Anda di halaman 1dari 22

KUHP

Mengenal Undang – undang


Nomor 1 Tahun 2023 dalam
masa pengenalan menuju
pemberlakuan di tahun 2026

Veris Septiansyah
PENDAHULUAN
Sejarah pembentukan KUHP baru :
1. KUHP yg merupakan induk peraturan hukum pidana di Indonesia saat ini merupakan
hasil dari warisan zaman kolonial Belanda yg diberlakukan sejak Tahun 1918 merupakan
turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) dan menjadi KUHP pada 1946.
2. Perkembangan masyarakat yg semakin modern menimbulkan pergeseran kultur serta
nilai-nilai yg ada di masyarakat dan diperlukan KUHP baru dalam rangka menyesuaikan
dengan nilai-nilai dan keadaan masyarakat dan memperhitungkan kondisi masa depan
3. Upaya mengganti KUHP telah lama digagas oleh para pakar hukum pidana dan dimulai
dari Seminar Hukum Nasional I tahun 1963 dan memunculkan RKUHP sejak 1970 oleh Tim
perancang yang diketuai oleh Prof. Sudarto (Guru Besar Hukum Pidana di Indonesia)
4. Pada tahun 2004, Tim KUHP baru dibentuk yg dipimpin Prof. Dr. Muladi, SH dan pada
masa DPR periode 2014-2019 draft RKUHP disepakati namun menimbulkan berbagai
reaksi dari masyarakat, termasuk dari para pegiat hukum dan mahasiswa.
5. Setelah September 2019, Presiden Joko Widodo menunda pengesahan RKUHP, pada
bulan April 2020 RKUHP kembali dibahas dan melakukan perbaikan berdasarkan
masukan dari berbagai kalangan.
6. Pada tanggal 2 Januari 2023, Undang undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP
disahkan.
VISI PEMBARUAN HUKUM DALAM
KUHP BARU

• Pidana jangan diartikan sbg Pidana • Kurangi over kapasitas


Penjara lembaga pemasyarakatan
Pidana penjara sejauh mungkin sbg pintu Menjawab tantangan terbesar
terakhir sanksi yg akan dijatuhkan oleh Hakim. pemasyarakatan terkait overcrowded.

• Hindari penjatuhan pidana penjara • Keadilan Korektif, Restoratif


dlm waktu singkat dan Rehabilitatif
Tidak mengenal lagi pidana kurungan. Paradigma baru keadilan dalam KUHP
Nasional.
MISI PEMBARUAN HUKUM Y A N G
DIUSUNG DALAM KUHP BARU
• Dekolonialisasi • Konsolidasi
Upaya menghilangkan nuansa kolonial dalam Penyusunan kembali ketentuan pidana
substansi KUHP lama, yaitu mewujudkan Keadilan dari KUHP lama dan sebagian UU
Korektif, Rehabilitatif, dan Restoratif, Tujuan & Pidana di luar KUHP secara menyeluruh
Pedoman Pemidanaan (Standart of Sentencing), & dengan Rekodifikasi (terb uka-
memuat alternatif Sanksi Pidana. terbatas).

• Demokratisasi • Harmonisasi & Modernisasi


Pendemokrasian rumusan pasal tindak pidana Sebagai bentuk adaptasi & keselarasan
dalam KUHP baru sesuai Konstitusi (Pasal 28 J UUD dalam merespon perkembangan
1945) & Pertimbangan Hukum dari Putusan MK hukum terkini, tanpa
atas pengujian pasal-pasal KUHP yang terkait. mengesampingkan hukum yang hidup
(living law)
LANDASAN PIKIR KUHP MENGENAI
PIDANA & PEMIDANAAN
 Pandangan Retributif/Pembalasan/Lex Talionis sudah harus ditinggalkan
 Kearifan lokal/local wisdom perlu mendapat tempat  menggali nilai-nilai tradisional
 Ketidaksesuaian lagi pandangan yang mengedepankan PENJARA sebagai pidana yang
paling tepat dan dominan dalam pemidanaan  Alternatif Penjara
 Overcrowding di Lembaga Pemasyarakatan harus dikurangi melalui perubahan
dalam aturan tentang pidana
 Kondisi faktual memerlukan pendekatan yang mengetengahkan penyelesaian konflik
tanpa penghukuman
 Jenis Pidana & Tindakan tidak dpt disamakan bagi orang dewasa, Anak & Korporasi
SISTEM ATIKA

KUHP (WvS) UU 1/2023 ttg KUHP


(49 Bab, 569 pasal) (43 Bab, 624 pasal)

Aturan Umum , (9 Bab, 103 pasal) Aturan Umum (6 Bab, 187 pasal)

Kejahatan (31 Bab, 385 pasal)

Tindak Pidana (37 Bab, 437 pasal)


Pelanggaran (9 Bab, 81 pasal)
BUKU KESATU BUKU KEDUA
Tindak Pidana
Aturan Umum Bab.1. TP. Keamanan Negara
Bab.2. TP. Martabat Presiden /Wapres
Bab.3. TP. Negara Sahabat
Bab.4. TP. Penyelenggaraan Rapat Lembaga Lesgilatif & Badan Pemerintah
Bab.5. TP. Ketertiban Umum
Bab.6. TP. Proses Peradilan
Bab. 7. TP. Agama,kepercayaan & Kehidupan beragama/Kepercayaan
Bab. 8. TP. Membahayakan Kam Umum b g Orang, kesehatan & barang
Bab. 9. TP. Kekuasaan Pemerintah
Bab.10. TP. Keterangan Palsu Diatas Sumpah
Bab.11. TP. Pemalsuam Mata Uang & Uang Kertas
Bab.12. TP. Pemalsuan Meterai, Cap Negara & Tera Negara
Bab.1. Ruling Berlakunya Ket. PUU Bab.13. TP. Pemalsuan Surat

Bab.2. TP dan Pertanggungjawaban Pidana Bab.14. TP. Asal usul & Perkawinan
Bab.15. TP. Kesusilaan

Bab.3. Pemidanaan, Pidana & Tindakan Bab.16. TP. Penalantaran Orang


Bab.17. TP. Penghinaan

Bab.4. Gugurnya Kewenangan Penuntutan Bab.18. TP. Pembukaan Rahasia


Bab.19. TP. Kemerdekaan Orang
Bab.20. TP. Penyeludupan Manusia
dan Pelaksanaan Pidana Bab.21. TP. Terhadap Nyawa dan Janin
Bab.22. TP. Terhadap Tubuh
Bab.5. Pengertian Istilah Bab.23. TP. Y g Mengakibatkan mati/luka karena Kealpaan
Bab.24. TP. Pencurian
Bab.6. Aturan Penutup Bab.25. TP. Pemerasan & Pengancaman
Bab.26. TP. Penggelapan
Bab.27. TP. Perbuatan Curang
Bab.28. TP. Kepercayaan Dalam menjalankan Usaha
Bab.29. TP. Perusakan & Penghancuran Barang & Bangunan Gedung
Bab.30. TP. Jabatan
Bab.31. TP. Pelayaran
Bab.32. TP. Penerbangan & TP. Terhadap Sarpras Penerbangan
Bab.33. TP. Penadahan, Penerbitan & pencetakan
Bab.34. TP. Berdasarkan Hukum y g hidup dalam Masyarakat
Bab.35. TP. Khusus
Bab.36. Ketentuan peralihan
Bab.37. Ketentuan penutup
KUHP SEBAGAI HUKUM PIDANA &
SISTEM PEMIDANAAN MODERN

Tujuan Pemidanaan
Pedoman Pemidanaan

Kewajiban Hakim
Faktor yg harus dipertimbangkan Hakim
Pemaafan Peradilan (Judicial Pardon)
Pedoman untuk tidak menjatuhkan Pidana
Penjara

Alasan Pemberat Pidana


Double Track-System (Pidana & Tindakan)
Mengenalkan Pertanggungawaban Mutlak (Strict
Liability) & Pertanggungjawaban Pengganti
(Vicarious Liability)
TINDAK PIDANA
KHUSUS DALAM KUHP
● Tindak Pidana Berat terhadap Hak
Asasi Manusia
● Tindak Pidana Terorisme
● Tindak Pidana Korupsi
● Tindak Pidana Pencucian Uang
● Tindak Pidana Narkotika
TINDAK PIDANA BARU
a. Tindak Pidana yang Sama Sekali Baru
• Kohabitasi
• Penyesatan terhadap Proses Peradilan
• Mengganggu dan Merintangi Proses Peradilan
• Hubungan Seksual dengan Hewan

b. Tindak Pidana yang Diambil dari UU di luar KUHP


• UU 24/2009 ttg Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (cth: merusak bendera,
menodai lagu kebangsaan)
• UU 7/2011 ttg Mata Uang (cth: pemalsuan mata uang)
• UU 11/2008 jo. UU 19/2016 ttg ITE (cth: penyadapan, pencemaran elektronik, perusakan info elektronik)
• UU 40/2008 ttg Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
• UU 23/2004 ttg Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (marital rape)
• Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (aborsi, jual beli organ, jaringan tubuh & darah
manusia)
• UU 23/2002 ttg Perlindungan Anak (statutory rape)
• UU 21/2007 ttg Tindak Pidana Perdagangan Orang
• UU 44/2008 ttg Pornografi
• UU 6/2011 ttg Keimigrasian (penyelundupan manusia)
L IVING LAW Pasal 2, 66 (1,f) dan 597

● Sebagai bentuk pengakuan & penghormatan terhadap hukum adat (delik adat) yang masih
hidup, sesuai perkembangan masyarakat, prinsip Pancasila & NKRI (Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945)
● Berlakunya hukum pidana adat (delik adat) ditegaskan dan dikompilasi oleh Pemerintah Pusat
yang berasal dari PERDA masing-masing berlakunya hukum itu.
● Penegasan & Pengkompilasian hukum pidana adat justru menjadikannya tidak bertentangan
dengan asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP & Larangan Analogi, sehingga tetap memberikan
kepastian hukum bagi masyarakat & Pelaku Usaha.
● Sanksinya berupa pemenuhan kewajiban adat (pasal 597) yang dianggap sebanding dengan
Pidana Denda kategori II (10 juta Rupiah), dan dapat dikenakan pidana pengganti berupa ganti
rugi jika kewajiban adat setempat tidak dijalani (Pasal 96).
● Sesuai Pertimbangan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menyebutkan pengukuhan &
hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan PERDA dan ketentuan lebih lanjut diatur
dalam PP, menurut Mahkamah merupakan delegasi wewenang yang diatur dalam Pasal 18B ayat
(2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur UU.”
● Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10
(sepuluh) tahun dengan mempertimbangkan rasa penyesalan terdakwa
dan ada harapan untuk memperbaiki diri; peran terdakwa dalam Tindak
Pidana; atau ada alasan yang meringankan (Pasal 100)

● Ketentuan mengenai masa percobaan yang dijatuhkan bagi pidana mati


sudah sesuai dengan pertimbangan Putusan MK Nomor 2-3/PUU- V/2007,
dimana MK berpendapat bahwa perumusan, penerapan, maupun
pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
hendaknya dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh
tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan
pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun.

—Death penalty
PENYERANGAN KEHORMATAN
PRESIDEN/ WAPRES
● Pada Bagian kedua dari Bab.II Pasal 218 mengatur
tentang penyerangan kehormatan dan martabat
Presiden/Wapres, hal ini tidak akan membatasi
demokrasi dan kebebasan berpendapat, karena Pasal
tersebut secara tegas telah membedakan kritik dan
penghinaan (delik), kritik adalah dimaksudkan untuk
kepentingan umum atau pembelaan diri sehingga tidak
bisa dipidana.
● Hanya bisa dituntut berdasarkan aduan (pasal 220)
● Merupakan keseimbangan dengan pengaturan
penghinaan terhadap kepala negara sahabat, dan
sebagai suatu pemberatan sanksi pidana dari
penghinaan terhadap warga negara biasa dan
penghinaan terhadap pejabat, serta menutup
kemungkinan “dilaporkannya” Penghinaan Presiden
oleh relawan/simpatisan Presiden, karena yang bisa
mengadukannya (legal standing) hanya ada di
Presiden/Wapres
PIDANA ATAS
KEKUATAN GAIB
Wujud perlindungan masyarakat dari sifat kriminogen yang
ada dalam “perbuatan menyatakan memiliki kekuatan gaib
untuk mencelakakan orang lain”, karena berpotensi dapat
menyebabkan terjadi tindak pidana lainnya, misalnya seperti
penipuan, pelecehan, atau pemerasan terhadap korban yang
percaya akan adanya orang yang memiliki kekuatan gaib
tersebut.

Hukuman ditambah 1/3, utk cari keuntungan/mata


pencaharian/kebiasaan

Pasal ini juga melindungi religiusitas yang terkandung dalam


sila pertama Pancasila yang mengandung arti bahwa manusia
Indonesia memiliki sifat-sifat ketuhanan yang tidak percaya
pada mistik dan perbuatan syirik.

Delik Formil, tidak untuk dibuktikan bagaimana cara membuktikan


adanya kekuatan gaib dan akibatnya.
TP GANGGUAN & PENYESATAN Pasal 279, membuat gaduh di dekat atau di ruang sidang
pengadilan pd saat sidang berlangsung dan tidak pergi
PROSES PERADILAN setelah diperingatkan 3 kali
(CONTEMPT OF COURT)
Pasal 280 (1), dipidana, pd saat sidang berlangsung:

• Pasal ini perlu diatur untuk ketertiban a.Tidak patuh perintah pengadilan yg dikeluarkan utk
persidangan khususnya dalam rangka kepentingan proses peradilan.
pembuktian hukum khususnya untuk
mencegah saksi/ahli yang belum b.tidak hormat terhadap penegak hukum, petugas
didengar keterangannya meng etahui pengadilan, atau persidangan padahal telah
keterangan yang disampaikan oleh diperingatkan hakim.
saksi/ahli sebelumnya.
• Untuk menghindari opini publik yang c.menyerang integritas aparat penegak hukum, petugas
dapat mempengaruhi hakim dalam pengadilan atau persidangan dalam sidang pengadilan
menjatuhkan putusannya.
• Untuk melindungi integritas dan wibawa d.tanpa izin pengadilan mempublikasikan proses
hakim dalam persidangan. persidangan secara langsung
• Tidak mengurangi kebebasan pers untuk
mempublikasikan berita setelah (2) Hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan
persidangan, ATAU dengan izin
pengadilan dapat merekam, (3) Dilakukan secara tertulis oleh hakim
mempublikasikan langsung persidangan.
TINDAK PIDANA TERHADAP KEHIDUPAN BERAGAMA
ATAU KEPERCAYAAN DAN SARANA IBADAH
(PENODAAN AGAMA)

Pasal 303, 304 dan 305

Dianggap masih diperlukan pengaturannya di Indonesia yang multi


religi agar tidak terjadi perbuatan main hakim sendiri, namun
pengaturannya dalam KUHP telah disesuaikan dengan Pasal 20 ayat 2
Konvensi Internasional Hak Sipil & Politik yang telah diratifikasi
melalui UU No. 12 Tahun 2005.

Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah permusuhan,


kebencian, dan hasutan untuk melakukan permusuhan, Kekerasan,
atau diskriminasi terhadap agama dan kepercayaan orang lain.

Telah diberikan penjelasan yang cukup dalam KUHP sesuai Pasal 5


UU PNPS No.1/1965 tentang Pecegahan Penyalahgunaan Penodaan
Agama, sehingga uraian tertulis atau lisan yang objektif (ilmiah) dan
usaha untuk menghindari kata-kata yang bersifat permusuhan atau
penghinaan bukanlah tindak pidana.
ABORSI
• Bukan merupakan rumusan tindak pidana yang baru, karena
ketentuan serupa sudah diatur dalam Pasal 346, 347, 348 dan 349
KUHP lama.

• Ketentuan tindak pidana aborsi tidak berlaku dalam hal aborsi


dilakukan karena adanya indikasi kedaruratan medis (kandungan
yg sdh mati) atau karena perempuan tersebut merupakan korban
TP. perkosaan atau TP. kekerasan seksual lain yang
menyebabkan kehamilan (pemaksaan pelacuran, eksploitasi
seksual, dan/atau perbudakan seksual) yang umur kehamilannya
tidak lebih dari 14 minggu.
PERZINAAN KOHABITASI PERKOSAAN DALAM
PERKAWINAN
Persetubuhan dengan orang Hidup bersama sebagai suami Dengan kekerasan dan ancaman
yang bukan suami atau istrinya istri di luar perkawinan dituntut kekerasan, memaksa seseorang
dituntut berdasarkan berdasarkan pengaduan suami bersetubuh dengannya yang
pengaduan suami atau istri atau istri bagi yg terikat dilakukan dalam ikatan
bagi yg terikat perkawinan perkawinan atau orang tua atau perkawinan, tidak dilakukan
atau orang tua atau anaknya anaknya bagi orang yg tidak penuntutan kecuali atas
bagi orang yg tidak terikat terikat perkawinan pengaduan korban
perkawinan

Pengaduan dapat ditarik Kembali selama pemeriksaan


di sidang pengadilan belum dimulai

Tujuan:
Mengejawantahkan nilai-nilai masyarakat Indonesia & penghormatan terhadap lembaga perkawinan.
Pidana Mati
Pidana mati adalah pidana yang bersifat khusus yang selalu diancamkan secara
alternatif (Pasal 67)

Pidana Mati dengan Masa Percobaan


Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh)
tahun dengan memperhatikan:
• a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau
• b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana.
Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dicantumkan dalam putusan pengadilan.
Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah
putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
TERIMA KASIH

Undang-undang harus memberikan peringatan


terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman
yg terkandung didalamnya
CREDITS: This presentation template was
created by Slidesgo, including icons by
Flaticon, and infographics & images by
Freepik.
Moneat Lex Priusquam Feriat

Anda mungkin juga menyukai