Anda di halaman 1dari 24

PEREMPUAN DAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN

HUKUM DALAM PERKARA CERAI GUGAT


BERDASARKAN PERMA NOMOR 3 TAHUN 2017

Oleh :
Syarifa Saimima, S.H.I., M.H.
Nip. 19771222 200604 2 002
PENDAHULUAN
Terdapat dua lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia
yaitu Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dan
Mahkamah Konstitusi. Salah satu peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung adalah Peradilan Agama selain itu ada Peradilan
Umum, Peradilan Militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara.Peradilan Agama adalah terjemahan dari Godsdienstige
Rechtspraak, berasal dari kata godsdienst yang berarti agama;
ibadat; keagamaan, dan kata rechtspraak berarti peradilan.
Sementara itu menurut UU No. 50/2009 tentang Perubahan Kedua
atas UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa
yang dimaksud Peradilan Agama dalam undang-undang ini adalah
peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Pasal 24 ayat (2)
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Arief S. (Ed.), Kamus
Hukum Lengkap, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1995, hlm. 150. Ibid.
Sedangkan UU No. 3/2006 tentang Perubahan atas UU
No. 7/1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa
Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud
dalam undangundang ini. Berdasarkan pengertian di atas
dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan Agama adalah
suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan
ataumenyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-
orang yang beragama Islam melalui lembaga-lembaga yang
berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peradilan Agama melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat
yang beragama Islam mengenai perkara tertentu. Menurut pasal
49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”), yang menjadi
kewenangan dari pengadilan agama adalah perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. Perkawinan;
b. Waris;
c. Wasiat;
d. Hibah;
e. Infaq;
f. Shadaqah;
g. Ekonomi syariah.
Meskipun memiliki beberapa kewenangan mengadili,
perkara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Agama
75% diantaranya merupakan perkara perceraian. Data
statistik Badan Pengadilan Agama (Badilag) menunjukkan
bahwa perceraian yang terjadi tas inisiatif pihak istri (Cerai
Gugat) rata-rata berkisar 65%, sedangkan yang terjadi atas
inisiatif pihak suami (Cerai Talak) rata-rata berkisar 35%.
Berdasarkan data tersebut terlihat jelas bahwa sangat
banyak Perempuan yang berhadapan dengan hukum di
Pengadilan Agama melalui perkara cerai gugat. Anita
Rahmawaty, “Harmoni dalam Keluarga Perempuan
karir: upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan
gender dalam Keluarga,” Palastren, 2015. H. 13
Kasus Perceraian

550000

450000

350000

250000

150000

50000

2017 2018 2019 2020 2021 2022


Kasus Perceraian 374516 408202 439002 291677 447743 516334

Kasus Perceraian

Grafik 1. Data Perkara Perceraian Tahun 2017-2022


Menurut laporan Statistik Indonesia, jumlah
kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334
kasus pada 2022. Angka ini meningkat 15,31%
dibandingkan 2021 yang mencapai 447.743
kasus.Jumlah kasus perceraian di Tanah Air
pada tahun lalu bahkan mencapai angka
tertinggi dalam enam tahun terakhir.
Jenis Kasus Perceraian

550000

450000

350000

250000

150000

50000

Cerai Gugat (istri) Cerai Talak (suami) Total Perceraian


Kasus Perceraian 388358 127926 516344

Kasus Perceraian

Grafik 1. Data Jenis Perkara Perceraian Tahun 2022


Adapun mayoritas kasus perceraian di dalam
negeri pada 2022 merupakan cerai gugat, alias
perkara yang gugatan cerainya diajukan oleh
pihak istri yang telah diputus oleh Pengadilan.
Jumlahnya sebanyak 388.358 kasus atau 75,21%
dari total kasus perceraian tanah air pada tahun
lalu.
Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas
perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi,
kalimat tersebut merupakan prinsip dasar dalam hukum
dan hak asasi manusia. Perlindungan dan kepastian
hukum yang adil dan perlakuan yang sama didepan
hukum juga menjadi salah satu hal yang dijamin dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia sebagaimana
diatur dalam pasal 28 huruf D ayat (1). Walaupun telah
terdapat jaminan hukum yang melindungi perempuan
dan penekanan terhadap kewajiban negara untuk
memastikan bahwa perempuan bebas dari diskriminasi di
dalam sistem peradilan, pada kenyataannya mendapatkan
kesetaraan dihadapan hukum dan akses terhadap
keadilan bagi perempuan bukanlah suatu hal yang
mudah. Perempuan seringkali menghadapi rintangan
berganda dalam meraih pemenuhan haknya yang
disebabkan olehdiskriminasi dan pandangan stereotip
Melihat berbagai kondisi tersebut, Mahkamah
Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi
berinisiatif untuk mengambil langkah guna
secara bertahap memastikan tidak ada
diskriminasi berdasarkan gender dalam praktik
peradilan dengan mengeluarkan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan Dengan Hukum dengan
memuat salah satu asas yang tentu sangat
penting untuk dapat dijadikan pertimbangan
hakim dalam memutus perkara yaitu asas
kesetaraan gender.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas,
maka didapatkan sebuah pertanyaan mengenai
implementasi Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan Dengan Hukum
dengan memuat salah satu asas yang tentu
sangat penting untuk dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam memutus perkara
yaitu asas kesetaraan gender.
PEMBAHASAN
Pada dasarnya perkawinan dilakukan untuk waktu
selamanya, sampai matinya salah seorang suami
istri,sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal, yang mana juga sesuai dengan ajaran Islam. Oleh sebab
itu, undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
terjadinya perceraian. Namun dalam keadaan tertentu
terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan
dalam arti bahwa bila perkawinan tetap dilanjutkan, maka
kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini, Islam membenarkan
putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha
untuk melanjutkan rumah tangga.
Regulasi perkawinan di Indonesia tidak
hanya memposisikan perempuan menjadi
objek perceraian dari pihak suami, tetapi juga bisa
menjadi subyek atau inisiator dari sebuah
perceraian. Perceraian yang diajukan oleh
perempuan atau disebut khulu’ diakomodir
oleh hukum perkawinan di Indonesia dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 124. Hak khulu’
ini diberikan untuk mengakhiri ketidakadilan
yang dialami perempuan dalam bahtera rumah
tangga yang tidak harmonis. Istilah khulu’
biasanya dikenal dengan istilah cerai gugat.
Fakta menunjukkan bahwa cerai gugat tidak
mudah dilakukan dengan capaian keadilan bagi
perempuan. Banyak hasil putusan yang
mengabulkan gugatan, sementara keadilan yang
diinginkan perempuan melalui proses cerai gugat
seringkali pupus bahkan berubah menjadi petaka
ketika harus kehilangan hak nafkah, terpisahkan
dari anak-anak karena hak perwalian dan stigma
negatif di masyarakat karena predikat janda yang
disandangnya. Oleh sebab itu,
berdasarkanPeraturan Mahkamah Agung No. 3
Tahun 2017 Hakim dituntut untuk dapat bersikap
dengan cara yang sensitif gender.
Dalam perkara perceraian dan KDRT hakim dituntut untuk:

a. Hakim tidak serta-merta memposisikan istri sebagai penyulut


perselisihan dan pertengkaran yang menyebabkan terjadinya perceraian.
b. Hakim memeriksa penyebab perselisihan antara suami istri dan tidak
langsung menganggap bahwa kekerasan yang terjadi adalah salah istri.
c. Hakim menyatakan bahwa kekerasan bukan merupakan suatu hal
yang wajar dilakukan suami terhadap istri.
d. Hakim berpandangan bahwa KDRT adalah tindakan kejahatan yang
serius yang jika dibiarkan akan membahayakan nyawa istri.
e. Hakim mampu mengidentifikasi riwayat kekerasan atau siklus kekerasan
dengan menelusuri sejak kapan tindakan itu berlangsung dan
mencermati bentuk-bentuk watak umumnya perempuan yang
suka membangkang.
f. Hakim memberi perhatian seimbang untuk perkara cerai talak-cerai gugat
dan tidak menghalang-halangi istri untuk melakukan cerai gugat
dengan melambat lambatkan putusan.
Selain hakim dituntut untuk bersikap dengan cara sensitif
gender, terdapat juga hal-hal yang perlu dipertimbangkan
hakim dalam memutuskan perkara, diantaranya:

a. Ada tidaknya peristiwa KDRT, sehingga perempuan terpaksa keluar


atau pergi dari suami atau rumahnya untuk mencari perlindungan
dan tidak dapat langsung disalahkan karena meninggalkan suami.
b. Kontribusi penghasilan istri terhadap biaya rumah tangga,
selain mengurusi rumah tangga sehari-hari, sehingga
istri perlu dipertimbangkan mendapat lebih dari setengah dari
harta bersama.
c. Adanya relasi kuasa antara suami-istri yang menempatkan istri
lebih rentan dan tidak berdaya menghadapi keinginan suami untuk
poligami atau terkait penguasaan suami atas harta bersama.
d. Baik suami maupun istri sama-sama memiliki tanggung jawab
untuk mengasuh, merawat dan membesarkan anak.
e. Potensi bahaya yang mengancam baik fisik maupun psikis perempuan.
Berdasarkan poin-poin tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa hakimwajib menerapkan asas equality dan
memperhatikan kesetaraan gender dalam putusannya,
meskipun istri yang menggugat cerai (cerai gugat)
dapat diterapkan ex officio hakim dengan pembebanan
hak-hak istri akibat dari perceraiannya. Hal ini sejalan
dengan ketentuan pada Pasal 41 huruf c Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan
bahwa Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas
suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Dalam buku
Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Pengadilan
Agama, Buku II juga disebutkan bahwa cerai gugat dengan
alasan adanya kekejaman atau kekerasan suami, hakim
secara ex officio dapat menetapkan nafkah iddah(lil istibra’).
Khusus Pegawai Negeri Sipil, ada pula aturan tentang
perceraian yang berlaku bagi mereka. Pegawai Negeri Sipil
adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi
masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi
masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan
kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian
memiliki akibat hukum selain dari yang diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi
Pegawai Negeri Sipil.menyatakan bahwa istri berhak
mendapat sepertiga gaji mantan suami PNS sampai
mantan istri tersebut menikah lagi.
Dalam Pasal 8 tersebut dijelaskan bahwa:

1. Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib
menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya.
2. Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai
Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas istrinya dan sepertiga untuk
anak atau anak-anaknya.
3. Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji yang wajib
diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas istrinya ialah setengah dari
gajinya.
4. Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan apabila alasan perceraian disebabkan
karena istri berzina, dan atau istri melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik
lahir maupun batin terhadap suami, dan atau istri jadi pemabuk, pemadat, dan penjudi
yang sukar disembuhkan, dan atau iseri telah meninggalkan suami selama dua tahun
berturutturut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
5. Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian
penghasilan dari bekas suaminya.
6. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak berlaku, apabila isteri meminta
cerai karena dimadu, dan atau suami berzina, dan atau suami melakukan kekejaman
atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap isteri, dan atau suami
menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau suami telah
meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin isteri dan tanpa alasan
Peraturan Pemerintah ini kemudian juga diperkuat oleh
Surat Kepala BKN Nomor
6437/B-AK.03/SD/F/2022.Surat itu ditujukan kepada
seluruh PNS baik di Instansi Pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota yang mana pada intinya seluruh PNS
memiliki kewajiban untuk memberikan Sebagian gajinya
kepada mantan istri dan anak-anaknya.
KESIMPULAN
PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Mengadili perkara Perempuan Berhadapan Dengan
Hukum merupakan instrument yang dapat digunakan
para hakim dan segenap aparatur peradilan dalam
menangani perkara yang melibatkan perempuan baik
sebagai pelaku, korban, saksi. Aturan tersebut
kemudian juga dapat digunakan sebagai standar
dalam proses pemeriksaan di pengadilan dengan
tujuan agar penghapusan segala potensi diskriminasi
terhadap perempuan yang berhadapan dengan
hukum dapat terselesaikan.
Disamping itu, Pegawai Negeri Sipil wajib
memberikan contoh yang baik kepada
bawahannya dan menjadi teladan sebagai
warga negara yang baik dalam masyarakat,
termasuk dalam menyelenggarakan
kehidupan berkeluarga, maka perceraian
sejauh mungkin harus dihindarkan.
Sehingga, ketika perceraian itu harus terjadi, maka
berdasarkan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1990 yang menyatakan wajibnya seorang PNS
memberikan sepertiga atau setengah dari gajinya kepada
mantanistri dan anaknya sampai mantan istri itu
menikah lagi adalah hal yang wajib dilaksanakan oleh
PNS dengan dalil menaati Pemimpin yakni dalam hal ini
Pemerintah sebagai eksekutif dan legislatif yang telah
membentuk Peraturan Pemerintah tersebut, karena
tujuan Peraturan Pemerintah itu adalah sesuatu yang
sesuai dengan syariat yaitu untuk menghindarkan
terjadinya perceraian yang merupakan perbuatan yang
paling dibenci oleh Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai