Anda di halaman 1dari 14

AMENORE PADA ATLET Mariyani Handjaja Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRAK Perempuan semakin

menjadi peserta aktif dalam kegiatan fisik yang kompetitif dan rekreasi. Hal ini tidak biasa bagi atlet menderita penyakit seperti fraktur stres, lutut runner's, bunions dan lecet. Namun atlet wanita menghadapi masalah tambahan amenore. Kekhawatiran telah timbul tentang efek latihan fisik pada fisiologi siklus menstruasi. Sebagai perempuan lebih banyak berpartisipasi dan program pelatihan menjadi lebih berat, dokter telah melihat lebih banyak keluhan gangguan siklus haid. Prevalensi disfungsi menstruasi lebih besar di antara atlet daripada di populasi umum. Banyak faktor yang mengalami perubahan selama program pelatihan atletik dan setiap atau semua ini dapat menyebabkan gangguan dalam cyclicity menstruasi (menarche tertunda, oligomenore, dan amenorrhea). Amenore pada atlet, kadangkadang disebut amenore olahraga terkait, terjadi ketika seorang wanita tidak memiliki periode reguler entah karena dia terlalu banyak latihan, makan kalori terlalu sedikit atau keduanya. Kata kunci: atlet wanita, disfungsi menstruasi, amenore olahraga terkait Amenorrhea IN ATHLETES Mariyani Handjaja Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRACT Women are increasingly becoming active participants in competitive and recreational physical activity. It is not uncommon for athletes to suffer such ailments as stress fracture, runners knee, bunions and blisters. But female athletes face the additional problem of amenorrhea. Concerns has arisen regarding the effect of physical training on the physiology of the menstrual cycle. As more women participate and training programs become more strenuous, physicians have seen more complaints of menstrual cycle disturbances. The prevalence of menstrual dysfunction is greater among athletes than in the general population. Many factors undergo change during the course of an athletic training program and any or all of these may contribute to disturbances in menstrual cyclicity (delayed menarche, oligomenorrhea, dan amenorrhea). Amenorrhea in athletes, sometimes called exerciseassociated amenorrhea, occurs when a woman doesnt have a regular period either because she exercises too much, eats too few calories or both. Keywords: female athlete, menstrual dysfunction, exercise-associated amenorrhea Semakin hari semakin banyak wanita yang terjun dalam dunia olahraga dengan menjadi atlet profesional. Sebagai seorang atlet adalah hal yang biasa bila mengalami berbagai gangguan fisik karena cedera. Tetapi, khusus untuk atlet wanita seringkali mengalami gangguan kesehatan yang tidak akan dialami oleh para atlet pria. Gangguan tersebut adalah gangguan pada sistem reproduksi wanita yang meliputi delayed menarche, oligomenorrhea, dan amenorrhea. Amenore lebih banyak dialami oleh wanita atlet daripada non atlet. Hal ini berhubungan dengan penggunaan energi yang berlebihan oleh atlet pada saat latihan akan mengganggu fungsi sistem reproduksi wanita yang normal. Oleh karenanya amenore pada atlet bisa disebut exercise-associated amenorrhea. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pemakaian energi yang berlebihan pada atlet wanita dengan timbulnya gangguan fungsi reproduksi. Michelle P. Warren (1979)

melakukan penelitian terhadap para pebalet (ballet dancer) selama 4 tahun yaitu15 pebalet berusia 13-15 tahun dengan level latihan fisik yang tinggi sejak usia belia. Kelompok pebalet ini mengalami delayed menarche (rata-rata menarche pada usia 15,4 tahun; normal kontrol menarche pada usia 12,5 tahun). Pada dua orang pebalet berusia 18 tahun terjadi amenore primer. Pada kelompok wanita lain yang berusia 15-18 tahun dengan riwayat diet dan penurunan berat badan mengalami amenore sekunder. FISIOLOGI SIKLUS MENSTRUASI Sistem reproduksi wanita dapat dibagi dalam 4 kompartemen yaitu: * Kompartemen I: outflow tract yang terdiri dari : uterus, cervix dan vagina. * Kompartemen II : ovarium * Kompartemen III : Hipofise ( kelenjar pituitary) * Kompartemen IV : Hipotalamus Fisiologi menstruasi merupakan hasil kerjasama yang sangat kompleks antara keempat kompartemen tersebut. Faktor yang memegang kendali dalam kerjasama antara keempat kompartemen tersebut adalah sistem endokrin yaitu hubungan antara hipotalamus, hipofise dan ovarium (hypothalamic-pituitary-ovarian axis). Siklus menstruasi dibagi dalam 3 fase yaitu: fase folikular, ovulasi dan fase luteal. Hipotalamus menghasilkan GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone). GnRH ini merangsang hipofise untuk mengeluarkan gonadotropin yaitu FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone). FSH menyebabkan perkembangan beberapa folikel di dalam ovarium. Hanya satu folikel yang akan mengalami pematangan ( Folikel de Graaf) dan berovulasi, Gambar 1. Siklus Menstruasi

