MAMLE
Di sebuah kampung yang bernama Waso hiduplah sepasang suami isteri yang hidupnya sangat harmonis
dan bahagia. Sepasang suami isteri itu bernama Sandrafe dan Frisya. Pada suatu hari Frisya melahirkan seorang
anak laki-laki dan diberi nama Mamle. Mamle artinya sakti. Sandrafe dan Frisya sangat merasa senang dan
gembira atas kelahiran putranya itu. Beberapa tahun kemudian Sandrefa pun meninggal dunia. Frisya dan Mamle
sangat merasa kehilangan atas kepergian Sandrefa. Frisya pun membawa anaknya Mamle ke kampung
halamannya yang bernama Bolsase.
Pada suatu hari Frisya dan Mamle berjalan di tengah hutan dan membuka sebuah ladang baru. Frisya
menyiangi rumput dan Mamle menebang pohon menggunakan tmakh khewekh (kapak batu). Mamle menebang
pohon dengan penuh semangat, sehingga dia memnemukan satu pohon minggain, yaitu sejenis pohon sukun yang
tertumbuh di ladang itu. Mamle memanjat pohon itu dan menebang cabang-cabangnya hingga puncak pohon.
Frisya sangat khawatir melihat hal itu. Ia berteriak agar anaknya cepat turun. Tiba-tiba Mamle menjatuhkan
kapak batunya sambil terjun dari puncak pohon. Ternyata setelah sampai di bawah, Mamle tidak mengalami
cedera sedikit pun. Dalam hati Frisya berkata, “Anak ini pasti mempunyai kesaktian karena ia terjun dari pohon
yang tinggi, tetapi tidak cedera sedikit pun”.
Beberapa tahun pun berlalu dan Mamle kini menjadi seorang pemuda yang dewasa, gagah dan pemberani.
Mamle membangun bol taro, yaitu rumah pesta tari. Selesai membangun rumah itu, dia mengundang orang dari
berbagai daerah, sehingga pesta itu dihadiri banyak tamu. Ada dua perempuan yang berasal dari suku Syolo yang
juga hadir dalam undangan tersebut. Kedua perempuan itu bernama Kinta dan Meciy. Mereka berdua adalah anak
dari paman Mamle. Kinta dan Meciy menaruh hati kepada Mamle. Akan tetapi, para tetua kedua perempuan itu
melarang Kinta dan Meciy untuk berhubungan dengan Mamle. Para tetua pun menyuruh anak laki-laki yang
hadir dalam pesta tari untuk mengejar dan membunuh Mamle. Mamle selamat karena dia cepat-cepat melarikan
diri. Sewaktu berlari, Mamle melihat pohon enau. Kemudian, ia menyadap pohon enau itu dengan seruas drin
(bambu kecil) sambil berkata, “Tuak ini harus dapat memabukan orang-orang yang akan membunuhku”.
Ketika para pengejar datang, Mamle berkata, “Jangan kalian bunuh aku.
Minumlah tuak ini sampai habis. Setelah itu kalian boleh membunuhku”.
Kemudian, para pengejar mendengar apa yang dikatakan oleh Mamle dan
langsung meminum tuak itu. Ketika tuak itu akan habis, Mamle menepuk
bambu itu ke tanah sambil berkata, “Nhon oli yang artinya kembali”. Seketika
itu pun bambu tersebut dipenuhi oleh tuak seperti sediakala. Akhirnya para
pengejar Mamle pun mabuk. Kesempatan baik itu tidak disia-siakannya. Ia
segera menggunakan kesaktiannya untuk mencabut jurang yang curam untuk
membentangi orang-orang itu. Ketika orang-orang itu sadar, mereka tidak
dapat berbuat apa-apa karena di depan mereka terbentang jurang yang curam.
Mamle mengubah dirinya menjadi burung layang-layang dan mendatangi
mereka. Orang-orang yang percaya kepadanya, ia selamatkan. Akan tetapi,
mereka yang tidak percaya kepadanya, ia tinggalkan hingga mati dan menjadi
batu. Kedua perempuan yang mencintai Mamle yaitu Kinta dan Meciy pun
ikut mati. Mereka menjadi batu dan disebut sitri (tempat hati terlambat).
Apabila kedua batu itu diusap atau diperolok, maka turunlah hujan yang
lebat. Sampai sekarang batu itu masih ada di daerah Waso.
Nilai Pesan
Orang yang cerdik akan dapat memecahkan
masalah yang dihadapinya dengan baik
Kita harus percaya kepada orang yang ingin
menyelamatkan kita dari masalah atau bahaya
Kita harus selalu bersyukur dengan segala sesuatu
yang Tuhan berikan kepada kita
Janganlah kita suka bertindak atas keinginan diri
kita sendiri
b. Teks Kitab Suci Perjanjian Lama (Kej.1:1-31)