Anda di halaman 1dari 86

TEKNOLOGI BUDIDAYA JAGUNG DI

BERBAGAI AGROEKOLOGI

Disampaikan pada acara Peningkatan Kapasitas Petugas Pemandu Lapang SL –


PTT Jagung pada tanggal 27 – 29 Maret 2012 di Makassar

Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sul Sel
2012
Penampilan Hasil Penelitian Jagung di Kab.
Takalar
Teknologi Budidaya Jagung Pada Berbagai
Agroekologi (Ekosistem)

PENDAHULUAN
Kebutuhan jagung dunia dewasa ini semakin meningkat setiap tahunnya.
Dan di Indonesia peningkatan kebutuhan berkaitan erat dengan pesatnya
perkembangan industri pangan dan pakan seiring dengan makin
berkembangnya usaha peternakan, terutama unggas. Sementara
produksi jagung dalam negeri belum mampu memenuhi semua
kebutuhan, sehingga kekurangannya dipenuhi dari jagung impor. Untuk
menekan jumlah impor jagung, harus ada upaya yang dilakukan oleh
pemerintah dalam meningkatkan produktivitas jagung. Agar upaya ini
dapat terwujud maka diperlukan berbagai dukungan, terutama teknologi,
investasi dan kebijakan.
Pengertian PTT Jagung

Pengelolaan Tanaman Terpadu Jagung (PTT) jagung


adalah suatu pendekatan Inovatif dan Dinamis dalam upaya
meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui
perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama
petani.
Prinsip Utama Penerapan PTT
1. Partisiparif
Petani berperan aktif memilih dan menguji teknologi yang sesuai
dengan kondisi setempat, dan meningkatkan kemampuan melalui
proses pembelajaran di Laboratorium Lapanagn.

2. Spesifik lokasi
Memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik,
sosial budaya, dan ekonomi petani setempat

3. Terpadu
Sumber daya tanaman, tanah, dan air dikelola dengan baik
secara terpadu.
4. Sinergis atau Serasi
Pemanfaatan teknologi terbaik, memperhatikan
keterkaitan antar komponen teknologi yang saling
mendukung.

5. Dinamis
Penerapan teknologi selalu disesuaikan dengan
perkembangan dan kemajuan IPTEK serta kondisi
sosial ekonomi setempat.
Sistem Produksi
Jagung umumnya ditanam di lahan kering (tegalan) secara
tumpangsari , campuran atau monokultur. Padi gogo, ubi kayu, dan
kacang-kacangan, seperti kedelai dan kacang tanah, merupakan
tanaman yang sering digunakan petani dalam tumpangsari atau
tanam campuran dengan jagung.

Produksi jagung dapat dibedakan kedalam empat sistem


yaitu berdasarkan tipe lahan (karakteristik tanah dan pengaturan air),
sistem pertanaman (tunggal dan tumpangsari), keuntungan, dan
pengelolaan masukan (pupuk dan masukan lain) (Mink et al. 1987)
Lahan Tegalan
Sistem produksi di lahan tegalan dibedakan ke dalam dua
sistem, yaitu tanaman ganda dan tanaman tunggal. Luas
pertanaman jagung di lahan tegalan diperkirakan 80 %, terdiri
dari 55 % tanaman ganda dan 25 % tanaman tunggal.

Tanaman Ganda ;
Jagung ditanam 2 atau 3 kali setahun pada tipe tanah, zone
iklim, dan ketinggian tempat yang beragam, sehingga
pertanaman ketiga sering mengalami kekeringan.
Produktivitas tanam nyata dipengaruhi oleh pemupukan dan
penggunaan varietas unggul.
Berdasarkan tingkat produktivitas, sistem ini terbagi ke dalam dua
subsistem yaitu subsistem produktivitas tinggi dan rendah. Pada
subsistem produktivitas tinggi, petani umumnya menggunakan
varietas unggul dengan takaran pupuk tinggi.

Subsistem produktivitas rendah antara lain terdapat di dataran tinggi


Jawa tengah dan Sulawesi Selatan. Di daearah ini, petani dihadapkan
pada rendahnya harga produksi sehingga mereka menggunakan
pupuk dengan takaran rendah dan menanam varietas lokal.
Tanaman Tunggal
Jagung ditanam satu kali dalam setahun. Sistem ini dicirikan
oleh tumpangsari jagung dan ubi kayu. Jagung umumnya
ditanam di awal musim hujan setelah hujan pertama turun
dan ubi kayu ditanam sebulan kemudian.

Sistem tanam tunggal juga dapat dibedakan ke dalam dua


subsistem yaitu; subsistem produktivitas tinggi dan
produktivitas rendah. Subsistem produktivitas tinggi antara
lain terdapat di Jawa Timur dan Lampung, sedangkan
subsistem produktivitas rendah di sepanjang pantai selatan
Jawa yang tingkat kesuburan tanahnya relatif rendah dan
petani umumnya jarang atau sebagian bahkan tidak
menggunakan pupuk.
Lahan sawah Tadah Hujan

Terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi


Selatan, sistem produksi jagung di lahan sawah tadah hujan
mencakup areal 10 % dari total luas pertanaman jagung.

