Anda di halaman 1dari 21

TUGAS PUSTAKA PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI ANALITIK (FA 3231)

KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT) DAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) DALAM ANALISIS JAMU DAN EKSTRAK TUMBUHAN SUKU ZINGIBERACEAE

[dikumpulkan tanggal 19 Februari 2008]

Disusun oleh Kelompok VI (Selasa) Ega wulandari Dian Pertiwi Mei Nurul Fitri Rama Rupama Yusy Novia Annisa Rahma

(10705101) (10705102) (10705113) (10705118) (10705122)

LABORATORIUM FARMAKOGNOSI ANALITIK SEKOLAH FARMASI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2008

BAB I PENDAHULUAN Jamu dan ekstrak merupakan obat tradisional yang sering digunakan masyarakat Indonesia. Namun dalam pemakaiannya masyarakat hanya akan tahu khasiat yang dirasakan dari jamu dan ekstrak tersebut tanpa mengetahui kemungkinan adanya zat-zat lain yang bersifat racun didalamnya. Bahkan hampir sebagian masyarakat terbebas dari penyakit. Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa tidak semua jamu dan ekstrak cukup aman untuk dikonsumsi. Kemungkinan masih ada zat-zat racun yang tertinggal di dalamnya sehingga mungkin menimbulkan efek samping yang cukup signifikan bagi tubuh. Oleh katrena itu perlu dilakukan suatu analisis yang tepat untuk bisa memisahkan dan menganalisis senyawa yang terkandung di dalam jamu maupun ekstrak tersebut. Metode yang biasa dilakukan untuk menganalisis kandungan zat tersebut adalah kromatografi. Kromatografi merupakan metode pemisahan suatu zat dengan menggunakan prinsip polaritas. Kromatografi ada beberapa macam, namun yang sering digunakan dalam analisis kandungan zat adalah kromatografi cair dan lapis tipis. Kromatografi cair kinerja tinggi dan lapis tipis banyak digunakan karena hasilnya cukup akurat dan khusus untuk kromatografi lapis tipis dapat dijangkau dengan biaya yang rendah. tidak mengetahui zat aktif apa dari jamu dan ekstrak tersebut yang bisa membuat mereka

BAB II

URAIAN I. Jamu dan Ekstrak I.1. Jamu Jamu adalah Obat Tradisional Indonesia ( Konsep Pengembangan Obat Asli Indonesia, Ditjen POM, Dep. Kesehatan RI, 2000 ). Sedangkan pengertian obat tradisional (OT) adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk obat berdasarkan pengalaman, Obat Asli Indonesia (OAI) adalah bahan atau ramuan bahan berkhasiat obat yang memiliki komposisi sepenuhnya adau lebih dari 75% bobotnya terdiri dari bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral atau sediaan sarian (galenik) yang berasal dari alam Indonesia (PP. No 17 tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan, dan Pengembangan Industri). Kemanjuran suatu produk jamu akan meningkatkan keberhasilan produk jamu dalam pemasarannya. Penambahan bahan sintetik merupakan salah satu upaya meningkatkan kemanjuran suatu produk jamu. Obat-obat analgetik perifer, antipiretik, vitamin B kompleks dan kortikosteroid sering ditambahkan pada jamu pegal linu, obat kuat atau penambah nafsu makan. Penambahan bahan sintetik ke dalam sediaan jamu termasuk salah satu bentuk pemalsuan jamu. Penambahan bahan sintetik ke dalam jamu tidak dapat dibenarkan karena ditinjau dari aspek posologi dan penandaan kemungkinan besar sudah tidak sesuai lagi. Penambahan bahan sintetik dalam bahan jamu, merupakan salah satu bentuk penipuan karena apabila pasien langsung membeli sediaan obat yang mengandung bahan sintetik tersebut kemungkinan akan mendapatkannya dengan harga yang lebih murah. Untuk menghindari adanya kerugian pada pihak konsumen akibat penambahan bahan-bahan sintetik tersebut maka dilakukan analisis kualitatif untuk mengetahui ada / tidaknya bahan kimia dalam produk jamu. Yang menjadi acuan dalam analisis adalah Farmakope Indonesia, USP, dan MMI. Analisis kualitatif tersebut dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara, diantaranya: uji dengan spektrum serapan infra merah atau serapan ultra violet, pengamatan mikroskopik, uji menggunakan kromatografi lapis tipis, uji identifikasi umum, pemijaran, dan lain-lain. I.2. Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengesktraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hamper semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku secara perkolasi. Seluruh bagian perkolat biasanya dipekatkan dengan cara destilasi dengan pengurangan tekanan, agar bahan utama obat sesedikit mungkin terkena panas. Ekstrak cair adalah sediaan cair simplisia nabati, yang mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet atau sebagai keduanya. Jika tidak dinyatakan lain pada masing-masing monografi, tiap ml ekstrak mengandung bahan aktif dari 1 g simplisia yang memenuhi syarat. Ekstrak cair cenderung membentuk endapan dapat didiamkan dan disaring atau bagian yang bening dienaptuangkan. Beningan yang diperoleh memenuhi persyaratan farmakope. II. Kromatografi Definisi kromatografi menurut Farmakope Indonesia IV : kromatografi adalah suatu prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya pembedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul, atau kerapatan muatan ion. Metode kromatografi dipakai secara luas baik untuk pemisahan analitik dan preparatif. Kromatografi analitik dipakai pada tahap permulaan untuk semua cuplikan senyawa, sedangkan kromatografi preparatif hanya dilakukan jika diperlukan fraksi murni dari campuran. Pemisahan suatu campuran senyawa dengan metode kromatografi dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sifat fisika dari molekul, antara lain : 1. Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan) 2. Kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus (adsorpsi) 3. Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap (keatsirian)

