Anda di halaman 1dari 28

MODEL-MODEL

PENGUJIAN Prof. Jimly Asshidiqie


KONSTITUSIONAL DI
BERBAGAI NEGARA
BAB 1:
PERKEMBANGAN
GAGASAN PENGUJIAN
KONSTITUSIONAL
CONSTITUTIONAL REVIEW?
JUDICIAL REVIEW?
Constitutional Review: pengujian konstitusional yang dapat dilakukan oleh hakim dan
dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakim. Pengujian hanya menyangkut
konstitusionalitas terhadap UUD
Judicial Review: Hak uji materiil maupun formil yang diberikan kepada hakim atau
lembaga peradilan untuk menguji kesahihan atau daya laku produk-produk hukum
terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajat dan hierarkinya.
Konsep judicial review terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya
mencakup soal peraturan dibawah UU terhadap UU.
Apakah menguji peraturan dibawah UU terhadap UU termasuk constitutional review?
Pengujian peraturan dibawah UU terhadap UU oleh Mahkamah Agung merupakan
judicial review on the legality of the regulation.
Tugas Pokok Constitutional Review:
1. Menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau
‘interplay’ antara cabang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan kata lain, constitutional
review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang
kekuasaan.
2. Melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan lembaga kekuasaan oleh
lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam
konstitusi
Sejarah Perkembangan Pengujian Konstitusi:
1. Sebelum Abad ke-19: Yunani dan Perancis
2. Marbury vs. Madison
3. Pertengahan Abad 19 dan Awal Abad 20
4. Perang Dunia ke-II
5. Sesudah PD II
6. 1970 dan setelahnya
BAB 2: BERBAGAI
MODEL PENGUJIAN
KONSTITUSIONAL
A. MODEL AMERIKA SERIKAT
 Pengujian konstitusi dilakukan oleh Mahkamah Agung
 Berasal dari tradisi hukum AS yang menganut common law
 Dilakukan melalui model pengujian terdesentralisasi: pengujian tidak bersifat
institusional, melainkan termasuk di dalam perkara lain yang sedang diperiksa oleh
hakim dalam semua lapisan pengadilan.
Pengujian bersifat spesifik dan a posteriori
Putusan yang diambil hanya mengikat para pihak yang bersangkutan kecuali dalam
kerangka prinsip stare decisis
Dilatarbelakangi oleh Kasus Marbury vs. Madison (1803) yang kemudian
memunculkan doktrin dari Hakim Agung (Chief Justice) John Marshall
 Negara yang mengadopsi model AS: Denmark, Irlandia, Norwegia, Swedia,
Tanzania, Swaziland, Iran, Isreal, Bangladesh, Hong Kong, Haiti, Jamaica, Dominica
B. MODEL AUSTRIA
 Pengujian konstitusi dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
Diawali dari pemikiran Hans Kelsen dengan asumsi dasar bahwa pemberlakuan
prinsip supremasi parlemen harus diimbangi dengan supremasi konstitusi sehingga
pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang tercermin di parlemen tidak menyimpang
dari pesan-pesan konstitusi sebagai ‘the supreme law of the land’.
Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusional pada norma-norma
yang bersifat abstrak dan juga dimungkinkan bersifat konkrit
Pengujian dapat bersifat a priori atau a posteriori
Negara yang mengadopsi: Austria, Albania, Belarus, Bosnia-Herzegovina, Croatia,
Czech Republic, Mesir, Cyprus, Irak, Uzbekistan
Ciri-ciri:
1.Diterapkan dalam keadaan yang beragam
2.Badan pelaksana pengujian bersifat independen, didirikan di luar cabang kekuasaan
kehakiman
3.Dalam perkara-perkara yang menyangkut constitutional complaint, penyelesaian
permasalahannya dilakukan dengan cara memisahkan antara mekanisme constitutional
review dari mekanisme yang berlaku di pengadilan biasa
4.Prasyarat utama bagi independensi lembaga peradilan konstitusi adalah kedudukan
konstitusional dengan jaminan kemandirian di bidang administratif dan finansial
5.Terjaminnya konsentrasi kewenangan dalam satu institusi pelaksana
6.Adanya kekuasaan hakim untuk membatalkan undang-undang yang disahkan oleh
parlemen
7.Para hakim MK dipilih oleh lembaga politik
8.Sifat khusus dari proses peradilan yang dilaksanakan, putusannya disamping bersifat
yuridis juga bernuansa politis
9.Mekanisme yang berlaku pada umumnya bersifat represif, meskipun pada prraktiknya
ada yang bersifat preventif
C. MODEL PERANCIS
o Menggunakan mekanisme judicial preview oleh Dewan Konstitusi (Counseil
Constitutionnel)
o Pengujian bersifat preventif atau a priori
o Yang diuji merupakan rancangan undang-undang yang belum disahkan oleh Presiden
o Apabila muncul persoalan konstitusionalitas didalamnya, maka Dewan Konstitusi
akan memutuskan bahwa RUU bertentangan atau tidak sehingga dapat berlaku atau
tidak berlaku
o Pada hakikatnya, fungsi-fungsi yang dijalankan bukan fungsi peradilan. Dewan
Konstitusi lebih bersifat semi-peradilan.
o Negara yang mengadopsi: Lebanon, Aljazair, Djibouti, Maroko, Mauritania,
Kamboja, Kazakhstan, Senegal, Mozambique
D. MODEL CAMPURAN
AMERIKA DAN KONTINENTAL
• Dilakukan secara terpusat di MK atau di MA, atau bahkan terpusat pada kamar
tertentu. Campuran antara model AS dan model Austria/Eropa Kontinental
• Para hakim diberi kewenangan yang luas menurut keyakinannya untuk tidak
menerapkan sesuatu aturan hukum yang dinilainya bertentangan dengan konstitusi
•Contoh:
•Yunani dan Switzerland: memberikan kewenangan constitutional review kepada
Mahkamah Tinggi atau kepada badan-badan khusus
•Negara yang mengadopsi: Colombia, Equador, Guatemala, Taiwan, El Salvador,
Honduras, Venezuela
E. MODEL SPECIAL
CHAMBERS
 Kewenangan pengujian konstitusionalitas masuk ke dalam fungsi badan peradilan
yang sudah ada dalam bentuk special chamber
Contoh: Yaman dengan mekanisme pengujian konstitusionalitas di kamar khusus
dalam Pengadilan Tinggi
Negara yang mengadopsi: Costa Rica, Nicaragua, Panama, Nigeria, Chad, Eritrea,
Sudan, Zaire, Zambia
F. MODEL BELGIA
• Fungsi constitutional review diberikan kepada badan peradilan tertinggi di bidang
arbitrase atau Court of Arbitration. Persoalan constitutional review dilihat sebagai
sengketa atau perselisihan konstitusional antar lembaga-lembaga negara yang terkait
ataupun antar organ negara dengan warga negara.
• Turunan dari model special chambers
•Dilatarbelakangi oleh Belgia yang mengadopsi hukum Perancis, Belanda dan
Jerman.
