Anda di halaman 1dari 32

ETIKA

• SKS : 2
• Jadwal Kuliah:
 KELAS I A&B
o SELASA: pkl. 15.00 – 16.40
o RABU: pkl. 10.00 – 12.45
 KELAS III A&B
o SELASA: pkl. 15.00 – 16.40
o KAMIS: pkl. 08.15 – 09.55

1
ETIKA:
Apa dan Bagaimana itu?

2
1.1 Penjernihan Istilah
1.1.1 Etika dan Moral
1.1.2 Amoral dan Immoral
1.1.3 Etika dan Etiket

1.2 Etika sebagai Cabang Filsafat


1.2.1 Etika: Ilmu tentang Moralitas
1.2.2 Pembagian Etika
1.2.2.1 Berdasarkan Jenis
1.2.2.2 Berdasarkan Cakupan
1.2.2.3 Berdasarkan Lingkungan
1.2.2.4 Berdasarkan Sumber
1.2.3 Hakikat Etika Filosofis

1.3 Peranan Etika dalam Dunia Modern

3
1.1 Penjernihan Istilah

• Kita mengenal beberapa istilah ini, misalnya: moral,


etika, etis, etiket, amoral, immoral. Apa makna dan
perbedaannya?
• Istilah-istilah ini sering dipergunakan, tetapi sering
terjadi kesalahan dalam penggunaannya.

4
1.1.1 Etika dan Moral
• Etika (dari Bahasa Yunani kuno):
- dalam bentuk tunggal ethos: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat,
akhlak, watak, perasaan, sikap, tindakan/perbuatan, cara berpikir.
- dalam bentuk jamak ta etha: adat kebiasaan. Arti inilah yang menjadi latar-belakang bagi terbentuknya
istilah “etika” yang oleh filsuf besar Yunani Aristoteles ( 384-322 s.M) sudah dipakai untuk menunjukkan
filsafat moral.
- Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Dep. Pendidikan dan kebudayaan, 1988) menunjukkan tiga arti “etika”:
o Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Etika
sebagai ilmu, jika kemungkinan-kemungkinan (asas dan nilai tentang yang dianggap baik dan buruk)
yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat – sering kali tanpa disadari - menjadi bahan
refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.
o Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Etika yang dimaksudkan di sini adalah kode
etik.
o Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika dalam arti ini,
bukan ilmu tetapi lebih merupakan sistem nilai. Sistem nilai ini bisa berfungsi dalam hidup manusia
perorangan maupun pada taraf sosial. Maka dapat dikatakan: etika suku Batak Toba, etika Kristen, dll.

5
• Moral (dari bahasa Latin):
- Mos (jamak: mores): adat, kebiasaan, akhlak, watak, perasaan, sikap,
tindakan/perbuatan, cara berpikir.
- Artinya sama dengan “etika”, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya.
- Moralitas (dari kata sifat Latin moralis), pada dasarnya mempunyai arti sama dengan
kata “moral”, hanya ada nada lebih abstrak: segi moral suatu perbuatan atau baik
buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang
berkenaan dengan baik dan buruk.
• Kesimpulan:
- Secara terminolgis, kata “etika” sama dengan kata “moral”: adat, kebiasaan, akhlak,
watak, perasaan, sikap, tindakan/perbuatan, cara berpikir.
- Hanya secara etimologis berbeda karena keduanya berasal dari bahasa yang
berbeda.
- Konteks telaahan/perpektif berbeda, Moral: Teologi; Etika: Filsafat.

6
1.1.2 Amoral dan Immoral
• Kedua istilah ini dalam bahasa Indonesia sering dicampur-
adukkan penggunaan dan pengertiannya. Kamus Besar Bahasa
Indonesia juga memberikan penjelasan yang kurang pas ketika
menunjukkan arti kata amoral. Untuk itu kita perlu bertitik tolak
dari istilah Inggris. Oleh Concise Oxford Dictionary dibedakan:
- Amoral: “unconcerned with; out of the sphere of moral; non-
moral”, berarti: tidak berhubungan dengan konteks moral, di
luar suasana etis, non-moral.
- Immoral: “opposed to morality; morally evil”, jadi berarti:
bertentangan dengan moralitas yang baik, secara moral buruk,
tidak etis.

7
1.1.3 Etika dan Etiket
• Percampur-adukkan juga terjadi pada penggunaan antara kata “etika” dan
“etiket”. Padahal perbedaan antara keduanya sangat hakiki.
- Etika: Moral.
- Etiket: - sopan santun/tata cara.
- secarik kertas yang ditempelkan pada botol atau kemasan barang.
• Di samping perbedaan, ada juga persamaan.
- Pertama, etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah‑istilah ini hanya
kita pakai mengenai manusia. Hewan tidak mengenal etika maupun etiket.
- Kedua, baik etika maupun etiket mengatur perilaku manusia secara normatif,
artinya, memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian
menyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Justru karena
sifat normatif ini kedua istilah tersebut mudah dicampuradukkan.

8
Namun demikian, ada beberapa perbedaan sangat penting antara etika dan
etiket. Di sini kita akan mempelajari sepintas empat macam perbedaan.
1). Etiket menyangkut “bagaimana cara” suatu perbuatan yang harus dilakukan
oleh manusia. Di antara beberapa cara yang mungkin, etiket menunjukkan cara
yang tepat, artinya, cara yang diharapkan serta ditentukan dalam suatu
kalangan tertentu. Misalnya, jika saya menyerahkan sesuatu kepada atasan,
saya harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan. Dianggap
melanggar etiket, bila, orang menyerahkan sesuatu dengan tangan kiri. Tetapi
etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan; etika memberi
norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut “masalah” apakah
suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Mengambil
barang milik orang lain tanpa izin, tidak pernah diperbolehkan. "Jangan
mencuri" merupakan suatu norma etika. Apakah orang mencuri dengan tangan
kanan atau tangan kiri di sini sama sekali tidak relevan. Norma etis tidak
terbatas pada cara perbuatan dilakukan, melainkan menyangkut perbuatan itu
sendiri.

9
2). Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada
orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak
berlaku. Misalnya, ada banyak peraturan etiket yang
mengatur cara kita makan. Dianggap melanggar etiket, bila
kita makan sambil berbunyi atau dengan meletakkan kaki di
atas meja, dan sebagainya. Tapi kalau saya makan sendiri,
saya tidak melanggar etiket, bila makan dengan cara
demikian. Sebaliknya, etika selalu berlaku, juga kalau tidak
ada saksi mata. Etika tidak tergantung pada hadir tidaknya
orang lain. Larangan untuk mencuri selalu berlaku, entah
ada orang lain, hadir atau tidak. Barang yang dipinjam
selalu harus dikembalikan, juga jika pemiliknya sudah lupa.

10
3). Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam
satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam
kebudayaan lain. Contoh yang jelas adalah makan
dengan tangan atau bersendawa waktu makan. Lain
halnya dengan etika. Etika jauh lebih absolut. "Jangan
mencuri", "jangan berbohong", "jangan membunuh"
merupakan prinsip‑prinsip etika yang tidak bisa
ditawar‑tawar atau mudah diberi "dispensasi". Memang
benar, ada kesulitan cukup besar mengenai keabsolutan
prinsip‑prinsip etis. Tapi tidak bisa diragukan, relativitas
etiket jauh lebih jelas dan jauh lebih mudah terjadi.

