Anda di halaman 1dari 23

Estetika Aristoteles

DR. KARDI LAKSONO


Estetika Bentuk dan Isi

 Asums pertama: posisi pemikiran estetika yg menyerupai formalisme (estetika modern).


 Posisi Aristoteles berlawanan dengan estetika moralis Plato.
 Estetika Aristoteles: bhw karya seni mesti dinilai dr elemen-formal – instrinsiknya.
 Asumsi kedua: kendati Aristoteles memberikan beberapa pertimbangan yg mengarah pd
kecenderungan formalis dlm evaluasi nilai karya seni, ttp Aristoteles menempatkan
pertimbangan tsb dlm konteks yg kurang lebih bercorak fungsional spt Plato.
Mereologi Keindahan

 Dlm Peri poiētikēs (Poetics): Aristoteles pertma kalinya mendiskusikan scr sistematis
krteria formal dlm menganalisis karya seni.
 Plato pernah membahas dlm Phaidros: lebih mngkhususkan pd kriteria formal yg
bercorak mimetik.
 Aristoteles: membicarakan scr sistematis hubungan antar elemen dlm karya – aspek yg
lebih dekat dgn pengertian modern ttg bentuk karya seni.
 Kajian ttg hubungan antar bagian dlm kaitannya dgn keseluruhan disebut: ‘Mereologi’
[meros (Yun.): bagian].
 Dgn menaruh perhatian pd hubungan antar bagian dlm analisis karya seni: Aristoteles
tengah berefleksi ttg mereologi seni.
Analisis Teater Tragis

 Enam komponen yg menyusun teater tragis:


 1. Plot (muthos): struktur tindakan yg menyusun cerita.
 2. Perwatakan (ēthos): penokohan agen-agen yg menjalankan cerita.
 3. Diksi (leksis): komposisi bait yg menyusun dialog.
 4. Pikiran (dianoia): gagasan yg dinyatakan dlm cerita.
 5. Panggung (opsis): keseluruhan latar panggung dan dekorasinya.
 6. Melodi (melos): musik yg dinyanyikan oleh paduan suara dlm cerita.
 Aristoteles: yg paling krusial dlm menentukan nilai keindahan teater tragis adl struktur
tindakan, yakni plot.
 Aristoteles: dlm plot terletak tujuan dr setiap genre tragedi.
 Kesimpulan: hakikat teater tragis adl tiruan atas tindakan (mimesis prakseōn)
Argumen Plot Aristoteles

 1. Drama tdk dibuat utk memotret watak: justru watak dimasukkan ke dlm drama demi
memotret tindakan.
 Aristoteles: tdk mungkin ada tragedi tanpa tindakan, ttp mungkin ada tragedi tanpa
perwatakan.
 Aristoteles: perwatakan mjd penting hanya demi menggambarkan rangkaian tindakan.
 2. Dramawan pemula sering kesulitan merancang cerita, ttp pandai memilih diksi dan
perwatakan; menunjukkan bhw keahlian dramawan tragis terletak dlm kemampuannya
menyusun plot.
 Plot yg baik dan tragedi yg indah dirumuskan dlm dua asas: ukuran (megethos) dan
susunan (taksis).
 Taksis: bhw teater tragis mesti tertata oleh alur yg koheren: bagiannya mesti
berkoordinasi scr serasi.
 Kedua asas tsb diringkas oleh Aristoteles mjd definisi formal keindahan: “Keindahan adl
persoalan ukuran dan susunan (to gar kalon en megethei kai taksei estin).
Katarsis dan Fungsi Psikologis Seni

 Aristoteles: bhw “kenikmatan tragis adl rasa belas kasihan (eleos) dan ketakutan
(phobos).
 Kedua elemen tsb mrpk kunci dlm evaluasi nilai estetis sebuah karya tragedi.
 Aristoteles menambahkan satu elemen lagi: rasa cinta thd manusia (philanthrōpon),
 Tragedi yg baik sll menyentuh sentiment philanthrōpon dlm diri penonton.
 Momen tragis: saat ketika si tokoh menyadari kekeliruannya – suatu momen peralihan
epistemik dr tdk tahu mjd tahu yg datang terlambat.
 Momen tragedi adl puncak tragedi.
 Ini yg membangkitkan katharsis (pemurnian emosi)dlm diri penonton.
 Katharsis terjadi bila teater berhasil menghadirkan rasa belas kasihan dan ketakutan.
Pengertian Katharsis

 1. Pembersihan emosi
 2. Pelepasan emosi
 3. Pemurnian moral-spiritual
 4. Pendidikan emosi
 5. Penjernihan intelektual
 Pemahaman katharisis terkait dgn “kenikmatan tragis.”
 Kenikmatan: kondisi jiwa yg telah kembali ke keadaan normal.
 Keadaan normal: ketenangan dan kemapanan batin: hrs tercipta di benak penonton
selepas momen tragis.
 OKI: katharsis perubahan epistemik dlm benak penonton yg telah mengalami rasa
kasihan dan ketakutan.
 Tdk ada jembatan logis yg mengantarai perasaan takut dan kasihan ke kondisi tenang dan
mapan, kecuali moderasi intelektual.
 Mk katharisis: penjernihan intelektual.
 Aristoteles: karya seni memiliki fungsi psikologis.
 Karya seni berkontribusi bg formasi dan penyelesaian kecamuk batin.
 Nilai keindahan teater tragis – ketragisan dr tragedi – ditentukan oleh seberapa jauh
karya tsb dpt menghasilkan rasa belas kasih dan ketakutan, mk kriteria evaluasi nilai
karya seni dlm Aristoteles melibatkan unsur etis.
 Artinya: karya seni bernilai sejauh berhasil menyentuh aspek penting dlm kehidupan etis
manusia.
Musik dan Formasi Etis Selera Estetis

