Anda di halaman 1dari 31

UNIVERSITAS INDONESIA MEMBANGUN

Analisis Laporan Keuangan


Sesi 14

Teori Kebangkrutan (Prediksi Kebangkrutan)

Dr. Riyandi Nur Sumawidjaja,SE.,M.M.

inaba.ac.id
TEORI KEBANGKRUTAN (PREDIKSI
KEBANGKRUTAN)

Perusahaan tidak selalu berjalan sesusai dengan rencana. Pada situasi tertentu,
perusahaan mungkin akan mengalami kesulitan keuangan yang ringan seperti
mengalami kesulitan likuiditas (tidak bisa membayar gaji pegawai, bunga utang,
dsb). Jika tidak diselesaikan dengan benar, kesulitan kecil tersebut bisa
berkembang menjadi kesulitan yang lebih besar, dan bisa sampai pada
kebangkrutan.

Informasi kebangkrutan bisa bermanfaat bagi beberapa pihak seperti berikut:


1. Pemberi pinjaman. Informasi kebangkrutan bisa bermanfaat untuk
mengambil keputusan siapa yang akan diberi pinjaman, dan kemudian
bermanfaat untuk kebijakan memonitor pinjaman yang ada

inaba.ac.id
2. Investor. Saham dan obligasi yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan
tentunya akan sangat berkepentingan melihat adanya kemungkinan
bangkrut atau tidaknya perusahaan yang menjual surat berharga tersebut.
Investor yang menganut strategi aktif akan mengembangkan model
prediksi kebangkrutan untuk melihat tanda-tanda kebangkrutan seawal
mungkin dan mengantisipasinya.
3. Pihak Pemerintah. Pada beberapa sektor usaha, pemerintah mempunyai
tanggung jawab untuk mengawasi jalannya usaha tersebut seperti
perusahaan perbankan. Pemerintah juga mempunyai badan-badan usaha
(BUMN) yang harus selalu diawasi. Lembaga pemerintah mempunyai
kepentingan untuk melihat tanda-tanda kebangkrutan lebih awal supaya
tindakan yang perlu bisa dilakukan lebih awal.
4. Akuntan. Akuntan berkepetingan terhadap informasi kelangsungan suatu
usaha karena akuntan akan menilai kemampuan going concern suatu
perusahaan.

inaba.ac.id
5. Manajemen. Kebangkrutan berarti munculnya biaya-biaya berkaitan dengan
kebangkrutan dan biaya ini cukup besar. Suatu penelitian menunjukan biaya
kebangkrutan bisa mencapai 11 – 17 % dari nilai perusahaan. Contoh biaya
kebangkrutan langsung adalah biaya akuntan dan biaya penasihat hukum. Sedangkan
yang tidak langsung adalah hilangnya kesempatan penjualan dan keuntungan karena
beberapa hal seperti pembatasan yang mungkin di berlakukan oleh pengadilan. Apabila
manajemen bisa mendeteksi kebangkrutan lebih awal, maka tindakan-tindakan
penghematan bisa dilakukan, misal melakukan merger atau restrukturisasi keuangan
sehingga biaya kebangkrutan bisa dihindari.

Teori Kebangkrutan
Kebangkrutan biasanya diartikan sebagai kegagalan perusahaan dalam menjalankan
operasi perusahaan untuk menghasilkan laba. Kebangkrutan sebagai suatu kegagalan yang
terjadi pada sebuah perusahaan didefinisikan dalam beberapa pengertian yaitu:
1. Kegagalan Ekonomi
Kegagalan ekonomi (Economic Distressed) berarti bahwa perusahaan kehilangan uang
atau pendapatan perusahaan tidak mampu menutupi biayanya sendiri, ini berarti tingkat
labanya lebih kecil dari biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas perusahaan lebih
kecil dari kewajiban. Kegagalan terjadi bila arus kas sebenarnya dari perusahaan tersebut
jauh di bawah arus kas yang diharapkan.
inaba.ac.id
2. Kegagalan Keuangan
Kegagalan keuangan (Financial Distressed) mempunyai makna kesulitan dana baik
dalam arti dana dalam pengertian kas atau dalam pengertian modal kerja. Sebagian
asset liability management sangat berperan dalam pengaturan untuk menjaga agar
tidak terkena kegagalan keuangan. Kegagalan keuangan bisa juga diartikan sebagai
insolvensi yang membedakan antara dasar arus kas dan dasar saham.

