Anda di halaman 1dari 39

FILOSOFIS TUJUAN PEMIDANAAN

BEBY SURYANI, SH, MH

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MEDAN AREA
1
Capaian Pembelajaran :
Mahasiswa akan dapat menjelaskan mengenai
dasar filosofis tujuan pemidanaan
Kemampuan Akhir yang Diharapkan :
1.Mahasiswa mampu menjelaskan tentang
beragam tujuan pemidanaan yang ada di
dunia
2.Mahasiswa mampu menjelaskan tujuan
pemidanaan yang dianut di Indonesia
DETERRENCE

RETRIBUTIF
TREATMENT

TEORI TUJUAN
PEMIDANAAN

RESTORATIF SOCIAL
JUSTICE DEFENCE

4
Retributif Deterrence Integrative Treatment Social Restorative
Retributif Deterrence Integrative Treatment Social Restorative
Defence Justice
Defence Justice

Aliran Perkembangan dari


Aliran Aliran Perkembangan dari
Aliran Positive Aliran Positive
Pidana Klasik Positive Aliran Positive
Pidana Klasik

Retributif Relatif Integratif Treatment Social Defence Radikal Social Defence


Retributif Relatif Integratif Treatment Social Defence Radikal Social Defence
(Pembalasan) (Teori Tujuan) (Teori Gabungan) Cassare Lombroso Fillipo Gramatica Moderat
(Pembalasan) (Teori Tujuan) (Teori Gabungan) Cassare Lombroso Fillipo Gramatica Moderat
Immanuel Kant Cessare Beccaria Pallegrino Rossi (1835-1909) Idenya: Penghapusan (New Social Fefence)
Immanuel Kant Cessare Beccaria Pallegrino Rossi (1835-1909) Idenya: Penghapusan (New Social Fefence)
(1724-1804) dan (1738-1794) dan (1787-1848) Enrico Ferri Pidana Marc Ancel
(1724-1804) dan (1738-1794) dan (1787-1848) Enrico Ferri Pidana Marc Ancel
Hegel (1770-1831) Jeremy Bentham (1856-1929) dan Idenya: Kebijakan
Hegel (1770-1831) Jeremy Bentham (1856-1929) dan Idenya: Kebijakan
(1748-1832) Rafaele Garofalo hukum pidana harus
(1748-1832) Rafaele Garofalo hukum pidana harus
(1852-1934) integral dengan
(1852-1934) integral dengan
kebijakan sosial
kebijakan sosial

5
TEORI RETRIBUTIF
(TEORI PEMBALASAN)

• Tokoh Teori Retributif adalah Immanuel Kant (1724-


1804) dan Hegel (1770-1831)

• Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai


sarana pembalasan atas kejahatan yang telah
dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai
perbuatan yang amoral dan asusila di dalam
masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus
dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan
pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga
pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu
pembalasan.

6
TEORI RETRIBUTIF (TEORI PEMBALASAN)

 Tindakan pembalasan ini dilandaskan pada pemikiran bahwa


setiap individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan
penuh secara rasional dalam mengambil keputusan.
 Sedangkan dasar pemikiran secara politik disandarkan bahwa
setiap individu berhak atas penghargaan dan harga diri yang
sama.
 Seorang pelaku kejahatan dalam kondisi ini tidak kehilangan
haknya atas penghukuman tersebut, dan mempunyai hak
untuk tidak dihukum secara tidak proporsional terhadap
kejahatan yang dilakukannya.
 Proporsional merupakan kunci dari konsep teori pembalasan
setimpal. Ukuran yang utama dari proporsionalitas ini adalah
semua ukuran dari tingkatan pemidanaan ini tidak boleh
melewati batas secara kesesuaian dengan keseriusan suatu
perbuatan.
7
• Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu imperatif
kategoris, yg merupakan tuntutan mutlak dipidananya
seseorang karena telah melakukan kejahatan
• Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari
pelaku kejahatan atas perbuatan yg dilakukannya
berdasarkan kemauannya sendiri.
• Sandaran pembenaran penjatuhan pidana dalam teori ini
menurut Ramli Atmasasmita yakni:
a. Memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan
adil bagi dirinya, temannya maupun keluarganya
b. Sbg peringatan kpd pelaku kejahatan dan anggota masyarakat
yg lainnya bahwa setiap perbuatan yg merugikan org lain atw
memperoleh keuntungan dr org lain scra tdk wajar mka akn
mnerima ganjarannya
c. Untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya
suatu pelanggaran dengan pidana yg dijatuhkan
TEORI DETERRENCE
(TEORI RELATIF)

Teori Deterrence berakar dari aliran klasik tentang


pemidanaan, dengan dua orang tokoh utamanya, yaitu
Cessare Beccaria (1738-1794) dan Jeremy Bentham
(1748-1832).

Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul


dei Delitti e Delle Pene (1764) bahwa tujuan
pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang
supaya tidak melakukan kejahatan,
dan bukan sebagai sarana pembalasan masyarakat.

9
TEORI DETERRENCE( TEORI RELATIF)

• Terminologi “deterrence” menurut Zimring dan


Hawkins, digunakan lebih terbatas pada penerapan
hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman
pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa
takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan.
Namun “the net deterrence effect” dari ancaman secara
khusus kepada seseorang ini dapat juga menjadi
ancaman bagi seluruh masyarakat untuk tidak
melakukan kejahatan

• Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham


reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran
dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini
adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan (… the
justification for penalizing offences is that this reduces
their frequency).
10
TEORI DETERRENCE( TEORI RELATIF)

Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan dapat


mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara
berikut ini:

1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the


offender), yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri
atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui
ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan;
2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring
potential imitators), dalam hal ini memberikan rasa takut
kepada orang lain yang potensial untuk melakukan
kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah
dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa
takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya;

11
TEORI DETERRENCE( TEORI RELATIF)

3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu


memperbaiki tingkah laku sipelaku sehingga muncul
kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak
melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya
rasa ketakutan dar ancaman pidana;
4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius
memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan
cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi
frekuensi kejahatan;
5. Melindungi masyarakat (protecting the public),
melalui pidana penjara yang cukup lama.

12
TEORI DETERRENCE( TEORI RELATIF)

Tujuan Teori Deterence :


Prevensi khusus:
Dimaksudkan bahwa dengan pidana yang
dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada
si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya
kembali.

Sedangkan fungsi perlindungan kepada masyarakat


(Prevendi Umum):
Memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan
kebebasan selama beberapa waktu, maka
masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang
mungkin dilakukan oleh pelaku.

13
TEORI DETERRENCE( TEORI RELATIF)

Selain Cessare Beccaria, maka tokoh aliran klasik yang juga


sepakat dengat tujuan pemidanaan sebagai deterrence,
adalah Jeremy Bentham dengan teori utilitarian.
Legitimasi penjatuhan pidana dalam pandangan
utilitaranism adalah untuk deterrence, incapacitation,
and rehabilitation

Menurut Ahmad Ali:


Penganut paham utilitarian menganggap bahwa tujuan
hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau
kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-
banyaknya warga masyarakat. Pandangan ini didasarkan pada
falsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari
kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu instrumen
untuk mencapai kebahagian tersebut.

14
TEORI TREATMENT

• Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh


aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat
pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada
perbuatannya.

• Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah


untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan
perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai
pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini
dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah
orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan
(treatment) dan perbaikan (rehabilitation).

15
TEORI TREATMENT

• Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori


oleh Casare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri
(1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1852-1934).

• Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah


untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter
pelaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan
sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku,
bukan kejahatannya.

16
TEORI TREATMENT

• Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan


menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-
fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya
kejahatan.

• Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan


bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan
kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak
bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya,
faktor biologis, maupun faktor lingkungan.

• Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan


dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan
(treatment) untuk re-sosialisasi dan perbaikan sipelaku.

17
TEORI TREATMENT

• Gerber dan McAnany menyatakan bahwa munculnya paham


rehabilitasionis dalam ilmu pemidanaan sejalan dengan gerakan
reformasi penjara.

• Melalui pendekatan kemanusiaan, maka paham ini melihat bahwa


sistem pemidanaan pada masa lampau menyebabkan tidak adanya
kepastian nasib seseorang.

• Berdasarkan pendekatan keilmuan, maka aliran rehabilitasi


berusaha membuat jelas dan melahirkan suatu dorongan untuk
memperbaiki pelaku kejahatan sebagai tema sentral
mengenyampingkan semua tujuan lain dari pemidanaan.

• Jadi gerakan rehabilitionist merupakan paham yang menentang


sistem pemidanaan pada masa lalu, baik untuk tujuan retributif,
maupun tujuan deterrence.

18
TEORI TREATMENT

• Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan


sebagaimana yang dipelopori oleh aliran positif,
menjadikan pendekatan secara medis menjadi model
yang digemari dalam kriminologi.

• Pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial


dan perlindungan sosial menjadi suatu standar dalam
menjustifikasi suatu perbuatan, daripada
pertanggungjawaban moral dan keadilan.

• Aliran positif menolak setiap dasar pemikiran aliran


hukum pidana klasik dan menurut aliran ini masyarakat
perlu mengganti standar hukum, pertanggungjawaban
moral dan kehendak bebas (free will) dengan treatment
dan perhatian digeser dari perbuatan ke pelakunya.

19
TEORI TREATMENT

• Menurut Toby,
Perbaikan terhadap pelaku kejahatan
merupakan gelombang besar dari gerakan
konformis yang dipengaruhi oleh tuntutan
humanisme dan menggunakan pendekatan
keilmuan dalam ilmu pemidanaan yang lebih
konstruktif dari pada penghukuman. Sebagian
besar dari argumen paham ini adalah
penentangan terhadap pemenjaraan dan
bentuk-bentuk lain dari pemidanaan dalam
kepustakaan penjara singkat yang dinyatakan
secara tegas bahwa pemidanaan (punishment)
bertentangan dengan perbaikan
(rehabilitation).

20
TEORI TREATMENT

Jackson Toby:
Tingginya angka resedivis sebagai hasil dari
proses pemenjaraan disebutkan sebagai bukti
dari pemidanaan yang tidak rasional. Dalam
hal ini muncul pertanyaan, mengapa terjadi
“frustasi pemenjaraan” dari pelaku kejahatan
sehingga menjadi resedivis?. Jika program
rehabilitasi didisain untuk membantu pelaku
dalam mengatasi rasa frustasi dalam situasi
kehidupannya, maka cara yang baik untuk
memulainya dengan ikut bertanggung jawab
bahwa pemenjaraan yang keras adalah tidak
cocok untuknya.

21
TEORI TREATMENT

• Gerber dan McAnany menyatakan bahwa


Munculnya paham rehabilitasionis dalam ilmu pemidanaan
sejalan dengan gerakan reformasi penjara. Melalui pendekatan
kemanusiaan, maka paham ini melihat bahwa sistem
pemidanaan pada masa lampau menyebabkan tidak adanya
kepastian nasib seseorang. Berdasarkan pendekatan keilmuan,
maka aliran rehabilitasi berusaha membuat jelas dan
melahirkan suatu dorongan untuk memperbaiki pelaku
kejahatan sebagai tema sentral mengenyampingkan semua
tujuan lain dari pemidanaan. Jadi gerakan rehabilitionist
merupakan paham yang menentang sistem pemidanaan pada
masa lalu, baik untuk tujuan retributif, maupun tujuan
deterrence.

22
TEORI TREATMENT

• Paham rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan


dalam perjalanannya tidak semulus yang
diperkirakan karena paham ini juga banyak menuai
kritikan.

• Kritikan pertama :
Ditujukan pada kenyataannya bahwa hanya sedikit
negara yang mempunyai fasilitas untuk
menerapkan program rehabilitasi pada tingkat dan
kebijakan yang menekankan penggunaan tindakan
untuk memperbaiki (treatment) atas nama
penahanan.

23
TEORI TREATMENT

• Kritikan kedua:
Adanya tuduhan yang serius bahwa pendekatan yang
digunakan oleh paham rehabilitasi adalah pendekatan
yang mengundang tirani individu dan penolakan hak asasi
manusia. Misalnya dalam hal proses pelaksanaan
rehabilitasi ini tidak seseorang pun yang dapat
memprediksi berapa lama pengobatan akan berlangsung
ketika seorang tahanan segera diserahkan kepada dokter
untuk disembuhkan atau diobati sebelum tahanan itu
dibebaskan. Dalam hal ini juga sulit untuk mengontrol
otonomi keputusan dokter. Menurut Lewis sebagaimana
yang dikemukakan oleh Gerber McAnany bahwa sebagian
besar metode treatment yang dilakukan dengan penuh
kebaikan dan atas nama kemanusiaan, namun akhirnya
tidak terkontrol.

24
SOCIAL DEFENCE
(PERLINDUNGAN SOSIAL)

• Social Defence adalah aliran pemidanaan yang


berkembang setelah PD II dengan tokoh
terkenalnya adalah Fillipo Gramatica, yang
pada tahun 1945 mendirikan Pusat Studi
Perlindungan Masyarakat. Dalam
perkembangan selanjutnya, pandangan social
defence ini (Setelah Kongres Ke-2 Tahun 1949)
terpecah menjadi dua aliran, yaitu aliran yang
radikal (ekstrim) dan aliran yang moderat
(reformis).