Pada agroekosistem ini, kesuburan tanah relatif tinggi dan


jagung diusahakan sebelum dan setelah padi. Ketersediaan
air di lahan sawah tadah hujan tergantung pada hujan
sementara priode hujan relatif pendek.
Oleh karena itu, usahatani jagung di ekosistem ini
memerlukan varietas umur genjah.
Lahan Sawah Irigasi
Luas pertanaman jagung di lahan sawah irigasi diperkirakan
sekitar 10 % dari total luas pertanaman jagung, diantaranya
terdapat di Kediri dan Malang, Jawa Timur.
Dalam sistem ini, petani umumnya sudah menerapkan
teknologi maju seperti penanaman jagung hibrida dengan
masukan tinggi. Karena itu hasil rata-rata yang diperoleh
petani di ekosistem ini lebih tinggi dibanding ekosistem
lainnya.
Tantangan Produksi
Kurang terjaminnya pemasaran dan harga jagung ditingkat
petani adalah penyebab kurang pesatnya laju perkembangan
produksi jagung nasional,

Tidak tersedianya benih bermutu dari varietas unggul pada


saat diperlukan petani di pedesaan, dan kalau tersedia pada
saat tepat waktu harganya cukup mahal,

Jagung umumnya kurang toleran terhadap kemasaman


tanah, dan ketersediaan hara utama, seperti P, sangat rendah
dilahan kering masam ( didominasi oleh Podsolik Merah
Kuning = PMK)
Hama dan penyakit berpotensi mengancam tanaman jagung. Hama
yang dominan menyerang tanaman jagung pada musim hujan adalah
lalat bibit ( therigona sp ) dan penggerek jagung
( Ostrinia furnacalis), sedangkan pada musim kemarau adalah hama
perusak daun dan penggerek jagung.

Hama perusak daun yang kerap mengganggu tanaman jagung


meliputi ; Lamprosema indicata, Prodenia litura, dan Spodoptera
mauritia. Ulat tanah (Agrotis spp) dan hama lundi adakalanya menjadi
masalah di daerah tertentu
Penyakit Penting Jagung Selain Bulai adalah

- Hawar daun (Helminthosporium turticum),


- Busuk pelepah (Rhizoctonia solani),
- Karat (Puccinia polysora),
- Bercak daun (Helminthosporium maydis),
- Busuk tongkol (Fusarium sp), dan
- Busuk batang (Erwinia sp)
Masalah- masalah lain pada jagung

- Penanganan panen dan pasca panen masih rendah,


mengakibatkan tingkat dan kehilangan hasil berkisar 5
– 10 %

- Biji jagung yang dihasilkan sebagian petani bermutu


rendah, dan akan berpengaruh terhadap harga jual
TEKNOLOGI PRODUKSI
Badan Litbang Pertanian, dalam hal ini Pusat Penenlitian
Tanaman Pangan terus melakukan penelitian guna
menghasilkan teknologi yang diharapkan mampu
memperbaiki teknologi di tingkat petani sebagi kontribusi
yang lebih besar bagi upaya pemacuan produksi jagung
nasional dan peningkatan pendapatan petani
Varietas Unggul Bersari Bebas Masih Disenangi Petani

1. Daya adaptasinya luas, dapat dikembangkan di lahan


marginal maupun lahan subur
2. Harga benih relatif murah dan dapat digunakan
sampai beberapa generasi
3. Sebagian berumur genjah
4. Daya hasil cukup tinggi
Varietas Potensi Hasil Umur (Hari) Ketahanan Keunggulan Spesifik
(ton/ha) Penyakit Bulai

Bersari Bebas
1. Lagaligo 7,5 90 Tahan Toleran kekeringan
2. Gumarang 8 82 Agak tahan Umur Genjah
3. Kresna 7 90 Agak tahan Umur genjag
4. Lamuru 7,6 95 Agak tahan Toleran kekeringan
5. Palakka 8 95 Tahan -
6. Sukmaraga 8,4 105 Tahan Toleran tanah masam
7. Srikandi kuning 1 7,9 110 Rentan Mutu Protein tinggi
8. Srikandi putih 1 8,1 110 - Mutu protein tinggi
9. Anoman 1 7 95 - Toleran kekeringan dan pulen

Hibrida
10. Bima 1 9 97 Agak tahan Biomas tinggi
11. Bima 2 Bantimurung 11 95 Agak tahan Daun tetap hijau saat panen
12. Bima 3 Bantimurung 10 95 Tahan Daun tetap hijau saat panen
13. Bima 4 11,7 95 Agak tahan Sda
14. Bima 5 11,4 96 Agak tahan Sda
15. Bima 6 10,6 90 Tahan Sda
HHibrida Bima 2 Bantimurung
Komposit , Srikandi Kuning
Varietas Hibrida Sayang di
Komposit, Sukmaraga
Enrekang
Persiapan Lahan
Persiapan lahan meliputi pengolahan tanah dan pembuatan saluran
drainase. Pengolahan tanah bertujuan untuk memudahkan akar
tanaman dan mengabsorbsi hara dalam jumlah optimum.