Insolvensi atas dasar arus kas mempunyai dua bentuk, yaitu:


a. Insolvensi teknis
Insolvensi teknis dimana perusahaan bisa dianggap gagal jika perusahaan tidak dapat
memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo
b. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan.
Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan pengertian ini kebangkrutan didefinisikan
dalam ukuran sebagai kekayaan bersih negatif dalam neraca konvesional atau nilai
sekarang dari arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban.

inaba.ac.id
2. Faktor-faktor Penyebab Kebangkrutan
Adapun Faktor-faktor yang menyebabkan kabengkrutan perusahaan adalah:
2.1 Faktor Umum

a. Sektor ekonomi
Faktor-faktor penyebab kebangkrutan dari sektor ekonomi adalah gejala deflasi dalam
harga barang dan jasa, kebijakan keuangan, suku bunga, dan devaluasi atau revaluasi
uang dalam hubungannya dengan uang asing serta neraca pembayaran, surplus atau
defisit dalam hubungannya dengan perdagangan luar negeri.

b. Sektor sosial
Faktor sosial sangat berpengaruh terhadap kebangkrutan cenderung pada perubahan
gaya hidup masyarakat yang mempengaruhi permintaan terhadap produk dan jasa
ataupun cara perusahaan berhubungan dengan karyawan. Faktor sosial yang lain yaitu
kerusuhan atau kekacauan yang terjadi di masyarakat.

inaba.ac.id
c. Teknologi
Penggunaan teknologi informasi juga meyebabkan biaya yang ditanggung perusahaan
membengkak terutama untuk pemeliharaan dan implementasi. Pembengkakan terjadi,
jika penggunaan teknologi informasi tersebut kurang terencana oleh pihak manajemen,
sistemnya tidak terpadu dan para manajer pengguna kurang profesional.
 
d. Sektor pemerintah
Pengaruh dari sektor pemerintah berasal dari kebijakan pemerintah terhadap
pencabutan subsidi pada perusahaan indsutri, pengenaan tarif ekspor dan impor barang
berubah, kebijakan undang-undang baru bagi perbankan atau tenaga kerja dan lain-lain.
 
2.2 Faktor Eksternal perusahaan
a. Faktor pelanggan / kosumen
Perusahaan harus bisa mengidentifikasi konsumen, karena berguna untuk menghindari
kehilangan kosumen, juga untuk menciptakan peluang untuk menemukan konsumen
baru dan menghindari menurunnya hasil penjualan dan mencegah konsumen berpaling
ke pesaing.

inaba.ac.id
b. Faktor kreditur
Kekuatannya terletak pada pemberian pinjaman dan mendapatkan jangka waktu
pengembalian hutang yang tergantung kepercayaan kreditur terhadap kelikuiditasan
suatu perusahaan.
 
c. Faktor pesaing
Faktor ini merupakan hal yang harus diperhatikan karena menyangkut perbedaan
pemberian pelayanan kepada konsumen, perusahaan juga jangan melupakan
pesaingnya karena jika produk pesaingnya lebih diterima oleh masyarakat perusahaan
tersebut akan kehilangan konsumen dan mengurangi pendapatan yang diterima.
 
2.3 Faktor Internal perusahaan
Faktor-faktor yang meyebabkan kebangkrutan secara internal sebagai berikut:
a. Terlalu besarnya kredit yang diberikan kepada nasabah sehingga akan menyebabkan
adanya penunggakan dalam pembayaran sampai akhirnya tidak dapat membayar.

inaba.ac.id
b. Manajemen tidak efesien yang disebabkan kerena kurang adanya
kemampuan, pengalaman, ketrampilan, sikap inisiatif dari manajemen.
c. Penyalagunaan wewenang dan kecurangan dimana sering dilakukan
oleh karyawan, bahkan manajer puncak sekalipun sangat merugikan
apalagi yang berhubungan dengan keuangan perusahaan.

3. Metode Prediksi Kebangkrutan


Pengukuran atas kebangkrutan perusahaan juga dapat dilakukan
melalui laporan keuangan dengan 2 metode, yaitu metode univariate dan
metode multivariate.

inaba.ac.id
a. Model Univariate
Analisis univariate dilakukan dengan melihat variabel keuangan yang
diperkirakan mempengaruhi atau berkaitan dengan kebangkrutan dengan
menganalisis terpisah. Sedangkan menurut Bapepam (2005), analisis rasio
merupakan salah satu bentuk analisis univariate, cara ini yang pada umumnya
digunakan investor untuk menghitung dan menganalisis berbagai macam rasio
keuangan seperti modal kerja, rasio-rasio profitabilitas, tingkat hutang atau
leverage, dan likuiditas untuk mendeteksi tanda-tanda kebangkrutan suatu
perusahaan, tetapi timbul suatu permasalahan yaitu masing-masing rasio
mempunyai kegunaan dan memberikan indikasi yang berbeda mengenai
kesehatan keuangan perusahaan.

Kadang-kadang rasio-rasio tersebut juga terlihat berlawanan satu sama lain.


Oleh karena itu, jika hanya bergantung pada perhitungan rasio secara individual
maka para investor akan mendapat kesulitan dan kebingungan untuk
memutuskan apakah perusahaan dalam kondisi sehat atau sebaliknya.

inaba.ac.id
Pendekatan tunggal (univariate) bisa dipakai untuk memprediksi kesulitan
keuangan dengan asumsi bahwa distribusi variable keuangan untuk
perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan berbeda dengan distribusi
variable keuangan untuk perusahaan yang tidak mengalami kebangkrutan.
 
b. Model Multivariate / Multiple Discriminate Analysis
Analisis multivariate menggunakan dua variabel atau lebih secara
bersama-sama dalam satu persamaan. Di bagian lain Bapepam mengatakan
analisis ini dapat mempermudah analisis atas kondisi keuangan perusahaan
daripada menghitung sekian banyak rasio keuangan secara individual lalu
menginterpretasi masing-masing rasio satu per satu

inaba.ac.id
c. Metode Z-Score Altman
Z-Score adalah skor yang ditentukan dari hitungan standar kali nisbah-nisbah keuangan
yang menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan. Formula Z-Score untuk
memprediksi kebangkrutan dari Altman merupakan sebuah multivariate formula yang
digunakan untuk mengukur kesehatan finansial dari sebuah perusahaan. Altman menemukan
lima jenis rasio keuangan yang dapat dikombinasikan untuk melihat perbedaan antara
perusahaan yang bangkrut dan yang tidak bangkrut.
Formula Z-Score Altman untuk perusahaan yang telah go public ditentukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
 
Z = 1,2X1 + 1,4X2 + 3,3X3+ 0,6X4 + 1,0X5
 Dimana:
X1 = modal kerja terhadap total aset
X2 = laba ditahan terhadap total aset
X3 = laba sebelum bunga dan pajak terhadap total aset
X4 = harga saham di bursa terhadap nilai buku total hutang
X5 = penjualan terhadap total aset
Z = overall index
inaba.ac.id
Dengan kriteria penilaian sebagai berikut:
• Z-Score > 2,99 dikategorikan sebagai perusahaan yang sangat sehat sehingga tidak
mengalami kesulitan keuangan.
• 1,81 <Z-Score < 2,99 berada di daerah abu-abu sehingga dikategorikan sebagai
perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan, namun kemungkinan terselamatkan dan
kemungkinan bangkrut sama besarnya tergantung dari keputusan kebijaksanaan
manajemen perusahaan sebagai pengambil keputusan.
• Z-Score < 1,81 dikategorikan sebagai perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan
yang sangat besar dan beresiko tinggi sehingga kemungkinan bangkrutnya sangat besar.

Pada awalnya Altman memiliki sampel 66 perusahaan manufaktur yang terdiri dari 33
perusahaan yang bangkrut dan 33 perusahaan yang tidak bangkrut. Selanjutnya dipilih
pula 22 variabel (rasio) yang potensial untuk dievaluasi yang dikelompokkan ke dalam 5
kelompok, yaitu liquidity, profitability, leverage, solvency, dan activity. Dari 22 variabel
tersebut kemudian dipilih 5 variabel yang merupakan kombinasi terbaik untuk
memprediksi kebangkrutan.

inaba.ac.id
Kelima rasio inilah yang digunakan untuk menganalisis laporan keuangan sebuah
perusahaan unutk kemudian mendeteksi kemungkinan terjadinya kebangkrutan pada
perusahaan tersebut. Dalam manajemen keuangan, rasio-rasio yang digunakan dalam
metode Altman ini dapat dikategorikan dalam tiga kelompok besar yaitu:
a. Rasio Likuiditas yang terdiri dari X1
b. Rasio Profitabilitas yang terdiri dari X2 dan X3
c. Rasio Aktivitas yang terdiri dari X4 dan X5
Dalam memprediksi suatu kebangkrutan pasti tidak lepas dari kelebihan dan
kelemahan metode yang dipakainya.

