Anda di halaman 1dari 50

NAMA: VERINDRA ANGGRAENI

NPM: 22-037
DK 2
01. ASI
Aspek imunologi
Pemberian air susu ibu (ASI) yang dianjurkanadalah ASI eksklusif selama 6 bulan yang diartikan bahwa bayi
hanya mendapatkan ASI saja tanpa tambahan lain termasuk air putih. Komposisi terbesar ASI adalah laktosa
(50- 60 g/l), lemak (30-50g/1), oligosakarida (10- 12 g/l) dan protein (8-10 g/l).ASI memiliki banyak
keuntungan baik bagi bayi maupun ibu yang menyusui. Salah satu keuntungan ASI yang berkaitan dengan
sistem imun adalah melindungi bayi dari infeksi karena mengandung antibodi. ASI memiliki faktor-faktor
pertumbuhan dan hormon sehingga dapat menstimulasi pertumbuhan dan maturasi sistem pencernaan
bayi.Bayi yang tidak segera mendapatkan ASI setelah kelahirannya atau diberikan MP-ASI secara dini akan
lebih mudah terkena infeksi saluran pencernaan dan pernafasan, mudah terkena alergi serta intoleransi susu
formula.
Pertahanan spesifik
1. Limfosit T
Sel limfosit merupakan 80% dari sel limfosit yang terdapat pada ASI dan mempunyai fenotif CD4 dan CD8
dalam jumlah yang sama. Sel limfosit TASI responsif terhadap antigen K1 yang ada pada kapsul E. coli
tetapi tidak responsif terhadap Candida albicans. Sel limfosit T ASI merupakan subpopulasi T unik yang
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sistem imun lokal. Sel TASI juga dapat mentransfer imunitas selular
tuberkulin dari ibu ke bayi yang disusuinya. Hal ini diperkirakan melalui limfokin yang dilepaskan sel TASI
yang menstimulasi sistem imun selular bayi. Sel limfosit TASI tidak berimigrasi melalui dinding mukosa
usus
2. Limfosit B
Sel limfosit B di lamina propria payudara, atas pengaruh faktor yang ada, akan memproduksi IgA yang
disekresi berupa sIgA. Komponen sekret pada sIgA berfungsi untuk melindungi molekul IgA dari enzim
proteolitik seperti tripsin, pepsin dan pH setempat sehingga tidak mengalami degradasi. Stabilitas molekul
sIgA ini dapat dilihat dari ditemukannya sIgA pada feses bayi yang mendapat ASI. Sekitar 20-80% sIgA ASI
dapat ditemukan pada feses bayi. Kadar sIgAASI berkisar antara 5.0-7,5 mg/ dl. Pada 4 bulan pertama bayi
yang mendapat ASI eksklusif akan mendapat 0,5 g slgA/hari atau sekitar 75-100 mg/kgBB/hari.
Imunoglobulin D dalam ASI hanya sedikit sekali, sedangkan IgE tidak ada. SIgA ASI dapat mengandung
aktivitas. antibodi terhadap virus polio, Rotavirus, Echo coxsackie, influenza, Haemophilus influenzae, virus
respiratori sinsisial (RSV); Streptococcus pneumoniae; antigen O, E. coli. Klebsiela, Shigella, Salmonela,
kampilobakter dan enterotoksin yang dikeluarkan oleh Vibrio cholerae, E. coli serta Giardia lamblia juga
terhadap protein makanan seperti susu sapi dan kedelai. Oleh karena itu, ASI dapat mengurangi morbiditas
infeksi saluran cerna dan saluran pernafasan bagian atas. Fungsi utama sIgA adalah mencegah melekatnya
kuman patogen pada dinding mukosa usus halus dan menghambat proliferasi kuman di dalam usus.]
Pertahanan non spesifik
1.Sel Makrofag
Sel makrofag ASI merupakan sel fagosit aktif sehingga dapat menghambat multiplikasi bakteri pada infeksi
mukosa usus. Selain sifat fagositiknya, sel makrofag juga memproduksi lisozim, C3 dan C4, laktoferin,
monokin seperti IL-1, serta enzim lainnya. Makrofag ASI dapat mencegah enterokolitis nekrotikans pada
bayi melalui enzim yang diproduksinya.
2. Sel Neutrofil
Neutrofil dapat mengenal patogen secara langsung dan menghancurkan mikroba melalui jalur oksigen
independen (lisozim, laktoferin, ROL, enzim proteolitik, katepsin G dan protein kationik) dan oksigen
dependen. Pada vakuola neutrofil ASI ditemukan juga slgA sehingga sel ini merupakan alat transport IgA ke
bayi. Sel neutrofil ASI merupakan yang yang leraktivasi. Peran neutrofil ASI pada pertahanan bayi tidak
banyak, respons kemotaktiknya rendah. Antioksidan dalam ASI menghambat aktivitas enzimatik dan
metabolik oksidatif neutrofil. Diperkirakan perannya adalah pada pertahanan jaringan payudara ibu agar
tidak terjadi infeksi pada permulaan laktasi. Pada ASI tidak ditemukan sel basofil, sel mast, eosinofil dan
trombosit, karena itu kadar mediator inflamasi ASI adalah rendah. Hal ini menghindarkan bayi dari
kerusakan jaringan berdasarkan reaksi imunologik
3. Lisozim
Lisozim yang diproduksi makrofag, neutrofil dan epitel kelenjar payudara mempunyai sifat bakteriologik
yaitu dapat melisiskan dinding sel bakteri gram positif pada mukosa usus. Kadar lisozim dalam ASI adalah
0, Img/ml yang bertahan sampai tahun kedua laktasi, bahkan sampai penyapihan. Dihanding dengan susu
sapi, ASI mengandung 300 kali lebih banyak lisozim per satuan volume.
4. Komplemen
Komplemen terdiri atas sejumlah besar. protein yang bila diaktifkan akan memberikan proteksi terhadap
infeksi dan berperan dalam respons inflamasi. Komplemen dengan spektrum aktivitas yang luas diproduksi
oleh hepatosit dan monosit serta dapat diaktifkan secara lansgung oleh mikroba atau produknya (jalur
alternatif, klasik dan lektin). Komplemen berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, sebagai
faktor kemotaktik dan juga menimbulkan destruksi/lisis bakteri dan parasit. Antibodi dengan bantuan dapat
menghancurkan membran lapisan LPS (lipopolisakarida) dinding sel. Bila lapisan LPS menjadi lemah,
lisozim, mukopeptida dalam serum dapat masuk menembus membran bakteri dan menghancurkan lapisan
mukopeptida.
5. Sitokin
Sitokin merupakan protein sistem imun yang mengatur interaksi antarsel dan memacu reaktivitas imun, baik
pada imunitas nonspesifik maupun spesifik. Sitokin berperan dalam aktivasi sel T, sel B, monosit, makrofag.
inflamasi dan induksi sitotoksisitas. IL-1 yang diproduksi makrofag akan mengaktifkan sel limfosit T.
Demikian pula TNF-a yang diproduksi sel makrofag akan meningkatkan produksi komponen sekretori oleh
sel epitel usus dan TNF-å akan merangsang alih isotif ke IgA, sedang IL-6 akan meningkatkan produksi IgA.
Semuanya ini akan meningkatkan produksi sIgA di usus.
6. Laktoferin
Laktoferin merupakan salah satu contoh reseptor larut, merupakan protein yang mengikat besi berkompetisi
dengan patogen yang memerlukan besi dalam. metabolisme esensialnya. Laktoferin yang diproduksi
makrofag, neutrofil dan epitel kelenjar payudara bersifat bakteriostatik, dapat menghambat pertumbuhan
bakteri, karena merupakan glikoprotein yang dapat mengikat besi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
sebagian besar bakteri aerobik seperti stafilokokus dan E. Coli. Laktoferin dapat mengikat dua molekul besi
ferri yang bersaing dengan enterokelin kuman yang juga mengikat besi. Kuman yang kekurangan besi ini,
pembelahannya akan terhambat sehingga berhenti memperbanyak diri. Efek ini bisa ini lebih efektif terhadap
kuman patogen, sedangkan terhadap kuman komensal kurang efektif. Laktoferin bersama sIgA secara
sinergistik akan menghambat pertumbuaan coli patogen. Laktoferin tahan terhadap tripsin dan kinsotripsin
yang ada pada saluran cerna. Kadar laktoferin dalam ASI adalah 1-6 mg/dl dan tertinggi pada kolostrum.
7. Peroksidase
Berbeda dengan susu sapi, pada ASI tidak ditemukan laktoperoksidase, kalaupun ada kadarnya kecil
Aktivitas peroksidase pada ASI disebabkan oleh mieloperoksidase yang diproduksi sel leukosit ASI
8. Oligosakarida
Oligosakarida adalah sejenis prebiotik yang memperkuat sistem imun alami pada bayi yang baru lahir,
khususnya dalam menstimulasi pertumbuhan bakteri yang berguna secara alami hidup di sistem pencernaan.
Oligosakarida dalam ASI termasuk ke dalam karbohidrat yang tidak bisa dicerna. Di dalam sistem
pencernaan manusia, oligosakarida berperan sebagai prebiotik dan digunakan sebagai makanan bakteri yang
berguna untuk tubuh sehingga dapat mendominasi flora usus untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh bayi
yang baru lahir serta memiliki efek anti infeksi dengan melapisi dinding usus dan menekan pertumbuhan
bakteri patogen.
9. Faktor Bifidus
Meningkatkan proliperasi laktobasilus bifidus mengubah laktosa menjadi asam laktat dan asam asetat yang
berfungsi menciptakan suasana asam sehingga menghambat pertumbuhan E. coli, Shigella sp, dan
Salmonella.
Komponen system imun dalam asi

1. Komponen Nutrisi
Komponen nutrisi yang terdapat dalam ASI terdiri dari Karbohidrat, Protein, BANG karbohidrat, Lemak,
Vitamin, Mineral. Kandungan, protein, lemakdan mikronutrienASI terdapat dalam jumlah yang tepat dan ideal
untuk menunjang. pertumbuhan dan perkembangan bayi.ASI mengandung karbohidrat seperti laktosa,
oligosakarida, glikopeptida, faktor bifidus. Kandungan lemak dalam ASI seperti vitamin larut dalam lemak, yaitu
Vitamin A, D, E dan K, juga karotenoid, asam lemak, fosfolipid, sterol dan hidrokarbon, trigliserida.
ASI juga mengandung vitamin yang larut dalam air seperti biotin, kolin, folat, inositol, niasin, asam pantetonat,
riboflavin, thiamin, vitamin B12, vitamin B6, dan vitamin C.Kandungan mineral dan ion seperti kromium, kobalt,
copper, fluorid, iodin, mangaan, molibdenum, nikel, selenium, dan seng. ASI juga mengandung nitrogen
nonprotein lain seperti a-amino nitrogen, keratin, kreatinin, glukosamin, asam nukleat, nukleotida, poliamin, urea,
dan asam urat.
2. Komponen pertahanan tubuh
Komponen pertahanan tubuh yang terdapat dalam ASI terdiri dariimunitas humoral dan spesifik. Imunitas
humoral seperti sel epitel, makrofag, netrofil, eosinofil, dan limfosit, serta faktor imunologi, seperti faktor
bifidus, lisozim, laktoferin, interferon, komplemen. Imunitas spesifik adalah Imunoglobulin, seperti
Imunoglobulin A (IgA), Imunoglobulin M (IgM), Imunoglobulin G (IgG), Imunoglobulin D (IgD),
Imunoglobulin E (IgE).ASI mengandung sejumlah komponen pertahanan Tubuh seperti:
Imunoglobulin. Seluruh tipe imunoglobulin ditemukan dalam ASL, tapi konsentrasi yang terbanyak adalah
IgA sekretori.
Laktoferin, berfungsi sebagai bakterisid danmembuat zat besi tidak tersedia bagi pertumbuhan bakteri,
seperti Eschericia coli.
Lisozim, memiliki efek bakterisid terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.
Prolaktin, yang berfungsi meningkakan perkembangan limfosit B dan limfosit T, dan mempengaruhi
diferensiasi jaringan limfoid intestinal.
Makrofag, monosit, Netrotil B dan Netrofil T. ASI mengandung sel-sel yang sebagian besar berupa makrofag
dan berfungsi untuk membunuh dan memfagositosis sejumlah bakteri dan virus.
Mekanisme system imun

Air susu ibu memberikan perlindungan kepada bayi melalui beberapa mekanisme, antara lain memperbaiki
pertumbuhan mikroorganisme non-patogen, mengurangi pertumbuhan mikroorganisme patogen saluran
cerna, merangsang perkembangan barier mukosa saluran cerna dan pernapasan, faktor spesifik (IgA
sekretori, sel kekebalan), mengurangi reaksi inflamasi (peradangan), dan sebagai imunomodulator
(perangsang kekebalan).