Untuk tanah bertekstur berat, pengelohan tanah perlu dilakukan


secara intensif agar sistem drainase dan aerasi tanah dapat
menunjang pertumbuhan tanaman.

Untuk tanah bertekstur ringan seperti Entisol (Regosol), pengolahan


cukup dilakukan secara minimum (minimum tillage) atau bahkan
tampa pengolahan tanah (zero tillage). Dengan cara ini, dapat
menekan biaya dan tenaga serta memperpendek musim tanam dan
memanfaatkan air secara efisien sehingga tanaman tidak mengalami
kekeringan.
Lahan Tegalan
Di lahan tegalan yang tanahnya bertekstur sedang,
pengolahan tanah harus sempurna untuk mendapatkan
hasil yang memadai. Misalnya tanah aluvial berkapur di
Bojonegoro , pengolahan tanah sedalam 20 cm dapat
meningkatkan jagung sebesar 40 – 50 %. Kedalam olah
tanah sampai 40 cm cendrung menaikan hasil (Sudaryono
et al. 1996)

Untuk lahan tegalan berteksrur ringan, tanah cukup diolah


secara minimum dengan rotor atau cangkul pada barisan
tanam selebar 40 cm. Hasil yang diperoleh relatif tidak
berbeda dibanding jika tanah diolah sempurna (Sutoro et al.
1988).
Penelitian di Probolinggo Jawa Timur, budidaya jagung di
tanah bertekstur gembur seperti Mediteran tidak
memerlukan pengolahan tanah secara sempurna. Tanah
cukup diolah di sepanjang barisan tanaman sedalam 20 –
40 cm dan dilakukan pembubunan, tanaman masih mampu
berproduksi cukup tinggi.

Tanaman jagung pada perlakuan pengolahan tanah


minimum di tanah Mediteran Coklat-kemerahan di Malang
setelah 4 tahun bera dan ditumbuhi alang-alang memberi
hasil yang sama dengan tanaman pada perlakuan
pengolahan tanah sempurna (Utomo 1990)
Lahan sawah tadah hujan
Usahatani jagung di lahan sawah tadah hujan jenis tanah PMK
berstruktur baik tidak memerlukan pengolahan tanah yang
intensif.

Pengolahan tanah dalam barisan tanam selebar 25 cm atau


pengolahan biasa dengan cangkul dua kali sudah cukup sudah
cukup untuk mendapatkan hasil di atas 2,5 ton/ha (Busyira et al.
1992)
Lahan Sawah Irigasi
Penelitian di Kuningan menunjukkan bahwa pengolahan
tanah secara sempurna memberi hasil 4,5 ton/h, apabila
diikuti dengan pembumbunan maka hasilnya meningkat
antara 8 – 20 % (Sutoro et al. 1988)

Di tanah Aluvial Kendalpayak, hasil jagung hibrida yang


ditanam tanpa bedengan mencapai 6,3 ton/h, sedangkan
yang ditanam di atas bedengan 6,1 ton/h. Pembubunan
meningkatkan hasil jagung yang di tanam tanpa bedengan
sekitar 5 % (Prayitno dan Ismail 1992)
Pengelolaan Air
Tanaman jagung memerlukan air sekitar 100 – 140 mm/bln.
Dengan umur panen 3 – 3,5 bln, berarti tanaman jagung
membutuhkan air sekitar 300 – 500 mm selama masa
pertumbuhan (Oldeman dan Suardi 1977). Jika terjadi
kekeringan atau kelebihan air, pertumbuhan tanaman akan
terganggu atau bahkan gagal berproduksi.

Pemakaian air maksimum oleh tanaman terjadi selama


periode silking (pengisian biji), yang merupakan fase paling
kritis terhadap cekaman air. Oleh karena itu, tanaman pada
fase ini perlu dihindari dari kekeringan.
Lahan Sawah Tadah Hujan
Ketersedian air bagi tanaman jagung bergantung pada hujan. Untuk
melihat status ketersedian air tanah (water regime) terhadap
pertumubuhan jagung pada ekosistem ini telah dilakukan penelitian di
Mandirancam dan Rawasragi pada MH 1990/91. Di Mandirancam ,
hasil jagung dapat mencapai 5 ton/h sementara di Rawasragi hanya
2,9 ton/h karena tanaman mengalami kekeringan (Moentono 1996).

Pemanfaatan air tanah melalui pompanisasi, hasil jagung di


Sukamandi, Indramayu, dan Cilacap pada musim kemarau 4,3 – 5,8
ton/h. Penelitian ini membuktikan bahwa tanaman jagung tidak perlu
diair setiap hari.
Hasil jagung yang dairi setiap 10 hari relatif sama dengan yang diairi
setiap 7 hari (Balitpa 1995).
Lahan Sawah Irigasi
Penyediaan air untuk kebutuhan tanaman jagung dapat diatur
sesuai dengan kebutuhan. Penelitian di Pasar Miring
Sumatera Utara, MH 1990/91 membuktikan bahwa hasil jagung
di ekosistem ini mencapai 7,3 ton/ha dan di Sukamandi 7 ton/h
( Moentono 1996 ).

Pada musim kemarau, hasil jagung di Muneng Jawa Timur


mencapai 5,5 ton/h. Kekurangan air pada fase pertumbuhan
tertentu menyebabkan turunnya hasil.