11
4). Jika kita berbicara tentang etiket, kita hanya memandang tindakan manusia dari
segi lahiriah saja (penampilannya), sedang etika menyangkut tindakan manusia dari
segi dalam. Bisa saja orang tampil sebagai “musang berbulu ayam": dari luar sangat
sopan dan halus, tapi di dalam penuh kebusukan. Banyak penipu berhasil dengan
maksud jahat mereka, justru karena penampilannya begitu halus dan menawan hati,
sehingga mudah meyakinkan orang lain. Tidak merupakan kontradiksi, jika seseorang
selalu berpegang pada etiket dan sekaligus bersikap munafik. Tapi orang yang etis
sifatnya tidak mungkin bersikap munafik, sebab seandainya dia munafik, hal itu
dengan sendirinya berarti ia tidak bersikap etis. Di sini memang ada kontradiksi. Orang
yang bersikap etis adalah orang yang sungguh‑sungguh baik. Sudah jelaslah kiranya
bahwa perbedaan terakhir ini paling penting di antara empat perbedaan yang dibahas
tadi.
• Setelah melihat perbedaan itu, maka kita menyadari bahwa konsekuensinya sangat
besar dan mendasar jika kedua istilah itu dicampur-adukkan. Misalnya, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (edisi 1988) memasukkan moralitas dalam lingkungan etiket sebagai
sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan
santun, padahal moralias termasuk lingkungan etika.

12
1.2 Etika sebagai Cabang Filsafat
• Moral: Teologi
• Etiket: Pergaulan/relasi
• Etika: Filsafat
1.2.1 Etika: Ilmu tentang Moralitas
• Ada banyak cara dan ilmu yang membahas manusia dan tingkah laku
atau tindakan atau perbuatan manusia.
• Etika merupakan ilmu yang membahas moralitas atau membahas
manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Dengan kata lain: Etika
merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral. Etika merupakan
sarana orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang
amat fundamental: “Bagaimana manusia harus hidup dan bertindak?”.

13
• Jika demikian, apa perbedaan etika dan ajaran moral?
o Ajaran moral:
 dimaksudkan sebagai ajaran, wejangan, kotbah, patokan,
kumpulan peraturan dan ketetapan entah secara lisan
atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup
dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.
 Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang
dalam kedudukannya yang berwewenang, atau berupa
tulisan-tulisan para bijak.
 Sumber dasar ajaran moral: tradisi, adat istiadat, ajaran
agama, ideologi

14
o Etika:
 Sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran.
 Maka, etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan
FILSAFAT atau pemikiran kristis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-
pandangan moral.

o Kesimpulannya:
Etika dan ajaran moral tidak berada pada tingkatan yang sama.
Etika bisa dikatakan kurang dan lebih dari ajaran moral.
• Kurang: etika tidak berwewenang untuk menetapkan apa yang boleh dilakukan dan
apa yang tidak boleh dilakukan. Wewenang itu diklaim oleh pelbagai pihak yang
memberikan ajaran moral.
• Lebih: etika berusaha untuk mengerti mengapa atau atas dasar apa manusia harus
hidup menurut norma-norma tertentu. Etika mau mengerti mengapa seseorang harus
mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana seseorang dapat mengambil sikap
yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral.

15
1.2.2 Pembagian Etika

• Ada berbagai pendekatan yang sering dilakukan untuk


membuat pembagian etika.

1.2.2.1 Berdasarkan Jenis

• Berdasarkan jenisnya, etika dibagi menjadi:


o Etika Deskriptif
o Etika Normatif
o Metaetika

16
1. Etika Deskriptif
• Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, mempelajari moralitas yang
terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebuadayaan-kebudayaan, atau struktur-
struktur yang tertentu, dalam suatu periode sejarah, dll.
• Etika yang berusaha memandang perilaku dan sikap individu, serta apa yang individu itu
kejar di dalam hidup ini, atas perkara yang memiliki nilai.
•Etika deskriptif hanya melukiskan, tidak memberikan penilaian.
• Sekarang ini etika deskriptif dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi budaya, psikologi,
sosiologi, sejarah, dll.
• Maka, dalam arti tertentu etika deskriptif sebetulnya termasuk dalam ilmu pengetahuan
empiris dan bukan filsafat. Walaupun etika deskriptif dan etika filosofis tidak bisa
disetarafkan, namun keduanya berhubungan sangat erat. Seorang filsuf yang
mempraktekkan etika, membutuhkan pengetahuan luas dan mendalam tentang moralitas
dalam berbagai konteks budaya supaya dapat menjalankan tugasnya secara baik.

