Dalam KUHP yang lama, tidak ada penjelasan terkait Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Dalam kitab tersebut menyatakan bahwa penafsiran terhadap ketentuan yang
telah dinyatakan dengan tegas, tidaklah boleh menyimpang dari maksud
pembentuk undang- undang.
Rumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP berkaitan dengan asas lex
temporis delicti yaitu undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang
ada pada saat delik terjadi. Asas ini juga disebut asas non retroaktif yang artinya
ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut.
Asas Legalitas
2. KUHP Baru
Berbeda dari KUHP yang lama, dalam UU 1/2023 atau KUHP baru mengatur mengenai
ketentuan hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa di
beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis,
yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut.
b. Pengecualian Asas Non Retroaktif
ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU 1/2023 memungkinkan pemberlakuan hukum pidana secara surut (retroaktif)
sepanjang peraturan tersebut menguntungkan pelaku. Adapun bunyi Pasal tersebut adalah:
“dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan
peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama
menguntungkan bagi pelaku dan pembantu tindak pidana”.
Dalam Pasal 3 UU 1/2023 menetapkan bahwa hukum pidana dapat berlaku surut apabila :
1) Ada perubahan peraturan perundang-undangan setelah perbuatan terjadi dan perubahan tersebut
menguntungkan pelaku tindak pidana;
2) Perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan
yang baru;
3) Jika setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan diancam dengan pidana
yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, pelaksanaan putusan
disesuaikan dengan batas pidana menurut peraturan peruundang-undangan yang baru.
Perbandingan Struktur Buku Kesatu KUHP
Lama dengan KUHP Baru
No K U H P Lama (WvS) UU 1/23 ttg KUHP
Ketentuan mengenai Pidana diatur dalam Bab II, tetapi tidak Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan diatur dalam
1 mengatur secara khusus mengenai Tindakan Buku kesatu Bab III
Ketentuan mengenai Penghapusan Pidana diatur dalam Beberapa ketentuan mengenai Penghapusan Pidana diatur
2 Bab III (Hal-Hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau secara terpisah dalam Bab II (cont: mengalami gangguan
Memberatkan Pidana) jiwa, overmacht, dll) dan Bab III (Anak)
Percobaan, Penyertaan, dan Tindak Pidana Aduan diatur Percobaan, Penyertaan, dan Tindak Pidana Aduan
3 dalam Bab tersendiri (Bab IV, Bab V, dan Bab VII) diatur dalam Bab yang sama (Bab II)
6 Aturan Penutup tidak diatur dalam Bab tersendiri Aturan Penutup diatur dalam Bab VI
Perbandingan Struktur Buku Kedua & Buku
Ketiga KUHP Lama dengan Buku Kedua
KUHP Baru
No KUHP Lama (WvS) UU 1/23 ttg KUHP
1 Bab IV mengatur mengenai Kejahatan terhadap Melakukan Kewajiban Bab IV mengatur mengenai Tindak Pidana terhadap Penyelenggaraan Rapat
dan Hak Kenegaraan
Lembaga Legislatif dan Badan Pemerintah (tidak mengatur mengenai TP
2 KUHP tidak mengatur mengenai Tindak Pidana terhadap RUU KUHP mengatur Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan dalam
Proses Peradilan dalam Bab tersendiri Bab VI
3 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama diatur dalam Bab
diatur dalam Bab V Kejahatan terhadap Ketertiban Umum (Pasal 156a tersendiri (Bab VII)
KUHP)
4 Tindak Pidana Perkosaan merupakan bagian dari Bab XIV Kejahatan Tindak Pidana Perkosaan dimasukan ke dalam Bab XXII Tindak Pidana Terhadap
terhadap Kesusilaan Tubuh
Bab XVIII Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang tidak mengatur Bab XIX Tindak Pidana Terhadap Kemerdekaan Orang mengadopsi
mengenai Perdagangan Orang. Dalam KUHP hanya ada Perdagangan Tindak Pidana Perdagangan Orang dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
6
wanita dan perdagangan anak laki-laki di bawah umur yang diatur tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
dalam Bab XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 297 KUHP)
KUHP tidak mengatur mengenai Penyelundupan Manusia RUU KUHP mengatur mengenai Penyelundupan Manusia dalam Bab XX
7
KUHP
KUHP WvS
Nasional
• Tidak diatur secara ekspisit dalam KUHP • Diatur dalam Pasal 10 KUHP Nasional,
WvS. dimana waktu tindak pidana merupakan
• Umumnya para sarjana hukum saat dilakukan perbuatan yang dapat
menggunakan doktrin dalam menentukan dipidana, yaitu:
waktu tindak pidana. a.Saat perbuatan fisik dilakukan;
b.Saat bekerjanya alat atau bahan
untuk menyempurnakan tindak pidana;
atau
c.Saat timbulnya akibat tindak pidana.
12
Tempat Tindak Pidana
13
Pemufakatan Jahat
14
Persiapan Melakukan Tindak Pidana
KUHP WvS KUHP Nasional
•Tidak diatur dalam KUHP WvS •Diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 16 KUHP
Nasional.
•Persiapan melakukan tindak pidana terjadi jika
pelaku berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan
sarana berupa alat, mengumpulkan informasi atau
menyusun perencanaan tindakan, atau melakukan
tindakan serupa yang dimaksudkan untuk
menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu
perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi
penyelesaian tindak pidana.
•Persiapan melakukan tindak pidana dapat dipidana
apabila ditentukan secara tegas dengan undang-
undang.
•Persiapan melakukan tindak pidana tidak dipidana
apabila pelaku menghentikan atau mencegah
kemungkinan terciptanya kondisi sebagaimana disebut
di atas.
15
Percobaan
16
Percobaan
17
Alasan Pembenar
KUHP WvS KUHP Nasional
•Alasan pembenar berkaitan dengan hilangnya sifat •Ketentuan mengenai alasan pembenar diatur dalam
melawan hukum suatu tindak pidana. Sederhananya, Pasal 31 sampai Pasal 35 KUHP Nasional. Adapun hal
alasan pembenar adalah tindak pidana yang dilakukan yang mendasari alasan pembenar meliputi:
oleh seseorang dibenarkan (unsur objektif). Dalam a.Untuk melaksanakan ketentuan peraturan
KUHP WvS, alasan pembenar meliputi: perundang-undangan;
a.Perbuatan yang dilakukan dalam ‘keadaan darurat’ b.Untuk melaksanakan perintah jabatan dari pejabat
(Pasal 48 KUHP WvS) yang berwenang;
b.Perbuatan yang dilakukan karena pembelaan c.Perbuatan tersebut dilakukan karena keadaan
terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP WvS) darurat;
c.Perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang- d.Perbuatan tersebut dilakukan karena pembelaan
undangan (Pasal 50 KUHP WvS) terhadap serangan atau ancaman seketika yang
d.Perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain,
sah (Pasal 51 KUHP WvS). kehormatan dalam arti kesusilaan, atau harta benda
•Contoh: Algojo (regu tembak) melakukan eksekusi sendiri atau orang lain.
terpidana mati, seseorang yang memukul perampok
yang hendak merampok orang lain dalam rangka
pembelaan terpaksa
18
Alasan Pemaaf
KUHP WvS KUHP Nasional
•Diatur dalam Pasal 44, 45, 46, 47, 49 ayat (2), 51 ayat •Alasan pemaaf diatur dalam Pasal 40 sampai Pasal 44
(2) KUHP WvS. KUHP Nasional. Adapun yang mendasari alasan pemaaf
sebagai berikut:
a.Anak yang waktu melakukan tindak pidana belum
berumur 12 tahun, dengan ketentuan dalam Pasal 40 dan
Pasal 41 KUHP Nasional;
b.Dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan
(paksaan mutlak);
c.Dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan
yang tidak dapat dihindari (paksaan relatif);
d.Pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang
langsung disebabkan keguncangan jiwa yang hebat
karena serangan atau ancaman serangan seketika yang
melawan hukum;
e.Jika orang yang diperintahkan dengan itikad baik
mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan
wewenang dan pelaksanaannya, termasuk dalam lingkup
pekerjaannya.
19
Tindak Pidana
1. Tidak ada lagi kategori “kejahatan” dan “pelanggaran”
• Konsep kejahatan sebagai rechtsdelict dan
pelanggaran sebagai wetsdelict tidak diterapkan
secara konsisten
• Ada perbuatan yang sama diatur dalam Bab
Kejahatan dan Bab Pelanggaran
• Berakibat pada penggabungan beberapa bab dalam
KUHP baru yang dulunya terpisah dalam KUHP
lama (mis: Bab TP thd Ketertiban Umum
merupakan gabungan dari Bab V Buku Kedua &
Bab II Buku Ketiga WvS)
2. Perumusan Alasan Pembenar
3. Perumusan Permufakatan Jahat & Persiapan
4. Perubahan rumusan Percobaan, Penyertaan, &
Pengulangan
Pemberatan Pidana
21
Pertanggungjawaban Pidana
Perumusan Tindak Pidana tidak lagi secara tegas
mencantumkan unsur ‘dengan sengaja’
Setiap tindak pidana dianggap dilakukan
dengan sengaja, kecuali ditentukan bahwa ada
‘kelalaian’/culpa. Sehingga, unsur kelalaian/culpa
dicantumkan
Terdapat ketentuan tentang kurang mampu
bertanggungjawab, selain tidak mampu
bertanggungjawab (Pasal 38-39)
Memasukan Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana
Kapan korporasi dianggap bertanggungjawab
Siapa yang dapat dikenakan pidana
Jenis pidana dan tindakan untuk korporasi
Pertanggungjawaban Pidana
Tujuan Pemidanaan
Pedoman Pemidanaan:
Kewajiban Hakim;
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan Hakim; dan
Pemaafan Peradilan (Judicial Pardon).
Alasan Pemberat Pidana
Pedoman untuk tidak menjatuhkan Pidana Penjara
Pidana & Tindakan: Double-track System
Orang Dewasa;
Anak-anak; dan
Korporasi.
Pertanggungjawaban Pidana
Perumusan Tindak Pidana tidak lagi secara tegas
mencantumkan unsur ‘dengan sengaja’
Setiap tindak pidana dianggap dilakukan
dengan sengaja, kecuali ditentukan bahwa ada
‘kelalaian’/culpa. Sehingga, unsur kelalaian/culpa
dicantumkan
Terdapat ketentuan tentang kurang mampu
bertanggungjawab, selain tidak mampu
bertanggungjawab (Pasal 38-39)
Memasukan Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana
Kapan korporasi dianggap bertanggungjawab
Siapa yang dapat dikenakan pidana
Jenis pidana dan tindakan untuk korporasi