Anda di halaman 1dari 34

No.

Dokumen FO-UGM-BI-07-13
BORANG Berlaku sejak 03 Maret 2008
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA Revisi 00
LABORATORIUM BIOKIMIA Halaman 1 dari

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA


ACARA 5
BAHAN MAKANAN DAN VITAMIN C

Nama : Noah Ade Sandro Ginting


NIM : 20/454761/BI/10456
Gol(Hari)/Kel : Kamis/1
Asisten : Lailly Tsania

LABORATORIUM BIOKIMIA
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH
MADA YOGYAKARTA
2021
ACARA 5
BAHAN MAKANAN DAN VITAMIN C

I. TUJUAN
Tujuan dari praktikum ini diantaranya yaitu mengidentifikasi struktur
dan nutrien yang terdapat di dalam susu melalui percobaan pemeriksaaan air
susu dibawah mikroskop, penetapan berat jenis, reaksi air susu, pengendapan
air susu, reaksi biuret, grease spot test, dan reaksi molisch, mempelajari
pengertian, struktur, dan sifat dari vitamin C beserta prosedur untuk
mengukur kadar vitamin C dalam suatu sampel, serta membandingkan kadar
vitamin C pada buah berwarna dan buah tidak berwarna.

II. DASAR TEORI


Susu merupakan makanan pertama yang dikonsumsi oleh mamalia
sebagai sumber energi dan nutrien yang dibutuhkan untuk menjamin proses
pertumbuhan dan perkembangan yang baik bagi bayi di masa pra kelahiran.
Saat dewasa, susu juga dapat diimplementasikan dalam diet yang seimbang
dan bernutrisi. Susu secara umum merujuk kepada susu yang diproduksi oleh
sapi dan tidak kepada kolostrum atau sekresi laktik pada lima belas hari
sebelum dan lima hari sesudah kelahiran serta kepada produk “susu” yang
berasal dari tumbuhan seperti susu kedelai dan susu almond. Jenis susu yang
diekstraksi dari tumbuhan seharusnya cukup dinamakan “minuman” seperti
minuman kedelai. Susu tersusun dari 87% air, 4-5% laktosa, 3% protein, 3-
4% lemak, 0.8% mineral, dan 0.1% vitamin. Komposisi kimia dari susu
tersebut dapat berubah tergantung dari beberapa faktor, seperti genetik,
kondisi lingkungan, tahap laktasi, dan status nutrisi serta spesies binatang
penghasilnya. Selain susu sapi, terdapat juga susu kambing dan domba. Jika
ketiganya dibandingkan, susu domba memiliki kandungan protein dan lemak
yang lebih banyak, sedangkan susu kambing dikarakterisasi dengan
kandungan vitamin A, B1, dan B12 serta kalsium dan fosfor yang melimpah
(Pereira, 2014).
Laktosa merupakan karbohidrat utama dalam susu. Laktosa adalah
disakarida yang tersusun dari glukosa dan galaktosa. Laktosa dapat
ditemukan dalam bentuk alfa (α) dan beta (β) yang pada larutan aqueous,
berada pada kesetimbangan. β-galaktosidase atau laktase merupakan enzim
yang berperan dalam memecah laktosa dan memiliki preferensi utama
terhadap bentuk β-nya. Enzim tersebut terhubung ke selaput lendir usus halus
dan setelah laktosa dihidrolisis, monosakarida glukosa dan galaktosa diserap
kemudian diangkut menuju ke hati melalui vena portal di mana galaktosa
diubah menjadi glukosa. Pada mamalia aktivitas β-galaktosidase menurun
secara signifikasn setelah masa laktasi, tetapi hal yang sama tidak terjadi
dalam derajat yang sama pada manusia. Aktivitas enzim tersebut tetap ada
bahkan selama masa dewasa dan gejala intoleransi terjadi hanya apabila
terdapat kekurangan enzimatik. Intoleransi terhadap laktosa menyebabkan
beberapa gejala gastrointestinal yang dipicu oleh fermentasi gula yang terjadi
di usus besar. Kram perut dan kembung, diare, mual, dan muntah sering
menjadi gejala utama. Selama fermentasi, beberapa senyawa terbentuk,
seperti asam lemak rantai pendek, metana, dan karbondioksida yang juga
dapat mempengaruhi motilitas usus sehingga menyebabkan sembelit,
peningkatan tekanan internal usus, dan peningkatan waktu transit usus
(Pereira, 2014). Laktosa berperan utama sebagai sumber energi, terutama
untuk bayi yang baru lahir. Selain itu, laktosa yang tidak terserap juga
berperan mempromosikan pertumbuhan dari mikrobiota usus yang berikutnya
dapat memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan sistem imun dan
proteksi pada bayi. Laktosa juga dapat digunakan untuk membentuk
makromolekul glikosilat yang lebih kompleks dari monomernya, glukosa dan
galaktosa, serta disimpan dalam bentuk glikogen pada hati. Setelah laktosa
dihidrolisis, glukosa dan galaktosa diserap oleh usus melalui transporter
terikat glukosa-natrium-1 (SGLT1) yang juga mentranspor ion natrium dan
kalsium sehingga dikaitkan dalam peningkatan absorbsi kalsium yang baik
untuk perkembangan tulang bayi. Laktosa memiliki nilai indeks glikemik
(GI) yang relatif rendah, atau dalam kata lain, memiliki tingkat kemanisan
rendah dan tidak memicu efek rewarding sehingga tidak kariogenik
(menginduksi karies) serta menurunkan risiko terkena diabetes tipe 2 akibat
mengonsumsi gula berlebihan (Romero-Velarde et al., 2019).
Susu mengandung sekitar 32 gram protein per liternya. Fraksi protein
tersebut dapat dibagi menjadi protein larut dan protein tak larut. Protein larut
yang terdapat dalam susu, yaitu protein whey, mewakili 20% dari fraksi
protein, sedangkan protein tidak larut, yakni kasein, mewakili sisanya sebesar
80%. Keduanya diklasifikasikan sebagai protein berkualitas tinggi ditinjau
dari asam amino yang menyusunnya, kecernaan, serta ketersediaan hayati.
Protein whey sangat kaya akan asam amino denga rantai bercabang, seperti
leusin, isoleusin, dan valin serta lisin, sedangkan kasein memiliki proporsi
histidin, metionin, dan fenilalanin yang lebih tinggi. Fraksi protein dapat larut
meliputi β-laktoglobulin, α-laktoalbumin, imunoglobulin, albumin serum,
laktoferin, laktoperoksidase, lisozim, proteosa-pepton, dan transferin.
Laktoferin, laktoperoksidase, dan lisozim merupakan agen antimikroba yang
penting, sementara laktoferin bersama dengan β-laktoglobulin dan α-
laktoalbumin telah menunjukkan aktivitas penekanan terhadap
perkembangan tumor. β- laktoglobulin adalah pembawa retinol penting dan
telah menunjukkan aktivitas pengikatan asam lemak dan kapasitas
antioksidan, sedangkan laktoferin adalah elemen penting dalam penyerapan
zat besi, menunjukkan kapasitas antioksidan dan antikarsinogenik.
Imunoglobulin merupakan antibodi yang memegang peran krusial dalam
sistem pertahanan tubuh, di antaranya yang paling penting adalag IgA yang
ditemukan pada kolostrum yang dikonsumsi oleh bayi untuk memberikan
imunitas awal setelah lahir. Di samping itu, peran utama yang dikaitkan
dengan kasein adalah pengikatan mineral dan kapasitas pembawa, terutama
untuk kalsium dan fosfor. Kasein dapat dibagi menjadi α, β, dan κ-kasein.
Mereka mengangkut kalsium dan fosfor membentuk koagulum dan
meningkatkan daya cernanya dalam perut. Protein susu memiliki kemampuan
untuk menimbulkan rasa kenyang dan mengontrol nafsu makan karena
efeknya terhadap hormon usus seperti kolesistokinin dan ghrelin (hormon
pemicu rasa lapar). Dalam jangka panjang, hal ini dapat menunrunkan risiko
obesitas dan penyakit kardiovaskular lainnya (Pereira, 2014).
Fraksi lemak dalam susu terutama terdapat dalam bentuk gumpalan
yang resisten terhadap lipolisis oleh pankreas kecuali telah melalui
pencernaan lambung terlebih dahulu. Trigliserida menyusun 98% dari fraksi
lemak susu dan sisanya meliputi lipid lain, seperti diasilgliserol (2%),
kolesterol (kurang dari 0,5%), fosfolipid (sekitar 1%) dan asam lemak bebas
(0,1%). Dari komposisi yang diberikan, 70% fraksi lemak tersebut tersusun
oleh asam lemak jenuh dan 30% asam lemak tak jenuh. Dalam asam lemak
jenuh, secara kuantitatif, asam lemak yang mendominasi secara kuantitatif
adalah palmitat (30%), miristat (11%), dan stearat (12%). Asam lemak rantai
pendek juga bisa ditemkan membentuk sekitar 11% asam lemak jenuh,
terutama butirat (4,4%) dan kaproat (2,4%). Dalam fraksi asam lemak tak
jenuh, asam oleat berada pada konsentrasi antara 24 hingga 35%, sedangkan
asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acids) menyusun sekitar
2.3% dari total asam lemak di mana linoleat dan α-linoleat masing-masing
mendapat proporsi sebesar 1.6 dan 0.7%. Susu juga mengandung asam lemak
trans seperti asam vaksenat (2.7%) dan asam linoleat terkonjugasi (0.34%-
1.37%). Konsumsi asam lemak jenuh yang berlebihan sebelumnya dikaitkan
dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Mekanisme yang paling
sering dikaitkan dengan hal tersebut adalah dengan meningkatkan konsentrasi
lipid darah, terutama kolesterol total dan LDL. Namun, asam lemak seperti
palmitat, miristat, dan laurat memberikan efek metabolik yang sangat berbeda
terhadap kandungan lipid darah. Asam palmitat terbukti meningkatkan
konsentrasi LDL, sedangkan miristat dapat meningkatakan kolesterol total.
Asam laurat dikaitkan dengan kemampuan untuk meningkatkan konsentrasi
HDL.Selain itu, asam stearat yang mewakili 12% dari total lemak susu
menurunkan rasio kolsterol total dibanding HDL sehingga akan menimbulkan
efek protektif (Pereira, 2014).
Susu diakui sebagai sumber kalsium utama sebagai salah satu unsur
dalam fraksi mineralnya, tetapi beberapa unsur lain juga ditemukan, seperti
fosfor, magnesium, seng, dan selenium. Selain itu, fraksi vitamin dalam susu
tersusun oleh vitamin larut lemak (A, D, dan E) dan vitamin larut air, yaitu
vitamin B kompleks seperti tiamin dan riboflavin serta vitamin C. Kalsium
menjadi elemen makro yang ditemukan dalam jumlah banyak pada susu.
Konsentrasi rata-ratanya mencapai 1200mg per liter susu. Kalsium ditemukan
dalam fase misel dan fase aqueous. Kalsium pada fase misel berikatan
sebagai residu fosfoseril pada kasein, sedangkan pada fase aqueous-nya
berikatan dengan protein whey atau bentuk anorganik dari garam fosfat.
Kalsium memiliki peran utama dalam meningkatkan densitas tulang.
Konsentrasi fosfor dalam susu adalah sekitar 950mg/L, sedangkan
magnesium ditemukan dalam konsentrasi sebesar 120mg/L dan mencakup
29% dari kebutuhan mineral tersebut dalam diet. Elemen mikro dari mineral
susu tersusun atas seng dan selenium. Satu liter susu mengandung sekitar 3-
4mg seng dan 30μg selenium yang mencakup 67% dari kebutuhan
oligonutrien tersebut dalam diet. Kalsium, magnesium, dan kalium ditemukan
memiliki peran mengurangi risiko pernyakit kardiovaskular karena
kemampuan mereka untuk mengontrol tekanan darah sehingg menimbulkan
efek anti-hipertensi. Kalsium dan magnesium juga krusial dalam mencegah
penyakit diabetes tipe 2 karena dapat memicu pembentukan insulin dan
toleransi terhadap glukosa (Pereira, 2014).
Vitamin A sangat penting dalam pertumbuhan, perkembangan,
kekebalan, dan kesehatan mata. Kandungan vitamin A bergantung tidak
hanya pada jumlah lemak, tetapi juga pada faktor-faktor seperti pakan ternak
dan musim. Susu murni umumnya mengandung sekitar 172μg/100g vitamin
A. Kandungan vitamin D tidak biasanya ditemukan pada susu kecuali apabila
difortifikasi untuk meningkatkan status gizinya. Susu murni yang belum
difortifikasi memiliki kandungan D, menurut beberapa studi, sebanyak 5 dan
35 IU/L, sedangkan pada susu yang dijual secara komersial sudah
mengandung vitmin D sebamyak 40 sampai 105 IU/100g. Vitamin D
memiliki sifat antikarsinogenik, kardioprotektif, dan imunomodulator. Selain
itu, vitamin D juga penting dalam penyerapan kalsium, pembentukan massa
tulang, dan membantu dalam pencegahan osteoporosis. Vitamin B kompleks
dalam susu sudah mencakup 10 hingga 15% kebutuhan vitamin tersebut
dalam diet. Vitamin B kompleks berperan sebagai kofaktor enzimatis dan
berpartisipasi dalam beberapa jalur metabolisme, seperti produksi energi,
neurotransmitter, dan sintesis hormon (Pereira, 2014).
Di samping itu, kasein dalam susu, bersama dengan kalsium fosfat,
bersama-sama menyusun membentuk agregat dari beberapa ribu molekul
protein tersebut dengan diameter rata-raa 150 hingga 200 nm yang dikenal
sebagai misel kasein. Komposisi misel bergatung pada ukurannya. κ-kasein
dalam jumlah yang banyak dan β-kasein dengan kuantitas yang lebih sedikit
akan menghasilkan misel dengan ukuran yang relatif lebih kecil, sedangkan
kandungan α-kasein tampaknya tidak bergantung pada ukurannya. Hal ini
menyiratkan bahwa κ-kasein sebagian besar jika tidak semuanya berada pada
permukaan misel, β-kasein sebagian besar terdapat pada bagian interior, dan
α-kasein ditemukan di keseluruhan struktur (misel yang berukuran lebih besar
menunjukkan rasio antara luas permukaan dan volume yang lebih kecil,
menandakan bahwa volume atau isi misel yang terdiri dari kebanyakan β-
kasein harus berjumlah lebih banyak. Sedangkan misel yang berukuran lebih
kecil memiliki rasio antara luas permukaan dan volume yang lebih besar,
sehingga membutuhkan κ-kasein pada permukaan dengan jumlah yang relatif
lebih banyak dari β-kasein). Terdapat kisaran diameter misel dalam susu apa
pun, yaitu dari <100 nm hingga >300 nm. Besar kecilnya misel ditentukan
oleh besarnya permukaan yang dapat terbentuk dan distabilkan oleh κ-kasein
yang tersedia. Dengan demikian, semakin besar proporsi κ-kasein dalam total
protein, semakin kecil ukuran misel-misel yang terbentuk. Ukuran rata-rata
misel tergantung kompossi susu, tetapi secara umum memiliki diameter rata
dari 150-200 nm dengan diameter minimum sekitar 80 nm. Baru-baru ini,
telah diklaim bahwa terdapat populasi yang disebut mini-misel dengan
diameter dalam kisaran 20-40 nm yang ditemukan berdampingan dengan
partikel yang lebih besar saat diamati oleh teknik light scattering dan
separation (Dalgleish & Corredig, 2012).
Percobaan-percobaan lain yang dilakukan terhadap susu, di antaranya
tes Molisch, tes biuret, reaksi keasaman susu, reaksi pengendapan susu, dan
grease spot test. Tes Molisch merupakan tes umum untuk mendeteksi
karbohidrat bebas atau yang terikat pada protein dan lipid. Prinsip dari reaksi
ini adalah berdasarkan fakta bahwa suatu asam mengkatalisis dehidrasi gula
agar menjadi furfural untuk pentosa atau hidroksimetil furfural untuk
heksosa. Kedua aldehid ini kemudian terkondensasi dengan dua molekul
naphtol sehingga menghasilkan kompleks berwarna ungu atau violet di
bagian perbatasan antara asam dan reagen (gula) yang berikatan dengan
naphtol. Apabila karbohidrat yang digunakan adalah polisakarida atau
disakarida, glikoprotein atau glikolipid, asam berperan menghidrolisis
molekul tersebut terlebih dahulu menjadi monosakarida, yang dapat
didehidrasi menjadi furfural atau derivatifnya. Uji biuret dilakukan untuk
mengetahui jumlah kuantitatif protein yang terlarut dalam larutan basa.
Reagen biuret mengandung natrium hidroksida, tembaga (II) sulfat, dan
kalium natrium tartarat. Pada kondisi alkali reaksi biuret (pH 14), gugus
amida nitrogen akan terdeprotonasi sehingga ion tembaga (Cu+ ) dapat
membentuk kompleks dengan empat atom nitrogen peptida yang berdekatan
untuk membentuk kompleks berwarna ungu atau violet (λmax 565 nm). Uji
biuret juga bisa digunakan untuk menentukan konsentrasi asam amino dalam
sebuah protein karena ikatan peptida ditemukan dalam frekuensi yang sama.
Kalium natrium tartarat berfungsi untuk menstabilisasi ion tembaga karena
ion tersebut dapat berikatan dengan OH dan membentuk endapan tak larut
pada pH tinggi (basa) (Tiwari, 2015). Reaksi pengendapan susu berdasarkan
kemampuan protein susu untuk mengendap apabila muatannya dinetralkann
dengan asam atau basa menuju titik isoelektrisnya. Proses pengendapan ini
bersifat reversibel karena pengubahan pH menjadi di atas titik isoelektris
dengan menambahkan asam atau basa dapat melarutkan kembali endapan
yang terbentuk (Ramadevi, 2016). Grease spot test merupakan salah satu tes
kualitatif untuk mengidentifikasi lipid. Lipid awalnya diekstraksi dari sampel
menggunakan pelarut organik, seperti etanol, etil eter, petroleum eterm n-
heksana, dan metanol. Kemudian lipid akan dituangkan ke kertas putih untuk
diamati transluminasi yang akan terjadi. Hasil positif menunjukkan adanya
noda transparan pada kertas yang menunjukkan sifat transluminasi dari lipid
(Bharathi, P. & Pennarsi, M., 2016). Yang terakhir, susu juga akan diuji
keasamannya menggunakan kertas lakmus.
Asam askorbat atau biasa disebut dengan vitamin C merupakan sebuah
Kristal putih yang mudah larut dalam air. Namun jika vitamin C dalam
keadaan larut ia akan bersifat tidak stabil apabila dibandingkan dengan
vitamin C dalam keadaan kering. Hal ini dapat terjadi dikarenakan vitamin C
akan mudah rusak apabila bersentuhan dengan udara terutama apabila terkena
dengan panas. Selain itu vitamin c tidak stabil dalam larutan alkali namun
cukup stabil dalam larutan asam. Vitamin C memiliki beberapa peranan yang
penting bagi tubuh seperti dapat membantu sintesis kolagen, berperan sebagai
kekebalan serta mempercepat penyerapan besi dalam tubuh sehingga kadar
hemoglobin dapat meningkat. Selain itu vitamin C juga dapat berperan
sebagain antioksidan nonenzimatik eksogen yang berpartisipasi dalam
pertahanan paru primer terhadap spesies oksigen reaktif (Cresna et al., 2014).
Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk menentukan kadar
dari vitamin C. Penentuan kadar vitamin C dapat dilakukan dengan titrasi
iodimetri yang berdasarkan sifat bahwa vitamin C dapat bereaksi dengan
iodin dengan disertai indikator berupa amilum. Akhir titrasi ditandai dengan
terjadinya warna biru dari iod-amilum. Perhitungan kadar vitamin C dengan
standarisasi larutan iodin yaitu 400 mg asam askorbat yang dilarutkan dalam
100 mL air bebas oksigen dan 25 mL asam sulfat encer yang dititrasi dengan
0,1 N iodium. Selain itu, penentuan kadar vitamin C dapat dilakukan dengan
metode titrasi asam askorbat dengan 2,6- Diklorofenolindofenol. Berikut
merupakan bentuk dari struktur vitamin c (Gironés-Vilaplana et al., 2017).

Gambar 1. Struktur kimia vitamin c (Gironés-Vilaplana et al., 2017)

Buah dan sayuran merupakan sumber vitamin C yang baik, dan kurang
lebih 90% asupan harian vitamin C pada masyarakat umum berasal dari
sumber ini. Kandungan vitamin C bervariasi antar spesies, tetapi buah jeruk,
kiwi, mangga, dan sayuran seperti brokoli, tomat, dan paprika merupakan
sumber kaya vitamin C. Vitamin C terdegradasi saat dipanaskan dan apabila
disimpan, sehingga prosedur pengolahan dan persiapan harus
dipertimbangkan saat memperkirakan asupan makanan vitamin C. Sebanyak
5-9 porsi buah dan sayuran segar atau diproses secara minimal per hari
memberikan kandungan vitamin C sebanyak 200 mg (Lykkesfeldt, 2014).
III. Metode
A. Alat
1. Eksperimental di Rumah
Alat-alat yang digunakan pada praktikum eksperimental di
rumah, di antaranya sendok untuk mengambil sampel maupun reagen,
gelas atau mangkok sebagai wadah titrasi, ATK atau alat tulis untuk
menuliskan hasil titrasi, dan kamera untuk dokumentasi.
2. Eksperimental di Laboratorium
Alat-alat yang digunakan pada praktikum eksperimental di
laboratorium, di antaranya, pipet ukur untuk mengambil larutan
dengan volume tertentu, propipet atau pipet pump untuk memompa
larutan agar dapat diambil menggunakan pipet ukur, buret dan statis
sebagai alat bantu titrasi, timbangan untuk menimbang sampel, corong
untuk membantu menuangkan larutan ke wadah, gelas ukur untuk
mendapatkan larutan dengan volume tertentu, gelas beaker sebagai
wadah larutan, kertas saring untuk menyaring sampel dari larutan,
labu erlenmeyer untuk mereaksikan sampel, mikroskop untuk
mengamati sampel susu, kertas lakmus sebagai indikator keasaman,
plat tetes sebagai wadah mereaksikan sampel, pinset untuk mengambil
kertas lakmus, labu reaksi sebagai wadah untuk melarutkan, tabung
reaksi untuk mereaksikan sampel, serta mortar dan pestle untuk
menghaluskan sampel.

B. Bahan
1. Eksperimental di Rumah
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum eksperimental
di rumah, di antaranya air, tablet vitamin C 500 mg, sari buah atau
sayur, dan betadine.

2. Eksperimental di Laboratorium
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum eksperimental di
laboratorium terdiri atas larutan 2,6-diklorofenolindolfenol, CuSO4
0,5%, CH3COOH 2%, akuades, buah berwarna (stroberi, pepaya,
tomat, semangka, buah naga merah, mangga) dan tidak berwarna
(bengkuang, jeruk nipis, pir, apel, belimbing wuluh, mentimun), susu,
H2SO4 pekat, eter, asam asetat glasial, kloroform, NaOH 40%, alfa
naphtol 4%

C. Cara Kerja
1. Eksperimental di Rumah
Rangkaian langkah kerja yang dilakukan saat praktikum
menentukan kuantitas vitamin C dari bahan makanan di rumah yaitu
mula-mula, disiapkan semua alat dan bahan. Kemudian, tablet vitamin
C 500 mg dilarutkan ke dalam 5 mL air. Setelah itu, 1 mL betadine
dituangkan ke masing-masing dari tiga gelas atau mangkok yang sudah
dilabeli. Larutan vitamin C selanjutnya diteteskan ke dalam gelas
berlabel Vit C, sampel buah/sayur 1 ke dalam gelas berlabel S1, dan
sampel buah/sayur 2 ke dalam gelas berlabel S2. Setiap satu tetes, gelas
atau mangkok digojok. Lalu, jumlah tetesan kontrol atau sampel untuk
dapat menjernihkan betadine dihitung dan dicatat kemudian
didokumentasi.
2. Eksperimental di Laboratorium
A. Pemeriksaan di bawah mikroskop
Langkah kerja yang dilakukan pada pengamatan susu di bawah
mikroskop adalah sebagai berikut. Setetes air susu diteteskan ke kaca
benda atau preparat, kemudian preparat diamati di bawah mikroskop.
Struktur yang ditemukan selanjutnya digambar dan diidentifikasi.
B. Penetapan berat jenis
Langkah kerja untuk uji penetapan berat jenis yaitu pertama-
tama, susu dituangkan ke dalam gelas ukur secukupnya atau sebanyak x
mL. Setelah itu, higrometer atau laktometer dimasukkan ke dalam gelas
ukur hingga posisinya tetap. Kemudian, angka pada skala dibaca dan
dihitung berat jenisnya menggunakan rumus.
C. Reaksi air susu
Langkah kerja untuk reaksi air susu yaitu susu diteteskan ke plat
tetes menggunakan pipet tetes. Kemudian kertas lakmus merah dan biru
ditambahkan pada plat tetes dengan air susu dan dilihat perubahan yang
terjadi terkait dengan pH susu.
D. Pengendapan kasein
Langkah kerja untuk uji pengendapan kasein yaitu mula-mula,
10 mL susu diencerkan dengan 10 mL air pada tabung reaksi.
Kemudian, ditambahkan asam cuka 2% tetes demi tetes hingga
terbentuk endapan. Larutan tersebut kemudian disaring sehingga
menghasilkan endapan dan filtrat.
E. Reaksi biuret
Langkah kerja untuk reaksi biuret adalah sebagai berikut. 3 mL
endapan dari uji sebelumnya yang telah dilarutkan ditambahkan dengan
1 mL NaOH 40% dan 1 tetes CuSO4 0,5% sebagai reagen biuret.
Setelah itu, hasil diamati positif apabila terbentuk warna ungu.
F. Grease spot test
Langkah kerja untuk grease spot test adalah sebagai berikut.
Endapan dari uji sebelumnya yang telah dilarutkan ditambahkan 1 mL
eter. Kemudian, campuran tersebut digojog hingga homogen. Setelah
itu, campuran dipindahkan ke plat tetes dan dibiarkan menguap di
lemari maserasi. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya noda
transparan saat diseka menggunakan kertas.
G. Reaksi Molisch
Langkah kerja untuk reaksi Molish yaitu pertama, 2 mL filtrat
yang diperoleh dari percobaan sebelumnya ditambahkan 2 tetes larutan
alfa naphtol 4%. Kemudian, 2 mL H2SO4 pekat juga ditambahkan
melalui dinding tabung. Hasil positif diamati apabila terbentuk cincin
ungu.
H. Pengukuran kadar vitamin C
Langkah kerja untuk uji pengukuran kadar vitamin C adalah
sebagai berikut. Buah tidak berwarna dan buah berwarna masing-
masing ditimbang sebesar 20 gram. Setelah itu, buah dihancurkan
dengan mortar dan ditambahkan 15 mL akuades. Campuran tersebut
selanjurnya disaring dan dipindahkan ke dalam labu ukur. Penyaringan
diulangi sebanyak 4-5 kali. Lalu, ditambahkan akuades pada labu ukur
hingga volume menunjukkan 100 mL. Untuk buah tidak berwarna, 5
mL campuran diambil dan dipindahkan ke labu erlenmeyer kemudian
ditambahkan 1 mL asam asetat glasial. Terakhir, larutan tersebut
dititrasi dengan 2,6-dikloroindolfenol sampai terbentuk warna merah
muda. Untuk buah berwarna, langkah yang sama dilakukan tetapi
dengan penambahan 1 mL kloroform sebelum dititrasi.

D. Bagan Alir
1. Eksperimental di Rumah

Tablet vitamin C 500 mg


Disiapkan semua alat dan dilarutkan ke dalam 5 mL
bahan air

diteteskan ke dalam gelas


1 mL betadine berlabel Vit C, sampel
ditambahkan ke dalam buah/sayur 1 ke dalam
tiga wadah yang berbeda gelas berlabel S1, dan
yang telah dilabeli sampel buah/sayur 2 ke
dalam gelas

Jumlah tetesan kontrol atau


Setiap satu tetes, gelas atau sampel untuk dapat
mangkok digojok menjernihkan betadine
dihitung dan dicatat kemudian
didokumentasi

2. Eksperimental di Laboratorium
A) Pemeriksaan di bawah mikroskop

Setetes air susu diteteskan


ke kaca benda atau
preparat, kemudian Struktur yang
preparat diamati di bawah ditemukan selanjutnya
mikroskop digambar dan
diidentifikasi

B) Penetapan berat jenis

Susu dituangkan ke dalam Higrometer atau


gelas ukur secukupnya atau laktometer dimasukkan ke
sebanyak x mL dalam gelas ukur hingga
posisinya tetap

Angka pada skala


dibaca dan dihitung
berat jenisnya
menggunakan rumus
C) Reaksi air susu

Kertas lakmus merah dan


Susu diteteskan ke plat tetes biru ditambahkan pada plat
menggunakan pipet tetes tetes dengan air susu dan
dilihat perubahan yang
terjadi terkait dengan pH
susu

D) Pengendapan kasein

Ditambahkan asam cuka Larutan tersebut


10 mL susu diencerkan 2% tetes demi tetes hingga kemudian disaring
dengan 10 mL air pada terbentuk endapan sehingga menghasilkan
tabung reaksi
endapan dan filtrat

E) Reaksi Biuret
3 mL endapan kasein dari uji
sebelumnya yang telah
dilarutkan ditambahkan Hasil diamati positif
dengan 1
mL NaOH 40% dan 1 tetes
apabila terbentuk
CuSO4 0,5% sebagai warna ungu
reagen biuret

F) Grease spot test

Endapan dari uji sebelumnya yang telah dilarutkan


ditambahkan 1Campuran
mL eter tersebut digojog
hingga homogen

Campuran dipindahkan ke Hasil positif ditunjukkan


plat tetes dan dibiarkan dengan adanya noda
menguap di lemari maserasi transparan saat diseka
menggunakan kertas

G) Reaksi Molisch

2 mL filtrat yang diperoleh


dari percobaan sebelumnya
ditambahkan 2 tetes 2 mL H2SO4 pekat juga Hasil positif diamati
larutan alfa naphtol 4% ditambahkan melalui apabila terbentuk cincin
dinding tabung ungu
H) Pengukuran kadar vitamin C

Campuran tersebut
Buah tidak berwarna selanjurnya disaring
dan buah berwarna Buah dihancurkan dan dipindahkan ke
masing-masing dengan mortar dan dalam labu ukur.
ditimbang sebesar 20 ditambahkan 15 mL Penyaringan diulangi
gram akuades sebanyak 4-5 kali

Ditambahkan akuades pada labu ukur hingga volume menunjukkan 100 mL


Ditambahkan 1 mL asam
5 mL larutan buah berwarna asetat glasial dan 1 mL
diambil dan dipindahkan ke kloroform, kemudian dititrasi
labu erlenmeyer dengan 2,6-
diklorofenolindolfenol

Perlakuan yang sama


dilakukan dengan buah
tidak berwarna hanya saja
tidak ditambahkan 1 mL
kloroform

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
Berdasarkan praktikum eksperimental di rumah yang telah dilakukan, diperoleh
hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Eksperimental di Rumah
No. Sampel Warna Warna Jumlah
Uji Awal Akhir Tetesan
1. Vitamin C Coklat Kuning 3 tetes
Bening

2. Cabai Merah Coklat Merah 284 tetes


3. Jambu Biji Coklat Putih 134 tetes
keruh

300

250
Jumlah tetesan (tetes)

200

150 284

100
134
50

0 3
Vitamin C Cabai Merah Jambu Biji
Sampel

Gambar 2. Hasil Eksperimental di Rumah


Berdasarkan praktikum eksperimental laboratorium yang telah dilakukan,
diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil Percobaan Uji Susu
No Nama Uji Sampel Hasil Gambar Keterangan
(+/-)
1 Pemeriksaan di Air susu + 1. Lemak
bawah 2. Cluster
mikroskop 3. Clump
4. Plasma

2 Penetapan Air susu + Angka pada


beratjenis hidrometer:
1,029 g/cm3

3 Reaksi air susu Air susu + Kertas lakmus


merah tidak
berubah
warna
Kertas lakmus
biru berubah
menjadi
merah
keunguan
4 Pengendapa Air susu + Terbentuk
n airsusu endapan

5 Reaksi Endapan + Warna larutan


warna air susu ungu
protein yang
dilarutka
n

6 Grease Endapan + Terdapat


Spot Test air susu noda
transparan
pada kertas
buram
7 Uji Karbohidrat Filtrat - Tidak
susu terbentuk
cincin ungu

Tabel 3. Hasil Percobaan Kadar Vitamin C pada Buah


No Buah Berwarna Kadar Vitamin C (mg Vit. C/100 gr buah)

1 Strawberry 10,05

2 Pepaya 35,66

3 Tomat 9,01

4 Semangka 4,87

5 Buah Naga Merah 8,09

6 Mangga 2,80

No Buah Tidak Berwarna Kadar Vitamin C (mg Vit. C/100 gr buah)

1 Bengkuang 0,78

2 Jeruk Nipis 9,56

3 Pear 0,20

4 Apel 0,65

5 Belimbing Wuluh 4,21

6 Mentimun 1,09

Buah berwarna
Vitamin C Kadar

40

35

30
gr buah)
(mg Vit. C/100Kadar

25

20
35.66
15

10

5 10.05 9.01 8.09


4.87 2.8
0
Stroberi Pepaya TomatSemangka Buah Naga Mangga
Merah

Gambar 3. Kadar Vitamin C pada Buah Berwarna


Buah Tidak Berwarna
Vitamin C Kadar 12

10
gr buah)

8
(mg Vit. C/100Kadar

9.56
4

2 4.21
1.09
0 0.78 0.2 0.65
Bengkuang Jeruk Nipis Pir Apel Belimbing Mentimun
Wuluh

Gambar 4. Kadar Vitamin C pada Buah Tidak Berwarna

B. Pembahasan
Pada percobaan kali ini dilakukan di dua tempat, yaitu percobaan di
rumah dan percobaan di labratorium. Percobaan di rumah menggunakan alat
yang lebih sederhana dan mudah di dapat dari pada percobaan yang dilakukan
di laboratorium. Uji yang dilakukan pada praktikum di rumah merupakan uji
untuk menentukan kadar vitamin C menggunakan metode titrasi dengan
iodin, sedangkan uji yang dilakukan pada praktikum di laboratorium dapat
dibagi menjadi uji yang dilakukan pada susu dan uji untuk menentukan kadar
vitamin C menggunakan titrasi dengan 2,6-diklorofenolindolfenol. Uji yang
dilakukan pada susu meliputi pengamatan di bawah mikroskop, penetapan
berat jenis, reaksi air susu, pengendapan kasein, reaksi biuret, grease spot test,
dan reaksi Molisch.
Uji yang dilakukan di rumah, yaitu uji penentuan kadar vitamin C
memiliki tujuan untuk mengetahui dan membandingkan kandungan vitamin C
dari beberapa sampel sayur atau buah dengan tablet komersial vitamin C 500
mg. Dasar reaksi dari uji tersebut adalah titrasi yang memanfaatkan proses
redoks yang terjadi antara iodin dan vitamin C atau asam askorbat.
Mekanisme reaksinya adalah vitamin C yang bersifat sangat pereduksi akan
mendonorkan elektronnya berupa ion hidrogen kepada iodin hingga iodin dari
betadine yang digunakan, yaitu sebanyak 1 mL, habis bereaksi dengan
vitamin C sehingga menghasilkan warna yang jernih. Persamaan reaksinya
adalah:

Gambar 4. Reaksi redoks titrasi iodin (Sharaa & Mussa 2019)


Dapat disimpulkan bahwa betadine digunakan sebagai sumber iodin.
Hasil yang didapatkan dari tiga sampel, yakni satu sampel kontrol; tablet
vitamin C 500 mg yang sudah dilarutkan dan dua sampel buah yaitu cabai
merah dan jambu biji. Terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah tetes
yang diperlukan untuk menjernihkan betadine antara sampel kontrol dan
sampel buah. Pada vitamin C, diperlukan 3 tetes, sedangkan untuk sampel
cabai merah 284 tetes dan jambu biji 134 tetes. Terdapat perbedaan hasil
antara buah berwarna dan tidak berwarna, hal ini disebabkan oleh adanya
pigmen pada buah berwarna menyebabkan vitamin C terlindungi, sehingga
tidak mudah teroksidasi dan menyebabkan kandungan vitamin C-nya menjadi
lebih tinggi. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi misalnya
lingkungan tempat tumbuhnya, pemakaian pupuk, serta tingkat
kematangan pada buah. Jika dibandingkan dengan buah yang mentah, kadar
vitamin c pada buah yang matang lebih rendah dari buah mentah. Hal ini
dikarenakan semakin tinggi kematangan buah maka kadar air, total padatan
terlarut, serta warna dan tekstur buah akan meningkat. Namun hal ini
menyebabkan kandungan vitamin C-nya menurun (Risnayanti et al. 2015).
Selanjutnya adalah percobaan yang dilakukan di laboratorium, yang
pertama adalah pengamatan air susu di bawah mikroskop. Tujuan dari
percobaan ini adalah untuk melihat komponen pada susu menggunakan
mikroskop. Prinsip yang mendasari uji ini yaitu susu adalah suatu sistem
koloid yang mengandung beberapa makromolekul seperti lemak dan protein
yang dapat dilihat melalui mikroskop dan membentuk struktur yang khas. Air
susu merupakan koloid yaitu sebuah bentuk campuran antara dua zat atau
lebih yang bersifat homogen namun memiliki ukuran partikel terdispersi
cukup besar. Pada susu sendiri ditemukan adanya komponen padat yang
berupa lemak dan protein, erta komponen cair yang berupa karbohidrat, air,
serta sedikit protein. Berdasarkan hasil, ditemukan terdapat bulatan lemak
(room) yang kemudian dibagi menjadi dua yaitu cluster dan clump. Cluster
sendiri merupakan lemak berukuran besar sedangkan clump merupakan
lemak berukuran kecil. Ruang diantara room merupakan komponen cair atau
biasa disebut dengan plasma.
Berikutnya, dilakukan pengukuran terhadap berat jenis susu
menggunakan laktometer. Tujuan dari uji ini adalah untuk menetapkan berat
jenis dari susu sampel dan membandingkannya dengan kisaran berat jenis
susu normal. Prinsip dari uji ini yaitu mengukur rasio densitas susu terhadap
air pada suhu tertentu menggunakan alat bantu hidrometer khusus untuk susu
yakni laktometer. Laktometer mula-mula dicelupkan dalam sampel susu dan
dibiarkan agar mengapung. Setelah mencapai ekuilibrium, yaitu saat
laktometer tidak bergerak, angka yang terlihat pada bagian dasar meniskus
laktometer dibaca dan dimasukkan ke dalam rumus berat jenis; 1+ (0,0013 x
skala laktometer dalam mm) sehingga didapatkan hasil sebesar 1,029 g/cm3.
Angka ini termasuk kisaran normal yang tertera pada dasar teori yaitu 1,027-
1,035 g per mL tetapi lebih kecil daripada rata-ratanya, 1,032. Hal ini
menandakan secara keseluruhan, komposisi susu sampel adalah normal tetapi
mungkin memiliki kadar air yang sedikit lebih tinggi karena nilai berat jenis
susu yang lebih tinggi dari kisaran normal menunjukkan telah dilakukannya
skimming atau penghilangan lemak, sedangkan nilai berat jenis susu yang
lebih rendah dari nilai normal menunjukkan penambahan air.
Uji selanjutnya yang dilakukan pada praktikum ini adalah reaksi air
susu. Tujuan dari uji ini adalah menentukan tingkat keasaman susu. Prinsip
yang digunakan pada reaksi air susu ini adalah pengukuran secara kualitatif
keasaman susu menggunakan kertas lakmus. Hasil yang didapat adalah kertas
lakmus merah tidak berubah warna, sedangkan kertas lakmus biru berubah
menjadi merah keunguan. Hal ini sudah sesuai dengan teori karena susu
memiliki pH sedikit asam, yaitu sekitar 6,6-6,8.
Reaksi selanjutnya yang akan diujikan adalah pengendapan protein susu
atau kasein. Tujuan dari uji ini adalah membuktikan adanya protein susu
kasein dalam susu sampel dan menguji sifat protein yang dapat diendapkan.
Berdasarkan praktikum sebelumnya, telah diketahui bahwa kasein dapat
diendapkan dengan cara dinetralkan muatannya atau dibawa ke titik
isoelektris melalui pergeseran pH. Apabila suatu asam amino penyusun
protein memiliki muatan total nol, maka asam amino tersebut akan cenderung
bereaksi dengan asam amino yang lain sehingga tidak kuat menolak satu
sama lainnya dan protein paling sedikit larut. Asam asetat 2% berperan dalam
menggeser pH kasein tersebut ke titik isolektrisnya yaitu 4,6 hingga terbentuk
endapan. Hasil yang diperoleh juga positif artinya telah terbentuk endapan
dan sesuai dengan teori.
Uji berikutnya yang dilakukan pada praktikum di laboratorium
merupakan uji atau reaksi biuret. Reaksi ini bertujuan untuk menunjukkan
adanya ikatan peptida pada sampel. Dasar reaksinya adalah pembentukan
kompleks senyawa antara Cu2+ dengan atom N dari ikatan peptida.
Mekanisme reaksinya meliputi perenggangan ikatan peptida oleh NaOH
sehingga ion Cu2+dari reagen Biuret dapat berikatan dengan atom N pada
ikatan peptida untuk membentuk kompleks dengan kisaran warna merah
muda hingga ungu, tergentung dari banyaknya ikatan peptida. Sedangkan
apabila tidak memiliki ikatan peptida seperti asam amino, ion Cu2+ akan
bereaksi dengan NH2 dan COOH untuk membentuk kompleks berwarna biru.
Hasil yang didapatkan adalah positif yaitu terbentuk larutan berwarna ungu
sehingga sesuai dengan teori.

Gambar 5. Kompleks Tembaga-Peptida pada Uji Biuret (Tiwari, 2015)

Uji selanjutnya adalah grease spot test yang bertujuan untuk menentukan
keberadaan lipid dalam susu sampel. Dasar reaksi dari uji grease spot test di
laboratorium adalah ekstraksi lipid dengan pelarut organik. Mekanisme kerja
dari reaksi ini adalah berdasarkan asas “like dissolve like” yang mengatakan
bahwa senyawa polar hanya akan larut dalam senyawa polar, begitu pula
senyawa nonpolar akan larut dalam senyawa nonpolar. Namun, senyawa
polar tidak akan larut dalam senyawa nonpolar juga sebaliknya. Maka dari
itu, lipid yang bersifat nonpolar akan larut dalam pelarut eter yang bersifat
nonpolar juga. Setelah dilarutkan, larutan kemudian dimaserasi hingga yang
tersisa hanya lipid. Hal itu disebabkan karena ether yang digunakan sebagai
pelarut merupakan zat volatil (mudah menguap), sedangkan lemak non
volatil. Pernyataan tersebut kemudian didukung dengan
hasil positif dari reaksi ini yaitu noda transparan pada kertas setelah
diseka. Eter digunakan sebagai pelarut anorganik yang dapat melarutkan lipid
serta mengekstraksi lipid tersebut dari sampel. Sebelum dituangkan ke plat
tetes, campuran lipid dan eter digojok agar membuat larutan menjadi
homogen. Proses maserasi yang dilakukan digunakan untuk menguapkan eter
sehingga membuktikan sifat volatilitas kedua bahan, dengan eter yang lebih
mudah menguap daripada lipid.
Uji terakhir yang dilakukan terhadap susu adalah reaksi Molisch.
Tujuan dari dilakukannya uji Molisch adalah untuk membuktikan keberadaan
karbohidrat secara umum (bisa berupa monosakarida (kecuali triosa dan
tetrosa), disakarida, maupun polisakarida) dari suatu sampel uji. Dasar reaksi
yang digunakan pada uji ini adalah proses kondensasi dan dehidrasi.
Prinsipnya adalah gula berupa monosakarida awalnya akan didehidrasi oleh
asam kuat atau H2SO4 pekat menjadi furfural untuk pentosa atau
hidroksimetilfurfural untuk heksosa. Apabila sampel mengandung disakarida
dan polisakarida, akan terjadi reaksi hidrolisis terlebih dahulu oleh asam
pekat (H2SO4) menjadi monosakarida yang akhirnya dapat didehidrasi
menjadi furfural ataupun hidroksimetilfurfural. Selanjutnya, furfural akan
dikondensasi atau mengalami reaksi adisi dengan alfa naphtol membentuk
kompleks berwarna ungu. Dapat disimpuulkan bahwa asam sulfat digunakan
sebagai agen hidrolisis dan agen dehidrasi. Agen hidrolisis karena
memberikan reaksi hidrolisis atau pemutusan ikatan glikosidik pada
karbohidrat karena sifatnya asam menjadi komponen yang lebih sederhana,
misalnya dari polisakarida menjadi monosakarida. Agen dehidrasi karena
memberikan reaksi dehidrasi kepada karbohidrat atau monosakarida yaitu
reaksi pengeluaran air (H2O) agar menjadi furfural atau hidroksimetilfurfural.
Alfa naphtol merupakan agen kondensasi karena berperan dalam mengadisi
furfural hasil dehidrasi menjadi kompleks yang berwarna ungu. Pada
praktikum uji Molisch ini, perlu dicatat bahwa pada saat menambahkan asam
sulfat pekat pada reagen, harus melalui dinding tabung reaksi. Hal ini
dilakukan untuk menghindari terjadinya reaksi spontan yang dapat berakibat
bereaksinya reagen dengan asam yang terlalu cepat sehingga membakar
karbohidrat yang diuji. Hasil yang didapat dari uji ini adalah negatif yaitu
tidak terbentuk cincin ungu. Hal ini tidak sesuai dengan teori karena susu
seharusnya mengandung laktosa, yaitu disakarida dari glukosa dan galaktosa
yang dapat bereaksi dengan reagen Molisch. Kesalahan ini dapat disebabkan
oleh ketidakcermatan praktikan dalam menuangkan asam sulfat pekat
sehingga terjadi reaksi spontan dan menghasilkan cincin hitam karena proses
pembakaran atau bisa juga karena terjadi kontaminasi.

Gambar 6. Reaksi Molisch (Tiwari, 2015)


Uji yang dilakukan berikutnya adalah pengukuran kadar vitamin C
dalam buah berwarna dan tidak berwarna. Tujuan dari uji ini yaitu
menentukan kadar vitamin C dan membandingkannya antara buah berwarna
dan tidak berwarna. Prinsip dari uji ini yaitu titrasi redoks menggunakan 2,6-
diklorofenolindolfenol. Mekanisme reaksinya seperti yang dijelaskan
sebelumnya pada dasar teori; 2,6-diklorofenolindolfenol akan direduksi oleh
asam askorbat hingga konsentrasinya habis bereaksi dan menunjukkan warna
jernih. Namun, pada uji ini digunakan juga asam asetat glasial yang berfungsi
memberikan suasana asam sehingga warna di titik akhir titrasi menjadi merah
muda dan juga menjaga agar vitamin C tidak rusak. Persamaan reaksinya
adalah sebagai berikut.

Gambar 7. Reaksi redoks titrasi 2,6-diklorofenolindolfenol (Nerdy, 2018)

Sebelum titrasi dilakukan, terdapat beberapa perlakuan yang perlu


ditekankan. Buah sebelum dihaluskan baiknya dikupas karena vitamin C
terdapat pada daging buah yang kemudian dipotong-potong untuk
mempermudah penghancuran. Penimbangan dilakukan agar hasil yang
didapat representatif untuk kadar vitamin C yang akan diukur. Kemudian
buah yang digunakan adalah berwarna dan tidak berwarna. Hal ini dilakukan
untuk membandingkan kadar vitamin C antara keduanya apabila dikaitkan
dengan perbedaan kadar pigmen yang dimiliki. Penghancuran buah
menggunakan mortar dan pestle, bukannya blender, karena besi dan panas
berpotensi mengoksidasi vitamin C dan memberi hasil yang bias.
Penyaringan buah dilakukan hingga lima kali agar ekstraksi maksimal.
Akuades selanjutnya ditambahkan sebagai pelarut. Penggojokan dilakukan
agar larutan tersebut homogen. Selain itu, pada uji ini digunakan juga larutan
blanko dan larutan standar. Larutan blanko berupa akuades dengan volume
yang sama (5 mL) dan larutan standar berupa larutan vitamin C dari proses
pelarutan tablet vitamin C murni. Larutan blanko digunakan sebagai kontrol
warna saat titrasi dan sebagai faktor koreksi, sedangkan larutan standar
digunakan sebagai pembanding untuk mengetahui kadar vitamin C pada
buah. Digunakan juga kloroform untuk buah berwarna yang berfungsi
mengikat pigmen buah dengan sifat nonpolarnya.
Hasil yang didapatkan dari 12 jenis buah, dengan 6 buah berwarna
dan 6 buah tidak berwarna disajikan dalam bentuk tabel dan histogram di
atas. Rata-rata dari kadar vitamin C pada buah berwarna adalah sekitar 11,75,
sedangkan rata-rata kadar vitamin C pada buah berwarna adalah 2,75. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan dari kadar
vitamin C pada buah berwarna yang cenderung lebih tinggi dibandingkan
kadar vitamin C pada buah tidak berwarna. Hasil yang ditemukan ini tidak
sesuai dengan teori karena sebelumnya dipaparkan bahwa asam askorbat
merupakan bleaching agent bagi antosianin yang bekerja dengan cara
berkondensasi di karbon-4 antosianin dan menginhibisi ekspresi warnanya.
Dapat disimpulkan dari pernyataan tersebut bahwa seharusnya buah yang
memiliki antosianin dan masih dapat mengekspresikan warna dengan baik
pasti memiliki kadar asam askorbat rendah, dan sebaliknya. Ketidaksesuaian
ini kemungkinan besar terjadi karena metode yang tidak benar dalam
membandingkan kadar vitamin C buah dari spesies yang berbeda. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, spesies atau varietas dapat mempengaruhi
kadar vitamin C pada buah, sehingga buah berbeda yang hidup di lingkungan
yang berbeda pastinya juga memiliki kandungan vitamin C yang berbeda
juga. Kebetulan pada uji ini, buah berwarna yang digunakan adalah buah
yang relatif kaya akan vitamin C dibandingkan buah tidak berwarna.

V. KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa susu merupakan sistem koloid yang memiliki komponen penyusun
antara lain room, clump, cluster, kasein, dan plasma serta mengandung
banyak jenis biomolekul berupa protein, karbohidrat, dan lemak. Vitamin C
adalah vitamin yang memiliki struktur enediol dan bersifat sangat pereduksi
sehingga seringkali berfungsi sebagai agen antioksidan dan kofaktor enzim
dalam proses biokimia. Kadar vitamin C dapat dihitung menggunakan titrasi
redoks sederhana dengan iodin maupun 2,6-diklorofenolindolfenol.
Didapatkan kadar vitamin C buah berwarna dari terendah ke tertinggi adalah
buah mangga, semangka, naga merah, tomat, strawberry, pepaya, dan untuk
buah tidak berwarna dari rendah ke tertinggi yaitu pear, apel, bengkuang,
mentimun, belimbing wuluh, jeruk nipis
VI. Daftar Pustaka
Bharati, P. & Pennarsi, M. (2016). Production of Lipids from Municipal
Sewage Sludge by Two Stage Extraction Process. Asean Journal of
Chemical Engineering, 16(1): 38-44.
Cresna, C., Napitupulu, M. and Ratman, R., 2014. Analisis Vitamin C Pada
Buah Pepaya, Sirsak, Srikaya dan Langsat yang Tumbuh Di Kabupaten
Donggala. Jurnal Akademika Kimia, 3(3), pp.121-128.
Dalgleish, D. G. & Corredig, M. (2012). The Structure of the Casein Micelle
of Milk and Its Changes During Processing. Annual Review of Food
Science and Technology, 3(1): 449–467.
Gironés-Vilaplana, A., Villaño, D., Marhuenda, J., Moreno, D. A., & García-
Viguera, C. 2017. Nutraceutical and Functional Food Components, Pp. 159-
160
Lykkesfeldt, J., Michels, A. J., Frei, B. (2014). Vitamin C. Advances in
nutrition (Bethesda, Md.), 5(1): 16–18.
Nerdy, N. (2018). Determination of Vitamin C in Various Colours of Bell
Pepper (Capsicum annuum L.) by Titration Method. ALCHEMY Jurnal
Penelitian Kimia, 14(1): 164-177.
Pereira, P. C. (2014). Milk nutritional composition and its role in human
health. Nutrition, 30(6): 619–627.
Ramadevi, K. (2016) Ambika Shanmugam’s Fundamentals of Biochemistry for
Medical Students. New Delhi: Wolters Kluwer.
Risnayanti, R., Sabang, S.M. and Ratman, R., Analisis Perbedaan Kadar
Vitamin C Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus) Dan Buah Naga
Putih (Hylocereus undatus) Yang Tumbuh Di Desa Kolono Kabupaten
Morowali Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Akademika Kimia, 4(2), pp.91-
96
Romero-Velarde, E., Delgado-Franco, D., García-Gutiérrez, M., Gurrola-
Díaz, C., Larrosa-Haro, A., Montijo-Barrios, E., Muskiet, F., Vargas-
Guerrero, B., Geurts, J. (2019). The Importance of Lactose in the Human
Diet: Outcomes of a Mexican Consensus Meeting. Nutrients, 11(11): 2737.
Sharaa, E. I. & Mussa, S. (2019). Determination of Vitamin C (Ascorbic Acid)
Contents in Vegetable Samples by UV-Spectrophotometry and Redox
Titration Methods and Estimation the Effect of Time, Cooking and
Frozen on Ascorbic Acid Contents. International Journal of Progressive
Sciences and Technologies, 15(2): 281-293.
Tiwari, A. (2015). Practical Biochemistry: A Student Companion.
Saarbrücken: Lambert Academic Publishing. and parity. Nigerian Journal
of Animal Production, 39(2)
VII. LAMPIRAN

- Bharati, P. & Pennarsi, M.


- Cresna, C., Napitupulu, M. and Ratman, R

- Dalgleish, D. G. & Corredig, M.


- Lykkesfeldt, J., Michels, A. J., Frei, B.
- Nerdy, N.
- Pereira, P. C.
- Ramadevi, K.
- Risnayanti, R., Sabang, S.M. and Ratman, R.
- Romero-Velarde, E., Delgado-Franco, D., García-Gutiérrez, M., Gurrola-Díaz, C.,
Larrosa-Haro, A., Montijo-Barrios, E., Muskiet, F., Vargas-Guerrero, B., Geurts,
J.
- Sharaa, E. I. & Mussa, S.
- Tiwari, A.

Anda mungkin juga menyukai