17
2. Etika Normatif
• Etika normatif adalah jenis etika yang berusaha menentukan dan menetapkan berbagai
perilaku, perbuatan, sikap ideal yang seharusnya dimiliki oleh tiap individu di dalam hidup
ini.
•Pada jenis ini seorang ahli tidak lagi bertindak sebagai penonton netral seperti halnya
dalam etika deskriptif, tetapi ia melibatkan diri dengan memberikan penilaian tentang
perilaku manusia.
•Etika deskriptif hanya melukiskan norma-norma, tidak memeriksa apakah norma-norma
itu sendiri benar atau tidak. Sedangkan etika normatif mendasarkan diri pada norma-
norma, menilai norma-norma tersebut benar atau tidak.
•Etika normatif itu tidak deskriptif melainkan preskriptif (=memerintahkan), tidak
melukiskan melainkan menentukan benar atau tidaknya tingkah laku atau anggapan moral.
•…

18
• Oleh karena itu, etika normatif mengadakan dan
mengemukakan argumentasi-argumentasi, alasan-alasan
mengapa suatu tingkah laku harus disebut baik atau buruk dan
mengapa suatu anggapan moral dikatakan benar atau salah.
• Pada akhirnya argumentasi-argumentasi itu akan bertumpu
pada norma-norma atau prinsip-prinsip etis yang dianggap tidak
bisa ditawar-tawar lagi.
• Maka, secara ringkas dapat dikatakan, etika normatif bertujuan
merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat
dipertanggungjawabkan dengan cara rasioanal dan dapat
digunakan dalam praktek hidup.

19
3. Metaetika
• Terminologi “Metaetika” (meta; melebihi, melampaui) diciptakan untuk menunjukkan
bahwa yang dibahas di sini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-
ucapan di bidang moralitas.
• Metaetika bergerak pada taraf yang lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf
“Bahasa etis” atau Bahasa yang dipergunakan di bidang moral (mempelajari logika
khusus dari ucapan-ucapan etis).
• Dipandang dari segi tata bahasa, rupanya kalimat-kalimat etis tidak berbeda dari
kalimat-kalimat jenis lain (khususnya kalimat-kalimat yang menmgungkapkan fakta).
Namun, studi lebih mendalam menunjukkan bahwa kalimat-kalimat etika – dan pada
umumnya bahasa etika – mempunyai ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh kalimat-
kalimat lain.
•…

20
3. Metaetika
• Metaetika mengarahkan perhatiannya kepada arti khusus dari Bahasa etika
itu. Metaetika tidak bertanya, misalnya apakah tingkahlaku tertentu boleh
dikatakan baik atau tidak, sebaliknya metaetika bertanya apakah artinya kata
“baik”, bila dipakai dalam konteks etis. Ia hanya menyoroti arti khusus kata
“baik” dengan membandingkan kata “baik” itu dipakai dalam konteks lain.
• Jika demikian, metaetika dapat ditempatkan dalam rangka “filsafat analitis”
(sebuah aliran filsafat abad ke-20: yang menganggap analisis Bahasa sebagai
tugas terpenting, bahkan sebagai satu-satunya tugasnya), bahkan kadang-
kadang metaetika juga disebut “etika analitis”.
•…

21
3. Metaetika
• Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah “the
is/ought question”. Yang dipersoalkan adalah apakah suatu ucapan
normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual.
• Kalau sesuatu ada atau kalau sesuatu merupakan kenyataan (is: faktual),
apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh
dilakukan (ought: normatif).
• Walaupun metaetika dan etika normatif dapat dibedakan namun tidak
berarti bahwa keduanya selalu bisa dipisahkan. Sebab, jika kita berbicara
tentang Bahasa moral, dengan mudah sekali pembicaraan beralih ke apa
yang yang ditunjukkan oleh bahasa itu, yaitu perilaku moral itu sendiri.
Sebaliknya, jika kita berbicara tentang perilaku moral, dengan sendirinya
kita berefleksi tentang istilah-istilah dan bahasa yang kita pakai.