•Sejak tahun 2005, Arbitrasi Konstitusi Belgia diubah menjadi Mahkamah Konstitusi,
mengikuti model Austria dan Jerman
G. MODEL TANPA JUDICIAL
REVIEW
• Dilakukan di Inggris dan Belanda
• Judicial Review tidak seharusnya dilakukan, kalaupun diterapkan maka pengujian itu hanya terbatas
dalam keranka pengujian yang dikenal dalam hukum administrasi negara yaitu pengujian atas
administrative actions seperti halnya proses peradilan tata usaha negara di Indonesia
• Di Inggris menganut tradisi hukum common law, namun berlaku doktrin ‘the Queen or King in the
parliament’, dimana Raja atau Ratu sebagai kepala negara secara simbolis berfungsi juga sebagai Ketua
House of Lords
• Prinsip ‘supremacy of parliament‘ yang berlaku. Setiap undang-undang yang disusun dan disahkan oleh
House of Lords dan House of Commons tidak boleh diuji oleh cabang kekuasaan kehakiman. Inggris
sendiri tidak terdapat naskah konstitusi yang terkodifikasi secara tertulis
•Prinsip judicial review rupanya ditentang oleh kalangan akademisi Inggris. M. Elliott menyatakan
manakala suatu ketentuan undang-undang dipersoalkan, maka lata belakang lahirnya perumusan undang-
undang itulah yang dianggap berlaku
•Oleh karena itu, para hakim dianggap sebagai mulut undang-undang, dan tidak boleh bertindak sebagai
legislator
H. MODEL LEGISLATIVE
REVIEW
• Pengujian konstitusional dilakukan oleh lembaga legislatif
•Contoh: Indonesia sebelum Amandemen Ketiga UUD 1945, pengujian dilakukan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Presiden. Setelah reformasi,
kewenangan berpindah ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui
Ketetapan MPR-RI No. III/MPR/2000
• Negara yang mengadopsi: Australia, Finlandia, Ethiopia, Tunisia, Zimbabwe,
Brunei, Myanmar, Turkmenistan, Pakistan, Vietnam, Kuba
I. MODEL EXECUTIVE REVIEW
 Mekanisme pengujian konstitusionalitas oleh lembaga eksekutif
 Contoh praktiknya seperti pembatalan peraturan daerah di Indonesia yang
dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur, dalam hal ini berwenang untuk
menguji dan membatalkan Perda, meskipun tetap ada mekanisme judicial review ke
Mahkamah Agung
 Dalam Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK No.
56/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa kewenangan pembatalan perda terletak pada
Mahkamah Agung
J. MODEL INTERNATIONAL
JUDICIAL REVIEW
 Pengujian konstitusionalitas oleh Mahkamah International
 Contoh: European Court of Human Rights dan the Court Justice of the European
Community pada Uni Eropa, African Court of Human Rights di Afrika
 Di Uni Eropa dibentuk the Court Justice of the European Community atau
Mahkamah Agung Uni Eropa, dimana tugas mahkamah ini adalah memeriksa dan
memutuskan perkara yang berkaitan dengan tindakan pembatalan, tindakan hukum
terhadap kelalaian Dewan Menteri atau Komisi-Komisi Masyarakat Eropa dalam
melaksanakan kewajibannya dan penyelesaian atas berbagai persoalan tersebut
sebagai pengujian konkrit atas permintaan yang diajukan oleh pengadilan negara-
negara anggota
CENTRALIZED VS.
DECENTRALIZED
DECENTRALIZED SYSTEM:
Sistem pengujian konstitusional yang memberikan kewenangan kepada semua tingkatan
pengadilan untuk memutuskan konstitusionalitas suatu aturan hukum.
Contoh: Amerika Serikat, dan negara-negara yang mengadopsi model AS

CENTRALIZED SYSTEM:
Sistem pengujian konstitusional yang kewenangannya diberikan kepada pengadilan
konstitusional khusus, bukan kepada sistem biasa. Pengadilan biasa dapat menyampaikan
pertanyaan konstitusionalitas suatu aturan kepada pengadilan konstitusi, tetapi tidak dapat
memutuskan sendiri pertanyaan tersebut.
Contoh: Jerman, Italia, Spanyol, Portugis, Perancis dan negara yang mengadopsi model Perancis,
negara yang mengadopsi model Kelsen/Austria, negara yang mengadopsi model special chamber
KAJIAN PERBANDINGAN
 Afrika Selatan: Mahkamah Konstitusi memutus final konstitusionalitas undang-
undang yang diproduksi oleh parlemen, peraturan perundangan daerah ataupun
tindakan dari presiden. Mahkamah juga dapat memberi jawaban definitif atas
permintaan pembatalan suatu ketentuan hukum yang dimohonkan oleh Mahkamah
Agung, Pengadilan Tinggi ataupun pengadilan yang lainnya.
