Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH HUKUM PIDANA

Disusun oleh :

Yuliana : 181010200343

FAKULTAS ILMU HUKUM


UNIVERSITAS PAMULANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatnya sehingga makalah ini dapat tersusun
hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman untuk para
pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Tangerang Selatan, 15 April 2019

Penyusun
Daftar Isi

1. Kata Pengantar
2. Daftar isi
1). Sistematika hukum pidana (buku I,II,III serta sebutkan pasalnya)
2). Azas legalitas (ayat 1)
* Penafsiran hukum pidana tidak boleh melakukan unsur analoginya (ayat 2)
* Hukum pidana tidak berlaku surut (ayat 3)
3). Isi pasal 2 KUHP
4). Isi pasal 3 KUHP
5). Isi pasal 4 KUHP
6). Isi pasal 5 KUHP
7). Isi pasal 6 KUHP
8). Isi pasal 8 KUHP
9). Isi pasal 9 KUHP
10). Macam-macam hukuman
11). Dualisme hukum pidana yang berlaku di Indonesia
12). Locus delicti dan Tompus delicti (sebutkan kegunaannya)
13). Peniadaan pidana
14). Pasal-pasal gugurnya tindak pidana (pasal 76-82)
15). Pasal-pasal yang menambah hukuman dalam KUHP dan mengurangi hukuman dalam
KUHP (Kembangkan pasal 53 dan 56)
16). Macam-macam delik dan apa yang dimaksud delik formal dan delik materil
17). Unsur-unsur tindak pidana :
1. Perbuatan melawan hukum
2. Ada pasal nya tindakan melawan hukum
3. Dolus (kesengajaan)
4. Culpa (kelalaian)
5. Dapat dipertanggung jawabkan
6. Ada rasa pembenar
7. Ada rasa pemaaf
8. Unsur subyektif
9. Unsur Obyektif
1). Sistematika hukum pidana (buku I,II,III serta sebutkan
pasalnya)
KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah kitab undang-undang hukum yang
berlaku sebagai dasar hukum di Indonesia. KUHP merupakan bagian hukum politik yang berlaku
di Indonesia, dan terbagi menjadi dua bagian: hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
Semua hal yang berkaitan dengan hukum pidana materiil adalah tentang tindak pidana, pelaku
tindak pidana dan pidana (sanksi). Sedangkan, hukum pidana formil adalah hukum yang
mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil.
KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiil di Indonesia. KUHP yang sekarang
diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915
nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Setelah kemerdekaan, KUHP tetap
diberlakukan disertai penyelarasan kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi
relevan. Hal ini berdasarkan pada Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang menyatakan
bahwa: "Segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung diberlakukan selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini." Ketentuan tersebutlah yang
kemudian menjadi dasar hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan pada masa
kolonial pada masa kemerdekaan.
Untuk menegaskan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial tersebut, pada
tanggal 26 Februari 1946, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang kemudian dijadikan dasar
hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van
Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Meskipun demikian, dalam Pasal XVII UU Nomor 1 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang
menyatakan bahwa: “Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari
diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.” Dengan
demikian, pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van
Strafrecht hanya terbatas pada wilayah jawa dan Madura. Pemberlakuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana di seluruh wilayah Republik Indonesia baru dilakukan pada tanggal 20 September
1958, dengan diundangkannya UU No. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk
Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1958 yang berbunyi: “Undang-
Undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan
berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.” Jadi, per tanggal 1 Januari 2013, KUHP
tersebut sudah berlaku selama 95 (sembilan puluh lima) tahun.
Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diberlakukan secara nasional tidak berarti
bahwa upaya untuk membuat sistem hukum pidana yang baru terhenti. Upaya melakukan
pembaruan hukum pidana terus berjalan semenjak tahun 1958 dengan berdirinya Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional sebagai upaya untuk membentuk KUHP Nasional yang baru.
Seminar Hukum Nasional I yang diadakan pada tahun 1963 telah menghasilkan berbagai resolusi
yang antara lain adanya desakan untuk menyelesaikan KUHP Nasional dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya. Sebenarnya sudah beberapa kali ada usaha perbaikan KUHP dengan
pembuatan Rancangan KUHP.

Rancangan tersebut antara lain:

1. Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1968.


2. Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1971.
3. Konsep Tim Harris, Basaroeddin, dan Situmorang tahun 1981.
4. Konsep RKUHP tahun 1981/1982 yan diketuai oleh Prof. Soedarto.
5. Konsep RKUHP tahun 1982/1983.
6. Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang mengalami perbaikan.
7. Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang merupakan hasil penyempurnaan tim sampai 27
April 1987 dan disempurnakan lagi sampai pada November 1987.
8. Konsep RKUHP tahun 1991/1992 yan diketuai oleh Prof. Marjono Reksodiputro.

Adapun isi dari KUHP disusun dalam 3 (tiga) buku, antara lain:

1. Buku I Aturan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 103)


1. Bab I Aturan Umum
2. Bab II Pidana
3. Bab III Hal-Hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana
4. Bab IV Percobaan
5. Bab V Penyertaan dalam Tindak Pidana
6. Bab VI Gabungan Tindak Pidana
7. Bab VII Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatan-
Kejahatan yang Hanya Dituntut atas Pengaduan
8. Bab VIII Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana
9. Bab IX Arti Beberapa Istilah yang Dipakai dalam Kitab Undang- Undang
10. Aturan Penutup
2. Buku II Kejahatan (Pasal 104 sampai dengan Pasal 488)
1. Bab I Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
2. Bab II Kejahatan-Kejahatan Terhadap Martabat Presiden Dan Wakil Presiden
3. Bab III Kejahatan-Kejahatan Terhadap Negara Sahabat Dan Terhadap Kepala
Negara Sahabat Serta Wakilnya
4. Bab IV Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban Dan Hak Kenegaraan
5. Bab V Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
6. Bab VI Perkelahian Tanding
7. Bab VII Kejahatan Yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi Orang Atau
Barang
8. Bab VIII Kejahatan Terhadap Penguasa Umum
9. Bab IX Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu
10. Bab X Pemalsuan Mata Uang Dan Uang Kertas
11. Bab XI Pemalsuan Meterai Dan Merek
12. Bab XII Pemalsuan Surat
13. Bab XIII Kejahatan Terhadap Asal-Usul Dan Perkawinan
14. Bab XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan
15. Bab XV Meninggalkan Orang Yang Perlu Ditolong
16. Bab XVI Penghinaan
17. Bab XVII Membuka Rahasia
18. Bab XVIII Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang
19. Bab XIX Kejahatan Terhadap Nyawa
20. Bab XX Penganiayaan
21. Bab XXI Menadnyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan
22. Bab XXII Pencurian
23. Bab XXIII Pemerasan Dan Pengancaman
24. Bab XXIV Penggelapan
25. Bab XXV Perbuatan Curang
26. Bab XXVI Perbuatan Merugikan Pemiutang Atau Orang Yang Mempunyai Hak
27. Bab XXVII Menghancurkan Atau Merusakkan Barang
28. Bab XXVIII Kejahatan Jabatan
29. Bab XXIX Kejahatan Pelayaran
30. Bab XXIX A Kejahatan Penerbangan Dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana
Penerbangan (UU No. 4 Tahun 1976)
31. Bab XXX Peahan Penerbitan Dan Percetakan
32. Bab XXXI Aturan Tentang Pengulangan Kejahatan Yang Bersangkutan Dengan
Berbagai-Bagai Bab
3. Buku III Pelanggaran (Pasal 489 sampai dengan Pasal 569)
1. Bab I Tentang Pelanggaran Keamanan Umum Bagi Orang Atau Barang Dan
Kesehatan
2. Bab II Pelanggaran Ketertiban Umum
3. Bab III Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum
4. Bab IV Pelanggaran Mengenai Asal-Usul Dan Perkawinan
5. Bab V Pelanggaran Terhadap Orang Yang Memerlukan Pertolongan
6. Bab VI Pelanggaran Kesusilaan
7. Bab VII Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman, Dan Pekarangan
8. Bab VIII Pelanggaran Jabatan
9. Bab IX Pelanggaran Pelayaran

 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946


 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1951
 Undang Undang Nomor 73 Tahun 1958
 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1960
 PERPU No. 16 Tahun 1960
 PERPU No. 18 Tahun 1960
 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1961
 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1974
 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1976
 Undang Undang Nomor 27 Tahun 1999
Pasal-Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sering dipakai oleh ahli hukum,
sering disebut dalam pemberitaan, dan atau diketahui KUHP yang Populer . Berikut adalah
secara umum oleh masyarakat:

 Pasal 1 Ayat (1) - Asas legalitas


 Pasal 12 - Batasan lamanya pidana penjara
 Pasal 18 - Batasan lamanya pidana kurungan
 Pasal 48 - Overmacht
 Pasal 49 - Noodweer
 Pasal 76 - Nebis in idem
 Pasal 244 - Pemalsuan mata uang
 Pasal 263 - Pemalsuan surat
 Pasal 284 - Perzinahan
 Pasal 285 - Pemerkosaan
 Pasal 297 - Human trafficking
 Pasal 303 - Perjudian
 Pasal 310 - Pencemaran nama baik
 Pasal 338 - Pembunuhan
 Pasal 340 - Pembunuhan berencana
 Pasal 341 - Penelantaran bayi
 Pasal 346 - Aborsi
 Pasal 351 - Penganiayaan
 Pasal 359 - Kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal
 Pasal 362 - Pencurian

2). Asas Legalitas ayat 1 pasal 1


Asas legalitas tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Kalau kata-katanya yang asli
didalam bahasa Belanda disalin ke Bahasa Indonesia kata demi kata, maka akan berbunyi :
“Tiada suatu perbuatan(feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”. Asas legalitas yang tercantum didalam Pasal
1 ayat (1) KUHP dirumuskan di dalam bahasa latin : Nullum delictum nulla poena sine praevia
legi poenali”, yang dapat disalin ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata dengan : Tidak ada
delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidaba yang telah mendahuluinya/telah ada. Sering juga
dipakai istilah Latin : “Nullum crimen sine lege stricta”, yang dapat disalin kata demi kata pula
dengan : “Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”. Hazewinkel Suringa memakai kata-kata
dalam bahasa Belanda “Geen delict,geen straf zonder een voorafgaande strafbepaling” untuk
rumusan yang pertama dan “Geen delict zonder een precieze wettelijke bepaling” untuk rumusan
yang kedua.
Ketentuan seperti itu telah dimasukkan ke dalam Code Penal (KUHP) Perancis yang
mulai berlaku 1 Maret 1994 yang menetapkan: “La loi penale es d’interpretation stricte” (hukum
pidana harus ditafsirkan secara ketat/strict).
Ada dua hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan sdari rumusan tersebut:
1. Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam
dengan pidana, maka perebuatan atau pengabaian tersebut harus tercantum di dalam Undang-
Undang Pidana.
2. Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian yang tercantum di
dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP.
Moeljatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian :
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu
belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Menurut Cleiren & Nijboer et.al., asas legalitas berarti tidak ada kejahatan tanpa undang-
undang, tidak ada pidana tanpa undang –undang. Hanya undang-undang yang menentukan apa
yang dapat dipidana, hanya undang-undang yang menentukan pidana yang mana dan dalam
keadaan apa pidana dapat diterapkan. Asas legalitas untuk melindungi hak-hak warga Negara
dari kesewenang-wenangan penguasa disamping wewenang pemerintah untuk menjatuhkan
pidana. Menurut pendapat L.Dupont (Beginselen van behoorlijke sstrafrechtbedeling), peran asas
legalitas berkaitan dengan seluruh perundang-undangan sebagai aspek instrumental
perlindungan.
Lebih lanjut Cleiren & Nijboer et,al., mengatakan hukum pidana itu adalah hukum
tertulis. Tidak seorangpun dapat dipidana berdasarkan hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan tidak
menciptakan hal dapat dipidana (strafbaarheid). Asas legalitas katanya berarti :
1. Tidak ada ketentuan yang samar-samar
2. Tidak ada hukum kebiasaan (lex scripta)
3. Tidak ada analogi (penafsiran skstensif, dia hanya menerima penafsiran teleologis)

3). Isi Pasal 2 KUHP


Pasal 2 KUHP : Ketentuan pidana dalam perundang-undangan dengan Indonesia
diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.
4). Isi Pasal 3 KUHP
Pasal 3 KUHP : Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air
atau pesawat udara Indonesia.

