Veris Septiansyah
PENDAHULUAN
Sejarah pembentukan KUHP baru :
1. KUHP yg merupakan induk peraturan hukum pidana di Indonesia saat ini merupakan
hasil dari warisan zaman kolonial Belanda yg diberlakukan sejak Tahun 1918 merupakan
turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) dan menjadi KUHP pada 1946.
2. Perkembangan masyarakat yg semakin modern menimbulkan pergeseran kultur serta
nilai-nilai yg ada di masyarakat dan diperlukan KUHP baru dalam rangka menyesuaikan
dengan nilai-nilai dan keadaan masyarakat dan memperhitungkan kondisi masa depan
3. Upaya mengganti KUHP telah lama digagas oleh para pakar hukum pidana dan dimulai
dari Seminar Hukum Nasional I tahun 1963 dan memunculkan RKUHP sejak 1970 oleh Tim
perancang yang diketuai oleh Prof. Sudarto (Guru Besar Hukum Pidana di Indonesia)
4. Pada tahun 2004, Tim KUHP baru dibentuk yg dipimpin Prof. Dr. Muladi, SH dan pada
masa DPR periode 2014-2019 draft RKUHP disepakati namun menimbulkan berbagai
reaksi dari masyarakat, termasuk dari para pegiat hukum dan mahasiswa.
5. Setelah September 2019, Presiden Joko Widodo menunda pengesahan RKUHP, pada
bulan April 2020 RKUHP kembali dibahas dan melakukan perbaikan berdasarkan
masukan dari berbagai kalangan.
6. Pada tanggal 2 Januari 2023, Undang undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP
disahkan.
VISI PEMBARUAN HUKUM DALAM
KUHP BARU
Aturan Umum , (9 Bab, 103 pasal) Aturan Umum (6 Bab, 187 pasal)
Bab.2. TP dan Pertanggungjawaban Pidana Bab.14. TP. Asal usul & Perkawinan
Bab.15. TP. Kesusilaan
Tujuan Pemidanaan
Pedoman Pemidanaan
Kewajiban Hakim
Faktor yg harus dipertimbangkan Hakim
Pemaafan Peradilan (Judicial Pardon)
Pedoman untuk tidak menjatuhkan Pidana
Penjara
● Sebagai bentuk pengakuan & penghormatan terhadap hukum adat (delik adat) yang masih
hidup, sesuai perkembangan masyarakat, prinsip Pancasila & NKRI (Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945)
● Berlakunya hukum pidana adat (delik adat) ditegaskan dan dikompilasi oleh Pemerintah Pusat
yang berasal dari PERDA masing-masing berlakunya hukum itu.
● Penegasan & Pengkompilasian hukum pidana adat justru menjadikannya tidak bertentangan
dengan asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP & Larangan Analogi, sehingga tetap memberikan
kepastian hukum bagi masyarakat & Pelaku Usaha.
● Sanksinya berupa pemenuhan kewajiban adat (pasal 597) yang dianggap sebanding dengan
Pidana Denda kategori II (10 juta Rupiah), dan dapat dikenakan pidana pengganti berupa ganti
rugi jika kewajiban adat setempat tidak dijalani (Pasal 96).
● Sesuai Pertimbangan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menyebutkan pengukuhan &
hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan PERDA dan ketentuan lebih lanjut diatur
dalam PP, menurut Mahkamah merupakan delegasi wewenang yang diatur dalam Pasal 18B ayat
(2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur UU.”
● Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10
(sepuluh) tahun dengan mempertimbangkan rasa penyesalan terdakwa
dan ada harapan untuk memperbaiki diri; peran terdakwa dalam Tindak
Pidana; atau ada alasan yang meringankan (Pasal 100)
—Death penalty
PENYERANGAN KEHORMATAN
PRESIDEN/ WAPRES
● Pada Bagian kedua dari Bab.II Pasal 218 mengatur
tentang penyerangan kehormatan dan martabat
Presiden/Wapres, hal ini tidak akan membatasi
demokrasi dan kebebasan berpendapat, karena Pasal
tersebut secara tegas telah membedakan kritik dan
penghinaan (delik), kritik adalah dimaksudkan untuk
kepentingan umum atau pembelaan diri sehingga tidak
bisa dipidana.
● Hanya bisa dituntut berdasarkan aduan (pasal 220)
● Merupakan keseimbangan dengan pengaturan
penghinaan terhadap kepala negara sahabat, dan
sebagai suatu pemberatan sanksi pidana dari
penghinaan terhadap warga negara biasa dan
penghinaan terhadap pejabat, serta menutup
kemungkinan “dilaporkannya” Penghinaan Presiden
oleh relawan/simpatisan Presiden, karena yang bisa
mengadukannya (legal standing) hanya ada di
Presiden/Wapres
PIDANA ATAS
KEKUATAN GAIB
Wujud perlindungan masyarakat dari sifat kriminogen yang
ada dalam “perbuatan menyatakan memiliki kekuatan gaib
untuk mencelakakan orang lain”, karena berpotensi dapat
menyebabkan terjadi tindak pidana lainnya, misalnya seperti
penipuan, pelecehan, atau pemerasan terhadap korban yang
percaya akan adanya orang yang memiliki kekuatan gaib
tersebut.
• Pasal ini perlu diatur untuk ketertiban a.Tidak patuh perintah pengadilan yg dikeluarkan utk
persidangan khususnya dalam rangka kepentingan proses peradilan.
pembuktian hukum khususnya untuk
mencegah saksi/ahli yang belum b.tidak hormat terhadap penegak hukum, petugas
didengar keterangannya meng etahui pengadilan, atau persidangan padahal telah
keterangan yang disampaikan oleh diperingatkan hakim.
saksi/ahli sebelumnya.
• Untuk menghindari opini publik yang c.menyerang integritas aparat penegak hukum, petugas
dapat mempengaruhi hakim dalam pengadilan atau persidangan dalam sidang pengadilan
menjatuhkan putusannya.
• Untuk melindungi integritas dan wibawa d.tanpa izin pengadilan mempublikasikan proses
hakim dalam persidangan. persidangan secara langsung
• Tidak mengurangi kebebasan pers untuk
mempublikasikan berita setelah (2) Hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan
persidangan, ATAU dengan izin
pengadilan dapat merekam, (3) Dilakukan secara tertulis oleh hakim
mempublikasikan langsung persidangan.
TINDAK PIDANA TERHADAP KEHIDUPAN BERAGAMA
ATAU KEPERCAYAAN DAN SARANA IBADAH
(PENODAAN AGAMA)
Tujuan:
Mengejawantahkan nilai-nilai masyarakat Indonesia & penghormatan terhadap lembaga perkawinan.
Pidana Mati
Pidana mati adalah pidana yang bersifat khusus yang selalu diancamkan secara
alternatif (Pasal 67)