 Korea Selatan: MK memiliki kewenangan mengadili konstitusionalitas peraturan
perundangan, pemakzulan, pembubaran partai politik yang tidak konstitusional,
menyelesaikan sengketa antar lembaga, memutus permohonan individual.
(Konstitusi Korea Selatan 1987)
BAB 3: TIGA MODEL
UTAMA PENGUJIAN
KONSTITUSIONAL
1. THE KELSENIAN MODEL
Menurut Hans Kelsen, Mahkamah Konstitusi diharapkan berperan sebagai “a negative
legislator” yang diberi kewenangan mengesampingkan dan bahkan membatalkan
undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.
Namun, dalam perkembangan di banyak negara demokrasi parlementer, karena
banyaknya undang-undang yang dibatalkan oleh MK, maka muncul pandangan bahwa
MK seolah-olah berubah menjadi positive legislator. Pada dasarnya, para hakim sama
sekali tidak dipilih oleh rakyat secara langsung, tetapi berwenang untuk mengabaikan
kehendak mayoritas rakyat dalam sistem demokrasi parlementer.
Dalam hal jabatan hakim, dilakukan secara politis dengan masa jabatan yang
ditentukan. Sehingga prosedur pengangkatan murni bersifat politik. Sebagai contoh di
Jerman, hakim konstitusi diangkat untuk 1 kali masa jabatan selama 12 tahun.
Kemudian dalam sistem ini tidak terikat pada orisinalitas dalam memahami norma-
norma dasar yang terkandung dalam undang-undang dasar.
2. SUPREME COURT AS
Para hakim dan hakim agung menduduki jabatannya selama berkelakuan baik dan
memperoleh imbalan atas pengabdian mereka menurut perhitungan waktu yang
ditentukan, dan tidak dapat dikurangi selama mereka menduduki jabatannya sebagai
hakim. Jabatan hakim di AS adalah seumur hidup.
Penyeleksian perkara di Supreme Court juga sangat ketat. Terdapat beberapa kriteria
yang harus dipenuhi oleh Pemohon, yaitu berkaitan dengan kerugian, kerugian
tersebut dapat ditelusuri dan membuktikan bahwa putusan pengadilan federal lain
akan merugikan atau menambah kerugian yang dimaksud. Selain itu, para pihak juga
dipastikan hanya dapat mempersoalkan haknya sendiri di pengadilan, tidak boleh
mendasarkan dirinya sebagai pembayar pajak dan hanya dapat menggugat sesuatu
hak apabila hak itu masuk ke dalam wilayah kepentingan yang dilindungi oleh
undang-undang yang dipersoalkan.
(Erwin Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Policies)
Apabila Mahkamah Agung telah menerima untuk memeriksa petisi lebih lanjut,
barulah ditentukan kapan persidangan dilakukan dalam sidang terbuka. Persidangan
terbuka hanya sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 orang hakim, atau 6
dari 9 orang hakim agung. Dalam persidangan terbuka, para pihak diberi kesempatan
untuk memberikan keterangan (oral argument) dan pendapatnya melalui kuasa
hukum. Para hakim dapat pula mengajukan pertanyaan kepada para pihak.
Setelah diadakan oral argument dalam sidang terbuka, Chief Justice akan
mengadakan rapat permusyawaratan hakim secara tertutup untuk mengambil
keputusan. Jika tidak dicapai kebulatan pendapat, diadakan voting.
Kemudian, setelah putusan final ditetapkan, hakim mayoritas yang paling senior
akan menentukan siapa yang akan menyusun rancangan putusan final. Hakim
minoritas yang paling senior menentukan siapa yang akan menulis dissenting
opinion.