25
SOCIAL DEFENCE (PERLINDUNGAN SOSIAL)

Pandangan yang radikal dipelopori dan


dipertahankan oleh F. Gramatica, yang salah
satu tulisannya berjudul “The fight against
punishment” (La Lotta Contra La Pena).
Gramatika berpendapat bahwa: “Hukum
perlindungan sosial harus menggantikan
hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan
utama dari hukum perlindungan sosial adalah
mengintegrasikan individu ke dalam tertib
sosial dan bukan pemidanaan terhadap
perbuatannya.
26
SOCIAL DEFENCE (PERLINDUNGAN SOSIAL)

Gerakan yang dipelopori oleh Gramatica ini


melahirkan gerakan yang menghendaki
penghapusan hukum pidana (abilisionisme).
Penggunaan hukum pidana sebagai salah satau
sarana penanggulangan kejahatan ditentang
secara radikal oleh kaum abolisionisme. Hukum
pidana dalam perspektif kaum abolisionisme
dirasakan sebagai sesuatu yang kurang
manusiawi, oleh karena itu pemidanaan tidak
perlu dan harus dihapuskan, serta diganti
dengan hukum kerja sosial.

27
DIVERSI DAN
RESTORATIVE JUSTICE

• Diversi dalam sistem peradilan pidana merupakan


upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
untuk mengalihkan kasus pidana dari mekanisme
formal ke mekanisme yang informal.
• Diversi dilakukan untuk menemukan suatu bentuk
penyelesaian yang memberikan perlindungan
terhadap semua pihak dengan mengedepankan prinsip
kebersamaan.
• Konsep diversi lahir didasarkan pada kenyataan bahwa
proses peradilan pidana dalam tindak pidana tertentu
melalui sistem peradilan pidana konvensional lebih
banyak menimbulkan bahaya dari pada kebaikan.
28
DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE

• Misalnya bagi anak pelaku tindak pidana, dalam hal ini


mekanisme peradilan akan memberikan stigma
terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya sebagai
anak jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkan
anak dari sistem peradilan pidana konvensional ke
mekanisme penyelesaian di luar sistem peradilan
pidana.
• Pertimbangan dilakukannya diversi didasarkan pada
alasan untuk memberikan keadilan kepada anak yang
telah terlanjur melakukan tindak pidana serta
memberikan kesempatan pada anak untuk
memperbaiki dirinya.
29
DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE

• Terdapat tiga jenis pelaksanaan deversi, yaitu:


1. Berorientasi kontrol sosial (social control orientation). Dalam
hal ini aparat penegak hukum menyerahkan anak pelaku
pada pertanggungjawaban dan pengawasan masyarakat;
2. Berorientasi pada social service, yaitu pelayanan sosial oleh
masyarakat dengan melakukan fungsi pengawasan, perbaikan
dan menyediakan pelayanan bagi anak pelaku dan
keluarganya;
3. Berorientasi pada restorative justice, yaitu memberi
kesempatan kepada pelaku untuk bertanggung jawab atas
perbuatannya kepada korban dan masyarakat. Semua pihak
yang terlibat dipertemukan untuk bersama-sama mencapai
kesepakatan, apa tindakan terbaik untuk anak pelaku ini.

30
DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE

• Konsep restorative justice diawali dari pelaksanaan sebuah


program penyelesaian kasus pidana yang dilakukan oleh anak di
luar mekanisme peradilan konvensional yang dilaksanakan oleh
masyarakat yang disebut victim offender mediation.
• Program ini dilaksanakan di negara Canada pada tahun 1970.
Program ini pada awalnya dilakukan sebagai tindakan alternatif
dalam memberikan hukuman yang terbaik bagi anak pelaku
tindak pidana.
• Pelaku dan korban dipertemukan terlebih dahulu dalam suatu
perundingan untuk menyusun suatu usulan hukuman bagi anak
pelaku yang kemudian akan menjadi pertimbangan bagi hakim
untuk memutus perkara ini. Program ini menganggap pelaku dan
korban sama-sama mendapatkan manfaat yang sebaik-baiknya
sehingga dapat mengurangi angka residivis dikalangan anak-anak
pelaku tindak pidana serta memberikan rasa tanggung jawab
bagi masing-masing pihak. 31
Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum 32
Tujuan Pemidanaan dalam RUU-KUHP
(Pasal 54 RUU-KUHP)

(1) Pemidanaan bertujuan :


a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan


merendahkan martabat manusia.

