Anda di halaman 1dari 39

Unta Masuk Lubang Jarum Cerpen Danarto Dimuat di Jawa Pos 03/08/2009 Telah Disimak 776 kali TIGA

orang serdadu Israel itu terkaget-kaget menatap seorang perempuan Palestina yang berdiri diam tak bergerak menggendong bayinya yang menangis. Tiga orang serdadu Israel itu takjub menatap seorang perempuan Palestina yang berdiri diam tak bergerak menggendong bayinya yang menangis. Tiga orang serdadu Israel itu tercekat menatap seorang perempuan Palestina yang berdiri diam tak bergerak menggendong bayinya yang menangis. Ketiganya menyigi perempuan itu dengan mengelilinginya. Seorang di antaranya menyingkap kerudung perempuan itu yang tampak wajahnya tirus dengan mata tertutup. Seorang temannya mendekat ikut menatap wajah yang tersingkap itu. Kedua serdadu itu lalu saling pandang. Ketiga serdadu itu menyaksikan dari tubuh perempuan itu mengucur darah dari lubang-lubang yang menganga. Seluruh tubuh perempuan itu dipenuhi lubang yang mengucurkan darah deras mengalir. Bahkan pada kepalanya yang tertutup kerudung, mengucur darah segar yang menuruni lekuk-liku kain kerudungnya. Tetapi, mengapa tubuh perempuan itu tidak tumbang? Mengapa bayinya tetap menangis, yang artinya tak sebutir peluru pun menembus tubuhnya? Ketiga serdadu Israel itu bengong. Ketiganya saling pandang. Tak sepatah kata terucap. Ketiga mata serdadu Israel itu seperti menatap udara kosong. Ribuan serdadu Israel merangsek ke pemukiman penduduk Gaza pada Jumat yang kelam, 8 Desember 2008. Udara penuh asap dan debu oleh bombardemen pasukan udara Israel yang gelegar-menggelegar. Sementara itu rentetan tembakan beruntun pasukan Hamas menjawab dentuman-dentuman meriam tanktank Israel yang memperkuat serbuan lewat darat. Terdengar teriakan, jeritan, suara komando, panggilan, aba-aba. Suara-suara besar-kecil, melengking-membenam yang silang sengkarut saling tumpang-tindih menghunjam kawasan yang porak-poranda dengan potongan-potongan tembok bertumpuk dan berserak. Tiga orang serdadu Israel itu secepat kilat bertiarap karena suara desingan peluru-peluru yang memburu. Sambil menutup wajahnya dengan senjata, ketiganya kembali menatap ke tubuh perempuan yang tetap berdiri menggendong bayinya yang menangis, yang tegak persis di hadapan mereka. ''Unta masuk lubang jarum,'' celetuk satu di antara ketiga serdadu Israel itu sambil menatap perempuan yang mematung menggendong bayinya yang terus menangis itu. ''Apa kamu bilang?'' sahut temannya. ''Selalu saja dari ribuan orang Palestina, seorang di antaranya lulus,'' sambung serdadu tadi. ''Entah apa maksud omonganmu, tapi lebih baik kalau kamu tutup mulut,'' celetuk yang lain. ''Kita berhasil mengobrak-abrik Gaza tapi rasanya kita akan pulang dengan tangan hampa.'' ''Nah, ngomong apa lagi kamu. Tangan hampa?'' sahut serdadu ketiga, ''Memangnya kita harus bawa oleh-oleh?'' ''Kita menghadapi benteng yang kokoh.'' ''Benteng yang kokoh? Jangan ngaco, ah.'' ''Seorang perempuan yang menggendong bayinya...'' ''Kita bisa merobohkannya sekarang!'' sergah serdadu ketiga sambil menghamburkan peluru ke tubuh perempuan yang tegak itu. Serentak darah segar berhamburan dari tubuh perempuan itu yang disambut bayinya yang lebih kencang menangis. Ketiga serdadu itu semakin takjub oleh kekuatan perempuan itu yang ditelan oleh asap campur debu oleh suara-suara berdebum bongkahan-bongkahan tembok yang berantakan memenuhi kawasan yang baru saja hancur di sebelahnya.

Sekejap hampa. Sekejap setan lewat. Sekejap menelan senyap. ''Ayolah kita tunggu seberapa pun lamanya untuk menyaksikan perempuan itu roboh.'' ''Kapan ada ceritanya, Palestina roboh?'' ''Jadi perempuan itu tak akan pernah roboh?'' ''Kitab suci dapat dirobek-robek tapi ia tetap kitab suci.'' Ketiga serdadu Israel itu seketika diam, serentetan tembakan berdesing di atas kepala mereka. Angin berdesir kencang, menyapu emosi dan kesalahan. Ketiganya membenamkan tubuhnya. Ketiganya mencari ceruk reruntuhan bangunan dari bongkahan-bongkahan tembok. Segalanya berserak. Segalanya berderak. Terlalu hancur, terlalu lebur. Ketiganya lalu melunker, mencoba meringkas tubuhnya sekecil reptil. Di dalam ceruk itu, barangkali aman mereguk. Kembali ketiganya menatap perempuan yang berdiri dengan bayinya yang masih terus menangis itu. ''Saya mau menulis lagu tentang Palestina.'' ''Kamu bisa menulis lagu?'' ''Tidak.'' ''Barangkali menulis puisi.'' ''Kamu pernah menulis puisi?'' ''Belum.'' ''Adikku pintar menulis puisi.'' ''Di mana adikmu?'' ''Di Tel Aviv.'' Ketiganya membuka kaleng makanan dari dalam ransel bekal yang menggayut di pundaknya. Ada yang membuka kaleng sayuran. Dari kaleng lainnya, temannya makan buah. Satu orang diam saja. Sementara itu tangis bayi masih terus merintih. ''Kenapa kamu nggak makan?'' ''Aku tidak lapar.'' ''Kamu kelihatan sedih.'' ''Selalu banyak yang aneh dalam peperangan.'' ''Haruskah aku bungkam itu bayi?'' ''Coba saja.'' ''Haruskah mulut bayi itu aku sorongkan ke puting dada ibunya?'' ''Coba saja.'' ''Konon perempuan yang mati, masih terus memproduksi susu.'' Tiba-tiba hening. Minta bunyi denting. Siapa memencet tuts piano? Terjadi gencatan senjata selama tiga

jam. Selama itu Israel dan Hamas menghentikan baku tembak mereka. Berhamburan penduduk Gaza menyerbu toko-toko makanan. Mereka memborong apa saja dengan cepat. Waktu genjatan senjata tiga jam sangat pelit. Roti, susu, kue, milk, makanan kaleng, sosis, mi instan, buah, lampu darurat, lilin, korek api, dan air mineral. Tidak banyak yang bisa dibeli. Persediaan makanan di toko-toko semakin tipis. Orang-orang juga mencari kayu bakar untuk memasak karena gas dan listrik sudah tidak ada lagi. Anak-anak tak mau makan. Mereka membisu. Jiwa mereka sangat terguncang. Hati mereka teriris-iris. Dengan mata membelalak, air mata mereka berlelehan tak bisa dibendung, mengalir dengan sendirinya dengan mulut terkunci. Mata mereka kosong. Ini bukan mimpi buruk. Ibu-ibu mereka tak bisa mengariharih dengan mengatakan ini cuma mimpi buruk, tak nyata. Semua peristiwa yang mengerikan itu benarbenar terjadi. Anak-anak tak bisa dininabobokkan lagi karena jiwa mereka telah terluka, luka parah, menyaksikan teman-temannya terkapar bersimbah darah. Sampai sejauh ini, korban di Gaza mencapai 1.500 jiwa, di antaranya 500 anak-anak, dan 5.500 terluka, ketika genjatan senjata sepihak oleh Israel pada 18 Januari 2009, ketika pertempuran sudah berlangsung lebih dari 20 hari, dua hari menjelang Barack Obama dilantik menjadi Presiden Amerika. Perumahan penduduk, markas PBB, juga rumah sakit dihancurkan oleh bom-bom pesawat tempur Israel yang menuduh di bawah gedung perawatan itu tergelar terowongan-terowongan untuk kegiatan penyelundupan senjata oleh Hamas. Dalam peperangan yang tidak seimbang itu, terkuak rahasia atas Israel yang bereksperimen menggunakan bom fosfor yang dapat menghanguskan kulit. Korban pun berjatuhan. Dunia internasional meradang dan siap menggelandang Israel ke pengadilan sebagai penjahat perang. Bongkahan-bongkahan tembok yang memenuhi tanah di sekeliling perempuan yang mematung menggendong bayinya itu semakin meneguhkan perempuan itu sebagai saksi sejarah peperangan antara Palestina melawan Israel. Perempuan yang tak pernah roboh. Tak juga bayi itu diam. Bayi itu masih terus menangis menyebarkan air matanya ke seluruh kawasan Timur Tengah. Tiga serdadu Israel itu jadi jengah. Ketiganya tetap menantap perempuan yang tak terusik itu. ''Rasanya setelah kita tewas dalam pertempuran ini, baru perempuan itu tumbang,'' celetuk satu di antara tiga sekawan itu. Kedua serdadu temannya hanya menatap korbannya yang senyap. ''Aku tak mau mati. Aku mau pindah ke Amerika saja. Tak ada yang perlu aku pertahankan di sini,'' celetuk temannya yang sejak tadi diam saja. ''Selamat jalan, sobat.'' ''Semoga di Amerika kamu berbahagia.'' ''Terima kasih.'' ''Bawalah monumen Palestina ini ke Amaerika,'' kata serdadu yang pendiam itu sambil menunjuk perempuan di hadapannya. Lalu senyap. Demit-demit menyerap. ''Dalam peperangan banyak kejadian yang bukan peristiwa sebenarnya.'' ''Apa maksudmu?'' ''Kejadian jadi-jadian.'' Tapi perempuan itu tetap tegak dengan darah yang berlelehan dari seluruh tubuhnya dengan membopong bayinya yang terus menangis. *** Kota Tangerang Selatan, 20 Januari 2009 Bintang Bethlehem

Cerpen Danarto Dimuat di Jawa Pos 12/28/2008 Telah Disimak 664 kali

Di sebuah bukit kapur yang di sana sini ditumbuhi pohon kurma di Kota Jericho, Palestina, tiga orang anak tampak menghentikan permainannya secara mendadak yang semula ketiganya saling berkejaran. Ketiga anak itu, masing-masing sekitar 12 tahun usianya, menatap ke angkasa. Ada sesuatu di langit yang terlalu menarik untuk tidak diperhatikan. Sebuah benda yang luar biasa besarnya, persis bongkahan batu raksasa, warna emas dibalut oranye, sedang melayang pelan dari arah timur menuju ke barat. Sebuah bongkahan cahaya yang lebih cemerlang daripada sinar matahari. Bongkahan batu raksasa yang berkilau-kilau bagai permukaan danau yang memancarkan cahayanya dengan pekat itu -kadang cahaya itu meleleh lurus menghunjam bumi- menarik ketiga anak itu untuk mengikutinya. Ketiga anak itu, siapa pun namanya, marilah kita sebut saja: Aaron, Alan, dan Ahmed, sambil mendongakkan kepalanya terus-menerus, menatap bongkahan itu yang rasanya bisa digapai tangan. Sering mereka -karena mendongak terus- terjatuh karena tersandung. Ketiganya bangkit, lalu bergerak tanpa berucap sepatah pun mengikuti benda yang melayang lamban itu, entah dari mana asalnya dan entah mau ke mana. Bukit kapur campur pasir. Bukit lengang kadang disapu angin kencang. Bukit kapur bukit ilalang, tumbuhan kurma, rumput, dan senyap panas. Bukit tanpa setetes air minum, tanpa secuil makanan, tanpa setangkup atap, kadang ditumbuhi kebun pisang (benar itu kebun pisang?). Tentara-tentara Palestina yang berjaga dalam tenda dengan persenjataan seadanya terus-menerus belajar untuk memerintah. Satu saat waktu itu pasti datang, di mana tentara-tentara Palestina sangat sibuk dengan satu pemerintahan, Republik Palestina. Semuanya mendorong untuk bersyukur (tanah gersang, angin panas, kawasan yang sepi, dunia yang tak nyaman), bahkan militer Israel yang dihadapi secara frontal tanpa sengaja dapat memberikan jalan keluar meski berbahaya ketika sarapan, ketika rapat di siang, ketika istirahat pukul 15.00, ketika tidur malam (apakah ada dunia tandingan bagi dunia Palestina yang demikian?). *** Pertempuran yang meletus secara sporadis antara militer Israel melawan gerilyawan Palestina yang terjadi di Jalur Gaza, Tepi Barat, maupun di Hebron ataupun Jericho sudah dapat diduga hasilnya: perdamaian antara kedua kekuatan itu semakin menjauh. Justru di saat keduanya sangat bersemangat untuk berunding menyambut perdamaian, saat itu juga meletus pertempuran. Pemerintah Israel dengan Fatah maupun Hamas di satu pihak, lalu pemerintah Israel dengan para gerilyawan Palestina yang terdiri dari berbagai faksi di lain pihak, di samping Hamas dengan Fatah di meja yang terbelah, menghasilkan halaman yang carut-marut karena ketumpahan tinta sehingga butirbutir kesepakatan terhapus oleh guyuran cairan hitam itu, tanda cinta pada Tanah Air yang satu. Namun, diam-diam semangat untuk membangun perdamaian abadi juga muncul dari warga kebanyakan dari keduanya. Karena sudah jenuh terhadap pertikaian yang tak kunjung padam yang berlangsung puluhan tahun dan menyadari bahwa Israel maupun Palestina sebenarnya bersaudara adalah mustahil tak bisa dirukunkan, mereka pun bekerja keras menggiring siapa saja ke meja perundingan. Selalu saja terjadi letusan rentetan tembakan dan bom yang meledak yang menyebabkan semua rencana perdamaian itu berantakan. Ketika semua kekuatan bersiaga di lubang perlindungan dengan persenjataan yang paling piawai, mendadak muncul ketiga anak itu melintas di hadapan peperangan yang memerah. ''Apa kita habisi saja ketiga anak itu?'' bisik seorang serdadu Israel kepada temannya di lubang perlindungan. ''Misi apa yang diemban oleh ketiga anak itu?'' bisik seorang gerilyawan Palestina kepada temannya dari balik gundukan tanah cadas tempat persembunyiannya.

''Lihatlah ke atas!'' serunya, ''Apakah itu pesawat tempur mutakhir Israel?'' ''Apakah itu bomber eksperimen Hizbullah?'' seru serdadu Israel sambil menunjuk ke atas. Semua terbengong-bengong menatap bongkahan raksasa yang cemlorong itu. Para serdadu Israel, para gerilyawan Palestina, kelompok Fatah, kelompok Hamas, gerilyawan Hizbullah, dan semua kelompok gerilyawan perlawanan terhadap pemerintah Israel. Benda apakah itu? Dari mana? Mau ke mana? Siapa yang membuatnya? Tiba-tiba lima pesawat jet mutakhir Israel menghambur sambil memuntahkan roket-roket peluru ke bongkahan batu yang berbinar-binar itu, namun semua tembakan itu hanya mengenai udara hampa. Bagaimana mungkin cahaya bisa ditembak? *** Justru bila roket-roket peluru itu mengejar pesawat-pesawat tempur itu, suatu bumerang. Dengan susahpayah, lima jet itu menghancurkan sepuluh roket pelurunya sendiri disertai omelan para pilotnya. Di tempat persembunyian masing-masing, para serdadu Israel dan para gerilyawan Palestina bersorak menyaksikan peristiwa itu. ''Jet-jet yang bodoh!'' seru serdadu-serdadu Israel mengolok-olok teman-temannya. ''Pilot-pilot buta huruf Tel Aviv,'' seru para gerilyawan Palestina terbahak. Dan, tiga anak itu terkaget-kaget mendengar ledakan beruntun di angkasa. Ketiganya terus melintas tanpa peduli apa yang sedang mengepungnya. Lalu, tembakan-tembakan berdesingan dan ketiga anak itu bertiarap. Mereka saling toleh penuh tanya. ''Kita ditembak,'' kata Aaron. ''Siapa yang menembak?'' tanya Alan. ''Hantu,'' kata Ahmed. Lalu, ketiganya berlari terus mengikuti bongkahan raksasa itu supaya tidak ketinggalan sambil merunduk menghindari kemungkinan terjangan peluru-puluru yang beruntun. ''Tiga anak itu memang bandel!'' seru seorang serdadu Israel sambil melepaskan tembakan-tembakan lewat senapan teropong. Tapi, tak satu pun dari ketiga anak itu yang roboh, padahal tidak ada satu pun sasaran yang bisa lolos dari senapan teropong. Serdadu Israel itu penasaran. Ia lepaskan tembakan lagi dan ketiga anak itu tetap berlari. Serdadu-serdadu Israel itu terheran-heran. ''Anak-anak ajaib!'' seru serdadu Israel itu. ''Jangan ganggu tiga anak itu,'' kata seorang gerilyawan Palestina kepada temannya di gua persembunyiannya. ''Kenapa?'' tanya yang lain. ''Pokoknya, jangan ganggu.'' ''Aku ingin dengar alasannya.'' Presiden Israel, presiden Palestina, presiden Mesir, presiden Syria, presiden Lebanon, presiden Jordania saling bertanya tentang benda angkasa itu. Pesawat-pesawat jet tempur Amerika dari kapal destroyer Dwight Eisenhower yang menyandar di Laut Merah melakukan manuver-manuver sedekat mungkin

dengan bongkahan raksasa yang mencorong itu. Pentagon kirim pertanyaan kepada Mossad. Sementara itu, benda angkasa yang tak bisa diidentifikasi itu terus melayang ke arah barat. Sering ketiga anak itu menampung lelehan-lelehan cahaya dari benda itu. *** Dari telapak tangan ketiga anak itu, berpendar-pendar cahaya selaksa yang kemudian ditiupnya sampai kabur ke udara, melayang-layang naik turun ditiup angin yang membawanya pergi menjauh. Bercampur awan, menyelinap hilang dan menyembul kembali, melabur dinding-dinding awan itu dengan warnawarni seperti kebiasaan ketiga anak itu mencorat-coret dinding pembatas yang dibangun pemerintah Israel untuk memisahkan tanah Israel dengan kawasan Palestina. Seluruh penerbangan yang datang dan pergi di Bandara Ben Gueron, Israel, ditutup. Bandara akan dibuka kembali setelah benda angkasa yang entah itu diketahui. Benda angkasa itu akhirnya menyeberang di atas Laut Tengah dan dua belas pesawat jet tempur Amerika dan Israel kehilangan jejak. Pasukan khusus Amerika dan Israel yang mengejar ketiga anak itu tak mampu menemukannya. Entah ke mana anak-anak itu mengembara yang kedatangannya kembali sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga masing-masing.*** Tangerang, 28 Oktober 2008

Jembatan Merah Cerpen Danarto Dimuat di Jawa Pos 11/09/2008 Telah Disimak 913 kali

Setiap tanggal 10 November kami berbondong datang dari berbagai kota untuk berziarah ke Taman Makam Pahlawan Surabaya di mana ''Bidadari November'' kami kuburkan. Kami, berikut keluarga kami, berdoa penuh khidmat di kuburan seorang perempuan, pahlawan kami, yang sesungguhnya tak kami kenal yang kedudukannya sangat misterius sampai kami beranak-pinak di berbagai kota besar dan kecil di seantero pulau Nusantara ini. Dewi ini, siapa pun dan apa pun namanya, tanpa sengaja atau disengaja, telah menyelamatkan nyawa kami, tujuh pejuang, yang sebenarnya tak cukup berjuang, punya banyak alasan untuk menghindar dari pertempuran karena tak punya peluru cukup, yang sesungguhnya tak punya keberanian cukup. Hati orang siapa bisa menduga, bahkan Tuhan pun tidak (nah, ada gejala murtad). Tapi Tuhan tak bisa ditanya. Kita hanya bertatap wajah dengan diam. Ruang lengang, waktu pun beku. Tak bisa kita memaksa kalender bicara karena ia sudah banyak berujar tentang hari-hari penuh berkah atau penuh pertempuran, setahun lamanya. Hanya kita yang tak bisa menebak padahal seribu bahan dugaan dalam diri perempuan yang duduk di depan kami ini. Alangkah bodohnya kami ketika seorang di antara kami memaksanya mengaku: Kamu mata-mata musuh. Perempuan itu cuma diam bagai beban di pundaknya membenamkannya. Memang banyak musuh kami: Jepang, Belanda, para pengkhianat, mata-mata, dan para komprador. Tapi kenapa perempuan di depan kami ini cuma diam saja? Dia tak membela diri? Apa dia stres? Apa dia pemberani? Apa dia menantang kami untuk menggunakan kekerasan? Hari itu kami terjebak di dalam gedung-gedung yang sudah hangus terbakar di sekitar Jembatan Merah. Kami bertujuh: Jubair, Manua, Roy, Topo, Fadli, Nowo, dan saya, Gowo. Dengan empat bedil, tiga pistol, sebelas peluru, dan perut kosong, kami tak bisa lari karena kami sudah terkepung hampir tiga hari. Kenapa Belanda-Belanda itu tak mau menyerbu kami? Seandainya mereka merangsek masuk, pasti kami keok. Apa mereka mau menyiksa kami dengan mati kelaparan? Jangan-jangan perempuan ini hantu, begitu akhirnya pikiran kami menabrak jalan buntu. Ketika kami tak bisa ke mana-mana, perempuan itu begitu saja teronggok di ruangan, duduk diam mematung. Perempuan yang elok. Perempuan yang tak pernah tersentuh debu pertempuran. Perempuan yang selalu tersimpan di dalam kamar yang wangi. Kelihatannya begitu. Kami bertujuh duduk di lantai mengelilingi perempuan itu. Sekali-kali Roy atau Nowo menjenguk lewat jendela menyigi tentara Belanda yang bersiaga di bawah dengan persenjataan lengkap. Juga panser. ''Kalau kamu bukan mata-mata, apa kamu bidadari?" tanya Jubair yang membuat kami tertawa. ''Baiklah,'' kata Manua, ''Kamu pasti dewi yang diutus para dewa untuk menguji kami.'' Ah, omongan yang bertele-tele. ''Perempuan yang bikin lapar,'' kata Topo yang membuat kami tak bisa menahan tertawa. Tentu saja ketawa kami cekikikan saja. Kalau ketawa kami keras pasti kedengaran Belanda-Belanda yang di bawah itu. Betul-betul biadab, mereka mau menghukum kami dengan kelaparan. Mereka sangka kami akan menyerah karena lapar, betul-betul Londo-Londo itu minta ditempeleng. Nanti dulu. Tapi perempuan ini siapa? Jangan-jangan sundelbolong. Ah, si sontoloyo Roy selalu omongannya soal hantu melulu. Sedikit-sedikit gendruwo. Sedikit-sedikit wewegombel.

Tampang Roy sih persis Londo Didong. Tubuh jangkung, hidung mancung, kulit kurang garam alias albion, cerdas, kritis, ilmiah, pemberani. Tapi, minta ampun Kanjeng Nabi, otak demitnya ngudubilah, gendruwo melulu yang berjubel uyel-uyel di benaknya. Pernah, pada suatu malam dalam sebuah pertempuran di hutan Mojokerto, Roy lari terbirit-birit dari rerimbun semak hanya karena merasa dipeluk kuntilanak. Ia marah ketika kami semua terbahak-bahak yang mengakibatkan Belanda mengetahui posisi kami dan menghujani kami dengan rentetan tembakan beruntun. Alhamdulillah, tidak ada yang gugur dalam pertempuran itu. Pernah pula Roy kami hukum karena dalam pertempuran malam selalu bikin ribut. Kami semua marah lalu memerintahkan Roy sendirian untuk menyerbu sebuah kubu pertahanan darurat Belanda di kawasan Sidoarjo. Sedikit pun ia tidak takut. Malah ia sombong mempertontonkan keberaniannya. Kubu pertahanan Belanda itu ia obrak-abrik yang membikin Londo-Londo itu kalang-kabut dikiranya diserbu besar-besaran. Roy kembali dengan rampasan dua pucuk bedil dan satu pistol. Lucunya, Roy suka bertempur di malam Jumat di mana menurut pikiran klenik kami dan sudah menjadi keyakinan masyarakat Jawa, di malam itu segala macam hantu bergentayangan. Roy punya seribu alasan untuk keluar di malam Jumat meski kami malas-malasan. Ada saja alasannya. Katanya, bertempur di malam Jumat itu penuh berkah. Bahkan ia berani pergi sendirian tapi ujung-ujungnya ia kembali lari tunggang-langgang karena merasa dihadang banaspati. Lalu kami mengambil kesimpulan, meski ketakutan tapi Roy sebenarnya kasmaran sama hantu sampai ingin bertemu dengan lelembut itu setiap saat. Ha ha, Roy sungguh menjadi hiburan kami sehingga kami semakin sayang kepadanya. Nah, sampai dengan munculnya sang bidadari di ruang menemani kami saat ini, Roy merasa dikabulkan doanya. Ia berjalan mengelilinginya menatap dengan takjub si ayu. Tentu saja kami tak membiarkannya memonopoli Venus itu sendirian. Mungkin karena perempuan ini cantik dan menggiurkan sehingga kami tidak rela kalau cuma Roy yang mengaguminya. Dalam keadaan ketakutan, kami memujanya. Di saat maut begitu mendekat dalam kepungan pasukan Belanda, kami rela jatuh cinta kepada Afrodit ini. Ya, apa boleh buat. Pada malam kelima pengepungan itu, kami semua jatuh tertidur karena kelaparan. Nowo dan Jubair yang kami tugaskan berjaga, tak sanggup mengganjal pelupuk matanya. Ketika kokok jago subuh membangunkan kami, tergagap kami karena sang bidadari lenyap. Kami memarahi Nowo dan Jubair karena kelengahannya berarti maut bagi kami. ''Kamu berdua harus dijatuhi hukuman mati,'' kata Topo sambil menunjuk dada Nowo dan Jubair. ''Tapi baiklah, kami nggak mau kalah sama Lincoln, kami penuh belas kasih pada kamu berdua.'' ''Bangsat!'' maki Nowo dan Jubair bersamaan. Saya tertawa. Sadar, kami ini gerombolan anak-anak muda, sekitar 19 dan 23 tahun, yang bertempur karena tak ada jalan lain, juga rasa malu pada para orang tua yang gigih berjuang melawan penjajah. ''He, lihat,'' teriak Roy sambil melongok keluar jendela. ''Alhamdulillah,'' desah Fadli setelah ikut menjenguk ke bawah. Lalu kami ikut melihat ke bawah. Pasukan Belanda yang mengepung kami telah pergi. Bagaimana mungkin, kami yang sudah sekarat kelaparan ini sebenarnya sangat mudah digebuk, kok malah ditinggal pergi. Satu, dua, tiga hari kemudian, ketika menyamar ke kota, saya dan Fadli melihat kerumunan orang di Jembatan Merah. Makin lama makin banyak orang berdatangan di jembatan itu. Beberapa orang tampak sibuk di bawah jembatan. Ingin melihat apa yang dilakukan orang-orang itu, saya dan Fadli ikut turun ke bawah jembatan.

''Masya Allah,'' teriak Fadli sambil menyibak orang-orang itu. Saya terkesiap sesaat tak bisa bernapas ketika melihat perempuan yang tergeletak di tepi sungai itu. ''Bidadari kami'' tewas dengan dada kirinya bersimbah darah. Secepatnya saya dan Fadli membopongnya pergi. Kami harus berlari kilat membopong jenazah batari menyusuri gang demi gang, jangan sampai terlihat serdadu Belanda. Di ruang yang hangus, kami baringkan ''dewi kami''. Fadli berlari menghubungi teman-teman sedang saya terduduk menatap ''bidadari penyelamat'' yang telah jadi mayat yang dengan ikhlas mengorbankan nyawanya untuk keselamatan kami. Air mata saya deras berlelehan mencoba memahami cerita singkat yang menggores sejarah perjuangan kami, anak-anak muda yang tak tahu apaapa. Atas kesepakatan bersama, kami menguburkan ''Bidadari November'' kami di Taman Makam Pahlawan pada malam hari. Di sebuah pojok tanah yang sedikit tak kami harapkan terlihat, dengan cekatan kami menggali dan memasukkan jenazahnya dan menimbuninya kembali, sementara Roy meraung dengan memukuli tanah di sisi kuburnya sambil mengaduh-aduh. Sambil berdoa sekenanya kami semua menangis tersedu-sedu sampai subuh. *** Tangerang, 10 Oktober 2008

Bengawan Solo Cerpen Danarto Dimuat di Jawa Pos 06/15/2008 Telah Disimak 1152 kali

Badan saya masih meriang ketika polisi itu datang. Semalam, saya berkelahi melawan Pak Darkin memperebutkan Nining dan saya kena ''swing'' kepalan kirinya. Saya terjerembab tak sadarkan diri. Anak-anak mengangkat tubuh saya ke atas dipan. Ada yang sibuk mencarikan minuman panas. Ada yang mau memanggil dokter. Ada yang memijit. Malam itu, karena peristiwa itu, penghuni ''Rumah Kita'' jadi ramai sekali. Rupanya ada yang lapor polisi tentang perkelahian itu. Polisi itu kembali ke pos ketika saya katakan bahwa kejadian semalam perkelahian biasa, tidak penting untuk dipersoalkan. Tapi, apa pun yang terjadi, kami, penghuni ''Rumah Kita'' dengan para pedagang di Pasar Kliwon, telah kehilangan Nining yang digelandang Pak Darkin secara paksa kembali ke rumahnya. Nining, gadis kecil hitam manis 7 tahun, memang milik Pak Darkin, meski hanya sebagai ayah tirinya. Nining sering ditempeleng ketika marah Pak Darkin kumat. Ibunya yang selalu membela putri kandungnya itu, sering tubuhnya dilempar sampai membentur dinding. Untung dinding rumahnya dari anyaman bambu sehingga cukup lentur. Pada suatu malam, dengan tersengal-sengal Nining menghambur ke perkumpulan ''Rumah Kita'' untuk bersembunyi. Kami menyambutnya dengan suka cita. Di dalam gerombolan kami itulah, Nining merasa aman dan nyaman. Di sepetak ruang yang merebut ruang milik pasar itulah, saya hidup. Sehari-harinya saya pura-pura berbenah dengan perabotan dari potongan-potongan sisa kayu yang berserakan di mana-mana. Saya ditemani kompor minyak tanah, teko, panci, gelas, piring, sendok garpu, ember, dan di atas dipan dengan tikar plastik itulah saya bisa beristirahat dengan nyenyak. Kemudian satu dua anak datang dan pergi, mereka belajar apa saja, juga memasak, rame-rame makan, dan tidur. Akhirnya ''Rumah Kita'' resmi menjadi tempat mangkal anak-anak gelandangan, pengamen, pengemis, pemulung, anak baik-baik yang tidak betah di rumah karena berbagai alasan. Saya sebagai tukang sapu bagian kebersihan pasar, merasa dituakan lalu mengatur mereka dengan marah-marah, lelah, dan sedih, sejak tahun 1997. Sebagai tukang sapu pasar, saya tak punya kebisaan apa-apa untuk mengajar anak-anak itu. Untung, beberapa guru dan mahasiswa datang secara suka rela mengajar anak-anak itu menulis, menyanyi, membaca, dan bercocok tanam. Setiap minggu, anak-anak diminta membaca puisi karangannya sendiri, juga cerpen, esai, dan menyanyikan lagu yang ditulisnya sendiri. Ketika anak-anak dibawa ke kebun untuk belajar bercocok taman itulah, Pak Darkin memergoki Nining ada di antara anak-anak itu dan mencengkeram tangannya dan menggelandangnya. Serta-merta saya menubruk tubuh Pak Darkin dan kami bergumul, tindih-menindih. Saya yang boleh dikata tak pernah berkelahi, begitu saja terkapar. Sayup-sayup terdengar orang-orang sibuk menolong saya. Gaji saya yang tak seberapa harus cukup cekatan dalam berkelit menghidupi anak-anak itu. Sekitar 15 anak setiap hari paling tidak makan dua kali. Setiap habis gajian, tak ada sisa sama sekali, bahkan digayuti utang di sejumlah warung. Syukurlah ada anak yang bisa menyumbang dari pendapatannya mengamen atau memulung. Tapi yang sangat membantu adalah sumbangan para pedagang pasar. Pedagang beras menyumbang beras. Pedagang sayur menyumbang sayur. Pedagang ikan menyumbang ikan. Bumbu-bumbu dapur rasanya tak pernah kehabisan. Di malam yang sunyi ketika anak-anak sudah tidur, tiba-tiba datang beberapa orang memanggul beberapa karung beras yang diperuntukkan ''Rumah Kita''. Orang-orang itu menaruhkan begitu saja karung-karung itu tanpa ada sepatah pun kata pengantar. Ternyata tidak hanya beras, juga minyak goreng beberapa botol, telor beberapa kilo, gula, kopi, teh, dan beberapa ekor daging ayam segar. Tak ketinggalan banyak sekali kain sarung, kaos oblong, dan peralatan mandi. Saya tidak tahu dari mana semua sumbangan itu. Pagi harinya semua sumbangan itu dibagi rata untuk anak-anak. Saya sempat kebagian sarung dan kaos

oblong. Anak-anak bertanya dari siapa semua sedekah itu. Hari itu kami masak rame-rame dengan mengundang siapa saja yang mau makan bersama kami. Anak-anak pengamen memeriahkan pesta hari itu dengan mementil gitar dan menyanyi. Aduh, meriahnya. Aduh, bahagianya. Sayang sekali, Nining tidak bersama kami. Tapi kami sisihkan sarung dan kaos oblong untuknya. Satu saat kami harus merebutnya kembali atau kami akan bersedih sepanjang masa. Malam yang tenteram tidak selamanya dapat dipertahankan. Saya bangun tersentak tak bisa bernapas karena dicekik Pak Darkin yang bisa mulus menyelinap ke gerombolan kami. Ia meradang. ''Kamu sembunyikan Nining di mana!'' Saya tak bisa menjawab. Bernapas saja sangat sulit. Pak Darkin paham lalu mengendorkan cekikannya. ''Saya tidak tahu,'' jawab saya. ''Mau kamu saya bikin modar!'' ''Sungguh mati saya tak tahu di mana Nining.'' ''Bohong!'' ''Kalau memang Nining hilang, saya bisa membantu mencarinya.'' ''Sontoloyo!'' Saya terbatuk-batuk. Saya diseretnya keluar. Saya heran, tak seorang pun anak yang terbangun. Saya digelandang terus. Sesampai di jalan raya, saya dinaikkan ke becak. Pak Darkin duduk di samping sambil terus nerocos yang tak jelas. Rupanya saya dibawa ke sebuah pekuburan yang gelap gulita. Dua orang yang sigap membekuk tubuh saya, membanting dan membalut dengan kain kafan. ''Kamu harus sumpah pocong!'' geram Pak Darkin lalu pergi bersama kedua kawannya. Saya tak bisa bergerak, ketat sekali balutannya, membujur kaku bagai jenasah. Tiba-tiba, ''Pak Totok,'' suara seorang gadis membisik, ''Saya Nining.'' ''Mengapa kamu di sini?'' sergah saya. ''Saya menunggu Bapak,'' jawabnya sambil melepaskan belitan kain kafan dari tubuh saya. ''Dari mana kamu tahu saya di sini?'' ''Kiai Kintir baru saja mengantar saya kemari.'' ''Sekarang beliau di mana?'' ''Sedang bersiap-siap hanyut di Bengawan Solo.'' ''Wah, gawat!'' Maka kami berdua bergegas ke Jurug tempat Kiai Kintir biasa memulai kegiatannya menghanyutkan tubuhnya. Kiai Kintir alias Kiai Hanyut adalah kiai --tak seorang pun tahu nama aslinya-- yang punya kebiasaan menghanyutkan tubuhnya di Bengawan Solo. Itulah jalan spiritualnya. Sejumlah warga Solo ada yang mengolok-oloknya sebagai Kiai Kenthir alias Kiai Sinting. Beliau tidak peduli atas cemoohan itu karena hidup beliau sehari-hari sangat serius. Bahkan yang melecehkan dikiriminya segepok uang yang dicomotnya dari udara. Maka semakin bertambah banyak orang-orang yang meledeknya dengan pamrih kiai itu mengiriminya duit. Saya sendiri pernah melihat beliau mencomot uang dari udara dan diberikannya kepada saya. Beliau pernah menyitir sabda Kanjeng Rasul