Penurunan hasil mencapai lebih dari 30 % bila kekurangan air


terjadi sejak keluar malai sampai panen (Balittan Malang 1989).
Populasi Tanaman
Hasil jagung cenderung meningkat pada populasi tinggi, tetapi
tongkolnya kecil. Bagi beberapa varietas , populasi tinggi adalah
penyebab tanaman mudah rebah dan terjangkit penyakit. Selain itu,
populasi tinggi memerlukan benih dalam jumlah yang relatif lebih
banyak.

Penelitian di lahan tegalan di Kediri (tanah Entisol) dan Lamongan


(Ultisol), MH 1992/93, jagung hibrida Semar 1 (umur dalam) pada
populasi 62.000 tanaman/ha hasilnya 6 ton/h, sedang Semar 2
(genjah) 5,4 ton/h. Untuk mencapai mencapai hasil 6 ton/h, populasi
tanaman Semar 2 perlu ditingkatkan menjadi 100.000 tanaman/ha
(Sudaryono et al. 1996).
Pada lahan sawah tadah hujan di Purwodadi Jawa Tengah, varietas
Arjuna, Kalingga, dan Hibrida C-1 memberi hasil rata-rata 2,7 ton
pada populasi 66.000 tanaman dan 3 ton/h pada populasi 95.000
tanaman/ha. Rendahnya hasil disebabkan karena tanaman
mengalami kekeringan (Balittan Bogor 1989).

Penelitian di lahan sawah irigasi di Citayem Bogor menunjukkan


bahwa tidak terdapat intraksi kepadatan tanaman dengan varietas,
baik kelompok umur dalam maupun genjah.

Hasil maksimum (6,7t/h) jagung kelompok umur dalam dicapai pada


populasi 95.000 tanaman/ha, sedangkan hasil tertinggi (5,7 t/h)
jagung kelompok umur genjah diperoleh pada populasi 105.000
tanaman/ha (Sudjana et al. 1986).
Pemupukan

Hasil jagung akan rendah tanpa pupuk.


Sebaliknya, penggunaan pupuk secara
berlebihan tidak hanya berpengaruh negatif
terhadap lingkungan produksi, tetapi juga akan
menurunkan pendapatan.Karenaitu penggunaan
pupuk perlu memperhatikan aspek efisiensi.
Cara Pemberian Pupuk
1. Pada saat tanaman berumur 7 – 10 hst, pupuk urea +
SP36 + KCL yang telah dicampur merata segera diaplikasikan
dengan cara ditugal sedalam 5 – 10 cm dengan jarak 5 – 10 cm di
samping tanaman dan lubang pupuk ditutup dengan tanah.

2. Pada saat tanaman berumur 28 – 30 hst, pupuk urea + KCL


juga diberikan dengan cara tugal seperti pada pemupukan
pertama.

3. Pada saat tanaman berumur 40 – 45 hst, pemberian pupuk


urea didasarkan pada hasil pemantauan warna daun
tanaman dengan menggunakan Bagan Warna Daun
(BWD).
Pada lahan kering, pemberian pupuk P dan K mengacu pada
Perangkat Ujui Tanah Kering ( PUTK).

Pada lahan sawah, pemupukan P dan K juga dapat dilakukan


berdasarkan peta status tanah hara P dan K skala 1 : 50.000

Khusus pada lahan kering masam dianjurkan menggunakan pupuk


kandang dari kotoran ayam ras atau ayam petelor karena
mengandung kapur, diberikan pada saat tanam sebanyak 25 – 50
gram per lubang setara dengan 1,5 – 3 ton/ha yang juga berfungsi
sebagai penutup lubang benih yang baru ditanam.
Lahan Tegalan

Tanaman jagung di tanah Aluvial tampaknya memerlukan pupuk


N dalam jumlah yang relatif banyak. Dengan pemupukan 230
kg N/ha, hasil jagung di tanah Aluvial Gerung Jawa Timur 3,2
ton/ha sementara di tanah Mediteran Muneng sudah mencapai
4,1 ton/ha pada pemupukan 190 kg N/ha. Di kedua lokasi,
penggunaan pupuk N berupa berupa urea briket sama
pengaruhnya dengan urea pril dalam meningkatkan hasil jagung
(Taufiq dan Sudaryono 1992).
Disimpang Empat Kalimantan Selatan, pemebrian pupuk N
sampai 135 kg/ha masih meningkatkan hasil jagung, kemudian
menurun pada takaran 180 kg N/ha. Hasil tertinggi sebesar 5,43
ton/ha dicapai pada takaran 120 kg N disamping pemberian
135 kg P2O5 dan 75 kg K2O/ha . Penurun takaran pupuk P dari
135 kg ke 45 kg P2O5 tidak mempengaruhi hasil. (Raihana at
al.1993)
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
efisiensi penggunaan pupuk N adalah penempatan
pemberian pupuk.

