Anda di halaman 1dari 17

MEMBACA ULANG WIMBA

PADA GAMBAR TRADISI


TOPAN BAGUS PERMADI
PEMBATASAN
• Gambar tradisi yang akan dibahas disini terbatas pada gambar yang
representatif, deskriptif, yang mencandera dan yang bercerita (story
telling).
• Objek gambar tradisi yang akan menjadi titik berat untuk dianalisis
dan diperbandingkan bahasa rupa-nya adalah gambar cadas prasejarah
(dunia), relief cerita Lalitavistara Borobudur, artefak lukisan Wayang
Beber lakon Jaka Kembang Kuning.
• Acuan dan metode yang digunakan pada analisis ini berpedoman pada
sumber referensi penelitian yang dilakukan oleh Prof. Primadi Tabrani
perihal bahasa rupa (1982-2000).
GAMBAR DAN BAHASA RUPA
• Menurut Prof. Primadi Tabrani, apapun alasan seoran perupa untuk
berkarya, karyanya merupakan sesuatu yang kasat mata/unseen
(imajinasi). Maka dari itu, secara umum bahasa rupa akan berfungsi
untuk digunakan membaca semua karya yang kasat mata, dimana akan
menjadi media pemahaman antara seniman dengan penonton.
• Dalam bahasa kata ada kata dan tata bahasa. Hal ini juga berlaku pada
bahasa rupa, dimana bahasa rupa adalah imaji dan tata ungkapan.
Imaji dalam hal ini mencakup makna yang luas, baik imaji yang kasat
mata maupun imaji yang ada dalam khayalan. Maka dari itu istilah
citra untuk ‘imaji’ dalam khayalan dan wimba, berfungsi untuk
memahami imaji yang kasat mata.
• Dalam analisis ini Prof. Primadi Tabrani membatasi bahasa rupa untuk
aspek bercerita, sebab pada aspek estetis dan simbolis cenderung tidak
spesifik disebut sebagai bahasa rupa estetis dan simbolis, tetapi lebih
mengarah kepada kaidah estetis dan makna simbolis. Maka dari itu
dibedakan dua jenis bahasa rupa antara Ruang Waktu Datar (RWD)
dan Naturalis Perspektive Opname (NPM).

ESTETIS SIMBOLIS

STORY TELLING
JENIS BAHASA RUPA
NATURALIS PERSPETIF MOMENT
RUANG WAKTU DATAR (RWD)
OPNAME (NPM)
• Sistem Ruang Waktu Datar (RWD) merupakan • Sistem menggambar hanya dari satu
jenis bahasa rupa yang sangat dekat dengan seni tempat/arah/waktu (stile picture) seperti
rupa tradisi nusantara. membuat foto.
• Lebih mencandera dengan stilasi apa yang • Apa yang digambar diabadikan menjadi
digambar sebuah adegan yang berupa gambar mati
• Mampu bercerita tentang isi gambar, seperti • Gambar cenderung ‘dipenjarakan’ dalam
halnya yang dilakukan bahasa kata, tari, drama
sebuah bingkai (frame)
dan semua hal yang bermatra waktu.
• Gambar yang dihasilkan berupa sekuen (tidak
still picture) yang terdiri dari beberapa adegan
• Gambar tidak terpenjara dalam frame, tapi
bergerak dalam ruang dan dan waktu.
Jenis Gambar Yang Menggunakan Jenis Gambar Yang Menggunakan Naturalis
Ruang Waktu Datar Perspective Moment Opname (NPM)
APA ITU WIMBA?
Dalam bahasa rupa dikenal istilah wimba, yaitu objek yang dicandera (Dideskripsikan
atau digambarkan). Di dalam wimba terdapat isi wimba dan cara wimba.

• Isi Wimba:
- Objek yang digambarkan
• Cara Wimba:
- Dengan cara apa objek digambar
- Cara menggambar objek
- Tata ungkapan dalam
- Tata ungkapan luar
ISI WIMBA & CARA WIMBA PADA GAMBAR TRADISI
• Isi wimba adalah objek yang digambar misalnya kerbau, cara wimbanya adalah
menggambar objek kerbau itu. Maka kerbau yang digambar = isi wimba.
• Cara wimba adalah dengan cara apa objek-objek itu digambar.
• Satu gambar tunggal akan terdiri atas susunan berbagai wimba, dimana masing-
masing gambar akan mempunyai cara wimbanya sendiri.
• Cara menyusun berbagai wimba dan juga cara wimbanya digambar agar dapat
bercerita disebut sebagai tata ungkapan dalam.
• Sedangkan cara menyusun atau menggambar sehingga masing-masing
panil/bidang gambar bersambung tersebut bercerita disebut sebagai tata
ungkapan luar (Terbatas pada gambar seri seperti relief cerita atau komik).
• Menggunakan jenis bahasa rupa Ruang Waktu Datar (RWD)
ISI WIMBA
CARA WIMBA BOROBUDUR
TATA UNGKAPAN DALAM TATA UNGKAPAN LUAR
TATA UNGKAPAN RELIEF BOROBUDUR
LALITAVISTARA
TATA UNGKAPAN DALAM TATA UNGKAPAN LUAR

• Menggunakan sistem Ruang Waktu • Cara lihatnya pradaksina dari kiri ke


Datar (RWD) kanan searah jarum jam pada setiap
panil.
• Bacaan dari kanan ke kiri
• Pohon, gapura dan ragam hias sebagai
• Wimba seolah sedang bergerak, gerak
penanda batas untuk peralihan cerita
berulang, dan di dalam ruang.
pada adegan selanjutnya.
• Cara wimba dinamis dan blabar ekspresif
• Imaji jamak
• Tampak karakteristik pada setiap isi
wimba
Ketika busur telah tiba, Bodhisattva memegangnya dengan
tangan kiri dan tanpa berdiri dari duduk dan tanpa
menyilangkan kaki, Beliau menariknya dengan satu jari.
Kemudian Beliau berdiri dan melepaskan panah yang
menembus tujuh drum besi, tujuh pohon berderet, dan
satu Babi hutan besi sebelum anak panah itu memasuki
tanah dan lenyap.” 

(Panil No. 46-49 seri Lalitavistara)


CARA WIMBA WAYANG BEBER
Tata Ungkapan Dalam Tata Ungkapan Luar
TATA UNGKAPAN WAYANG BEBER
TATA UNGKAPAN DALAM TATA UNGKAPAN LUAR
• Untuk menyatakan ruang, semua gambar dalam satu panil • Dilihat dari urutan kejadian dari bahasa rupa yang
menggunakan bahasa rupa dengan model pengambilan terbanyak digunakan adalah cara kronologis, namun
gabungan tampak seperti naturalis stilasi namun tidak juga terdapat kilas balik dan kilas maju.
digunakan naturalis prespektif.
• Untuk menyatakan gerak setiap wimba (objek) digunakan • Menggunakan arah lihat kiri ke kanan, dan tidak
bahasa rupa modern garis ekspresif, bentuk dinamis dan tidak menggunakan urutan arah lihat pradaksina.
digunakan garis tambahan, distorsi, imaji jamak. (Pada
bahasa rupa khas tradisi biasa digunakan ciri gerak, seperti
yang dicontohkan pada kasus gambar relief Borobudur).
• Cara komposisi untuk menyatakan waktu dan ruang lebih
memadukan berbagai cara bahasa rupa tradisi, dimana lapisan
latar. Urutan di suatu latar, kronologis, kilas balik/maju.
Kesemuanya dipadukan jadi satu gambar dengan cara dismix.
• Rumus urutan di suatu latar. Sesuai dengan arah lihat di suatu
belahan, maka wimba di suatu latar yang di depan muncul
akan dicertiakan lebih dulu, dan wimba yang dibelakangnya
muncul dikisahkan kemudian.
• “Tersebutlah pada suatu hari raja Kediri memanggil sidang
di balairung. Hadir antara lain perdana menteri, para
menteri, para perwira. Sidang membicarakan Dewi Sekartai,
putri baginda yang hilang dari istana, entah kemana”
• “Raja kemudian mengumumkan sayembara, siapa yang
berhasil menemukan sang puteri, bila lelaki akan dijadikan
jodohnya dan bila wanita dijadikan saudara. Saat itu
masuklah pemuda tampan dengan dua pengiringnya.
Pemuda yang mengaku sebagai Jaka Kembang Kuning ini
menyatakan kesediaan ikut sayembara.”
• “Tiba-tiba terjadi sebuah keributan di luar istana ada yang
memaksa masuk. Seorang tinggi besar yang mengaku patih
dari negeri Sebrang bernama Kebo Lorodan dan melamar
Sekartaji yang terkenal cantik jelita bagi rajanya Kebo
Lorodan. Bila lamaran. Bila lamaran ditolak kerajaan Kediri
akan dihancurkan oleh raja Klana yang memang ditakuti
dikawasan itu. Karena sang puteri sedang hilang, maka
persoalan ditunda sampai puteri ditemukan”

(Isi cerita dari dalang terkait Jagong 1, gulungan 1 pada


lukisan Wayang Beber Lakon Jaka Kembang Kuning)
EVALUASI
• Secara umum, RWD lebih mementingkan gesture, sehingga tokoh digambarkan secara lengkap (kepala-
kaki), sedangkan NPM sangat peduli dengan mimik wajah. Seperti close-up dalam komik (atau film).

• Selama ini NPM telanjur menjadi pakem (menghegemoni), sehingga dunia pendidikan “memaksakan”
bahasa NPM kepada anak. Ingat gambar dua gunung dengan jalan di tengahnya? Itu manifestasi hegemoni
perspektif. Padahal, secara alamiah anak-anak lebih mengenal RWD. Barulah pada usia tertentu mereka
bisa memahami NPM.

• Bahasa rupa lawas ini tidak lagi dipelajari, sehingga manusia modern kesulitan membacanya. Penelitian ini
mengingatkan bahwa bahasa selalu berkembang, dan membaca relief Borobudur tidak bisa menggunakan
cara-cara yang berbeda pada saat dibuat, begitupun yang terjadi di lukisan Wayang Beber.

• Menurut hemat saya, Prof. Primadi Tabrani terlalu berfokus pada analisis gambar, yang mana ini hanya
dapat dipahami oleh golongan masyarakat yang benar-benar mempelajari gambar. Konteks pagelaran tidak
begitu diperhitungkan dalam penelitian ini, padahal unsur rupa, cerita dan pagelaran merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dalam kesenian nusantara. Karena dapat diyakini bahwa para empu
pembuat relief atau gambar Wayang pastinya memiliki tafsir sendiri terhadap cerita, dan menyesuaikan
koordinator yang menetapkan interpretasi cerita.

Anda mungkin juga menyukai