22
1.2.2.2 Berdasarkan Cakupan
• Menurut cakupannya (lanjutan dari etika normatif), etika dibagi
menjadi dua, yaitu etika umum dan etika khusus.
1. Etika Umum
• Etika umum merupakan jenis etika yang berkaitan dengan situasi
dan kondisi dasar mengenai perilaku dan tindakan individu secara
etis.
• Etika umum membahas tema-tema umum, seperti: apa itu norma
etis, jika ada banyak norma etis, bagaimana hubungannya satu sama
lain, apa itu nilai, kebebasan, hak dan kewajiban, dll.
2. Etika Khusus
• Etika khusus merupakan jenis etika yang menjadi suatu
implementasi, penerapan dari prinsip atau asas moral/etis yang
umum di dalam kehidupan individu secara khusus.
23
1.2.2.3 Berdasarkan Lingkungan
• Berdasarkan lingkungannya, etika dibagi menjadi dua
bagian, yaitu etika individual dan etika sosial.
1. Etika Individual
• Etika individual merupakan etika yang memiliki
kaitannya dengan sikap dan kewajiban dari individu
atas dirinya sendiri.
2. Etika Sosial
• Etika sosial merupakan jenis etika yang memiliki
kaitannya dengan sikap dan kewajiban, serta
perilaku suatu individu sebagai anggota
masyarakat/umat manusia.

24
1.2.2.4 Berdasarkan Sumber
Menurut sumbernya, etika dibagi menjadi dua jenias, yaitu etika teologis dan
etika filosofis.
1. Etika Teologis
• Etika teologis adalah jenis etika yang berhubungan dengan agama atau
kepercayaan individual, tanpa adanya batasan pada suatu agama tertentu.
• Ada dua hal yang perlu ditekankan dalam etika teologis ini.
• Pertama, etika teologis tidak dibatasi oleh satu agama saja, hal itu karena
mengingatnya banyaknya jumlah agama di dunia ini. Pada hakikatnya,
setiap agama pastinya memiliki etika teologisnya masing-masing berbeda
dan juga spesifik.
• Kedua, etika ini merupakan lingkupan dari etika umum yang sebagian
besar individu telah menerapkan dan mengetahuinya. Etika umum
cenderung luas dan memiliki bagian-bagian yang tak terbatas. Secara tidak
langsung, seorang individu memahami etika teologis dengan cara
mengetahui dan memahami etika umum, dan sebaliknya.

25
2. Etika Filosofis
• Etika filosofis adalah jenis etika yang lahir dari kegiatan
berpikir atau berfilsafat yang dilakukan oleh individu.
• Etika filosofis dibagi menjadi dua, yakni empiris dan non-
empiris.
o Empiris merupakan jenis etika filosofis yang erat
kaitannya dengan sesuatu yang nyata, berwujud, atau
konkret. Contohnya, filsafat hukum, filsafat bisnis, dll.
o Non-empiris/metaempiris merupakan jenis etika
filosofis yang erat kaitannya dengan sesuatu yang
melebihi/melampaui suatu yang nyata, berwujud, atau
konkret. Contohnya: Hakikat, nilai, dll

26
1.2.3 Hakikat Etika Filosofis
• Kalau kita berbicara tentang keadaan-keadaan atau
peristiwa-peristiwa yang kita saksikan aau alami setiap hari,
maka tidak pernah kita melakukannya secara netral saja,
tidak pernah kita membatasi diri pada pemantauan saja
(laporan, kabar, berita, informasi), karena hampr selalu kita
menambahkan juga unsur penilaian.
• Tidak dapat kita sangkali bahwa sudah terdapat banyak
unsur etis dalam omongan/pembicaraan kita setiap hari.
• Etika sebagai ilmu melanjutkan kecenderungan kita dalam
kehidupan sehari-hari itu.
• Etika mulai, bila kita merefleksikan unsur-unsur etis dalam
pendapat-pendapat spontan kita atau pendapat orang lain.
•…