a. Kelebihan metode Z-Score Altman:


1) Menggabungkan berbagai resiko keuangan secara bersama-sama
2) Menyediakan koefisien yang sesuai untuk mengkombinasikan variabel-variabel
independen
3) Mudah dalam penerapan

inaba.ac.id
b. Sedangkan kelemahan metode Z-Score antara lain:
1) Nilai Z-Score bisa direkayasa atau dibiaskan melalui prinsip akuntansi yang
salah atau rekayasa keuangan lainnya.
2) Formula Z-Score kurang tepat untuk perusahaan baru yang labanya masih
rendah atau bahkan masih merugi. Nilai Z-Score akan lebih rendah
3) Perhitungan Z-Score secara triwulan pada suatu perusahaan dapat
memberikan hasil yang tidak konsisten jika perusahaan tersebut mempunyai
kebijakan untuk menghapus piutang diakhir tahun secara sekaligus.

Pada tahun 1984, Altman melakukan penelitian kembali di berbagai negara.


Mengingat bahwa tidak semua perusahaan melakukan go public dan tidak
memiliki nilai pasar, maka untuk mengganti nilai pasar,

inaba.ac.id
Altman kemudian menggunakan nilai buku saham biasa dan saham preferen
sebagai salah satu komponen variabel bebasnya, dan kemudian mengembangkan
model diskriminan kebangkrutan, dan memperoleh model sebagai berikut:
 
Z = 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,42 X4 + 0,998 X5
 
• X1 = (Aset lancar – utang Lancar) / Total Aset
• X2 = Laba yang ditahan / Total Aset
• X3 = Laba sebelum bunga dan pajak / Total aset
• X4 = Nilai buku saham biasa dan saham preferen / Nilai buku total utang
• X5 = Penjualan / Total Aset

Model ini bisa digunakan untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan


manufaktur yang tidak go public (private manufacturer companies)

inaba.ac.id
• Jika nilai Z < 1,23 maka termasuk perusahaan yang akan bangkrut (financial
distress).
• Jika nilai 1,23 < Z < 2,9 maka termasuk grey area (tidak dapat ditentukan apakah
perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan). Pada kondisi ini, perusahaan
mengalami masalah keuangan yang harus ditangani dengan
penanganan manajemen yang tepat. Kalau terlambat dan tidak tepat
penanganannya, perusahaan dapat mengalami kebangkrutan.
• Jika nilai Z > 2,9 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut atau dalam
keadaan sehat (safe).

Untuk perusahaan selain manufaktur, misalnya perusahaan jasa, formula altman


Z-score dimodifikasi menjadi sebagai berikut:

Z = 6,56X1 + 3,26X2 + 6,72X3 + 1,05X4

inaba.ac.id
• X1 = (Aset lancar – utang Lancar) / Total Aset
• X2 = Laba yang ditahan / Total Aset
• X3 = Laba sebelum bunga dan pajak / Total aset
• X4 = Nilai buku saham biasa dan saham preferen / Nilai buku total utang
Terlihat bahwa X5 tidak digunakan karena pada perusahaan non manufaktur, umumnya
menawarkan jasa dan bukan menjual barang.
Model ini bisa digunakan untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan non
manufaktur yang tidak go public (private non manufacturing companies)
 
• Jika nilai Z < 1,1 maka termasuk perusahaan yang akan bangkrut (financial distress).
• Jika nilai 1,1 < Z < 2,6 maka termasuk grey area (tidak dapat ditentukan apakah
perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan). Pada kondisi ini, perusahaan
mengalami masalah keuangan yang harus ditangani dengan
penanganan manajemen yang tepat. Kalau terlambat dan tidak tepat penanganannya,
perusahaan dapat mengalami kebangkrutan.
• Jika nilai Z > 2,6 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut atau dalam keadaan sehat
(safe).

inaba.ac.id
d. Model Springate
Model Springate dikembangkan oleh Gorgon L.V. Springate pada tahun 1978. Model
Springate merupakan model rasio yang menggunakan MDA (multiple discriminant analysis).
Adapun model persamaan dari Springate sebagai berikut:

S = 1,03 A + 3,07 B + 0,66 C + 0,4 D


 
Keterangan:
• S = Indeks Springate
• A = Modal Kerja / Total Harta
(Working Capital to Total Assets) Modal Kerja = Aset Lancar – Kewajiban Lancar
• B = Pendapatan Sebelum Bunga dan Pajak / Total Harta (Earning Before Interest and Taxes to
Total Assets)
• C = Pendapatan Sebelum Pajak / Kewajiban Lancar (Earning Before Taxes to Current
Liabilities)
• D = Penjualan / Total Aset (Sales to Total Assets)
 
inaba.ac.id
Nilai cut off dari model Springate sebesar 0,862, sehingga dapat diartikan sebagai berikut:

1. Apabila nilai indeks S lebih dari 0,862 (> 0,862), maka perusahaan diklasifikasikan tidak
terindikasi mengalami financial distress.
2. Apabila nilai indeks S kurang dari 0,862 (< 0,862), maka perusahaan diklasifikasikan
terindikasi mengalami financial distress.
 
e. Model Zmijewski
Model Zmijewski ditemukan oleh Zmijewski pada tahun 1983 dengan melakukan riset
selama 20 tahun dalam kurun waktu 1972 sampai dengan 1978. Dalam penelitiannya
Zmijewski mengunakan sampel 75 perusahaan bangkrut dan 73 perusahaan sehat, dan
diperoleh hasil yaitu ditemukan adanya perbedaan signifikan antara perusahaan yang sehat
dan yang tidak sehat. Adapun model persamaan dari Zmijewski sebagai berikut:

X -Score = -4,3 - 4,5 X1 + 5,7 X2 - 0,004 X3

inaba.ac.id
Keterangan:
• X1 = Net Income to Total Assets (ROA)
• X2 = Debt Ratio (TLTA)
• X3 = Current Ratio ( CACL)
Nilai cut off dari model Zmijewski adalah 0, sehingga dapat diartikan sebagai berikut:
• Jika nilai indeks X lebih besar atau sama dengan 0 (> / = 0) maka perusahaan tersebut
terindikasi mengalami financial distress.
• Jika nilai indeks X kurang dari 0 (< 0) maka perusahaan tersebut tidak terindikasi
mengalami Financial distress
 
 f. Model Grover
Jeffrey S.Grover (2001) menghasilkan fungsi sebagai berikut:
 
G = 1,650X1+3,404X3-0,016ROA+0,057

inaba.ac.id
Dimana:
• X1 = Working Capital / Total Assets
• X3 = EBIT / Total Assets
• ROA = Net Income / Total Assets

Model Grover mengkategorikan perusahaan dalam keadaan financial distress dengan score
kurang atau sama dengan -0,02 (G ≤ -0,02). Sedangkan nilai untuk perusahaan yang
dikategorikan dalam keadaan tidak mengalami financial distress adalah lebih atau sama
dengan 0,01 (G ≥ 0,01).
 
4. Contoh
Objek Penelitian :
Enam Perusahaan Manufaktur Sektor Otomotif tahun 2006 – 2008

inaba.ac.id
inaba.ac.id
inaba.ac.id
inaba.ac.id
inaba.ac.id
inaba.ac.id
inaba.ac.id
inaba.ac.id
Kesimpulan :
1. Besar-kecilnya nilai indeks keseluruhan dipengaruhi oleh ke lima rasio tersebut.
2. Rasio yang sering kali memberikan kontribusi nilai terbesar terhadap indeks
keseluruhan adalah rasio penjualan terhadap total aset.
3. Terdapat satu perusahaan yang berada pada kondisi keuangan yang sehat
selama periode 2006-2008, yaitu P.T. ASTRA OTOPARTS Tbk.
4. Terdapat satu perusahaan yang berada pada kondisi grey area hanya pada
periode 2008 (periode 2006 dan 2007 kondisi keuangan sehat), yaitu P.T.
GOODYEAR INDONESIA Tbk.
5. Sedangkan empat perusahaan lainnya (P.T. INDOMOBIL SUKSES INTERNASIONAL
Tbk., P.T. MULTI PRIMA SEJAHTERA Tbk., P.T. NIPRESS Tbk., dan P.T. PRIMA ALLOY
STEEL Tbk.) terancam mengalami kebangkrutan yang serius selama periode
2006-2008.

inaba.ac.id
Selesai

inaba.ac.id

Anda mungkin juga menyukai