Anda di halaman 1dari 98

Definisi Gangguan Menstruasi

Gangguan menstruasi adalah kondisi ketika siklus menstruasi mengalami


anomali atau kelainan. Hal ini bisa berupa perdarahan menstruasi yang terlalu
banyak atau terlalu sedikit, siklus menstruasi yang tidak beraturan, dan bahkan
tidak haid sama sekali.
Gangguan menstruasi merupakan keluhan yang sering menyebabkan
seorang wanita datang berobat ke dokter atau ke tempat pertolongan pertama.
Keluhan gangguan menstruasi bervariasi dari ringan sampai berat dan tidak
jarang menyebabkan rasa frustasi baik bagi penderita, keluarganya bahkan
dokter yang merawatnya. Selain menyebabkan gangguan kesehatan, gangguan
menstruasi ternyata berpengaruh pada aktivitas sehari-hari dan mengganggu
emosional si penderita. (Sarwono, 2011)
Gangguan haid adalah perdarahan haid yang tidak normal dalam hal :
panjang siklus haid, lama haid, dan jumlah darah haid. Melibatkan
hipotalamus, hipofisis, ovarium dan endometrium.
Haid dikatakan normal apabila:
1. Berlangsung antara 25-35 hari atau 21-31 hari
2. Estrogen dihasilkan oleh follikel & korpus luteum
3. Peningkatan Estrogen pada midsiklus → lonjakan LH → ovulasi
4. P dihasilkan hanya oleh korpus luteum
5. Korpus luteum ada hanya jika terjadi ovulasi
6. Umur korpus luteum ±10-14 hari
7. Fase luteal/F.sekresi ±14 hari (hampir selalu tetap)
8. Fase folikulogenesis/F.proliferasi variasi antara 7-21 hari
Etiologi Gangguan Menstruasi
Kelainan haid biasanya terjadi karena ketidak seimbangan hormon-
hormon yang mengatur haid, namun dapat juga disebabkan oleh kondisi medis
lainnya.

237
Factor penyebab gangguan menstruasi secara fisiologis adalah berkaitan
dengan umur yaitu terjadi sebelum pubertas atau dalam masa menopause,
dalam kehamilan, dalam masa laktasi maupun gangguan pada aksis
hipotalamus-hipofisis-ovarium, kelainan kongenital, gangguan system
hormonal, masalah kesuburan endometrium, penyakit-penyakit lain, terdapat
tumor di alat kelamin, terdapat penyakit menahun, ketidakstabilan emosi dan
kurang zat makanan (gangguan gizi), gangguan metabolisme,serta mempunyai
nilai gizi lebih yang berkaitan dengan status ekonomi dan pekerjaan
(Yamamoto, K, 2009).
Klasifikasi Gangguan Menstruasi
1. Kelainan Panjang Siklus
a. Amenorrhe
Amenorrhe dapat terjadi pada menopouse, sebelum pubertas,
dalam kehamilan dan dalam masa laktasi. Bila tidak menyusukan, haid
datang ± 3 bulan post partum namun bila menyusukan, haid datang pada
bulan ke-6. Amenorrhea dapat dibagi menjadi amenorrhea primer dan
sekunder. Amenorrhe primer berarti seorang perempuan belum
mengalami haid setelah usia 16 tahun7 tetapi telah terdapat tanda-tanda
seks sekunder atau tidak terjadi haid sampai 14 tahun tanpa adanya
tanda-tanda seks sekunder.
Amenorrhea biasanya terjadi pada gadis dengan underweight atau
pada aktivitas berat dimana cadangan lemak mempengaruhi untuk
memacu pelepasan hormon. Amenorrhea sekunder berarti telah terjadi
haid, tetapi haid terhenti untuk masa tiga siklus atau lebih dari enam
bulan. Amenorrhea dapat terjadi akibat gangguan pada komponen yang
berperan pada proses haid.
Langkah-langkah diagnosa bila ditemukan amenorrhea yang
harus dilakukan adalah lakukan pemeriksaan TSH karena pada keadaan
hipotroid terjadi penurunan dopamin sehingga merangsang pelepasan
TRH. TRH merangsang hipofise anterior untuk menghasilkan prolaktin
dimana prolaktin akan menghambat pelepasan GnRH. Namun pada satu

238
waktu, saat hipofise anterior terangsang secara kronik, hipofise anterior
dapat membesar sehingga meningkatkan sekresi GnRH dan
menyebabkan terjadinya pematangan folikel yang terburu-buru
sehingga terjadi kegagalan ovarium prematur. Sehingga harus
diwaspadai bila terjadi suatu tanda-tanda hipotiroid, amenorrhea dan
galaktorrhea.
Amenorrhea pada atlet dengan latihan berlebih dibutuhkan kalori
yang banyak sehingga cadangan kolesterol tubuh habis dan bahan untuk
pembentukan hormon steroid seksual (estrogen & progesteron) tidak
tercukupi. Pada keadaan tersebut juga terjadi pemecahan estrogen
berlebih untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar dan terjadilah
defisiensi estrogen dan progeteron yang memicu terjadinya
amenorrhea. Pada keadaan latihan berlebih banyak dihasilkan endorpin
yang merupakan derifat morfin. Endorpin menyebabkan penurunan
GnRH sehingga estrogen dan progesteron menurun. Pada keadaan
stress berlebih, corticotropin releasing hormon dilepaskan, pada
peningkatan CRH, terjadi peningkatan opoid yang dapat menekan
pemebentukan GnRH.
b. Oligomenorrhea
Oligomenorrhea disebut juga sebagai haid jarang atau siklus
panjang. Oligomenorrhea terjadi bila siklus lebih dari 35 hari. Darah
haid biasanya berkurang. Oligomenorrhea biasanya berhubungan
dengan anovulasi atau dapat juga disebabkan kelainan endokrin seperti
kehamilan, gangguan hipofise-hipotalamus, dan menopouse atau sebab
sistemik seperti kehilangan berat badan berlebih.
Gejala oligomenorrhea terdiri dari periode menstruasi yang lebih
panjang dari 35 hari dimana hanya didapatkan 4-9 periode dalam 1
tahun. Beberapa wanita dengan oligomenorrhea mungkin sulit hamil.
Bila kadar estrogen yang menjadi penyebab, wanita tersebut mungkin
mengalami osteoporosis dan penyakit kardiovaskular. Wanita tersebut
juga memiliki resiko besar untuk mengalami kanker uterus.

239
Pengobatan oligomenorrhea tergantung dengan penyebab. Pada
oligomenorrhea dengan anovulatoir serta pada remaja dan wanita yang
mendekati menopouse tidak memerlukan terapi. Perbaikan status gizi
pada penderita dengan gangguan nutrisi dapat memperbaiki keadaan
oligomenorrhea. Oligomenorrhea sering diobati dengan pil KB untuk
memperbaiki ketidakseimbangan hormonal.
Komplikasi yang paling menakutkan adalah terganggunya
fertilitas dan stress emosional pada penderita sehingga dapat
meperburuk terjadinya kelainan haid lebih lanjut. Prognosa akan buruk
bila oligomenorrhea mengarah pada infertilitas atau tanda dari
keganasan.
c. Polimenorrhea
Polimenorea merupakan kelainan siklus menstruasi yang
menyebabkan wanita berkali-kali mengalami menstruasi dalam
sebulan, bisa dua atau tiga kali atau bahkan lebih. Polimenorrhea adalah
kelainan haid dimana siklus kurang dari 21 hari dan menurut literatur
lain siklus lebih pendek dari 25 hari. Bila siklus pendek namun teratur
ada kemungkinan stadium proliferasi pendek atau stadium sekresi
pendek atau kedua stadium memendek. Yang paling sering dijumpai
adalah pemendekan stadium proliferasi. Bila siklus lebih pendek dari
21 hari kemungkinan melibatkan stadium sekresi juga dan hal ini
menyebabkan infertilitas.
2. Kelainan Jumlah Darah Haid
a. Menorrhagia/Hipermenorrhea
Menorrhagia adalah pengeluaran darah haid yang terlalu banyak
(lebih dari 8 hari dan 80ml/hari) dan biasanya disertai dengan bekuan
darah sewaktu menstruasi. Etiologi menorrhagia dikelompokan dalam
4 kategori yaitu, (1) Gangguan pembekuan, (2) Disfunctional uterine
bleeding (DUB), (3) Gangguan pada organ dalam pelvic, (4) Gangguan
medis lainnya
b. Hipomenorrhea (kriptomenorrhea)