sedangkan sisanya akan mengalami atresia. Pada waktu ini LH juga akan meningkat untuk membantu pembuatan estrogen di dalam folikel. Sejalan dengan pematangan folikel, kadar estrogen semakin meningkat. Estrogen akan menyebabkan proliferasi dari endometrium. Oleh karena itu, fase folikular juga disebut sebagai fase proliferasi. Pada fase akhir pematangan folikel, kadar FSH mulai menurun sedangkan kadar estrogen makin meninggi. Estrogen pada mulanya meninggi secara berangsur-angsur kemudian dengan cepat mencapai puncaknya. Ini memberikan umpan balik positip terhadap pusat siklik ( di bagian depan hipotalamus di daerah suprakiasmatik) sehingga terjadi lonjakan LH (LH surge) pada pertengahan siklus dan mengakibatkan terjadinya ovulasi. LH yang meninggi itu menetap kira-kira 24 jam dan menurun pada fase luteal. Pada fase luteal, setelah ovulasi, folikel berkembang menjadi corpus luteum. Luteinized granulosa cells dalam corpus luteum membuat progesterone banyak dan luteinized theca cells membuat pula estrogen yang banyak, sehingga kedua hormon itu meningkat tinggi pada fase luteal. Progesteron menyebabkan proliferasi endometrium (yang terjadi pada fase proliferasi, distimulasi oleh estrogen) berubah menjadi fase sekresi. Bila tidak terjadi fertilisasi maka mulai 10-12 hari setelah ovulasi korpus luteum berangsurangsur mengalami regresi diikuti oleh menurunnya sekresi progesterone dan estrogen. Penurunan kadar progesteron dan estrogen akan menyebabkan pelepasan endometrium, sehingga terjadilah menstruasi yang dikeluarkan melewati vagina.

Lamanya masing-masing fase bervariasi pada wanita yang satu dengan wanita yang lain, juga bervariasi pada siklus yang satu ke siklus berikutnya. Namun, rata-rata siklus menstruasi yang normal adalah 28 hari. Siklus menstruasi dimulai dari hari pertama keluarnya darah menstruasi. Bila terdapat gangguan atau kelainan dari salah satu organ tersebut, maka akan terjadi pula gangguan pada siklus menstruasi yang dapat memberikan gejala klinik antara lain amenore. AMENORE Amenore yang terjadi bisa berupa amenore primer maupun sekunder. Amenore primer terjadi bila belum pernah mendapatkan menstruasi sama sekali. Menarche adalah menstruasi yang terjadi pertama kali pada seorang wanita. Menarche biasanya terjadi pada umur 1014 tahun. Amenore primer didefinisikan sebagai berikut: Gadis yang pada usia 14 tahun belum tampak adanya tanda-tanda seks sekunder

dan juga belum pernah mendapatkan menstruasi (menarche). Gadis yang pada usia16 tahun sudah tampak adanya pertumbuhan tanda-tanda seks sekunder tetapi belum pernah mendapatkan menstruasi (menarche). Amenore sekunder terjadi pada wanita setelah mengalami menarche. Amenore sekunder didefinisikan sebagai: Tidak mengalami menstruasi selama 3 bulan berturut-turut pada wanita dengan menstruasi yang normal sebelumnya. Tidak mengalami menstruasi selama 9 bulan berturut-turut pada wanita dengan riwayat oligomenore sebelumnya. Penyebab dari amenore dapat terletak pada salah satu kompartemen seperti yang telah diuraikan di atas: * Kompartemen I : vagina dan uterus * Kompartemen II : ovarium * Kompartemen III : hipofise * Kompartemen IV : hipotalamus Tabel di bawah ini dapat menunjukkan pengelompokan amenore berdasarkan letak kompartemen yang mengalami gangguan.

Tabel 1. Pengelompokan Amenore P/S Outflow tract Gonadal/end-organ

Pituitary and

anomalies/obstruction

disorders The ovary or gonad does not respond to pituitary stimulation. Gonadal dysgenesis or premature menopause are possible causes. Chromosome testing is usually indicated in younger individuals with hypergonadotropic amenorrhoea. Low oestrogen levels are seen in these patients and the hypo-oestrogenism may require treatment. Gonadal, usually ovarian, abnormalities tend to be linked to elevated FSH levels or hypergonadotropic amenorrhoea. FSH levels are typically in the menopausal range. Gonadal dysgenesis, including Turner Syndrome. Most common cause. Androgen insensitivity syndrome (Testicular feminization syndrome). Receptor abnormalities for hormones FSH and LH. Specific forms of congenital adrenal hyperplasia Swyer syndrome Galactosaemia Aromatase deficiency Prader-Willi syndrome Male pseudohermaphroditism (about 1 in every 150,000 births) Other intersexed conditions Pregnancy (most common cause) Anovulation Menopause

hypothalamic/central regulatory disorders Generally, inadequate levels of FSH lead to inadequately stimulated ovaries which then fail to produce enough oestrogen to stimulate the endometrium (uterine lining), hence amenorrhoea. In general, women with hypogonadotropic amenorrhoea are potentially fertile.

The hypothalamicOverview pituitary-ovarian axis is functional.

FSH

Outflow tract abnormalities tend to be normogonadotropic and FSH levels are in the normal range.