Penelitian di tanah latosol Bulukumba Sulawesi Selatan


pada MT 1992/93 menunjukkan bahwa pemberian pupuk N
dengan cara tugal atau larik kemudian ditimbun tanah
dapat menekan penggunaan pupuk sekitar 45 kg N (dari
90 kg menjadi 45 kg N/ha), dibanding dengan cara sebar
atau siram.
Di lokasi ini, peningkatan takaran pupuk N dari 45 kg
hingga 180 kg cenderung meningkatkan hasil (Fadhly dan
Jamaluddin 1966)
Gejala Kekurangan Hara N

Daun berwarna kuning pada ujung daun dan melebar


menuju tulang daun, warna daun kuning
membentuk huruf V, gejala nampak pada daun
bagian bawah.
Bagan Warna Daun (BWD)

BWD pada prinsipnya bertujuan untuk mengamati


keseimbangan hara pada tanaman, Jika hasil
pengamatan dengan BWD menunjukkan tanaman
kekurangan N maka perlu segera penambahan pupuk
N. Sebaliknya jika N sudah cukup tersedia bagi
tanaman maka tidak perlu penambahan N.
Tahapan Pengamatan N Menggunakan BWD
1. Pada saat tanaman berumur 40 – 45 hst, dilakukan
pengamatan hara N melalui daun tanaman dengan BWD.

2. Daun yang diamati adalah yang telah terbuka sempurna


(daun ke 3 dari atas). Pilih 20 tanaman secara acak pada setiap
petak pertanaman (± 1 ha).

3. Pada saat mengamati hara N tanaman, lindungi daun yang


akan diamati tingkat kehijauan warnanya dari sinar matahari
agar pengamatan tidak terganggu oleh pantulan cahaya
yang dapat mengurangi kecermatan hasil pengamatan.
4. Daun yang akan diamati diletakkan di atas BDW. Bagian
daun yang diamati adalah sepertiga dari ujung daun. Bandingkan
warna daun dengan skala warna yang ada di BWD,
kemudian lakukan pencatatan skala warna yang paling sesuai
dengan warna daun yang diamati.BWD memiliki skala warna
dengan tingkat kehijauan 2 hingga 5.
a. Jika warna daun berada di antara skala warna 2 dan 3
pada BWD, berarti nilai kehijauan daun adalah 2,5.
b. Apabila warna daun berada diantara skala warna 3 dan
4, berarti nilai kehijauan daun adalah 3,5.
c. Jika warna daun berada diantara skala warna 4 dan 5
berari nilai kehijauan daun adalah 4,5.
5. Rata-ratakan nilai warna dari 20 daun yang diamati, nilai
rata-rata skala skala warna digunakan untuk menentukan
perlu tidaknya tambahan pupuk N.
6. Acuan tambahan pupuk urea (N) berdasarkan hasil
pengamatan dengan BWD seperti berikut ini
Takaran pupuk Urea pada tanaman jagung jenis hibrida dan komposit
umur 40 – 45 hst berdasarkan skala warna daun pada BWD
Skala Warna Takaran Urea (kg/ha)
Hibrida Komposit
< 4,0 150 50
4,0 – 5,0 100 25
> 5,0 50 0
Gejala kekurangan P
Gejala Kekurangan Hara P

Pinggir daun berwarna ungu kemerahan, mulai dari ujung


hingga pangkal daun, gejala nampak pada daun bagian
bawah
Gejala kekurangan unsur K
Gejala Kekurangan Hara K

Daun berwarna kuning, bagian pinggir berwarna


coklat seperti terbakar, tulang daun tetap hijau,
warna daun kuning membentuk huruf V, gejala
nampak pada daun bagian bawah
Gejala Kekurangan S

Pangkal daun berwarna kuning, gejala nampak pada


daun yang terletak dekat pucuk.
Bahan Organik
Penggunaan bahan organik penting artinya dalam meningkatkan
produktivitas jagung ditanah berkapur seperti terbukti dalam
penelitian di Blitar dan Bojonegoro.

Bahan organik dari kotoran ayam ternyata jauh lebih baik dari kotoran
sapi atau kompos dari ampas tebu.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa produktivitas jagung ditanah


berkapur dapat ditingkatkan dengan penggunaan bahan organik
kotoran ayan atau kotoran sapi sebanyak 7,5 ton/ha , disamping
penggunaan pupuk N, P, K masing-masing dengan takaran 100 – 200
kg urea, 50 kg SP 36, dan 50 kg KCL/ha. (Balitkabi 1996)
Disimpang Empat Kalimantan Selatan, tanaman jagung yang diberi
pupuk kandang mampu memberi hasil rata-rata 5,2 t/ha sementara
yang diberi limbah jagung dan jerami padi masing-masing hanya
menghasilkan 4,3 dan 3,8 t/ha.

Penggunaan brangkasan kacang tanah sebagai bahan organik juga


dapat memberikan hasil yang relatif lebih baik, yakni 4,9 t/ha.
(Raihana dan Simatupang 1992)

Tanah PMK mempunyai daya fiksasi P yang tinggi sehingga banyak


hara P yang terikat di tanah atau tidak tersedia bagi tanaman.
Mikroba pengurai fospat yan ada dalam bahan organik dapat
mengubah P- anorganik menjadi P- organik.
Tanah Gromosol, Aluvial, dan ultisol tanggap terhadap pemupukan P.
Penelitian di tanah Gromosol Ngale Jawa Timur menunjukkan bahwa
peningkatan takaran pupuk P dari 45 kg ke 90 kg P205/ha
meningkatkan hasil jagung dari 2,1 t/ha menjadi 2,7 t/ha.

Ditanah Aluvial Wonogiri Jawa Tengah, peningkatan takaran P dari


45 kg ke 90 kg P2O5/ha meningkatkan hasil jagung dari 4,4 t/ha
menjadi 5,7 t/ha (Sudaryono et al. 1996).

Pemupukan 45 kg N + 45 kg P2O5 + 30 kg K2O/ha, hasil jagung


mencapai 4,1t/ha pada MH 1993/1994. Peningkatan takaran pupuk
menjadi dua kali lipat dapat meningkatkan hasil jagung sekitar 60 %.
Di tanah vertisol Ngawi Jawa Timur, jagung yang dipupuk
180 kg N, 100 kg P2O5 dan 100 kg K2O/ha memberi hasil
8 t/ha. Jika pupuk kandang turut diberikan, meningkatkan
hasil mencapai 10 % (Sudaryono et al. 1996)

Di Bumiasih Kalimantan Selatan, pemberian pupuk dengan


takaran 120 kg N, 90 kg P2O5, dan 25 kg K2O/ha sudah
cukup untuk mendapatkan hasil di atas 5 t/ha.

Di Pampain, hasil jagung mencapai 5,3 t/h dengan


pemupukan 90 kg N, 60 kg P2O5 dan 25 kg K2O/ha
(Fauziati 1993)
Lahan Sawah Irigasi
Di lahan sawah jenis tanah Regosol di Blitar, peningkatan
takaran pupuk N dari 45 kg menjadi 90 kg N/ha
meningkatkan jagung hibrida CP1 dari 6t menjadi 7 t/ha.
Dilokasi ini, kandungan N-total tanah rendah, P tersedia
tinggi, dan K dapat ditukar tergolong sedang (Ismail dan
Sudaryono 1991).

Di lahan sawah dengan jenis tanah Aluvial kelabu tua di


Kendalpayak, pemberian 45 kg N dan 45 kg P2O5
tampaknya sudah cukup apabila apabila pupuk S turut
diberikan, tapi apabila pupuk S tidak diberikan maka takaran
pupuk N perlu ditingkatkan.
Pengendalian Gulma
Tampa pengendalaian gulma, hasil jagung rendah di lahan tegalan
(PMK) Sitiung.

Penyebaran mulsa diper mukaan lahan untuk mengendalikan gulma


ternyata meningkatkan hasil jagung sebesar 52 %.

Pemakaian herbisida juga dapat mengedalikan gulma tetapi hasil


yang diperoleh 14 % lebih rendah dibanding penggunaan mulsa.

Di lahan sawah tadah hujan Rambatan Sumatera Barat, hasil tertinggi


diperoleh dengan perlakuan penyiangan 2 kali.
Di lahan sawah irigasi, pemakaian hirbisida lebih
menguntungkan dari pada penyiangan secara
konvensional. Di Mojosari hasil jagung dengan perlakuan
herbisida (2 dan 21 hst) 5,6 t/ha, sementara dengan
penyiangan 2 kali (21 dan 42 hst) hasilnya hanya 5 t/ha.

Di KP Muara, pengendalian gulma dengan herbisida juga


lebih menguntungkan dibanding dengan penyiangan.
Dengan penyiangan dua kali, hasil jagung 5 t/ha sedangkan
pada perlakuan herbisida glifosat hasilnya 5,5t/ha (Balittan
Malang 1989, Bangun 1990)
Pengendalian Hama dan Penyakit Utama
Ditinjau dari keberadaan dan akibat yang ditimbulkan, hama
lalat bibit dan penggerek dapat dikategorikan sebagai
utama jagung. Sedangkan penyakit penting tanaman
jagung adalah bulai.

Hama Lalat bibit, menyerang tanaman stadia muda dan


dapat menyebabkan kematian tanaman jagung.
Pengendaliannya dapat dilakukan dengan beberapa cara :
(1) penggunaan mulsa, (2) tanaman serempak, (3)
penanaman varietas tahan, (4) pemanfaatan musuh alami,
(5) penggunaan insektisida secara bijaksana (Iqbal et
al.1996).
Dengan penggunaan mulsa 10 t/ha, hasil jagung 2,3 t/ha sedangkan
tanpa mulsa hanya 0,8 t/ha. Mulsa jerami padi lebih baik dari jerami
jagung (Kardinan 1988; Rifin 1989)

Pengendalian lalat bibit dengan penanaman varietas tahan


merupakan cara yang paling praktis. Varietas yang dinilai tahan
terhadap lalat bibit antara lain adalah Sadewa, Citanduy, Arjuna,
Kalingga, Bayu, dan Pioneer-2 (Igbal at al. 1988),

Penelitian di Kalimantan Selatan menunjukkan, jagung yang ditanam


di awal musim hujan (akhir Oktober hingga pertengahan November)
hanya sedikit terserang hama lalat bibit. Kalau ditunda serangan
hama lalt bibit dari 9,1 % menjadi 37 % (Asikin et al. 1996).
Aplikasi Insektisida Yang Dianjurkan Terhadap Lalat Bibit
1. Perlakuan benih (seed treatment), yaitu mencampur benih
dengan insektisida sistemik saat menjelang tanam.
Insektisida yang dapat digunakan antara lain : Promed 40
SD dan Marshal 25 ST dengan takaran 2,5 – 10 g/kg
benih.

2. Aplikasi pada pucuk tanaman saat berumur 7 hst.


Penelitian membuktikan, insektida karbofuran dengan
takaran 0,15 – 0,30 kg/ha efektif mengendalikan lalat
bibit.

3. Aplikasi dasar, insektisida karbofuran diaplikasikan secara


larikan atau di lubang tanaman. Takaran yang diperlukan
adalah 0,5-1kg/ha atau 0,15-0,30 jika diberikan pada lubang
tanaman.
4. Aplikasi dengan cara semprot, dilakukan saat tanaman
berumur 7 – 10 hst. Isektisida yang dapat digunakan : Dursban 20
EC, Hostathion 40 EC, dan Surecide 25 EC, dengan takaran 0,5
– 1 kg/ha dengan volume semprot 500 ltr/ha.
Penggerek Jagung
Pengendalian hama ini dapat dilakukan dengan mengatur waktu
tanam. Hasil penelitian di Pampain Kalimantan Selatan menunjukkan,
jagung yang ditanam akhir Oktober - akhir Nopember memberi
hasil 4,6 - 4,8 t/ha. Penundaan waktu tanam menurunkan hasil
karena meningkatnya serangan.

Cara lain untuk mengendalikan hama penggerek adalah dengan


sanitasi, yaitu pencabutan bunga jantan yang baru keluar (belum
berkembang) sebanyak 3 dari 4 baris tanaman atau dengan
insektisida. Kedua cara ini sebaiknya dilakukan berdasarkan
perhitungan ambang ekonomi, yaitu terdapat satu kelompok telur
penggerek untuk setiap 30 tanaman yang diamati pada umur 4-6
minggu setelah tanam (Balittan Maros 1988).
Penggunaan Insektisida Dapat Dilakukan Dengan Dua
Cara
1. Diaplikasikan pada pucuk tanaman saat berumur 30
dan/atau 50-60 hst. Insektisida yang dapat digunakan adalah
karbofuran dengan takaran 0,15 kg/ha.

2. Penyemprotan pada tanaman saat berumur 30 dan/50–60


hst. Insektisida yang dinilai efektif adalah Hostathion
40 EC dan Nogos 50 EC pada takaran 0,5 – 1 kg/ha
dengan larutan semprot untuk setiap aplikasi masing-
masing 500 ltr dan 700 ltr/ha.
Waktu aplikasi disesuaikan dengan kondisi serangan di
daerah setempat.
Penyakit Bulai
Penyakit ini seringkali merusak pertanaman jagung, penyakit bulai
menginfeksi pertanaman jagung dalam areal yang cukup luas.
Tanaman yang tertular tidak menghasilkan biji sama sekali.

Perkembangan penyakit bulai dipengaruhi oleh kelembaban dan suhu


udara. Kelembaaban di atas 80%, suhu 28 -30ºC, dan adanya embun
ternyata dapat mendorong perkembangan penyakit ini.

Penuluran penyakit terjadi pada peralihan musim, dari musim


kemarau ke musim hujan. Penyakit bulai dapat menyebar melalui
benih dan bantuan angin.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan
penyakit bulai adalah : dengan menanam varietas tahan
secara serempak pada satu hamparan luas.

Pencabutan tanaman yang sakit dan kemudian


membakar atau menguburnya.

Penaguturan pola tanam, dan penggunaan fungisida.


Varietas unggul yang dilepas sejak tahun 1978 umumnya
dinilai tahan terhadap bulai dengan tingkat ketahanan yang
berbeda.
Panen Dan Pascapanen
Kadar air biji jagung saat panen mempengaruhi volume d an mutu
hasil. Pemanenan yang dilakukan pada kadar air rendah (17 – 20 % )
menyebabkan terjadinya susut hasil akibat tercecer sebesar 1,2–4,7 %
dan susut mutu 5 – 9 %. Apabila panen dilakukan pada kadar air tinggi
(35 -40 %), susut hasil akibat tercecer mencapai 1,7 – 5,2 % dan
susut mutu 6 – 10 % (Purwadaria 1988).

Panen awal akan menghasilkan banyak butir muda, sehingga daya


simpan jagung rendah. Terlambat panen dapat menyebabkan rusaknya
biji akibat deraan lingkungan dan serangan hama.

Panen pada musim hujan biji jagung akan ditumbuhi jamur, sehingga
akan terkontaminasi aflatoksin, yaitu metabolit beracun yang dihasilkan
oleh cendawan Aspergillus flavus yang dapat meracuni manusia dan
hewan.
Panen Yang Tepat
Jagung siap panen ditandai dengan terbentuknya lapisan
hitam di ujung biji dan kulit tongkol (klobot) sudanh mengering.
Jika tidak segera dikomsumsi atau dijual, jagung sebaiknya
dipanen bersama klobotnyaagar biji tidak mudah rusak dan
dapat disimpan selama 3 – 4 bulan. Dalam hal ini diperlukan
tempat pengeringan/penyimpanan jagung berpa para-para
dalam jumlah yang cukup.
Pengeringan
Selain menurunkan kadar air biji, pengeringan juga
bertujuan untuk menghindari biji jagung dari kontaminasi
Aspergillus flavus. Ambang batas Aspergillus falavus di biji
jagung, menurut ketentuan FAO adalah 30 ppb. Pada saat
panen, kontaminasi jamur ini berkisar antara 0 – 14 ppb.
Hasil penelitian menunjukkan, penundaan waktu pengeringan
sampai 2 hari dapat meningkatkan kontaminasi Aspergellus
flavus pada biji jagung, dari 14 ppb (Paz et al. 1989). Untuk
mengatasi hal itu maka jagung perlu segera dikeringkan
setelah panen hingga kadar air biji mencapai 14 – 15 %
Untuk mempercepat laju pengeringan, penjemuran sebaiknya
menggunakan alas plastik kedap air. Lantai jemuran dapat dibuat dari
batu batah merah yang dilapisi semen dengan konstruksi
bergelombang untuk memudahkan air mengalir jika turun hujan
(Purwadaria 1988).

Pengeringan jagung dengan cara mengasapi tongkol berkelobot


yang berjarak 80 cm dari sumber asap dapat menurunkan kadar air
biji dari 29% menjadi 14 % selama 7 hari mengasapan, waktu
mengasapan berlangsung 08.00 – 16.00.

Sebagai sumber panas dalam pengasapan digunakan sekam


sebanyak 60 kg/hari. Dengan cara ini dihasilkan biji atau benih
dengan daya tumbuh yang tinggi (92,9 %) (Soemardi dan Rumiati
1981)
Pemipilan
Di daerah yang kekurangan tenaga kerja, pemipilan jagung dengan
menggunakan alat pemipil adalah yang terbaik untuk dilakukan.

Di Pulau jawa telah dikembangkan alat pemipil jagung yang diberi


nama Ramapil, alat ini dirancang untuk dikembangkan di tingkat
petani di pedesaan. Kapasitas kerja alat ini pada kadar air biji jagung
12 – 14 % mencapai 175 kg/jam/orang (Tastra 1992 )

Selain alat pemipil Ramapil (tanpa mesin), juga ada alat pemipil
Senapil yang digerakkan oleh motor 7 pk. Kapasitas kerjanya pada
kadar air 20 – 24 % mencapai 3 – 4 ton/jam
Penyimpanan
Dalam penanganan pasca panen jagung, penyimpanan termasuk kegiatan
yang penting karena turut menentukan mutu biji dan mutu produk bila diolah
menjadi bahan pangan, pakan, atau produk olahan lainnya.

Apabila jagung yang akan disimpan dalam bentuk pipilan, kadar air biji jagung
perlu diturunkan hingga 13 %. Jika disimpan pada kadar air awal lebih dari
13 % maka biji akan dirusak oleh hama gudang atau terkontaminasi oleh
jamur Aspergellus flavus

Teknik penyimpanan jagung dalam karung plastik dan dibubuhi bahan nabati
berupa rimpang dringo (Acorus calamus) dapat dikembangkan di tingkat
petani maupun tingkat industri. Teknik penyimpanan ini relatif murah, mudah
dan tidak merusak biji dan aman dikonsumsi. Daya simpan jagung dapat
mencapai 5 bulan dengan kadar air jagung 13 %.Takaran pemakaian rimpang
dringo adalah 1 – 1,5 % bila berbentuk bubuk atau 2 – 2,5 % jika berbentuk
batangan (Paz et al. 1989)
Pengadaan Benih Bermutu
Mutu benih banyak ditentukan oleh kondisi tanaman di
lapangan serta penanganan pasca panen. Bila panen
dilakukan terlalu awal maka banyak biji yang keriput.
Sedangkan terlambat panen berpengaruh terhadap
penurunan mutu benih karena tanaman rebah dan biji
berkecambah, terutama pada musim hujan.

Untuk keperluan benih, jagung sebaiknya dipanen pada


saat masak fisiologis atau 40 – 45hari setelah penyerbukan.
Mengenai penjemuran, pemipilan, dan penyimpanan perlu
ditangani secara cermat agar benih yang dihasilkan dapat
terjamin mutunya.
Daya simpanan benih dipengaruhi oleh kadar air biji dan
suhu ruang penyimpanan. Pada suhu kamar, benih yang
disimpan pada kadar air tinggi (14 %) sudah menurun daya
kecambahnya setelah 8 bulan. Apabila disimpan pada kadar
air 12 %, daya kecambah benih masih tetap tinggi (di atas
80 %) setelah 10 bulan.

Daya simpan benih dapat mencapai 14 bulan kalau kadar


air biji di awal penyimpanan diturunkan hingga 10 %. Bila
kadar air dapat diturunkan hingga 8 %, maka daya simpan
benih akan lebih lama lagi. Pada kadar air 16 %, benih
hanya dapat disimpan selama 6 bulan (Puslitbangtan 1997)
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai