Anda di halaman 1dari 25

Perbandingan antara

KUHP (WvS) dan KUHP Nasional


Kebaruan Hukum Pidana

01 Sistematika 03 Pertanggungja 05 Tindak Pidana


waban Pidana Baru

02 Tindak Pidana 04 Pidana dan 06 Tindak Pidana


Pemidanaan Khusus
Sistematika
KUHP Lama dan KUHP Baru

KUHP (Wvs UU 1/2023 tentang KUHP


(49 Bab, 569 Pasal)) (43 Bab, 624 Pasal)
Aturan Umum Aturan Umum
(9 Bab, 103 Pasal) (6 Bab, 187 Pasal)
Kejahatan Tindak Pidana
(31 Bab, 385 pasal) (37 Bab, 437 Pasal)
Pelanggaran
(9 Bab, 81 Pasal)
Asas Legalitas KUHP (WvS)
Makna asas legalitas dalam KUHP (WvS) :
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika
hal tersebut terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu undang-
undang;
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh
menggunakan analogi;
3. Aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Perkembangan Asas Legalitas KUHP Nasional
Perkembangan Asas Legalitas dalam KUHP Baru :
1. UU 1/2023 menegaskan (mengatur secara eksplisit) larangan
penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan tindak pidana;
2. Dalam UU 1/2023, diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat
atau yang sebelumnya dikenal sebagai hukum pidana adat;
3. Dalam UU 1/2023 terkandung 2 asas legalitas yaitu asas legalitas
formal dan asas legalitas materiel. Pada asas legalitas formal,
dasar patut dipidananya suatu perbuatan adalah undang-undang
(hukum tertulis) yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut
dilakukan. Sedangkan pada asas legalitas materiel menentukan
dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah hukum yang hidup
dalam masyarakat (hukum tidak tertulis).
Asas Legalitas
1. KUHP Lama

Dalam KUHP yang lama, tidak ada penjelasan terkait Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Dalam kitab tersebut menyatakan bahwa penafsiran terhadap ketentuan yang
telah dinyatakan dengan tegas, tidaklah boleh menyimpang dari maksud
pembentuk undang- undang.

Rumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP berkaitan dengan asas lex
temporis delicti yaitu undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang
ada pada saat delik terjadi. Asas ini juga disebut asas non retroaktif yang artinya
ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut.
Asas Legalitas
2. KUHP Baru

a. Mengakomodir hukum yang hidup di Masyarakat


Pasal 2 UU 1/2023 adalah sebagai berikut :
(1) “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini”.
(2) “Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan
sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia dan asas hukum umum yang diakui
masyarakat bangsa-bangsa”.

Berbeda dari KUHP yang lama, dalam UU 1/2023 atau KUHP baru mengatur mengenai
ketentuan hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa di
beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis,
yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut.
b. Pengecualian Asas Non Retroaktif
ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU 1/2023 memungkinkan pemberlakuan hukum pidana secara surut (retroaktif)
sepanjang peraturan tersebut menguntungkan pelaku. Adapun bunyi Pasal tersebut adalah:

“dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan
peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama
menguntungkan bagi pelaku dan pembantu tindak pidana”.

Dalam Pasal 3 UU 1/2023 menetapkan bahwa hukum pidana dapat berlaku surut apabila :
1) Ada perubahan peraturan perundang-undangan setelah perbuatan terjadi dan perubahan tersebut
menguntungkan pelaku tindak pidana;
2) Perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan
yang baru;
3) Jika setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan diancam dengan pidana
yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, pelaksanaan putusan
disesuaikan dengan batas pidana menurut peraturan peruundang-undangan yang baru.
Perbandingan Struktur Buku Kesatu KUHP
Lama dengan KUHP Baru
No K U H P Lama (WvS) UU 1/23 ttg KUHP

Ketentuan mengenai Pidana diatur dalam Bab II, tetapi tidak Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan diatur dalam
1 mengatur secara khusus mengenai Tindakan Buku kesatu Bab III

Ketentuan mengenai Penghapusan Pidana diatur dalam Beberapa ketentuan mengenai Penghapusan Pidana diatur
2 Bab III (Hal-Hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau secara terpisah dalam Bab II (cont: mengalami gangguan
Memberatkan Pidana) jiwa, overmacht, dll) dan Bab III (Anak)

Percobaan, Penyertaan, dan Tindak Pidana Aduan diatur Percobaan, Penyertaan, dan Tindak Pidana Aduan
3 dalam Bab tersendiri (Bab IV, Bab V, dan Bab VII) diatur dalam Bab yang sama (Bab II)

Pengulangan merupakan bagian dari Pemberatan Pidana


4 Pengulangan diatur di bab tersendiri (Buku Kedua Bab XXXI)
yang diatur dalam Buku Kesatu Bab II

Perbarengan merupakan bagian dari Bab III Pemidanaan, Pidana,


5 Perbarengan diatur dalam Bab tersendiri (Bab VI)
dan Tindakan

6 Aturan Penutup tidak diatur dalam Bab tersendiri Aturan Penutup diatur dalam Bab VI
Perbandingan Struktur Buku Kedua & Buku
Ketiga KUHP Lama dengan Buku Kedua
KUHP Baru
No KUHP Lama (WvS) UU 1/23 ttg KUHP

1 Bab IV mengatur mengenai Kejahatan terhadap Melakukan Kewajiban Bab IV mengatur mengenai Tindak Pidana terhadap Penyelenggaraan Rapat
dan Hak Kenegaraan
Lembaga Legislatif dan Badan Pemerintah (tidak mengatur mengenai TP

terhadap Pemilihan Umum)

2 KUHP tidak mengatur mengenai Tindak Pidana terhadap RUU KUHP mengatur Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan dalam
Proses Peradilan dalam Bab tersendiri Bab VI

3 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama diatur dalam Bab
diatur dalam Bab V Kejahatan terhadap Ketertiban Umum (Pasal 156a tersendiri (Bab VII)
KUHP)

4 Tindak Pidana Perkosaan merupakan bagian dari Bab XIV Kejahatan Tindak Pidana Perkosaan dimasukan ke dalam Bab XXII Tindak Pidana Terhadap
terhadap Kesusilaan Tubuh

5 KUHP mengatur mengenai Perkelahian Tanding (Bab VI)


RUU KUHP tidak mengatur perkelahian tanding
Perbandingan Struktur Buku Kedua & Buku
Ketiga KUHP Lama dengan Buku Kedua
KUHP Baru
No KUHP Lama (WvS) UU 1/23 ttg KUHP

Bab XVIII Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang tidak mengatur Bab XIX Tindak Pidana Terhadap Kemerdekaan Orang mengadopsi
mengenai Perdagangan Orang. Dalam KUHP hanya ada Perdagangan Tindak Pidana Perdagangan Orang dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
6
wanita dan perdagangan anak laki-laki di bawah umur yang diatur tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
dalam Bab XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 297 KUHP)

KUHP tidak mengatur mengenai Penyelundupan Manusia RUU KUHP mengatur mengenai Penyelundupan Manusia dalam Bab XX
7

Judul Bab XXI: Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Janin


8 Judul Bab XIX: Kejahatan Terhadap Nyawa

Bab XXII Tindak Pidana Terhadap Tubuh terdiri dari 3 bagian:


a. Penganiayaan;
Penganiayaan diatur dalam bab tersendiri (Bab XX)
9 b. Perkelahian Secara Berkelompok; dan
c. Perkosaan
Waktu Tindak Pidana

KUHP
KUHP WvS
Nasional
• Tidak diatur secara ekspisit dalam KUHP • Diatur dalam Pasal 10 KUHP Nasional,
WvS. dimana waktu tindak pidana merupakan
• Umumnya para sarjana hukum saat dilakukan perbuatan yang dapat
menggunakan doktrin dalam menentukan dipidana, yaitu:
waktu tindak pidana. a.Saat perbuatan fisik dilakukan;
b.Saat bekerjanya alat atau bahan
untuk menyempurnakan tindak pidana;
atau
c.Saat timbulnya akibat tindak pidana.

12
Tempat Tindak Pidana

KUHP WvS KUHP Nasional


• Tidak diatur secara ekspisit dalam KUHP • Diatur dalam Pasal 11 KUHP Nasional,
WvS. dimana tempat tindak pidana merupakan
• Umumnya para sarjana hukum tempat dilakukannya perbuatan yang
menggunakan doktrin dalam menentukan dapat dipidana, meliputi:
tempat tindak pidana a.Tempat perbuatan fisik dilakukan;
b.Tempat bekerjanya alat atau bahan
untuk menyempurnakan tindak pidana;
atau
c.Tempat terjadinya akibat dari perbuatan
yang dapat dipidana.

13
Pemufakatan Jahat

KUHP WvS KUHP Nasional


•Pasal 88 KUHP WvS memberikan pengertian •Diatur dalam Pasal 11 KUHP Nasional, Serupa dengan
permufakatan jahat dalam hal dua orang atau lebih pengertian dalam KUHP WvS, Pasal 13 KUHP
telah sepakat akan melakukan kejahatan. Namun tidak Nasional menjelaskan permufakatan jahat telah terjadi
diatur mengenai ketentuan pemidanaan serta syarat apabila 2 (dua) orang atau lebih bersepakat untuk
yang mengecualikan. melakukan tindak pidana.
•Syarat mengecualikan permufakatan jahat
adalah:
a.Jika pelaku menarik diri dari kesepakatan untuk
melakukan tindak pidana; atau
b.Melakukan tindakan yang patut untuk mencegah
terjadinya tindak pidana.
•Permufakatan jahat dapat dipidana apabila ditentukan
secara tegas dengan undang-undang.
•Ketentuan mengenai pemidanaan permufakatan jahat
diatur dalam Pasal 13 KUHP Nasional.

14
Persiapan Melakukan Tindak Pidana
KUHP WvS KUHP Nasional

•Tidak diatur dalam KUHP WvS •Diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 16 KUHP
Nasional.
•Persiapan melakukan tindak pidana terjadi jika
pelaku berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan
sarana berupa alat, mengumpulkan informasi atau
menyusun perencanaan tindakan, atau melakukan
tindakan serupa yang dimaksudkan untuk
menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu
perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi
penyelesaian tindak pidana.
•Persiapan melakukan tindak pidana dapat dipidana
apabila ditentukan secara tegas dengan undang-
undang.
•Persiapan melakukan tindak pidana tidak dipidana
apabila pelaku menghentikan atau mencegah
kemungkinan terciptanya kondisi sebagaimana disebut
di atas.

15
Percobaan

KUHP WvS KUHP Nasional


• Diatur dalam Pasal 53 sampai Pasal 54 KUHP • Diatur dalam Pasal 17 sampai Pasal 19 KUHP
WvS. Nasional.
• Suatu perbuatan dikategorikan sebagai
percobaan melakukan tindak pidana apabila:
a.Niat pelaku telah nyata dari adanya
permulaan pelaksanaan dari tindak pidana
yang dituju. Suatu peristiwa dikatakan sebagai
permulaan pelaksanaan apabila:
- Perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau
ditujukan untuk terjadinya tindak pidana; dan
- Perbuatan yang dilakukan langsung berpotensi
menimbulkan tindak pidana yang dituju.

16
Percobaan

KUHP WvS KUHP Nasional


• b. Pelaksanaan tindak pidana yang dituju tidak
selesai, tidak mencapai hasil, atau tidak
menimbulkan akibat dilarang
• c. (Tidak selesai) bukan karena semata-mata
atas kehendaknya sendiri.
• Pidana untuk percobaan melakukan tindak
pidana paling banyak 2/3 dari maksimum pidana
pokok untuk tindak pidana yang bersangkutan.
Sebagai contoh suatu tindak pidana memiliki
ancaman pidana maksimal 15 tahun, maka
percobaan melakukan tindak pidana dimaksud
diancam pidana paling tinggi 10 tahun.

17
Alasan Pembenar
KUHP WvS KUHP Nasional

•Alasan pembenar berkaitan dengan hilangnya sifat •Ketentuan mengenai alasan pembenar diatur dalam
melawan hukum suatu tindak pidana. Sederhananya, Pasal 31 sampai Pasal 35 KUHP Nasional. Adapun hal
alasan pembenar adalah tindak pidana yang dilakukan yang mendasari alasan pembenar meliputi:
oleh seseorang dibenarkan (unsur objektif). Dalam a.Untuk melaksanakan ketentuan peraturan
KUHP WvS, alasan pembenar meliputi: perundang-undangan;
a.Perbuatan yang dilakukan dalam ‘keadaan darurat’ b.Untuk melaksanakan perintah jabatan dari pejabat
(Pasal 48 KUHP WvS) yang berwenang;
b.Perbuatan yang dilakukan karena pembelaan c.Perbuatan tersebut dilakukan karena keadaan
terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP WvS) darurat;
c.Perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang- d.Perbuatan tersebut dilakukan karena pembelaan
undangan (Pasal 50 KUHP WvS) terhadap serangan atau ancaman seketika yang
d.Perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain,
sah (Pasal 51 KUHP WvS). kehormatan dalam arti kesusilaan, atau harta benda
•Contoh: Algojo (regu tembak) melakukan eksekusi sendiri atau orang lain.
terpidana mati, seseorang yang memukul perampok
yang hendak merampok orang lain dalam rangka
pembelaan terpaksa

18
Alasan Pemaaf
KUHP WvS KUHP Nasional

•Diatur dalam Pasal 44, 45, 46, 47, 49 ayat (2), 51 ayat •Alasan pemaaf diatur dalam Pasal 40 sampai Pasal 44
(2) KUHP WvS. KUHP Nasional. Adapun yang mendasari alasan pemaaf
sebagai berikut:
a.Anak yang waktu melakukan tindak pidana belum
berumur 12 tahun, dengan ketentuan dalam Pasal 40 dan
Pasal 41 KUHP Nasional;
b.Dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan
(paksaan mutlak);
c.Dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan
yang tidak dapat dihindari (paksaan relatif);
d.Pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang
langsung disebabkan keguncangan jiwa yang hebat
karena serangan atau ancaman serangan seketika yang
melawan hukum;
e.Jika orang yang diperintahkan dengan itikad baik
mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan
wewenang dan pelaksanaannya, termasuk dalam lingkup
pekerjaannya.

19
Tindak Pidana
1. Tidak ada lagi kategori “kejahatan” dan “pelanggaran”
• Konsep kejahatan sebagai rechtsdelict dan
pelanggaran sebagai wetsdelict tidak diterapkan
secara konsisten
• Ada perbuatan yang sama diatur dalam Bab
Kejahatan dan Bab Pelanggaran
• Berakibat pada penggabungan beberapa bab dalam
KUHP baru yang dulunya terpisah dalam KUHP
lama (mis: Bab TP thd Ketertiban Umum
merupakan gabungan dari Bab V Buku Kedua &
Bab II Buku Ketiga WvS)
2. Perumusan Alasan Pembenar
3. Perumusan Permufakatan Jahat & Persiapan
4. Perubahan rumusan Percobaan, Penyertaan, &
Pengulangan
Pemberatan Pidana

KUHP WvS KUHP Nasional


• Pejabat melanggar suatu kewajiban • KUHP Baru (Pasal 58&59) :
khusus dari jabatannya atau memakai Pejabat dengan menyalahgunakan
kekuasaan, kesempatan atau sarana kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang diberikan kepadanya karena yang diberikan kepadanya karena
jabatannya (Pasal 52) jabatan;
• Penggunaan bendera (Pasal 52a) Penggunaan bendera kebangsaan, lagu
• Pengulangan/recidive (Pasal 486, 487, & kebangsaan, atau lambang negara
488)  hanya untuk pasal-pasal Indonesia pada waktu melakukan
kejahatan tertentu Tindak Pidana;
Pengulangan  seluruh tindak pidana
dalam Pasal 23 ayat (2)

21
Pertanggungjawaban Pidana
 Perumusan Tindak Pidana tidak lagi secara tegas
mencantumkan unsur ‘dengan sengaja’
 Setiap tindak pidana dianggap dilakukan
dengan sengaja, kecuali ditentukan bahwa ada
‘kelalaian’/culpa. Sehingga, unsur kelalaian/culpa
dicantumkan
 Terdapat ketentuan tentang kurang mampu
bertanggungjawab, selain tidak mampu
bertanggungjawab (Pasal 38-39)
 Memasukan Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana
 Kapan korporasi dianggap bertanggungjawab
 Siapa yang dapat dikenakan pidana
 Jenis pidana dan tindakan untuk korporasi
Pertanggungjawaban Pidana

 Perumusan strict liability & vicarious liability sebagai


pengecualian dari asas liability based on fault (harus disebutkan
dalam Undang- Undang)
 Perumusan Alasan Pemaaf dan Alasan Pemberat Pidana
Pidana dan Pemidanaan

 Tujuan Pemidanaan
 Pedoman Pemidanaan:
 Kewajiban Hakim;
 Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan Hakim; dan
 Pemaafan Peradilan (Judicial Pardon).
 Alasan Pemberat Pidana
 Pedoman untuk tidak menjatuhkan Pidana Penjara
 Pidana & Tindakan: Double-track System
 Orang Dewasa;
 Anak-anak; dan
 Korporasi.
Pertanggungjawaban Pidana
 Perumusan Tindak Pidana tidak lagi secara tegas
mencantumkan unsur ‘dengan sengaja’
 Setiap tindak pidana dianggap dilakukan
dengan sengaja, kecuali ditentukan bahwa ada
‘kelalaian’/culpa. Sehingga, unsur kelalaian/culpa
dicantumkan
 Terdapat ketentuan tentang kurang mampu
bertanggungjawab, selain tidak mampu
bertanggungjawab (Pasal 38-39)
 Memasukan Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana
 Kapan korporasi dianggap bertanggungjawab
 Siapa yang dapat dikenakan pidana
 Jenis pidana dan tindakan untuk korporasi

Anda mungkin juga menyukai