Both hypothalamic and pituitary disorders are linked to low FSH levels leading to hypogonadotropic amenorrhoea.

Primary

Uterine: Mullerian agenesis (Second most common cause, 15% of primary amenorrhoea)[5] Vaginal: Vaginal atresia, cryptomenorrhoea, imperforate hymen.

Hypothalamic: Kallmann syndrome.

Intrauterine adhesions Secondary (Asherman's Syndrome)

Hypothalamic: Exercise amenorrhoea, related to physical exercise, Stress amenorrhoea, Eating

Premature menopause Polycystic ovary syndrome (PCO-S) Drug-induced

disorders and weight loss (obesity, anorexia nervosa, or bulimia Pituitary: Sheehan syndrome, Hyperprolactinaemia, Haemochromatosis Other central regulatory: hypothyroidism, hyperthyroidism, arrhenoblastoma

AMENORE PADA ATLET Amenore pada atlet terjadi diduga karena pemakaian energi yang berlebihan pada atlet dan simpanan energi yang rendah menyebabkan gangguan pada hormon-hormon sistem reproduksi yang terlibat dalam fisiologi menstruasi. Amenore pada atlet disebabkan karena gangguan pada level hipotalamus (kompartemen IV). Gangguan terutama terletak pada sekresi pulsatil dari GnRH. Terjadi penekanan terhadap sekresi pulsatil GnRH yang normalnya berlangsung tiap 60-90 menit, yang berupa penurunan frekuensi maupun amplitudo pulsatil sekresinya. Penekanan terhadap GnRH terjadi karena pengaruh dari penurunan berat badan, asupan energi yang rendah, maupun gangguan terhadap energy balanced dimana terjadi ketidakseimbangan antara pemasukan dan pemakaian energi. Pada atlet terjadi pemakaian energi yang berlebih dengan adanya porsi latihan fisik yang berat sedangkan asupan energinya tidak mencukupi. Biasanya berat badan atlet tidak terlalu di bawah standard walaupun atlet tergolong kurus dan sangat memperhatikan pola makanan. Pola makanan yang dijalani adalah makanan rendah lemak dan sedikit sekali asupan daging berwarna merah bahkan seringkali vegetarian. Kekurangan energy juga mempengaruhi sekresi pulsatil dari LH. Pola sekresi dari LH terganggu dan biasanya penekanan pada LH lebih besar daripada FSH. Penekanan terhadap siklus bias ringan dan intermiten yang ditandai

dengan kadar estrogen yang masih dalam batas normal dan umpan balik positif terhadap progestin. Atlet dengan kadar estrogen rendah dan beberapa bahkan memiliki kadar gonadotropins (terutama LH) yang sangat rendah, biasanya sangat kurus dan terobsesi dengan diet dan athletic training. Pada kelompok atlet ini tidak mengalami umpan balik terhadap estrogen. Amenore yang terjadi pada atlet bisa berupa amenore primer maupun sekunder. Amenore primer terjadi pada wanita yang telah menjadi atlet sejak usia belia jauh sebelum mendapatkan menarche (premenarche-trained athlete). Amenore sekunder terjadi pada wanita yang menjadi atlet setelah mengalami menarche (postmenarche-trained athlete). Atlet yang masih sangat muda, terutama pebalet (ballet dancer) yang memulai latihan sebagai atlet sejak berumur 8 atau 9 tahun, ada kemungkinan mengalami amenore primer hingga memasuki usia 20-an tahun. Masalah ini sehubungan dengan beban latihan yang berat. Bagaimanapun mereka pada umumnya memiliki pertumbuhan yang normal. Biasanya mereka tidak mengalami kelainan short stature dan tidak akan mengalami keterlambatan pada masa pubertas. Atlet dengan amenore sekunder pada umumnya bisa dibedakan dari penyebab yang lain melalui penelusuran yang teliti. Bagaimanapun, terkadang susah untuk mengetahui masalah gangguan makan kecuali dengan

pertanyaan yang spesifik tentang diet (misalnya: konsumsi makanan rendah kalori; diet soda; dll) pada wanita dengan berat badan normal atau hanya sedikit di bawah standard. Ada bukti yang menarik bahwa exercise-associated hypothalamic amenorrhea berhubungan dengan kekurangan asupan kalori yang kronis terhadap beban latihan yang sangat berat. Exercise induced amenorrhea dialami oleh atlet muda yang sebelum muncul masalah amenore sudah mengalami beberapa peristiwa metabolis dan fisiologis yang menghambat sekresi pulsatil yang normal dari LH dan FSH. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak kentara hingga terjadi berulang-ulang dan kronis sampai akhirnya menstruasi berhenti. Sistem buffer yang melindungi sistem reproduksi menjadi terpengaruh: berat badan, lemak tubuh dan kadar leptin. Atlet dengan amenore yang terkait latihan fisik atau penurunan berat badan selalu dibawah berat badan ideal dan biasanya mempunyai kadar lemak tubuh dan Body Mass Index (BMI) yang rendah. Atlet tersebut kehilangan berat badan secara berarti ketika menjalani latihan fisik dan terobsesi diet makanan rendah lemak dan menghindari makan daging berwarna merah dan semua bentuk makanan penutup (dessert). Diagnosis bisa ditegakkan pada competitive athlete dengan kadar gonadotropin yang rendah, terutama kadar LH yang rendah, kadar prolaktin normal, tes kehamilan negative, dan tidak adanya tanda-tanda androgenisasi seperti: akne, tumbuhnya rambut, atau riwayat onset menarche pada gangguan menstruasi yang terkait tanda-tanda androgen excess. Tipe atlet tersebut akan menolak merubah perilakunya, terutama untuk menaikkan berat badan atau mengurangi beban latihan fisiknya. Hal ini terjadi pada pebalet (ballet dancer) atau competitive athlete. Bagaimanapun, perubahan pola makan, pola latihan, dan peningkatan berat badan merupakan cara yang paling efektif untuk mengatasi masalah ini.

Atlet dengan exercise associated amenorrhea pada awalnya mengalami gangguan pada sistem reproduksi secara tak kentara yang berupa pemendekan siklus menstruasi. Hal ini juga terjadi pada wanita muda normal dengan latihan atletik intensif. Kadang-kadang, fase folikular bisa memanjang. Gangguan ini bisa disertai dengan perdarahan yang sering dan/atau tak teratur. Bila tanpa kehamilan, masalah ini bisa dikendalikan dengan pengurangan latihan fisik atau dengan penggunaan kontrasepsi oral. SIMPULAN Salah satu resiko yang harus ditanggung oleh atlet wanita adalah gangguan pada sistem reproduksi wanita diantaranya amenore. Amenore pada atlet terjadi karena pemakaian energi yang berlebihan pada saat latihan fisik tidak diimbangi dengan asupan energi yang seimbang dikarenakan pola makanan yang rendah rendah lemak bahkan seringkali vegetarian. Karenanya amenore pada atlet disebut juga exercise associated amenorrhea. Ketidakseimbangan antara beban latihan fisk yang berat dengan asupan energi yang tidak mencukupi mengakibatkan gangguan terhadap hormon-hormon sistem reproduksi yang terlibat dalam fisiologi menstruasi. Gangguan terletak pada level hipotalamus (kompartemen IV), dimana terjadi penekanan pada sekresi pulsatil dari GnRH sehingga terjadi gangguan pada sekresi gonadotropin (FSH dan LH) terutama LH. FSH berfungsi untuk pematangan folikel dalam ovarium yang akan berovulasi. Lonjakan LH akan mengakibatkan terjadinya ovulasi. Kirakira 14 hari setelah ovulasi terjadilah menstruasi. Jadi, bila terjadi gangguan pada sekresi hormon-hormon tersebut di atas maka siklus menstruasi juga akan terganggu, salah satunya berupa amenore.

DAFTAR PUSTAKA

Warren,MP.1999. Health Issues for Women Athletes: Exercise-induced Amenorrhea. J of Clinical Endocrinology & Metabolism. Vol.84 No.6:1892-6. Warren,MP.1980. The Effects of Exercise on Pubertal Progression and Reproductive Function in Girls. J of Clinical Endocrinology & Metabolism. Vol.51 No.5:1150-7. Fox ,EL; Bowers,RW;Foss,ML. 1993. The Physiological Basic for Exercise and Sport. Edisi ke-5. Wm.C.Brown communications, Inc. Wiknjosastro,H.1997. Ilmu Kandungan.Edisi ke-2 Cetakan ke-2. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Pritchard, MacDonald, Gant. Penerjemah: Hariadi,R,dkk.1991.Obstetri Williams. Cetakan ke-1.Airlangga University Press.Surabaya. Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSUD Dr. Soetomo.1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Imu Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUD Dr.Soetomo.Surabaya. Wikipedia. Menstrual Cycle.(cited 21 September 2010). Available from: http://en.wikipedia.org/wiki Wikipedia. Amenorrhoea.(cited 24 September 2010). Available from: http://en.wikipedia.org/wiki

KONTRIBUSI KEGIATAN FISIK TERHADAP SIKLUS MENSTRUASI (STUDI DESKRIPTIF PADA MAHASISWI FPOK UPI) SRI RATNASARI Abstrak Penelitian ini dilatar belakangi oleh isu-isu yang berkembang dikalangan para atlet wanita berprestasi yang melakukan kegiatan olahraga berat dapat mengganggu pada siklus menstruasinya, sehingga munculah pertanyaan apakah benar kalau mahasiswi berlatih dengan berat kemudian disertai dengan aktivitas perkuliahan yang padat dapat menyebabkan gangguan pada menstruasi begitupun dengansiklus menstruasinya ?. penulis mencoba mencari jawaban dari pertanyaan itu, maka penulis dengan cara menyebarkan angket kepada para mahasiswi FPOK UPI. Berdasarkan masalah tersebut, rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah : Apakah ada dampak kegiatan fisik terhadap siklus menstruasi pada mahasiswi FPOK UPI?. Sesuai dengan masalah yang juga penulis rumuskan tujuan dari penelitaian ini adalah : untuk mengkaji seberapa besar kontribusi kegiatan fisik terhadap siklus menstruasi mahasiswi FPOK UPI. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif. Sampel yang penulis gunakan adalah mahasiswi yang masih aktif mengikuti perkuliahan di FPOK UPI yang berjumlah 50 orang. Instrumen penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah angket. Data-data yang penulis dapatkan kemudian dianalisis dengan mengguanakan pendekatan uji korelasi Rank Spearman. Dari hasil analisis data menunjukan bahwa : terdapat kontribusi antara kegiatan fisik terhadap siklus menstruasi pada mahasiswi FPOK UPI dengan kofesien korelasi (r = 0.228) dengan nilai kofesien determinasi sebesar 5.19%, namun tingkat keeratan variabel kegiatan fisik dan siklus menstruasi mahasiswi FPOK UPI berada pada kategori rendah. Kata- kata kunci : kontribusi, kegiatan fisik, menstruasi, siklus menstruasi. Pendahuluan Perbedaan antara laki-laki dan perempuan sangat jelas, dahulu laki-laki sangat berkuasa dan bisa melakukan apa yang mereka lakukan, wanita hanya merupakan kaum yang lemah dan hanya boleh diam dirumah mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus anak. Perbedaan itu berubah menjadi semakin sempit dan nyaris tanpa batas sejak menjelang abad 21 wanita bisa melakukan hal-hal yang mereka lakukan, dan wanita bisa mengerjakan apa yang laki-laki lakukan. Seiring diakuinya wanita didunia olahraga, wanita harus lebih dipromosikan dalam dunia olahraga, pelaksanaannya didorong dengan kuat, karena olahraga mempunyai manfaat yang sangat terukur bagi kesehatan, memberi kegembiraan, perkawanan (friendship), dan kepuasan. Mungkin juga wanita melakukan olahraga untuk pengaturan berat badan, rasa percaya diri, koordinasi motorik, kesehatan dan kebugaran kardiovaskuler, serta integritas tulang. Selain olahraga di atas yang mungkin sangat populer dimasyarakat ada pula yang menggemari olahraga dengan tujuan prestasi, tetapi didunia olahraga yang kental dengan sportivitas dan peduli fair play, kehadiran kaum wanita selalu dianggap sebagai kelompok yang sarat dengan berbagai kekurangan dibandingkan dengan kaum laki-laki, keterlibatan wanita dalam olahraga prestasi telah terbukti sejak olimpiade 1912, banyak cabang olahraga yang diikuti oleh wanita, bahkan lebih dari 20 tahun terakhir banyak sekali wanita berpartisipasi dalam olahraga dengan daya tahan yang berat. Orang tua pada jaman dahulu menyatakan bahwa seorang wanita mendapatkan sebuah kutukan yaitu menstruasi, sampai sekarang pun pendapat umum mengatakan, mengikuti kegiatan

olahraga selama mendapatkan menstruasi adalah tidak pantas, dan bahkan dapat merugikan tubuh. Bukti-bukti yang menunjukan bahwa adanya hubungan sebab akibat antara aktivitas olahraga berat dengan keterlambatan menstruasi pertama kali (menarche). Menurut Malina (1978), menstruasipertama kali diperoleh paling lambat pada atlet olimpiade dan diperoleh paling cepat pada mereka yang bukan atlet. Sumasardjuno (1992:61) juga menyatakan, anak-anak wanita yang mulai latihanolahraga dengan serius sejak usia muda, banyak yang mangalami menstruasi pertama kali lebih lambat dari pada yang tidak menjalankan olahraga, adapun pada beberapa wanita yang menjalankan latihanolahraga kompetitif, menstruasi pertama kali baru didapat setelah usia 15-16 tahun. Atlet bisa mengalami gangguan menstruasi pertama kali apabila melakukan aktivitas latihan yang berat. The American College of Sport Medicine (ACSM) melaporkan bahwa sekitar sepertiga pelari jarak jauh wanita antara 12-45 tahun, mengalami masa-masa amenore atau oligomenorrhoea. Selain bukti-bukti yang sudah ada penulis juga melakukan penelitian pendahuluan, bahwa pola menstruasi seorang mahasiswi selalu berubah setiap bulannya, bahkan ada yang membenarkan bahwa karena aktivitas yang berat makasiklus menstruasinya dapat terganggu dan beberapa dari mereka ada yang belum mendapatkan menstruasi untuk pertama kali. Perubahan menstruasi yang mereka keluhkan adalah berupa kurangnya jumlah menstruasi pertahun (oligomenorrhoea) dan sama sekali tidak ada menstruasi (amenorrhoea) sedangkan pada awalnya menstruasi mereka berjalan normal. Selain itu ada pula yang mengeluh adanya pendarahan yang tidak teratur dan tidak menurut siklus, serta haid yang berlebihan banyaknya. Menurut Dr. Bjarne K. Jacobsen Faktor-faktor tertentu seperti latihan atau merokok, mungkin mempengaruhi. Contohnya, aktivitas fisik intensif dikenal menunda atau mengganggu siklus menstruasidan latihan reguler sepanjang hidup. Umur saat pertama menstruasi seorang anak perempuan seharusnya tidak dipengaruhi oleh makan yang terlalu sedikit atau latihan terlalu keras, (www.wikipedia.co.id). Mahasiswi fakultas pendidikan olahraga dan kesehatan, dituntut untuk melakukan latihan fisik dengan keras untuk memiliki teknik diatas rata-rata yang dimiliki oleh mahasiswi lain,latihan fisik erat kaitannya dengan kegiatan perkuliahan sehari-hari. Namun perlu diperhatikan pula bahwa wanita akan mengalami menstruasi, walaupun pada saat mengalami menstruasi wanita tidak menutup kemungkinan mahasiswi tersebut memiliki kegiatan yang cukup berat yang harus dilaksanakannya. Sebagian wanita pada saat mengalami menstruasi tidak mengetahui prubahan siklus secara periodik atau pada saat terjadinya kembali menstruasi yang mengakibatkan selaput lendir rahim dari hari kehari terjadi perubahan yang berulang-ulang, seperti dikatakan oleh Giriwijoyo (2007:154), Siklus menstruasi adalah kejadian kompleks yang terjadi didalam uterus apabila tidak terjadi kehamilan. Mekanisme terjadinya perdarahan berperan penting dalam terjadinya proses menstruasi sebagaimana dipaparkan dalam Wikipedia (2009) bahwa : Mekanisme perdarahan menstruasi dari seorang wanita ini diakibatkan oleh pengaruh aktivitas hormonal tubuh yang aktivitasnya terjadi melalui suatu hubungan poros hipotalamus-hipofisis-ovarium. (http.wikipedia.com). Terjadinya perdarahan pada hari pertama pada saat menstruasi dihitung sebagai awal setiap siklus menstruasi, siklus menstruasi berkisar antara 21 - 40 hari. Hanya 10 15% wanita yang memiliki siklus 28 hari, jarak antara siklus yang paling panjang biasanya terjadi

sesaat setelah menarche dan sesaat sebelum menopause. Hal ini dijelaskan dalam Wikipedia (2009). Pada siklus menstruasi Kissanti (2008:17) menjelaskan bahwa: Siklus menstruasi terbagi menjadi tiga fase yaitu ; (1) Fase folikuler : dimana pada fase ini dimulai dari hari pertama sampai sesaat sebelum kadar LH (Luitenizing Hormon) meningkat dan terjadi pelepasan sel telur (ovulasi) dikarenakan pada saat ini terjadi pertumbuhan folikel di dalam ovarium, (2) Fase Ovulatoir dimana : fase ini dimulai ketika kadar LH (Luitenizing Hormon) meningkat dan pada fese ini delepaskan sel telur. Sel telur biasanya dilepaskan dalam waktu 16-32 jam setelah terjadi peningkatan kadar LH (Luitenizing Hormon), (3) Fase Luteal dimana : fase ini terjadi setelah ovulasi dan berlangsung selama sekitar 14 hari. Setalah melepaskan telurnya, folikel yang pecah kembali menutup dan membentuk korpus luteum yang menghasilkan sejumlah besar progresteron. Wanita pada saat mengalami menstruasi pertama kali awal siklus menstruasi mungkin tidak teratur, hal ini adalah normal bagi wanita yang mengalami menstruasi yang pertama kali, karena jarak antara dua siklus bisa berlangsung selama dua bulan atau satu bulan mungkin terjadi dua siklus dan beberapa lama kemudian siklus akan menjadi lebih teratur tergantung pada faktorfaktor yang mempengaruhi pada saat menstruasi terjadi. Masalah dalam penelitian ini adalah : Seberapa besar dampak kegiatan fisik terhadap siklus menstruasi pada mahasiswi FPOK UPI, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji seberapa besar kontribusi kegiatan fisik terhadap siklus menstruasi mahasiswi FPOK UPI. Metode Metode penelitian adalah suatu cara yang merupakan rangkaian proses yang harus ditempuh sebagai upaya mengumpulkan, mengorganisasikan, menganalisa data, serta menginterpretasi data, Penelitian ini menganalisis mengenai kontribusi fisik terhadap siklus mentruasi pada mahasiswi FPOK UPI,. Adapun yang menjadi objek penelitian sebagai variabel bebas (independent variable) atau variabel X adalah kegiatan fisik, sedangkan objek penelitian merupakan variabel terikat (dependent variabel) atau variabel (Y) adalahsiklus menstruasi. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Winarno Surakhmad (1994:131). Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesa, dengan mempergunakan teknik serta alat-alat tertentu. Cara utama itu dipergunakan setelah penyelidik memperhitungkan kewajarannya ditinjau dari tujuan penyelidikan serta situasi penyelidikan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka metode yang digunakan penulis adalah metode deskriptif karena metode ini dapat mengungkapkan, menggambarkan dan menyimpulkan hasil yang akan penulis teliti dan dapat menjawab persoalan-persoalan tentang fenomena yang ada dan berlaku sekarang dengan maksud untuk mendapatkan gambaran umum yang lebih jelas, sistematis, faktual, dan akurat. Mengenai fakta-fakta serta mengkaji berbagai variabel dalam fenomena yang diteliti, hal ini dikemukakan oleh Atmaja (1978:27) sebagai berikut: Metode deskriptif adalah suatu penyelidikan tahap fact faindingdisertai dengan interpretasi-interpretasi yang bertujuan untuk menggambarkan, melukiskan keadaan seseorang, lembaga atau masyarakat tertentu pada masa sekarang ini berdasarkan faktor-faktor yang tampak saja (surface factor) didalam situasi yang diselidiki. Dalam melakukan penelitian seorang peneliti memerlukan subjek yang akan diteliti, subjek tersebut berupa populasi dan sampel. Populasi merupakan keseluruhan subjek dalam penelitian sedangkan sampel adalah sebagian subjek yang diambil dari keseluruhan populasi dan mewakili

populasi tersebut. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswi FPOK UPI dari 3 program studi yaitu : IKOR, PKO, PJKR yang masih terdaftar di FPOK UPI. Mengenai jumlah sampel belum ada suatu aturan yang pasti harus berapa jumlah sampel yang diambil sesuai dengan yang dikatakan oleh Arikunto (1997:109): Kebanyakan peneliti beranggapan bahwa semakin banyak sampel, atau semakin besar presentase sampel dari populasi, hasil peneliti akan semakin baik. Anggapan ini benar, tetapi tidak selalu demikian. Hal ini tergantung dari sifat-sifat atau cici-ciri tersebut bertalian erat dengan homogenitas subjek dalam populasi. Dari penjelasan dapat disimpulkan bahwa semakin banyak sampel yang digunakan dalam penelitian tidak selalu menghasilkan penelitian yang baik karena hal tersebut tergantung dari sifat-sifat atau ciri-ciri yang terdapat pada subjek penelitian dalam populasi. Hal yang sama mengenai jumlah sampel belum ada aturan yang pasti berapa banyak sampel harus diambil lebih jauh Nasution (2002:101) mengatakan bahwa: Tidak ada aturan yang jelas tetang jumlah sampel yang dipersyaratkan untuk suatu penelitian dari populasi yang tersedia. Juga tidak ada batasan yang jelas apa yang dimaksud dengan sampel yang besar dan yang kecil. Berdasarkan penjelasan tersebut peneliti berinisiatif mengambil sebanyak 50 orang sebagai sampel yang mewakili dari sebagian mahasiswi tersebut. Dalam pengambilan sampel peneliti menggunakan aksidental sampel atau pengambilan sampel secara kebetulan yang berarti saat peneliti tiba di tempat yang akan diteliti peneliti hanya menggunakan sampel yang ada pada saat itu juga bila dipandang orang yang ditemui itu cocok untuk dijadikan sampel dan jumlah disesuaikan dengan jumlah sampel yang akan di ambil yaitu 50 orang dengan perincian sampel pada mahasiswi FPOK UPI.. Menghitung Koefisien Korelasi Teknik yang digunakan untuk menganalisis data adalah dengan koefisien korelasi Product moment. Data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis untuk menjawab pertanyaan masalah yang diajukan pada bab I, adapun rumus yang digunakan adalah tekhnik korelasi Rank Spearman. Pengujian hipotesis : Kriteria : tolak hipotesis (Ho) jika thitung > ttabel dengan dk = (n-1) pada taraf nyata = 0.05 dalam hal ini diterima Ho : r = 0 artinya terdapat dampak antara kegiatan fisik terhadap siklus menstruasi pada mahasiswi FPOK UPI. Hi : r 0 artinya tidak terdapat dampak antara kegiatan fisik terhadap siklus menstruasi pada mahasiswi FPOK UPI. Selanjutnya untuk perhitungan koefisien determinasi seberapa besar derajat hubungan antara variabel X dan variabel Y, digunakan rumus sebagai berikut : KD = r2 x 100 % Keterangan: KD = Koefisien determinasi r2 = Korelasi variabel X dan Y 100 % = Persentase Selanjutnya untuk perhitungan koefisien determinasi seberapa besar derajat hubungan Kriteria : tolak hipotesis (Ho) jika thitung > ttabel dengan dk = (n-1) pada taraf nyata = 0.05 dalam hal ini diterima. Hasil Untuk melihat ada dan tidaknya hubungan antara bauran pemasaran dengan kepuasan konsumen maka dilakukanlah penelitian ini yang mengambil sampel pengunjung dimana