Muhammad SAW bahwa seandainya kalian tahu apa yang terjadi di dunia ini, kalian akan menangis terus-menerus sepanjang hidup kalian. Sepanjang hayat Kiai Kintir mengasingkan diri. Tidak bergaul, tidak menerima santri, tidak mengajar, tidak mau diwawancara, tidak mau diundang makan. Pokoknya serba tidak. Saya sadar, semua kiriman beras dan kebutuhan dapur yang mendorong kami bisa berpesta itu, merupakan sumbangan Kiai Kintir. Beliau selalu bisa membahagiakan orang, sedang untuk dirinya sendiri, beliau tidak berniat sedikit pun. Cerita lainnya adalah, pernah sejumlah wartawan elektronik diam-diam mengambil gambarnya. Ternyata wajah beliau tidak terekam, yang muncul hanya gelap-gulita. Jika beliau mulai menghanyutkan diri di Bengawan Solo, itu pertanda di Solo akan terjadi sesuatu. Sejak dini hari, ratusan orang dengan obor memenuhi kedua sisi bantaran Bengawan Solo menyaksikan tubuh Kiai Kintir yang terlentang mengambang di sungai, hanyut dibawa arus. Orang-orang terus bergerak mengikuti tubuh beliau yang dibalut pakaian, diam mengambang hanyut seperti mayat. Saya dan Nining harus waspada supaya tidak kepergok Pak Darkin yang barangkali saja ikut nonton. Sampai fajar merekah, rasanya orang-orang yang menyaksikan tontonan aneh ini bertambah banyak. Tak ada seorang pun yang berucap. Semua diam. Jika satu orang pun yang berbicara memberi komentar, bisabisa Kiai Kintir tenggelam, begitulah kepercayaan yang menyebar yang boleh jadi cuma dibikin-bikin oleh orang-orang yang suka mengolok-olok. Dari jauh, Kiai Kintir cukup meyakinkan sebagai perenang yang mampu diam terlentang mengambang. Hari belum panas benar ketika air Bengawan Solo mulai naik. Tak terdengar geledek. Tak terjadi gerimis. Cuaca cerah dengan langit biru seperti undangan untuk keluar rumah menikmati keramaian kota. Ratusan orang yang berada di seberang menyeberang Bengawan Solo merasakan air bengawan mulai mencium lutut. Tampak tubuh Kiai Kintir telentang tenang hanyut semakin menjauh dari pendangan kami. Satu dua orang penonton terseret ke tengah bengawan. Puluhan orang lainnya berlarian menyingkir dari bantaran sungai. Saya tarik Nining untuk menghindar dari bantaran bersama puluhan orang yang kacau berlarian. Sesampai di jalan raya, banjir sudah melahap seluruh kota Solo. Mobil, motor, andong, becak, ditinggalkan pemiliknya. Sejauh mata memandang, cuma air yang berkilau-kilau yang tampak dengan orang-orang yang kebingungan menyelamatkan diri.*** Tangerang, 17 Maret 2008 *) Banjir di Pasar Kliwon, Solo Baru, Semanggi, Joyontakan

Pantura Cerpen Danarto Dimuat di Kompas 03/23/2008 Telah Disimak 481 kali

Sungguh saya tak juga mengerti kenapa cuaca menjadi sekacau ini padahal matahari tetap terbit di timur dan tenggelam di barat. Banjir masih juga melanda Pati, Jawa Tengah, meski sudah dua minggu, air tak juga surut. Sementara di Riau dan Jambi, hutan terbakar. Tapi apa peduliku, sedang cuaca juga tak mau tahu apa keinginan-keinginanku. Sebaiknya saya terus mengayuh rakit batang pisang ini, dari Pati ke Rembang, untuk menemui Kiai Zaim Zaman, barangkali beliau mau menolong kami mengatasi kesurupan massal yang melanda pesantren di desa kami. Saya melewati antrean kendaraan yang macet sepanjang 24 km yang terdiri dari truk, mobil-mobil pribadi, kontainer, bus, maupun motor karena tak mampu menembus banjir. Air banjir setinggi satu setengah sampai dua meter mengganyang seluruh kawasan yang sangat luas, sawah-sawah yang siap panen, perumahan, perkebunan, tambak, kolam ikan, dan pertokoan, meliputi kota-kota Demak, Kudus, Rembang, Pati, Jepara, Juwana, Tuban. Tapi, apa Kiai Zaman sendiri tidak repot? Beliau tentu juga sangat dibutuhkan oleh pesantrennya yang juga dilanda banjir. Saya mengayuh rakit menerjang sawah siap panen yang tenggelam yang airnya semakin tinggi. Sejumlah rakit dari batang pisang maupun bambu tampak berseliweran. Para penumpangnya yang saling kenal berteriak-teriak bertegur sapa. Terdengar gelak-tawa seolah tak peduli akan kesulitan hidup yang sedang dirundung. Mendadak mendung datang menyergap disusul hujan lebat. Subhanallah. Saya yang satu minggu kehujanan terus, rasanya badan bertambah ringan tapi dinginnya minta ampun. Tubuh saya menggigil dan saya sudah tak tahu jalan. Gelap gulita. Apa kiamat seperti ini? Geledek bersahutan seperti dihamburkan dari langit yang membuat saya tiarap gemetaran. Rasanya tubuh ini beku. Halilintar menyilet langit memberi jalan rasa bersalah pada rakit saya. Mendadak laju rakit ini terhenti. Agaknya tersangkut sesuatu. Saya menunggu halilintar untuk mengirim sinar, namun tak kunjung muncul. Wahai, cahaya perak, cahaya perak. Saya meraba-raba apa gerangan yang menyebabkan rakit saya terhenti. Masya Allah, saya meraba tubuh orang. Cepat-cepat saya singkirkan tubuh itu dengan galah lalu saya menghindar dari tempat itu. Saya semakin menggigil. Tentu ada saja yang menjadi korban dari bencana yang besar ini mungkin tidak sedikit jumlahnya. Sawah siap panen yang tenggelam tentu menelan lebih banyak lagi korban. Ibu, ayah, dan anak-anak, juga nenek-kakek, cucu, cicit, ke mana mengungsi jika seluruh kawasan yang sangat luas ditelan banjir yang rasanya semakin tinggi ditambah oleh deras hujan. Di dusun tak ada bangunan yang tinggi tempat mengungsi. Hanya bukit yang cukup sulit didaki karena licin dan terjal. Kebanyakan warga tetap di rumah masing-masing dengan bertengger di atap dengan payung atau lembaran plastik untuk menahan hujan. "Kalau ibumu ini mati," kata ibu yang duduk di atap rumah dengan memegangi payung dalam hujan lebat, "Cepat kuburkan." "Ah, ibu kok ngomong begitu," sergah saya sambil memeluk tubuhnya yang gemetaran kedinginan. "Jaga adik-adikmu." "Ibu saja yang menjaga adik-adik. Saya mau cari nafkah di Jakarta." "Tega kamu meninggalkan adik-adikmu." "Saya mau cari duit yang banyak untuk ibu dan sekolah adik-adik." Di atas atap dapur, ayah memeluk kedua adik saya yang basah kuyup karena tak terlindung dari hujan. Yang saya takutkan kalau tiba-tiba ibu atau ayah meninggal. Maka ketika banjir surut, kakak yang

menetap di Jakarta memboyong ibu, ayah, dan kedua adik ke Jakarta. Ditinggalkannya saya sendirian di dusun untuk menjaga rumah. Tapi mereka tak betah di Jakarta. Terlalu bising, katanya. Lalu boyongan kembali ke desa, meski selalu kekurangan tapi cukup bahagia, katanya. Kemudian kakak membangun rumah bertingkat untuk kami menghadapi banjir. Benar saja. Banjir yang lebih besar kali ini datang, ditambah 25 santri putri yang kesurupan diungsikan di rumah bertingkat kami. Alhamdulillah. Banyak jalan yang Allah bimbing supaya bangunan itu bermanfaat bagi sesama. Masalahnya kini adalah bagaimana bisa menemui Kiai Zaim Zaman dan di mana beliau berada jika di pesantrennya tak dijumpai sementara di mana-mana, sejauh mata memandang, air, air, air melulu yang tampak. Tiba-tiba rakit mentok, sampai saya terjatuh. Kembali saya meraba-raba apa gerangan yang menyebabkan rakit ini berhenti. Ternyata tangan saya menyentuh tembok. Bangunan apa gerangan? Kembali kilat merobek udara. Sekilas terlihat bangunan putih ini masjid. Barangkali saya bisa mencapai atapnya supaya saya bisa tidur dan tidak terlalu kedinginan. Pagi harinya masjid itu terkatung-katung di danau yang luas dengan saya satu-satunya berada di atapnya. Kadang gelombang menerpa karena digelontor angin puyuh yang juga mempertajam tetes hujan bagai jarum. Kadang batang-batang padi muncul di permukaan air lalu kembali tenggelam. Apa yang terjadi sesungguhnya? Siang harinya panas sangat teriknya. Sambil berayun-ayun dimainkan oleh kantuk, di atap masjid itu tidak hanya baju, tubuh saya juga mengering. Di tengah sawah yang sudah jadi danau ini, alur mana (?) saya tak lagi mengenal peta. Di mana Pati, di mana Rembang, kedua kota itu mengingatkan saya akan hubungan rumah saya dengan rumah Kiai Zaim Zaman yang berada di tengah pesantrennya, di mana para santri, putra maupun putri, berseliweran berlarian, bermain maupun berdebat soal jodoh, juga Tuhan, yang membuat saya selalu kangen untuk mengunjunginya. Rumah tertutup pohon mangga yang sangat rindang, manalagi, nama yang mengingatkan orang sehabis menikmati sebuah lalu minta lagi, manis dari akarnya. Seorang kiai dengan pohon mangga yang lebat buahnya, merupakan perpaduan yang elok, dalam ukuran apa pun. Karena panas tak tertahankan, saya mencari jalan turun ke dalam masjid. Meski sangat kesukaran, saya berhasil masuk ke ruang salat. Dua rakaat saya selesaikan setelah berwudu air banjir, saya tertidur tanpa diawali kantuk. Cukup lelap dan tak terganggu oleh mimpi. Waktu bangun, saya kaget bukan alang kepalang, Kiai Zaim Zaman berzikir di sisi saya. Saya bangun dengan sigap, mencium tangannya, menanyakan kesehatannya, meminta doa, berusaha sebaik mungkin untuk tidak kentara baru bangun dari tidur. "Saya mendengar panggilanmu bertalu-talu," kata Kiai Zaman hampir-hampir berbisik, "Maka cepatcepat saya menemuimu." "Subhanallah," seru saya. "Saya sudah bertemu dengan dua puluh lima orang santri putri yang kesurupan itu di rumahmu dan mereka sudah baik kembali." "Subhanallah." "Orang-orang modern bisa juga kesurupan, ya." "Subhanallah." "Salamualaikum," kata Kiai sambil ngeloyor pergi. "Pak Kiai," seru saya sambil mengejar beliau, ada hal-hal yang perlu saya tanyakan. Di luar, Kiai Zaman berjalan di atas air tanpa mempedulikan panggilan saya, menjauh. Di dalam hati saya mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas semua kebaikan Kiai yang mumpuni ini. Kapan seorang awam seperti saya bisa membalas kebaikannya dan jasa-jasanya dengan segala kemampuan yang tulus seperti selembar sajadah kepada sebongkah kepala yang sujud di atasnya. Semoga berkah

Allah selalu mengayomi Kiai Zaim Zaman sekeluarga turun-temurun. Betapa seandainya kita punya banyak kiai seperti beliau, tangan yang dua lengan itu, kaki yang dua jenjang itu, sementara di luar sana, orang-orang berteriak meminta tolong, banyak sekali, ya, banyak sekali. Ketika saya kembali ke dalam, di depan mihrab saya jumpai bertumpuk-tumpuk uang yang banyak sekali. Rasanya saya semakin banyak utang kepada Kiai ini, dari imbalan yang bisa disentuh tangan sampai berkah yang tidak kasatmata, orang-orang pernah berduyun-duyun menemui saya dengan seluruh permintaan yang bisa diucapkan mulut: "Saya bukan Kiai Zaim Zaman," teriak saya ketika itu kepada orang-orang itu, "Saya hanya orang yang kepengin seperti beliau." Pagi hari ketika matahari kencar-kencar dan mendung hitam sedang mengincar, saya mendayung rakit batang pisang ini meninggalkan masjid yang sudah memberi pelajaran banyak kepada saya dengan bertumpuk-tumpuk lembaran uang di atasnya. Saya mendayung kembali ke Pati dengan arah apa pun, ke sebuah dusun yang sunyi, kepada ibu, ayah, dan kedua adik saya, yang boleh jadi terus menunggu dengan harap-harap cemas. Kembali rakit saya terhadang oleh antrean truk yang sangat panjang dalam kemacetan oleh banjir yang masih setinggi dada orang dewasa. Tetap betah juga sopir-sopir dan kenek-kenek itu melantunkan potongan-potongan lagu meningkahi irama dangdut yang tak kunjung padam. Bahkan yang beradu bidak-bidak catur sambil berendam dengan papan caturnya yang berayun-ayun oleh riak air yang dihembus angin atau sengaja diaduk-aduk oleh sejawatnya yang selalu mengganggu, diiringi ha ha ha he he he dan olok-olok yang diuleg sepedas mungkin sehingga banjir itu tambah sempurna mengharu-biru. Ketika para sopir dan kenek itu melihat gepokan lembaran uang yang bertumpuk-tumpuk di atas rakit saya itu, saya pasrah setulus mungkin. "Ya, Allah, semuanya ini milik-Mu," doa saya. Seorang sopir mengambil segepok uang itu dan menimpukkannya ke arah temannya sambil mencemooh, "Lo ambil! Lo yang mata duitan! Ha ha ha!" Teman yang kena timpuk itu melempar uang itu ke teman yang lain sambil berteriak, "Gue ude konglomerat. Lo aja ambil yang masih kere!" Akhirnya semua sopir dan kenek itu berebut uang di atas rakit saya dan saling timpuk-menimpuk sejadijadinya. Keadaan jadi kacau dan meriah. Penuh banyolan dan semprotan kata-kata konyol. Tentu banyak gepokan uang itu yang jatuh ke dalam air dan tenggelam. "Ya, Allah, bukakan mata mereka. Itu uang beneran dan mereka boleh merebutnya," doa saya dengan kenceng. Anehnya para sopir dan kenek itu, subhanallah, menyelam dan menyelamatkan seluruh uang yang tenggelam dan mengembalikannya di atas rakit saya. Lalu mereka mendorong rakit supaya saya meneruskan perjalanan. Saya tertegun. Seperti mati berdiri. Bagaimana mungkin mereka tidak menyadari, uang yang saya bawa itu uang sungguhan. Bukan uang mainan. Masya Allah. Tuhan punya rencana. Sesampai di rumah, ibu, ayah, kedua adik saya, dan para santri dengan sejumlah ustadnya yang masih menginap menyambut saya dengan sukacita. Ketika ibu mengetahui saya membawa uang yang bukan main banyaknya itu, menyuruh saya membuang seluruh uang itu dengan mendorong rakit menjauh dari rumah. Menurut ibu, itu uang haram yang belum tentu dari Kiai Zaim Zaman. Dalam hati saya menyesal, kenapa saya tidak menyembunyikan segepok dua di dalam baju saya. Malam harinya saya tidak dapat tidur karena perut keroncongan. Persediaan makanan habis sementara jumlah orang yang menginap di rumah bertambah setiap harinya. Dengan sebungkus mi-instan yang

dibagi dua orang, semakin kentara kami butuh bantuan yang tak kunjung datang. Pagi harinya kami dikagetkan oleh teriakan ibu, "Rakit itu kembali ke rumah!" yang disambut seisi rumah dengan takjub. Ini artinya bergepok-gepok uang itu kembali ke tangan kami. Subhanallah. Tangerang, 14 Februari 2008

Gadis Kecil Melintas di Yerusalem Cerpen Danarto Dimuat di Republika 02/25/2007 Telah Disimak 1468 kali

Pertempuran terus menderu. Sudah lima jam belum juga reda. Pasukan Israel merangsek pejuang Palestina yang bertahan. Di antara puing rumah dan toko pejuang Palestina menyembul dan menyelinap. Rentetan tembakan tentara Israel mengenai potongan-potongan tembok. Kami terjebak di Gereja Nativity, Yerusalem, tempat kelahiran Kanjeng Rasul Yesus Kristus. Sehabis umrah, kami sekitar lima belas orang menuju Palestina dengan bus. Kami singgah dan menginap di Amman, ibukota Yordania, mandi-mandi di Laut Mati. Dengan sejumlah bus, kami diangkut bersama dengan turis lainnya, kebanyakan dari manca negara seperti kami, menuju Palestina. Setelah melewati pemeriksaan yang melelahkan, sekitar lima jam, oleh petugas pemerintah Israel yang muda-muda, kami bisa masuk Palestina. Kami tiba di Jericho, kota kecil yang sepi. Terlihat seorang muda Palestina menjinjing senapan laras panjang, melintas. Kami salat Ashar di sebuah masjid yang agaknya sudah menjadi langganan agen pariwisata. Lengang. Kota ini berada paling bawah, sekitar 400 m dari permukaan laut. Kami lalu makan siang di Restoran Temptations yang mahalnya kelewat-lewat. Setelah kenyang, kami berbondong nginap di Hotel Victoria yang kelihatan kuno, dan penuh gendruwo. Arsitekturnya mengatakan itu. O, betapa indahnya Palestina. Di waktu malam hari, kami yang berada di ketinggian, memandang ke bawah, persis di Puncak memandang Jakarta, kelap-kelip lampu berpijar-pijar, menghiasi seluruh lembah. Tampak Kiai Umar Budihargo yang memimpin robongan kami, berkaca-kaca ketika lelehan air matanya memantulkan sinar blits kamera Mas Fajri waktu berpotret-potretan. Malam gelap, memang. Kami bersikeras mengincar pemandangan yang kerlap-kerlip di lembah itu yang mudah-mudahan tertangkap kamera kami. Persoalan Bangsa Palestina adalah persoalan kita. Bagaimana mungkin di milenium ketiga ini masih ada penjajahan. Banyak yang pesimistis bahwa Bangsa Palestina bisa mendapatkan kemerdekaannya dan memproklamasikan Republik Palestina menjadi negara berdaulat. Sebab, jika Republik Palestina diproklamasikan, pasti bangsa ini bebas berbelanja senjata dan tidak ada yang menghalang-halangi. Itulah yang ditakutkan Israel. Pertarungan habis-habisan melawan Israel yakin terjadi dan bisa menggiring ke Perang Dunia III. Ada sebuah desa di Palestina, Armageddon namanya. Di desa inilah seluruh kekuatan dunia berkumpul untuk menyelenggarakan Perang Dunia III. Adzan subuh mengantar kami berbondong ke Masjidil Aqsha. Udara yang cukup dingin, membuat kami menggigil. Waktu itu jamaah salat subuh tidak banyak. Seandainya habis salat lalu nyruput kopi dan makan bakso, o, alangkah lezatnya. Para jamaah setempat berpakaian tebal dan berkumpul menyatu. Kami sempat berpotret-potretan dengan takmir masjid di depan mihrab, yang tidak mungkin kami lakukan di mihrab Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi, juga Masjid Istiqlal. Selalu saja pemerintah Israel berusaha merobohkan Masjidil Aqsha dengan segala cara. Segala tipu daya. Mereka ingin membangun kuil Sulaiman untuk menggantikannya. Terus-menerus sepanjang abad. Tak kenal adab. Mereka masih hidup di zaman azab. Ada saja alasan mereka untuk menimbulkan kerusakan masjid suci yang merupakan tiga serangkai dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Akibat dari ngototnya pemerintah Israel untuk memusnahkan Masjidil Aqsha, terus-menerus memicu perlawanan sampai titik darah penghabisan para pejuang Palestina. Rasanya perdamaian tidak akan pernah bisa tercapai jika Israel tidak mengakui hak-hak bangsa Palestina.

Pertempuran terus berlangsung. Seperti penumbuk padi di atas lesung. Beruntun tak henti mengapung. Luka menganga, luka bangsa yang agung. Peta telah dibikin bingung. Damai, tidak, damai, tidak, lakukan apa pun bagai detak jantung. Tanah keras, berbukit, kebun pisang, tenda prajurit, ditelan udara suwung. Lepas makan siang, kembali kami berpotret-potretan dengan latar belakang lembah yang dipenuhi pohon cemara. Semarak anggun. Kami melihat ada upacara penguburan. Balutan suasana harumi. Napak tilas para rasul para nabi. Bau wangi kesturi pembawa kitab suci. Kami antri untuk masuk ke Masjid Batu Karang (Qubbat al-Sakhrah/Dome of the Rock) bersama turis manca negara lainnya. Masjid itu tempat suci bagi umat Islam, Kristiani, dan Yahudi. Kami antri untuk masuk ke ruang kecil di bawah batu karang yang sangat besar. Batu karang ini mau ikut terbang bersama Kanjeng Rasul Muhammad SAW ketika mampir ke sini sewaktu mi'raj. Ada telapak kaki Rasulullah di satu sudut yang saya usap dengan sajadah. Ada kebiasaan saya selalu mengusap tempat atau tapak tilas suci dengan sajadah saya. Saya berbelanja banyak sajadah, juga sorban, yang gunanya untuk mengusap-usap tempat-tempat itu. Ingin saya membawa debu lewat sajadah dan sorban saya itu ke rumah. Sajadah dan sorban itu juga saya basahi dengan air zam-zam. Dengan mengusap debu di tilas suci itu rasanya saya melewati masa-masa purbani yang tak bisa dimengerti dan selalu tersembunyi dalam rahasia. Hidup barangkali sebuah ruang yang sesungguhnya tidak ada yang kita menganggap bisa merabanya. Apa yang dapat dipikirkan ketika memejamkan mata, hilang ketika membuka mata. Kita terus-menerus memusatkan pikiran supaya bisa meraba. Di dalam ruang sempit di bawah batu karang itu kami salat dua rakaat di sudut tempat Rasulullah salat. Di sebelah ada sudut untuk umat Kristiani dan di sudut yang lain untuk umat Yahudi. Kami hadir di dalam kurun yang baru yang kami rasakan dengan takjub. Mengejutkan. Jarak antara para Kanjeng Rasul dengan kami menyatu. Satu ukuran. Satu umat. Para rasul dicipta khusus dengan satu tugas saja sedang kita orang kebanyakan dapat dan boleh menjadi apa saja dan berubah-ubah. Inilah kelebihan masing-masing yang tak boleh ditawar. Jauh-jauh kami menapak tilas para orang suci, dapatkah debu itu benar-benar berhasil dibawa pulang. Sajadah atau sorban atau tasbih akhirnya menciptakan jarak yang tidak dikehendaki. Ahim dan Nina mulai menangis karena lapar dan haus. Romo penghuni gereja yang sekilas pernah terlihat, tidak nampak lagi. Bu Betty menenangkan keduanya. Ada sejumlah turis dari Barat dan anakanaknya juga terjebak bersama kami. Anak-anaknya juga mulai menangis. Kami penuh penyesalan kenapa tidak berbekal roti kering dan air mineral. Bu Betty dan Bu Wiwiek mulai berlelehan air mata. Kami sudah bosan menyaksikan siaran langsung pertempuran lewat televisi yang disuguhkan oleh gereja ini. Kiai Umar, Pak Toha, dokter Iqbal, Mas Fajri, Nurrahman, saya dan pemandu kami serta beberapa turis Barat mengintip dari pintu yang barangkali saja dapat sedikit meli hat pertempuran antara para pejuang Palestina melawan tentara Israel. Tiba-tiba muncul seorang gadis kecil berkerudung yang uluk salam, "Salamu 'alaikum." Kami pun menyahutnya dengan, "Waalaikum salam." Gadis itu, subhanallah, membawa teh panas, roti tawar dan madu untuk kami dan turis-turis Barat itu. Sebelum kami berkenalan, gadis cilik itu, sekitar 12 tahun, sudah pamit kembali ke belakang. Kami dan para turis Barat itu pun melahap roti yang bundar tipis yang kami guyur dengan madu sembari nyruput teh panas. Setelah lima jam, setelah lapar dan haus, setelah merasa tidak ada pertolongan yang datang, berkah Allah muncul tak terduga. Seorang gadis kecil, seperti gadis-gadis kecil di Jogja atau Solo atau Jakarta dan Bandung, dapat menyelamatkan kami yang tidak tahu Barat dan Timur. Kiai Umar, dokter Iqbal, Pak Toha, dan pemandu kami pergi ke belakang, mencari dapur, barangkali saja gadis kecil itu sedang duduk mencangkung. Dapur tidak ditemukan, juga gadis itu, tak ada. Kami lalu mencoba menemui pastor tapi tak ada seorang pun di belakang. Memang para turis dengan bebas keluar

masuk di dalam gereja. Boleh dikata tidak ditemui seorang penjaga pun. Para turis yang datang langsung menuju sudut kecil tempat Rasul umat Kristiani itu dilahirkan. Saya mengusapkan sajadah saya di tempat kelahiran Kanjeng Rasul Yesus Kristus yang ditengarai dengan lempengan bintang dua belas dan sebuah palung kecil tempat Rasul Allah itu dibaringkan setelah ibundanya kelelahan menyusuinya. Dibanding umat Kristiani yang mengunjungi masjid, jauh lebih banyak umat Islam yang mengunjungi gereja-geraja. Pemandangan alam yang nyata. Memberi kesejukan pada mata. Kau kejar ke sana, jangan hanya raga. Kau kejar kemari, jangan hanya surga. Tuhan menyembunyikan semua. Supaya kita tidak rakus dan manja. Para rasul meminta kita, jadilah penanda. Yerusalem milik kita bertiga. Jangan ada yang loba. Ketika kita menginjakkan kaki di tanah suci, ada debu kaki para rasul yang menempel di telapak kaki kita. Debu kaki siapakah ini. Siapa pun pemilik debu itu, itu debu sang suci yang telah menyadarkan bahwa kita hanyalah manusia.***

Jantung Hati Cerpen Danarto Dimuat di Kompas 07/16/2006 Telah Disimak 1334 kali

Anak laki-laki itu berlari kencang meninggalkan pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Udara sangat panas. Angin kencang. Angin berdebu. Keringat kota diperas habis-habisan. Matahari terbahak. Pelabuhan menjerit. Orang-orang pura-pura tak mendengar. Orang-orang tak mau tahu. Orang-orang sibuk dengan tas belanjaannya sendiri-sendiri. Ini Metropolis, Bung! Sejak kapan para sopir angkot itu mendahului para arsitek dengan berteriak, "Ini Metropolis, Bung!" Mengurusi diri-sendiri saja hampir-hampir tak becus, bagaimana mungkin harus menanggulangi kebutuhan orang lain. Kerjakan yang mesti dikerjakan. Tinggalkan yang mesti ditinggalkan. Seperti anak laki-laki 10 tahun yang terus berlari itu. Ia tak mau tahu dengan urusan orang lain. Ia sedang diburu kebutuhannya sendiri. Ia tak mendapatkan bus atau angkot, ia terus berlari. Ia tak peduli. Ia menuju ke arah selatan. Barangkali ke Jakarta Pusat. Alangkah kencang larinya. Apa ia tak punya pusar? Hanya orang-orang yang tak punya pusar bisa berlari sekencang itu. Tak lelah-lelahnya. Ia menyeberang di antara lalu-lintas yang padat. Ia berzigzag di antara kendaraan-kendaraan yang menunggu lampu hijau. Ia menerobos di antara bus, angkot, mikrolet, kopaja, yang macet. Orang-orang menengok kepadanya yang cepat menghilang terhalang di antara pintu dan jendela Bianglala. Mereka saling bertanya. Ada apa anak itu berlari terus, seperti ada sesuatu yang ingin ia temui. Atau kabarkan. Sesuatu apa itu. Tapi setiap pertanyaan belum terjawab, selalu muncul pertanyaan baru. Anak itu agaknya merebut waktu. Merebut tempat. Merebut kesempatan sebelum segalanya terlambat. "Ibu! Ibu!" teriak anak laki-laki itu menyebut ibunya. "Ibu! Ibu! Jangan menari lagi!" ia meminta ibunya untuk tidak menari lagi. O, jadi rupanya ibunya seorang penari. Tapi di mana ibunya? Mengapa ia berteriak-teriak? Apa ibunya mendengar teriakannya? Mengapa ia melarang ibunya menari lagi? Memangnya kenapa kalau ibunya tetap menari? Anak 10 tahun ini boleh jadi anak yang aneh. Beberapa orang yang berpapasan dengannya menanyainya kenapa ia berlari, barangkali orang-orang itu bisa menolongnya jika ia butuh pertolongan namun anak itu acuh tak acuh dan terus berlari. "Ada apa, Nak? Ada apa, Nak? Ngapain lo lari terus? He, lo, dikejar setan, lo?!" Semrawut kota semakin bising. Suasana mendesing bunyi gasing. Kepala berputar kerna pusing. Di jalan-jalan Jakarta tak ada tempat untuk kencing. Dihardik satpam jadi emping, bagai Jacky Chan melenting. Semua pertanyaan lompat bajing, mencari kekal pada dinding. Lonceng kota berdentang dua kali, mengucap salam pada metromini. Lamat-lamat ditelan mall yang bernyanyi. Seolah metropol miliknya sendiri. Hitam kayak pantat kuali. Legam persis malam mati. Lari! Lari! Tekuk dan telan kota, atau kota ditekuk dan ditelan orang lain. Jangan ketinggalan. Jangan pernah mau mengalah. Jangan pernah kalah. Tempeleng orang lain sebelum ditempeleng orang lain. Jakarta sudah lama bilang ogah. Tidak seramah abah dan babah semasa zaman misai jepaprah. "Ibu jangan menari lagi!" teriaknya sepanjang jalan raya itu. Orang-orang yang berpapasan mendesah. "Ini anak apa maunya?!" Orang-orang melengos. Seperti bandit yang dibiarkan lolos. Matahari membantu tapi butuh ongkos. Ada saja yang kejeblos di pasir boblos. Di sekolah anak tak pernah bolos. Ia ingin lolos dari angka-angka tidak polos. Seluruh hamba wet, seluruh penghuni hotel prodeo adu jotos. Saling gertak narkoba oplos. Anak itu melompat pagar tanaman. Supaya jarak lari menjadi aman. Cepat ketemu ibu dirundung sawan. Jangan-jangan sedang menari bersama awan. Anak ini cerdik bagai jengkerik. Mau dicaplok katak, ia mendelik. Sotangnya tajam bagai taring kirik. Tak peduli pada aspal jalan yang panas, telapak kaki tanpa alas. Tak kenal batas. Aduh, anak itu tahan menceker. Kemana sandal jepitnya tadi di emper. Berlari chitah menerkam kijang tercecer. Di ladang luber. Padang darah beremberember. Aduh, Eyang, otak cucu belum juga encer. Mencari hidup layak seperti pesan bapak. Walau di lapak, mabuk tetap tegak. KTP diinjak-injak, kadaluwarsa dari sepihak. O, aparat James Bond terbahak. Berlari terus, Anakku. Berlari terus, Anakku. Jangan menoleh ke belakang. Hanya lumpur panas dan kalajengking di bawah keset. Jangan terpeleset. Hidup bisa dicicil angket. Muntahkan segala pikiran kotormu. Jeritkan segala raung serigalamu. Ibunya sedang menari di atas jembatan layang. Seonggok jalan layang ke Universitas Indonesia gemilang. Di bawah jalan layang, bertengger gubuk derita malang. Tiga kali kena gusur, termasuk jalur hijau jalang. O, orang yang matanya nyalang. O, Henry Muhammad, agung bagai baja, menghirup angin surga. Pesanlah nisan sekarang, supaya hati tak garang; begitu pemerintah kasih wejangan. Pasrah tanpa curang. Tak pula timpang. Tiba-tiba kesandung maut dari seberang. Tak mati-mati. Tak mati-mati. Apa mau dikata. Nasib orang, Tuhan yang pegang. Lalu kena sabetan keris yang ditempa padepokan Ganggang. Ia musnah. Jasadnya lenyap ditelan udara. Bukan ratu, bukan raja, bukan pula keris patih. Ia keris empu, cucunya cucunya cucunya cucu Empu Gandring.

Ia diangkat Allah ke firdaus ketujuh. Perahu malaikat burung puyuh. Tak ada tempat yang jauh. Dalam sehari 50.000 tahun mengayuh. O, Tuhan kendali manusia. O, Tuhan sayang manusia. O, Tuhan tempeleng manusia. Tinggallah putri bersama anak semata wayang. Kedua orang bertahan di bawah jembatan layang, tanah asli ayah bayang. Penari agung bikin keder pemda, putri jelita berbanding Sembadra. Si anak ksatria utara, badai derita kota. Ia anak mama. Baik budi, berbakti, dan pertapa sejati. Ksatria Utara tak mau berkelahi. Ia terlalu sakti. Ia hindar bertengkar kerna pintar. Namanya bikin gentar. Setiap mahasiswa melaju mobilnya ke universitas, mencium bau wangi. Wangi jembatan layang. Itu udara pagi. Itu udara wengi. Lalu berpijar cahaya api. Nyawa yang berbakti. Ibu Pertiwi mengerti. Udara, api, tanah, air, zat, hitungan akurat. Mengambang taat. Mengalir angkasa pesat. Segala tempat. Butiran menjelma hujan. Tumbuh harapan. Dipuja petani. Kemana tanahku. Kemana tanahku. Dengarkan mahasiswa sedang berjuang. Menggaris lurus menerka keadilan. Tanah di bawah jambatan layang UI diberi julukan "O Henry Rudini", kenangan manis buat Mendagri dan Henry yang tertindas. Namun tak beringas. Ia ksatria tuntas. Berbanding Pandawa pantas. Seluruh menteri melankolis menatap Henry. Alasan Henry minta ganti rugi mahal kerna tiga kali dibohongi. Tiga kali tanah dibeli di berbagai tempat jeli selalu kena jalur hijau pasti. "Ibu! Ibu!" teriak anak lelaki itu dari bawah jembatan layang UI menatap ibunya yang sedang menari di atas pagar jembatan layang. Di dalam kendaraan-kendaraan pribadi di sela lalu-lintas yang selalu padat itu, para mahasiswa melongok-longok lewat jendela mobilnya. Mereka saling bertanya. "Ibu jangan menari!" sambung anak itu. "Dua puluh tiga ekor ikan paus menyeret gunung es. Datang dari kutub utara, mereka sudah sampai Pulau Seribu." Namun Valeria Daniel dari antv di atas helikopter melaporkan pandangan mata: "Jakarta tenggelam dilanda banjir bandang. Berpuluh ikan paus mengunyah gunung es yang mereka seret dari kutub utara. Laut meluap. Mobilmobil tinggal atapnya yang muncul. Bagai papan-papan selancar, puluhan, ratusan mobil mengambang. Jakarta musnah!" Keadaan darurat nasional gubernur umumkan. Pasukan antihuru-hara diterjunkan. Di seluruh kawasan. Di pojokpojok Jakarta rawan. Tanggulangi penjarahan dan perampokan. Korban banjir antara yang hidup dengan yang mati, mengambang dan tenggelam maupun berenang di dataran luas yang dalam. Para relawan penolong bertindak. Dibutuhkan perahu karet mendadak. Dalam jumlah besar membengkak. Helikopter menyigi rendah. Tenaga-tenaga penolong susah. Saking banyaknya korban entah. Daerah Khusus Ibukota payah. Banyak individualis jengah. Dengan sangat meminta para politisi dan wartawan tidak memolitisir musibah "Jakarta Meratap" dengan "pemerintah ditolak alam". "Itu klenik!" seru jubir pemerintah dalam menanggapi pernyataan bahwa pemerintah dimusuhi alam. Selama ini pemda DKI meyakini bahwa penari jembatan layang UI itu kong kali kong dengan ikan-ikan paus yang segede-gede kapal destroyer dari kutub utara. Berkali-kali banjir besar melanda Jakarta, berkali-kali penari itu diburu, namun dia selalu lenyap tak berbekas. Nah, sikap ini kentara sekali, ternyata pemerintah sendiri sangat doyan klenik. Sebagai ahli waris Henry atas sepetak tanah di bawah jembatan layang UI, dia terus menuntut ganti rugi yang layak. Andai dulu pemda di zaman Orba tidak pelit dan mau membayar ganti rugi satu miliar rupiah, tentu jumlah itu saat ini, di milenium ketiga, tak ada artinya. Tapi itulah jalan hidup. Pemerintah yang dulu, sampai kini tentu semakin dirundung dosa yang kelewat-lewat. Jakarta tenggelam. Kota gelap gulita. Di siang hari jadi kota mati. Perampokan bersimaharajalela. Supermarket, mall-mall, toko-toko, pasar, ATM, restoran, bank-bank, kantor-kantor, departemen keuangan, perumahan mewah, pegadaian, dan seluruh tempat yang menyimpan duit atau pangan, menjadi sasaran penjahat maupun orang baikbaik. Banjir rasanya semakin meninggi. Korban tak dapat dihitung. Bagai monumen, gunung es yang bercokol di utara Pulau Seribu itu dikitari puluhan ekor ikan paus yang berloncatan ke udara ganti-berganti. Mereka dengan gigih menabrak-nabrakkan tubuhnya ke arah gunung es itu yang agaknya untuk secepatnya mencairkannya guna memandikan Jakarta. Satu pasukan khusus diterjunkan dari helikopter di atas jembatan layang UI dan di Pulau Seribu untuk menangkap sang penari dan membunuh ikan-ikan paus itu. Namun penari cantik dan ikan-ikan paus itu tidak peduli. Dia dan ikan-ikan paus itu terus menari. Dan alam sangat membantunya. Angin kencang menyapu pasukan khusus berikut helikopternya sehingga mau tak mau mereka harus menjauh dari penari dan ikan-ikan paus itu. Gelombang menggempur Tanjung Priok, Gunung Sahari, Senen, Cikini, Jalan Thamrin, Jalan Sudirman, Blok M, Cilandak, Cinere, Parung, dan melahap terus ke selatan. Kali Deres berteriak-teriak meminta tolong. Kampung Rambutan memahami musibah itu. Mall-mall dipenuhi para pengungsi. Orang-orang kaya mengungsi ke hotelhotel. Hotel Sari Pasifik di Jalan Thamrin yang dibangun dengan pondasi yang tinggi, paling laris karena agaknya dibangun untuk mengantisipasi banjir bandang itu. Tapi segala jenis hotel penuh. Keluarga terpisah dengan keluarga lainnya. Sanak terpental dari sanak. Ibu dari anak. Suami dari istri. Paman dari keponakan. Kakek dari nenek. Cucu dari buyut. Canggah dari wareng. Kekasih dari asmara. Benci dari cinta. Cemburu dari buta. Melek dari kantuk. Bola dari Piala Dunia. "Ibu stop menari! Ibu stop menari!" teriak anak itu terus-menerus dari bawah jembatan layang itu.