 Dlm Politika (Politics) Aristoteles menguraikan pandangan etisnya ttg pembentukan


selera estetis dlm musik.
 Politika adl padanan yg dibuat Aristoteles utk Politeia (Plato): yakni risalah ttg politik
ideal.
 Plato menetapkan larangan bg jenis seni yg dinilainya buruk; Aristoteles melibatkan
konsep selera.
 Asumsi Aristoteles: persoalan pendidikan dlm polis ideal.
 Usulan Aristoteles: bhw polis memiliki satu tujuan bersama, mk model pendidikan “yg
satu dan sama utk semua, serta mesti bersifat publik bukan privat.”
Empat Cabang Pendidikan Aristoteles

 1. Baca – tulis.
 2. Olahraga.
 3. Musik.
 4. Melukis.
Latar Belakang Pendidikan Musik

 Aristoteles: tradisi pendidikan Yunani tdk memasukkan musik dlm kurikulum hanya krn
musik niscaya diperlukan ataupun berguna scr praktis.
 Musik justru tdk niscaya diperlukan sebab orang bisa hidup tanpa musik dan musik juga
tdk berguna scr praktis.
 OKI alasan orang Yunani memasukkan musik sbg bagian dr pendidikan, menurut
Aristoteles adl krn musik memberikan kenikmatan intelektual di waktu senggang.
 Aristoteles: menganalisis tiga komponen bunyi dlm musik: ritme (rhutmos), harmoni
(harmoniai), dan melodi (melos).
 Aristoteles: mengupas musik terlepas dr lirik.
 Aristoteles: bhw musik tanpa lirik mengandung keindahan.
 Keindahan musik jenis ini berasal dr korespondensi antara gerakan nada yg terstruktur
dgn gerakan jiwa itu sendiri.
 Musik tanpa lirik adl tiruan dr ‘gerak jiwa.’ – inilah keindahan.
 Mimēsis dimungkinkan krn, jiwa itu sendiri dimengerti sbg harmoni, atau setdknya
mengandung harmoni.
 Aristoteles: dlm melodi tanpa lirik sdh terdpt proses ‘tiruan atas watak’ (mimēmata tōn
ēthōn).
 Dibandingkan dgn musik tanpa lirik yg hanya berisi permainan nada dan ritme, musik
dgn lirik lebih sesuai dgn tujuan pendidikan.
 Demi tujuan pendidikan, alat musik seperti aulos yg tdk mungkin dimainkan sembari
bernyanyi adl alat musik yg buruk.
 Dgn atau tanpa lirik, musik sdh sll menggambarkan watak.
 Aristoteles: “musik dipelajari tdk demi musik itu sendiri, ttp demi kegunaannya, yakni
demi pendidikan atau Katharsis.”
 Aristoteles: dlm musik atau seni yg penting bukan sekedar menikmati, ttp ‘menikmati scr
tepat’ (khairein orthōs).
 Orthōs: kesesuaian atau ketepatan.
 Objek ketepatan: adl keutamaan moral masyarakat.
 Menikmati musik scr tepat berarti bukan hanya ‘mendengar musik’ – menikmati
permainan harmoni, ritme, dan melodi – melainkan juga memahami signifikansi sosial.
 Artinya: dlm penikmatan yg tepat atas musik hrs memperoleh pengertian ttg keutamaan
moral suatu masyarakat.
 Aristoteles: utk menghasilkan karya yg indah seniman hrs paham politik.
Diskusi Selera Estetis

 Aristoteles menolak pendidikan musik yg hanya memberikan kenikmatan vulgar pd


pendengarnya – kenikmatan permainan bunyi-bunyian.
 Orang yg menyukainya memiliki selera estetis yg rendah.
 Kenikmatan yg lebih tinggi di dpt dr mendengar musik yg punya muatan moral yg tepat.
Dua Jenis Kenikmatan Musik Berdasar Selera

 1. Kenikmatan alamiah yg bisa di dpt oleh semua pendengar.


 2. Kenikmatan moral yg di dpt dr pendengar yg berpengalaman dgn musik.
 Kenikmatan alamiah krn komponen intrinsik musik sejatinya sdh meniru watak dan
bercorak parallel dgn jiwa.
 Kenikmatan ini bersifat rendah, sebab tdk mensyaratkan pengetahuan apapun dlm diri
pendengar selain selera partikularnya utk bunyi-bunyian tertentu.
 Kenikmatan moral di dpt dr musik yg punya sikap lebih jelas dlm urusan moral, dr musik
yg mau mengatakan sst ttg kehidupan manusia dlm polis.
 Plato dan Aristoteles: permasalahan seni adl permasalahan sosial – moral.
Universalitas Seni

 Plato: karya seni sbg “tiruan dr tiruan” atas idea tertentu.


 Aristoteles: karya seni sbg medium yg filosofis.
 : seniman tdk hanya mampu membicarakan apa yg ada, melainkan juga
apa yg bisa ada: apa yg mungkin sbg yg boleh jadimaupun apa yg niscaya – mrpk
kekuatan seni.
 Seniman tdk berbicara pd aras partikularitas, melainkan ke dlm ranah yg lebih universal,
ttg tipe manusia dan tindakan.
 Berbeda dgn Plato yg melihat karya seni sbg tiruan partikular dr sesuatu yg universal,
Aristoteles melihat karya seni sbg tiruan pd aras universal.
 Yg ditiru oleh karya seni bukan sosok aktual – historis, melainkan tipe sosok, moral,
tindakan tertentu, dst.
 Seni scr inheren bersifat filosofis.

Anda mungkin juga menyukai