240
Hipomenorrhea adalah suatu keadan dimana jumlah darah haid
sangat sedikit (<30cc), kadang-kadang hanya berupa spotting. Dapat
disebabkan oleh stenosis pada himen, servik atau uterus. Pasien dengan
obat kontrasepsi kadang memberikan keluhan ini. Hal ini juga dapat
terjadi pada hipoplasia uteri dimana jaringan endometrium sedikit.
3. Gangguan lain terkait haid
a. Dismenorea
Dismenorea adalah gangguan ginekologik berupa nyeri saat menstruasi,
yang umumnya berupa kram dan terpusat di bagian perut bawah.Rasa
kram ini seringkali disertai dengan nyeri punggung bawah, mual
muntah, sakit kepala atau diare. Istilah dismenorea hanya dipakai jika
nyeri terjadi demikian hebatnya, oleh karena hampir semua wanita
mengalami rasa tidak enak di perut bagian bawah sebelum dan selama
haid. Dikatatakan demikian apabila nyeri yang terjadi ini memaksa
penderita untuk beristirahat dan meninggalkan aktivitasnya untuk
beberapa jam atau hari. Dismenorea dibagi menjadi dua yaitu :
1) Dismenorea primer
Dismenorea primer adalah proses normal yang dialami ketika
menstruasi. Kram menstruasi primer disebabkan oleh kontraksi
otot rahim yang sangat intens, yang dimaksudkan untuk
melepaskan lapisan dinding rahim yang tidak diperlukan lagi.
Dismenorea primer disebabkan oleh zat kimia alami yang
diproduksi oleh sel-sel lapisan dinding rahim yang disebut
prostaglandin. Prostaglandin akan merangsang otot otot halus
dinding rahim berkontraksi. Makin tinggi kadar prostaglandin,
kontraksi akan makin kuat, sehingga rasa nyeri yang dirasakan juga
makin kuat. Biasanya, pada hari pertama menstruasi kadar
prostaglandin sangat tinggi. Pada hari kedua dan selanjutnya,
lapisan dinding rahim akan mulai terlepas, dan kadar prostaglandin
akan menurun. Rasa sakit dan nyeri haid pun akan berkurang
seiring dengan makin menurunnya kadar prostaglandin.

241
2) Dismenorea sekunder
Merujuk pada nyeri saat menstruasi yang diasosiasikan dengan
kelainan pelvis, seperti endometriosis, adenomiosis, mioma uterina
dan lainnya. Oleh karena itu, dismenorea sekunder umumnya
berhubungan dengan gejala ginekologik lain seperti disuria,
dispareunia, perdarahan abnormal atau infertilitas.
b. Pre Menstrual Syndrome/Tension
Merupakan kumpulan keluhan yang umumnya dimulai datu
minggu hingga beberapa hari sebelum mulainya haid dan menghilang
sesudah haid mulai, meskipun terkadang berlangsung sampai selesai
haid.Keluhan yang sering muncul umumnya berupa iritabilitas, gelisah,
insomnia, nyeri kepala, perut kembung, mual, pembesaran dan rasa
nyeri payudara, dan lain-lain. Keluhan pada kasus berat dapat meliputi
depresi, rasa takut, gangguan konsentrasi, dan lain-lain.
Penyebabnya belum diketahui dengan jelas, tetapi salah satu faktor
yang berpengaruh adalah ketidakseimbangan antara estrogen dan
progesteron yang mengakibatkan retensi cairan dan natrium,
penambahan berat badan, serta terkadang edema.Faktor kejiwaan serta
masalah-masalah sosial juga berpengaruh. Perempuan yang mudah
mengalami premenstrual syndrome ini adalah perempuan yang lebih
peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid dan factor-faktor
psikologis.
c. Perdarahan di luar menstruasi (Metroragia)
Perdarahan yang terjadi dalam masa antara 2 menstruasi
(metroragia). Pendarahan ini disebabkan oleh keadaan yang bersifat
hormonal dan kelainan anatomis. Pada kelainan hormonal terjadi
gangguan poros hipotalamus hipofisis, ovarium (indung telur) dan
rangsangan estrogen dan progesteron dengan bentuk pendarahan yang
terjadi di luar menstruasi, bentuknya bercak dan terus menerus, dan
pendarahan menstruasi berkepanjangan. Keadaan ini dipengaruhi oleh
ketidak-seimbangan hormon tubuh, yaitu kadar hormon progesteron

242
yang rendah atau hormon estrogen yang tinggi. Penderita hiposteroid
(kadar hormon steroid yang rendah) atau hipersteroid (kadar hormon
steroid yang tinggi) dan fungsi adrenal yang rendah juga bisa
menyebabkan gangguan ini. Beberapa gangguan organ reproduksi juga
dapat menyebabkan metroragia seperti infeksi vagina atau Rahim
endometriosis, kista ovarium, fibroid, kanker endometrium atau indung
telur, hiperplasia endometriosis, penggunaan kontrasepsi spiral yang
mengalami infeksi juga dapat menyebabkannya. (Sianipar, 2009).
Epidemiologi Gangguan Menstruasi
Tingginya prevalensi gangguan menstruasi disebabkan oleh berbagai
faktor seperti, stres, lifestyle, aktivitas fisik, kondisi medis, kelainan
hormonal dan status gizi.
Gangguan menstruasi merupakan masalah yang sering di alami oleh
remaja. Menurut WHO (2010)terdapat 75% remaja yang mengalami gangguan
haid dan ini merupakan alasan terbanyak seorang remaja putri mengunjungi
dokter spesialis kandungan. Siklus haid pada remaja sering tidak teratur,
terutama pada tahun pertama setelah menarche sekitar 80% remaja putri
mengalami terlambat haid 1 sampai 2 minggu dan sekitar 7% remaja putri yang
haidnya datang lebih cepat, disebabkan oleh ovulasi yang belum terjadi
(Anovulatory cycles).
Kejadian gangguan siklus mentruasi pada wanita yang mengalami
obesitas 1,89 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita dengan status gizi
normal sedangkan subjek yang mengalami stress 2 kali lebih besar
dibandingkan dengan subjek yang tidak mengalami stress. Oligomenore
merupakan jenis gangguan siklus menstruasi yang paling tinggi terjadi pada
kelompok subjek yang mengalami obesitas (30,8%) dan pada subjek yang
mengalami stress adalah polimenore (23,1%). Obesitas dan stress merupakan
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan siklus menstruasi. Setelah
dikontrol dengan stress, pengaruh obesitas dalam menyebabkan gangguan
siklus menstruasi menjadi lebih kecil (OR=1; OR=2,8) (Rakhmawati, 2013).

243
Dismenorea adalah gangguan menstruasi terbanyak (80,0%) yang
dialami oleh pelajar perempuan maupun wanita dewasa. Pada peneitian ini.
Beberapa penelitian lain melaporkan prevalensi dismenorea sebesar
73,83%2,63,1%.
Sebesar 15,8%-89,5% perempuan dilaporkan mengalami dismenora pada
berbagai studi di dunia, dimana perempuan usia remaja memiliki angka yang
lebih tinggi.6Menurut studi yang dilakukan Zhou di sebuah universitas di
China menyebutkan bahwa 56,4% mahasiswi di universitas tersebut
mengalami dismenorea.7 Di Indonesia sendiri diperkirakan 60%– 70%
perempuan mengalami dismenorea. 8 Sebuah survey di Canada yang diikuti
oleh lebih dari 1.500 perempuan menstruasi yang dipilih acak menyebutkan
bahwa angka kejadian dismenorea sedang hingga berat terjadi pada 60%
responden, yang menyebabkan penurunan aktivitas pada 50% responden serta
absen pada sekolah atau pekerjaan pada 17% responden.19 Studi lain pada
populasi remaja perempuan di Tbilisi, 13 Georgia menyebutkan bahwa 52,07%
responden mengalami dismenorea.20 Studi dismenorea lainnya yang dilakukan
pada remaja perempuan di Kelantan, Malaysia melaporkan bahwa dismenorea
mempengaruhi konsentrasi di sekolah dan partisipasi sosial, meskipun
demikian hanya sebagian kecil remaja perempuan yang mengalami dismenorea
yang mencari pengobatan medis.5 Beberapa studi melaporkan bahwa angka
kejadian dismenorea meningkat pada perempuan dengan riwayat keluarga yang
mengalami dismenorea, merokok, indeks massa tubuh kurang dari 20,
menarche dini(sebelum usia 12 tahun), serta jarak antar menstruasi dan durasi
menstruasi yang lebih panjang. Sedangkan kontrasepsi oral, olahraga dan
menikah dilaporkan menurunkan kemungkinan dismenorea.
Pathogenesis Gangguan Menstruasi
Berbagai studi menghasilkan fakta bahwa iskemik miometrium oleh
karena kontraksi uterus yang sering dan berkepanjangan menyebabkan
dismenorea primer. Endometrium pada fase sekretori mengadung simpanan
besar asam arakidonat, yang akan dikonversikan menjadi prostaglandin
F2α(PGF2α), prostaglandin E2 (PGE2), dan leukotrien saat menstruasi.