Prinsip dasar kromatografi adalah mengubah keadaan distribusi statik menjadi sistem kesetimbangan yang dinamik. Hal ini dilakukan dengan cara menggerakkan satu fase secara mekanis (fase gerak) relatif terhadap fase yang lainnya (fase diam) dalam suatu sistem kesetimbangan. Fase gerak dapat berupa zat cair atau gas, sedangkan fase diam dapat berupa lapisan tipis cairan yang melekat pada penyangga atau permukaan zat padat yang berfungsi sebagai penyangga. Jika suatu campuran zat A+B dimasukkan dalam sistem, kedua senyawa akan terdistribusi di antara kedua fase menurut sifat masing-masing. Senyawa yang memiliki afinitas lebih besar terhadap fase gerak (atau afinitas yang lebih kecil terhadap fase diam) akan bergerak lebih cepat daripada senyawa yang memiliki sifat sebaliknya. Perbedaan laju perpindahan ini merupakan dasar dari semua pemisahan secara kromatografi. a. Kromatografi lapis tipis Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisikokimia dengan fasa gerak (larutan pengembang yang cocok), dan fasa diam (bahan berbutir) yang diletakkan pada peyangga berupa pelat gelas atau lapisan yang cocok. Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) lalu hasil pengembangan dideteksi. Zat yang memiliki kepolaran yang sama dengan fase diam akan cenderung tertahan dan nilai Rf-nya paling kecil. Metode kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk mendeteksi kemungkinan adanya pemalsuan dalam sediaan jamu. Selain digunakan untuk pemisahan senyawa, KLT (kromatografi lapis tipis) juga dapat digunakan untuk identifikasi senyawa. Parameter utama dalam KLT adalah faktor retardasi (Rf) yaitu perbandingan antara jarak migrasi sampel dengan jarak migrasi fase gerak, yang dipengaruhi oleh: 1. fase diam: kualitas, keberadaan pengotor, ketidakseragaman ketebalan, aktivasi pelat, 2. fase gerak: kemurnian pelarut, 3. bejana pengembang: ukuran bejana, kuantitas pelarut, kejenuhan, 4. suhu, 5. jarak pengembangan, 6. kuantitas sampel.

Fasa diam (lapisan penjerap) Jika dilihat dalam sinar jatuh dan sinar lewat, lapisan yang kering mempunyai wadah yang seragam dan membentuk ikatan yang baik dengan penyangga. Panjang lapisan 200 mm dengan lebar 200 atau 100 mm. Untuk analisis, tebalnya 0,1 0,3 mm, biasanya 0,2 mm. Contoh umum : silika gel, alumunium oksida, kieselgur, selulosa dan turunannya, poliamida, dll. Fasa gerak Merupakan medium angkut dan terdiri dari satu/beberapa pelarut. Fasa gerak bergerak dalam fasa diam karena adanya gaya kapiler. Pada kromatografi penjerap, pelarut perngembang dapat dikelompokkan ke dalam deret eluotropik berdasarkan efek elusinya. Efek elusi naik dengan seiring kepolaran pelarut. Misal : heksana nonpolar mempunyai efek elusi lemah, kloroform cukup kuat dan methanol yang polar efek elusinya kuat. Tetapan dielektrik juga memberi informasi tentang kepolaran suatu senyawa. Bejana pemisah, penjenuhan, aras pengisian Bejana harus dapat menampung pelat 200x200 mm dan harus tertutup rapat. Aras pengisian fasa gerak harus 5-8 mm sesuai dengan kedalaman lapisan yang terpendam. Untuk kromatografi dalam bejana yang jenuh, secarik kertas saring bersih yang lebarnya 18-20 cm dan panjangnya 45 cm ditaruh pada di dinding sebelah dalam bejana berbentuk U dan dibasahi dengan pelarut pengembang. Kertas saring berfungsi untuk mencegah terjadinya penguapan dari lapisan fasa diam. Awal dan jumlah cuplikan Bercak atau pita ditotolkan pada jarak 15 mm dari tepi bawah lapisan. Jarak suatu bercak awal berjarak 3-5 mm dari bercak lain dan berjarak sekurang-kurangnya 10 mm dari tepi. Biasanya ditotolkan 1-10 l larutan cuplikan 0,1-1%.

Pengembangan Pengembangan adalah proses pemisahan campuran cuplikan akibat pelarut pengembang merambat naik dalam lapisan. Jarak pengembangan normal, yaitu jarak antar garis awal dan garis depan, ialah 10 mm. Ada bermacam-macam teknik pengembangan, yaitu : Pengembangan satu arah Pengembangan alir-sinambung Pengembangan landaian Pengembangan ganda Pengembangan dua arah Pengembangan lingkar Pengembangan carik baji

Larutan pembanding (campuran uji atau baku) Merupakan campuran yang terdiri dari 1-5 senyawa yang diketahui, dengan konsentrasi yang diketahui pula. Bila mungkin, senyawa pembanding ini sama dengan senyawa yang terdapat di dalam larutan cuplikan. Larutan cuplikan Merupakan larutan senyawa obat yang akan dianalisis. Jumlah senyawa obat yang terlarut pada pelarut harus sama dengan yang terdapat pada sediaan. Deteksi senyawa yang dipisah Lampu UV untuk eksitasi fluoresensi Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa itu menunjukkan penyerapan pada daerah UV gelombang pendek (radiasi utama kira-kira 254 nm) atau jika senyawa dapat dieksitasi ke fluorosensi radiasi UV gelombang pendek dan/ atau gelombang panjang (365 nm). Selain itu juga bisa dengan pereaksi semprot dan deteksi biologi.. Penilaian dan dokumentasi kromatogram Kualitatif : dengan penilaian visual

Hal yang dapat diamati : jarak pengembangan komponen larutan cuplikan (dengan merujuk pada angka Rf atau hRf pada KLT) Rf = jarak titik pusat bercak dari titik awal/ jarak garis depan dari titik awal Angka Rf berjangka antara 0,00 dan 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua decimal. hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100(h), menghasilkan nilai berjangka antara 0 dan 100. Harga Rf tergantung kelembaban atmosfer dan sifat penjerap. Jika hRf lebih tinggi daripada hRf pada pustaka maka kepolaran pelarut harus dikurangi; jika hRf lebih rendah maka komponen polar pelarut harus dinaikkan. Kromatografi lapis tipis paling cocok untuk analisis obat di farmasi karena : Investasi yang kecil untuk perlengkapan Waktu analisis yang singkat (15-60 menit) Analit/cuplikan yang dibutuhkan hanya sedikit ( + 0,1 g) Kemungkinan hasil palsu yang disebabkan oleh komponen sekunder tidak Kebutuhan ruangan minimum Penanganannya sederhana Analisis KLT banyak digunakan karena : 1. Waktu yang diperlukan untuk analisis senyawa relatif pendek 2. Dalam analisis kualitatif dapat memberikan informasi semi kuantitatif tentang konstituen utama obat 3. Cocok untuk memonitor identitas dan kemurnian obat. 4. Dengan bantuan prosedur pemisahan yang sesuai, dapat digunakan untuk analisis kombinasi obat dari sediaan herbal. kromatografi cair kinerja tinggi (kckt) Kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sensitif telah menyebabkan perubahan kromatografi kolom cair menjadi suatu sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi. Metode ini dikenal sebagai kromatografi cair kinerja tinggi. Teknologi kolom didasarkan atas penggunaan kolom berlubang kecil (diameter dalam antara 2 mm hingga 5 mm) dan isi kolom berupa

mungkin

partikel kecil (3m hingga 50 m), yang memungkinkan tercapainya keseimbangan secara cepat antara fase gerak dan fase diam. Teknologi kolom partikel kecil ini memerlukan sistem pompa tekanan tinggi yang mampu mengalirkan fasa gerak pada tekanan tinggi sampai 300 atmosfer, agar tercapai laju aliran beberapa ml per menit. Oleh karena sering digunakan jumlah zat uji yang kecil (umumnya lebih kecil dari 20 g) untuk isi kolom tersebut di atas, maka diperlukan detektor yang sensitif. Dengan teknologi ini kromatografi cair dalam banyak hal dapat menghasilkan pemisahan yang sangat cepat seperti pada kromatografi gas, dengan keunggulan zat-zat yang tidak menguap atau tidak tahan panas dapat dikromatografi tanpa peruraian atau tanpa perlunya membuat derivat yang dapat menguap. Fase diam dapat berupa cairan atau polimer, yang disalut atau terikat secara kimia pada permukaan penyangga sebagai lapisan tipis, yang mengurangi hambatan terhadap pemindahan masa, sehingga keseimbangan antara fase gerak dan fase diam dapat tercapai dengan cepat. Suatu fase diam cair harus mempunyai sifat praktis tak bercampur dengan fase gerak, umumnya fasa gerak perlu dijenuhkan terlebih dahulu dengan fase diam cair, agar fase diam tidak terbawa dari kolom. Fase diam berupa polimer yang disalutkan pada penyangga umumnya lebih dapat bertahan. Suatu fase diam yang terikat secara kimia pada penyangga lebih mudah pemakaiannya dengan beraneka ragam pelarut serta suhu yang lebih tinggi. Komposisi fase gerak berpengaruh nyata terhadap kinerja kromatografi dan harus dikendalikan dengan cermat. Komposisi dapat mempunyai pengaruh yang jauh lebih besar terdadap faktor kapasitas daripada suhu, (faktor kapasitas = k adalah perbandingan waktu yang diperlukan selama berada dalam fase diam terhadap waktu yang diperlukan selama berada dalam fase gerak). Fase gerak haruslah: murni, tanpa cemaran tidak bereaksi dengan kemasan sesuai dengan detektor dapat melarutkan cuplikan mempunyai viskositas yang rendah memungkinkan memperoleh kembali cuplikan dengan mudah, jika diperlukan

harganya wajar. Bahan pengisi kolom lainnya dengan diameter yang lebih kecil, antara 3 m

hingga 10 m, hampir seluruhnya berpori dan memberikan pemisahan yang lebih efisien dari pada partikel pengisi kolom berukuran antara 30 m hingga 50 m. Partikel tersebut dapat pula dibuat bersifat adsorpsi atau dilapisi dengan suatu fase diam. Dalam hal ini pengisian ke dalam kolom harus dibuat dalam bentuk bubur untuk mendapatkan efisiensi kolom yang tinggi, berbeda dengan partikel berukuran antara 30 m hingga 50 m yang dapat diisikan dalam bentuk kering. Tiga bentuk kromatografi cair kinerja tinggi yang paling banyak digunakan : 1. Kromatografi penukar ion terutama digunakan untuk pemisahan zat-zat larut dalam air yang ionik atau yang dapat terionisasi dengan bobot molekul kurang dari 1500. Fase diam pada kromatografi penukar ion umumnya resin organik sintetik dengan gugus aktif yang berbeda-beda. Pada resin penukar kation terdapat gugus aktif yang bermuatan negatif dan resin ini digunakan untuk pemisahan zat-zat bersifat basa, misalnya amina. Sebaliknya pada resin penukar anion teredapat gugus aktif bermuatan positif yang akan zat-zat dengan gugus fosfat, sulfonat atau karboksilat, yang bermuatan negatif. Senyawa larut air yang ionik atau yang dapat terionisasi akan mengalami tarikan oleh resin, dan perbedaan dalam afinitas akan menyebabkan terjadinya pemisahan kromatografi. pH fase gerak, suhu, jenis ion, konsentrasi ionik, dan senyawa organik tertentu yang berfungsi untuk memodifikasi dapat mempengaruhi tertariknya zat terlarut, dan variabel-variabel tersebut dapat diatur agar diperoleh derajat pemisahan yang diinginkan. 2. Pada kromatografi partisi digunakan fase gerak dan fase diam dengan polaritas yang berbeda. Jika fase gerak bersifat polar dan fase diam non-polar, dikenal sebagai kromatografi fase balik, maka senyawa non-polar yang larut dalam hidrokarbon, dengan bobot molekul kurang dari 1000, seperti vitamin larut lemak dan antrakinon, dapat dipisahkan berdasarkan atas afinitasnya terhadap fase diam. Modifikasi pelarut fase gerak yang polar dengan pelarut yang kurang polar menyebabkan berkurangnya afinitas serta retensi senyawa pada kolom. Jika fase gerak bersifat non polar dan fase diam polar, maka zat yang bersifat polar, seperti golongan alkohol dan amina dapat dikromatografi. Fase gerak yang non-polar dapat

dimodifikasi dengan suatu pelarut yang lebih polar, untuk mengurangi retensi dan mengubah pemisahan. 3. gerak yang tepat. Keuntungan KCKT KCKT mempunyai banyak keuntungan bila dibandingkan dengan kromatografi cair tradisional, yaitu: a. cepat b. daya pisahnya baik c. peka, detektor unik d. kolom dapat dipakai kembali e. ideal untuk molekul besar dan ion f. mudah memperoleh kembali cuplikan. Alat Pada dasarnya alat kromatografi cair terdiri dari : 1. Pompa Fase gerak dalam KCKT sudah tentu cair, dan untuk menggerakkannya melalui kolom, diperlukan alat. Ada dua jenis utama pompa, yang digunakan: tekanantetap dan pendesakan-tetap. 2. Injektor Cuplikan harus dimasukan ke dalam pangkal kolom (kepala kolom), diusahakan agar sesedikit mungkin terjadi gangguan pada kemasan kolom. Ada dua macam teknik utama : a. Aliran-henti b. Pelarut mengalir. Teknik-teknik tersebut dapat dilakukan menggunakan alat suntik atau katup penyuntik. Untuk teknik penyuntikan dengan alat suntik, dapat digunakan suatu septum (injektor langsung pada aliran, yang sama dengan injektor yang lazim Beraneka ragam senyawa non ionik dapat dikromatografi dengan kromatografi adsorpsi, dengan memilih fase diam dan fase

dipakai pada kromatografi gas) apabila tekanan pada bagian atas kolom kurang dari 70 atmosfer (lebih kurang 1000 psi). Pada tekanan yang lebih tinggi dapat digunakan suatu katup penyuntik untuk memasukkan zat uji. Beberapa sistem katup mempunyai suatu tabung lingkar terkalibrasi yang diisi dengan zat uji, yang kemudian dipindahkan oleh sistem katup ke dalam arus fase gerak yang mengalir. Sistem katup lainnya memungkinkan analit dimasukkan ke dalam suatu rongga dengan menggunakan alat suntik. Rongga yang telah terisi tersebut kemudian oleh sistem katup dialihkan ke dalam arus bertekanan tinggi. Pada teknik aliran berhenti, aliran kolom dihentikan, dan setelah tekanan pada tempat penyuntikan turun hingga nol, tempat penyuntikan dibuka dan analit disuntikkan dengan memakai alat suntik. Kemudian tempat penyuntikan ditutup dan pompa dijalankan kembali. Tekanan tinggi dengan cepat tercapai kembali dan zone penyebaran kecil dalam proses ini. Teknik aliran berhenti memberikan keberulangan penyuntikan pada tekanan tinggi yang lebih baik daripada kalau menggunakan septum. Masalah rusaknya septum oleh berbagai pelarut dengan demikian juga dapat dihindari. 3. Kolom Kolom merupakan jantung kromatografi. Keberhasilan atau kegagalan analisis bergantung pada pilihan kolom, dan kondisi kerja yang tepat. Kolom dapat dibagi menjadi 2 kelompok: a. Kolom analitik : diameter 2-6mm. Panjang bergantung pada jenis kemasan, untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50-100cm. Untuk kemasan mikro partikel berpori biasanya 10-30cm. b. Kolom preparatif : umumnya berdiameter 6mm atau lebih besar, dan panjang 25-100cm. Kolom hampir selalu terbuat dari baja nirkarat Kolom dapat dipanaskan agar dihasilkan pemisahan yang lebih efisien, akan tetapi suhu di atas 600 jarang digunakan, oleh karena mungkin terjadi penguraian fase diam ataupun penguapan fase gerak pada suhu yang lebih tinggi tersebut, terutama dalam kromatografi pertukaran ion dan kromatografi ekslusi. Jika tidak dinyatakan lain dalam monografi, kolom dipertahankan pada suhu kamar. 4. Detektor

Detektor yang biasa dipakai mencakup : a. Fotometer ultraviolet raksa tekanan rendah merupakan detektor yang umum dan stabil, tetapi penggunaannya terbatas pada deteksi bahan yang menyerap radiasi pada panjang gelombang 254 nm. Batas kepekaan untuk senyawa yang menyerap cahaya ultraviolet dengan kuat lebih kurang 1 ng. Senyawa yang tidak menyerap cahaya pada 254 nm secara berarti, dapat diubah menjadi derivat yang sesuai yang menyerap panjang gelombang ini, sehingga dengan demikian memperluas ruang lingkup penggunaan detektor panjang gelombang tunggal tersebut. Ruang lingkup deteksi ultraviolet bertambah luas lagi dengan pemakain spektrofotometer yang dilengkapi dengan kuvet mikro serta detektor yang dapat dioperasikan pada panjang gelombang lain. b. Refraktometer diferensial mendeteksi perbedaan indeks bias pelarut murni dan indeks bias larutan zat yang diuji dalam pelarut itu. Sekalipun penggunaannya lebih umum, detektor ini kurang peka, batas deteksinya lebih kurang 1 m serta peka terhadap perubahan yang kecil dalam kompiosis pelarut, laju aliran dan suhu, sehingga mungkin perlu dipakai suatu kolom dan aliran fase gerak pembanding untuk memperoleh garis dasar yang memuaskan. c. Fluorometer merupakan detektor yang peka untuk senyawa yang dapat berfluoresensi atau dapat diubah menjadi derivat yang berfluoresensi dengan jalan perubahan kimia atau dengan reaksi penggabungan dengan pereaksi yang berfluoresensi pada gugus fungsional yang spesifik. Untuk beberapa pereaksi, pembuatan derivat dilakukan sebelum pemisahan kromatografi. Pada pendekatan lain, pereaksi dimasukkan ke dalam aliran fase gerak dan bereaksi langsung dengan analit secara in situ, dan derivat yang diukur oleh detektor. Pada umumnya, sinyal yang berasal dari detektor diperkuat terlebih dahulu sebelum disampaikan pada alat perekam otomatik yang sesuai, biasanya berupa suatu perekam potensiometrik; dalam hal ini sinyal merupakan fungsi dari waktu. Dapat pula

sinyal dikirimkan kepada suatu integrator digital elektronik untuk mengukur luas puncak kromatogram secara otomatik. 5. Elusi landaian Elusi landaian ialah peningkatan kekuatan fase gerak selama analisis kromatografi. Hasil elusi landaian ialah perpendekan waktu lambat senyawa yang ditahan dengan kuat dalam kolom. Elusi landaian mempunyai beberapa keuntungan: a. Waktu analisis keseluruhan dapat dikurangi secara berarit b. Daya pisah keseluruhan per satuan waktu campuran ditingkatkan c. Bentuk puncak diperbaiki (pembentukan ekor lebih kecil) d. Kepekaan efektif ditingkatkan karena bentuk puncak kurang beragam Prinsip kerja Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Bagan kerja instrumen KCKT

Instrumen KCKT

Kromatografi Lapis Tipis Dalam Analisis Jamu Dan Ekstrak

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan teknik fisikokimia yang sering digunakan untuk menganalisis bahan-bahan dari tumbuhan obat dan campurannya. Teknik ini dapat digunakan dalam waktu relatif singkat, hanya memerlukan jumlah analit dan pelarut yang sedikit dan perlatan yang digunakan relatif murah. Selain itu, kebutuhan ruang dari pelaksanaan KLT minimum dan mudah dilakukan. Untuk analisis jamu dan ekstrak dengan KLT, sistem KLT yang sesuai harus dicari terlebih dahulu. Setelah didapatkan sistem KLT yang sesuai, dilakukan pelaksanaan analisis dengan KLT yang meliputi penyiapan adsorben, penjenuhan bejana kromatografi, penotolan larutan uji dan larutan pembanding, pengembangan kromatogram, dan pengamatan serta interpretasi kromatogram. Untuk mengamati kromatogram yang dihasilkan, dapat dilakukan dengan dokumentasi foto hasil pewarnaan lempeng kromatografi dengan pereaksi yang sesuai atau dengan melihat kromatogram hasil perekaman menggunakan instrumen densitometer (TLC scanner). Perekaman dapat dilakukan secara absorbsi-refleksi pada panjang gelmombang 256nm, 365nm, dan 415 nm atau pada panjang gelombang lain yang spesifik untuk suatu komponen yang telah diketahui. Apabila bercak yang dihasilkan oleh larutan uji berbeda dengan pembanding maka bercak khas itu diisolasi untuk identifikasi lebih lanjut menggunakan alat yang dapat mengidentifikasi struktur seperti nuclear magnetic resonance (NMR). Penentuan kadar dapat dilakukan dengan spektrofotometri UV. Pita zat yang terbentuk dikerok dan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai kemudia disaring untuk memisahkan zat identitas dengan fasa diam. Setelah itu, sampel dan pembanding diukur pada panjang gelombang maksimum zat identitas sehingga diperoleh absrorbansi. Penentuan kadar dapat juga dilakukan dengan spektrofotodensitometer. Bercak zat identitas sampel dan pembanding diukur pada panjang gelombang maksimum zat identitas. Bercak yang terbentuk tidak boleh rusak oleh penampak bercak. Dari pengukuran akan didapat luas area dibawah puncak dan absorbansi. Contoh prosedur pemisahan pada rimpang Costus speciosus Smith. Timbang 600 mg serbuk rimpang dengan 5 mL metanol P dan panaskan di atas tangas air selama 2 menit, dinginkan dan saring. Cuci endapan dengan metanol P secukupnya sehingga diperoleh 5 mL filtrat. Pada titik pertama, kedua dan ketiga

lempeng KLT, totolkan masing-masing sebanyak 40 uL filtrat. Pada titik keempat totolkan 5 uL zat warna I LP. Eluasi dengan dikloroetana P dengan jarak rambat 15 cm. Keringkan lempeng tersebut di udara selama 10 menit, eluasi kembali dengan toluena P dengan arah eluasi dan jarak rambat yang sama. Amati dengan sinar biasa dan dengan sinar ultra violet 366 nm. Selanjutnya semprot dengan reaksi anisaldehid-asam sulfat LP, panaskan pada suhu 1100C selama 10 menit. Amati lagi dengan sinar biasa dan sinar ultraviolet 366 nm. Dengan perlakuan yang sama seperti cara kerja di atas dilakukan juga penyemprotan dengan pereaksi AlCl3 LP. Pada kromatogram tampak bercak-bercak dengan warna dan hRx sebagai berikut : No. hRx Dengan sinar biasa Tanpa Dengan pereaksi I II pereaksi Violet Violet Violet Violet Violet Violet Dengan sinar UV 366 nm Tanpa Dengan pereaksi I II pereaksi Ungu Ungu Ungu biru Ungu ungu ungu Ungu -

1. 2. 3. 4. 5. 6.

7-12 19-25 28-31 39-43 47-51 89-94

7. 131-137 Violet ungu Catatan : harga Rx dihitung terhadap bercak warna merah (yang diamati dengan sinar biasa atau warna ungu dengan sinar uv 366 nm). hRf bercak warna merah =65 Tanda I = pereaksi anisaldehid-asam sulfat LP. II= pereaksi AlCl3 LP. Zingiber officinale larutan uji. Tambahkan 5 mL metanol R ke dalam 1 g serbuk obat (710). Kocok selama 15 menit, kemudian saring. Larutan pembanding. Larutkan 10L citral R dan 10 mg resorcinol R dalam 10 mL metanol R. siapkan larutan segera sebelum akan digunakan. Totolkan masing-masing sebanyak 20L larutan pada plat dalam bentuk pita. Develop over a path of 15 cm di dalam chamber kromatografi yang tidak jenuh

menggunakan campuran 40 bagian volume heksana R dan 60 bagian volume eter R. biarkan lat mengering di udara. Semprot plat dengan menggunakan 10 g/L campuran vanilin R dalam asam sulfat R dan periksa di bawah cahaya matahari selama pemanasan pada suhu 100-1050C selama 10 menit. Kromatogram yang didapatkan dari larutan pembanding menunjukkan intensitas daerah merah (resorsinol) yang kuat di setengah bagian bawah dan di setengah bagian atas terdapat dua daerah violet (sitral). Kromatogram yang didapatkan dari larutan uji menunjukkan bahwa di bawah zona resorsinol pada kromatogram yang didapatkan dari larutan pembanding, terdapat dua zona violet (gingerol) yang intensitasnya kuat dan di bagian tengah, antara zona resorsinol dan zona sitrol pada kromatogram yang didapatkan dari larutan pembanding, terdapat dua zona violet (shogaol) yang intensitasnya lemah. Mungkin juga terdapat zona lain.

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Dalam Analisis Jamu Dan Ekstrak Baik jamu maupun ekstrak, keduanya mengandung banyak komponen. Komponen-komponen tersebut ada yang terdapat dalam jumlah besar (mayor) ada pula yang terdapat dalam jumlah kecil (minor). Komponen-komponen tersebut berada dalam tingkat kepolaran yang berbeda, ada yang bersifat polar, nonplora maupun semipolar. Oleh sebab itu analisis jamu dan ekstrak dengan kromatografi cair kinerja tinggi harus dilakukan dengan elusi gradien. Sistem deteksi yang biasa digunakan adalah UV-Visibel, fluorometri dan indeks bias (refraktometri). dengan spektrofotometer, alat merekam pada panjang gelombang tertentu. Pada panjang gelombang tersebut, pelarut sedikit atau sama sekali tidak menyerap sinar sedangkan analit mampu menyerap dengan kuat. Deteksi secara spektrofluororesensi digunakan jika dibutuhkan pola kromatogram yang selektif dan khusus pada golongan kandungan kimia. Refraktometri dapat digunakan apabila indeks bias pelarut dan indeks bias analit berbeda. Refraktometer diferensial mengukur perbedaan antara indeks bias cuplikan pelarut pengelusi yang murni dan indeks bias

pelarut yang keluar dari kolom. Akan tetapi, refraktometer tidak dapat digunakan apabila sistem menggunakan elusi gradien karena adanya perbedaan komposisi pelarut. Contoh pemisahan Kurkuminoid pada Curcuma domestica Vahl. (rimpang kunyit) Degradasi ini dapat diamati dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi pada kolom nucleosil-NH2 dengan fasa gerak etanol 96% pada pH alkalis dengan masa inkubasi 5 menit dan 28jam (Tonnesen dan Karlsen, 1985). Reaksi degradasi kurkumin dalam suasana basa dapat dilihat pada gambar dibawah, sedangkan kromatogram KCKT yang mengamati peristiwa tersebut dapat dilihat pada gambar (dibawah). Dengan memperhatikan hal tersebut warna merah kurkumin dalam suasana basa dapat dipastikan mempunyai kestabilan yang rendah dan perlu dipertimbangkan dalam penggunaannya. Sifat kurkuminoid lain yang penting adalah sensitifitasnya terhadap cahaya. Bila kurkumin terkena cahaya akan terjadi dekomposisi struktur berupa siklisasi kurkumin atau terjadi degradasi struktur (Tonnesen dan Karlsen, 1985). Rangkaian reaksi dekomposisi struktur ini dapat dilihat pada gambar dibawah. Peristiwa degradasi kurkuminoid oleh cahaya ini dibuktikan oleh sidik (1985) yang melakukan penelitian penetapan kadar kurkuminoid pada rimpang temulawak yang dikeringkan dengan sinar matahari langsung dan yang dikeringkan tanpa pemanasan sinar matahari langsung. Rimpang yang dikeringkan dibawah sinar matahari langsung berwarna lebih gelap dibandingkan dengan rimpang yang dikeringkan tanpa sinar matahari yang warnanya kuning terang. Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar kurkumnoid rimpang yang dikeringkan dengan sinar matahari langsung lebih kecil daripada rimpang yang dikeringkan tanpa sinar matahari. Sifatnya yang fotosensitif. fotosensitif ini, memungkinkan penggunaan kurkuminoid sebagai stabilisator bagi senyawa-senyawa

BAB III

RINGKASAN Jamu dan ekstrak merupakan obat tradisional yang banyak digunakan di Indonesia, sehingga disebut sebagai obat asli Indonesia. Jamu dan ekstrak dianggap sebagai obat yang berkhasiat dan tidak memiliki efek samping. Namun hal itu sangat diragukan kebenarannya, tidak semua jamu dan ekstrak merupakan obat berkhasiat, karena kandungan zat yang ada di dalamnya tidak semua memiliki efek menyembuhkan, tapi mungkin saja efek yang berbahaya yang bisa menyebabkan kematian. Oleh karena itu perlu adanya suatu metode analisis yang harus dilakukan untuk mengidentifikasi dan memisahkan kandungan yang terdapat dalam jamu dan ekstrak tersebut, sehingga dapat dipisahkan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya. Metode analisis yang biasa digunakan adalah kromatografi, kromatografi merupakan metode analisis yang didasarkan pada kepolaran zat. Kromatografi banyak digunakan dalam metode analisis baik itu dalam identifikasi zat maupun pemisahan zat. Hal ini dikarenakan hasilnya cukup akurat dan mudah dilakukan. Kromatografi ada berbagai macam, namun yang banyak digunakan adalah KCKT dan KLT. Analisis jamu dan ekstrak dengan menggunakan KCKT dan KLT

I.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 1999. Peraturan perundang-undangan obat tradisional. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi 4. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. _____. Farmakope Indonesia. Edisi ketiga. 1979. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. _____. Farmakope Indonesia. Edisi IV. 1995. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Materia Medika Indonesia. Jilid IV. 1980. Depkes RI. Hal.144-147 Sidik,dkk. 1985. Seri pustaka Tanaman Obat:Temulawak.Phyto Medica.hal.29-31. Materia Medika Indonesia. Jilid V. 1989. Depkes RI. Hal 163. Jakarta : Dirjen BPOM.

Anda mungkin juga menyukai