02 Anatomi dan histologi organ limfoid
Anatomi
LIMFE
Merupakan nama yang diberikan untuk cairan jaringan begitu cairan ini masuk ke dalam pembuluh limfe.
Merupakan cairan bening tidak berwarna, mirip dengan plasma darah tetapi rendah protein. Mengandung
sejumlah besar limfosit, yang merupakan suplai utama limfosit untuk aliran darah Mengandung makrofag,
hormon, bakteri, virus, sisa-sisa seluler, dan bahkan sel kanker yang menyebar.

KOMPONEN PEMBULUH LIMFE


1. Kapiler Limfe
Mulai sebagai saluran buntu, dapat mengabsorbsi protein dan partikel besar dari ruang-ruang di jaringan.
Arah aliran limfe ditentukan oleh katup pembuluh Iimfe, sehingga cairan yang sudah masuk ke dalam
kapiler limfe tidak bisa kembali lagi ke jaringan.
2. Pembuluh Limfe
Sistem pembuluh limfatik yang mirip dengan pembuluh darah, mempunyai katup pada lumen yang
mencegah cairan limfe kembali ke jaringan, kontraksi otot yang berdekatan juga mencegah limfe keluar dari
pembuluh lymphe merupakan muara kapiler limfe. Pada extremitas, pembuluh limfe superfisial kulit dan
jaringan subcutaneus cenderung mengikuti vena-vena superfi sial
Pembuluh limfe profunda mengikuti
arteri-arteri dan vena-vena profunda.
Pembuluh limfe ditemukan hampir di
seluruh jaringan dan organ tubuh
kecuali sistem saraf pusat, bola mata,
telinga dalam, epidermis, cartilago, dan
tulang
JARINGAN LIMFATIK
- Nodus Lymphaticus
Nodus lymphaticus ditemukan di
seluruh tubuh dan terletak sepanjang
perjalanan pembuluh limfe. Berbentuk
bulat atau oval kecil. Berkelompok
menerima limfe dari bagian tubuh.
Berfungsi menyaring antigen dari limfe
dan menginisiasi respon imun. Limfe
masuk ke dalam nodus lymphaticus
melalui sejumlah pembuluh limfatik
aferen berkatup yang menembus
kapsula pada perrnukaan konveksnya.
Limfe berjalan melalui sinus
subcapsularis dan kemudian disaring
melalui anyaman sampai limfe
mencapai medulla. Akhirnya limfe
meninggalkan nodus melalui satu atau
dua pembuluh limfatik eferen yang
muncul dari hilus
ORGAN LIMFATIK
Red Bone Marrow
Ada dua jenis sumsum tulang: kuning dan merah.
a. Sumsum tulang kuning adalah jaringan adiposa, sedangkan sumsum tulang merah terlibat dalam
hemopoiesis (pembentukan darah) dan kekebalan. Pada anak-anak, ia menempati ruang medularis dari
hampir seluruh kerangka. Pada orang dewasa, terbatas pada bagian axial skeleton dan proksimal caput
humerus dan femur. Sumsum tulang merah adalah pemasok penting limfosit untuk sistem kekebalan tubuh
b. Sumsum tulang merah adalah jaringan lunak, longgar, banyak mengandung pembuluh darah, dipisahkan
dari jaringan tulang oleh endosteum tulang. Warna merahnya karena banyak mengandung eritrosit. Banyak
arteri kecil memasuki foramina nutrisi pada permukaan tulang, menembus tulang, dan bermuara ke sinusoid
besar di sumsum.

Ruang antara sinusoid ditempati oleh pulau-pulau sel hemopoietik, terdiri dari makrofag dan sel darah dalam
semua tahap perkembangan. Makrofag menghancurkan sel darah yang cacat dan inti dibuang oleh eritrosit
yang sedang berkembang. Saat sel-sel darah matang, mereka mengalir melalui sel-sel retikuler dan endotel
untuk memasuki sinus dan mengalir jauh dalam aliran darah.
2. Thymus
Thymus berbentuk pipih, berlobus dua
dan terletak di mediastinum superior
dan anterior thorax. Pada bayi yang
baru lahir, thymus mencapai ukuran
terbesarnya jika dibandingkan dengan
ukuran tubuh. Thymus terus
berkembang sampai pubertas, tetapi
setelah itu mengalami involusi.
Pembuluh limfatik tidak bermuara ke
thymus, tetapi sejumlah besar berasal
dari thymus. Thymus merupakan salah
satu organ paling penting untuk
mekanisme pertahanan terhadap
infeksi serta tempat untuk
pembentukan sel limfosit T (thymic).
Pendarahan thymus berasal dari arteria
thyroidea inferior dan thoracica interna.
3. Lien
Terletak di kuadran atas kiri abdomen, di inferior diaphragma yang memanjang dari iga 9-11. Terletak
dilateral ginjal dan posterolateral gaster. Bagian posterolateral disebut permukaan diaphragma dan bagian
anteromedial berisi hillus dimana A/V/N keluar masuk. Lien disuplai oleh arteri splenicus.
Struktur Lien
a. Capsul
Terdiri atas jaringan pengikat yang irregular yang membungkus lien. Capsul akan menjulur ke dalam 🡪
trabecula, dimana akan berjalan A/V trabecularis. Sel disekitar trabecula terbagi atas pulpa alba dan pulpa
rubra
b. Pulpa Alba
Dihubungkan dengan arteri yang mensuplai lien. Terdiri dari kelompok sel limfatik (limfosit T, B dan
Makrofag). Dipusat kelompok terdapat A. centralis
c. Pulpa Rubra
Dihubungkan dengan vena yang
mensuplai lien
Terdiri atas:
- Splenicus cords: mengandung
eritrosit, platelet, makrofag dan sel
plasma
- Splenicus sinusoid: berperan sebagai
kapiler yang membawa darah
4. Tonsil
Tonsila membentuk cincin jaringan
limfatik yang tidak utuh di sekitar pintu
masuk dari mulut dan hidung ke
pharynx
Tonsila ini terdiri dari:
sepasang tonsila palatina
sepasang tonsila tubaria
sebuah tonsila lingualis
sebuah tonsila nasopharyngealis
Tonsila secara strategis terletak di pintu
masuk sistem respirasi dan digestif
serta berperan dalam respons
immunologis terhadap antigen asing
yang masuk ke dalam kedua sistem ini.
Histologi
Glandula Thymus
a. Cortex
Komponen sel: tampak gelap dan padat
Sel Retikuler: Mempunyai beberapa tonjolan panjang, sitoplasma asidofil, inti besar: 7 - 11 m
Sel limfosit timosit: Mengisi celah antara sel retikuler, dalam perjalanan menuju medulla mengalami
perkembangan, dalam proses perkembangan Sebagian besar mengalami kematian
Sel makrofag: membantu membersihkan sisa-sisa sel yang mati
b. Medulla
Tampilan: Cerah, karena komponen sel jauh lebih berkurang
Sel Limfosit/Timosit: Dibandingkan dengan di cortex, ukura lebih kecil dan jumlah sangat sedikit.
Sitoplasma banyak dan ribosom sedikit
Sel Retikuler: Bentuk bervariasi; Stelat, bulat, gepeng tersusun konsntris membentuk Corpusculum Hassalli
(D:100  m) sel ditengah mengalami degenerasi/kalsifikasi, ukuran lebih besar dengan tonjolan banyak.
03 Penyakit difteri
03 Penyakit difteri
Etiologi dan factor resiko
Difteri adalah penyakit menular yang dapat disebarkan melalui batuk, bersin, atau luka terbuka. Gejalanya
termasuk sakit tenggorokan dan masalah pernapasan. Penyebab utama difteri adalah infeksi bakteri
Corynebacterium diphteriae, yang menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan, serta dapat
memengaruhi kulit. Penyakit ini dapat menyerang orang-orang dari segala usia dan berisiko menimbulkan
infeksi serius yang berpotensi mengancam jiwa.
Penyebab dan Faktor Risiko Difteri:
Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, yang dapat menyebar dari orang ke orang.
Seseorang bisa tertular difteri bila tidak sengaja menghirup atau menelan percikan air liur yang dikeluarkan
penderita saat batuk atau bersin.Penularan juga bisa terjadi jika menyentuh benda yang sudah terkontaminasi
air liur penderita, seperti gelas atau sendok.Difteri dapat dialami oleh siapa saja. Namun, risiko terserang
difteri akan lebih tinggi pada orang yang tidak mendapat vaksin difteri secara lengkap. Selain itu, difteri juga
lebih berisiko terjadi pada orang yang :
• Tinggal di area padat penduduk atau buruk kebersihannya.
• Bepergian ke wilayah yang sedang terjadi wabah difteri.
• Memiliki daya tahan tubuh lemah, misalnya karena menderita AIDS.
Patogenesis difteri
C. diphtheriae bersifat toxin-mediated disease yang artinya tanda dan gejala yang timbul pada
penyakit diakibatkan oleh toksin yang dihasilkan bakteri ini. Toksin ini dapat menyebar melalui
darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Akibat dari toksin difteri yaitu miokarditis, neuritis, trombositopenia, dan proteinuria
Toksin difteri adalah polipeptida tidak tahan panas yang dapat mematikan pada dosis 0,1
µm/kg. Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan destruksi epitel
dan respons peradangan superfisial. Epitel yang mengalami nekrosis tertanam dalam eksudat
fibrin dan sel-sel darah merah dan putih, sehingga terbentuk pseudomembran yang berwarna
putih keabu-abuan yang sering melapisi tonsil, faring, atau laring.
Timbulnya penyakit ini ditandai dengan adanya pertumbuhan membran (pseudomembran)
berwarna putih keabu-abuan, yang lokasi utamanya di nasofaring atau daerah tenggorokan.
Membran tersebut dapat menutup saluran pernapasan dalam waktu yang sangat singkat dalam
hitungan beberapa jam sampai beberapa hari saja
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf tenggorokan. Efek nekrotik dan
neurotoksis toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis protein yang mendadak. Selain
toksin yang dihasilkan, ternyata keberadaan bakteri ini sendiri juga merugikan. Biasanya bakteri
berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan
menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, lalu cairan hidung dapat
menyebarkannya dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan
sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernapasan.
Gejala klinis
Umumnya gejala penyakit difteri akan muncul 2–5 hari setelah seseorang terinfeksi bakteri Corynebacterium
diphteriae. Setelah itu, bakteri menyebar ke aliran darah dan menimbulkan gejala di bawah ini:
• Terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi amandel dan tenggorokan.
• Demam dan menggigil.
• Nyeri tenggorokan dan suara serak.
• Sulit bernapas atau napas yang cepat.
• Pembengkakan kelenjar getah bening pada leher.
• Lemas dan lelah.
• Pilek yang awalnya cair, tetapi dapat sampai bercampur darah.
• Batuk yang keras.
• Rasa tidak nyaman.
• Gangguan penglihatan.
• Bicara melantur.
• Tanda-tanda syok, seperti kulit yang pucat dan dingin, berkeringat, dan jantung berdebar cepat.
Diagnosa(anamnesa, pemeriksaan fisik)
Dokter dapat menduga pasien terkena difteri jika terdapat lapisan abu-abu di tenggorokan atau
amandelnya. Namun, untuk memastikannya, dokter akan melakukan pemeriksaan usap atau
swab tenggorok.Pemeriksaan usap tenggorok dilakukan dengan mengambil sampel lendir dari
tenggorokan pasien, untuk kemudian diteliti di laboratorium.

Diagnosis difteri perlu dicurigai pada pasien dengan selaput tebal berwarna abu-abu yang
menutupi tenggorokan dan tonsil. Pasien juga bisa mengeluhkan sakit tenggorokan dan suara
serak. Tanda dan gejala difteri biasanya muncul dalam 2-5 hari setelah seseorang terinfeksi.
Pada mulanya, penyakit difteri menimbulkan gejala tidak spesifik seperti common cold, yaitu
demam, nyeri tenggorokan, dan limfadenopati servikal. Adapun gejala difteri yang tipikal
adalah demam yang tidak terlalu tinggi, nyeri tenggorokan, malaise, limfadenopati servikal,
sakit kepala, dan disfagia. Rerata masa inkubasi adalah 2 hingga 5 hari (rentang antara 1 hingga
10 hari). Pada kebanyakan kasus sporadik di negara maju, penderita difteri mempunyai riwayat
bepergian dari daerah endemis dan tidak ada riwayat vaksinasi sebelumnya
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan fisis
Umumnya (94%) menunjukkan tanda tonsilitis dan faringitis dengan pseudomembran/selaput pada tempat
infeksi berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat. Pada keadaan berat dapat ditemukan
pembesaran leher (bull neck), tampak toksik dan sakit berat, padahal demam tidak terlalu tinggi, muka pucat
bahkan sampai sianosis, tanda-tanda syok, serta kesulitan menelan.
Laboratorium
Kriteria konfirmasi laboratorium difteri adalah kultur atau PCR positif. Untuk mengetahui toksigenisitas
difteri, dilakukan pemeriksaan tes Elek. Pengambilan sampel kultur dilakukan pada hari ke-1, ke-2, dan ke-7.
Media yang digunakan saat ini adalah Amies dan Stewart, dahulu Loeffler atau telurit. Keberhasilan kultur
hidung tenggorok di indonesia kurang dari 10%, sehingga diupayakan untuk menggunakan PCR untuk
diagnosis pasti. Sampel diambil dari jaringan di bawah atau sekitar pseudomembran. Pemeriksaan sediaan
langsung dengan mikroskop atau pewarnaan Gram/Albert tidak dapat dipercaya karena di rongga mulut
banyak terdapat bakteri berbentuk mirip C. diphtheriae (difteroid).
Tatalaksana dan pencegahan
Beberapa jenis pengobatan yang dilakukan untuk menangani difteri adalah :
1. Suntik antiracun
Dokter akan memberikan suntik antiracun (antitoksin) difteri guna melawan racun yang
dihasilkan oleh bakteri difteri. Sebelum suntik dilakukan, pasien akan menjalani tes alergi kulit
untuk memastikan tidak ada alergi terhadap antitoksin.
2. Antibiotik
Dokter akan memberikan antibiotic untuk membunuh bakteri difteri dan mengatasi infeksi.
Perlu diingat, antibiotik harus dikonsumsi sampai habis sesuai resep dokter, guna memastikan
tubuh sudah bebas dari penyakit difteri.
Dua hari setelah pemberian antibiotik, umumnya penderita sudah tidak lagi bisa menularkan
penyakit difteri.
Difteri dapat dicegah dengan melakukan beberapa upaya berikut :
1. Imunisasi DPT
Pastikan anak menerima imunisasi DPT, yaitu pemberian vaksin difteri yang dikombinasikan
dengan vaksin tetanus dan batuk rejan (pertusis). Imunisasi DPT merupakan salah satu
imunisasi wajib di Indonesia yang diberikan pada usia 2, 3, 4, dan 18 bulan, serta usia 5 tahun.
2. Konsultasi dengan Dokter
Konsultasikan dengan dokter jika anak belum mendapatkan vaksin DPT, terutama jika sudah
berusia lebih dari 7 tahun
3. Antibiotik
Selain untuk mengatasi difteri, antibiotik juga dapat diberikan pada orang yang kontak dekat
dengan penderita sebagai pencegahan.
Komplikasi Difteri
Bakteri penyebab difteri menghasilkan racun yang bisa merusak jaringan di hidung dan
tenggorokan, hingga menyumbat saluran pernapasan. Racun tersebut juga bisa menyebar
melalui aliran darah dan menyerang berbagai organ.
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain :
1. Radang otot jantung (miokarditis).
2. Pneumonia atau infeksi paru-paru.
3. Gagal ginjal
4. Kerusakan saraf
5. Kelumpuhan
PENGOBATAN
Pengobatan difteri perlu dilakukan sesegera mungkin sebelum racun memberikan dampak
kerusakan sel yang parah. Untuk mengatasi hal ini, dokter akan memberikan obat difetri berupa
diphteria antitoxin (DAT). Obat difteri ini berfungsi untuk menetralisir racun yang bersirkulasi
di dalam tubuh dan mencegah perkembangan penyakit difteri. Antitoksin akan diberikan secara
lebih rutin ketika hasil diagnosis dari laboratorium telah menunjukan pasien positif terinfeksi
difteri.
Cara mengobati difteri yang selanjutnya bisa dilakukan adalah melalui pemberian antibiotik.
Jenis antibiotik yang direkomendasikan sebagai obat difteri adalah golongan makrolida atau
penicillin V, yang termasuk diantaranya:
• erythromycin
• azithromycin
• clarithromycin
Sekian terimakasi

Anda mungkin juga menyukai