33
Tujuan Pemidanaan di dunia

Retributif Deterrence Treatment Soc. Defence Restoratif

Tujuan Deterrence Treatment


Pemidanaan
dalam RUU RUU KUHP

Menyelesaiakan
konflik
Memulihkan
keseimbangan

34
Menyelesaikan konflik dan Memulihkan
Keseimbangan

1. Didasarkan pada pemikiran bahwa dalam masyarakat adat,


bahwa delik bukan saja dipandang sebagai perbuatan yang
merugikan secara materil pada diri seseorang semata,
melainkan juga mengakibatkan kerugian secara magis berupa
gangguan keseimbangan alam sehingga masyarakat juga
merasa akan terkena pengaruhnya (kerugian) atas gangguan
ini.
2. Gangguan keseimbangan ini dalam bahasa Van Vollenhoven
merupakan suatu keadaan keseimbangan magis yang terputus
yang juga mengakibatkan gangguan ketertiban hidup dalam
masyarakat. Oleh karena itu bila terjadi perbuatan pidana di
dalam masyarakat, maka keseimbangan yang terganggu ini
harus dikembalikan atau dipulihkan melalui pengenaan reaksi
adat;

35
Menyelesaikan konflik dan
Memulihkan Keseimbangan

3. Ter Haar mengartikan delik adat sebagai segala


sesuatu yang menyebabkan gangguan keseimbangan,
segala sesuatu gangguan pada barang materil hak milik
kehidupan seseorang atau masyarakat. Orang-orang
yang melakukan delik ini harus dikenakan reaksi adat
yang jenis serta besarnya reaksi adat ini ditentukan
oleh hukum adat yang bersangkutan. Secara umum,
reaksi adat ini adalah pebayaran delik dalam bentuk
uang atau barang. Dengan dijatuhkannya reaksi adat
ini, maka keseimbangan yang terganggu akan dapat
dipulihkan.

36
Konsep Komunal dalam Hukum Adat
menurut Koesnoe

1. Pandangan hidup adat, yaitu manusia sebagai species ciptaan


dalam alam;
2. Sebagai ciptaan tersendiri, sebagai species adalah dikodratkan
hidup dalam kebersamaan dan tidak sendiri-sendiri;
3. Hidup kebersamaan mengandung arti bahwa setiap orang
selaku anggota masyarakat adalah sama;
4. Hidup kerakyatan itu dipertahankan dengan hidup rukun;
5. Hidup rukun itu diselenggarakan dengan hidup atau satu sama
lain saling mengabdi sehingga setiap orang adalah abdi dan
sekaligus adalah warga (keluarga);
6. Saling mengabdi berarti berani berkorban untuk keseluruhan;
7. Dengan demikian akan dicapai suatu hidup bersama yang
tertib dan tentram.

37
Konsep Komunal dalam Hukum Adat
menurut Koesnoe

Konsep ini lebih bernilai komunal dari pada individual, yang


menekankan rasa kebersamaan dalam masyarakat,
sehingga setiap delik yang terjadi di tengah masyarakat
dipandang tidak hanya merugikan orang perorang, tetapi
juga membawa kerugian pada masyarakat.

Reaksi adat yang dikenakan kepada pelaku terutama


bertujuan untuk memulihkan keseimbangan kosmis, yang
kemungkinan bila tidak dilakukan maka akan membawa
akibat buruk pada kehidupan masyarakat sekitarnya.

38
Contoh Sanksi Adat dalam UU Simbur Cahaya
• Pada delik perzinahan, pelakunya dikenakan hukuman adat
berupa “pembasuh dusun atau tepung dusun.”;
• Hukuman ini berupa membebankan kewajiban untuk menyembeli
seekor kerbau atau seekor kambing yang bertujuan untuk
menghapuskan kehinaan atau “sial” di dalam masyarakat akibat
terjadinya kejahatan;
• Sanksi adat ini berfungsi untuk memperkuat masyarakat secara
magis karena untuk menyeimbangkan lingkungan alam yang telah
ternoda sehingga tidak membawa malapetaka bagi masyarakat
lainnya;
• Pembasuh dusun atau tepung dusun sering juga disebut syukuran
cuci dusun, yaitu pelaksanaan persedekahan dusun karena telah
terjadinya perzinahan, yaitu dengan menyembelih seekor kerbau
atau kambing atau perbuatan lain yang setara nilainya dengan
biaya persedekahan itu, sesuai dengan musyawarah mufakat yang
dipimpin oleh kepala desa atau jajaran dan pemangku adat.

39

Anda mungkin juga menyukai