Sang penari tidak menstop tariannya. Beberapa orang mahasiswa memarkir kendaraannya di jembatan layang itu untuk melihat penari itu tetap gemulai dengan gerakannya. Sejumlah sniper membidik penari dan ikan-ikan paus itu dari kejauhan. Namun alam tetap membela penari dan ikan-ikan paus itu. Para sniper itu dibuat kelilipan matanya sehingga membatalkan bidikannya. Hari balas dendam telah terjadi. Anak itu terus melanjutkan teriakannya. Ibu itu terus melanjutkan tariannya. *** Tangerang, 20 Mei 2006

Ikan-ikan dari Laut Merah Cerpen Danarto Dimuat di Republika 07/09/2006 Telah Disimak 1545 kali

Pagi itu saya mengantar beberapa ekor ikan kepada Kanjeng Rasul Muhammad SAW. di rumahnya. Ikan-ikan yang saya jaring dari Laut Merah itu menjadi sumber penghidupan kami. Hidup bersama laut sebagai nelayan dengan keluarga ayah, ibu, dan dua saudara perempuan kami mencipta ikan-ikan seperti mainan yang dapat kita panggil sewaktu-waktu. Ayah pernah bercerita bahwa para rasul dan para nabi boleh dikata tidak makan ikan, namun tidak mengurangi minat saya untuk mempersembahkan ikan yang barangkali saja satu saat dapat menerbitkan selera makan utusan Allah itu. Hidup sezaman dengan Kanjeng Rasul Muhammad rasanya seperti hidup di lingkungan yang tertata rapi dengan sendirinya. Dalam segala hal, kami umatnya, diayomi seperti bibit tanaman kecil yang dipeluk dalam dadanya dari badai gurun. Beberapa ekor ikan yang saya persembahkan itu diterima sendiri oleh Kanjeng Rasul. Waktu itu hari telah beranjak siang, beliau sedang menjamu makan beberapa orang tamu. Kesibukannya sehari-hari tak mengurangi minatnya untuk menemui siapa saja yang ingin menemui beliau, termasuk anak nelayan yang belum lima belas tahun ini. Beliau menatap sejenak ikan-ikan itu sambil mengucapkan terimakasih dan menjinjingnya masuk ke rumah. Ketika saya beranjak pergi, Kanjeng Rasul menemui saya di belakang rumahnya dengan memberikan dua ekor kambing jantan dan betina. Ketika saya ragu-ragu untuk menerimanya, beliau mengatakan supaya saya memelihara kambing-kambing itu dengan baik. Ayah dan ibu penuh tanda tanya memandangi kambing-kambing itu. Sedang kedua saudara perempuan saya senang sekali menerima binatang-binatang itu. "Kamu jangan mengganggu Kanjeng Rasul dengan ikan-ikanmu itu," kata ayah. "Sudahlah," kata ibu. "Kamu tak perlu mengirim ikan lagi kepada beliau." Sebaliknya kedua saudara perempuan saya mengatakan," Kenapa tidak? Kanjeng Rasul tentu senang menerima ikan-ikan itu yang jarang menjadi lauk makannya." "Kalian sok tahu," tukas ibu. Di laut lepas, Laut Merah, ayah dan saya terapung dalam perahu yang tenang. Sedikit demi sedikit kami mengumpulkan ikan-ikan segar yang kami jaring. Binatang tangkapan itu rasanya dicurahkan dari laut ke dalam perahu kami. Begitu mudah. Apakah ini berkah Rasul? Tidak berapa lama, perahu kami penuh. Tumpukan ikan-ikan itu bagai harta karun terkena sinar matahari. Rasanya kami habis menguras dari dasar laut. Sebelum kembali ke darat, kami beristirahat sambil menikmati roti dengan lauk ikan bakar bekal kami. Ayah menenggak air dari kantung kulit kambing lalu tertidur dengan atap jerami yang melindungi dari terik matahari. Menjelang sore, ketika warna jingga menghiasi langit yang dipancarkan matahari, kami mendarat kembali. Dalam tujuh hari, kami mengambil satu hari untuk beristirahat dari melaut. Ini kesempatan yang baik buat bermain dengan kambing pemberian Kanjeng Rasul. Kedua saudara perempuan saya cukup senang menggembalakan kambing-kambing itu di padang rumput di dekat oase. "Apa kamu senang bermain di sini?" katanya pada seekor di antaranya. "Rumputnya cukup lezat, kan?" kata yang seorang pada seekor yang lain. Keduanya memperoleh kegembiraan seperti mendapatkan hadiah mainan. Di tepi oase yang ramai dikunjungi kafilah dari berbagai kawasan itu, juga dari negeri-negeri jauh, saya jatuh teridur dibuai angin sejuk pegunungan. Saya bermimpi. Saya bertemu Kanjeng Rasul di tepi pantai Laut Merah. Beliau mencomot rembulan dan mencelupkannya di Laut Merah seketika air laut itu bergelombang. Saya terbangun karena pundak saya diendus seekor kambing mainan kedua saudara perempuan saya itu. Keduanya tertawa melihat saya yang kaget bangun. "Rupanya kambing itu sudah mulai ramah denganmu," kata seorang di antaranya. "Bukan begitu," kata adiknya."Kambing itu mengendus semak yang teronggok dengan dengkur yang aneh." Keduanya tertawa sambil menghalau kambing itu dari sisi saya.

Ketika saya berwudu untuk salat ashar dengan air oase itu, seseorang menghampiri saya dalam sosok yang membayang dalam air oase. Saya menoleh ke belakang namun tidak ada seorang pun. Saya salat berjamaah dengan sejumlah orang tua yang datang dari negeri jauh, sosok yang membayang itu rasanya ikut bermakmum di belakang saya. Begitu selesai salat, saya cepat-cepat menoleh ke belakang namun tak seorang pun tampak. Angin sejuk berembus. Matahari boleh jadi mau memberi tahu siapa itu sosok yang saya rasakan kehadirannya itu. Tapi entahlah. Dari jauh pada udara tak terjangkau, bergetar fatamorgana, mendendangkan air yang tak tersentuh. Kedua saudara perempuan saya berenang di dalam lautan pasir, meraba-raba batas udara. Di rumah, kedua adik perempuan saya bercerita kepada ayah dan ibu dengan ramai tentang kambingkambing yang digembalakannya. Binatang itu telah menjadi bagian keluarga kami yang penting. Ketika ibu bertanya, apa pengalaman saya bergaul dengan rombongan kafilah itu yang beristirahat di oase itu, saya ceritakan bahwa mereka walau tampak tua-tua namun kokoh dalam mengarungi padang pasir. Ketika saya tanyakan, apakah saya boleh mengembara bersama kafilah itu, satu saat nanti, ayah bilang boleh-boleh saja. Namun seorang nelayan adalah tetap seorang nelayan. Ia tak pergi jauh dari laut. Kanjeng Rasul Muhammad SAW boleh dikata tak mengunjungi laut. Atau tidak beristirahat di tepi pantai. Beliau sibuk melayani umat dan harus beredar di antara umat di darat yang jauh dari laut. Beliau malah sering keluar masuk pasar untuk berbicara dan memberi hikmat kepada siapa pun yang beliau temui. Saya sering mengikuti beliau berdakwah di antara umat yang berbondong-bondong. Saya mendengarkan beliau berbicara kepada khalayak yang duduk atau berdiri. Saya sering bersama ayah, ibu, dan adik-adik, mengikuti beliau berdakwah ke mana saja. Sampai jauh dari rumah kami. Jika lelah, kami beristirahat dan menikmati bekal yang kami bawa dengan lauk ikan bakar. Ada satu hikmat yang saya pegang dari beliau bahwa seorang anak wajib berbakti kepada ayah dan ibunya. Dalam keadaan Laut Merah yang bergolak, ayah tertidur pulas karena udara panas dan kelelahan, melompatlah seekor ikan besar ke dalam perahu kami. Saya kaget banget. Panjangnya dua lengan ayah yang terentang dan beratnya seberat tubuh saya, ikan itu berkata-kata kepada saya. "Persembahkan saya kepada Kanjeng Rasul," kata ikan itu. "Bagaimana mungkin?" jawab saya. "Kamu pernah mempersembahkan beberapa ikan kecil kepada beliau." "Kok kamu tahu." "Persembahkan saya." "Bagaimana mungkin saya mampu membopongmu. Kamu begitu berat dan jarak rumah saya dengan rumah Kanjeng Rasul cukup jauh." "Ayolah. Tolonglah saya." "Untuk apa kamu kepingin banget dipersembahkan kepada Kanjeng Rasul?" "Supaya Kanjeng Rasul berkenan menyentuh tubuh saya." "Untuk apa sentuhan tangan Kanjeng Rasul?" "Supaya saya bisa masuk surga." "Seandainya kamu seberat biji korma." "Keledai bisa memanggul tubuhku." "Tidak ada keledai yang gratis." "Carilah saudagar kaya yang dermawan yang mau meminjamkan keledainya." "Banyak saudagar kaya yang dermawan namun tak punya keledai." "Tanyalah keledai secara langsung dan mintai tolong dia." "Banyak keledai yang bisa dimintai tolong tapi mereka takut kepada tuannya." "Carilah keledai yang ringan hati yang tak takut kepada tuannya." "Banyak keledai yang ringan hati namun tak mau memanggul ikan. Alasannya: amis." "Carilah penjual parfum yang dermawan yang mau menyemprotkan minyak wanginya ke tubuh ikan." Dengan berkah Allah, akhirnya, setelah beberapa hari berburu ke beberapa penjuru padang, saya temukan seekor keledai liar. Ia mau memanggul ikan gede yang berat banget itu dan bau amis. Alasan keledai itu adalah ia kepingin juga tubuhnya disentuh Kanjeng Rasul. Saya sengaja bertolak dari rumah malam hari. Supaya tak diketahui ayah, ibu, dan adik-adik, saya pamit mau ke rumah teman. Dengan sekuat tenaga, ikan gede itu saya gusur ke punggung keledai yang sengaja berbaring di tanah. Ikan itu lalu saya ikat ke tubuh keledai. Pelan dan tidak goyah, saya tuntun keledai itu berjalan. Melewati kawasan yang gelap dan terjal, keledai itu tersandung, namun, alhamdulillah, tidak jatuh. Keledai dan

ikan itu tidak mengeluh. Rasanya keduanya akan menemui peristiwa yang paling menyenangkan dalam hidup. Di rumahnya, Kanjeng Rasul sudah menunggu lama kami di pekarangan. Beliau menerima persembahan ikan gede itu. Mula-mula ikan itu dielus-elus. Air mata ikan itu berderai dan mulutnya tak mampu berkata-kata. Beliau membopong ikan itu ke dalam rumahnya. Lalu beliau keluar rumah lagi. Beliau lalu mengelus-elus keledai itu dan bercucuranlah air mata hewan berkaki empat itu. Begitu dielus-elus tubuhnya oleh Kanjeng Rasul, keledai itu lalu mati. Saya pulang membawa hadiah lima ekor sapi. Hadiah yang besar. Saya mencium tangan Kanjeng Rasul dan saya minta beliau mengelus-elus kepala saya. Komplet rasanya warna-warni peristiwa yang saya alami hari itu. Pagi harinya, saya kena marah ayah dan ibu. Namun adik-adik membela saya. Tangerang, 1 Juni 2006

Telaga Angsa Cerpen Danarto Dimuat di Kompas 03/26/2006 Telah Disimak 1644 kali

Pemandangan panggung malam itu dipenuhi puluhan ekor angsa putih menyebar memenuhi telaga. Kaki-kaki jenjang putih para balerina meluncur ke sana kemari. Membentuk komposisi yang senantiasa berubah. Angsaangsa putih menyelam, menyembul, dan mengepak beberapa saat di atas permukaan air, lalu mendarat kembali. Mereka saling memagut dan bercinta. Asmara angsa, adakah yang lebih indah waktu tubuh bergetar, bulu-bulu bergetar ketika mencapai puncak. Annisa Zahra disadarkan oleh zefir, angin sepoi-sepoi, yang mengelus rambutnya. Gadis ini masih mengenang adegan-adegan dalam pertunjukan balet Swan Lake yang baru saja usai. Zahra, balerina 21 tahun, tidak minum wine, yang putih maupun yang merah. Dia memilih minum air jeruk nipis, kegemarannya. Dalam pesta yang disuguhkan oleh Yayasan Jantung Indonesia, sebagai sponsor pertunjukan, Zahra menemani para pebalet dari Negeri Tirai Besi itu. Begitu pula para pebalet teman Zahra, tampak berseliweran di antara para pebalet yang tinggi-tinggi dan besar-besar itu, ayu dan ganteng. Mereka tidak menunjukkan kelelahan sedikit pun meski pertunjukan dua jam itu mengalir terus. Maya Ivanova, Natalya Ashikhmina, Irina Ablitsova, Andrei Joukov, Maxim Fomin, para pebalet pemeran utama dalam lakon itu di antaranya, ngobrol dengan para pejabat bank Indonesia, gubernur, menteri, dan pembesar negara lainnya. Tampak Viatcheslav Gordeev, Direktur Artistik Russian State Ballet of Moscow pertunjukan Swan Lake itu, yang ditemani balerina Masami Chino, ngobrol dengan gubernur. Dengan meminta maaf karena gedung pertunjukan tidak representatif bagi tontonan segigantik balet Rusia, gubernur berjanji, insya Allah, dalam waktu dekat akan membangun panggung balet semegah Moscow. Sementara itu Zahra getol bercerita macam-macam kepada para tamunya. Di antaranya di tempat ini, pernah berpentas Martha Graham, Alvin Nikolai, juga grup dari Perancis, Jerman, dan modern dance dari Eropa lainnya yang memainkan repertoar Le Sacre du Printemps karya Igor Stravinsky. Zahra juga banyak mendulang informasi dari Maya Ivanova dan Natalya Ashikhmina, pemeran Odette secara bergantian dan Andrei Joukov dan Maxim Fomin pemeran Siegfried bergantian, tentang balet di Rusia. Sebaliknya, para pebalet Rusia itu mengagumi kecantikan dan rambut panjang Zahra dan apa saja perannya dalam balet di Indonesia. Lalu bergabung ikut ngobrol pula, Irma Ablitsova pemeran Odille dan Dmitry Protsenko serta Vladimir Mineev, pemeran Rothbart bergantian. Mereka rame-rame menikmati salad, sup ikan tuna, plain croissant, buah-buahan, dan jus jambu kelutuk. Dengan 1.500 penonton, Russian State Ballet of Moscow memainkan Swan Lake karya Tchaikovsky yang sudah melegenda, sangat populer di seluruh dunia. Lakon Swan Lake menceritakan dayang-dayang istana dan ratunya, Odette, yang disihir Rothbart menjadi angsa. Siang hari mereka adalah angsa yang merenangi telaga. Baru pada malam hari mereka menjelma manusia kembali. Hanya cinta sejati yang mampu mengalahkan sihir itu. Pangeran Siegfried, pemilik istana dan telaga, jatuh cinta kepada Odette. Namun cinta mereka terhalang oleh sihir Rothbart yang ampuh. Di samping mencoba menggagalkan percintaan Siegfried dengan Odette, Rothbart sang penyihir, memamerkan putrinya, Odille, yang secantik Odette, untuk merebut cinta Siegfried. Usaha Rothbart berhasil. Pangeran Siegfried langsung terpikat pada Odille. Mendengar kabar ini, Odette dan dayang-dayangnya jatuh sedih. Siegfried sadar. Secepatnya Siegfried menyatakan pilihan cinta sejatinya hanya pada Odette. Seketika, angsa itu menjelma Odette, begitu juga puluhan ekor angsa yang lain. Rothbart marah besar. Namun Siegfried mampu menewaskan Rothbart dan pasukan angsa hitamnya. Begitulah, seluruh istana bergembira. Dan pesta pernikahan Siegfried-Odette selama tujuh hari tujuh malam pun digelar dengan meriah. Pesta para pebalet Rusia dan para pebalet Indonesia malam itu seperti menandai suksesnya pertunjukan Swan Lake. Sekalipun dengan mata terpejam, siapa pun tak bakal salah memilih, semua balerina itu elok: Tatiana Protsenko, Eugenia Singur, Tatiana Chungunkina, dan Anastasia Baranova, adalah para pemeran angsa kecil. Sedang para pemeran angsa gede adalah Svetlana Ustyuszhaninova, Oxana Gasnikova, Olga Ivachenko, dan Anna Vakina. Zahra menonton pertunjukan itu bersama keluarga, ayah, ibu, kedua adiknya, kakek dan neneknya, juga tante dan oomnya. Pagi harinya kakek berdiri lalu meliuk-liuk menirukan gerakan balet yang membuat semuanya tertawa.

Awas. Eyang bisa kesleo, lho, celetuk Zahra sambil memasukkan potongan roti lapis kacang dan cokelatnya ke dalam mulutnya. Eyangmu ini tadi malam kan kepincut sama si Maya, celetuk Nenek. Semuanya tertawa, sampai Kakek terbatuk-batuk. Terpikat boleh terpikat, asal encoknya tidak ketahuan sang balerina, sambung Oom sambil menyenggol Tante. Semuanya tertawa. Kakek terbatuk-batuk lagi. Odette atau Odille, saya sih, cocok-cocok saja, tukas Kakek. Apa, sih, yang ndak cocok bagi kamu, tukas Nenek. Semua tertawa. Tapi, saya tidak setuju dengan kostum para penarinya, kata Kakek. Lho, memangnya kenapa? tanya Zahra. Itu kan mengumbar aurat, sambung Kakek. Aurat yang mana? tukas Zahra. Semuanya kan tertutup rapat. Tapi kesan telanjangnya kan jelas. Kesan. Kesan. Aduh, Eyang. Jika kita bicara soal kesan, semuanya terkesan jelek. Jangan begitu, sanggah Kakek. Saya sungguh risi dengan kostumnya. Rasa risi tidak relevan dengan Swan Lake, Eyang. Jangan begitu, sergah Kakek lagi. Saya serius. Melihat kostumnya, pertunjukan itu harusnya disensor. Eyang kok tiba-tiba jadi diktator, tukas Zahra. Itulah kostum yang paling pas untuk lakon Swan Lake. Wah, bubar, deh, peradaban. Wah, wah, wah, Eyang ini gimana, sih. Habis jadi diktator, mendadak berubah jadi filosof. Eyang yang kasmaran, kok yang disalahin balerinanya. Semuanya tertawa, kecuali Kakek. Ruang makan itu berubah jadi ruang pesta pagi hari. Meriah. Obrolan berubah jadi perdebatan. Grup balet Rusia ini sudah melanglang buana. Ini kali pertama kakek dan nenek nonton balet. Zahra melanjutkan obrolannya: Waktu grup balet Zahra memainkan Swan Lake, kostum Zahra ya seperti itu. Mati orang kuburan! potong Kakek kaget. Semuanya tertawa kecuali Kakek. Kok Eyang jadi sewot? Mempertimbangkan kostum itu, Swan Lake dapat dikategorikan sebagai pertunjukan pornografi dan pornoaksi, sambung Kakek. Mati orang kuburan! potong Zahra. Semuanya tertawa kecuali Kakek.

Bagaimana parameternya? Bagian-bagian tubuh tampak disengaja sangat menonjol. Saya heran, kok Eyang sampai segitunya. Ada yang jauh lebih subtil yaitu bentuk tubuh secara utuh. Jenjang kaki yang panjang dengan bentuk yang indahlaki-laki maupun perempuandalam menopang torso yang sepadan yang melahirkan kelenturan gerak bagai kijang. Harus dicari kostum yang lebih cocok dengan budaya setempat, sambung Kakek. Eyang benar-benar lowbrow, sergah Tante. Apa? tanya Kakek. Eyang dianggap tak menghargai kebudayaan, kata Oom. Justru karena saya sangat menghargai kebudayaan, maka saya marah menyaksikan penampilan para pebalet Rusia itu. Zahra menukas, Kalau pendapat Eyang dilaksanakan, runtuhlah kebudayaan. Omong kosong! sergah Kakek. Kalian keras kepala! Semuanya tertawa kecuali Kakek. Kita harus mempertahankan adat ketimuran kita, cetus Kakek. Adat ketimuran kita adalah KKN, sewot Zahra. Dalam KKN ada tradisi, pesakitan KKN selalu jatuh sakit kalau mau diadili. Semuanya tertawa kecuali Kakek. Jangan melecehkan negeri sendiri, sela Kakek. Mendengar kata Kakek ini, semuanya menyanyi kecuali Kakek: Bagimu negeri, jiwa raga kami Oleh orangtuanya, Zahra diperkenalkan pada balet sejak balita. Puluhan kali dia berpentas balet di kota-kota besar. Kostum ketat itu, Eyang, kata Zahra. Adalah tradisi balet. Seperti para perenang yang hampir-hampir telanjang ketika bertanding di kolam renang, begitu pula kostum ketat balet memudahkan untuk bergerak menari. Jadi tanpa mempertimbangkan moral dan agama? tukas Kakek. Moral dan agama ada pada keindahan kesenian itu. Kalau Eyang puas atas pertunjukan balet Rusia itu, ini artinya balet Rusia itu telah berdakwah tentang kebenaran. Sekalipun mereka ateis? Sekalipun mereka ateis. Sungguh saya tidak paham jalan pikiranmu, Cucuku. Hati orang siapa tahu, Eyang. Kita bisa menuduh mereka ateis, tapi dari mana kita tahu bahwa mereka ateis? Obrolan kita ini sudah melenceng. Harus dipisahkan antara rakyat dan negaranya. Betapa luhurnya seseorang yang tidak percaya akan Tuhan, namun tariannya memberikan pencerahan kepada kita yang shalat lima kali sehari, bukankah itu artinya mereka telah berdakwah tentang keluhuran? Seandainya benar mereka ateis, mereka itu hanya belum sempat mendapat hidayah dari Allah saja. Barangkali besok, atau lusa, atau setahun lagi? Seorang ateis bagaimana mungkin mendapat hidayah Allah? Jiwa manusia itu seluas alam semesta, Eyang. Janganlah berputus asa akan belas kasihKu, kata Allah. Tapi omongan kamu itu kan cuma teori.

Mereka telah menari dengan anggunnya, Eyang. Dan itu bukan teori. Mereka telah berbakti kepada Dewi Keindahan. Dalam hidup para balerina dan balerino itu, setiap hari yang dipikirkannya hanya keindahan. Alangkah juwitanya pandangan hidup mereka. Mereka hanya berbakti kepada Dewi Keindahan. Bukan kepada Tuhan. Eyang kok selalu curigesyen terhadap iman orang lain yang tidak dikenal. Semuanya tertawa kecuali Kakek. Kita harus membedakan antara iman warga negara dan iman negaranya, kata si Oom. Banyak negara yang busuk, sedang warga negaranya mudah lolos ke surga, tambah Tante. Coba, saya dikasih contoh, sergah Kakek. Contohnya tidak usah harus beli tiket pesawat, jawab Tante. Semuanya tertawa kecuali Kakek. Apa yang sedang terjadi atas Eyangmu ini, saya cuci tangan, tambah Nenek. Kok sekarang berubah jadi one dimensional man. Semuanya tertawa kecuali Kakek. Saya pusing mendengar pikiran-pikiran anak muda sekarang, tukas Kakek. Kecuali Kakek, semuanya membaca puisi Gibran Khalil Gibran: Anakmu bukanlah anakmu. Anakmu bukan milikmu. Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri.. Eyangmu itu pantas jadi polisi moral, Zahra, tukas Nenek. Lengang sejenak. Seperti tercium setan lewat. Zahra melanjutkan obrolannya: Wajah Allah itu memancar memenuhi alam semesta dan kita makhluk ciptaannya dapat menatap Wajah itu secara gamblang. Ada api yang menyala-nyala. Ada air yang mudah mematikan api. Ada tanah yang bisa menumbuhkan padi sehingga kita tidak kelaparan. Ada angin yang tidak kelihatan yang membuat kita bernapas hidup puluhan tahun. Ada zat yang mendorong kita beranak-pinak. Dan ternyata Allah itu indah, Allah mencintai keindahan. Kita juga memiliki keindahan tradisi. Kita wajib memeliharanya. Saya setuju, Eyang. Cobalah nikmati tari bedoyo. Dalam dandanan kebaya pinjungan, menyembulkan semburat merah jambu gunung kembar yang menjenguk lewat dada yang lebar terbuka. Para pujangga menyebutnya Glatik Nginguk artinya Burung Gelatik yang Menjenguk yang membuat dada para raja dan pangeran mak-sir, tergetar. Mendorong keanggunan sembilan penari yang gemulai dalam balutan kain yang ketat. Dalam balet, seorang penari harus lebar-lebar merentangkan kakinya supaya bisa terbang, sedang dalam bedoyo para penari bahkan untuk berjalan biasa saja, cukup sulit, itulah keunikan tiap tradisi yang mewariskan budaya dunia. Suatu dakwah keindahan tiada tara. Tukas Kakek: Tidak ada pornografi dan pornoaksi dalam tari bedoyo. Sebagaimana balet, tidak ada pornografi dan pornoaksi, sambung Zahra. Tangerang, 14 Februari 2006

Lauk dari Langit Cerpen Danarto Dimuat di Republika 03/05/2006 Telah Disimak 1431 kali

Hari masih pagi ketika gadis kecil itu berjingkrak-jingkrak ke sana ke mari sambil berteriak-teriak, "Hujan ikan! Hujan Ikan!" Kepalanya menengadah menatap angkasa mencari tahu apakah ada lubang menganga nun di atas sana dari mana ikan-ikan melayang beramai-ramai terjun ke bumi. Gadis kecil itu juga berlari mengitari gubuk tempat tinggalnya dengan teriakan tak berkeputusan, "Hujan ikan! Hujan ikan!" Ayah dan ibunya, juga dua kakaknya muncul dari dalam gubuk sambil menatap ke udara. Sesaat ratusan ekor ikan menghujani keluarga itu. Dengan mulut menganga, beruntun ucapan "masya Allah", tak disadari keajaiban sedang berlangsung di kediaman mereka. "Hujan ikan! Hujan ikan!" teriakan gadis kecil itu terus-menerus penuh kegembiraan. Keluarga itu lalu memunguti dengan cekatan ratusan ekor ikan yang berserakan di rerumputan pelataran, kebun, dan atap gubuk mereka. "Subhanallah," berulang-ulang terlantun dari mulut mereka. Apa yang sedang terjadi dengan langit? Mengapa hujan ikan seolah-olah disajikan kepada mereka? Hujan ikan sesaat yang meluncurkan ratusan ekor ikan dari langit, apakah ini berkah? Apakah ini bencana? Mereka mencoba memahami kehendak Tuhan yang tak terduga, seperti halnya memahami hidup mereka sendiri yang serba jauh dari pengandaian. Kelihatan keluarga ini tak biasa berandai-andai. Hidup sehari-hari keluarga yang berkebun sayuran ini penuh kepastian. Kerja keras dan bersyukur kepada Tuhan. Sebuah keluarga dengan tiga anak, dua lelaki, satu perempuan, tahu apa yang harus dilakukan. Hidup terpencil di sebuah bukit, mereka tampak bebas menggarap lahan yang ada hampir-tak berbatas. Bayam, kangkung, kul, singkong, kacang panjang, cabai, sudah bertahun-tahun menghidupi keluarga ini sejak pengantin baru. Merasa tak bisa hidup di kota, suami istri itu memilih menetap di sebuah bukit. Dengan tetangga yang berjauhan, keduanya merasakan kebebasan. Bukit yang tanpa tuan, keduanya serta-merta -- sebagaimana para tetangganya -- menjadi pemilik sepenggal lahan kebun yang dipilihnya secara bebas. Tangan-tangan Pemda boleh jadi tidak memadai jumlahnya untuk bisa mengurusi lahan perkebunan atau pertanian di daerah perbukitan itu, mengingat luasnya tanah dan sedikitnya minat penduduk untuk tinggal di situ sehingga terkesan siapa pun boleh mengolah tanah itu seberapa pun maunya. Mau menanam apa saja, tak ada yang melarang, tak ada juga yang mengizinkan. Sampai akhirnya keduanya beranak-pinak. Mereka berbahagia. Sebagaimana para tetangganya, setiap saat keluarga itu dapat memperluas lahannya dengan leluasa. Disamping sayur-mayur, keluarga itu mencoba menanam kembang. Di antaranya anggrek. Namun sejauh ini belum dapat diukur keberhasilan usaha kebun anggrek itu. Sedang sayur-mayur yang menjadi kebutuhan sehari-hari, keluarga itu menjualnya kepada pedagang yang mengambilnya dan memasarkannya di kota. Dari sini keluarga itu hidup cukup memadai. Jarak yang cukup jauh dari kota menyebabkan para penghuni perbukitan itu cukup sulit menyekolahkan anak-anaknya. Si bungsu, gadis kecil itu, sekitar enam tahun usianya, yang suka berjingkrak-jingkrak, hidup menyatu dengan kangkung, bayam, kacang panjang, burung, tikus, dan kijang. Gadis kecil itu sering ngobrol dengan burung maupun tikus yang berseliweran di sekitar kebun itu. Pada suatu hari, dia melihat kijang di kejauhan dan memanggilnya. Kijang itu nampak bengong, heran, ada seorang gadis kecil yang barangkali terlalu berani memanggil binatang yang punya tanduk itu. Kenapa tidak? Satu saat, keluarga itu kedatangan tamu. Dari kota, tamu itu mencatat jumlah orang di keluarga itu. Hanya begitu saja. Petugas itu tak menanyakan soal lain, misalnya soal surat izin tinggal dan menggarap lahan. Barangkali saja, petugas itu tidak mau repot untuk menanyai ini dan itu, sementara pekerjaan di kantor sudah cukup melelahkan. Kemurnian hati para petugas kota dan keluarga itu agaknya terjalin baik

sehingga urusan kartu keluarga dan tetek-bengek lainnya tidak perlu harus menguras keringat dan lain sebagainya. Dari atas bukit itu, pemandangan kota tampak tergelar dengan jelas. Kesibukan kota dengan lalu-lalang lalu-lintasnya merupakan pemandangan yang menarik untuk mendorong siapa pun bekerja keras. Di malam hari, pemandangan kota lain lagi daya pikatnya. Lampu-lampu rumah, toko, jalan raya, dan lampu-lampu kendaraan yang susul-menyusul di malam gelap memberi suasana kehidupan yang lain dari kehidupan senyatanya. Di malam hari, kota tak perlu nama. Di malam hari, kota mencipta dunia yang tak dikenal manusia. Mengaduk rasa ramai di hati dan rasa tentaram di perasaan. Sarapan kali ini mencatat hujan ikan disajikan di meja makan. Setelah sujud syukur berjamaah, keluarga itu mengitari meja makan. Meja makan dari anyaman bambu yang dibuat sendiri, merekam suara reyot, kri-et... kri-et... setiap meja makan itu disentuh atau pun ditindih. Makan pagi keluarga itu menikmati lauk-pauk ikan yang berlimpah. Belum pernah terjadi sebelumnya. Biasanya, lauk hanya terdiri dari ikan asin dan sambal terasi di antara sayuran yang direbus dengan garam. Sebelum makan, mereka berdoa. Mereka makan ikan yang dibakar sebanyak yang mereka suka. Anakanak sangat menikmati. Mereka bertiga terus menambah ikannya. Di antara bunyi kecap bibirnya dan pergulatan lidahnya dengan ikannya, ketiga anak itu juga asyik ngobrol, hal yang sebelumnya tidak dibolehkan ayah dan ibunya. Ngobrol waktu makan hanya akan menjauhkan berkah Allah, kata ayah dan ibunya. Doanya tidak dikabulkan Allah. Makan sebagai berkah dari Allah harus dinikmati dengan benar. Pagi itu mereka lupa semuanya tentang hal itu. Si bungsu gadis kecil itu terus bercerita bagaimana dia tertimpa ikan-ikan yang terjun dari angkasa. Seekor di antaranya berhasil dia tangkap dengan jarijemarinya yang kecil. Ikan itu menggelepar ingin lepas. Puluhan ekor menggelepar di rerumputan. Sejumlah lainnya meloncat dari atap gubuk. Namun, tidak demikian dengan ayah dan ibunya. Kedua orangtua itu menikmati makannya dengan tercenung. Diam. Berkelindan dengan tanda tanya. Peristiwa pagi itu seperti memburu keduanya. Mau lari kemana pun akan terus diuber. Berondongan tanda tanya menyergap ke benaknya. Kedua orangtua itu terbenam di antara bunyi kunyahan ikannya. "Apa yang dimaksud Allah dengan hujan ikan ini?" kata sang suami di dalam hati. "Apa yang dimaksud Allah dengan hujan ikan ini, tidak perlu kita ketahui," kata istrinya di dalam hati juga. "Mengapa tidak boleh kita ketahui?" kata suami di dalam hati. "Berkahnya akan berkurang," kata si istri di dalam ahti. "Mengapa berkahnya berkurang?" "Karena kita ingin mengetahui suatu rahasia, padahal bersyukur lebih baik." "Saya tidak mengerti." "Makanya lebih baik diam." Percakapan di dalam hati itu kebetulan bisa bersambung. Suami itu tetap diam sambil mengunyah. Istrinya tetap diam juga sambil mengunyah. Terdengar bunyi kunyahan. Gigi-gigi yang menggerus makanan. Leher turun naik seperti mengirim barang dari atas ke bawah. Berapa ekor ikan yang habis dilahap, keduanya tentu tidak menghitungnya. Suami istri itu mencoba untuk berbicara tetapi ragu-ragu. Barangkali apa yang mau dikatakannya penting tapi desakan untuk tidak melakukannya juga keras. Sampai selesai makan keduanya diam untuk sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Banyak tanda-tanda Allah yang tidak perlu diketahui maknanya. Banyak pertimbangan untuk diam dari banyak gejala bagaimana pun musykilnya. Barangkali Tuhan lebih suka begitu. Atau kita sedang mengatasnamakan Tuhan? Bagaimana mungkin kita berani? Kita hanya pura-pura berani, Tuhan tahu itu. Atau kita menyikapi setiap gejala sebagai pahala dan bencana? Sebagai pahala karena kita suka. Sebagai bencana karena kesukaan kita menimbulkan kesedihan bagi yang lain. Ikan-ikan yang dikumpulkan pagi itu menggunung di dalam gubuk mereka. Berkah itu memusingkan mereka karena ikan-ikan itu tidak boleh busuk. Harus secepatnya digarami. Dari mana bisa didapat garam secepatnya? Keluarga itu tidak punya uang untuk memborong garam. Yang ada hanya sekadar garam persediaan untuk memasak. Ketika kelelahan mengumpulkan ratusan ekor ikan itu memporot tenaga mereka, keluarga itu hanya terduduk diam. Ayah, ibu, dan ketiga anaknya bagai patung yang

dipajang di depan buat menyambut tamu yang datang. Tetapi ternyata tidak ada tamu yang datang. Yang bertamu hanya rasa bingung. Tiba-tiba muncul suatu pikiran di benak sang suami. Ia menyat dari kursi bambunya seperti tersentak oleh berkah yang lain. Dengan cekatan ia merangkai ikan-ikan itu satu-persatu ditusuk dengan tali bambu. Dengan tongkat bambu yang dipanggul cukup banyak ikan yang bisa dibawa. Ia dapat menjual ikan-ikan itu di pasar atau menukarnya dengan garam. Ia berangkat dengan bocah sulungnya. Dengan penuh kegembiraan ayah dan anak itu meninggalkan gubuknya kali ini sebagai penjual ikan. Istri dan kedua anaknya yang tinggal, berdebar melihat kecekatan kerja sang suami dan ayah mereka. Si gadis kecil mau ikut tapi dilarang ibunya. Si kecil tentu tidak bisa berjalan cepat yang hanya akan memperlambat langkah. Kaki yang kokoh, dada yang bidang, badan yang tegap, tangan yang cekatan, semuanya ini modal yang menjadikan sang suami sebagai kepala rumahtangga yang sigap bekerja. Kini ia dan anak sulungnya menuruni bukit pada jalan setapak yang diapit pohon dan rimbunan tanaman. Jalan setapak itu sehariharinya licin. Namun kali ini lebih licin lagi, bahkan berlumpur. Begitu sampai di bibir bukit dan menatap kota di depannya, sang ayah dan anaknya jatuh terduduk, kekuatannya dilolosi. Ikan yang dipanggulnya terserak di tanah. Keduanya meraung sejadi-jadinya: kota telah musnah, ribuan mayat bergelimpangan di mana-mana.*** Tangerang, 14 Februari 2006

Nistagmus Cerpen Danarto Dimuat di Kompas 06/05/2005 Telah Disimak 2129 kali

SUBUH itu saya dikejutkan oleh suara-suara orang ramai di pekarangan. Istri saya memberi tahu, banyak sekali orang berkerumun di halaman depan rumah dan di jalanan. Istri saya belum menemui mereka. Anak-anak yang bersiap ke sekolah, setelah sarapan, menjenguk lewat jendela. Saya acuh tak acuh. Sudah sering datang orang, satu dua, untuk mengajak ngobrol pelbagai masalah. Saya rasa kali ini juga begitu. Karena istri saya gelisah, saya penasaran mendengar dengung orang-orang gremeneng semakin ramai. Dengan menyingkap kain gorden jendela sedikit, saya melihat orang-orang berderetderet seperti ngantre minyak tanah, mengular sampai jalanan. Ada apa? Saya acuh tak acuh. Sudah sering datang orang, satu dua, untuk mengajak ngobrol pelbagai masalah. Selama ini saya memang dekat dengan para tetangga. Sering saya diajak ngobrol tentang berbagai masalah yang dihadapi para tetangga. Di samping para tetangga, juga kenalan-kenalan jauh yang datang dengan kendaraan khusus. Kadang datang berbondong. Tamu pun bisa mencapai sepuluh sampai lima belas orang sehingga rumah jadi regeng, ramai. Kami ngobrol sekitar persoalan yang menyangkut rumah tangga dengan segala nuansanya. Juga tentang hubungan suami istri, menantu dengan mertua, bawahan dengan atasan, persoalan anak dengan orangtuanya, juga masalah percintaan antaranak-anak remaja. Jika ditanya, saya menjawab sekenanya, sekadar yang saya tahu. Saya tak pernah mengutip kata-kata bijak dari para cendekiawan. Masalah-masalah itu menjadi obrolan yang berkepanjangan. Sungguh menghabiskan waktu. Tapi asyik juga karena hidup di dusun yang sepi sekali-kali perlu mengadakan pertemuan supaya merasakan kemeriahan. Kadang-kadang saya juga diundang camat, bupati, maupun wali kota, diajak berbincang mengenai berbagai hal yang pelik, yang sama sekali tidak saya ketahui. Misalnya, soal usaha tambak udang, perbankan, perburuhan, pengairan sawah, bibit tanaman, dan banyak lagi sejumlah persoalan yang lagi hangat atau panas di masyarakat yang sebenarnya membuat saya tidak nyaman. Rasanya camat, bupati, dan wali kota, tidak benar-benar membutuhkan saya. Rasa saya mereka sekadar butuh teman ngobrol. Setelah dua jam pembicaraan ke sana-kemari, lalu kami pindah tempat duduk dan lebih santai sambil ngopi. Dan pembicaraan beralih ke olahraga, misalnya, juga tayangan televisi. Selama pertemuan-pertemuan dengan para tetangga, teman-teman, ataupun dengan para pembesar itu sebenarnya saya banyak diam. Untuk sikap saya itu, saya dijuluki "pendengar yang baik". Selama ini saya dikenal sebagai penulis obituari (berita tentang kematian seseorang berikut riwayat hidupnya) di surat kabar setempat. Sebagai penulis lepas, mula-mula saya menulis obituari hanya sambil lalu. Karena kematian seorang teman baik yang menjadi tetangga dekat, menyadarkan saya, mengenang lewat tulisan obituari itu mengesankan. Lama-lama saya menulis obituari menjadi semacam panggilan. Cukup menyenangkan. Orang-orang kebanyakan yang mungkin pernah lalu-lalang di depan rumah saya, di sebuah desa yang lengang, yang beberapa hari kemudian dikabarkan meninggal, lalu saya cari alamatnya. Saya interviu keluarganya. Saya catat riwayat hidupnya, pekerjaan terakhirnya, dan berapa orang saudaranya. Obituari yang meliputi orang-orang biasa itu bisa saudara, keluarga, teman, sampai kenalan baru. Saya bisa memanfaatkan rubrik khusus obituari setiap saat atas kebaikan redaksi koran lokal yang memberi saya kebebasan. Dengan enak saya bisa menulis obituari setiap hari. Pernah kejadian dalam seminggu sepuluh orang. Selama ini tulisan obituari saya sudah mencapai 5.000 orang. Seluruhnya orang- orang biasa, lewat mesin ketik manual yang kemudian berubah ke mesin ketik komputer. Saya menolak ketika diminta menulis obituari orang-orang ternama. Alasan saya, orang-orang terkenal itu sudah banyak penulisnya, sedangkan untuk orang-orang biasa, agaknya hanya saya seorang. Tulisan obituari itu tidak panjang, sekitar 5.000 karakter. Kadang sampai 8.000 karakter jika orangnya kocak atau punya pekerjaan yang unik. Misalnya, ada seorang tukang becak yang menyerahkan becaknya kepada seorang kepala tibum (penertiban umum) dengan tujuan supaya becaknya dijual untuk mengongkosi sekolah anaknya. Si kepala tibum menolak dengan mengembalikan becaknya sambil mengirim beras 5 kilogram kepada si tukang becak. Ketika beberapa waktu kemudian tukang becak itu meninggal karena faktor usia, saya menulis obituarinya dengan memasukkan wawancara kepala tibum itu. Ada seorang pegawai negeri yang tidak mau dipensiun karena uang pensiunnya kecil, sementara beban keluarganya besar. Kepala kantor orang itu kebingungan, lalu mencari akal agar bawahannya itu sadar. Masa pensiun pasti datang, sebagaimana kematian itu pasti tiba. Lalu si kepala kantor meminta jasa seorang tukang sulap yang pandai menghipnotis orang. Begitulah. Bawahannya itu lalu dihipnotis hingga tertidur di mejanya. Lalu ia dinaikkan ke dalam mobil, dibawa pulang ke rumahnya. Begitu

siuman, ia kaget, kenapa tidur di rumah. Keluarganya memberi tahu, ia seharian di rumah saja, tidak ke mana-mana. Sejauh ini saya tidak tahu dan tidak berusaha mencari tahu, apa ada yang tertarik membaca obituari saya. Saya yang terus beredar di banyak keluarga yang kematian saudaranya, menyebabkan banyak orang mengenal saya. Barangkali mereka juga membaca obituarinya. Dipasang pula fotonya yang bisa menyebabkan keluarganya tertambat kenangannya. Lelucon-lelucon pun menyebar dengan semarak di pasar, kompleks pertokoan, ataupun di stasiun bus, yang berkenaan dengan tulisan obituari itu. Banyak komentar. Banyak usulan. Yang jail maupun pelesetan. Dan sebagainya. "Kenapa kamu tidak lekas mati supaya Pak Jurnalis bisa menulismu sekarang!" "Biar kamu mati, tak ada yang menulis, meski kamu membayar Pak Jurnalis!" "Kamu tidak akan mati, sampai kamu menulis riwayatmu sendiri!" Saya terbahak mendengar lelucon-lelucon itu. Itu semua menyebabkan saya akrab dengan semua orang. Setiap saya lewat atau mampir membeli rokok di kios, selalu saja orang nyeletuk: "Pak Jurnalis. Saya nggak mau ditulis sekarang." Atau ada yang berteriak: "Pak Jurnalis. Ntar saya yang menulis Bapak." Tapi, ada saja orang yang enggan bertemu atau lebih-lebih ngobrol dengan saya. Ada yang bilang, seseorang yang ngobrol dengan saya, ada yang mengartikan, saya sedang mewawancarainya. Sementara itu ada pula yang bilang, jika seseorang ngobrol dengan saya, itu tanda-tanda orang tersebut mau meninggal. Wah, ini bahaya. Memang ada seorang yang sehabis ngobrol dengan saya, ia meninggal. Tapi ini kebetulan saja. Dari kejadian itu, saya mendapat sebutan yang aneh-aneh, yang saya malas menuliskan sebutan-sebutan itu di sini. Maka ada saja orang yang anti-saya. Ini benar-benar klenik. "Pak, tinggal di mana?" tanya saya kepada seseorang yang saya pinjami korek api untuk menyalakan rokok saya. "Maaf, Pak Jurnalis. Saya tak bisa menjawab," jawabnya. "Lho, kenapa?" "Maaf, Pak. Tidak kenapa-kenapa." "Baiklah, Pak." "Saya permisi, Pak." "Jangan ditinggal korek apinya ini." "Biar untuk Bapak saja." "Lho, kenapa?" "Maaf, Pak. Tidak kenapa-kenapa." Inilah sepenggal dialog di pasar sepeda motor dengan seseorang yang enggan bertegur sapa dengan saya karena keyakinan-keyakinan klenik itu. Keterlaluan. Jadinya lama-kelamaan saya enggan menyapa orang. Saya jadi pendiam dan menyendiri. Di pertemuan-pertemuan desa, saya juga diam dan menyendiri supaya orang nyaman dengan saya. Ketika orang menanyakan pendapat saya, sedikit saja saya ngomong. Lalu malah terjadi serba-salah. Banyak ngomong dianggap meramal, sedikit ngomong dianggap mengetahui peristiwa yang bakal terjadi. Ketika di sebuah toko saya menghindar supaya tidak bertemu dengan seseorang, orang tersebut malah mengejar saya sambil menyapa: "Bapak menghindar dari saya. Apa yang akan terjadi dengan saya, Pak?" Istri dan anak-anak saya juga merasakan perubahan itu. Ada yang berubah dengan tingkah-laku saya, katanya. Apa ada gejala sesuatu? Tentu saja saya merasa tidak berubah dengan tingkah-laku saya. Saya juga tidak tahu adanya gejala sesuatu. Memangnya saya cenayang. Anak-anak saya, lima orang, terutama si sulung yang duduk di SMA kelas 2, dan si bungsu di SD kelas 5, yang paling kritis. Keduanya cencala (lancang mulut) terhadap sikap saya dalam menulis obituari. Kritiknya tidak berdasar. Menurut mereka, tulisan saya tidak adil terhadap seseorang dan berlebihan bagi yang lain. Jika sampai di sini hal itu masih baik. Tetapi jika sudah menyangkut masalah dosa dan pahala, wah, anak-anak ini sok tahu. Seolah-olah anakanak ini cukup rajin membaca buku-buku agama. Pernah saya menyergah anak-anak saya itu: "Dari mana kalian tahu, sebuah tulisan berdosa dan tulisan yang lain berpahala?" "Dari Ayah," jawab anakanak itu. "Kalian ngawur." "Ayah marah kena keritik." "Karena keritik kalian membawa-bawa dosa dan pahala." "Boleh saja, kan." "Tidak bisa seenaknya begitu." "Semua orang bicara dosa dan pahala." "Dalam hubungan apa orang bicara seperti itu." "Semuanya." "Nah, kalian ngawur." "Begini. Ayah pernah menulis obituari. Boleh jadi Allah sudah membuatkan rumah baginya di surga. Nah, ini dosa, karena Ayah memaksa Allah membuatkan rumah baginya di surga." "Itu harapan saya. Itu doa saya. Itulah usaha sebaik-baiknya seorang penulis obituari," jawab saya. "Ayah juga pernah menulis obituari seorang pengusaha. Ia meninggalkan seorang istri dengan empat orang anak. Nah, ini pahala bagi Ayah karena Ayah menyembunyikan tiga istrinya dan anak-anaknya yang lain." "Nah, itu justru kesalahan saya dan saya bisa berdosa karena tidak menulis tiga istri dan anak-anaknya yang lain. Hal itu berarti saya tidak menganggap ada dan penting keberadaan mereka. Mereka bisa tersinggung dan bukan tidak mungkin merasa saya lecehkan." Mendengar keterangan saya, anak-anak saya itu diam. Saya sering lelah berdebat dengan anak- anak saya tersebut. Mereka suka ngotot dan merasa selalu benar. Padahal saya selalu bilang, kekuatan itu ada batasnya sehingga kita tidak selalu benar. Sebagai ayah, saya mendidik anak-anak saya itu dengan keras. Barangkali karena beban keluarga yang terlalu berat. Lima anak semuanya sekolah, sedang rakus-rakusnya makan, itu semua yang menyebabkan saya sering stres dan mengalami depresi yang tajam. Kami sebenarnya keluarga bahagia. Penghasilan saya tentu saja jauh dari cukup. Istri saya guru SMP, sedangkan saya sejak remaja penulis lepas, yang untuk makan sehariharinya saja suka empot-empotan. Saya menulis apa saja, termasuk menulis berita. Di Jogja itulah sejarah saya bermula ketika saya kecantol putri Aceh yang kuliah di UGM. Kami menikah dan pindah ke Aceh dengan gagah berani karena cuma berbekal baju yang kami pakai. Anak-anak mewarisi sifat-sifat ibunya, cerdas dan berani. Subuh itu saya dikejutkan oleh suara-suara orang ramai di pekarangan. Istri

saya memberi tahu, banyak sekali orang berkerumun di halaman depan rumah dan di jalanan. Istri saya belum menemui mereka. Anak-anak yang bersiap ke sekolah, setelah sarapan, menjenguk lewat jendela. Saya acuh tak acuh. Sudah sering datang orang, satu dua, untuk mengajak ngobrol pelbagai masalah. Saya rasa kali ini juga begitu. Karena istri saya gelisah, saya penasaran mendengar dengung orang-orang gremeneng semakin ramai. Dengan menyingkap kain gorden jendela sedikit, saya melihat orang-orang berderet-deret seperti ngantre minyak tanah, mengular sampai jalanan. Ada apa? Setelah sarapan, dengan malas saya keluar rumah dan duduk di beranda. Barangkali seperti agen minyak tanah yang siap menyambut para pembeli, saya menyiapkan kertas dan alat tulis. Hari baru membuka matanya. Bahkan matahari masih bergelut dengan kasurnya. Jam baru menunjukkan pukul 05.00. Orang-orang yang antre tidak sabar seperti mendengar aum macan, merangsek ke depan meja saya. Orang sekian banyak mau ngajak ngobrol apa? Tentang kesulitan hidup? Beras habis dan anak-anak menangis kelaparan? Orang sebanyak ini mau ngobrol sekaligus? Mata mereka nanar. Gerakan bola mata yang cepat tanpa disengaja, di luar kemauan, nistagmus, mereka menatap kebenaran, mencecap pencerahan. Alhamdulillah. Mereka berebut duluan menyerahkan selembar kertas di atas meja sehingga sekejap bertumpuk, berserak, lalu semuanya bergegas pergi meninggalkan saya tanpa sepatah kata diucapkan. Lembaran-lembaran apakah ini? Ternyata riwayat hidup dengan tanggal lahir dan masya Allah...tanggal akhir hayat, Ahad, 26 Desember 2004. Ketika saya menuruni bukit dengan sempoyongan penuh lumpur, entah bagaimana saya bisa sampai di bukit ini, terlihat pemandangan yang menyebabkan saya pingsan. Entah berapa lama saya pingsan. Waktu saya siuman, seluruh kota telah hancur-lebur rata dengan tanah. Mayat-mayat berkaparan di seluruh kawasan. Mayat-mayat itu lebih mengesankan sedang tidur pulas. Seluruh mayat itu, laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak, bayi, diselimuti lumpur, berserakan memenuhi ruang dan udara, di reruntuhan rumah, di pekarangan, di kebun, di jalan, di atas pohon. Tak ada tanda-tanda kehidupan secuil pun. Bahkan burung-burung, tak seekor pun tampak terbang. Saya tak tahu lagi di mana rumah saya. Cuaca cerah. Sinar matahari memancar, panas. Awan putih berarak dengan latar langit biru meneduhkan. Saya berdiri sendirian di samping sebuah kapal yang terdampar di tengah kota. Tangerang, 20 Januari 2005.

Kacapiring Cerpen Danarto Dimuat di Kompas 10/20/2002 Telah Disimak 1183 kali

RUMAH sakit ini rasanya menebarkan arus kematian. Terasa pada tengkuk dan telapak tangan yang dingin. Lorong-lorong yang lengang mengantarkan kereta jenazah yang bergulir sendirian. Bau obat pengepel lantai yang menelan nasi bungkus pada kemasan air minum yang kempis. Barangkali di ranjang sebelah seorang pasien sedang bergulat memperebutkan nyawanya dengan Malaikat Izrail.Ketika adzan subuh terdengar, saya masih malas bangun dalam tidur duduk dengan kepala terkulai di ranjang Astri, anak saya yang berumur 12 tahun. Astri telah tiga hari pingsan, belum juga ada tanda-tanda mau siuman. Para dokter tidak tahu kenapa lama sekali Astri pingsan.Anak-anak yang sehat, energetik, dan periang, yang mewarisi watak saya yang selalu dalam keadaan senang, sebenarnya tidak mungkin begitu mudah jatuh pingsan. Dunia memang penuh penderitaan, tetapi lupakanlah itu dan rebutlah kegembiraan hidup untuk selama-lamanya. Itulah yang pokok, saya pikir, yang saya ajarkan kepada anak-anak dalam mengarungi hidup sehari-hari. Saya ajak mereka menyanyi, menari, dan berdoa, dan kelima anak saya itu - Astri (12), Ajeng (10), Antok (8), Agra (6), dan Ayu (4) - pun menari, menyanyi, dan berdoa. Anakanak yang baik adalah jendela dengan kaca yang jernih. Kami adalah keluarga yang tidak bersedih. Jika mau bersedih, kita tidak akan sempat bersedih karena hidup kita ini adalah kesedihan.Kami bertujuh hidup dalam kebahagiaan dalam arti yang sempit maupun yang luas. Selalu bertemu setiap hari, dalam waktu yang sempit maupun waktu yang longgar. Kami berbelanja beramai-ramai ke Hero atau Carrefour. Kami makan di Sizzler atau di Lembur Kuring. Kami keluarga yang sibuk sehingga membutuhkan tiga sopir, paling tidak, satu untuk anak-anak, satu untuk istri, dan satu untuk saya, sepertinya kami masingmasing sudah bisa mandiri.Seminggu sekali kami mengitari toko buku selama tiga jam untuk memborong buku dan DVD apa saja yang mendatangkan kesenangan. Kami juga nonton di gedung bioskop dan gedung kesenian, juga di gedung-gedung kebudayaan kedutaan besar. Kami mengisi tekateki silang dari Harian Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, maupun Republika, sambil menikmati pizza atau hamburger dan es teler. Kami juga pura-pura tahu tentang gerakan reformasi yang melanda di seluruh Tanah Air.Itulah sebabnya kami merasa digoncang gempa bumi ketika mobil kami ngebut melarikan Astri ke rumah sakit. Menderu dan melakukan zig-zag. Masih dalam keadaan pingsan, Astri saya peluk erat-erat. Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan Astri yang menjerit dan jus mentimun yang mestinya ia berikan kepada Mamanya, jatuh ke lantai dengan bunyi gelas yang pecah berderai. Saya berlari ke arah jeritan Astri dan mendapatkannya terkapar. Saya berteriak memanggil sopir dan membopong Astri ke dalam mobil. Di sisinya, Ajeng dan Antok, adik-adik Astri, gemetar dan menangis memegangi kaki dan tangan kakaknya. Apakah Astri tadi terpeleset atau dia kena serangan jantung? Yang saya heran, ibunya anak-anak tidak memberikan reaksi sedikit pun dan tetap berada di dalam kamarnya. Bahkan sekadar menjenguk pun tidak."Karena kaget, siapa pun bisa pingsan," kata dokter setelah memeriksa Astri beberapa saat yang membuat kami lega."Bagaimana dengan jantungnya, Dok?" tanya saya."Sehat," jawab dokter, "Nanti kalau sudah siuman, Astri bisa dibawa pulang."Saya mengucapkan terima kasih kepada dokter yang kemudian berlalu meninggalkan Astri yang menggeletak di ranjang. Sambil memegangi tangan Astri, saya bengong menatap Ajeng dan Antok yang cemas ketika tiba-tiba hand-phone berdering."Agra dan Ayu nangis memanggil-manggil Ibu, Pak!" teriak pembantu dari rumah sambil menangis.Saya kaget lalu berteriak, "Bilang sama Agra dan Ayu jangan kolokan. Bawa keduanya ke mamanya.""Pintu kamar Ibu digedor-gedor Agra dan Ayu, tetapi enggak ada sahutan, Pak," teriak pembantu dari rumah."Dobrak pintunya.""Enggak berani, Pak.""Dobrak!""Enggak berani, Pak.""Suruh Totok mendobrak.""Totok enggak berani, Pak.""Mana Totok, saya mau bicara.""Ya, Pak," sahut Totok, sopir anak-anak, yang agaknya berada di samping pembantu."Tok! Kamu dobrak pintu kamar Ibu.""Mohon maaf, Pak. Saya tidak berani."MULA-mula Laksmi, mamanya anak-anak, memberi tahu kami bahwa dia membutuhkan kamar sendiri. Saya pikir dia mau menggunakan kamar yang sudah ada. Ternyata dia membangun kamar baru di sebelah perpustakaan. Bagi kami-saya dan anak-anak- tak menjadi soal amat. Kami semua sangat mencintainya. Bahkan anak-anak sanggup menunggunya sampai pukul 9 malam untuk bisa makan bareng dengan mamanya.Sebagai seorang ibu yang perfeksionis bagi anak-anaknya, dia mengatur seluruh kehidupan sehari-hari kami dengan seluruh segi-seginya, begitu cermat dan cekatan. Dari jus apel-tomat-wortel yang wajib kami minum setiap hari, dari hobi sampai jenis permainan, dan dari olahraga sampai piknik kami setiap empat bulan sekali, anak-anak dan saya, terima beres. Dari sini dia mendapat imbalan yang elok dari langit: anak-anak dan suaminya tumbuh

sehat dan mendatangkan kebahagiaan.Dengan kamar barunya itu, Laksmi keluar-masuk kamarnya dengan kunci di tangan. Tentang sikapnya ini, saya pernah secara sambil lalu bertanya kepadanya, "Ada rahasia apa, kok pakai dikunci segala." Dia hanya menjawab dengan senyum. Meski tetap ramah dan murah senyum sambil menyanyi dan menari, tetapi kami, keluarga dekat dan teman-temannya, tak boleh menjenguk kamarnya. Pernah Ayu yang berumur empat tahun, bungsu kami, menangis sejadi-jadinya karena mau ikut, tetapi tetap tak diizinkan masuk ke kamarnya. Laksmi tak peduli Ayu menangis seharian di depan pintu kamarnya. Dari peristiwa ini saya mulai merasakan Laksmi ingin mengucilkan diri.Laksmi yang kutu buku dan mengenal dengan baik seluruh restoran di Jakarta, jauh lebih keras bekerja daripada saya meski saya sering pulang larut malam. Tidak pernah mengeluh. Selalu tersenyum lebih dulu bahkan dari para tetangganya yang jauh lebih ramah sekalipun. Kesukaannya memasak dan membagikannya kepada satu dua tetangganya meski hanya beberapa potong lumpia, dicatat sebagai sifat keramahtamahannya. Ketika membangun kamar pribadinya itu usianya tiga puluh tahun dan sedang ayuayunya.Di kamar Astri, sekarang berkumpul separuh keluarga. Air mata saya terus berlelehan. Ajeng dan Antok menangis sambil memeluk kaki Astri yang terkulai seperti mati. Beberapa dokter hilir-mudik memeriksa Astri lagi. Mereka berdiskusi secara bisik-bisik dan tidak memberi keterangan apa-apa kepada saya. Karena tak tahan menunggu lalu saya bertanya kepada dokter pertama yang memeriksa Astri. Tetapi, dokter itu memberi isyarat supaya saya bersabar.Seorang dokter lain menyarankan supaya saya memeriksa kamar-kamar di rumah. Lalu saya menelepon Eyang Putri Niniek, neneknya anak-anak, ibu Laksmi, yang sering meluangkan waktu bermain dengan cucu-cucunya."Sebelum ke rumah sakit, Ibu mampir dan mohon periksa seluruh kamar dan pojok rumah," desak saya."Istrimu ke mana?" tanya Nenek."Itulah...""Itulah apa?""Tak tahu ke mana."Kamu bertengkar dengannya?""Tidak.""Ayolah, kamu bertengkar.""Sungguh tidak, Bu."Akhirnya Ajeng dan Antok tertidur di tepi-tepi ranjang Astri. Saya merenung tentang hal-hal kecil yang mungkin sekali terlewatkan dalam urusan rumah tangga. Beberapa orang keluarga dan teman-teman sekelas Astri di SLTP berdatangan menjenguk. Kami mengobrol di kamar keluarga di sebelah kamar perawatan Astri. Teman-temannya menciumi kening dan pipi Astri yang pingsan pulas. Mereka menanyakan mamanya anak-anak. Saya jawab, Laksmi sedang bepergian keluar kota yang tak bisa dihubungi.Telepon genggam berciluit. Rupanya dari nenek yang lalu nerocos. "Laksmi bilang belum bisa menjenguk ke rumah sakit. Dia tak mau membuka pintu kamarnya.""Cobalah Ibu minta dia menelepon saya.""Sudah saya suruh, tetapi dia tidak mau.""Dia omong apa saja?""Dia tak omong apa-apa."Ibu merahasiakan omongan dia, ya?""Buat apa?" "Jadi Ibu cuma mendengar suaranya dari dalam kamarnya?""Ya.""Aneh.""Apa?""Aneh, Laksmi tidak mau ketemu Ibu.""Apa kamu memarahinya?""Tidak pernah.""Ada apa sebenarnya?""Saya tidak tahu.""Kamu suaminya kok enggak tahu.""Benar, Bu."SEORANG dokter masuk memeriksa Astri. Tiba-tiba Astri berteriak, "Mama!" lalu dia terkulai kembali, diam, pingsan lagi.Melihat gejala itu kemudian beberapa dokter dan jururawat berdatangan. Astri lalu diperiksa oleh tiga orang dokter. Lalu para dokter itu memberitahu bahwa tidak ada hal-hal yang mengkhawatirkan.Akhirnya Astri siuman dalam keadaan sehat-walafiat. Seorang kiai dan beberapa orang jamaahnya yang mengaji sepanjang malam di sisi tempat tidurnya, berhasil membangunkannya. Subuh itu Astri terduduk kaget dan berteriak-teriak memanggil ibunya, "Mama! Mama!" lalu turun dari tempat tidur menghambur ke pelukan saya sambil menangis sejadi-jadinya.Lalu kami meninggalkan rumah sakit beramai-ramai seperti mau menyambut pesta. Kami tidak pulang ke rumah. Kami pulang ke rumah Nenek. Kami menyelenggarakan selamatan untuk Astri. Mirip reuni keluarga, saudara-saudara dekat dan jauh berdatangan. Juga teman-teman Astri di sekolah. Selamatan berlangsung dalam doa yang dipimpin oleh kiai dari kelompok pengajian kami. Malam yang khusyuk. Malam yang berbeda. Malam yang menjadikan kami memperoleh keyakinan kembali. Sampan yang menjauh ke tengah danau, telah kembali merapat ke tepi. Angin malam yang berembus pelan, mengusir malam yang panas menyuruh dapur menghidangkan makanan yang lezat-lezat.Tak terduga, anak-anak senang tinggal di rumah neneknya. Begitu pula Eyang Niniek yang setelah ditinggal lima tahun oleh Eyang Sadewa, suaminya, merasa mendapatkan hidupnya kembali dengan kehadiran cucu-cucunya di rumah. Tentu ada yang hilang. Laksmi tidak kelihatan. Dia tidak ditemui di rumah atau di rumah temantemannya. Saudara-saudara kami di Bandung, Yogya, Solo, dan Surabaya, juga tidak disinggahi Laksmi selama dua tiga bulan belakangan ini. Saya katakan kepada anak-anak kenapa kita belum dapat menemui mamanya karena mamanya sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan yang harus tepat waktu karena ditunggu pemesannya. Untung Ayu, si bungsu, tidak meronta-ronta.Pada waktu malam cerah penuh bintang ketika Astri sudah berada di dalam keadaan yang ceria, di taman belakang rumah Eyang, di tepi kolam ikan koi, diam-diam saya coba desak dia bercerita tentang peristiwa sore itu ketika dia terjatuh waktu mengantarkan jus mentimun untuk mamanya. Astri mengingat sejenak lalu bercerita."Ada kereta api lewat, kencang sekali, berderak-derak, angin menderu, Mama dari atas kereta menyambar gelas jus itu, meminumnya lalu melemparkan gelasnya. Astri terempas, terguling ke samping, lalu mendengar teriakan Mama yang semakin menjauh, 'Mama cuma beli tiket sekali jalan.'"Seperti tersadarkan,

mendengar cerita Astri ini saya tersentak dari duduk, menggayut tangan Astri dan mengajaknya buruburu menengok rumah.Ajeng, Antok, Agra, Ayu, dan Eyang Niniek saya bawa serta. Sopir saya perintahkan ngebut. Saya mendengar suara Laksmi yang menjauh, "Mama cuma beli tiket sekali jalan."Bisakah saya mengejar suara itu. Melayang sobekan kain dari empasan angin kereta api, menderu menyibak tanaman, geliat rel pada tikungan, dengan peluitnya yang panjang, kereta itu lenyap ditelan cakrawala.Sesampai di rumah, para pembantu kaget menyambut kami. Saya dobrak pintu kamar Laksmi dengan linggis. Kami beramai-ramai memasukinya. Ternyata kamar itu kosong-melompong. Tak ada sepotong pun perabotan. Hanya karpet yang memenuhi kamar dengan bau harum pewangi kegemarannya. Menyaksikan keadaan itu, tiba-tiba anak-anak berteriak-teriak sambil menangis."Mama! Mama!"Ayu berguling-guling di karpet sambil menjerit-jerit. Kakak-kakaknya menangis memanggili mamanya sambil menyusuri empat dinding kamar kosong itu. Saya tak peduli. Saya minta sopir untuk membongkar plafon, barangkali pikiran saya yang bodoh bisa menemukan persembunyian Laksmi.Akhirnya anak-anak jatuh tertidur kelelahan. Mereka melingkar di tengah-tengah kamar yang sebenarnya tidak luas itu. Saya terduduk di pojok. Ada yang terputus dalam alur perjalanan rumah tangga kami. Sebuah jalan raya yang tiba-tiba lenyap dirakus hutan. Lalu tercipta jalan setapak, menyanyi Tuhan dengan gelang Saturnus, api tiba-tiba terhunus. Konser yang belum dimainkan oleh dirigen yang menunggu pesinden. Saya menatap tubuh anak-anak yang pulas itu seperti gundukan-gundukan pasir di tempat mereka bermain di Pantai Carita, suatu hari yang cerah empat bulan yang lalu.SAYA minta sopir ngebut ke bilangan Senayan, di depan kompleks TVRI, untuk membeli bunga kacapiring kesukaan Laksmi. Saya memilih kembang-kembang itu sendiri. Pada pukul delapan sehabis makan malam, saya minta anak-anak menaruh bunga kacapiring itu di dalam vas kesukaan mamanya di tengah-tengah kamar. Lalu kami berkumpul di pojok kamar. Kami persis anak yatim piatu. Anak-anak ayam yang kehilangan induknya.Seorang pembantu masuk menaruhkan segelas jus mentimun kesukaan Laksmi di dekat vas bunga itu. Seketika saya terkesiap. Di dapur, pembantu itu saya suruh mengambil kembali jus mentimun itu dan saya membantingnya sampai gelas itu pecah berkeping-keping. Pembantu itu menangis sambil berlari masuk ke kamarnya."Apa maksudmu menaruh jus mentimun itu di dalam kamar ibu!" bentak saya."Setiap hari jus mentimun dihidangkan di kamar ibu, pak," jawab pembantu."Kamu gila!" bentak saya."Jus itu selalu habis diminum ibu, pak.""Kenapa kamu baru cerita sekarang?""Kira bapak sudah tahu.""Apa kamu pernah lihat ibu minum jus itu, he!""Ibu tidak ada tapi ada, pak."Pembantu itu menangis sambil menunduk. Para pembantu lainnya bersembunyi di kamarnya. Saya terduduk di lantai dapur. Barangkali yang gila itu saya. Air mata saya berlelehan. Laksmi tidak ada, tetapi ada. Ini sudah keterlaluan dan sangat jauh menyimpang dari pengalaman perjalanan karier saya. Iman yang begitu tinggi dari orang-orang sederhana seperti para pembantu dan para sopir memberi pelajaran betapa perjalanan hidup itu tidak lurus bahkan perjalanan hidup orang-orang saleh sekalipun. Setiap perahu menyimpan gelombang. Setiap hasrat menyimpan nafsu, dendam, dan tindakan yang tidak masuk akal.APA papa punya salah sama mama?" tanya Astri pada suatu sore ketika kami minum teh berdua di beranda."Kamu pikir, papa punya salah sama mama?""Menurut papa bagaimana?""Menurut Astri bagaimana?""Mana tahu...?""Cobalah berterus terang Astri, apa kata hatimu.""Cobalah Papa mendengar kata hati Papa, bagaimana.""Orang lain lebih tahu. Bagaimana menurut Astri.""Papa malu, ya, berterus terang.""Nah, kamu curiga. Nada bicaramu seolah Papa memang punya salah sama Mama.""Nah, Papa yang curiga.""Kamu.""Papa.""Kamu.""Papa."Apakah saya cukup waras untuk mengalami semua peristiwa yang tak terbayangkan ini? Saya yang ingin hidup secara sederhana, penuh kegembiraan, tidak begitu saja bisa mulus melaksanakannya meski syarat-syarat untuk itu semua terpenuhi. Saya merasa diperlakukan tidak adil. Saya harus mencari sebab-sebabnya.Malam-malam selanjutnya kami tidur di kamar semedi Laksmi itu. Di atas karpet, kami berbaring berderet-deret seperti pengungsi. Saya berbahagia karena anak-anak sudah mulai kerasan. Bunga kacapiring itu boleh jadi memberi oksigen kepada kami. Mungkin karena jasa Eyang Niniek yang begitu penuh kasih sayang mengasuh anak-anak. Memang, harus ada orang tua yang setia tinggal di rumah untuk mengayomi rumahtangga. Orang tua yang selalu mondar-mandir antara dapur dan ruang keluarga. Orang tua yang membersihkan udara di dalam rumah.PADA suatu malam ketika saya tiba dari kantor, terdengar dari dalam kamar Laksmi, anak-anak tertawa dan bersorak-sorai ramai sekali."Mama curang. Mama curang," teriak anak-anak tertawa penuh canda."Tentu saja Mama selalu menang, habis Mama enggak kelihatan, sih."Saya intip dari pintu, anak-anak tertawa, berteriak, berlarian memutari kamar sambil menggenggam apel dan melemparkannya ke udara.Saya terkulai di depan pintu dengan berurai airmata. Ini gila. Saya tak bisa menerima ini semua. Ini keterlaluan. Saya harus merebut kembali kebahagiaan itu. Saya harus merebut kembali Laksmi.Ketika malam telah hening, ketika anak-anak sudah berada di dunia lain, barangkali, pelan saya masuk. Setelah shalat istikharah, saya berdoa di pojok. Mencoba memusatkan pikiran. Kamar itu temaram, menunggu sesuatu yang baru dari kehidupan kami. Perjanjian baru perlu ditandatangani, dengan keyakinan penuh, dengan kedisiplinan, dengan kesetiaan."Laksmi," bisik saya.

"Maafkan saya. Saya telah mengacaukan segalanya. Saya telah merusak rumah tanga kita. Ketika Astri bertanya, apakah saya punya salah padamu, saya sadar, inilah sumber dari segala yang mengerikan itu. Laksmi, saya minta maaf. Benar, saya bersalah kepadamu. Di depanmu ini, saya mengakui, saya berselingkuh. Berkali-kali. Secara sadar saya melakukannya. Itu kesalahan besar. Suatu dosa besar. Barangkali di kantor kami semua sudah gila. Kami dicengkeram oleh situasi yang sangat sulit untuk kami hindari. Kami terkepung tembok. Beban pekerjaan terlalu berat. Hiburan memang bermacammacam bentuknya untuk memunggah semua beban itu. Saya tak mampu melakukan pilihan. Maafkan saya. Sekarang saya memohon dengan sangat kepadamu, maafkanlah saya. Kembalilah. Saya minta Laksmi kembali ke dalam keluarga. Kamu tahu, anak-anak sangat membutuhkanmu. Laksmi, mereka tidak mungkin bisa hidup tanpa kamu. Mereka sangat mungkin akan gagal dalam hidup karena tanpa kamu. Lebih-lebih saya. Dengan ini saya berjanji, juga bersumpah, saya tak akan mengulangi perbuatan itu. Kasih kesempatan kepada saya. Laksmi. Kasih kesempatan. Saya paham sekali sekarang, tak ada wanita lain yang bisa saya cintai. Laksmi, engkaulah satu-satunya yang saya cintai sampai akhir zaman. Engkau suci, Laksmi sedang saya profan."Tangerang, 11 Juni 2002

Anda mungkin juga menyukai