27
• Kebutuhan akan refleksi etis itu diperlukan antara lain karena tidak jarang
terjadi perbedaan pendapat etis antara yang satu dengan yang lainnya. Maka,
timbul persoalan: manakah yang benar, apa dasarnya, patokan apa yang
dipakai,dll.
• Etika mempunyai tugas untuk menjawab persoalan-persoalan seperti itu.
• Oleh karena itu. Etika dapat didefinisiakan sebagai: refleksi kritis, metodis, dan
sistematis tentang tingkah laku manusia, sejauh berkaitan dengan norma
moral/etis.
• Karena refleksi yang dijalankan secara kritis, metodis, dan sistematis, maka etika
pantas disebut sebagai “Ilmu”. Ada banyak metode yang dipakai dalam etika
untuk menjalankan refleksinya – para ahli etika belum sepakat tentang metode
yang tepat – namun dapat dikatakan bahwa ada satu cara pendekatan yang
dituntut dalam setiap pendekatan, yaitu PENDEKATAN KRISTIS!
• Tetapi tidak semua refleksi yang dijalankan secara kritis, metodis, dan sistematis
tentang tingkah laku manusia disebut etika. Etika adalah refleksi ilmiah tentang
tingkah laku manusia dari sudut norma-norma moral/etis (baik/buruk/jahat).
Segi normatif etis/moral itulah yang merupakan sudut pandang khas bagi etika,
jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain yang juga membahas tingkah laku
manusia.
•…

28
• Etika termasuk filsafat dan malah dikenal sebagai salah satu
cabang filsafat yang paling tua. Etika adalah ilmu, namun
sebagai filsafat, etika bukan merupakan suatu ilmu empiris
(berdasarkan fakta: observasi atas fakta, merumuskan
hukum-hukum ilmiah dan menguji kebenaran hukum-
hukum itu dengan fakta).
• Jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain, filsafat tidak hanya
membatasi diri pada gejala-gejala konkret saja – kadang-
kadang berbicara tentang hal-hal yang sangat konkret –
tetapi lebih dari itu, yaitu melampaui taraf konkret.
• Ciri khas filsafat dengan jelas tampak juga pada etika. Etika
tidak berhenti pada hal-hal yang konkret saja, ia sampai
kepada mengapa sesuatu itu HARUS dilakukan atau TIDAK
BOLEH dilakukan, tentang yang BAIK atau BURUK/JAHAT
untuk dilakukan.
•…
29
• Etika sering juga disebut sebagai filsafat moral atau
filsafat yang mempelajari moralitas. Tetapi etika tidak
hanya membatasi diri pada pertanyaan tentang apa itu
moralitas. Tugas utama etika adalah menyelidiki apa
yang harus dilakukan manusia. Maka, tidak jarang juga,
etika disebut sebagai “filsafat prkatis”, karena langsung
berhubungan dengan perilaku manusia, dengan yang
harus atau tidak boleh dilakukan manusia.
• Namun, haruslah disadari bahwa etika bukanlah
“filsafat praktis” dalamarti bahwa ia menyajikan resep-
resep/kiat-kiat yang siap dipakai. Etika adalah tidak
berada pada tataran/bidang teknis melainkan refleksif
yang menyangkut perilaku manusia.

30
1.3. Peranan Etika dalam Dunia Modern
• Dalam masyarakat yang homogen dan agak tertutup – masyarakat
tradisional – nilai-nilai dan norma-norma hamper tidak pernah
dipersoalkan. Secara otomatis orang menerima nilai dan norma yang
berlaku.
• Saat ini masyarakat kita (modern – postmodern) sedang mengalami
perubahan yang sangat besar dan pesat dalam berbagai aspek
kehidupan.
• Kalau kita menganalisa situasi etis dalam dunia modern/postmodern,
maka kita akan menemukan ada tiga ciri yang sangat menonjol:
o Pluralisme moral
o Masalah etis yang baru
o Kepedulian etis yang universal
• Situasi etis demikian menuntut usaha pendalaman etis secara lebih
kristis, metodis, dan sistematis, sesuai perkembangan zaman yang ada
sehingga dapat memberikan nilai atau norma etis/moral yang dapat
dipertanggungjawabkan dan menjadi patokan/pegangan dalam
kehidupan praktis!
31
32

Anda mungkin juga menyukai