244
PGF2αakan selalu menstimulasi kontraksi uterus dan merupakan mediator
utama dismenorea. Terapi dengan inhibitor siklooksigenase (COX) akan
menurunkan level prostaglandin dan menurunkan aktivitas kontraksi uterus.
Kontraksi otot polos uterus menyebabkan rasa kram, spasme perut bagian
bawah, nyeri punggung bawah serta persalinan atau aborsi yang diinduksi
prostaglandin. Pada perempuan dengan dismenorea primer, kontraksi uterus
selama menstruasi dimulai saat peningkatan level tonus basal(>10 mmHg),
menimbulkan tekanan intrauterus yang lebih tinggi (seringkali mencapai 150-
180mmHg dan dapat melampaui 400mmHg), terjadi lebih sering(>4-5kali/
10menit) dan tidak beritmik. Ketika tekanan intrauterus melampaui tekanan
arteri untuk periode waktu yang terusmenerus, hasil iskemi dalam produksi
metabolit anaerob merangsang neuron C tipe kecil, yang berkontribusi pada
nyeri saat dismenorea. Selain itu, PGF2α dan PGE2 dapat menstimulasi
kontraksi otot polos bronkus, usus dan vaskular, yang menyebabkan
bronkokonstriksi, mual, muntah, diare, dan hipertensi. Dismenorea primer
mulai sebelum atau bertepatan dengan onset menstruasi dan menurun secara
bertahap selama 72 jam berikutnya. Kram menstruasi terjadi intermiten,
intensitasnya bervariasi, dan biasanya berpusat di daerah suprapubik, meskipun
beberapa perempuan juga mengalami nyeri di paha dan punggung bawah.
Penurunan aliran darah ke uterus dan peningkatan hipersentivitas saraf perifer
juga berkontribusi terhadap nyeri yang terjadi. Berbeda dengan dismenorea
primer, perempuan dengan dismenorea sekunder yang berhubungan dengan
kelainan pelvis, seperti endometriosis, nyeri semakin berat sering terjadi pada
pertengahan siklus dan selama seminggu sebelum menstruasi, beserta gejala
dispareunia. Pada perempuan dengan dismenorea sekunder yang berhubungan
dengan mioma uterus, utamanya nyeri disebabkan karena menoragia, dengan
intensitas yang berkorelasi dengan volume aliran menstruasi.

245
Gambar 2.1 Pathogenesis Gangguan Menstruasi
Manifestasi Gangguan Menstruasi
Berbagai gejala gangguan menstruasi yang terlihat, antara lain:
 Perut melilit
 Nyeri punggung
 Payudara mengencang
 Sakit kepala
 Kemunculan jerawat berlebih
 Mudah lelah
 Mudah lapar
 Konstipasi
 Gelisah
 Kram perut
 Diare
 Absen Menstruasi
 Darah yang dikeluarkan berbau khas
Penyakit Gangguan Menstruasi dalam Klasifikasi Penyakit
Klasifikasi penyakit adalah penyusunan ke dalam kelompok tertentu
berdasarkan hubungan antara kelompok dengan sifat-sifat yang dimiliki.

246
Penyakit yang bermacam-macam ini memang perlu juga pengelompokkan.
Keingingan mengetahui keberadaan penyakit tidaklah harus berhenti pada
diagnosis saja. Kegiatan lain yang tidak kalah pentingnya setelah diagnosis
adalah melakukan klasifikasi (Hellen V, 2007).
International Classification of Diseases (ICD) adalah klasifikasi
diagnostik standar internasional untuk semua epidemiologi umum,
untuk penggunaan di beberapa manajemen kesehatan dan klinis. ICD
digunakan untuk mengklasifikasikan penyakit dan masalah kesehatan
lainnyadicatat pada berbagai jenis kesehatan dan catatan penting termasuk
sertifikat kematian dan catatan kesehatan. Selain itu ICD adalah suatu sistem
klasifikasi penyakit dan beragam jenis tanda, simptoma, kelainan, komplain
dan penyebab eksternal penyakit.
Dampak Penyakit Gangguan Menstruasi

Masalah yang bias muncul dengan adanya gangguan menstruasi ini yaitu :
1. Penderita gangguan menstruasi juga akan mulai mengalami gangguan
psikologi seperti perubahan mood yang cepat karena dipengaruhi oleh
tingkat stress yang dialami.
2. Kurang berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang sekitarnya
3. Timbulnya rasa malas dalam diri untuk beraktivitas

Pencegahan dan Pengobatan Gangguan Menstruasi

1. Pencegahan
a. Menyeimbangkan hormon tubuh dengan Nutrisi yang cepat diserap
dan dibutuhkan setiap sel dalam tubuh
b. Memperbaiki pola makan dengan memenuhi asupan Nutrisi yang
dibutuhkan tubuh sehingga mengurangi craving makanan yang tidak
sehat dan tidak teratur
c. Menyeimbangkan dan memperbaiki kerja sistem saraf tubuh,
termasuk di otak sehingga tidak mudah stress
d. Melancarkan pencernaan dan mengontrol nafsu makan sehinga
mencegah berat badan berlebihan

247
e. Cegah dan atasi anemia
f. Olahraga. Berolahraga dapat mengurangi nyeri haid.
g. Aktivitas seksual. Terdapat laporan bahwa kram akibat haid bisa
berkurang akibat orgasme.
h. Rasa hangat. Nyeri dan kram akibat haid bisa dikurangi dengan
berendam pada air hangat atau menempelkan kompres hangat pada
bagian abdomen.
i. Kebersihan menstruasi. Ganti pembalut setiap 4-6 jam. Hindari
menggunakan pembalut atau tampon berparfum, serta deodoran
wanita yang dapat mengiritasi bagian kewanitaan. Douching tidak
disarankan, karena dapat membunuh bakteri alami yang hidup di
vagina. Mandi seperti biasa sudah cukup (Barsom SH., et. al. 2004).
2. Pengobatan
a. Biopsi endometrium
Pada tes biopsi endometrium, dokter akan mengambil sedikit
sampel dari jaringan dinding rahim Anda. Hal ini berguna untuk
mendiagnosis adanya gangguan seperti endometriosis,
ketidakseimbangan hormon, atau adanya potensi kanker.
Endometriosis beserta kondisi-kondisi lainnya juga dapat didiagnosis
dengan prosedur laparoskopi. Pada prosedur ini, dokter memasukkan
alat kecil bernama laparoskop melalui sayatan kecil di perut, yang
kemudian diarahkan menuju rahim dan ovarium.
b. Histeroskopi
Prosedur ini menggunakan alat kecil bernama histeroskop yang
dimasukkan melalui vagina dan serviks. Dengan alat ini, dokter dapat
melihat dengan jelas bagian rahim Anda untuk mengetahui adanya
kelainan seperti fibroid atau polip.
c. USG
Tes ultrasonografi atau USG juga dapat dilakukan untuk
mendiagnosis gangguan haid. Tes USG menggunakan gelombang
suara untuk menghasilkan gambar rahim Anda.

248
d. MRI scan
e. Kuretase
f. Periksa hormone
g. Pengobatan hormon, seperti obat-obatan estrogen atau progestin,
mungkin akan diresepkan oleh dokter untuk membantu mengatasi
pendarahan berlebih saat menstruasi
h. Jika Anda mengalami rasa sakit yang luar biasa saat sedang datang
bulan, dokter akan meresepkan obat-obatan seperti ibuprofen atau
acetaminophen.
i. Penggunaan obat aspirin sangat tidak disarankan karena justru dapat
memperparah aliran darah menstruasi. Anda juga dapat mencoba
mandi air hangat atau menggunakan kompres air hangat untuk
meringankan kram perut akibat menstruasi.
j. obat-obatan hormon seperti pil KB juga dapat memperlambat
pertumbuhan jaringan rahim, serta mengurangi volume darah yang
hilang selama menstruasi.
Pemberian suplemen zat besi (Barsom SH., et. al. 2004).

Prognosis Gangguan Menstruasi

1. Adanya permasalahan pada system reproduksi yang bisa menyebabkan


derajat kesehatan menurun. Misalnya suspect kanker serviks, kanker ahim
ataupun ovarium.
2. Darah yang tertinggal atau yang tidak luruh seluruhnya bias menyebabkan
adanya penyakit lain seperti kista ataupun tumor

249
AMENORHEA

1. Pengertian
Panjang siklus menstruasi pada umumnya adalah pada interval 22
– 35 hari (dari hari ke-1 menstruasi sampai pada permulaan periode
berikutnya); lama pada umumnya 3 5 hari atau 7 – 8 hari dan dengan
jumlah darah kurang dari 80 ml. Gangguan siklus haid disebabkan
ketidakseimbangan FSH atau LH sehingga kadar estrogen dan
progesteron tidak normal. Biasanya Gangguan ini bisa berkaitan dengan
siklus menstruasi yang tidak teratur, atau gangguan dengan jumlah darah
dan menstruasi yang lama atau abnormal serta akibat sampingan yang
ditimbulkannya seperti nyeri perut, pusing, mual, atau muntah
(Sarwono, 2007). Amenore adalah keadaan tidak datang haid untuk
sedikitnya 3 bulan berturut-turut.

2. Klasifikasi
Amenore Primer : Usia 18th atau lebih belum haid
Penyebab : Adanya kelainan congenital dan kelainan genetik. Kelainan
kongenita seperti Hymen imperforate, septum vagina,
Amenore Sekunder : penderita pernah pernah Haid, kemudian tidak
dapat haidlagi.
Penyebab : Gangguan gizi, gangguan metabolisme, tumor, penyakit
infeksi, hamil,masa laktasi, menopause
3. Etiologi
Amenore Primer :

 Kelainan kromosom
 Masalah hipotalamus
 Hipofisis
 Kurangnya organ reproduksi
 Struktural abnormal pada vagina
 Disebut Hymen imperforata, yaitu selaput dara tidak berlubang.
Sehingga darah menstruasi terhambat untuk keluar. Biasanya
keadaan ini diketahui bila cewek sudah waktunya mens tetapi

250
belum mendapatkannya. Dia mengeluh sakit perut setiap bulan.
Untuk mengatasi hal ini biasanya dioperasi untuk melubangi
selaput daranya.
Menstruasi anovulatoire, yaitu rangsangan hormon-hormon yang tidak
mencukupi untuk membentuk lapisan dinding rahim, hingga tidak terjadi haid
atau hanya sedikit. Kurangnya rangsangan hormon ini menyebabkan
endometrium tidak terbentuk dan keadaan ini menyebabkan cewek tidak
mengalami masa subur karena sel telur tidak terbentuk. Pengobatannya dengan
terapi hormon.

Gambar 1. Himen Imperforata

Penyebab Amenore Sekunder


 Kehamilan
 Kontrasepsi
 Menyusui
 Stres
 Obat-obatan
 Ketidakseimbangan hormone
 Berat badan rendah
 Olahraga berlebihan
 Kerusakan tiroid
 Masalah di jaringan rahim
 Ketidakcukupan ovarium primer.

251
Gambar. Contoh penyebab amenore sekunder
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang muncul diantaranya :
 Tidak terjadi haid
 Produksi hormone estrogen dan progesterone menurun.
 Nyeri kepala
 Badan lemah
Tanda dan gejala tergantung dari penyebabnya :
Jika penyebabnya adalah kegagalan mengalami pubertas, maka tidak akan
ditemukan tanda – tanda pubertas seperti pembesaran payudara, pertumbuhan
rambut kemaluan dan rambut ketiak serta perubahan bentuk tubuh. Jika
penyebanya adalah kehamilan, akan ditemukan morning sickness dan
pembesaran perut. Jika penyebabnya adalah kadar hormon tiroid yang tinggi
maka gejalanya adalah denyut jantung yang cepat, kecemasan, kulit yang hangat
dan lembab.
Sindroma Cushing menyebabkan wajah bulat ( moon face ), perut buncit, dan
lengan serta tungkai yang lurus.

Gejala lainnya yang mungkin ditemukan pada amenore :


 Sakit kepala

252
 Galaktore ( pembentukan air susu pada wanita yang tidak hamil dan
tidak sedangmenyusui )
 Gangguan penglihatan ( pada tumor hipofisa )
 Penurunan atau penambahan berat badan yang berarti Vagina yang
kering
 Hirsutisme ( pertumbuhan rambut yang berlebihan, yang mengikuti
pola pria ),perubahan suara dan perubahan ukuran payudara
Patofisologis
Tidak adanya uterus, baik itu sebagai kelainan atau sebagai bagian dari
sindrom hemaprodit seperti testicular feminization, adalah penyebab utama dari
amenore primer. Testicular feminization disebabkan oleh kelainan genetik.
Klien dengan aminore primer yang diakibatkan oleh testicular feminization
menganggap dan menyampaikan dirinya sebagai wanita yang normal, memiliki
tubuh feminin. Vagina kadang – kadang tidak ada atau mengalami kecacatan,
tapi biasanya terdapat vagina. Vagina tersebut berakhir sebagai kantong kosong
dan tidak terdapat uterus. Gonad, yang secara morfologi adalah testis berada di
kanal inguinalis. Keadaan seperti ini menyebabkan klien mengalami amenore
yang permanen.
Amenore primer juga dapat diakibatkan oleh kelainan pada aksis
hipotalamus-hipofisis- ovarium. Hypogonadotropic amenorrhoea menunjukkan
keadaan dimana terdapat sedikit sekali kadar FSH dan SH dalam serum.
Akibatnya, ketidakadekuatan hormon ini menyebabkan kegagalan stimulus
terhadap ovarium untuk melepaskan estrogen dan progesteron. Kegagalan
pembentukan estrogen dan progesteron akan menyebabkan tidak menebalnya
endometrium karena tidak ada yang merasang. Terjadilah amenore. Hal ini
adalah tipe keterlambatan pubertas karena disfungsi hipotalamus atau hipofosis
anterior, seperti adenoma pitiutari.
Hypergonadotropic amenorrhoea merupakan salah satu penyebab amenore
primer. Hypergonadotropic amenorrhoea adalah kondisi dimnana terdapat
kadar FSH dan LH yang cukup untuk menstimulasi ovarium tetapi ovarium
tidak mampu menghasilkan estrogen dan progesteron. Hal ini menandakan
bahwa ovarium atau gonad tidak berespon terhadap rangsangan FSH dan LH
dari hipofisis anterior. Disgenesis gonad atau prematur menopause adalah
penyebab yang mungkin. Pada tes kromosom seorang individu yang masih
muda dapat menunjukkan adanya hypergonadotropic amenorrhoea. Disgenesis
gonad menyebabkan seorang wanita tidak pernah mengalami menstrausi dan
tidak memiliki tanda seks sekunder. Hal ini dikarenakan gonad ( oavarium )
tidak berkembang dan hanya berbentuk kumpulan jaringan pengikat.
Amenore sekunder disebabkan oleh faktor lain di luar fungsi hipotalamus-
hipofosis- ovarium. Hal ini berarti bahwa aksis hipotalamus-hipofosis-ovarium

253
dapat bekerja secara fungsional. Amenore yang terjadi mungkin saja
disebabkan oleh adanya obstruksi terhadap aliran darah yang akan keluar
uterus, atau bisa juga karena adanya abnormalitas regulasi ovarium sperti
kelebihan androgen yang menyebabkan polycystic ovary syndrome.
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan amenora
Pemeriksaan fisik, pemeriksaan panggul maupun tes kehamilan harus dilakukan
untuk menjauhkan dari diagnosa kehamilan. Tes darah yang dapat dilakukan
untuk mengecek kadar hormon, antara lain:

 Follicle stimulating hormone (FSH).


 Luteinizing hormone (LH).
 Prolactin hormone (hormon prolaktin).
 Serum hormone (seperti kadar hormon testoteron).
 Thyroid stimulating hormone (TSH).
Tes lain yang dapat dilakukan, meliputi:
 Biopsi endometrium.
 Tes genetik.
 MRI.
 CT scan.
Penatalaksanaan
Pengelolaan pada klien ini tergantung dari penyebab. Bila penyebab adalah
kemungkinan genetic, prognosa kesembuhan buruk. Menurut beberapa
penelitian dapat dilakukan terapi sulih hormone, namun fertilitas belum tentu
dapat dipertahankan.
Pengobatan yang dilakukan sesuai dengan penyebab dari amenorrhea yang
dialami, apabila penyebabnya adalah obesitas maka diit dan olahraga adalah
terapinya, belajar untuk mengatasi stress dan menurukan aktivitas fisik yang
berlebih juga dapat membantu. Pembedahan atau insisi dilakukan pada wanita
yang mengalami Amenorrhea Primer.
Gangguan sistem Reproduksi

Erosi Porsio
Pengertian
Erosi Porsio dewasa ini telah sangat jarang sekali di pakai pada
sumber kepustakaan, yang dimaksudkan dengan istilah ini ialah adanya
di sekitar ostium uteri eksternum suatu daerah berwarna merah, kurang

254
lebih sirkuler. Kelainan ini bukan erosi dalam arti sebenarnya, dan
bukan akibat luka atau radang akan tetai epitel torak endoservik dengan
stroma vaskuler dibawahnya tumbuh sampai diluar ostium uteri
eksternum dengan mendesak epitel tatah yang normal ditemukan
ditempat tersebut. Anggapan sekarang ialah apa yang tampak sebagai
“erosi” sebenarnya ialah servisitis kronika. (Sarwono, 2009. Hal: 282).

Erosi serviks dapat menjadi tanda awal dari kanker serviks.


Penyakit ini dijumpai pada sebagian besar wanita yang pernah
melahirkan. Luka- luka kecil maupun besar pada serviks karena partus
atau abortus memudahkan masuknya kuman-kuman ke dalam
endoserviks dan kelenjar- kelenjarnya lalu menyebabkan infeksi
menahun. (Sarwono.2009.hal:281)

Etiologi Erosi Porsio


1. Keterpaparan suatu benda pada saat pemasangan AKDR. Pada saat
pemasangan alat kontrasepsi yang digunakan tidak steril yang dapat
menyebabkan infeksi. AKDR juga mengakibatkan bertambahnya volume
dan lama haid (darah merupakan media subur untuk berkembang biaknya
kuman) penyebab terjadi infeksi.

255
2. Infeksi pada masa reproduktif menyebabkan batas antara epitel canalis
cervicalis dan epitel portio berpindah, infeksi juga dapat memyebabkan
menipisnya epitel portio dan gampang terjadi erosi pada porsio (hubungan
seksual).
3. Pada masa reproduktif batas berpindah karena adanya infeksi (cervicitis,
kolpitis).
4. Rangsangan luar maka epitel gampang berapis banyak dan porsio mati dan
diganti dengan epitel silinderis canalis servikalis.
5. Level estrogen: erosi serviks merupakan respons terhadap sirkulasi estrogen
dalam tubuh.
- Dalam kehamilan: erosi serviks sangat umum ditemukan dalam
kehamilan karena level estrogen yang tinggi. Erosi serviks dapat
menyebabkan perdarahan minimal selama kehamilan, biasanya saat
berhubungan seksual ketika penis menyentuh serviks. Erosi akan
menghilang spontan 3-6 bulan setelah melahirkan.
- Pada wanita yang mengkonsumsi pil KB: erosi serviks lebih umum
terjadi pada wanita yang mengkonsumsi pil KB dengan level estrogen
yang tinggi.
- Pada bayi baru lahir: erosi serviks ditemukan pada 1/3 bayi wanita dan
akan menghilang pada masa anak-anak oleh karena respons maternal
saat bayi berada di dalam rahim.
- Wanita yang menjalani Hormon Replacement Therapy (HRT): karena
penggunaan estrogen pengganti dalam tubuh berupa pil, krim, dan lain-
lain.
(Sarwono.2009. hal: 134)

256
6. Infeksi: teori bahwa infeksi menjadi penyebab erosi serviks mulai
menghilang. Bukti-bukti menunjukkan bahwa infeksi tidak menyebabkan
erosi, tapi kondisi erosi akan lebih mudah terserang bakteri dan jamur
sehingga mudah terserang infeksi.
7. Penyebab lain: infeksi kronis di vagina dan kontrasepsi kimia dapat
mengubah level keasaman vagina dan menyebabkan erosi serviks. Erosi
serviks juga dapat disebabkan karena trauma (hubungan seksual,
penggunaan tampon, benda asing di vagina, atau terkena spekulum).

Patofisiologi Terjadinya Erosi Porsio


Proses terjadinya erosi portio dapat disebabkan
adanya rangsangan dari luar misalnya IUD. IUD
yang mengandung polyethilien yang sudah berkarat
membentuk ion Ca, kemudian bereaksi dengan ion
sel sehat PO4 sehingga terjadi denaturasi/koalugasi
membran sel dan terjadilah erosi portio.
Erosi pada akseptor KB IUD dapat terjadi
karena benang IUD, perekatan logam polyetilen dengan posisi IUD yang tidak
benar sehinggga mempermudah terjadinya pengelupasan sel superfisialis,
dimana sifat dasarnya mudah terkelupas. Apabila lapisan sel ini terkelupas, maka
terjadilah erosi portio yang akan terjadi kronis, jika tidak didapatkan penanganan
secara segera, karena pengelupasan sel superfisialis berakibat hilangnya sumber
makanan borderline sehingga tidak mampu memperoduksi asam laktak yang
menyebabkan pH vagina akan meningkat, naiknya pH vagina akan
mempermudah kuman pathogen tumbuh.
Pasicn dengan erosi portio pada umumnya datang pada satdium lanjut,
diamana didapatkan keluhan seperti keputihan disertai darah, keputihan yang
berbau, perdarahan berkelanjutan, dan disertai metastase dimana stadium
pengobatan ini tidak memuaskan. (Pranoto,H.Ibnu.2012.hal.272)
Dari semua kejadian erosi portio itu menyebabkan tumbuhnya bakteri
patogen, bila sampai kronis menyebabkan metastase keganasan leher rahim.

257
Selain dan personal hygiene yang kurang, IUD juga dapat menyebabkan
bertambahnya volume dan lama haid darah merupakan media subur untuk
masuknya kuman dan menyebabkan infeksi, dengan adanya infeksi dapat
masuknya kuman dan menyebabkan infeksi.
Dengan adanya infeksi dapat menyebabkan Epitel Portio menipis sehingga
mudah menggalami Erosi Portio, yang ditandai dengan sekret bercampur darah,
metorhagia, ostium uteri eksternum tampak kemerahan, sekret juga bercampur
dengan nanah, ditemukan ovulasi Nabothi (kista kecil berisi cairan yang kadang-
kadang keruh). (Sarwono.2009.Hal:281).
Tanda dan Gejala
1. Serviks kelihatan normal; hanya pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan
infiltrasi leukosit dalam stroma endoserviks. Pengeluaran sekret yang agak
putih-kekuningan
2. Disini pada porsio uteri disekitar ostium uteri eksternum tampak daerah
kemerah-merahan yang tidak dapat dipisahkan secara jelas dari epitel porsio
di sekitarnya., sekret yang dikeluarkan terdiri atas mucus bercampur nanah.
3. Sobekan pada serviks uteri disini lebih luas dan mukosa endoserviks lebih
kelihatan dari luar (ekstropion). Mukosa dalam keadaan demikian mudah
kena infeksi dari vagina. Karena radang menahun, serviks bisa menjadi
hipertrofis dan mengeras; sekret mukoporulen bertambah banyak.
4. Pada proses penyembuhan, Erosi porsio sering ditemukan ovula nobathii.
(Sarwono.2009. Hal 281)
Penanganan Erosi Porsio
Bidan menganjurkan pemeriksaan pasca persalinan (masa puerperium)
yaitu hari ke-42 (enam minggu) karena perlukaan serviks (portio uteri) setelah
persalinan dapat menjadi titik awal degenerasi ganas mulut rahim.
Mulut rahim yang luka perlu diobati dengan :
- Nitrasargenti tingtura
- Albuthyl tingtura  Menyebabkan nekrose Epitel silinderis dengan
harapan bahwa kemudian diganti dengan Epitel gepeng berlapis banyak.

258
- Dibakar dengan pisau listrik Termokauter komisasi
- Disamping itu juga dianjurkan untuk pemeriksaan Pap Smear.
(Manuaba.2010. Hal: 428)
Penyembuhan servisitis kronika sangat penting karena dapat
menghindari keganasan dan merupakan pintu masuk infeksi kea lat kelamin
bagian atas. (Manuaba.2009.Hal:63)
Ulkus Portio

Pengertian Ulkus Portio

Ulkus pada portio uteri merupakan perdarahan yang terjadi diluar haid
dengan penyebab kelainan hormonal atau kelainan organ genetalia.Perdarahan
terjadi dalam masa antara 2 haid.Perdarahan ini tampak terpisah dan dapat
dibedakan dari haid, atau 2 jenis pendarahan ini menjadi sebab-sebab
organik.Perdarahan dari uterus, tuba dan ovarium disebabkan oleh kelainan pada
serviks uteri, seperti polipus servisis uteri, erosi porsionis uteri, dan ulkus pada
porsio uteri, karsinoma servisis uteri.

Patologi

Proses terjadinya ulkus portio dapat disebabkan adanya rangsangan dari luar
misalnya IUD. IUD yang mengandung polyethilien yang sudah berkarat
membentuk ion Ca, kemudian bereaksi dengan ion sel sehat PO 4 sehingga terjadi
denaturasi / koalugasi membaran sel dan terjadilah erosi portio.
Bisa juga dari gesekan benang IUD yang menyebabkan iritasi lokal
sehingga menyebabkan sel superfisialis terkelupas dan terjadilah ulkus portio dan
akhir nya menjadi ulkus. Dari posisi IUD yang tidak tepat menyebabkan reaksi
radang non spesifik sehingga menimbulkan sekresi sekret vagina yang meningkat
dan menyebabkan kerentanan sel superfisialis dan terjadilah erosi portio.Dari
semua kejadian ulkus portio itu menyebabkan tumbuhnya bakteri patogen, bila
sampai kronis menyebabkan metastase keganasan leher rahim.
Schroder pada tahun 1915, setelah penelitian histopatologik pada uterus dan
ovarium pada waktu yang sama, menarik kesimpulan bahwa gangguan perdarahan

259
yang dinamakan metropatia hemoragika terjadi karena persistensi folikel yang tidak
pecah sehingga tidak terjadi ovulasi dan pembentukan korpus liteum. Akibatnya
terjadilah hyperplasia endometrium karena stimulasi estrogen yang berlebihan dan
terus menerus.Penjelasan ini masih dapat diterima untuk sebagian besar kasus-
kasus perdarahan disfungsional.
Pembagian endometrium dalam endometrium jenis non sekresi penting
artinya, karena dengan demikian dapat dibedakan perdarahan yang anovulatoar dari
yang uvoltoar, klasifikasi ini mempunyai nilai-nilai klinik karena kedua jenis
perdarahan disfungsional ini mempunyai dasar etiologi yang berlainan dan
memerlukan penanganan yang berbeda.Pada perdarahan disfungsional yang
ovulatoar, gangguan dianggap berasal dari faktor-faktor neuromuscular,
vasomotorik, atau hematoogik, yang mekanismenya belum seberapa di mengerti,
sedangkan perdarahan anovulatoar biasanya dianggap bersumber pada gangguan
endokrin. (Sarwono, 2005)

Gambaran klinik

Perdarahan ovulatoar

Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10% dari perdarahan disfungsional dengan
siklus pendek (polimenorea) atau panjang (oligomenorea), perdarahan ovulatoar
perlu dilakukan kerokan pada masa mendekati haid.Jika karena perdarahan yang
lama dan tidak teratur siklus haid tidak dikenali lagi. Perdarahan berasal dari
endometrium tipe sekresi tanpa adanya sebab organik, maka harus dipikirkan
sebagai etiologinya :

1. Korpus luteum persistens; dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang-


kadang bersamaan dengan ovarium membesar. Sindrom ini harus dibedakan
dari kehamilan ektopik.
2. Insifisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spooting,
menoragia atau polimenorea
3. Apopleksia uteri; pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya
pembuluh darah dalam uterus.

260
4. Kelainan darah; seperti anemia, purpura trombositopenik, dan gangguan
dalam mekanisme pembekuan darah.

Perdarahan anovulatoar

Stimulasi dengan estrogen menyebabkan tumbuhnya endometrium. Dengan


menurunnya kadar estrogen di bawah tingkat tertentu, timbul perdarahan yang
kadang-kadang bersifat siklis, kadang-kadang tidak teratur sama sekali. Fluktuasi
kadar estrogen ada sangkut pautnya dengan jumlah folikel yang pada suatu waktu
fungsional aktif.

Gangguan lain yang ada hubungannya dengan haid :

Premenstrual tension (Ketegangan prahaid)

Keluhan pre menstruasi terjadi sekitar beberapa hari sebelum bahkan sampai saat
menstruasi berlangsung.Gejala ini dijumpai pada wanita sekitar umur 30 sampai 45
tahun.Penyebab yang jelas tidak diketahui tetapi terdapat dugaan bahwa ketidak
seimbangan antara estrogen dan progesteron.Dikemukakan bahwa dominasi
"estrogen" merupakan penyebab dengan defisiensi fase luteal dan kekurangan
produksi progesteron.Akibat dominasi estrogen terjadi retensi air dan garam, dan
oedema pada beberapa tempat.

Gejala Pada Ulkus Portio

1. Adanya fluxus,
2. Portio terlihat kemerahan dengan batas yang tidak jelas,
3. Adanya kontak blooding,
4. Portio teraba tidak rata,
5. Pada perlukaan portio bisa tertutup cairan atau lendir,
6. Berwujud gumpalan- gumpalan seperti bunga kol,
7. Dapat dengan mudah berdarah atau tidak.
8. Sekret bercampur darah setelah bersenggama
9. Dapat menimbulkan pendarahan kontak atau metorarhagia.

261
10. Portio uterus disekitar ostium uteri eksternum tampah daerah kemerah-
merahan yang sulit dipisahkan secara jelas dan Epitel Portio.
11. Sekret juga tidak dapat bercampur dengan nanah
12. Pada ulkus sering di ketemukan ovula nobathii

Gejala kliniknya dalam bentuk :

1. Gangguan emosional- mudah tersinggung


2. Sukar tidur, gelisah, sakit kepala
3. Perut kembung, mual sampai muntah
4. Payudara terasa tegang dan sakit
5. Pada kasus yang lebih berat sering merasa tertekan

Penanganan

Pengeluaran darah pada perdarahan disfungsional sangat banyak, dalam hal


ini penderita harus istirahat baring dan diberi transfuse darah. Setelah pemeriksaan
ginekologik menunjukan bahwa perdarahan berasal dari uterus dan tidak ada
abortus incomplete, perdarahan untuk sementara waktu dapat dipengaruhi dengan
hormon steroid. Dapat diberikan :

a. Estrogen dalam dosis tinggi, supaya kadarnya dalam darah meningkat dan
perdarahan berhenti. Dapat diberikan secara intramuskulus dipriopionas
estradiol 2,5 mg, atau benzoas estradiol 1,5 mg, atau valeras estradiol 20
mg. keberatan terapi ini adalah bahwa setelah suntikan dihentikan,
perdarahan timbul lagi.
b. Progesteron: pertimbangan disini adalah bahwa sebagian besar perdarahan
fungsional bersifat anovulatoar, sehingga pemberian progesterone
mengimbangan pengaruh estrogen terhadap endometrium. Dapat diberikan
kaproas hidrokksi-progesteron 125 mg, secara intramuscular, atau dapat
diberikan per os sehari norethondrone 15 mg atau asetas medroksi-
progesteron (Provera) 10 mg, yang dapat diulangi. Terapi ini berguna pada
wanita dalam masa pubertas.

262
Dalam menghadapi masalah ulkus portio, bidan sebaiknya berkonsultasi ke
puskesmas, dokter ahli, atau rumah sakit untuk mendapatkan penanganan yang
lebih sempurna.Kepada wanita diberikan KIE untuk siap melakukan pemeriksaan
lebih lanjut.

Manajemen 7 Langkah Varney

Penerapan 7 langkah varney yang memberikan asuhan kebidanan pada klien dengan
ulkus pada portio.

I. Pengumpulan Data

Mengumpulkan data subyektif dan data obyektif berupa data fokus yang di
butuhkan untuk menilai keadaan ibu sesuai kondisinya menggunakan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.

Jenis data yang dikumpulkan :

A. Data Subyektif

1) Biodata ibu dan suami

a. Nama ibu
Untuk mengetahui siapa yang akan kita beri asuhan dan lebih mudah untuk
berkomunikasi.
b. Nama suami
Untuk mengetahui siapa penanggung jawab saat pemberian asuhan
c. Umur ibu
Untuk mengetahui faktor resiko yang menyebabkan terjadinya perdarahan
di luar haid karena ulkus pada portio.
d. Agama ibu dan suami
Untuk mengetahui apakah ada kepercayaan dalam agamanya sehubungan
dengan perdarahan di luar haid karena ulkus pada portio.
e. Suku bangsa ibu
Untuk mengetahui dari mana asal ibu berkaitan dengan bahasa yang
digunakan untuk berkomunikasi dan kebiasaan-kebiasaan yang dianut

263
f. Pendidikan ibu dan suami
Untuk mengetahui tingkat pengetahuaan ibu dan suami sehingga
memudahkan dalam pemberiaan informasi dan konseling.
g. Pekerjaan ibu dan suami
Untuk mengetahui tingkat aktivitas yang dilakukan oleh ibu dan suami dan
pengaruhnya terhadap ekonomi keluarga sehingga memudahkan dalam
penanganan perdarahan di luar haid karena ulkus pada portio yang sesuai
dengan keadaan ekonomi keluarga ibu.
h. Alamat ibu dan suami
Untuk mengetahui tempat tinggal ibu dan suami serta lingkungan disekitar
tempat tinggal ibu.
i. No tlp/hp ibu dan suami
Untuk memudahkan berkomunikasi sewaktu-waktu bila ada masalah.
j. Golongan darah
Untuk mengantisipasi bila sewaktu-waktu terjadi sesuatu masalah yang
memerlukan donor.

2) Alasan datang

Untuk mengetahui keluhan yang dirasakan ibu yang dapat menunjang


diagnosa perdarahan diluar haid karena ulkus pada portio.Pasien dengan ulkus pada
portio pada umumnya datang pada stadium lanjut, dimana didapatkan keluhan
seperti keputihan disertai darah, keputihan yang berbau, perdarahan berkelanjutan,
dan disertai metastase dimana stadium pengobatan ini tidak memuaskan.

3) Riwayat menstruasi

Untuk mengetahui kapan pasien menarche, apakah siklus menstruasi ibu


teratur atau tidak, mengetahui lama haid dan banyaknya pengeluaran darah saat
haid, serta apakah ibu pernah mengalami dismenorhea atau tidak.

264
4) Riwayat perkawinan

Untuk mengetahui berapa kali ibu menikah, lama perkawinan, umur ibu saat
menikah serta apakah ibu sudah mempunyai anak atau belum.

5) Riwayat obstetri terdahulu

Untuk mengetahui jumlah anak yang dimiliki, umur kehamilan saat lahir,
apakah ada penyulit saat hamil, tempat bersalin, penolong persalinan, berat badan
bayi saat lahir jenis kelamin anak, jenis persalinan, apakah ada penyulit saat nifas,
keadaan anak sekarang serta umur anak sekarang.

6) Riwayat KB

Untuk mengetahui alat kontrasepsi apa saja yang pernah digunakan ibu
sehingga dapat mengetahui apakah perdarahan diluar haid karena ulkus pada portio
disebabkan oleh karena penggunaan alat kontrasepsi. Ulkus pada portio dapat
terjadi pada pengguna IUD.

7) Riwayat ginekologi

Untuk mengetahui apakah ibu pernah atau sedang mengalami masalah dengan
organ reproduksinya serta sejak kapan masalah dirasakan.Riwayat penyakit /
kelainan gynecology serta pengobatannya dapat memberikan keterangan penting,
terutama operasi yang pernah dialami. Apabila penderita pernah diperiksa oleh
dokter lain tanyakan juga hasil-hasil pemeriksaan dan pendapat dokter itu.

8) Riwayat penyakit ibu

Untuk mengetahui penyakit-penyakit yang pernah diderita ibu, apakah ibu


mempunyai riwayat penyakit tertentu terutama yang berhubungan dengan alat
reproduksi seperti infeksi, keputihan berbau dan gatal.Dalam hal ini perlu
ditanyakan apakah penderita pernah menderita penyakit berat, penyakit TBC,
penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit darah, DM, dan penyakit jiwa.

9) Riwayat penyakit keluarga

265
Riwayat penyakit keluarga perlu diketahui apakah pernah menderita tumor alat
kandungan/tidak ataupun tumor di luar alat kandungan.

10) Riwayat bio-psiko-sosial-spiritual

a) Biologis

1. Bernafas
Untuk mengetahui apakah ibu ada keluhan saat bernafas atau tidak.
2. Pola nutrisi
Untuk mengetahui status gizi ibu dan riwayat nutrisinya, pola nutrisi, jenis
dan porsi makan ibu.
3. Eliminasi
Untuk mengetahui apakah ada keluhan atau masalah dengan pola BAK
maupun BAB.
4. Istirahat dan tidur
Untuk mengetahui adakah gangguan pada pola tidur dan istirahat akibat
keluhan yang dialami.
5. Aktifitas sehari-hari
Untuk mengetahui aktifitas ibu sehari-hari, apakah ada keluhan saat
beraktivitas.
6. Personal hygiene
Untuk mengetahui bagaimana personal hygiene ibu apakah sudah
menerapkan hygiene yang benar atau belum.Seperti selalu mengganti celana
dalam setiap harinya dan tidak membiarkan pemakaian celana dalam yang
lembab dikarenakan dapat mengundang kuman pathogen.Oleh karena itu
kebersihan alat kelamin harus dijaga.

b) Psikologi

Untuk mengkaji psikologis klien sehubungan dengan keluhan yang dirasakan.

266
c) Sosial

Untuk mengetahui interaksi ibu dengan masyarakat dilingkungan yang dirasakan


pandangan masyarakat terhadap kondisi ibu dan ada tidaknya kebiasaan yang
merugikan kesehatan, serta mengetahui bagaimana pengambilan keputusan dalam
keluarga.

d) Spiritual

Untuk mengetahui bagaimana kebiasaan ibu dalam mendekatkan diri kepada tuhan
serta kepercayaan yang dianut yang berkaitan dengan kesehatan.

11) Pengetahuan

Untuk mengkaji pengetahuan ibu tentang hal-hal yang berkaitan dengan keluhan
yang dirasakan, penyebab ibu mengalami keluhan yang dirasakan, serta
pengetahuan ibu tentang cara mengatasi keluhannya.

B. Data obyektif

1) Pemeriksaan umum

a) Keadaan umum

Untuk mengetahui keadaan umum ibu, sejauh mana keluhan yang dirasakan ibu,
mempengaruhi kondisi kesehatan ibu secara umum.

b) Berat badan dan tinggi badan

Untuk mengetahui pertambahan BB ibu,dan mengetahui TB ibu.

c) TTV

Untuk mengetahui keadaan tekanan darah, suhu, nadi, respirasi sehubungan dengan
keluhan yang dirasakan ibu

2) Pemeriksaan sistematis dan ginekologi

a) Kepala dan leher

Kepala : Untuk mengetahui bagaimana kebersihan dan struktur rambut

267
Muka : Untuk mengamati pada muka apakah ada oedema / pucat

Mata : Untuk mengetahui bagaimana warna konjungtiva dan sklera

Mulut : Untuk mengetahui bagaimana keadaan mulut apakah


lembab/kering,

kemerahan/pucat

Leher : Untuk mengetahui apakah ada pembesaran kelenjar limfe,


pembesaran kelenjar tiroid maupun pembesaran vena jugularis

b) Payudara

Pemeriksaan payudara mempunyai arti penting bagi penderita wanita terutama


dalam hubungan dengan diagnostik kelainan endokrin

c) Abdomen

Untuk mengetahui apakah ada luka bekas operasi, apakah ada pembesaran perut
abnormal.

d) Anogenital

1. Inspeksi vulva – Pengeluaran cairan atau darah dari liang senggama, ada
perlukaan pada vulva, adakah pertumbuhan kondiloma akuminata, kista
bartholini, abses bartholini maupun fibroma pada labia, perhatikan bentuk
dan warna, adakah kelainan pada rerineum dan anus. b) Palpasi vulva –
Teraba tumor, benjolan maupun pembengkakan pada kelenjar bartholini.
2. Pemeriksaan Inspekulo, terdiri dari : a) Pemeriksaan vagina – Adakah ulkus,
pembengkakan atau cairan dalam vagina; adakah benjolan pada vagina. b)
Pemeriksaan porsio uteri – Adakah perlukaan, apakah tertutup oleh cairan/
lendir, apakah mudah berdarah dan terdapat kelainan. c) Pengambilan cairan
berasal dari ulkus vagina dan porsio uteri – Pemeriksaan bakteriologis,
pemeriksaan jamur dan pemeriksaan sitologi.
3. Pemeriksaan Dalam – Pemeriksaan dalam untuk menentukan : a) Rahim –
Bagaimana posisi rahim, besar, pergerakan, dan konsistensi rahim, apakah

268
ada nyeri saat pemeriksaan. b) Adneksa (daerah kanan kiri rahim) –
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggerakkan jari yang berada didalam
fornix lateral dan tangan yang ada diluar bergerak ke samping uterus. c)
Forniks posterior (kavum douglas) – Pemeriksaan ini untuk mengetahui
apakah terdapat nanah (infeksi) dan apakah forniks menonjol akibat
perdarahan kavum abdominalis.

e) Ekstremitas atas bawah

Untuk mengetahui apakah ada oedema, sianosis, pada kaki dan tangan, serta
keadaan kuku apakah kemerahan ataukah pucat.

3) Pemeriksaan penunjang

a) Pemeriksaan Swab vagina

Dapat dilakukan pemeriksaan cairan vagina untuk mengetahui penyebab dari


perdarahan karena ulkus pada portio tersebut.

1. Interpretasi data dasar, masalah dan kebutuhan

Untuk merumuskan diagnosa berdasarkan dari pengumpulan data yang diperoleh


dari klien langsung atau dari keluarga, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang.Selain itu bertujuan untuk menentukan masalah yang dihadapi klien
serta segala sesuatu yang dibutuhkan klien tanpa klien sadari atau klien butuhkan.Di
sini kita menentukan diagnosa aktual, masalah, dan kebutuhan.

a. Jika dari hasil pemeriksaan, perdarahan diluar haid karena ulkus pada portio
belum dapat ditentukan secara pasti :

Diagnosa : Wanita umur …..th dengan ……… (ulkus portio)

Masalah : cemas, keputihan, bercak-bercak darah yang belum diketahui


asalnya, nyeri abdomen, perih pada vagina.

Kebutuhan : istirahat, personal hygiene, nutrisi, dukungan psikologis, informasi


tentang penyakit yang diderita

269
2. Identifikasi diagnosa dan masalah potensial

Diagnosa potensial : dapat terjadi Ca serviks

3. Identifikasi akan tindakan segera, konsultasi, kolaborasi dan rujukan

Mengidentifikasi berdasarkan diagnosa apakah kondisi klien memerlukan


tindakan segera, konsultasi, kolaborasi maupun rujukan. Tindakan segera yang
diperlukan biasanya seperti pemberian infuse apabila ibu mengalami perdarahan
yang berat guna mencegah ibu mengalami syok hipovolemik dan pemberian
analgetik untuk mencegah terjadinya syok neurogenik. Selain itu konsultasi dan
kolaborasi dengan dokter Sp.OG diperlukan guna membantu dalam pengambilan
keputusan yang terbaik untuk ibu. Apabila kasus ditemukan BPS, Puskesmas, Pustu
dan sarana pelayanan kesehatan lain yang tidak memiliki fasilitas yang memadai
harus dilakukan rujukan ke fasilitas yang lebih memadai.

4. Perencanaan

Untuk mengetahui apa saja yang harus direncanakan berdasarkan diagnosa masalah
dan kebutuhan klien.