5). Isi Pasal 4 KUHP


Pasal 4 KUHP : Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi
setiap orang yang melakukan di luar Indonesia.
1. Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104,106,107,108,dan 131.
2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas, yang dikeluarkan oleh Negara atau
bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintahan
Indonesia.
3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikasi hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan
suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau
tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikasi iyu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai
pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut diatas, yang palsu atau
dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak palsu.
4. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438,444, sampai dengan 446 tentang
pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut
dan pasal 479 huruf J tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf
l,m,n,dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.

6). Isi Pasal 5 KUHP


Pasal 5 KUHP :
(1) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang
di luar Indonesia melakukan.
1. Salah satu kejahatan tersebut dalam BAB I dan BAB II buku kedua dari pasal-
pasal 160,161,240,279,450,451.
2. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-
undangan Negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.
(2) Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dengan butir 2 dapat dilakukan juga jika tertuduh
menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan.
7). Isi Pasal 6 KUHP
Pasal 6 KUHP : Berlakunya pasal 6 ayat 1 butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga
tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan
dilakukan, terhadapnya tidak diancamkan pidana mati.

8). Isi Pasal 8 KUHP


Pasal 8 KUHP : Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang diluar Indonesia, sekalipun si luar perahu,
melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab XXIX Buku kedua, dan
Bab IX Buku ketiga: begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas
kapal di Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan.

9). Isi Pasal 9 KUHP


Pasal 9 KUHP : Diterapkannya pasal-pasal 2-5,7,dan 8 dibatasi oleh pengecualian-
pengecualian yang diakui dalam hukum internasional.

10). Macam-Macam Hukuman


Jenis-jenis pidana (Hukuman) menurut KUHP Hukuman pokok telah ditentukan dalam
pasal 10 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
Pidana terdiri atas:
A. Pidana Pokok
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana denda
4. Pidana kurungan
5. Pidana tutupan
B. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengunguman putusan hakim

Dengan demikian, hakim tidak diperbolehakan menjatuhkan hukuman selain yang dirumuskan
dalam Pasal 10 KUHP.
A.1. Pidana Mati
Pidana ini adalah yang terberat dari semua pidana yang dicantumkan terhadap berbagai
kejahatan yang sangat berat, misalnya pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), pencurian
dengan kekerasan (Pasal 365 ayat 4), pemberontakan yang diatur dalam pasal 124 KUHP. Kalau
di Negara lain satu per satu menghapus pidana mati, sebaliknya terjadi di Indonesia. Semakin
banyak delik yang diancam dengan pidana mati. Delik yang diancam dengan pidana mati di
dalam KUHP sudah menjadi Sembilan buah, yaitu
1.Pasal 104 KUHP
2.Pasal 111 ayat (2) KUHP
3.Pasal 124 ayat (1) KUHP
4.Pasal 124 bis KUHP
5.Pasal 140 ayat (3) KUHP
6.Pasal 340 KUHP
7.Pasal 365 ayat (4) KUHP
8.Pasal 444 KUHP
9.Pasal 479 k ayat (2) dan Pasal 479 ayat (2) KUHP
Di luar KUHP juga tercantum pidana mati, seperti Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 21 (Prp) 1959 yang memperberat ancaman pidana delik ekonomi jika “dapat
menimbulkan kekacauan perekonomian dalam masyarakat” Undang-Undang Narkotika (UU
No.22 Tahun 1997) khususnya Pasal 80 ayat (1) butir a, ayat (2) butir a, ayat (3) butir a ;
Undang-Undang Psikotropika (UU No.5 Tahun 1997) Pasal 59 ayat (2) dan Undang-Undang
Pemberantasan Korupsi (UU No.31 Tahun 1999) khususnya Pasal 2 jika dilakukan dalam
keadaan tertentu. Pidana mati tercantum di dalam Pasal 36 jo. Pasal 8 huruf a,b,c,d atau e dan
Pasal 37 jo. Pasal 9 a,b,d,e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia. Pidana mati juga tercantum dalam Pasal 6,9,10,14,UU No. 1 (Prp) Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan Pasal 15 pidana mati juga bagi
perbuatan jahat,percobaan, atau pembantuan terhadap delik tersebut (Pasal 6,9,10, dan 14) dan
Pasal 16 pembantuan kemudahan, sarana atau keterangan terjadinya tidak pidana terorisme di
luar wilayah Indonesia terhadap delik tersebut di muka (Pasal 6,9,10,dan 14).
Untuk mengurangi penderitaan fisik bagi terpidana, beberapa usaha telah dilakukan
dalam eksekusi, seperti guillotine 1972, kursi listrik 1888, kamar gas 1924, dan terakhir suntikan.
Di Indonesia Undang-Undang Nomor 2 (Pnps) Tahun 1964, menentukan pidana mati dijalankan
dengan jalan tembak mati walaupun Pasal 11 KUHP masih menyebutkan dengan cara digantung.
Eksekusi pidana mati dilakukan dengan disaksikan oleh Kepala Kejaksaan Negeri setempat
sebagai eksekutor dan secara teknis dilakukan oleh polisi.
Sebagai filter pelaksanaan pidana mati di Indonesia harus ada fiat eksekusi dari presiden
berupaya penolakan grasi walaupun sendainya terpidana tidak mengajukan permohonan grasi.
Pidana mati tertunda jika terpidana sakit jiwa atau wanita yang sedang hamil. Ini sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan pelaksanaan
pidana dilakukan dengan memperhatikan kemanusiaan.
Roger Hood menggolongkan Negara-negara yang mengenai pidana atas empat
kelompok, yaitu pertama Negara-negara yang menghapus pidana mati untuk semua kejahatan,
yang kedua Negara-negara yang menghapus pidana mati untuk kejahatan biasa, yang ketiga
Negara yang menghapus pidana mati secara de facto(paling kurang 10 tahun terakhir tidak ada
pidana) dan yang kelima Negara-negara yang mempertahankan pidana mati.
A.2. Pidana Penjara
Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang,yaitu berupa hukuman
penjara dan kurungan. Hukuman penjara lebih berat dari kurungan karena diancamkan terhadap
berbagai kejahatan. Adapun kurungan yang lebih ringan karena diancamkan terhadap
pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan karena kelalaian. Hukuman penjara minimum satu
hari dan maksimum sumur hidup. Hal itu diatur dalam pasal 12 KUHP yang berbunyi :
1. Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
2. Pidana penajara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu ahri dan paling lama
lima belas tahun berturut-turut.
3. Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-
turut dalam hal yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur
hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau antar pidana penjara selama waktu
tertentu begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena
pembarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena yang telah ditentukan
dalam pasal 52.
4. Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.
Pidana penjara disebut pidana hilang kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit bahwa
ia tidak merdeka bepergian, tetapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak tertentu seperti
dibawah ini
1. Hak untuk memilih dan dipilih .
Tentang hal ini lihat Undang-Undang Pemilihan umum, di Negara liberal pu demikian
pula. Alasannya ialah agar kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur immoral dan
perbuatan-perbuatan yang tidak jujur.
2. Begitu juga hak untuk memangku jabatan publik. Alasannya ialah agar publik bebas dari
perlakuan manusia yant tidak baik.
3. Sering pula diisyaratkan untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan. Dalam hal ini, telah
dipraktikkan pengenduran dalam batas-batas tertentu.
4. Hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu. Misalnya saja untuk usaha, izin praktik
(seperti dokter, advokat, notaris, dan lain-lain)
5. Hak untuk mengadakan asuransi hidup
6. Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan. Pemenjaraan merupakan salah satu alas an
untuk minta perceraian menurut hukum perdata.
7. Begitu pula hak untuk kawin. Meskipun adakalanya seseorang kawin sementara
menjalani pidana penjara, itu merupakan keadaan luar biasa dan hanya bersifat formalitas
belaka.
8. Begitu pula bebrapa sipil lainnya.
A.3. Pidana Denda
Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan terhadap
kejahatan yang adakalanya sebagai alternative atau kumulatif. Jumlah yang dapat dikenakan
pada hukuman denda ditentukan minimum dua puluh sen, sedangkan jumlah maksimum tidak
ada ketentuan. Mengenai hukuman denda diatur dalam pasal 30 KUHP, yang berbunyi :
1. Jumlah hukuman denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.
2. Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu tidak dibayar maka diganti dengan
hukuman kurungan.
3. Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda selama-lamanya enam bulan.
4. Dalam putusan hakim, lamanya itu ditetapkan begitu rupa
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua daripada pidana penjara. Mungkin setua
dengan pidana mati dan pengasingan. Pidana denda terdapat pada setiap masyarakat, termasuk
masyarakat primitive pula, pidana dendan dikenal juga pada zaman Majapahit. Begitu pula
berbagai masyarakat primif dan tradisional di Indonesia.
Pada zaman modern ini, pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa
pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu pula, pidana denda merupakan satu-satunya
pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap
terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda itu kecendrungan menerapkan pidana denda juga
pada delik berat, tetapi bersfifat akumulasi, artinya diterapkan pidana penjara dan denda pada
delik delik tertentu terutama delik yang menimbulkan kerugian. Jadi asas bahwa dua pidana
pokok tidak boleh dijatuhkan secara kumulatif telah ditinggalkan. Hal ini diperkenalkan dalam
Rancangan KUHP baru.
A.3. Pidana Kurungan
Menuriut Vos, pidana kurungan ini pada dasarnya mempunyai dua tujuan. Pertama,ialah
sebagai custodia honesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delik-
delik culpa dan beberapa delik dolus, seperti perkelahian satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan
pailit sederhana (Pasal 396 KUHP). Kedua pasal tersebut diancam pidana penjara, contoh yang
dimekukakan Vos sebagai delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaa. Yang kedua sebagai
custodia simplex, suatu permpasan kemederkaan untuk delik pelanggarab. Dengan demikian
delik-delik pelanggaran itu, pidana kurungan menjadi pidana pokok. Khusus untuk Nederland (di
Indonesia tidak) terdapat pidana tambahan pidana khusus untuk pelanggaran, yaitu penempatan
di tempat kerja Negara.
Pada delik dolus tidak ada pidana kurungan, kecuali dalam satu Pasal diatur tentang unsur
sengaja dan culpa seperti Pasal 483 dan 484 KUHP (Vos menyebut artikel padanannya di Negara
Belanda, yaitu artikel 418 dan 419 Wvs). Sebaliknya, terdapat pidana penjara pada delik culpa,
alternative dari pidana kurungan yang dalam satu pasal juga terdapat unsur sengaja dan culpa
contohnya ialah Pasal 293 KUHP (Vos menyebutkan artikel 248 ter Wvs). Mengapa ada pidana
penjara pada delik culpa, menurut Vos karena sulitnya menarik garis pemisah anatar sengaja dan
culpa. Sebenarnya ada contoh yang paling tepat, yang ada pidana penjara pada delik culpa, yaitu
pasal 359 KUHP yang berbunyi “Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang,
dipidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
A.5. Pidana Tutupan
KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada pasal 10
dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok bagian terakhir di bawah pidana denda.
Tentulah pencantuman ini didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang
Pidana Tututpan. Pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan kejahatan yang
disebabkan oleh ideology yang dianutnya. Akan tetapi, dalam praktik peradilan dewasa ini tidak
pernah ketentuan tersebut diterapkan.
Lagi pula menurut pendapat Andi Hamzah, pencantuman pidana tutupan di dalam Pasal
10 KUHP di bawah pidana denda tidaklah tepat karena menurut Pasal 69 KUHP yang
menyatakan bahwa beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan oleh salah satu pidana
hilang kemerdekaan, lebih berat dari pada pidana denda. Bagaimanapun ringannya pidana hilang
kemerdekaan, masih lebih berat daripada pidana denda.
Jadi, kalau kita menghendaki pencantuman pidana tutupan di dalam Pasal 10 KUHP
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946, harus diletakkan di atas pidana kurungan
dan pidana denda.
B.1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu
Jenis pidana ini tidak berarti hak-hak terpidana akan dicabut. Pencabutan tersebut tidak
meliputi pencabutan hak-hak kehidupan dan juga hak-hak sipil dan hak-hak ketatanegaraan.
Pencabutan hak-hak tertentu itu adalah suatu pidana dibidang kehormatan dengan melalui dua cara
yaitu :
a. Tidak bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan putusan hakim.
b. Tidak berlaku selama hidup, tetapi menurut jangka waktu menurut undang-undang dengan suatu
putusan hakim.

Pencabutan hak-hak tertentu dalam Pasal 35 KUHP, hak-hak yang dicabut adalah :
a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.
b. Hak untuk memasuki angkatan bersenjata.
c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan umum.
d. Hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali pengawas, atas orang-
orang yang bukan anak sendiri.
e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwakilan atau pengampuan atas anak
sendiri.
f. Hak menjalankan pencaharian tertentu.

B.2. Perampasan Barang-Barang Tertentu


Pidana tambahan ini merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana
denda. Ada dua macam barang yang dapat dirampas, yaitu barang-barang yang didapat karena
kejahatan, dan barang-barang yang dengan sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan.
Dalam hal ini berlaku ketentuan umum, yaitu haruslah kepunyaan terpidana, kecuali terhadap
kejahatan mata uang, dimana pidana perampasan menjadi imperatif.

Perampasan barang-barang tertentu dalam Pasal 39 KUHP :


(2) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan
untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
(3) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja, atau karena
pelanggaran, dapat juga dirampas seperti diatas, tetapi hanya dalam hal yang ditentukan dalam
undang-undang.
(4) Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan
kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang disita.

B.3 Pengumuman Putusan Hakim


Dalam Pasal 43 KUHP ditentukan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya
diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau atauran umum yang lain, maka harus
ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Menurut Andi
Hamzah, kalau diperhatikan delik-delik yang dapat dijatuhi tambahan berupa pengumuman
putusan hakim, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pidana tambahan ini adalah agar masyarakat
waspada terhadap kejahatan-kejahatan seperti penggelapan, perbuatan curang dan lainnya.

11). Dualisme hukum pidana yang berlaku di Indonesia


Sebelumnya datangnya penjajahan Belanda, hukum pidana yang berlaku di
Kepulauan Nusantara (Indonesia) hanyalah Hukum Pidana Adat yang sebagian besar tidak tertulis
dan beranekaragam karena berlaku dimasing – masing kerajaan. Dan setelah datangnya Belanda
ke Indonesiabarulah mengenal hukum pidana secara tertulis yaitu de Bataviasche tahun 1642 dan
Interimaire Strafbepalingan. Disamping itu Belanda juga memberlakukan peraturan lain yang
bersandar pada Oud Hollandsdan Romeins Strafrecht. Peraturan hukum pidana tersebut hanya
berlaku untuk orang Eropa, Sedangkan bagi orang Pribumi masih tetap berlaku Hukum Pidana
Adat. Pada tahun 1866 barulah dikenal kodifikasi (pembukuan segala peraturan hukum). Pada
tanggal 10 Februari 1866 berlakulah dua Kitab Undang – undang Hukum Pidana di Indonesia
yakni :

1. Het Wetboek Van strafrecht Voor Europeanen (S. 1866 Nomor 55) yang berlaku bagi
orang Eropa mulai pada tanggal 1 Januari 1867. Kemudian dengan ordonasi tanggal 6
Mei 1872 ditetapkan pula berlakunya KUHP untuk golongan Pribumi dan Timur Asing
yaitu :
2. Het Wetboek Van Strafrecht Voor Inlands en Daarmede Gelijkgestelde (S. 1872 Nomor
85) yang berlaku bagi golongan Pribumi dan golongan Timur Asing, yang mulai berlaku
1 Januari 1873.

Berlakunya kedua aturan tersebut menimbulkan 2 konsekuensi yaitu :


a. Terjadinya dualisme hukum dalam KUHP di Indonesia
b. Aturan hukum yang lama (tahun 1642 dan 1848) tidak berlaku lagi.

Berdasarkan Regeringsreglement pasal 75 ayat 1 dan 2 sebenarnya KUHP yang mulai


berlaku tanggal 1 Januari 1867 (Het Wetboek Van strafrecht Voor Europeanen) merupakan copy
atau turunan dari KUHP Belanda dan KUHP Belanda juga turunan dari Code Panel Prancis karena
Belanda dulu juga pernah dijajah Prancis. Meskipun penjajahan Prancis sudah berakhir, namun
Code Panel Prancis masih tetap berlaku yang ditetapkan dalam Koninkrijk Besluit dengan
diadakan perubahan – perubahan.
Disamping itu juga diusahakan membuat KUHP Nasional Negeri Belanda, namun selalu
gagal. Kemudian dibentuklah panitia untuk merancang KUHP yang bersifat Nasional pada tahun
1870. Dan lima tahun kemudian panitia berhasil membentuk KUHP Nasional Negeri Belanda yang
mulai berlaku tahun 1866 dengan nama Wetboek Van strafrecht, yang dapat menggantikan Code
Panel.
Tahun 1915 diumumkan adanya KUHP baru yang berlaku pada tanggal 1 Januari 1918
untuk semua penduduk Indonesia dengan mengakhiri dualisme Hukum Pidana sebelumnya,
sehingga saat itu unidikasi Hukum Pidana telah tercapai dengan adanya WvS voor Nederlandsche
Indie. KHUP 1918 ini bersumber dari KHUP nasional Belanda yang telah ada sejak 1866 namun
melalaui beberapa perubahan, tambahan/penyelarasannya untuk diperlukan di Indonesia (asas
concordansi).
8 Maret 1942 Jepang berhasil mengalahkan Belanda sehingga dapat masuk ke Indonesia.
Pada saat itu WvS voor Nederlandsche Indie masih tetap diberlakukan oleh pemerintah Jepang,
hanya saja dalam beberapa kepentingan–kepentingan pemerintahan Jepang mengeluarkan
maklumat yang memuat ketentuan Pidana, sesuai dengan Pasal 3 UU No. 1 ‘’Pemerintah Jepang
menyatakan bahwa semua Undang – undang dan peraturan – peraturan dari pemerintah Hindia
Belanda tetap berlaku, selama tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah Tentara Jepang.’’
Jadi sejak saat itu Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia adalah WvS voor Nederlandsche Indie
dan maklumat Hukum Pidana pemerintahan Jepang.
Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan adanya pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 yang berlaku sejak 18 Agustus 1945 ditetapkan‘’Segala Badan Negara dan peraturan
yangada masih berlangsung selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini’’.
Dengan adanya UU No, 1 tahun 1946 ditetapkan bahwa Hukum Pidana yang berlaku bagi
Indonesia ialah Hukum Pidana yang termuat dalam WvS voor Nederlansche Indie (W.v.S.N.I)
tahun 1918 saja (tanpa ketentuan – ketentuan pidana Jepang). Pasal 1 menyatakan ‘’dengan
menyimpang seperlunya dari peraturan Presiden Repubik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945
No. 2 menetapkan, bahwa peraturan- peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret’’.
Dalam Undang – Undang Nomor 1 tahun 1946 perlu diperhatikan beberapa hal yang
penting sebagai berikut :
1. Pasal V yang menentukan bahwa peraturan hukumpidana yang seluruhnya atau sebagian sekarang
tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka
atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak berlaku.
2. Pasal VI mengubah dengan resmi nama WetboekVan Strafrecht saja, yang biasa diterjemahkan
dengan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP)
3. Pasal VII memuat perubahan kata –kata dan penghapusan beberapa pasal KUHP
4. Adanya penciptaan delik – delik baru yang termuat dalam pasail IX sampai dengan XVI

Pembentukan Undang – Undang Nomor 1 tahun 1946 didasarkan pada dua tujuan penting.
Pertama, hukum pidana yang diberlakukan pada masa penjajahan Jepang mengandung beberapa
kelemahan. Kelemahan tersebut diantaranya pada masa penjajahan Jepang wilayah Indonesia
dibagi dalam tiga bagian yang masing – masing ditempatkan di bawah pemerintahan tersendiri,
adanya dua macam peraturan hukum pidana yang berbeda sistem dan asas umunya yang berlaku
di wilayah yang sama dan untuk orang yang sama, serta hukum Pidan Jepang dianggap sebagai
hukum yang memaksa para hakim untuk menjatuhkan pidana yang tidak seimbang dengan
kesalahan orang.
Kedua, mengadakan unifikasi hukum di lapangan hukum pidana karena setelah Indonesia
merdeka pemerintah binggung menentukan peraturan mana yang masih berlaku dan sudah tidak
berlaku serta saat itu telah terjadi dualisme hukum.Namun ternyata unifikasi Hukum Pidana
Indonesia tidak bersifat mutlak. Sebab Pasl XVII memuat ketentuan yang menegaskan tentang
batas- batas teritorial berlakunya W.v.S.N.I yang berbunyi ‘’Undang – Undang ini mulai berlaku
buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang lain
yang akan dtetapkan oleh Presiden’’.
Dengan ketentuan tersebut W.v.S.N.I hanya berlaku untuk wilayah bekas Hindia Belanda
yang setelah merdeka menjadi NKRI. Sedangkan untuk wilayah jajahan Hindia Belanda tapi tidak
otomatis menjadi bagian NKRI seperti wilayah Negara Indonesia Timur, Sumatra Timur, Irian
Barat, dsb. Belanda pada tahun 1948 telah membuat secara khusus suatu KUHP untuk wilayah
tersebut dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Indonesia (W.v.S.I) yang berlakunya atas dasar
Staatblads 1948 No.224.
Belanda mencoba untuk menjajah kembali Indonesia setelah Indonesia merdeka. Melalui
agresi-agresi militer dan berbagai terornya untuk sementara waktu Belanda berhasil menduduki
Indonesia kembali dengan membawa serta hukum pidananya yang terdahulu, tetapi dengan nama
yang di ubah yakni Wvs voor Indonesia dengan isi 570 pasal (dengan berbagai penambahan dan
pemberatan hukuman).Akibatnya kembali adanya dualisme hukum, yakni
1. Wvs voor Nederlandsche India, terdiri atas 569 pasal
2. Wvs voor Indonesia, yang terdiri atas 570 pasal.
Dualisme ini segera berakhir dengan dikeluarnya UU No.73 tahun 1958 yang memperkuat
UU No. 1 tahun 1946 yang pada dasarnya menetapkan bahwa Hukum Pidana yang berlaku bagi
seluruh Indonesia (unifikasi) ialah Hukum Pidana yang termuat dalam Wvs voor
NederlandscheIndie atau dengan kata lain Hukum Pidana yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1918
dan bukan Wvs voor Indonesia yang berisi 570 pasal. Wvs voor Nederlandsche Indie tahun 1918
inilah yang akhirnya diterjemahkan menjadi KUHP Indonesia sampai saat ini.
Undang-Undang No. 73 tahun 1958 merupakan realisasi atas kesepakatan Konferensi Meja
Bundar di Den Haag Belanda tahun 1948. Berdasarkan KMB tersebut maka wilayah seluruh
Indonesia bekas jajahan Belanda yang tadinya tidak tergabung dengan NKRI dan mempunyai
KUHP sendiri, kemudian telah menjadi intergal dari NKRI.

12). Locus delicti dan Tompus delicti (sebutkan kegunaannya)


Locus Delicti, Locus (inggris) yang berarti lokasi atau tempat, secara istilah yaitu
berlakunya hukum pidana yang dilihat dari segi lokasi terjadinya perbuatan pidana.
Locus delicti perlu diketahui untuk:
a. Menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana tersebut
atau tidak. Ini berhubung dengan pasal 2-8 KUHP.
b. Menentukan kejaksaan dan pengadilan mana yang harus mengurus perkaranya. Ini
berhubung dengan kompetensi relatif. Pasal 84 (1) KUHAP yang memuat prinsip dasar tentang
kompetensi relatif, Yakni pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara tindak pidana
yang dilakukan di dalam daerah hukumnya.
c. Sebagai salah satu syarat mutlak sahnya surat dakwaan.
Mengenai locus delicti ini, dalam KUHP tidak ada ketentuan apa-apa. Lain misalnya dengan
KUHP jerman di mana dalam pasal 5 ditentukan bahwa tempat perbuatan pidana adalah tempat
dimana terdakwa berbuat atau dalam hal kelakuan negatif, dimana seharusnya terjadi.
Secara umum, biasanya tentang locus delicti ini ada dua aliran yaitu:
1. Aliran yang menentukan di satu tempat, yaitu tempat di mana terdakwa berbuat.
2. Aliran yang menentukan di beberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan, dan mungkin
pula tempat kelakuan.
Ada empat teori untuk menentukan tempat terjadinya peristiwa pidana atau locus delicti
atau tempat kejadian perkara.
a. De leer van de lichamelijke daad
Teori yang didasarkan kepada perbuatan secara fisik. Itulah sebabnya teori ini
menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana/locus delicti adalah
tempat dimana perbuatan tersebut dilakukan.
b. De leer van het instrument
Teori yang didasarkan kepada berfungsinya suatu alat yang digunakan dalam perbuatan
pidana. Jadi teori ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana
adalah tempat dimana alat yang digunakan dalam tindak pidana bereaksi.
c. De leer van het gevolg
Teori ini didasarkan kepada akibat dari suatu tindak pidana. Menurut teori ini bahwa
yang dianggap sebagai locus delicti adalah tempat dimana akibat dari pada tindak pidana tersebut
timbul.
d. De leer van de meervoudige pleets
Menegaskan bahwa yang diaanggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana yaitu
tempat-tempat di mana perbuatan tersebut secara fisik terjadi tempat dimana alat yang digunakan
bereaksi, dan tempat dimana akibat dari tindak pidana tersebut timbul.
Contoh kasus
Terjadi perkelahian antara A dan B di terminal Rawamangun . B terkapar karena luka-luka
ditikam A dengan sebilah pisau. Oleh keluarganya B dilarikan dilarikan kerumah sakit
persahabatan. Karena terlalu parah akhirnya pihak rumah sakit mengirim B ke rumah sakit cito,
kurang lebih 2 jam dirawat B meninggal. Karena luka yang dideritanya.
Pertanyaan yang muncul atas kejadian ini, pengadilan mana yang berwenang mengadilinya?
Jawaban :
1. Menurut teori de leer van delichamelijke daad, bahwa secara fisik perbuatan atau tindak
pidana (perkelahian antara A dan B) terjadi dan berlangsung di terminal rawamangun. Oleh
karena itu yang berwenang mengadili kasus ini adalah pengadilan negeri Jakarta timur. ( karena
eawamangun berada di wilayah jakarta timur).
2. Menurut teori de leer van het instrument, bahwa alat yang digunakan A (benda tajam) dalam
perkelahiannya dengan B bereaksi/ berfungsi/bekerja ditempat perkelahian (tempat bus
rawamangun) dengan demikian maka yang berwenang mengadili kasus ini adalah pengadilan
negeri jakarta timur.

3. Menurut teori de leer van het gevolg, bahwa akibat dari perkelahia tersebut adalah tewasnya B
di rscm. Dengan demikian pengadilan yang berwenang mengadili kasus ini adalah pengadilan
negeri jakarta pusat. Karena timbulnya akibat matinya B di rscm yang letaknya di wilayah
jakarta pusat.
4. Sedangkan menurut teori de leer van de meeervoudige plaats, bahwa karena secara fisik tindak
pidana tersebut terjadi di terminal rawamangun demikian pula alat yang digunakan dalam
perkelahian tersebut bekerja/ berfungsi di tempat perkelahian (terminal bus rawamangun) maka
atas dasar itu pengadilan negeri jakarta timur yang berwenang mengadilinya. Atau dapat juga
kasus ini diadili di pengadilan negeri jakarta pusat, karena akibat yang timbul yakni matinya B
terjadi di rscm jakarta pusat.
Dalam hal mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang ini dikenal ada
4 macam asas, yaitu :
a. Asas teritorialiteit ( territorialiteits-beginsel) atau asas wilayah negara;
b. Asas personaliteit (personaliteits-beginsel), disebut juga dengan asas kebangsaan, asas
nasionalitet aktif atau asas subyektif (subjektions-prinsip);
c. Asas perlindungan (beschermings-beginsel), atau disebut juga dengan asas nasional pasif;
d. Asas universaliteit (universaliteit-beginsel), atau asas persamaan.

Asas Teriorialiteit
Berpegang pada prinsip bahwa setiap negara berhak mengatur dan mengikat segala hal
menegenai dirinya sendiri dan tidak dapat mengikat kedalam negara lain. Dalam ketentuan
mengenai asas teritorialiteit tersebut diatas, yang menjadi dasar berlakunya hukum adalah tempat
atau wilayah hukum negara, tanpa memperhatikan dan tanpa mempersoalkan siapa, atau apa
kualitasnya atau kewarganegaraannya, siapapun yang melakukan tindak pidana didalam wilayah
hukum Indonesia, hukum pidana indonesia berlaku terhadap orang itu.
Asas personaliteit
Berlakunya hukum pidana menurut asas personaliteit adalah bergantung atau mengikuti
atau mengikuti subyek hukum atau orangnya, yakni warga negara maupun dimanapun
keberadaannya.
Asas perlindungan
Asas perlindungan atau nasionaliteit pasif, adalah asas berlakunya hukum pidana menurut
atau berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi dari suatu negara yang dilanggar diluar
wilayah indonesia.

Asas Universaliteit
Asas Universaliteit berlakunya hukum pidana tidak dibatasi oleh tempat atau wilayah
tertentu dan bagi orang-orang tertentu, melainkan berlaku dimanapun dan terhadap siapapun.
Adanya asas ini berlatar belakang pada kepentingan hukum dunia, negara maupun diberi hak dan
wewenang mengikat dan membatasi tingkah laku setiap orang dimanapun keberadaanya
sepanjang perlu untuk menjaga ketertiban dan keamanan dan kenyamanan warga negara negara-
negara dunia.
Tempus Delicti, Tempus dari kata Tempo yang berarti waktu, secara istilah yaitu berlakunya
hukum pidana yang dilihat dari segi waktu terjadinya perbuatan pidana.
Dalam hubungannya dengan pelbagai ketentuan umum dalam KUHP, mengenai waktu tindak
pidana ini penting dalam hal sebagai berikut:
A .Tindak pidana penting mengenai hubungannya dengan ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP,
perihal adanya perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, yakni untuk
menentukan apakah tindak pidana itu dilakukan sebelum atau sesudah ada perubahan perundang-
undangan. Bila dilakukan sebelum perubahan, maka apakah akan memperlakukan perundangan
yang berlaku sebelum tindak pidana dilakukan ataukah setelah tindak pidana dilakukan, yakni
terhadap ketentuan mana yang paling menguntungkan terdakwa. Bila yang menguntungkan itu
adalah aturan yang baru, maka aturan tersebut yang diberlakukan.
B. Tindak pidana penting mengenai berlaku tidaknya ketentuan perihal penjatuhan pidana atau
tindakan terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan tindak pidana sebelum umur 16
tahun sebagaimana ditentukan dalam pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Jika ketika melakukan tindak
pidana umurnya belum 16 tahun, maka diberlakukan pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Kini ketentuan
pasal 45, 46 dan 47 KUHP tidak berlaku. Kini berlaku UU no. 3 tahun 1997 tentang peradilan
anak, yaitu pentingnya mengetahui waktu peristiwa pidana sehubungan dengan peradilan yang
akan mengadili si pelaku tersebut, karena apabila saat kejadian terdakwa sekurang-kurangnya
berumur 8 tahun tetapi belum berumur 18 tahun dan belum kawin, maka si terdakwa tersebut
diadili dengan peradilan anak. Apabila saat melakukan tindak pidana umur pelaku belum sampai
18 tahun dan belum kawin, tetapi pada saat diajukan kepersidangan umurnya lebih dari 18 tahun
dan belum mencapai 21 tahun, maka pelaku tersebut tetap diadili di peradilan anak (Pasal 4 UU
No.3 tahun 1997). Apabila dalam hal ini si pelaku belum mencapai umur 8 tahun, maka terhadap
anak itu dapat dibina oleh orang tua, walinya atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan
anak tersebut kepada orang tuanya atau pengasuhnya tersebut.
C. Tindak pidana penting mengenai hal yang berhubungan dengan ketentuan kadaluwarsa bagi
hak Negara untuk melakukan penuntutan pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 78-81
KUHP. Kadaluarsa yang dimaksud baik kadaluwarsa mengenai memalsukan pengaduan baik
tindak pidana aduan, kadaluwarsa menjalankan hukuman maupun kadaluwarsa melakukan
penuntutan terhadap si pelaku tindak pidana tersebut.
D. Tindak pidana penting mengenai hal untuk menentukan usia korban ketika tindak pidana
dilakukan seperti pada kejahatan kesusilaan, di mana ketika tindak pidana dilakukan usia korban
belum 15 tahun (287, 290).
E. Tindak pidana penting mengenai hal yang berhubungan dengan keadaan jiwa si pelaku ketika
melakukan tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 44 KUHP. Misalnya ketika
petindak melakukan tindak pidana terdapat keadaan jiwa sebagaimana keadaan jiwa yang cacat
dalam pertumbuhannya atau terganggu jiwanya karena penyakit. Akan tetapi, ketika dia sembuh,
tetap ia tidak dapat dipidana. Lain halnya ketika tindak pidana dilakukan saat jiwanya dalam
keadaan normal (sehat), namun kemudian ia sakit, maka selama jiwanya sakit ia tidak dapat
diadili. Akan tetapi, setelah ia sehat, peradilan tetap dilangsungkan, dan terhadapnya tetap dapat
dipidana. Tindak pidana penting mengenai hal yang berhubungan dengan pengulangan (recidive)
beberapa kejahatan sebagaimana ditentukan dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHP. Bagi
kejahatan tertentu yang disebutkan dalam pasal itu, pidana yang dijatuhkan pada petindak yang
melakukan tindak pidana tersebut belum lima tahun sejak yang bersangkutan menjalani pidana
yang dijatuhkan karena dulu melakukan kejahatan yang sama, dapat ditambah dengan sepertiga
dari pidana yang diancamkan pada kejahatan tersebut.
Teori Tempus Delicti antara lain yaitu:
A .Teori perbuatan jasmani
Menurut teori perbuatan jasmani atau perbuatan materiil, waktu tindak pidana adalah
waktu di mana perbuatan jasmani yang menjadi unsur tindak pidana itu pada kenyataannya
diwujudkan.
B . Teori alat
Menurut teori alat, waktu tindak pidana ialah waktu di mana alat digunakan dan bekerja
efektif dalan hal terwujudnya tindak pidana.
C .Teori akibat
Menurut teori akibat, waktu tindak pidana ialah waktu di mana akibat dari perbuatan itu
timbul.
Contoh kasus
Seperti biasanya setiap kali merayakan ultahnya, A mengundang seluruh sanak familinya ke
Jakarta, termasuk B (pamannya) yang tinggal di Surabaya. Perayaan ultah A yang ke 18 ini
diselenggarakan tanggal 5 januari sesuai tanggal kelahiranya.
Tanggal 3 januari B beserta anak istrinya tiba di Jakarta dari Surabaya. Namun di luar dugaan
pada malam tanggal 4 januari terjadi pertengkaran sengit antara A dan B yang berpangkal pada
pembagian ahli waris, sehingga kepala B berdarah terkena lemparan asbak rokok yang dilakukan
oleh A. oleh karena keadaan sudah runyam maka malam itu juga B dengan kepala yang masih
berdarah membawa anak istriya langsung pulang ke Surabaya. Sementara pesta ultah di malam
itu tetap dilanjutkan. Esok harinya tanggal 5 januari, kereta api yang ditumpang B tiba di
Surabaya. Dan langsung berobat ke rumah sakit. Dan oleh dokter yang memeriksanya
memerintahkan untuk di rawat. 3 hari terbaring di rumah sakit yakni tanggal 9 januari, B
menghenbuskan nafas terakhirnya. Laporan medis yang dikeluarkan oleh dokter yang
merawatnya menunjukkan, bahawa B meninggal karena terjadi keretakan di tengkorak bagian
kiri depan akibat benturan benda keras.
Pertanyaan yang muncul atas kejadian ini, dapatkah A dihukum atas perbuatannya terhadap B?
jawab
1. Menurut teori perbuatan jasmani, bahwa perbuatan/pertengkaran secara fisik yakni
pelemparan asbak rokok ke kepala B hingga luka dan berdarah dan menyebabkan B mati,
dilakukan (terjadi) di tanggal 4 januari. Dimana tanggal tersebut, A masih berusia 17
tahun (dibawah 18 tahun) vide UU no.3/1997. Oleh karena itu berdasarkan ajaran ini hakim
dapat memutuskan 1 diantara 3 kemungkinan yaitu:
a. Mengembalikan A kepada orang tuanya untuk dididik dan dibina atau.
b. Diserahkan kepada pemerintah (tanpa dipidana) dan memasukkan ke rumah
pendidikan negara guna dididik hingga perilakunya berubah dan sampai usia 18 tahun.
c. Menjatuhkan pidana orang dewasa tetapi dikurang 1/3.
2. Menurut teori alat, bahwa bekerjanya/bereaksinya asbak rokok sebagai alat yang melukai
kepala B dalam pertengkaranya dengan A, terjadi tanggal 4 januari dimana tanggal tersebut A
masih berusia 17 tahun (dibawah 18 tahun) . dengan demikian terhadap A majelis hakim dapat
menjatuhkan salah satu diantara 3 kemungkinan seperti pada ajaran no.1 diatas.
3. Menurut teori akibat, bahwa akibat dari pertengkaran tersebut B meninggal tanggal 9 januari.
Dimana pada tanggal tersebut A sudah berusia 18 tahun dengan demikian A sudah dapat dijatuhi
hukuman orang dewasa.

13). Peniadaan pidana


Pembentuk Undang Undang dalam beberapa rumusan tindak pidana merumuskan alasan
penghapusan pidana, yaitu keadaan khusus yang maksudnya yang harus dikemukakan “ tetapi
tidak harus dibuktikan “ oleh terdakwa dan apabila dipenuhi, menyebabkan “ meskipun terhadap
semua unsur tertulis dari rumus delik telah dipenuhi tidak dapat di jatuhkan pidana.
Selain itu pembentuk Undang Undang telah menetapkan sejumlah alasan penghapus pidana
umum dalam Buku I KUHP WvS Indonesia, dan di samping itu, melalui Pasal 103 KUHP WvS
juga meliputi semua delik/tindak pidana diluar KUHP, kecuali apabila dalam undang undang
dalam arti formal terdapat aturan yang menyimpang.
Selanjutnya, menurut sistematika KUHP WvS Indonesia, masalah peniadaan, pengurangan dan
penambahan pidan, ditempatkan dibawah satu judul bab, yaitu Bab III buku I.
Namun demikian, ada juga masalah di atas diatur di dalam bab-bab tertentu lainya.
Masalah alasan penghapus pidana ini dalam bukunya D.Schaffmeister tentang Hukum Pidana
dibagi ke dalam dua kelompok yaitu:
1. Menurut Undang-undang
2. Menurut Peradilan dan Ilmu Pengetahuan

Alasan penghapus pidana umum menurut undang-undang adalah sebagai berikut:


1. Tidak mampu bertanggung jawab
2. Daya paksa dan keadaan darurat
3. Pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa melampaui batas
4. Melaksanakan peraturan perundang-undangan
5. Menjalankan perintah jabatan
Dalam praktik peradilan dan ilmu pengetahuan (doktrin) terdapat alasan penghapus pidana
umum diluar undang-undang yaitu sebagai berikut:
1. Izin
2. Tidak ada sama sekali sifat tercela
3. Tidak ada sifat melawan hukum materil
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia alasan peniadaan pidana di atur dalam
Buku I ketentuan umum,yang mengatur mengenai:
1. Tidak mampu bertanggung jawab karena jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit
(Pasal 44)
2. Daya paksa (Pasal 48)
3. Pembelaan paksa (Pasal 49)
4. Melaksanakan ketentuan Undang-undang (Pasal 50)
5. Melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51)
6. Percobaan kejahatan dipidana (Pasal 53)
7. Percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana (Pasal 54)
8. Membantu melakukan kejahatan dipidana (Pasal 56)
9. Membantu melakukan pelanggaaran tidak dipidana (Pasal 60)
Dalam KUHP ada tindak pidana tertentu yang dapat dituntut apabila syarat-syarat penuntutan
dipenuhi. Tindak pidana tersebut adalah delik pers yang diatur dalam Pasal 61 dan 62 KUHP dan
juga diatur juga mengenai delik aduan di dalam Pasal 72, 75 KUHP Indonesia.

Penghapusan dan Penghilangan Perbuatan Pidana (Peniadaan Pidana Pasal 44 – 52 KUHP)


Dalam ilmu hukum pidana alasan penghapus pidana dibedakan dalam: :
1. Alasan penghapusan pidana umum adalah alasan penghapus pidana yang berlaku umum
untuk setiap tindak pidana dan disebut dalam pasal 44, 48 - 51 KUHP
2. Alasan penghapus pidana khusus adalah alasan penghapus pidana yang berlaku hanya
untuk tindak pidana tertentu. Misalnya pasal 122, 221 ayat (2), 261, 310, dan 367 ayat (1)
KUHP.
3. Terdapat keadaan-keadaan khusus yang menyebabkan suatu perbuatan yang pada
umumnya merupakan tindak pidana, kehilangan sifat tindak pidana, sehingga si pelaku
bebas dari hukuman pidana. Pembahasan ini dalam KUHP diatur dalam title III dari buku
I KUHP, yaitu pasal 44 – 51. akan tetapi dalam praktek hal ini tidak mudah, banyak
kesulitan dalam mempraktekkan ketentuan-ketentuan dalam KUHP ini.
Dalam teori hukum pidana alasan-alasan yang menghapuskan pidana ini dibedakan menjadi 3 :
1. Alasan pembenar adalah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan,
sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.
Tertera dalam pasal 49 (1), 50, 51 (1).
2. Alasan Pemaaf adalah alasan yang mengahpuskan kesalahan terdakwa, tetap melawan
hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tapi dia tidak dipidana, karena tak ada
kesalahan. Tercantum dalam pasal 49 (2), 51 (2).
3. Alasan penghapus penuntutan adalah peran otoritas dari pemerintah, pemerintah
menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat,
sebaiknya tidak diadakan penuntutan demi kepentingan umum. Contoh : pasal 53 KUHP,
kalau terdakwa dengan sukarela mengurungkan niatnya percobaan untuk melakukan
suatu kejahatan.
1. Memaafkan Pelaku( Fait D’Excuse )
Pasal 44 ayat 1 KUHP yang menyatakan tidak dapat dihukum seorang yang perbuatannya tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepada orang itu berdasar bertumbuhnya atau ada gangguan
penyakit pada daya piker seorang pelaku.
Istilah tidak dapat dipertanggungjawabkan (niet kan worden toe gerekend) tidak dapat disamakan
dengan “tidak ada kesalahan berupa sengaja atau culpa”. Yang dimaksud disini adalah
berhubung dengan keadaan daya berpikir tersebutr dari si pelaku, ia tidak dapat dicela
sedemikian rupa sehingga pantaslah ia dikenai hukuman. Dalam hal ini diperlukan orang-orang
ahli seperti dokter spesialis dan seorang psikiater. Akan tetapi kenyataannya adalah bahwa
seorang yang gila melakukan perbuatan yang sangat mengerikan sehingga dia pantas mendapat
hukuman, lebih-lebih apabila pelaku kejahatan pura-pura menjadi orang gila. Bagaimana dengan
orang yang mabuk? Orang mabuk dapat lepas dari hukuman. Namun dapat juga terkena
hukuman, dilihat dari kadar mabuknya dan keadaannya.
Pasal 44 ayat 2 KUHP, apabila hakim memutuskan bahwa pelaku berdasar keadaan daya berpikir
tersebut tidak dikenakan hukuman, maka hakim dapat menentukan penempatan si pelaku dalam
rumah sakit jiwa selama tenggang waktu percobaan, yang tidak melebihi satu tahun. Hal ini
bukan merupakan hukuman akan tetapi berupa pemeliharaan.
2. Penentuan Orang yang Belum Dewasa
Pasal-pasal 45, 46 dan 47 KUHP memuat peraturan khusus untuk orang belum dewasa
sebagaiberikut:
Pasal 45 :
Dalam penuntutan di muka hakim pidana dari seorang yang belum dewasa, tentang suatu
perbuatan yang dilakukan sebelum orang itu mencapai usia 16 tahun, maka pengadilan dapat :
A. Memerintahkan, bahwa si bersalah akan dikembalikan kepada orang tua, wali, atau
pemelihara, tanpa menjatuhkan hukuman pidana.
B. Apabila perbuatannya masuk golongan “kejahatan” atau salah satu dari “pelanggaran-
pelanggaran” yang termuat dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 517-519, 526, 531,
532, 536 dan 540. dan lagi dilakukan sebelum 2 tahun setelah penghukuman orang itu karena
salah satu dari pelanggaran-pelanggaran tersebut atau karena suatu kejahatan, memerintahkan,
bahwa si terdakwa diserahkan di bawah kekuasaan pemerintah, tanpa menjatuhkan suatu
hukuman pidana.
C. Menjatuhkan suatu hukuman pidana.
Pasal 46 :
a. Apabila pengadilan memerintahkan agar si terdakwa diserahkan kekuasaan pemerintah, maka
terdakwa dapat dimasukkan ke lembaga pemerintah dan oleh pemerintah dididik seperlunya.
Atau dapat diserahkan kepada seorang penduduk Indonesia atau suatu yayasan atau lembaga
social sampai si terdakwa mencapai umur usia 18 tahun.
b. Ketentuan-ketentuan untuk melaksanakan ayat 1 ini akan dimuat dalam suatu Undang-undang.

Pasal 47 :
a. Apabila terdakwa dijatuhi hukuman oleh pengadilan, mak maksimum hukumannya dikurangi
sepertiga.
b. Apabila terdakwa dihukum perihal suatu kejahatan, yang dapat dijatuhi hukuman mati atau
hukuman seumur hidup, maka maksimum hukumannya menjadi hukuman penjara selama 15
tahun.
c. Tidak boleh dijatuhkan hukuman-hukuman tambahan dari pasal 10 di bawah huruf b, nomor 1
dan 3.
3. Hal Memaksa (Overmacht)
Pasal 48 :
“tidaklah dihukum seorang yang melakukan perbuatan, yang didorong hal memaksa”.
Jadi apabila seseorang melakukan tindak kejahatan dalam keadaan terpaksa, maka dia tidak
dihukum. Paksaan ini adakalanya bersifat fisik (vis absoluta) dan ada yang bersifat psikis (Vis
Compulsiva).
Yang dimaksud dalam pasal 48 KUHP adalah paksaan yang bersifat psikis, bukan fisik.
Vis compulsive terbagi menjadi 2 macam :
1. Daya paksa dalam arti sempit (overmacht in enge zin)
2. Keadaan darurat (noodtoestand), antara lain : orang terjepit antara dua kepentingan,
orang terjepit antara kepentingan dan kewajiban, ada konflik antara dua kewajiban.
Contoh : seorang A dengan menodong menggunakan pistol menyuruh B untuk mengambil
barang milik si C atau untuk memukul C. Maka berdasarkan pasal 48, mereka tidak dikenakan
hukuman pidana. Akan tetapi, tidaklah dikatakan bahwa perbuatan tersebut halal, perbuatan itu
tetap melanggar hukum. Hanya para pelaku dapat dimaafkan (fait d’execuse).
4. Keperluan Membela Diri (Noodweer)
Pasal 49 ayat 1 :
“Tidakalah seorang yang melakukan suatu perbuatan, yang diharuskan (geboden) untuk
keperluan mutlak membela badan (lijf), kesusilaan (eerbaarheid), atau barang-barang (goed) dari
dirinya sendiri atau orang lain, terhadap suatu serangan (aanranding) yang bersifat melanggar
hukum (wederrechtlijk) dan yang dihadapi seketika itu (ogenblikklijk) atau dikhawatirkan akan
segera menimpa (onmiddelijk dreigend)”.
Missal : A menyerang B dengan menggunakan tongkat untuk memukul B, kemudian B
mengambil suatu tongkat pula, sehingga A kewalahan dengan pukulan si B. B mengambil
tongkat karena B tidak sempat lari atau dalam keadaan yang sangat mendesak. Dengan alasan
membela diri inilah seseorang tidak mendapat hukuman.
Terpaksa dalam melakukan pembelaan ada 3 pengertian:
1. Harus ada serangan atau ancaman serangan
2. Harus ada jalan lain untuk menghalaukan serangan atau ancaman serangan pada saat itu
dan harus masuk akal.
3. Perbuatan pembelaan harus seimbang dengan sifatnya serangan.
Adapaun kepentingan-kepentingan yang dapat dilakukan pembelaan adalah :
1. Diri/badan orang.
2. Kehormatan dan kesusilaan
3. Harta benda orang.
Melampaui Batas Membela Diri (Noodweer-Exces)
Pasal 49 ayat 2 KUHP :
“tidaklah kena hukuman pidana suatu pelampauan batas
keperluan membela diri apabila ini akibat langsung dari gerak perasaan, yang disebabkan oleh
serangan lawan”.
Pelampauan ini terjadi apabila :
1. Serangan balasan dilanjutkan pada waktu serangan lawan sudah dihentikan.
2. Tidak ada imbangan antara kepentingan yang mula-mula diserang dan kepentingan lawan
yang diserang kembali.
Dalam hal ini terdakwa hanya dapat dihindarkan dari pidana apabila hakim menerima aksesnya
yaitu “langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat”. Hal ini sangat berhubungan
dengan perasaan seseorang ketika dihadapkan pada sebuah peristiwa.
Contoh yang sering terjadi di masyarakat adalah pengeroyokan seorang pencuri oleh
masyarakat/orang banyak dapat masuk pelampauan batas keperluan membela diri yang
memenuhi syarat-syarat dari pasal 49 ayat 2 KUHP. Maka orang-orang yang mengeroyok tidak
dapat dihukum. Akan tetapi si pencuri juga berhak membela diri dari pengeroyokan tersebut,
apabila dalam membela dirinya pencuri tersebut melukai salah seorang pengeroyok maka si
pencuri tidak dapat dihukum atas tuduhan penganiyayaan pasal 351 KUHP. Pelaksanaan
Peraturan Hukum Perundang-undangan
Pasal 50 KUHP: tidak dikenakan hukuman pidana seorang yang melakukan perbuatan untuk
melaksanakan suatu peraturan hukum perundang-undangan. Maka sbetulnya pasal 50 ini tidak
perlu. Kenapa pasal ini tetap dicantumkan dalam KUHP, karena untuk menghilangkan keragu-
raguan. Contoh: seorang polisi tidak melakukan tindak-tindak pasal 333 KUHP, yaitu merampas
kemerdekaan orang lain, apabila dalam menyelidiki suatu perkara pidana menangkap sorang
tersangka.
5. Perintah Jabatan (Ambtelijk Bevel)
Pasal 51 ayat 1 KUHP:
menyatakan bahwa tidak dikenakan hukuman pidana seorang yang melakukan suatu perbuatan
untuk melaksanakan suatu perintah, diberikan oleh seorang atasan yang berwenang untuk
memberikan perintah itu.

Pasal 51 ayat 2 KUHP:


menyatakan tidak dikenakan hukuman pidana juga dalam hal ada perintah, dikeluarkan oleh
seorang pengusaha yang tidak berwenang untuk itu, namun si pelaku harus mengira secara jujur
(te goeder trouw) bahwa perintah itu sah dan beres. Perbuatan yang dilakukan seorang bawahan
ini harus dalam lingkungan pekerjaan jabatan.

14). Pasal-pasal gugurnya tindak pidana (pasal 76-82)


Pasal 76

(1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua
kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan
yang menjadi tetap.
Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-
tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.

(2) Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan
karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:

1. putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;

2. putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau
wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.

Pasal 77

Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia.

Pasal 78

(1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:

1. mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah
satu tahun;

2. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana
penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;

3. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah
dua belas tahun;
4. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
sesudah delapan belas tahun.

(2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun,
masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.

Pasal 79

Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal
berikut:

1. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah
barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan;

2. mengenai kejahatan dalam pasal-pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang dimulai pada hari
sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia;

3. mengenai pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengan pasal 558a, tenggang dimulai pada
hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu, menurut aturan-
aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus dipindah ke
kantor panitera suatu pengadilan, dipindah ke kantor tersebut.

Pasal 80

(1) Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa , asal tindakan itu diketahui oleh
orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam
aturan-aturan umum.

(2) Sesudah dihentikan, dimulai tanggang daluwarsa baru.

Pasal 81

Penundaan penuntutan pidana berhubung dengan adanya perselisihan pra-yudisial, menunda


daluwarsa.

Pasal 82

(1) Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja menjadi hapus,
kalau dengan suka rela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau
penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum ,
dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya.

(2) Jika di samping pidana denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai perampasan
harus diserahkan pula, atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat dalam ayat 1.
(3) Dalam hal-hal pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan itu tetap berlaku sekalipun
kewenangan menuntut pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan lebih dahulu telah hapus
berdasarkan ayat 1 dan ayat 2 pasal ini.

(4) Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa, yang pada
saat melakukan perbuatan belum berumur enam belas tahun.

15). Pasal-pasal yang menambah hukuman dalam KUHP dan


mengurangi hukuman dalam KUHP (Kembangkan pasal 53 dan
56)

Pasal 53

(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri.

(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.

(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Pasal 56

Dipidana sebagai pembantu kejahatan:

1.Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

2.Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan.

Percobaan yang Terpidana:


Dalam pasal 53 KUHP diterapkan: ”Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu
telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dengan tidak selesainya pelaksanaan itu,
bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”. Dapat dipidananya percobaan
berarti perluasan dapat dipidananya delik yaitu perbuatan baru untuk sebagian dilaksanakan,
seakan-akan masih ada unsur yang tersisa. Tetapi sudah dapat dijadikan pidana meskipun dengan
pengurangan sepertiga dari pidana maksimum. Harga percobaan melakukan kejahatan yang
dapat dipidana (pasal 53 KUHP).
Pengenaan pidana pada percobaan memiliki dasar ancaman hukuman, dalam ilmu hukum pidana
ada dua teori yakni:
a)Teori subjektif
Menurut teori ini, kehendak berbuat jahat si pelaku itu merupakan dasar ancaman hukuman. Si
pelaku telah terbukti mempunyai kehendak jahat dengan memulai melakukan kejahatan tersebut,
maka pantaslah percobaan ini sudah dapat dikenakan hukuman pidana.
b)Teori objektif
Menurut teori ini, dasar ancaman hukuman bagi pelaku percobaan adalah karena sifat perbuatan
pelaku telah membahayakan. Jadi, kehendak berbuat jahat belum cukup untuk melakukan
ancaman hukuman.

Kebanyakan suatu tidak pidana terjadi oleh satu orang, tetapi dalam berbuat tindak pidana
mungkin juga tersangkut dua orang atau lebih. Mengingat akan kemungkinan ini pembuat
undang-undang telah mengadakan peraturan juga, dengan memasukkan soal turut serta pada
tindak pidana kedalam KUHP.
Kerjasama beberapa orang dalam berbuat tindak pidana beranekaragam coraknya, baik sebagai
orang yang melakukan perbuatan (dader), sebagai orang yang bersama-sama melakukan
melakukan perbuatan (mededader), ataupun sebagai orang yang membujuk melakukan perbuatan
(uitlokker), maupun sebagai pembantu melakukan perbuatan (medeplichtige).

Sesuai dengan beranekaragamnya persekutuan itu mengenai tanggung jawab masing-masing,


pembuat UU telah mengadakan aturan tentang tanggung jawab masing-masing. Peraturan
termuat dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Pasal 55:
(1)Dipidana sebagai pembuat suatu perbuatan pidana:
1.mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan
pidana
2.mereka yang dengan memberi atau menjanjkan sesuatu, dengan menyalah gunakan kekuasaan
atau martabat, dengan memberi kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan, dengan sengaja menganjurkan orang lain suapaya
melakukan perbuatan pidana.
(2)Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang dipertanggung
jawabkan, beserta akibat-akibatnya.

Menyuruh melakukan terjadi sebelum dilakukannya perbuatan. Dalam praktek


pertanggungjawaban dari orang yang menyuruh melakukan dibatasi hanya sampai kepada
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh pembuat materiil. Artinya, walaupun orang yang
melakukan itu bermaksud untuk menyuruh melakukan sesuatu yang lebih jauh sifatnya, namun
tanggung jawabnya hanya kepada perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan oleh pembuat
materiil. Tetapi jika pembuat materiil telah melakukan lebih dari apa yang telah disuruh
melakukannya, maka orang yang menyuruh melakukannya itu tidaklah betanggung jawab atas
hal selebihnya itu.
Pelaku yang turut serta melakukan perbuatan pidana adalah yang bekerja sama dengan sengaja
ikut serta dalam pelaksanaan perbuatan pidana. Untuk menentukan adanya keikutsertaan
tersebut, tidak dilihat dari masing-masing pelaku secara satu persatu, terlepas dari hubungannya
perbuatan pelaku lainnya. Tetapi dipandang sebagai kesatuan antara pelaku satu dengan pelaku
lainnya.

Penganjur melakukan perbuatan pidana dengan perantaraan orang lain. Tetapi tidak semua
perbuatan yang dilakukan dengan perantaraan orang lain adalah penganjuran, kecuali memenuhi
beberapa syarat berikut:
a)Memberi atau menjanjikan sesuatu, maksudnya memberi atau menjanjikan suatu barang, uang,
dan segala keuntungan yang akan diterima oleh orang yang dianjurkan melakukan perbuatan
pidana.
b)Menyalah gunakan kekuasaan atau martabat, dimaksudkan dengan kekuasaan yang baik
berdasarkan hukum publik dan hukum privat. Yang pokok adalah hubungan kekuasaan itu
sungguh-sungguh ada pada saat dilakukannya perbuatan.
c)Memakai kekerasan, juga termasuk dalam hal menyuruh melakukan perbuatan pidana.
d)Memakai ancaman, maksudnya segala macam ancaman.
e)Memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Upaya ini juga disyaratkan dalam pembantuan
seperti yang tercakup dalam pasal 56 KUHP yang isinya:
Dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan:
1)mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan
2)mereka sengaja memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

16). Macam-macam delik dan apa yang dimaksud delik formal dan
delik materil
Pengertian Delik dan Macam-Macam Delik
Pengertian Delik :

Kata delik berasal dari bahasa Latin, yaitu dellictum, yang didalam Wetboek Van Strafbaar feit
Netherland dinamakan Strafbaar feit. Dalam Bahasa Jerman disebut delict, dalam Bahasa
Perancis disebut delit, dan dalam Bahasa Belanda disebut delict. Dalam Kamus Bahasa
Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut.

“perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-
undang; tindak pidana.”

Utrecht memakai istilah peristiwa pidana karena istilah peristiwa itu meliputi suatu perbuatan
(handelen atau doen) atau suatu melalaikan (verzuin atau nalaten) maupun akibatnya (keadaan
yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu), dan peristiwa pidana adalah suatu
peristiwa hukum, yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh
hukum (Utrecht, 1994 : 251).
Tirtaamidjaja (Leden Marpaung, 2005 : 7) menggunakan istilah pelanggaran pidana untuk kata
delik.
Andi Zainal Abidin Farid (1978 : 114) menggunakan istilah peristiwa pidana dengan rumusan
peristiwa pidana adalah suatu perbuatan yang diancam pidana, melawan hukum dilakukan
dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan itu.

Demikian pula Rusli Effendy (1989 : 54) memakai istilah peristiwa pidana yang menyatakan
bahwa peristiwa pidana haruslah dijadikan dan diartikan sebagai kata majemuk dan janganlah
dipisahkan satu sama lain, sebab kalau dipakai perkataan peristiwa saja, maka hal ini dapat
mempunyai arti yang lain.
Menurut Moeljatno (1993 : 54) memakai istilah perbuatan pidana yang dirumuskan yang
diartikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi)
berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.

Mengenai delik dalam arti strafbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing memberiikan
Definisi berbeda, menurut Vos mendefinisikan delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum
berdasarkan undang-undang. Van Hammel mendefiniskan delik sebagai suatu serangan atau
ancaman terhadap hak-hak orang lain, sedangkan Prof. Simons mengartikan delik sebagai suatu
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh
seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang
telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum (Leden Marpaung, 2005 : 8).
pengertian dari delik menurut Achmad Ali (2002:251) adalah:
Pengertian umum tentang semua perbuatan yang melanggar hukum ataupun Undang-Undang
dengan tidak membedakan apakah pelanggaran itu dibidang hukum privat ataupun hukum publik
termasuk hukum pidana.

Macam-Macam Delik :
1.Delik kejahatan adalah rumusan delik yang biasanya disebut delik Hukuman, ancaman
Hukumannya lebih berat;
2. Delik pelanggaran adalah biasanya disebut delik Undang-Undang yang ancaman Hukumannya
memberii alternative bagi setiap pelanggarnya;
3. Delik formil yaitu delik yang selesai, jika perbuatan yang dirumuskan dalam peraturan pidana
itu telah dilakukan tanpa melihat akibatnya.Contoh: Delik pencurian Pasal 362 KUHP, dalam
Pasal ini yang dilarang itu selalu justru akibatnya yang menjadi tujuan si pembuat delik;
4. Delik materiil adalah jika yang dilarang itu selalu justru akibatnya yang menjadi tujuan si
pembuat delik.Contoh: Delik pembunuhan Pasal 338, Undang-undang Hukum pidana, tidak
menjelaskan bagaimana cara melakukan pembunuhan, tetapi yang disyaratkan adalah akibatnya
yakni adanya orang mati terbunuh, sebagai tujuan si pembuat/pelaku delik;
5. Delik umum adalah suatu delik yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan diberlakukan secara
umum.Contoh: Penerapan delik kejahatan dalam buku II KUHP misalnya delik pembunuhan
Pasal 338 KUHP;
6. Delik khusus atau tindak pidana khusus hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu dalam
kualitas tertentu dalam kualitas tertentu, misalnya tindak pidana korupsi, ekonomi, subversi dan
lain-lain;
7. Delik biasa adalah terjadinya suatu perbuatan yang tidak perlu ada pengaduan, tetapi justru
laporan atau karena kewajiban aparat negara untuk melakukan tindakan;
8. Delik dolus adalah suatu delik yang dirumuskan dilakukan dengan sengaja.Contoh: Pasal-
pasal pembunuhan, penganiayaan dan lain-lain;
9. Delik kulpa yakni perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaiannya, kealpaannya atau kurang
hati-hatinya atau karena salahnya seseorang yang mengakibatkan orang lain menjadi
korban.Contoh: Seorang sopir yang menabrak pejalan kaki, karena kurang hati-hati menjalankan
kendaraannya;Seorang buruh yang membuang karung beras dari atas mobil, tiba-tiba jatuh
terkena orang lain yang sementara berjalan kaki;
10. Delik berkualifikasi adalah penerapan delik yang diperberat karena suatu keadaan tertentu
yang menyertai perbuatan itu.Contoh: Pasal 363 KUHP, pencurian yang dilakukan pada waktu
malam, atau mencuri hewan atau dilakukan pada saat terjadi bencana alam dan lain-lain, keadaan
yang menyertainya itulah yang memberiatkan sebagai delik pencurian yang berkualifikasi;
11. Delik sederhana adalah suatu delik yang berbentuk biasa tanpa unsur dan keadaan yang
memberiatkan.Contoh: Pasal 362 KUHP, delik pencurian biasa;
12. Delik berdiri sendiri (Zelfstanding Delict) adalah terjadinya delik hanya satu perbuatan saja
tanpa ada kelanjutan perbuatan tersebut dan tidak ada perbuatan lain lagi.Contoh: Seseorang
masuk dalam rumah langsung membunuh, tidak mencuri dan memperkosa;
13. Delik berlanjut (Voortgezettelijke Handeling) adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara
berlanjut, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang dilanjutkan;
14. Delik komisionis adalah delik yang karena rumusan Undang-undang bersifat larangan untuk
dilakukan.Contoh: Perbuatan mencuri, yang dilarang adalah mencuri atau mengambil barang
orang lain secara tidak sah diatur dalam Pasal 362 KUHP;
15. Delik omisionis adalah delik yang mengetahui ada komplotan jahat tetapi orang itu tidak
melaporkan kepada yang berwajib, maka dikenakan Pasal 164 KUHP, jadi sama dengan
mengabaikan suatu keharusan;
16. Delik aduan adalah delik yang dapat dilakukan penuntutan delik sebagai syarat penyidikan
dan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan/korban.Contoh: Pencurian
Keluarga Pasal 367 KUHP;Delik Penghinaan Pasal 310 KUHP;Delik Perzinahan Pasal 284
KUHP.
PENGERTIAN DELIK FORMIL DAN DELIK MATERIL
Lamintang, dalam “Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia” menjelaskan tentang delik formil
dengan delik materil adalah sebagai berikut:
“Delik formal ialah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang
dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Yang menjadi pokok larangan dalam rumusan
itu ialah melakukan perbuatan tertentu. Dalam hubungannya dengan selesainya tindak pidana, jika
perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, tindak pidana itu selesai pula tanpa
bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan.
Sedangkan delik materil, delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat
yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.” maksudnya ialah yang
menjadi pokok larangan tindak pidana ialah pada menimbulkan akibat tertentu, disebut dengan
akibat yang dilarang atau akibat konstitutif. Titik beratnya larangan adalah pada menimbulkan
akibat, sedangkan wujud perbuatan apa yang menimbulkan akibat itu tidak menjadi persoalan.

Selanjutnya E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, dalam “Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapannya” dengan menyatakan:
“Pada delik formil, yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang (beserta hal/keadaan
lainnya) dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Misalnya pasal: 160 Kitab Undang
Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang penghasutan, 209 KUHP tentang penyuapan, 242
KUHP tentang sumpah palsu, 362 KUHP tentang pencurian. Pada pencurian misalnya, asal saja
sudah dipenuhi unsur-unsur dalam pasal 362 KUHP, tindak pidana sudah terjadi dan tidak
dipersoalkan lagi, apakah orang yang kecurian itu merasa rugi atau tidak, merasa terancam
kehidupannya atau tidak.
Sedangkan delik material selain dari pada tindakan yang terlarang itu dilakukan, masih
harus ada akibatnya yang timbul karena tindakan itu, baru dikatakan telah terjadi tindak pidana
tersebut sepenuhnya (voltooid). Misalnya: pasal 187 KUHP tentang pembakaran dan sebagainya,
338 KUHP tentang pembunuhan, 378 KUHP tentang penipuan, harus timbul akibat-akibat secara
berurutan kebakaran, matinya si korban, pemberian sesuatu barang.”

Secara singkat dapat simpulkan bahwa, delik formil tidak diperlukan adanya akibat,
terpenuhinya/terlaksananya perbuatan yang dialarang makan telah terjadi tindak pidana.
sedangkan delik materil, tindak pidana dinyatakan terjadi jika telah ada akibatnya. tidak mesti
mempersoalkan cara melakukan sesuatu yang menimbulkan akibat yang dialarang.

17). Unsur-unsur tindak pidana :


1. Perbuatan melawan hukum
Konsep sifat melawan hukum dalam hukum pidana dikenal dengan istilah dalam bahasa
Belandanya yaitu “wederechtelijk”. Dalam tindak pidana unsur melawan hukum sangat penting
karena unsur inilah yang akan menentukan apakah seseorang layak dijatuhkan pidana atau tidak.
Perbedaan pengertian hukum dan undang-undang berakibat berbedanya pengertian “sifat
melawan hukum” dan “sifat melawan undang-undang”. Bersifat melawan undang-undang berarti
bertentangan dengan undang-undang atau tidak sesuai dengan larangan/keharusan yang
ditentukan dalam undang-undang atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh
undang-undang. Sedangkan sifat melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum atau tidak
sesuai dengan larangan atau keharusan hukum atau menyerang suatu kepentingan yang
dilindungi oleh hukum.
Melawan hukum sebagai syarat umum perbuatan pidana tersimpul dalam pernyataan van
Hamel dalam buku Eddy O.S. Hiariej (2014:194) yang menyatakan “Sifat melawan hukum
dari suatu perbuatan pidana adalah bagian dari suatu pengertian yang umum, pembuat undang-
undang pidana tidak selalu menyatakan bagian ini tetapi ini merupakan dugaan. Demikian pula
pendapat Noyon dan Langemeijer yang menyatakan “Pengertian melawan hukum
bagaimanapun masih menjadi perhatian sebagai unsur rumusan delik. Dengan menyatakan
sesuatu perbuatan dapat dipidana maka pembentuk undang-undang memberitahukan bahwa ia
memandang perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum atau selanjutnya akan dipandang
demikian. Dipidananya sesuatu yang tidak bersifat melawan hukum tidak ada artinya”
Melawan hukum sebagai syarat khusus atau Speciale wederrechtelijkheid, biasanya kata
“melawan hukum” dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian sifat melawan
hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan.
Kemudian Simons mengatakan dalam buku S.R. Sianturi (2002:143) pengertian dari bersifat
melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum pada umumnya, tetapi dalam hubungan
bersifat melawan hukum sebagai salah satu unsur dari delik. Jika ada perselisihan mengenai ada
tidaknya sifat melawan hukum dari suatu tindakan, hakim tetap terikat pada perumusan undang-
undang. Artinya yang harus dibuktikan hanyalah yang dengan tegas dirumuskan dalam undang-
undang dalam rangka usaha pembuktian.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep sifat melawan hukum dalam hukum pidana itu dapat
dibagi menjadi dua macam yaitu :
1. Sifat Melawan Hukum Formil
Sifat melawan hukum formil atau Formeel wederrechtelijkheid mengandung arti semua bagian
(unsur-unsur) dari rumusan delik telah di penuhi. Demikian pendapat Jonkers yang menyatakan
“Melawan hukum formil jelas adalah karena bertentangan dengan undang-undang tetapi tidak
selaras dengan melawan hukum formil, juga melawan hukum materil, diantara pengertian
sesungguhnya dari melawan hukum, tidak hanya didasarkan pada hukum positif tertulis, tetapi
juga berdasar pada asas-asas umum hukum, pula berakar pada norma-norma yang tidak tertulis.
Sebagaimana yang diatur dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP, untuk dipidananya setiap perbuatan
menganut sifat melawan hukum formil”. Para penganut sifat melawan hukum formil
mengatakan, bahwa pada setiap pelanggaran delik sudah dengan sendirinya terdapat sifat
melawan hukum dari tindakan pelanggaran tersebut.
2. Sifat Melawan Hukum Materil
Sifat melawan hukum materil atau materiel wederrechtelijkheid terdapat dua pandangan.
Pertama. Sifat melawan hukum materiil dilihat dari sudut perbuatanya. Hal ini mengandung arti
perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh
pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu. Biasanya sifat melawan hukum materil
ini dengan sendirinya melekat pada delik-delik yang dirumuskan secara materil. Kedua Sifat
melawan hukum materil dilihat dari sudut sumber hukumnya. Hal ini mengandung makna
bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas
kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial dalam masyarakat.
Dengan demikian, bahwa pandangan sifat melawan hukum formilmengatakan bahwa
setiap pelanggaran delik sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum dari
pelanggaran tersebut. Berbeda dengan pandangan sifat melawan hukum materil yang
menyatakan bahwa “melawan hukum” merupakan unsur mutlak dalam perbuatan pidanaserta
melekat pada delik-delik yang dirumuskan secara materil sehingga membawa konsekuensi harus
dibuktikan oleh penuntut umum.

2. Ada pasal nya tindakan melawan hukum


3. Dolus (Kesengajaan)
Di dalam berbagai literatur, Dolus dapat diartikan kesengajaan. Artinya delik dolus
diperlukan adanya unsur kesengajaan. Misalkan, dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yakni dengan sengaja menyebabkan matinya orang lain. Contoh dari
delik-delik dolus di dalam KUHP adalah:

1. Pasal 354 yaitu dengan sengaja melukai orang lain, atau,


2. Pasal 231 yaitu dengan sengaja mengeluarkan barang-barang yang disita, atau,
3. Pasal 232 (2) yaitu dengan sengaja merusak segel dalam penyitaan, atau,
4. Pasal 187 yaitu dengan sengaja menimbulkan kebakaran.
Kesengajaan (opzet/dolus) dalam Hukum pidana merupakan salah satu bentuk dari schuld
(kesalahan). Dalam Memorie van Toelichting kesengajaan diartikan sebagai willens en
weten (menghendaki dan mengetahui). Artinya seseorang yang melakukan perbuatan dengan
sengaja harus menghendaki dan mengetahui tindakan tersebut dan/atau akibatnya.

Dalam ilmu pengetahuan hukum dikenal berbagai macam kesengajaan :


1. Dolus determinatus, merupakan suatu kesengajaan yang ditujukan pada suatu
sasaran/objek yang sudah pasti;
2. Dolus indeterminatus, merupakan bentuk kesengajaan yang ditujukan pada sasaran/atau
objek yang tidak tentu;
3. Dolus Alternativus, apabila pelaku menghendaki akibat yang satu atau yang lain
(misalnya matinya A atau B);
4. Dolus generalis, dalam hal ini adanya harapan dari terdakwa secara umum agar orang
yang dituju itu mati, bagaimanapun telah tercapai;
5. Dolus indirektus, merupakan keseluruhan akibat dari perbuatan yang disengaja, dituju
atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, dianggap sebagai hal yang dilakukan dengan sengaja;
6. Dolus premiditatus, merupakan kesengajaan yang direncanakan terlebih dahulu
(voorbedachte raade).
4. Culpa (Kelalaian)
Sedangkan Culpa dapat diartikan kealpaan, adalah seseorang dapat dipidana bila
kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya, menurut Pasal 359 KUHP yaitu dapat dipidana
seseorang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaan. Contoh lain delik-delik
culpa dalam KUHP adalah:
1. Pasal 189 yaitu karena kealpaan menyebabkan kebakaran, atau
2. Pasal 360 yaitu karena kealpaan menyebabkan orang lain mendapatkan luka-luka berat, atau
3. Pasal 232 yaitu karena kealpaannya menimbulkan rusaknya segel dalam penyitaan, atau
4. Pasal 231 (4) yaitu kealpaannya menyebabkan dikeluarkannya barang-barang dari sitaan.

5. Dapat Dipertanggung jawabkan


Pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
Kemampuan bertanggung jawab.
Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai
dengan hukum dan yang melawan hukum; (faktor akal)
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan
buruknya perbuatan tadi. (faktor perasaan/kehendak)

6.Ada Rasa Pembenar


Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun
perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak
bersifat melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan.
Pembenaran atas tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum
Alasan Pembenar ini diatur dalam KUHP yaitu pada pasal 31, 32, 33, 34, 35
Pasal tersebut diatas antara lain menjeleskan tentang :
Tidak dipidana, orang yang melakukan tindak pidana karena melaksanakan peraturan perundang-
undangan, melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang, keadaan
darurat, pembelaan diri.
Untuk lebih detail dan jelasnya bisa anda baca sendiri pasal-pasal KUHP tersebut diatas yang
menjelaskan tentang Alasan Pemaaf dan Alasan Pembenar Tindak Pidana.

7. Ada Rasa Pemaaf


Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang tidak dapat
dicela atau ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan , meskipun perbuatannya
bersifat melawan hukum. Di sini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga
tidak dipidana.
Pemaafan perbuatan seseorang sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum.
Alasan pemaaf ini diatur dalam KUHP yaitu pada pasal 42, 43, 44, 45, 46
Pasal tersebut diatas antara lain menjelaskan tentang :
Tidak dipidana, orang yang tidak mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan tindak
pidana, orang yang melakukan tindak pidana karena adanya paksaan, tekanan dan ancaman yang
tidak bisa dihindari.

8. Unsur Subyektif
Tindak pidana juga mengenal unsur subyektif, unsur ini meliputi :
1. Kesengajaan (dolus), dimana hal ini terdapat di dalam pelanggaran kesusilaan (Pasal 281
KUHP), perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP), pembunuhan (Pasal 338).
2. Kealpaan (culpa), dimana hal ini terdapat di dalam perampasan kemerdekaan (Pasal 334
KUHP), dan menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP), dan lain-lain.
3. Niat (voornemen), dimana hal ini terdapat di dalam percobaan atau poging (Pasal 53
KUHP)
4. Maksud (oogmerk), dimana hal ini terdapat dalam pencurian (Pasal 362 KUHP),
pemerasan (Pasal 368 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), dan lain-lain
5. Dengan rencana lebih dahulu (met voorbedachte rade), dimana hal ini terdapat dalam
membuang anak sendiri (Pasal 308 KUHP), membunuh anak sendiri (Pasal 341 KUHP),
membunuh anak sendiri dengan rencana (Pasal 342 KUHP).

9. Unsur Obyektif
Unsur Obyektif adalah unsur yang terdapat dari luar luar diri tindak pelaku. Unsur
Obyektif meliputi :
1. Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang
aktif (berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351
KUHP).
2. Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik material atau
delik yang dirumuskan secara material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP),
penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain.
3. Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum,
meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam perumusan.
Penutup

Demikian yang dapat saya paparkan mengenai Makalah Hukum Pidana yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran
apapun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-
kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para
pembaca yang budiman pada umumnya.
Wallohummuwafiq Illa Aqwammintoriq, Wassalammualaikum Wr. Wb
Daftar Pustaka

Moeljatno. KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. Ke-16, (Jakarta : Bumi Aksara,
1990.

Bawengan, Gerson W. 1983. Beberapa Pemikiran Mengenai Hukum Pidana di dalam Teori dan
Praktek. Jakarta: Pradnya Paramita.

Hadikusuma, Hilman. Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1992.


Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta; Rieneka Cipta Pustaka 1991
Kansil, CST. Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Ctk.9, Balai Pustaka, Jakarta,
1993,
Marpaung, Leden. Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT RINEKA CIPTA 1993
Prasetyo Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Ctk. I, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005,
Seno.Oemar,Adji, Perkembangan Hukum Pidana & Hukum Acara Pidana Sekarang Dan Dimasa
Jang Akan datang, Jakarta CV. Pantjuran Tujuh 1971
Soetami A. Siti. Pengantar Tata Hukum Indonesia; Bandung, PT Refika Aditama 2007

Anda mungkin juga menyukai