3. MAHKAMAH KONSTITUSI
AUSTRIA
Tersusun atas 1 orang ketua dan 1 orang wakil ketua, 12 orang anggota dan 6 orang anggota
pengganti. Dalam menangani perkara, selalu ada hakim yang ditetapkan menjadi permanent
reporters atau hakim pelapor, yang memegang peranan penting dan bekerja full-time di
Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, hakim pelapor didampingi dan dibantuk 2 orang staf
kepaniteraan. Para hakim diangkat dengan keputusan Presiden Federal atas usul atau
pencalonan yang diajukan oleh tiga lembaga yaitu Pemerintah Federal, Dewan Nasional dan
Dewan Federal.
Kewenangan MK Austria:
1. Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang
2. Pengujian Legalitas di Bawah UU
3. Pengujian Perjanjian Internasional
4. Perselisihan Pemilihan Umum
5. Peradilan Impeachment
6. Kewenangan sebagai Pengadilan Administrasi Khusus yang terkait dengan
constitutional complaint individu
7. Sengketa kewenangan dan pendapatan keuangan antara negara bagian dengan Federal &
antar negara bagian
8. Sengketa kewenangan antar lembaga negara
9. Kewenangan memberikan penafsiran UUD
Semua putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, mengikat dan wajib
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Apabila diperlukan, Presiden Federasi
bertanggung jawab untuk mengeluarkan perintah kepada lembaga-lembaga negara
terkait, Negara Bagian ataupun badan-badan misalnya Angkatan Bersenjata untuk
melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-baiknya.
Khusus dalam hal sengketa kewenangan yang berkaitan dengan pendapatan
keuangan, maka yang berkewajiban melaksanakannya adalah pengadilan biasa yang
berkaitan dengan perkara yang bersangkutan (Articel 146 ayat (1) Konstitusi
Austria).
Sumber: Herbert Hausmaninger, The Austrian Legal System
4. DEWAN KONSTITUSI
PERANCIS
Dewan Konstitusi beranggotakan 9 orang anggota untuk masa jabatan 9 tahun dan tidak dapat
diperpanjang. Anggota dewan diganti sebanyak tiga orang setiap tiga tahun sekali. 3 anggota dipilih
oleh Presiden, 3 dipilih oleh Ketua Majelis Nasional dan 3 lainnya oleh Ketua Senat. Mantan
presiden republik yang diangkat menjadi seorang anggota dewan dapat terus menjabat untuk seumur
hidup.
Ketentuan lainnya yaitu pemilihan Ketua atau Preisden Dewan Konstitusi ini juga ditentukan oleh
Presiden Republik. Selain kewenangan Dewan Konstitusi yang berkaitan dengan normative and
abstract proceedings, mereka juga memiliki kewenangan yang berkenaan dengan electoral dan
referendum disputes. Dewan Konstitusi memeriksa dan memutus mengenai legalitas hasil pemilihan
presiden dan penyelenggaraan referendum, serta hasil pemilihan anggota lembaga perwakilan yang
mempengaruhi duduk tidaknya seseorang dalam jabatan wakil rakyat.
Dewan Konstitusi Perancis dimaksudkan untuk menjamin berkembangnya dan stabilnya proses
legislasi. Untuk itu, Dewan Konstitusi diberi kewenangan untuk menentukan batas-batas domain ‘la
loi’ (undang-undang) dengan ‘la reglement’ (regulasi atau peraturan pemerintahan). Dewan
Konstitusi juga bertanggung jawab atas konstitusinalitas atau kesesuaian naskah-naskah peraturan
dibawah dengan konstitusi.
BAGAIMANA DENGAN
INDONESIA?
1. Model Pengujian?
2. Centralized atau Decentralized System?
3. Struktur Organisasi dan Kewenangan:
Mengikuti Mahkamah Agung AS/
Mahkamah Konstitusi Austria/ The
Kelsenian Model?
SEKIAN DAN
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai