Anda di halaman 1dari 31

Liberalisasi Produk

Pertanian dan
Olahannya

Sum
Pokok-pokok Masalah

1. Sejarah Panjang Liberalisasi Pertanian


2. Trend Perdagangan Era WTO
3. Sikap Negara-negara Pro-liberalisasi
4. Perjuangan Negara-negara Penentang
5. Kebijakan Pangan Nasional
I. Sejarah Panjang Liberalisasi Pertanian
Konfliks produk pangan dalam perdagangan
multilateral, sudah terjadi 150 tahun lalu
Cobden–Chevalier Treaty:
1860 : ditandatangani - macet
1867 : diperluas ke produk pertanian - jalan
Tahun 1890: krisis ekonomi dunia (pertama?)
Diselamatkan perdagangan produk pangan hasil
olahan industri .
Indonesia diuntungkan, Tanam Paksa berakhir
Diganti Politik Etis: awal liberalisasi
I. Sejarah Panjang Liberalisasi (Lanj.)
North Atlantic Treaty, berdiri tahun 1915
Anggota lebih luas dari Cobden–Chevalier
Sukses mengantar kesuksesan anggota
Macet karena perdagangan produk2 pertanian
Disepakati Havana Charter (1940), tidak efektif
Tahun 1947: dibentuk GATT
Kumpulan kesepakatan perdagangan dan tarif
Bukan organisasi
Forum negosiasi perdagangan antar pemerintah
Asumsi: sistem dagang terbuka lebih efisisen
I. Sejarah Panjang Liberalisasi (Lanj.)
GATT:
Tatanan perdagangan multilateral terlama
Sukses meluaskan wilayah dagang ke Timteng
dan Amerika Latin (Kennedy I & II), dan ke
Asia Timur dan Selatan (Tokyo I dan II)
Sukses mengatasi krisis ekonomi (Uruguay 1)
Macet di produk pertanian (Uruguay 2)
Sukses Uruguay Putaran 1:
kebebasan berdagang dengan sekecil mungkin
hambatan: cikal bakal liberalisme
I. Sejarah Panjang Liberalisasi (Lanj.)
Kesuksesan Uruguay Putaran 1:
Diterima secara kolektif untuk produk-produk lain
Ditolak untuk produk pertanian dan olahannya
Anggota terpecah menjadi 2 kelompok:
Pendukung: AS, CAN, EU (kecuali Portugal), AUS &
NZ
Penolak: IFAP, JPN, KOR, FRC, Amerika Latin &
Afrika & most developing world
Negosiasi dilanjutkan 1990, 1991, 1992: gagal
Lagi 1994, gagal lagi, GATT bubar, ganti WTO
II. Trend Perdagangan Era WTO

Merupakan sebuah organisasi negara. Berbeda


dengan GATT yang kumpulan kesepakatan:
Kewajiban anggota: meratifikasi konvensi WTO
Hak anggota: mendapat perlakuan tidak
diskriminatif dari anggota lain, di bidang tarif, non
tarif dan national treatment
WTO lahir dengan “bekal” stagnasi perdagangan
pertanian dan olahannya dari era GATT
II. Trend Perdagangan Era WTO (Lanj.)
Prinsip-prinsip kebersamaan dalam WTO:
Most Favoured Nation (MFN): Perlakuan non-
diskriminasi antar sesama anggota WTO.
National Treatment: Setiap anggota wajib
memberi perlakuan sama atas barang2 impor dan
barang lokal.
Transparency : Anggota wajib bersikap terbuka
terhadap berbagai kebijakan perdagangannya
kepada anggota lain
II. Trend Perdagangan Era WTO (Lanj.)
Isu-isu baru yang dimasukkan dalam tatanan
WTO (yang tidak diatur dalam GATT):
Perdagangan yang berkaitan dengan hak cipta
(Trade-Related Aspects of Intellectual Property
Rights/TRIPS),
Kesepakatan dalam Perdagangan Jasa ( General
Agreement on Trade in Services/GATS),
Penyelesaian sengketa dan aturan investasi
(Trade Related Investment Measure/TRIMs )
II. Trend Perdagangan Era WTO (Lanj.)
Dari kebuntuan GATT, maka WTO berkomitmen
mencari titik temu:
Komitmen dituangkan dalam Agreement on
Agriculture (AoA), dibuat dalam dua tahap:
Tahap I (1995), sasaran: setiap negara mau
menghapus tarif pertaniannya dan mau
menghapus subsidi pertaniannya
Tahap-II (2003 - sekarang): pengurangan tarif dan
pemotongan subsidi lebih lanjut.
Intinya: perdagangan yg bebas produk pertanian
II. Trend Perdagangan Era WTO (Lanj.)
AoA ide besarnya adalah menjembatani perbedaan
antar anggota, melalui kesepakatan-kesepakatan
untuk:
1) perluasan akses pasar untuk produk pertanian
melalui pengurangan tarif,
2) pengurangan subsidi ekspor,
3) penurunan subsidi domestik, dan
4) ratifikasi non tariff concerns, yang meliputi:
a) Pelestarian lingkungan (di protokol sebelumnya
rules of origin)
b) Animal welfare
c) Perubahan iklim
III. Sikap Negara-negara Pro-liberalisasi
Semangat “perluasan akses pasar melalui pengu-
rangan tarif dan ratifikasi non tarif, pengurangan
subsidi ekspor, dan penurunan subsidi domestik”
Hanya berlaku bagi negara berkembang dan bukan
pada negara maju.
Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) tahun
1995, 1997 dan 1999 negara maju belum
meliberalisasi pasar bagi negara berkembang.
Sebaliknya mereka mendesak negara miskin untuk
membuka pasar untuk produk pertanian dan olahan
mereka
III. Sikap Negara-negara Pro-liberalisasi ( Lanjt)

Pada KTM IV (2001) di Doha, Qatar, dicapai


kesepakatan yang dikenal dengan Doha
Development Agenda (DDA):
Sebuah deklarasi menyeimbangkan kepentingan
negara sedang berkembang dan negara maju
Negara penentang liberalisasi pertannian (negara
sedang berkembang) mengajukan:
ketahanan pangan, pembangunan pedesaan, dan
pengentasan kemiskinan dipertimbangkan sebagai
Non Trade Concern, yang tentu tuntutan ketahanan
ditolak
III. Sikap Negara-negara Pro-liberalisasi ( Lanjt)

Implementasi DDA selanjutnya kembali


berhadapan dengan perbedaan kepentingan:
Negara maju mendesak negara sedang
berkembang membuka pasar lebar-lebar bagi
produk mereka
Negara maju mempertahankan subsidi pertanian
mereka,
Produk negara maju masuk ke negara sedang
berkembang dengan harga lebih rendah dengan
mutu yang jauh lebih baik
III. Sikap Negara-negara Pro-liberalisasi ( Lanjt)

Putaran Doha atau Doha Development Agenda,


dimulai thn 2001, sebagai jawaban kebuntuan
kepentingan negara maju dan berkembang.
Putaran Doha semula diharapkan menghasilkan
sebuah tatanan perdagangan Internasional yang
baru menggantikan Putaran Uruguay.
Karena akhirnya Putaran Doha pun macet,
karenanya DDA diteruskan sampai sekarang.
Agenda WTO untuk meliberalisasi perdagangan
produk pertanian dan olahannya, tertunda.
III. Sikap Negara-negara Pro-liberalisasi ( Lanjt)
4 Kenakalan negara-negara maju:
1. Menekan negara sedang berkembang
menurunkan subsidi pertanian
Indonesia menurunkan subsidi pupuk dan obat
2. “Memberi subsidi” besar pada sistem produksi
maupun ekspor pertaniannya
AS: Rp. 2,3 juta/ha/ lahan tahun
Uni Eropa: US $ 2,2/ekor sapi/hari
3. Menekan negara sedang berkembang membuka
akses pasar bagi produk-produknya
4. Membatasi akses pasar domestik mereka dengan
berbagai isu: keamanan pangan dll.
IV. Perjuangan Negara-2 Penentang
Kegagalan KTM V di Cancun (2003), berakar dari 4
kenakalan negara pro liberalisasi (negara maju)
Muncul gerakan 22 negara (2003), established
tahun 2005 oleh 33 negara, dikenal dengan G-33.
Sekarang berjumlah 45 negara
G-33, dipimpin Indonesia, memperjuangkan:
1.Strategic Product (SP)
2.Special Safeguard Mechanism (SSM)
3.Special and Differential Treatment (SDT)
Untuk produk-produk tertentu
IV. Perjuangan Negara-2 Penentang (Lanj)
SP, SSM dan SDT, pada dasarnya satu rangkaian
pengecualian perlakuan WTO
Produk-produk yang masuk SP: beras, gula,
kedelai, daging dll yang dihasilkan masif petani
dan/atau dikonsumsi sebagai kebutuhan pokok di
negara-negara berkembang
Produk-produk tersebut perlu “pengawalan” dalam
proses produksi maupun distribusinya
Perdagangannya pun memerlukan perlakuan
khusus, yang tidak disamakan produk2 lain
IV. Perjuangan Negara-2 Penentang (Lanj)
Perkembangan negara-2 pro & kontra liberalisasi
Tahun Pendukung Penentang Abstain
AS, UE, CAN, AUST,
1987 Ngr2 SLT
NZ, Timteng
AS, UE, CAN, KOR, Timteng kecl
1992 Ngr2 SLT, MSR
AUST, NZ, JPN Mesir
AS, UE (Kecl. PRC),
Ngr2 SLT, Timteng kecl
1994 CAN, AUST, NZ,
PRC, MSR Mesir
KOR, JPN
Ngr2 SLT,
AS, CAN, UE (tmsk Timteng kecl
2001 MSR, IND,
PRC), AUST, NZ Mesir
JPN, KOR, CHI
IV. Perjuangan Negara-2 Penentang (Lanj)
EU dan G-10 keberatan dengan tuntutan G-33:
a. Tarif impor di negara maju diturunkan.
b. Pembatasan impor bila produksi dalam negeri
memungkinkan
c. Pemberian subsidi untuk sistem produksi dan
modalitinya (penelitian pengembangan varietas
baru dst)
Penolakan G-10, ditantang koordinator delegasi G-
33, Marie Elka Pangestu: G-33 menghentikan
semua proses negosiasi: EU dan G-10 melunak
IV. Perjuangan Negara-2 Penentang (Lanj)
G-33 dalam perjalanan selanjutnya, muncul friksi-
friksi internal, terutama SSM
SSM adalah skema melindungi jutaan petani kecil
di negara-negara yang sedang berkembang.
SSM mengijinkan negara berkembang melindungi
produsennya dari kenaikan volume impor atau
penurunan harga dengan menaikkan pajak impor
dalam sementara waktu
Argentina, Brasil, dan Thailand: menentang
Perbedaan diatasi dengan skema dagang bilateral
IV. Perjuangan Negara-2 Penentang (Lanj)
KTM di Geneva, 2008, tahap kritis liberalisasi
putaran Doha
Harapannya: protokol liberalisasi pertanian
terbentuk, untuk disahkan 2010, di Seoul
Negosiasi menemui jalan buntu
G-33 berhasil “menggagalkan” draft protokol,
karena tuntutan SP, SSM dan SDT tidak masuk
dalam draft blue print WTO
KTM di Seoul 2010, protokol kembali gagal
dibentuk, bahkan blue printnya pun gagal disusun
IV. Perjuangan Negara-2 Penentang (Lanj)
Kegagalan KTM di Jenewa dan Seoul,
menunjukkan:
G-33 merupakan “kekuatan baru” yang
diperhitungkan dalam proses liberalisasi
perdagangan global
Sampai sekarang, perjuangan G-33 belum
menunjukkan hasil nyata:
Yaitu: tuntutan SP, SSM dan SDT tidak masuk
dalam draft blue print WTO dalam liberalisasi
perdagangan produk pertanian dan olahannya
IV. Perjuangan Negara-2 Penentang (Lanj)
Keberhasilan G-33 (sampai sekarang) masih
terbatas pada tingkat:
“menggagalkan” tahapan-tahapan liberalisasi
perdagangan produk pertanian dan olahannya
Efektif dapat “menunda” kehancuran negara
berkembang dari gempuran produk-produk
pertanian negara maju
Dirjen WTO, Pascal Lamy:
negara berkembang sudah tidak mau lagi terus
berada dalam kolonialisme dagang negara maju
V. Kebijakan Pangan Nasional
Indonesia is “good boy” di WTO:
Sejak tekanan negara maju untuk menurunkan
subsidi pertanian, pada negosiasi GATT 1992
Indonesia telah menurunkan lebih dari 40% subsidi
pupuk dan pestisida
Pasca KTM di Cancun, 2003, yang sesungguhnya
“gagal” itu:
Indonesia “dengan manis” tidak hanya menurunkan
subsidi, tetapi juga membatasi
Pupuk lebih mahal dan langka,
V. Kebijakan Pangan Nasional (Lanj.)
Disamping “manis” menurunkan subsidi, Indonesia
juga “patuh” melaksanakan seruan negara maju
(bukan WTO) yang lain: menurunkan pajak impor:
Sejak 2004 telah dikeluarkan 20 Permenkeu:
•13 Permen menurunkan pajak impor
•4 Permen mengatur pengelompokan barang (yang
dapat diturunkan pajaknya)
•2 Permen yang dengan “baik hati” mengatur
“pajak impor yang harus ditanggung APBN”.
V. Kebijakan Pangan Nasional (Lanj.)
Puncaknya PMK No. 128/PMK.Oll/2010 tentang
Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor:
Pajak impor seluruh produk sebesar 0%.
Vis a vis tahun 2004, pajak impor Indonesia:
produk mentah : 25%
produk setengah jadi : 30%
produk jadi : 35%.
Untuk apa sebenarnya penurunan pajak impor ini?
V. Kebijakan Pangan Nasional (Lanj.)
Nilai impor Indonesia:
Tahun 2011 = US $ 186 Miliar
Tahun 2012 = US $ 206 miliar (pred Depprindag).
Bila pajak impor masih sebesar 10%, berapa
pendapatan negara yang hilang?
Benarkah penurunan pajak ini karena “kesetiaan”
kita terhadap WTO?
Bila benar, untuk apa? Bukankah negara-2 pro
liberalisasi masih mensubsidi pertaniannya dan
V. Kebijakan Pangan Nasional (Lanj.)
Bila perkembangan WTO dalam liberalisasi
perdagangan ternyata belum menyentuh produk
pertanian dan olahannya:
Kenapa kita sudah “baik hati” mendahului
pelaksanaannya?”
Ataukah benar apa yang dikatakan Almarhum Gus
Dur (saat menjadi Presiden): “peduli setan dengan
IMF”
Artinya: penurunan pajak impor ini bukan karena
liberalisasi perdagangan WTO, tetapi karena
tekanan IMF?
V. Kebijakan Pangan Nasional (Lanj.)
Seberapa peran IMF terhadap perekonomian
Indonesia, sampai dapat “mendikte” semahal itu?
Seluruh utang Indonesia s/d Juli 2012 = US $ 186
miliar
Ditambah penjualan obligasi = US $ 221 miliar
Hutang ke IMF = US $ 3 miliar.
Bila hutang kita hanya sebesar itu, kenapa kita
begitu “nurut” melakukan perintahnya?
Bila pajak impor kita naikkan 2,5% saja, kita sudah
bisa melunasinya
V. Kebijakan Pangan Nasional (Lanj.)

Bagaimana Indonesia harus bersikap?


Dapatkah Indonesia menyelamatkan
diri dari lingkaran ekonomi global
WTO?

Anda mungkin juga menyukai