diperoleh nilai korelasi antara variabel kegiatan fisik (X) dan variabel siklus menstruasi (Y) sebesar 0.228. Dimana setelah dikonsultasikan pada tabel Guilford Emperical Rulesi. Tabel 1.1 Tabel Keeratan Hubungan Variabel X dan Y Nilai Korelasi Keterangan 0,00 - < 0,20 Hubungan sangat lemah (diabaikan) 0,20 - < 0,40 Hubungan rendah 0,40 - < 0,70 Hubungan sedang / cukup 0,70 - < 0.90 Hubungan Kuat / Tinggi 0,90 - 1,00 Hubungan sangat Kuat Tabel di atas, berada pada kategori rendah karena terletak antara nilai 0.20 0.40. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat keeratan variabel kegiatan fisik (X) dan variabel siklus menstruasi(Y) adalah rendah. Dari pengamatan penulis tingkat keeratan antara variabel kegiatan fisik dengan variabel siklus menstruasi berada pada kategori rendah dikarenakan ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi siklus menstruasi yang tidak penulis teliti, .misalnya faktor lingkungan, gizi,stress dan sebagainya. Selanjutnya untuk mengetahui berarti tidaknya hubungan antara variabel-variabel yang diteliti dilakukan uji signifikasi diperoleh nilai thitung sebesar 1.588 dengan melihat pada tabel distribusi t dengan taraf signifikasi 0.05 diperoleh nilai ttabel sebesar 1.6787. Setelah itu nilai thitung dikonsultasikan pada ttabel menunjukan nilai thitung > ttabel,, 0.05 > 1/6787. Dengan demikian hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis satu (H1) diterima, artinya terdapat hubungan antara kegiatan fisik terhadap siklus menstruasi dengan nilai koefisien korelasi determinasi sebesar 5.19 % yang sisanya merupakan faktor lain yang tidak diteliti oleh penulis yang mempengaruhi siklus menstruasi.. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisi yang telah diuraikan pada bab III dan bab IV, dapat di ambil kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah : Terdapat kontribusi antara kegiatan fisik terhadap siklus menstruasi pada mahasiswi FPOK UPI dengan kofesien korelasi 0.228 dengan nilai kofesien determinasi sebesar 5.19%, tingkat keeratan variabel kegiatan fisik dan siklus menstruasi mahasiswi FPOK UPI berada pada kategori rendah karena terletak antara nilai 0.20-0.40 pada tabel nilai koofisien korelasi dari Guilford Emperical Rulesi .Nilai uji signifikan koefisien korelasi thitung sebesar 1.588 > ttabel sebesar 1.6787, sehingga H0 yang berbunyi tidak terdapat dampak antara kegiatan fisik terhadap siklus menstruasi mahasiswi FPOK UPI di tolak dan H1 yang berbunyi terdapat dampak antara kegiatan fisik terhadap siklus menstruasi mahasiswi FPOK UPI diterima. Terdapat faktor-faktor lain selain akltivitas fisik yang mempengaruhi siklusmenstruasi. Saran Setelah penulis melakukan penelitian dan melihat apa yang terdapat dan yang terjadi dilapangan, kiranya penulis memberikan saran-saran berdasarkan penelitian baik yang menyangkut aspek teoritis maupun praktis. Maka penulis menyarankan kepada seluruh mahasiswi baik atlet atau siapapun yang aktif dalam kegiatan olahraga maupun perkuliahan memberikan kontribusi rendah kepada pola siklus menstruasi, perlu diteliti lebih lanjut faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pola siklus menstruasi. Semoga penelitian yang penulis lakukan bisa menjadi suatu kajian untuk penelitian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA Bagian Obstetri dan Ginkologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. (1993). Obstertri Fisiologi. ELEMAN, Bandung Bagian Obstetri dan Ginkologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. (1983). Obstertri Fisiologi. ELEMAN, Bandung Dr. Jhon F. Knight. Wanita Ciptaan Ajaib. Beberapa Gangguan Sistem Tubuh dan Perawatannya. Dr. Nina Sutresna M.Pd. (2001). Wanita dan Olahraga Kacamata Sosial. Drs. Yunusul Hairy, Ms (2001). Pusat Penerbit UT. Faisal, S. (1981). Dasar dan Teknik Menyusun Angket. Usaha Nasional, Surabaya. Giriwijoyo, Y.S. Santosa (2004). Ilmu Faal OR: Fungsi Tubuh Manusia pada OR, Bandung: FPOK UPI Giriwijoyo, Y.S. Santosa (2003). Wanita dan Olahraga. Bahan Kuliah untuk Mahasiswa FPOK UPI Kissanti Annia (2008). Buku Pintar Wanita. Kesehatan dan Kecantikan. Araska Aulia (2009). Kupas Tuntas Menstruasi dari A sampai Z , Millestone. Nadisah. (1991). Manusia dan Olahraga Seri Bahan Kuliah OR. ITB, Bandung: ITB dan FPOK UPI Bandung Giriwijoyo, Komariah Lilis, Kartinah Tine, (2007). Ilmu Kesehatan Olahraga, Untuk Kesehatan dan Untuk Prestasi Olahraga. Bandung. Nurhasan, (2002), Pengembangan Sistem Pembelajaran Modul Mata Kuliah Statistik. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Nurhasan. (2000). Pengembangan Sistem Pembelajaran Modul Mata Kuliah Tes dan Pengukuran Pendidikan Olahraga. Banbung. Narbuko, Cholid dan Achmadi, Abu. (2007). Metode Penelitian. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Riduan. (2004). Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta. Suharsimi, Arikunto. (2002). Prosedur Penelitian Jakarta. Jakarta: Rineka Cipta Wikipedia Indonesia. Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia. Internet Harry Finley : online museum Oo Menstruasi and womens Health Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1993). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Puataka, Jakarta. Sumber lain : Internet, Artikel penelitian (www. Menstuasi. Com, www.blogdokter.net , www.muslimah.or.id, www.medicastor.com, www.google.com, ww w.wikipedia.com ) Penulis : Sri Ratnasari, menyelesaikan S1 Program Studi Ilmu Keolahragaan Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai