undangan yang khusus.
SISTEM PERKEMBANGAN
HUKUM PIDANA

• Sistem Compromise,
• Sistem Global,
• Sistem Evolusi.
Sistem Compromise
• UU UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana (merubah nama
WvSNI menjadi WvS/KUHP, perubahan
beberapa pasal dan krimininalisasi delik
pemalsuan uang dan kabar bohong).
• UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman
Tutupan (menambah jenis pidana pokok
berupa pidana tutupan).
• UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penang-
guhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan
Dokter Gigi (menambah kejahatan praktek dokter).
•UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan
Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI
dan Mengubah KUH Pidana (menambah kejahatan
terhadap bendera RI).
•UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP
(memperberat ancaman pidana Pasal 359, 360, dan
memperingan ancaman pidana Pasal 188).
• UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang
Beberapa Perubahan dalam KUHP (merubah
vijf en twintig gulden dalam beberapa pasal
menjadi dua ratus lima puluh rupiah).
• UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang
Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam
KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana
lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17
Agustus 1945 (hukuman denda dibaca dalam
mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas
kali).
• UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama
(penambahan Pasal 156a).
• UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan
Perjudian (memperberat ancaman pidana bagi
perjudian (Pasal 303 ayat (1) dan Pasal 542)
dan memasukkannya Pasal 542 menjadi jenis
kejahatan (Pasal 303 bis).
• UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan
dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP
Bertalian dengan Perluasan Berlakunya
• Ketentuan Perundang-undangan Pidana,
Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap
Sarana/Prasarana Penerbangan (memperluas
ketentuan berlakunya hukum pidana menurut
tempat (Pasal 3 dan 4), penambahan Pasal 95a,
95b, dan 95c serta menambah Bab XXIX A
tentang Kejahatan Penerbangan).
• UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan
terhadap Keamanan Negara (menambah
kejahatan terhadap keamanan negara Pasal 107
a-f).
Sistem Global
• UU No. 31, Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU
No. 21 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
• UU No. 7 drt Tahun 1955 tentang Tindak
Pidana Ekonomi
• UU No. 22 Tahun 1997 tentang Psikotropika
• UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
• UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
• UU No. 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
• UU No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas UU No. 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan
• UU No. 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian
• UU No. 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Perdagangan Orang
• UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
Transaksi dan Elektronik
• Dll.
LATAR BELAKANG LAHIRNYA /
TIMBULNYA HUKUM PIDANA KHUSUS
• INDONESIA MENGANUT CIVIL LAW SYSTEM
(EROPAH KONTINENTAL)
• HUKUM (PIDANA) TERTULIS: KODIFIKASI – KUHP
• PERKEMBANGAN MASYARAKAT – KARENA
PEMBANGUNAN, KEMAJUAN TEKNOLOGI -
PERUBAHAN NILAI- KEJAHATAN BARU
• PENGANGGULANGAN KEJAHATAN BARU :
KRIMINALISASI-PENALISASI
• MENAMBAH KUHP ? MEMBUAT UNDANG-UNDANG
BARU DI LUAR KUHP (system Global)
Hukum pidana terbuka dan peka terhadap
perubahan. Perubahan ini merupakan
konsekwensi dari perubahan masyarakat
dalam konteks pembangunan nasional yang
membawa efek sampingan, yaitu muncul dan
berkembangnya berbagai bentuk prilaku
kriminil yang tidak tertampung oleh KUHP.
Kejahatan sebagai gejala sosial telah mengalami
perkembangan dari bentuk tradisionil ke
bentuk konvensional, sehingga semakin sulit
untuk dijangkau oleh ketentuan hukum pidana
yang berlaku umum ( KUHP ). Bertolak dari
keterbatasan ketentuan hukum pidana yang
berlaku umum ( KUHP ) dan guna mewadahi
fenomena perkembangan masyarakat, maka
ditempuh berbagai kebijakan perundang-
undangan hukum pidana, yaitu dibuat hukum
pidana khusus.
Di samping membuat berbagai undang-undang
untuk merubah atau menambah beberapa
ketentuan yang ada dalam KUHP, juga men-
ciptakan berbagai undang-undang pidana
khusus di luar KUHP. Pembentukan undang-
undang pidana khusus dpat dilihat sebagai
suatu pilihan yang tidak dapat dielakkan guna
memenuhi kebutuhan dan untuk mencegah
timbulnya kekosongan hukum.
Ketentuan hukum pidana khusus tersebar
diberbagai perundang-undangan, yang
memberikan ancaman pidana terhadap suatu
perbuatan yang dilakukan dalam bidang
tertentu. Artinya, ia merupakan suatu bentuk
tindak pidana tertentu dalam bidang tertentu.
Sedangkan aturan umumnya tetap tunduk
pada ketentuan umum yang tercantum dalam
KUHP.
Adanya proses kriminalisasi dan dekriminalisasi
Proses kiminalisasi
Proses penetapan suatu perbuatan yang pada
mulanya tidak merupakan perbuatan pidana,
dengan perkembangan masyarakat dan
perkembangan tehnologi, perbuatan tersebut
menjadi perbuatan pidana.
Undang-undang yang ada dianggap tidak memadai
lagi terhadap perubahan norma, sedangkan
untuk merubah ketentuan perundangan yang
ada ( KUHP ) memerlukan waktu yang lama.
Adanya keadaan yang mendesak, sehingga perlu
diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera
menanggulangi kejahatan yang sedang terjadi.
Adanya suatu perbuatan yang khusus, apabila
dipakai undang-undang yang ada untuk
memproses perbuatan khusus tersebut, akan
mengalami kesulitan dalam pembuktiannya.
Proses dekriminalisasi
Proses penetapan suatu perbuatan yang semula
merupakan perbuatan pidana dan sudah ada
pengaturannya dalam undang-undang,
kemudian perbuatan tersebut menjadi
perbuatan yang tidak dapat dipidana. Atau
ketentuannya dicabut atau diganti dengan
yang baru.
PENYIMPANGAN H.PIDANA KHUSUS DARI
H.P.UMUM
• HUKUM PIDANA MATERIL :
– SUBJEK HUKUM : ORG DAN KORPORASI
– PERCOBAAN : DIPIDANA SAMA DGN DELIK SELESAI
– STELSEL PIDANA : KUMULASI PIDANA POKOK, PRINSIP
PIDANA MINIMUM KHUSUS
• HUKUM PIDANA FORMIL :
– PENYIDIK: JAKSA – TIPIKOR DAN PELANGGARAN HAM
BERAT, KPK – TIPIKOR (PENYIDIK DAN PU)
– PERADILAN IN ABSENTIA
– ALAT BUKTI ELEKTRONIK DLL
HUBUNGAN HUKUM PIDANA KHUSUS
DENGAN HUKUM PIDANA UMUM
1. Hukum pidana umum merupakan aturan hu-
kum yang berlaku umum terdapat dlm KUHP;
2. Hukum pidana khusus merupakan aturan hu-
kum yg berlaku bagi hal-hal tertentu, baik
orangnya tertentu maupun orangnya terten-
tu, sebagaimana terdapat dlm UU di luar KU-
HP;
3. Hubungan terdapat dalam:
a. Pasal 103 KUHP yg merupakan pasal peng-
hubung antara Buku I KUHP dgn Hukum Pi-
dana Khusus, shg berlaku Bab I s/d Bab VIII
Buku I KUHP bagi hukum pidana khusus,
antara lain berlaku Asas Legalitas, Asas
Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana,
dll.
b. Asas Lex Speciale derogat legi generalis
Pasal 63 ayat (1) KUHP yaitu bila suatu per-
buatan bertentangan dgn aturan yg umum
dan aturan yg khusus, maka yg diterapkan
adalah aturan yg khusus.
Asas Hukum Pidana Khusus
1. Asas yg terdapat dalam KUHP yaitu:
a. Asas Legalitas
b. Asas Perubahan UU
c. Asas Teritorial
d. Asas Nasionalitas Aktif dan Pasif
2. Asas yg terdapat di luar KUHP yaitu:
a. Asas Beban Pembuktian Terbalik
b. Asas Kriminalitas Ganda (double criminality)
3. Ada 3 asas yg tercantum dalam Putusan MA No.
42/K/Kr/1966 tgl. 8 Januari 1966, yg dlm putusan
disebutkan: “MA pd asasnya dapat membenarkan
pendapat dari PT tersebut, bahwa suatu tindakan
pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai
melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu
ketentuan dalam perundang-undangan,
melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan
atau asas-asas hukum yg tdk tertulis dan bersifat
umum sebagaimana PT dianggap ada dlm perkara
penggelapan yg formil terbukti dilakukan oleh
terdakwa.
Asas yg terdapat dlm putusan yaitu:
1. Asas Keadilan merupakan asas dimana setiap
orang atau tersangka atau terdakwa
diperlaku-kan sama di depan pengadilan
tanpa perbeda-an satu dgn yg lainnya,
2. Asas Hukum yg Tidak Tertulis merupakan asas
hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang
dlm masyarakat (the living law),
3. Asas yg Bersifat Umum merupakan asas yg
telah diketahui dan dikenal dlm ilmu hukum
seperti asas praduga tak bersalah.
Sumber Hukum Pidana Khusus
1. UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK
2. UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika
3. UU No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan
Atas UU No. 31 tahun 2004 tentang
Perikanan
SIFAT KHUSUS DARI
KETENTUAN HK PIDANA KHUSUS
1. LOGISCHE SPECIALITEIT
– KETENTUAN KHUSUS KARENA MEMUAT SEMUA UNSUR-
UNSUR UMUM DITAMBAH UNSUR KHUSUS
– MISAL:
– PASAL 341 KUHP – 338 KUHP, 363 – 362, 374 – 372 KUHP
2. SYSTEMATISCHE SPECIALITEIT
– KETENTUAN PIDANA KHUSUS KARENA KETIKA DIBUAT
MEMANG DIKEHENDAKI UNTUK DIPERLAKUKAN SEBAGAI
KETENTUAN PIDANA KHUSUS
– PERATURAN HUKUM PIDANA DI LUAR KUHP:
– UU P-TIPIKOR, UU P-TP TERORISME,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2003
TENTANG

PENETAPAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
TERORISME, MENJADI UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018
Tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI
UNDANG-UNDANG
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 22 Juni 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2018 NOMOR 92
Pasal 1 UU No. 15 Tahun 2003 Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 106,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4232) ditetapkan menjadi
Undang-undang.
LATAR BELAKANG
• mewujudkan tujuan nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yakni melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia
• rangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di
wilayah Negara Republik Indonesia telah
mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa
memandang korban, menimbulkan ketakutan
masyarakat secara luas, dan kerugian harta
benda, sehingga menimbulkan dampak yang
luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi,
politik, dan hubungan internasional
• terorisme merupakan kejahatan lintas negara,
terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas
sehingga mengancam perdamaian dan
keamanan nasional maupun internasional
• untuk memulihkan kehidupan masyarakat
yang tertib, dan aman serta untuk
memberikan landasan hukum yang kuat dan
• kepastian hukum dalam mengatasi
permasalahan yang mendesak dalam
pemberantasan tindak pidana terorisme,
maka dengan mengacu pada konvensi
internasional dan peraturan perundang-
undangan nasional yang berkaitan dengan
terorisme
• pemberantasan terorisme didasarkan pada
nasional dan internasional dengan
membentuk peraturan perundang-undangan
nasional yang mengacu pada konvensi
internasional dan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan terorisme
untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang
tertib, dan aman serta untuk memberikan
landasan hukum yang kuat dan kepastian
hukum dalam mengatasi permasalahan yang
mendesak dalam pemberantasan tindak pidana
terorisme, maka dengan mengacu pada
konvensi internasional dan peraturan
perundang-undangan nasional yang berkaitan
dengan terorisme.
TINDAK PIDANA
1. Pengertian Tindak Pidana
2. Macam-Macam Tindak Pidana
a. Tindak Pidana Materil
b. Tindak Pidana Formil
c. Tindak Pidana Pokok
d. Tindak Pidana aduan, dll
Tindak pidana terorisme adalah segala
perbuatan yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana sesuai dengan ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang ini (Pasal 1 butir 1 UU
Terorisme)
Teror atau Terorismeselalu identik dengan
kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi
kekerasan, terrorism is the apex of violence.
Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, ttp
tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme
tidak sama dengan intimidasi atau sabotase.
Sasaran intimidasidan sabotase umumnya
langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban
tindakan Terorisme seringkali adalah orang
yang tdk bersalah. Kaum teroris bermaksud
ingin menciptakan sensasi agar masy. luas
memperhatikan apa yang mereka perjuangkan
Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan
yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan suasana teror atau rasa takut
secara meluas, yang dapat menimbulkan korban
yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan
kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital
yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik,
atau fasilitas internasional dengan motif ideologi,
politik, atau gangguan keamanan.
Kekerasan adalah setiap perbuatan
penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau
tanpa menggunakan sarana secara melawan
hukum dan menimbulkan bahaya bagi
badan, nyawa, dan kemerdekaan orang,
termasuk menjadikan orang pingsan atau
tidak berdaya.
YURISDIKSI BERLAKUNYA UU TERORISME

• Pasal 3 (1) Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-undang ini berlaku terhadap setiap
orang yang melakukan atau bermaksud
melakukan tindak pidana terorisme di wilayah
negara Republik Indonesia dan/atau negara
lain juga mempunyai yurisdiksi dan
menyatakan maksudnya untuk melakukan
penuntutan terhadap pelaku tersebut.
(2)Negara lain mempunyai yurisdiksi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
apabila:
a. kejahatan dilakukan oleh warga negara dari
negara yang bersangkutan;
b.kejahatan dilakukan terhadap warga negara
dari negarayang bersangkutan;
c. kejahatan tersebut juga dilakukan di negara
yang bersangkutan;
d. kejahatan dilakukan terhadap suatu negara
atau fasilitas pemerintah dari negara yang
bersangkutan di luar negeri termasuk
perwakilan negara asing atau tempat
kediaman pejabat diplomatik atau konsuler
dari negara yang bersangkutan;
e. kejahatan dilakukan dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa negara yang
bersangkutan melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu.
f. kejahatan dilakukan terhadap pesawat udara
yang dioperasikan oleh pemerintah negara
yang bersangkutan; atau
G.kejahatan dilakukan di atas kapal yang
berbendera negara tersebut atau pesawat
udara yang terdaftar berdasarkan undang-
undang negara yang bersangkutan pada saat
kejahatan itu dilakukan.
Pasal 4
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
ini berlaku juga terhadap tindak pidana
terorisme yang dilakukan:
a. terhadap warga negara Republik Indonesia di
luar wilayah negara Republik Indonesia;
b. terhadap fasilitas negara Republik Indonesia di
luar negeri termasuk tempat kediaman pejabat
diplomatik dan konsuler Republik Indonesia;
c. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
untuk memaksa pemerintah Republik
Indonesia melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu;
d. untuk memaksa organisasi internasional di
Indonesia melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu;
e.di atas kapal yang berbendera negara Republik
Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar
berdasarkan undang-undang negara Republik
Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan; atau
f.oleh setiap orang yang tidak memiliki
kewarganegaraan dan bertempat tinggal di wilayah
negara Republik Indonesia.
Pasal 5
Tindak pidana terorisme yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang ini dikecualikan dari tindak pidana
politik, tindak pidana yang berkaitan dengan
tindak pidana politik, tindak pidana dengan
motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan
politik, yang menghambat proses ekstradisi
MACAM TINDAK PIDANA TERORISME

• Pasal 6
Setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana teror atau
rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain,
atau mengakibatkan kerusakan atau kehancur-
an terhadap obyek-obyek vital yang strategis
atau lingkungan hidup atau fasilitas publik
atau fasilitas internasional, dipidana dengan
pidana mati atau penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
• Pasal 7
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud
untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta
benda orang lain, atau untuk menimbulkan
kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek
vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau
fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana
dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.
• Pasal 8
• Dipidana karena melakukan tindak pidana
terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang:
• a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai
atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu
lintas udara atau menggagalkan usaha untuk
pengamanan bangunan tersebut;
• b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat
dipakainya atau rusaknya bangunan untuk
pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha
untuk pengamanan bangunan tersebut;
• c. dengan sengaja dan melawan hukum
menghancurkan, merusak, mengambil, atau
memindahkan tanda atau alat untuk
pengamanan penerbangan, atau menggagalkan
bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau
memasang tanda atau alat yang keliru;
• d. karena kealpaannya menyebabkan tanda
atau alat untuk pengamanan penerbangan
hancur, rusak, terambil atau pindah atau
menyebabkan terpasangnya tanda atau alat
untuk pengamanan penerbangan yang keliru
e. dengan sengaja atau melawan hukum,
menghancurkan atau membuat tidak dapat
dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain;
f. dengan sengaja dan melawan hukum
mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak
dapat dipakai atau merusak pesawat udara;
g. karena kealpaannya menyebabkan pesawat
udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau
rusak;
h. dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain dengan melawan
hukum, atas penanggung asuransi
menimbulkan kebakaran atau ledakan,
kecelakaan kehancuran, kerusakan atau
membuat tidak dapat dipakainya pesawat
udara yang dipertanggungkan terhadap
bahaya atau yang dipertanggungkan
muatannya maupun upah yang akan diterima
untuk pengangkutan muatannya, ataupun
untuk kepentingan muatan tersebut telah
diterima uang tanggungan;
i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang
melawan hukum, merampas atau
mempertahankan perampasan atau
menguasai pesawat udara dalam
penerbangan;
j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan atau ancaman dalam
bentuk lainnya, merampas atau
mempertahankan perampasan atau
menguasai pengendalian pesawat udara
dalam penerbangan;
k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan
permufakatan jahat, dilakukan dengan
direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan
luka berat seseorang, mengakibatkan
kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat
membahayakan penerbangannya, dilakukan
dengan maksud untuk merampas
kemerdekaan atau meneruskan merampas
kemerdekaan seseorang;
l. dengan sengaja dan melawan hukum
melakukan perbuatan kekerasan terhadap
seseorang di dalam pesawat udara dalam
penerbangan, jika perbuatan itu dapat
membahayakan keselamatan pesawat udara
tersebut;
m. dengan sengaja dan melawan hukum
merusak pesawat udara dalam dinas atau
menyebabkan kerusakan atas pesawat udara
tersebut yang menyebabkan tidak dapat
terbang atau membahayakan keamanan
penerbangan;
n. dengan sengaja dan melawan hukum
menempatkan atau menyebabkan
ditempatkannya di dalam pesawat udara
dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau
bahan yang dapat menghancurkan pesawat
udara yang membuatnya tidak dapat terbang
atau menyebabkan kerusakan pesawat udara
tersebut yang dapat membahayakan
keamanan dalam penerbangan;
o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua)
orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari
permufakatan jahat, melakukan dengan
direncanakan lebih dahulu, dan
mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
huruf l, huruf m, dan huruf n;
p. memberikan keterangan yang diketahuinya
adalah palsu dan karena perbuatan itu
membahayakan keamanan pesawat udara
dalam penerbangan;
q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan
yang dapat membahayakan keamanan dalam
pesawat udara dalam penerbangan;
r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-
perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban
dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam
penerbangan.
Pasal 9
• Setiap orang yang secara melawan hukum
memasukkan ke Indonesia, membuat,
menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan
atau mencoba menyerahkan, menguasai,
membawa, mempunyai persediaan padanya atau
mempunyai dalam miliknya, menyimpan,
mengangkut, menyembunyikan,
mempergunakan, atau mengeluarkan ke
dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api,
amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-
bahan lainnya yang
berbahaya dengan maksud untuk melakukan
tindak pidana terorisme, dipidana dengan
pidana mati atau penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
TINDAK PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA TERORISME BAB IV PASAL
20 - 24
Pasal 20
Setiap orang yang dengan menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi
penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum,
dan/atau hakim yang menangani tindak pidana
terorisme sehingga proses peradilan menjadi terganggu,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 21
Setiap orang yang memberikan kesaksian
palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau
barang bukti palsu, dan mempengaruhi saksi
secara melawan hukum di sidang pengadilan,
atau melakukan penyerangan terhadap saksi,
termasuk petugas pengadilan dalam perkara
tindak pidana terorisme, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 22
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah,
merintangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan dalam perkara tindak pidana
terorisme, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun
Pasal 23
Setiap saksi dan orang lain yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 24
Ketentuan mengenai penjatuhan pidana
minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, tidak berlaku
untuk pelaku tindak pidana terorisme yang
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun
TERIMA KASIH
SUMBER CYBER CRIME

1. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan


Transaksi Elektronik
2. UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik
BEBERAPA PERUBAHAN DALAM UU ITE No.
19 Tahun 2016
1. Untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan
larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik pada ketentuan Pasal 27 ayat (3), dilakukan 3
(tiga) perubahan sebagai berikut:
a. Menambahkan penjelasan atas istilah
"mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik".
b. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah
delik aduan bukan delik umum.
c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan
tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama
baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.
2. Menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua)
ketentuan sebagai berikut:
a. Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik diturunkan dari pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (tahun)
dan/atau denda dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi
paling banyak Rp 750 juta.
b. Ancaman pidana pengiriman informasi elektronik
berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari
pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun menjadi
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda dari paling
banyak Rp 2 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.

3. Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi


terhadap 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:

a. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula


mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau
penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi
dalam Undang-Undang.
b. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5
ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat
bukti hukum yang sah.
4. Melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara
pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan
hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:
a. Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula
harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri
setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan
KUHAP.
b. Penangkapan penahanan yang semula harus
meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri
setempat dalam waktu 1x24 jam, disesuaikan
kembali dengan ketentuan KUHAP.
5. Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal
43 ayat (5):
a. Kewenangan membatasi atau memutuskan
akses terkait dengan tindak pidana teknologi
informasi;
b. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara
Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi
informasi.
6. Menambahkan ketentuan mengenai "right to be
forgotten" atau "hak untuk dilupakan" pada ketentuan
Pasal 26, sebagai berikut:
a. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib
menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang
berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang
bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
b. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib
menyediakan mekanisme penghapusan Informasi
Elektronik yang sudah tidak relevan.
7. Memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan
perlindungan dari segala jenis gangguan akibat
penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik
dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada
ketentuan Pasal 40:
a. Pemerintah wajib melakukan pencegahan
penyebarluasan Informasi Elektronik yang memiliki
muatan yang dilarang;
b. Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses
dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem
Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap
Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar hukum.
Cyber Crime (Kejahatan Siber)
Istilah dan Pengertian Cyber Crime
Istilah cyber diambil dari nama ilmu
cybernetics yang berperan dalam membangun
dunia virtual yang dikenal dengan cyberspace.
Cybernetics dalam bahasa Yunani kybernetes
yang artinya skilled in steering or governing
atau kemampuan untuk mengarahkan atau
mengatur.
cybernetics adalah ilmu pengetahuan tentang
mengatur atau mengarahkan sistem mulai dari
yang sederhana hingga yang paling kompleks
dengan cara memahami sistem dan prilaku
terlebih dahulu dan mengaturnya dari luar
sistem melalui berbagai alat, cara dan metode.
Konsep cybernetics kemudian diterapkan
dalam sains komputer, teknik elektro, robotic,
dan ilmu lainnya.
Cybercrime merupakan efek penggunaan
teknologi high tech dibidang teknologi
komunikasi dan informasi yang berdampak
negatif sangat luas dalam kehidupan
masyarakat. Kejahatan ruang cyber diistilah
juga dengan kejahatan maya sebagai
pengganti istilah cyber, sehingga cyberspace
diterjemahkan dengan dunia maya. Dengan
demikian cybercrime diterjemahkan dengan
kejahatan mayantara atau kejahatan di ruang
cyber
Istilah lain yang digunakan untuk cybercrimes
adalah kejahatan komputer. komputer sebagai
alat elektronik yang dapat menghitung atau
mengolah data secara cermat sesuai yang
diinstruksikan dan memberikan hasil
pengolahan serta dapat menjalankan sistem
multi dimensi (film, musik, televisi, faksmile).
Biasanya terdiri dari unit pemasukan, unit
pengeluaran, unit penyimpanan serta unit
pengontrolan.
cybercrimes yang kita maksud hari ini sudah
lebih luas, tidak hanya sebatas komputer
tetapi juga meliputi internet. Internet
merupakan generasi perkembangan komputer.
Komputer berkembang pesat melalui
beberapa tahap generasi. Perkembangan
kemampuan sistem operasional (operasional
systems) komputer, seperti teknologi Personal
Computer (PC) berkembang teknologi
komputer dalam bentuk mini, seperti laptop,
notebook, iPad dan lainnya
Hukum dibidang cyber atau cyberspace
disebut dengan cyberlaw. Dalam pengaturan
hukum tergabung dalam hukum telematika
(telekomunikasi, multimedia dan informasi)
dan kejahatannya disebut juga tindak pidana
atau “kejahatan telematika”. Namun dengan
berkembangnya teknologi komputer dan
internet, ruang lingkup cyberlaw mencakup
semua bidang yang terkait dengan
penggunaan komputer dan internet
cybercrime digunakan untuk menggambarkan
kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan
komputer dan internet. Atau dengan kata lain
cyberspace merupakan ruang virtual yang terbentuk
dari hasil penyatuan antara manusia dan teknologi
yaitu dalam teknologi informasi dan komunikasi.
Cybercrime ialah kejahatan atau tindak pidana yang
terjadi dalam cyberspace yang dilakukan oleh
manusia atau mesin atas dasar perintah manusia.
Sedangkan cyberlaw hukum yang mengatur
cyberspace, manusia dan mesin yang berada di
dalamnya serta interaksi yang terjadi di dalamnya
Dalam kongres PBB ke-X tentang The Prevention of Crime
and the Treatment of Offender di Vienna 10-17 April 2000,
pengertian cybercrime dibagi dalam 2 kategori:
• Cybercrime in a narrow sense (computercrime): any illegal
behavior directed by means of electronic operations that
target the security of computer systems and the data
processed by them. 
• Cybercrime in a boarder sense (computer related crime) :
any illegal behavior committed by means of, or in relation
to, a computer system or network, including such crimes
as illegal possession and offering or distribution
information by means of a computer system or network.
cybercrime mencakup :
1.perbuatan illegal terhadap system computer dan data
security, mencakup 1 the assurance of confidently. 2
Integrity. 3 Availability of data and processing
functions, antara lain : unauthorized access, merusak
data komputer atau program komputer, mengacau,
menyadap atau memata-matai komputer.
2.computer related crime, mencakup setiap kejahatan
yang dilakukan dengan atau terkait dengan sistem
atau jaringan komputer, termasuk kejahatan
konvensional yang menggunakan system atau
jaringan komputer sebagai alat.
Kategori cybercrime berdasarkan pada
penggunaan komputer :
1.komputer sebagai target kejahatan, seperti
mencuri, merusak komputer atau jaringan
komputer.
2.komputer sebagai alat melakukan kejahatan,
seperti pornografi.
3.komputer sebagai alat menghapus bukti
kejahatan
Bentuk Cyber Crime yaitu:
1.Berdasarkan European Convention 2001,
membagi kategori cyber crime atas:
a.Kejahatan terhadap kerahasian (confidentiality)
integritas dan ketersediaan data komputer dan sistem
komputer, meliputi illegal accsess, illegal interception
data interference, misuse of defices.
b.Kejahatan yang berkaitan dengan komputer, meliputi
computer related forgery (pemalsuan dengan
menggunakan komputer), computer related fraud
atau penipuan dengan memasukan, mengubah dan
menghapus data komputer sehingga orang lain
kehilangan barang atau kekayaan
c.Kejahatan yang berkaitan dengan pornografi
meliputi tindak pidana yang terkait dengan
pornografi (anak), seperti memproduksi
dengan tujuan distribusi, menawarkan,
memperoleh memiliki melalui atau sitem
komputer.
d.Kejahatan yang berkaitan dengan
pelanggaran hak cipta dan hak-hak lainnya,
meliputi semua perbuatan yang melanggar
hak cipta dan hak-hak lainnya yang bersifat
intelektual property rights.
2.Berdasarkan Konvensi Dewan Eropah tentang
cyber crime (Convention on Cybercrime) cyber
crime dikategorikan:
a.Offences against the confidentiality, integrity and
availability of computer data and system:
• Illegal accsess
• Illegal interception
• Data interference
b.Misuse of device (penyalahgunaan computer untuk
melakukan tindak pidana cyber
• Computer related offences
• Computer related forgery
• Computer related fraud
c.Content related offences:
• Offences related to child pornography
• Offences related to infringement of
copyright and related right
Cyber crime pada prinsipnya dibagi dalam
empat kategori:
a.Kejahatan terhadap data dan sistem komputer
b.Kejahatan yang dilakukan dengan komputer
c.Kejahatan mengenai content (isi/muatan)
d.Kejahatan terhadap hak cipta dan hak terkait
Pengaturan Cyber Crime UU sebelum UU No. 11
Tahun 2008 tentang ITE antara lain:
1.KUHP, Tindak pidana yang terkait dengan tindak
pidana cyber antara lain: Pemalsuan surat (Pasal
263-264 KUHP) , Pornografi (Pasal 282-283 KUHP),
Perjudian (Pasal 303 dan 303 bis), Pencurian
(Pasal 362 KUHP), membuka rahasia (Pasal 322-
323 KUHP), Pemerasan (Pasal 368 KUHP),
Pengancaman (Pasal 369 KUHP), Penggelapan
(Pasal 372 KUHP), Penipuan (Pasal 378 KUHP),
Penghinaan (Pasal 310 KUHP), Perusakan barang
(Pasal 306 KUHP)
2.Undang Undang Nomor 36 Tahun1999 tentang
Telekomunikasi.Jenis tindak pidana cyber antara lain
meliputi illegal accses atau unauthorized accses dan
illegal interception yang diatur dalam pasal 50, 55, 56.
Perbuatan-perbuatan yang termasuk tindak pidana
cyber:
a.Memanipulasi akses ke jaringan telekomunikasi dan
atau jasa telekomunikasi (Pasal 50 jo Pasal 22)
b.Menimbulkan gangguan pisik dan elektromagnetik
terhadap peyelenggaraan telekomunikasi (Pasal 55 jo
Pasal 38)
c.Menyadap infomasi melalui jaringan telekomunikasi
(Pasal 56 jo Pasal 40)
3.UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
• Terkait dengan tindak pidana korupsi, kemajuan
teknologi informasi sering digunakan untuk
menyembunyikan perbuatan atau hasil
kejahatan. Undang Undang ini menjadikan data
elektronik sebagai sumber untuk memperoleh
alat bukti petunjuk dalam tindak pidana korupsi
(Pasal 26 A Undang Undang Nomor 20 Tahun
2001 jo Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999)
4.UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yaitu terkait dengan
tindakan illegal/unauthorized accses. Terkait dengan tindak
pidana cyber, diantaranya yang terkait dengan on line
copyrights infringement, seperti pembajakan program
computer dan lagu (Pasal 72). Pasal 72 ayat (1), melarang:
1.Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
memperbanyak ciptaan;
2.Dengan sengaja dan tanpa hak menyewa karya sinematografi
dan program computer untuk kepentingan yang bersifat
komersial;
3.Dengan sengaja dan tanpa hak membuat, memperbanyak atau
menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertujukannya;
4.Memperbanyak dan/atau menyewa karya rekaman suara atau
rekaman bunyi
5.Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tetang
Penyiaran. Tindak pidana cyber dalam UUPenyiaran
termasuk kategori content related offences
sebagaimana diatur dalam Pasal 57 huruf d dan e
jo. Pasal 36 ayat (5) dan ayat (6) dan Pasal 58 huruf
d jo. Pasal 46 ayat (3). Tindak pidananya adalah:
• Siaran yang bersifat fitnah, menghasut,
menyesatkan, dan/atau bohong, menonjolkan
unsur kekerasan, cabul. Perjudian, penyalahgunaan
obat narkotika dan obat-obat terlarang,
mempertentangkan suku, agama, ras dan antar
golongan.
• Siaran yang memperolokan, melecehkan dan/atau
mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia
Indonesia atau merusak hubungan Internasional.
• Siaran iklan niaga yang memuat; promosi yang
berhubungan dengan ajaran suatu agama, ideologi,
pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung
perasaan dan/atau merendahkan martabat agama
lain, ideology lain; promosi minuman keras atau
sejenis dan bahan atau zat adiktif,; promosi rokok
yang memperagakan wujud rokok; hal-hal yang
bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan
nilai-nilai agama; eksploitasi anak dibawah umum 18
tahun.
6.Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo.
Undang Undang Nomor 25 Tahun 2005
tentang Pencucian Uang.
• Terkait dengan online banking, money laudring
dapat dilakukan ke berbagai negara dengan
menggunakan internet (cyber money
laundring). Di samping itu data elektronik
(Electronic record) diakui sebagai alat bukti
(Pasal 38)
Ruang Lingkup berlakunya Undang Undang
ITE
Undang Undang ITE Nomor 11 Tahun 2008 ini
berlaku asas ekstrateritorial, hal ini didasarkan
pada Pasal 37 yang berbunyi: “bagi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan
perbuatan yang dilarang sebagaimana
dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan Pasal
36 di luar wilayah Indonesia terhadap sistem
elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi
Indonesia”.
Asas ini secara khusus memperluas territorial
berlakunya hukum pidana Indonesia
sebagaimana diatur dalam pasal 2 KUHP.
Artinya Undang Undang ITE berlaku bagi
setiap orang (WNI/WNA) yang melanggar
Pasal 27 s/d 36, dengan catatan dilakukan
dalam yurisdiksi sistem Elektronik Indonesia.
Pengaturan tindak pidana cyber atau
cybercrime dalam Undang Undang ITE diatur
dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37.
TINDAK PIDANA
1. Pengertian Tindak Pidana
2. Macam-Macam Tindak Pidana
a. Tindak Pidana Materil
b. Tindak Pidana Formil
c. Tindak Pidana Pokok
d. Tindak Pidana aduan, dll
• Cyber Crime atau Kejahatan Siber diatur
dalam Bab VII tentang Perbuatan yang
Dilarang, Pasal 27 s/d 37 UU No. 19 tahun
2016 jo UU No. 11 tahun 2008.
• Pidana terhadap perbuatan yang dilarang
dalam Bab VII diatur dalam Bab XI tentang
Ketentuan Pidana Pasal 45 s/d 52 UU No. 19
tahun 2016 jo UU No. 11 tahun 2008.
Bentuk Cyber Crime
1.Tindak pidana yang terkait dengan informasi
dan dokumen elektronik (content related
offences) yang memuat:
• Pornografi (Pasal 27 ayat 1)
• Perjudian (Pasal 27 ayat 2)
• Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
(Pasal 27 ayat 3)
• Pemerasan dan /atau ancaman (Pasal 27 ayat 4)
Pasal 27 ayat (1), (2), (3), (4) berbunyi:
(1)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentrasmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan melanggar kesusilaan. 
(2)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau menntrasmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan perjudian.
(3)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentrasmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik
(4)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentrasmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen elektronik yang
memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman.
Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 27
menghendaki adanya unsur:
1.Dengan sengaja dan tanpa hak
2.Mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau
membuat dapat diakses Informasi dan/atau
dokumen elektronik.
3.Yang mengandung muatan, pornografi (Pasal
27 ayat 1), perjudian (Pasal 27 ayat 2),
penghinaan (Pasal 27 ayat 3) dan/atau
pencemaran nama baik, pencemaran dan/atau
pengancaman (Pasal 27 ayat 4).
• Dokumen elektronik adalah setiap informasi
elektronik yg dibuat, diteruskan, dikirimkan,
diterima atau dikirimkan dalam bentuk analog,
digital, elektormagnetik, optikal atau yg
sejenisnya, yg dapat dilihat, ditampilkan dan/atau
didengar melalui komputer atau sistem
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses,
simbol atau perforasi yg memiliki makna atau arti
atau dapat dipahami oleh orang yg mampu
memahaminya.
2.Substansi dari kejahatan dirujuk ke KUHP.
Sanksi pidana dalam Pasal 45 UU No. 11 tahun
2008 diubah dalam UU No. 19 tahun 2016
yaitu:
Pasal 45 (1) Setiap orang yang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang memiliki muatan yg
melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 1 miliar.
Pasal 45 ayat (2) UU No. 19 tahun 2016 yaitu Setiap
orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 1 miliar.
Ketentua dalam ayat (3) sebagai Delik Aduan.
2.Substansi dari kejahatan dirujuk ke KUHP
Pasal 28 ayat (1)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalamTtransaksi Elektronik.
Tindak pidana ini terkait dengan Undang Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang melarang pelaku usaha untuk
menawarkan, mempromosikan, mengiklankan
suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar
(Pasal 9).
Pelaku usaha menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan yang
tidak benar atau menyesatkan dalam
menawarkan barang dan /atau jasa (Pasal 10)
Pasal 28 ayat (2)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujuan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan /atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,
agama, ras dan antar golongan (SARA).
Tindak pidana ini termasuk content related offences.
Dalam KUHP diatur dalam Pasal 156 a dan Pasal 157
KUHP.
Pasal 29 :
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirim
Informasi Elektronik dan/atau dokumen Elektronik
yang berisikan ancaman kekerasan atau menakut-
nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Tindak pidana ini disebut juga cyber stalking: kejahatan
dengan maksud untuk menimbulkan rasa takut yang
dilakukan baik dengan kata-kata, atau perbuatan
melalui teknologi informasi dan komunikasi.
2.Tindakan yang ditujukan kepada data komputer
atau sistem elektronik.
Pasal 30
(1)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum mengakses komputer dan/atau
Sistem Elektronik milik orang lain dengan cara
apapun. 
(2)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum mengakses komputer dan/atau
Sistem Elektronik dengan cara apapun dengan
tujuan untuk memperoleh Informasi elektronik
dan/atau dokumen Elektronik.
(3)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem
Elektronik dengan cara apapun dengan melanggar,
menerobos, melampaui, atau menjebol sistem
keamanan.
Pasal 30 ini termasuk bentuk illegal access atau memasuki
system komputer tanpa hak.. Pasal 30 ayat (1)
merupakan perbuatan illegal access pada umumya. Pasal
30 ayat (2) illegal access secara khusus dengan tujuan
memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik, dan Pasal 30 ayat (3) illegal access dalam
Pasal ini termasuk illegal interception dengan cara
melanggar, menerobos, melampaui atau menjebol
sistem pengamanan.
Pasal 31
(1)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum melakukan intersepsi atau
penyadapan atas informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer
dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang
lain.
(2)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum melakukan intersepsi atas
transmisi informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang tidak bersifat publik, dari, ke, dan
dalam suatu Komputer dan/
atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain,
baik yang tidak menyebabkan perubahan apapun
maupun yang menyebabkan adanya perubahan,
penghilangan dan/atau penghentian informasi
Elektronik dan/atau dokumen Elektronik yang
sedang ditransmisikan.
(3)Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan (2) intersepsi yang dilakukan dalam
rangka penegakan hukum atas permintaan
kepolisian, kejaksaan dan/atau istitusi penegak
hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan
undang-undang.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara
intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
• Pasal 31 termasuk kategori illegal interception,
melakukan penyadapan informasi/dokumen
elektronik (Pasal 31 ayat 1) dan Pasal 31 ayat
(2) melakukan intersepsi atas transmisi bukan
bersifat publik.
Pasal 32:
(1)Setiap orang dengan sengaja tanpa hak atau
melawan hukum dengan cara apaun
mengubah, menambah, mengurangi,
melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan,
menyembunyikan suatu informasi Elektronik
dan/atau dokumen elektronik milik orang lain
atau milik publik.
(2)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
atau melawan hukum dengan cara apapun
memindahkan atau mentransfer Informasi
Elektronik dan/Dokumen Elektronik kepada
Sistem Elektronik orang lain yang tidak berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya
suatu informasi elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat
diakses oleh publik dengan seutuhnya data
yang tidak sebagaimana mestinya .
Tindakan mengganggu sistem elektronik.
Pasal 33
• “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa
hak atau melawan hukum melakukan
tindakan apapun yang berakibat terganggunya
Sistem Elektronik dan atau mengakibatkan
Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja
sebagaimana mestinya”.
Tindakan memfasilitasi kejahatan cybercrime
Pasal 34
• Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
atau melawan hukum memproduksi, menjual,
mengadakan untuk digunakan, mengimpor,
mendistribusikan, menyediakan atau memiliki:
• Perangkat keras atau lunak computer yang
dirancang atau secara khusus dikembangkan
untuk memfasilitasi pebuatan sebagaimana
dalam Pasal 27 sampai dengan 33.
* Sandi lewat computer, Kode Akses atau hal
yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar
system Elektronik menjadi dapat diakses
dengan tujuan memfasilitasi perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
dengan 33.
Pasal 35
• “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
atau melawan hukum melakukan manipulasi,
penciptaan, perubahan, penghilangan,
perusakan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dengan tujuan agar
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data
yang otentik”.
Pasal 36
• “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian
bagi orang lain”.
Pasal 37
• “Setiap orang dengan sengaja melakukan
pebuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar
wilayah Indonesia terhadap sistem Elektronik yang
berada di wilayah yurisdiksi Indonesia”.
TERIMA KASIH
LATAR BELAKANG

• BHW PERDAGANGAN ORG BERTENTANGAN DGN


HAM
• BHW PERDAGANGAN ORG TLH MJD KEJAHATAN
MELUAS, TERORGANISIR, DAN TRANSNASIONAL
• KOMITMEN NASIONAL DAN INTERNASIONAL UTK
PENCEGAHAN SEJAK DINI
• PERATURAN PERUUAN YG ADA BLM MEMBERIKAN
LANDASAN HK YG MENYELURUH DAN TERPADU
PENGERTIAN TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG

PASAL 1 BUTIR 2:
setiap tindakan atau serangkaian
tindakan yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana yang ditentukan dalam
Undang-Undang ini.
Terminologi istilah perdagangan orang termasuk
hal yang baru hal baru di Indonesia. Fenomena
tentang perdagangan orang telah ada sejak
tahun 1949, yaitu sejak ditandatanganinya
Convention on Traffic in Person. Hal ini kemudian
berkembang ketika banyak laporan tentang
terjadinya tindakan perdagangan perempuan
pada Beijing Plat Form of Action yang dilanjutkan
dengan Convention on Elimination of All Form of
Descrimination Agains Women (CEDAW) dan
telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan. Kemudian dipertegas
dalam agenda Global Alliance Agains Traffic in
Women (GAATW) di Thailand tahun 1994.
Perdagangan orang bertentangan dengan hak asasi
manusia karena perdagangan prang melalui cara
ancaman, pemaksaan, penculikan, penipuan,
kecurangan, kebohongan dan penyalahgunaan
kekuasaan serta bertujuan prostitusi, pornografi,
kekerasan atau eksploitasi, kerja paksa,
perbudakan atau praktik-praktik serupa. Jika
salah satu cara tersebut di atas terpenuhi,
maka terjadi perdagangan orang yang
termasuk sebagai kejahatan yang melanggar
hak asasi manusia.
Pada tanggal 26-28 Februari 2002, di Bali telah
diadakan Konferensi Regional Asia tentang
perdagangan orang. Dalam konferensi
tersebut dinyatakan bahwa korban terbesar
adalah perempuan dan anak. Negara-negara
peserta menyepati untuk melakukan tindakan
pemberantasan perdagangan orang.
Disadari bahwa perempuan adalah kelompok
strategis dari keberlanjutan generasi karena
perempuan mempunyai fungsi reproduksi
dengan melahirkan keturunan dan merupakan
kelompok yang menentukan kualitas keluarga,
sedangkan anak adalah tunas, potensi, dan
kelompok strategis bagi keberlanjutan bangsa di
masa depan yang memiliki ciri-ciri dan sifat yang
khusus yang harus dipenuhi dan dijamin hak-
haknya agar terlindungi tumbuh kembangnya,
kelangsungan hidupnya dan terlindung dari
deskriminasi, kekerasan, dan
eksplitasi.
Ketentuan mengenai larangan perdagangan
orang pada dasarnya telah diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal
294 KUHP menentukan mengenai larangan
perdagangan wanita dan anak laki-laki belum
dewasa dan mengkualifikasikan tindakan
tersebut sebagai kejahatan.
PENGERTIAN PERDAGANGAN ORANG
PASAL 1 BUTIR 1:
Tindakan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau
penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara
maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi
atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Unsur pengertian perdagangan orang
1.Perbuatan berupa: merekrut, mengangkut,
memindahkan, menyembunyikan atau
menerima;
2.Sarana (cara) untuk mengendalikan korban:
ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk
kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan
atau pemberian/penerimaan pembayaran atau
keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas korban.
3.Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi
atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja
paksa, perbudakan, penghambaan dan
pengambilan organ tubuh.
PENGERTIAN EKSPLOITASI
PASAL 1 BUTIR 7:
Tindakan dengan atau tanpa persetujuan
korban yang meliputi tetapi tidak terbatas
pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktik serupa perbudakan,
penindasan, pemerasan, pemanfaatan
fisik,seksual, organ reproduksi, atau secara
melawan hukum memindahkan atau
mentransplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh atau memanfaatkan tenaga atau
kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk
mendapatkan keuntungan baik materiil
maupun immateriil
PENGERTIAN EKSPLOITASI SEKSUAL
PASAL 1 BUTIR 8
Segala bentuk pemanfaatan organ tubuh
seksual atau organ tubuh lain dari korban
Untuk mendapatkan keuntungan, termasuk
tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan
pelacuran dan percabulan
PENGERTIANPEREKRUTAN

PASAL 1 BUTIR 9:
Tindakan yang meliputi mengajak,
mengumpulkan, membawa, atau memisahkan
seseorang dari keluarga atau komunitasnya.
PENGERTIAN PENGIRIMAN

PASAL 1 BUTIR 10:


Tindakan memberangkatkan atau melabuhkan
seseorang dari satu tempat ke tempat lain
PENGERTIAN KEKERASAN
PASAL 1 BUTIR 11:
setiap perbuatan secara melawan hukum,
dengan atau tanpa menggunakan sarana
terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan
bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan
terampasnya kemerdekaan seseorang.
PENGERTIAN
ANCAMAN KEKERASAN
PASAL 1 BUTIR 12:
Setiap perbuatan secara melawan hukum
berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau
gerakan tubuh, baik dengan atau tanpa
menggunakan sarana yang menimbulkan rasa
takut atau mengekang kebebasan hakiki
seseorang.
PENGERTIAN
PENJERATAN UTANG
PASAL 1 BUTIR 15:
Perbuatan menempatkan orang dalam status
atau keadaan menjaminkan atau terpaksa
menjaminkan dirinya atau keluarganya atau
orang-orang yang menjadi tanggung
jawabnya, atau jasa pribadinya sebagai
bentuk pelunasan utang.
BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG (1)
PASAL 2 AYAT (1):
Setiap orang yang melakukan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan
utang atau memberi bayaran atau manfaat
walaupun memperoleh persetujuan dari orang
yang memegang kendali atas orang lain,
untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut
di wilayah negara Republik Indonesia,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah).
BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG (2)

PASAL 2 AYAT (2):


Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi,
maka pelaku dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG (3)
PASAL 3:
Setiap orang yang memasukkan orang ke
wilayah negara Republik Indonesia dengan
maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara
Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara
lain dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah).
BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG (4)
PASAL 4:
Setiap orang yang membawa warga negara
Indonesia ke luar wilayah negara Republik
Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi
di luar wilayah negara Republik Indonesia
dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah).
BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG (5)
PASAL 5:
Setiap orang yang melakukan pengangkatan
anak dengan menjanjikan sesuatu atau
memberikan sesuatu dengan maksud untuk
dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (6)

PASAL 6:
Setiap orang yang melakukan pengiriman anak
ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa
pun yang mengakibatkan anak tersebut
tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
PEMBERATAN PIDANA
PASAL 7 AYAT (1):
– Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat(2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal
5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban
menderita luka berat, gangguan jiwa berat,
penyakit menular lainnya yang
membahayakan jiwanya, kehamilan, atau
terganggu atau hilangnya fungsi
reproduksinya, maka ancaman pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana dalam pasal-pasal tsb.
PASAL 7 AYAT (2):
Jika tindak pidana tersebut mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama penjara seumur hidup dan
pidana denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).
SANKSI TERHADAP PENYELENGGARA
NEGARA
PASAL 8 AYAT (1):
Setiap penyelenggara negara yang
menyalahgunakan kekuasaan yang
mengakibatkan terjadinya tindak pidana
perdagangan orang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan
Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal
2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
PASAL 8 AYAT (2):
Selain sanksi pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat
dikenakan pidana tambahan berupa
pemberhentian secara tidak dengan
hormat dari jabatannya.
MISLUKT UITLOKKEN
(PEMBUJUKAN YG GAGAL)
PASAL 9:
Setiap orang yang berusaha menggerakkan
orang lain supaya melakukan tindak pidana
perdagangan orang, dan tindak pidana itu
tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6
(enam) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp240.000.000,00 (dua
ratus empat puluh juta rupiah).
PERCOBAAN DAN PEMBANTUAN
PASAL 10:
Setiap orang yang membantu atau
melakukan percobaan Untuk melakukan
tindak pidana perdagangan orang,
dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
PERENCANAAN DAN PERMUFAKATAN JAHAT

PASAL 11:
Setiap orang yang merencanakan atau
melakukan permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana perdagangan orang,
dipidana dengan pidana yang sama sebagai
pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
PEMANFAATAN KORBAN T.P.PERDAGANGAN
ORG
PASAL 12:
Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan
korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara
melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya
dengan korban tindak pidana perdagangan orang,
mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan
orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau
• mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana
perdagangan orang
• dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan
Pasal 6.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
KORPORASI
PASAL 13 AYAT (1):
• Tindak pidana perdagangan orang dianggap
dilakukan oleh korporasi
• apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-
orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama
korporasi atau untuk kepentingan korporasi,
• Baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan
lain,
• bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik
sendiri maupun bersama-sama.
• PASAL 13 AYAT (2):
• penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan
• terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
PIDANA TERHADAP KORPORASI
• PASAL 15:
– (1) selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi berupa pidana denda
dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
– (2) Selain pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat
dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha;
b. perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
c. pencabutan status badan hukum;
d. pemecatan pengurus; dan/atau
e. pelarangan kepada pengurus tersebut untuk
mendirikan korporasi dalam bidang usaha
yg sama.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA OLEH
KELOMPOK YG TERORGANISIR
• PASAL 16:
• Dalam hal tindak pidana perdagangan orang
dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi,
• maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan
orang dalam kelompok yang terorganisasi
tersebut
• dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ditambah 1/3 (sepertiga).
– a. pencabutan izin usaha;
– b. perampasan kekayaan hasil tindak
pidana;
– c. pencabutan status badan hukum;
– d. pemecatan pengurus; dan/atau
– e. pelarangan kepada pengurus tersebut
untuk mendirikan korporasi dalam bidang
usaha yg sama.
PEMBERATAN PIDANA
JIKA KORBAN ANAK

• PASAL 17:
• Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan
terhadap anak,
• maka ancaman pidananya ditambah 1/3
(sepertiga).
TP yg berkaitan Dgn TPO
Pasal 19 s/d 27
• Pasal 19
• Setiap orang yang memberikan atau memasukkan
keterangan palsu pada dokumen negara atau
dokumen lain atau memalsukan dokumen negara
atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya
tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus
delapan puluh juta rupiah).
• Pasal 20
• Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu,
menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti
palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan
hukum di sidang pengadilan tindak pidana
perdagangan orang, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00
(dua ratus delapan puluh juta rupiah).
• Pasal 21
• (1) Setiap orang yang melakukan penyerangan
fisik terhadap saksi atau petugas di
persidangan dalam perkara tindak pidana
perdagangan orang, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh
juta rupiah) dan paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
• (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau
petugas di persidangan luka berat, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah).
• (3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau
petugas di persidangan mati, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah).
• Pasal 22
• Setiap orang yang dengan sengaja mencegah,
merintangi, atau menggagalkan secara langsung
atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara
perdagangan orang, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
• PASAL 23:
– Setiap orang yang membantu pelarian pelaku
tindak pidana perdagangan orang dari proses
peradilan pidana dengan:
• a. memberikan atau meminjamkan uang,
barang, atau harta kekayaan lainnya kepada
pelaku;
• b. menyediakan tempat tinggal bagi pelaku;
• c. menyembunyikan pelaku; atau
• d. menyembunyikan informasi keberadaan
pelaku,
– dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp200.000.000, 00 (dua ratus juta rupiah).
• PASAL 24:
• Setiap orang yang memberitahukan identitas
saksi atau korban
• padahal kepadanya telah diberitahukan,
bahwa
• identitas saksi atau korban tersebut harus
dirahasiakan
• dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun
dan pidana denda paling sedikit
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00
(dua ratus delapan puluh juta rupiah).
SANKSI PIDANA LAINNYA
• PASAL 25:
– Jika terpidana tidak mampu membayar pidana
denda, maka terpidana dapat dijatuhi pidana
pengganti kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
• PASAL 27:
– Pelaku tindak pidana perdagangan orang
kehilangan hak tagihnya atas utang atau perjanjian
lainnya terhadap korban, jika utang atau
perjanjian lainnya tersebut digunakan untuk
mengeksploitasikorban.
HUKUM PIDANA FORMIL
• PASAL 28:
– Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan dalam perkara tindak
pidana perdagangan orang, dilakukan
berdasarkan Hukum Acara Pidana yang
berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.
ALAT BUKTI (1)
• Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undan Hukum Acara Pidana, dapat pula
berupa:
– a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik
atau yang serupa dengan itu; dan
– b. data, rekaman, atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda
fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam
secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada:
PEMBUKTIAN
• PASAL 30:
• Sebagai salah satu alat bukti yang sah,
keterangan seorang saksi korban saja sudah
cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah, apabila disertai dengan satu alat
bukti yang sah lainnya.
TIDAK HAPUSNYA SIFAT MELAWAN HUKUM
T.P.P.O

• PASAL 26:
• Persetujuan korban perdagangan orang tidak
menghilangkan penuntutan tindak pidana
perdagangan orang.
KEWENANGAN KHUSUS PENYADAPAN
• PASAL 31:
– (1) Berdasarkan bukti permulaan yang
cukup penyidik berwenang menyadap
telepon atau alat komunikasi lain yang
diduga digunakan untuk mempersiapkan,
merencanakan, dan melakukan tindak
pidana perdagangan orang.
– (2) Tindakan penyadapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), hanya dilakukan
atas izin tertulis ketua pengadilan untuk
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
PEMBLOKIRAN
• Pasal32:
– Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang
memerintahkan kepada penyedia jasa keuangan
untuk melakukan pemblokiran terhadap harta
kekayaan setiap orang yang disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana perdagangan orang.
KETERANGAN SAKSI SECARA
TELEKONFRENCE
• PASAL 32:
• Dalam hal saksi dan/atau korban tidak dapat
dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan
secara jarak jauh melalui alat komunikasi
audio visual.
DIDAMPINGI ADVOKAT ATAU PENDAPING
LAINNYA
• PASAL 35:
• Selama proses penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi
dan/atau korban berhak didampingi oleh
advokat dan/atau pendamping lainnya yang
dibutuhkan.
KETENTUAN YG MENYIMPANG LAINNYA
• HAK KORBAN UTK MENDAPATKAN INFORMASI
PERKEMBANGAN KASUSNYA
• HAK KORBAN/SAKSI UTK DIPERIKSA TANPA HADIRNYA
TERDAKWA
• SIDANG TERTUTUP UTK PEMERIKSAAN SAKSI/
KORBAN ANAK
• PEMERIKSAAN SAKSI/KORBAN ANAK DI LUAR
PERSIDANGAN
• PERADILAN IN ABSENTIA
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

• PASAL 43 – 55
• PASAL 43:
– BERDASARKAN UU PERLINDUNGAN SAKSI DAN
KORBAN UU No. 23 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
MENCABUT BERLAKUNYA
• PASAL 297 KUHP:
– MEMPERNIAGAKAN PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI YG
BELUM DEWASA
• PASAL 324 KUHP:
– MENJALANKAN PERNIAGAAN BUDAK BELIAN ATAU
MELAKUKAN PERNIAGAAN BUDAK BELIAN, ATAU SENGAJA
TURUT CAMPUR DGN HAL ITU BAIK LANGSUNG MAUPUN
TDK LANGSUNG
TERIMA KASIH
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korup-si.
7. Penyimpangan (Perkembangan Baru) dalam UU
No. 31 Tahun 1999 dibandingkan dgn UU No. 3
Tahun 1971:
a. Korporasi sbg subyek tindak pidana;
b. Memuat ketentuan pidana yg berbeda, se-
perti memuat pidana minimum khusus, pi-
dana denda lebih tinggi dan ancaman pida-
na mati sbg pemberatan pidana;
c. Pengganti pidana tambahan pembayaran
uang pengganti yaitu pidana penjara;
d. Memperluas pengertian pegawai negeri yai
tu masuk orang yg menerima gaji atauupah
dari korporasi yg mempergunakan modal
atau fasilitas dari negara atau masyarakat;
e. Mengatur kewenangan penyidik, penuntut
umum dan hakim dapat langsung meminta
keterangan keadaan keuangan tersangka/
terdakwa (menerobos rahasia bank)kepada
gubernur Bank Indonesia;
f. Omkering van bewijslast (pembuktian terba-
lik) dan pembuktian berimbang dianut;
g. Memberikan kemungkinan peran serta ma-
syarakat untuk berpartisipasi membantu
upaya pencegahan dan pemberantasan tin-
dak pidana korupsi.
8. Korupsi dlm bahasa Latin Corruptio = penyuap
an, Curruptore = merusak; Secara harfiah ber-
arti kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral,
kebejatan, ketidakjujuran, perbuatan busuk,
penggelapan uang, menerima sogok, dll.
9. Ciri-ciri korupsi menurut Syed Husin Alatas:
a. Selalu melibatkan lebih dari satu orang;
b. Pada umumnya dilakukan secara rahasia;
c. Melibatkan elemen kewajiban dankeuntung
an timbal balik;
d. Berusaha menyelubungi perbuatannya dgn
berlindung di balik pembenaran hukum;
e. Menginginkan putusan yg tegas dan mam-
pu mempengaruhi putusan itu;
f. Berupa pengkhianatan thd kepercayaan.
10. Penyebab korupsi menurut BPKP yaitu:
a. Aspek Individu (Pelaku) berupa:
1) Sifat tamak;
2) Moral tidak baik;
3) Penghasilan kurang mencukupi;
4) Gaya hidup yg konsumtif;
5) Malas;
6) Ajaran agama yg tidak diterapkan.
b. Aspek Organisasi berupa:
1) Pemimpin tdk memberi teladan;
2) Tidak ada kultur organisasi yg benar;
3) sistem akuntabilitas tidak memadai;
4) Aspek budaya;
5) Aspek peraturan perundang-undangan.

MACAM-MACAM TINDAK PIDANA KORUPSI


I. Tindak pidana korupsi sebagaimana diatur da lam
Bab II Pasal 2 s/d Pasal 15 UU Pemberan-tasan
Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 12 B UU Revisi
atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
B. Tindak pidana lain yang Berkaitan Dengan Tin-
dak Pidana Korupsi sebagaimana diatur
dalam Bab III Pasal 21 s/d 24 UU Pemberan-
tasan Tindak Pidana Korupsi;
Macam Tindak Pidana Korupsi yaitu:
1. Tindak pidana memperkaya diri sendiri
secara melawan hukum dalam Pasal 2 ayat
(1) UU No. 31 Tahun 1999 yaitu:
Setiap orang yg secara melawan hukum me-
lakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang da-pat
merugikan keuangan negara atau pereko-nomian
negara, dipidana penjara seumur hi-dup atau
pidana penjara paling singkat 4 ta-hun dan paling
lama 20 tahun dan denda pa-ling sedikit Rp 200
juta dan paling banyak Rp 1 Milyar.
Unsur-Unsur yaitu:
a. Setiap orang;
b. Secara melawan hukum;
c. Melakukan perbuatan memperkaya diri sen-
diri atau orang lain atau suatu korporasi;
d. Dapat merugikan keuangan negara atau per
ekonomian negara;
* Tindak pidana ini merupakan delik formil;
* Melawan hukum materil dalam Penjelasan
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 sudah
dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Putus-
an Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/
2006 tanggal 24 Juli 2006;
* Macam perbuatan melawan hukum yaitu:
a. Melawan hukum materil;
b. Melawan hukum materil;
* Dalam Pasal 2 ayat (2)-nya diatur bila tindak
pidana korupsi ini dilakukan dalam keadaan
tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Ke-
adaan tertentu ini dimaksud sebagai pembe-
ratan bagi pelaku tindak pidana korupsi apa-
bila tindak pidana itu dilakukan pada waktu
negara dalam keadaan bahaya sesuai de-
ngan UU yang berlaku, pada waktu terjadi
bencana alam nasional, pengulangan tindak
pidana korupsi atau pada waktu negara da-
lam keadaan krisis ekonomi dan moneter;
2. Tindak Pidana Korupsi dengan Tujuan Meng-
untungkan Diri sendiri atau Orang Lain atau
Korporasi Menyalahgunakan Kewenangan, Ke-
sempatan atau Sarana yang Ada Padanya da-lam
Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yaitu:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntung kan
diri sendiri atau orang lain atau suatu kor-porasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesem patan atau
sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugi-kan
keuangan negara atau perekonomian nega ra.
Unsur-unsur tindak pidana tersebut yaitu:
a. Setiap orang;
b. Tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi;
c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempat-
an atau sarana yang ada padanya karena ja-
batan atau kedudukan;
d. Dapat merugikan keuangan negara atau per
ekonomian negara;
* Terhadap tindak pidana korupsi dalam Pasal
2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 19-
99 walau dilakukan pengembalian kerugian
keuangan negara atau perekonomian nega-
ra tidak menghapuskan dipidananya pelaku
tindak pidana tersebut;
3. Tindak Pidana Korupsi berupa suap dalam Pasal
5 UU No. 31 Tahun 1999 yaitu:
Setiap orang:
a. Memberikan atau menjanjikan sesuatu ke-
pada pegawai negeri atau penyelenggara ne
gara yang dengan maksud supaya pegawai
negeri atau penyelenggara negara tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan ke-
wajibannya, atau
b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara karena atau ber
hubungan dengan sesuatu yang bertentang
an dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
tidak dilakukan dalam jabatannya.
* Dalam Pasal 5 ayat (2)-nya dipidana si pega-
wai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima pemberian atau janji tersebut
yaitu sama dengan pidana yang diancam-
kan kepada si pemberi atau yang menjanji-
kan dengan pidana paling singkat 1 tahun
dan paling lama 5 tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp 40 juta dan paling banyak
Rp 250 juta.
* Dalam tindak pidana suap (memberi atau
menjanjikan) pegawai negeri atau penye-
lenggara negara ini yang diancam dengan pi-
dana yaitu:
a. Si pemberi atau si yang menjanjikan sesua
tu kepada pegawai negeri atau penyeleng
gara negara, dan
b. Pegawai negeri atau penyelenggara nega-
ra yang menerima pemberian atau janji
tersebut.
* Tindak pidana ini haruslah terbukti bahwa
pegawai negeri atau penyelenggara negara
tersebut berbuat atau tidak berbuat dalam
jabatannya sehingga bertentangan dengan
kewajibannya.
* Menurut Pasal 1 butir 1 UU No. 28 tahun 19
99 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari KKN yaitu pejabat ne-
gara yang menjalankan fungsi eksekutif, le-

gislatif atau yudikatif dan pejabat lain yang


fungsi dan tugas pokoknya berkaitan de-
ngan ketentuan peraturan perundang-unda-
ngan yang berlaku.
4. Tindak pidana korupsi menyuap hakim dan
advokat dalam Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001
yaitu setiap orang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
hakim dengan maksud untuk mempengaru-
hi putusan perkara yang diserahkan kepada
nya untuk diadili, atau
b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
seseorang yang menurut ketentuan perun-
dang-undangan ditentukan menjadi advo-
kat untuk menghadiri sidang pengadilan de
ngan maksud untuk mempengaruhi nasi-
hat atau pendapat yang akan diberikan
berhubung dengan perkara yang diserah-
kan kepada pengadilan untuk diadili.
* Tindak pidana menyuap (memberi atau men
janjikan sesuatu) hakim dan advokat dian-
cam dengan pidana penjara paling lama 3
tahun dan paling lama 15 tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling
banyak Rp 750 juta;
5. Tindak pidana Gratifikasi dalam Pasal 12 B UU
No. 20 Tahun 2001 yaitu setiap gratifikasi ke-
pada pegawai negeri atau penyelenggara ne-
gara dianggap suap, apabila berhubungan
dengan jabatan dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Yang nilainya Rp 10 juta atau lebih, pembuk
buktian gratifikasi tersebut bukan merupa-
kan suap dilakukan oleh penerima gratifika-
si;
b. Yang nilainya kurang Rp 10 juta, pembukti-
an bahwa gratifikasi tersebut suap dilaku-
kan oleh penuntut umum;
* Gratifikasi maksudnya pemberian dalam arti
luas, yakni meliputi pemberian uang, ba-
rang, rabat (discount), komisi, pinjaman tan
pa bunga, tiket perjalanan, fasilitas pengi-
napan, perjalanan wisata, pengobatan cu-
Cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi terse-
but baik yang diterima dalam negeri mau-
pun di luar negeri dan yang dilakukan de-
ngan menggunakan sarana elektronik atau
tanpa sarana elektronik;
* Untuk dapat menghindarkan diri dari tindak
pidana gratifikasi yaitu diatur dalam Pasal 12 C
UU No. 20 Tahun 2001 yaitu dalam ayat (1)
dikatakan bahwa ketentuan sebagaimana di-
maksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berla-ku
jika penerima melaporkan gratifikasi yang
diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK);
* Penyampaian laporan tersebut wajib dilaku-kan
oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 hari
kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi ter sebut
diterima;
* KPK dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak
tanggal menerima laporan wajib mene-tapkan
gratifikasi dapat menjadi milik peneri-ma atau
milik negara;
* Tata cara penyampaian laporan dan penen-
tuan status gratifikasi diatur dalam UU No. 30
Tahun 2002 tentang KPK. Dalam UU KPK di-atur
dalam Bab II tentang Tata Cara Pelaporan dan
Penentuan Status Gratifikasi Pasal 16 s/d 18.
* Setiap pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima gratifikasi wajib mela-
porkan kepada KPK, dengan tata cara sebagai
berikut:
a. Laporan disampaikan secara tertulis dengan
mengisi formulir dan melampirkan dokumen
yang berkaitan dengan gratifikasi. Formulir se-
kurang-kurangnya memuat:
a. Nama dan alamat lengkap penerima dan
pemberi gratifikasi;
b. Jabatan pegawai negeri atau penyelenggara
negara;
c. Tempat atau waktu penerimaan gratifikasi;
d. Uraian jenis gratifikasi yang diterima, dan
e. Nilai gratifikasi yang diterima (P. 16 UUKPK)
* KPK dapat memanggil penerima gratifikasi
untuk memberikan keterangan berkaitan de-ngan
pemberian gratifikasi;
* KPK wajib mengumumkan gratifikasi yang di-
tetapkan menjadi milik negara paling sedikit 1 kali
dalam setahun dalam Berita Negara.
Tindak pidana yang berkaitan dengan Tindak Pi-
dana Korupsi yang terdapat dalam Bab III Pasal 21
s/d 24 UUPTPK. Tindak pidana ini di-sebut juga
contempt of court. Tindak pidana tersebut yaitu:
a. Dilarang setiap orang yang dengan sengaja
mencegah, merintangi, atau mengagalkan se-
cara langsung atau tidak langsung penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang peng-
adilan terhadap tersangka atau terdakwa atau
pun para saksi dalam perkara korupsi;
2. Dengan sengaja setiap orang sebagaimana di-
maksud dalam Pasal 28, 29, 35 atau 36 tidak
memberikan keterangan atau memberikan ke-
terangan tidak benar, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama
12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150
juta dan paling banyak Rp 600 juta;
3. Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
220, 231, 421, 422, 429 dan 430 KUHP, dipida-
na dengan pidana penjara paling singkat 1 ta-
hun dan paling lama 6 tahun dan atau denda
paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp
300 juta.
PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

1. Pasal 25 UU Korupsi menentukan bahwa pe-


nyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di si-
dang pengadilan dalam perkara tindak pidana
korupsi harus didahulukan dari perkara lain.
Hal ini tergantung kepada lembaga yang
menyelesaikannya mana yang harus dia
dahulukan;
2. Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan dilakukan berdasarkan hu-
kum acara yang berlaku, kecuali ditentukan
lain oleh UU Korupsi (Pasal 26 UU Korupsi);
3. Tahap penyelesaian perkara korupsi yaitu:
a. Penyidikan (termasuk penyelidikan);
b. Penuntutan;
c. Persidangan di Pengadilan;
d. Eksekusi.
4. Penyidik tindak pidana korupsi yaitu:
a. Pejabat Kepolisian Negara RI (KUHAP);
B. Jaksa, berdasar UU No. 16 Tahun 2004;
c. Komisi Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK) berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002.
5. Penyidik Kepolisian Negara RI mempunyai ke-
wenangan (Pasal 7ayat 1 KUHAP) yaitu:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari se-
orang tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama di TKP;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan
memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, peng
geledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan su-
rat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan dipe-
riksa sebagai tersangka atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan
dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum
yang bertanggungjawab.
6. Dalam Pasal 26 A UU Revisi UU Korupsi, alat
bukti yang sah selain yang ada dalam KUHAP
juga sebagai alat bukti yaitu:
a. Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima
atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu;
b. Dokumen yakni setiap rekaman data atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca dan
atau didengar yang dapat dikeluarkan de-
ngan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa
pun selain kertas, maupun yang terekam se-
cara elektronik, yang berupa tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda,
angka, atau perforasi yang memiliki makna.
7.

Anda mungkin juga menyukai