Pada perdarahan diluar haid karena ulkus pada portio perencanaan yang bisa dibuat
antara lain:

a. Jelaskan tentang hasil pemeriksaan kepada ibu dan pendamping

Rasionalisasi : ibu dan suami harus tahu hasil dari pemeriksaan yang dilakukan
karena hasil pemeriksaan meliputi keadaan ibu yang akan memberikan ketenangan
dan rasa nyaman yang nantinya akan mempengaruhi psikologis ibu dan merupakan
salah satu hak klien yang harus dipenuhi.

b. Berikan pengobatan ulkus pada portio dengan menggunakan yodium saat


pemeriksaan speculum.

Rasionalisasi : yodium dapat membantu meringankan infeksi dan rasa nyeri yang
ibu rasakan pada vaginanya.

270
c. Beri KIE tentang penyebab keluhan yang dialami dan kemungkinan tindakan
yang akan dilakukan untuk menangani keluhan.

Rasionalisasi : Dengan KIE ibu dapat mengetahui penyebab keluhan yang dialami
dan kemungkinan tindakan yang akan dilakukan guna menangani keluhan ibu
sehingga ibu dan keluarga dapat mempersiapkan diri dan segala sesuatu yang
mungkin diperlukan untuk membantu menangani keluhan ibu.

d. Berikan dukungan moral/support mental kepada ibu dan libatkan pendamping.

Rasionalisasi : Diperlukan support mental untuk membantu ibu dalam menghadapi


penyakit yang diderita serta diperlukan pula peran pendamping.

e. Anjurkan dan motivasi ibu untuk menjaga personal hygiene khususnya hygiene
pada daerah genital

Rasionalisasi : Infeksi dan jamur. Oleh karena itu kebersihan alat kelamin harus
dijaga.

f. Lakukan konsultasi dan kolaborasi dengan dokter Sp.OG

Rasionalisasi : Apabila kasus ditemukan bidan di rumah sakit tempat ia bertugas


bidan perlu melakukan konsultasi dan kolaborasi dengan dokter Sp.OG untuk dapat
mengambil keputusan yang benar-benar tepat bagi klien.

g. Lakukan rujukan ke pelayanan kesehatan yang lebih memadai

Rasionalisasi : Apabila kasus ditemukan di BPS, Puskesmas maupun Puskesmas


Pembantu penanganan lebih lanjut dari mioma uteri ini akan didapatkan di fasilitas
yang lebih memadai seperti di rumah sakit.

5. Pelaksanaan

Untuk melaksanakan perumusan perencanaan yang telah dibuat mengacu pada


diagnosa, masalah dan kebutuhan yang sesuai dengan kondisi klien saat diberikan
asuhan.

6. Evaluasi

271
Untuk mengetahui hasil dari asuhan yang telah diberikan kepada klien yang
mengacu pada pemecahan masalah dan perbaiki kondisi ibu evaluasi disesuaikan
dengan pelaksanaan yang dilaksanakan.

Servisitis

1. Definisi Servisitis
Servisitis adalah infeksi pada serviks uteri. Infeksi serviks sering terjadi
karena luka kecil bekas persalinan yang tidak dirawat dan infeksi karena
hubungan seksual.
Servisitis adalah infeksi pada mulut rahim. Servisitis yang akut sering di
jumpai pada infeksi hubungan seksual sedangkan yang bersifat menahun di
jumpai pada sebagian besar wanita yang pernah melahirkan. Servisitis adalah
radang dari selaput lender canalis cervixalis.
Servisitis/ Endoservisitis adalah inflamasi mukosa dan kelenjar serviks
yang dapat terjadi ketika organism mencapai akses ke kelenjar servikal
setelah berhubungan seksual, aborsi, manipulasi intrauterine, atau persalinan.
2. Jenis Jenis Servisitis
a. Servisitis spesifik Servisitis spesifik merupakan radang pada serviks yang
di sebabkan oleh kuman yang tergolong penyakit akibat hubungan seksual,
beberapa kuman pathogen tersebut antara lain, Chlamydia trachomatis,
Ureaplasma urealytikum, Trichomonas vaginalis, Spesies Candida,
Neisseria gonorrhoeae, herpes 13 14 simpleks II (genitalis), dan salah satu
tipe HPV, di antara pathogen tersebut Clamydia trachomatis adalah yang
tersering dan merupakan penyebab pada hamper 40% kasus servisitis yang
di temukan di klinik menular seksual sehingga jauh lebih sering dari pada
gonorrhea. Infeksi servik oleh Herpes perlu di perhatikan karena
organisme ini dapat di tularkan pada bayi saat persalinan melalui jalan
lahir yang kadang-kadang menyebabkan infeksi Herpes sistematik serius
yang mungkin fatal.
b. Servisitis non-spesifik Servisitis non-spesifik relative lebih banyak di
jumpai karena kuman yang ringan sering di temukan sampai derajat

272
tertentu pada hamper setiap multipara. Walaupun juga sering di ketahui
bersamaan dengan beberapa organism termasuk bentuk koli (coli-form),
bakteroides, streptokokus, dan stafilokokus, namun pathogenesis radang
tersebut masih belum di ketahui dengan jelas. Beberapa pengaruh
predisposisi servisitis non-spesifik antara lain : trauma pada waktu
melahirkan, pemakaian alat pada prosedur ginekologi, hiperestrinisme,
hipoestrinisme, sekresi berlebihan kelenjar endoserfiks, alkalinisasi mucus
serviks, eversi congenital mukosa endoserviks. Servisitis non-spesifik
dapat bersifat akut ataupun kronik, namun sebelumnya perlu di singkirkan
kemungkinan infeksi gonokokus yang menyebabkan bentuk spesifik dari
penyakit akut.
1) Servisitis akut non-spesifik Servisitis ini relative jarang, sebenarnya
terbatas pada wanita pasca melahirkan dan biasanya di sebabkan
oleh stafilokokus dan streptokokus. Infiltrasi peradangan akut
sebagian besar cenderung terbatas pada mukosa superficial dari
endoserviks dan kelenjar endoserviks (endoservisitis) yang di sertai
pembengkakan serviks dan kemerahan pada mukosa endoserviks.
2) Servisitis kronik non-spesifik Servisitis kronik non-spesifik
mungkin akan mengenai paling sedikit 50% wanita pada satu saat
hidupnya. Servisitis kronik biasanya di temukan pada pemeriksaan
rutin atau karena adanya leokorea yang parah, bila keluhanya parah
diferensiasi dengan karsinoma biasanya sukar, walau dengan
kolposkopi maupun biopsy.
3. Etiologi

Servisitis sering disebabkan oleh infeksi melalui aktivitas seksual,

infeksi menular seksual yang dapat menyebabkan servisitis anatara lain :

273
a. Clamydia trachomatis

Merupakan penyebab penyakit menular seksual yang paling

sering, terutama pada usia muda dan remaja. Pada 16 tahun 2000 di

Amerika, di laporkan sebanyak 702.093 penderita terinfeksi

clamydia.

Clamydia trachomatis termasuk pathogen spesifik yang telah

menggantikan gonokokus sebagai penyebab utama radang serviko-

vaginal.

b. Gonorrhea

Gonorrhea lebih popular di masyarakat dengan sebutan

kencing nanah atau GO, yang di sebabkan oleh kuman Neisseria

gonorrhea. Kuman ini menyerang pada selaput lender antara lain

vagina, saluran kencing, dan daerah serviks.

c. Herpes simpleks II (genitalis)

Herpes simpleks II ( herpes genitalis) biasanya menginfeksi

daerah di bawah pinggang. Gejala awal yang muncul di dahului

dengan hilangnya rasa raba, di ikuti dengan pembentukan vesikel

yang terdapat pada vulva, vagina, dan serviks.

d. Human Papiloma Virus (HPV-kutil)

Human papiloma virus (HPV) merupakan infeksi yang

terjadi karena hubungan seksual, dengan pemeriksaan DNA

274
hibridasinya hanya 30 % yang menunjukkan manifestasi klinik,

sedangkan 70 % bersifat menahun tanpa gejala klinik.

Predisposisi infeksi virus ini antara lain : diabetes mellitus,

kehamilan dan perlukaan khususnya pada serviks. Gejalanya dapat

bervariasi, dari kutil kecil sampai sangat besar dan dengan tempat

yang bervariasi pula, yaitu vulva, vagina, 17 perineum dan sekitar

anus serta pada serviks. HPV ini juga dpat menginfeksi serviks.

e. Trichomoniasis

Trichomoniasis merupakan penyebab kasus servisitis yang

lebih sering di temukan di banding gonorrhea di klinik penyakit

menular seksual

Beberapa kasus servisitis di sebabkan oleh :

1). Penggunaan

kondom wanita Kondom wanita merupakan alat kontrasepsi

yang terbentuk seperti balon atau kantong yang terbuat dari lateks

tipis atau polyurethane / nitril dan di pasang dengan memasukannya

kedalam vagina. Tujuan pemakaian kondom wanita tidak terlepas

dari dua hal yaitu mencegah sperma masuk ke vagina dan

melindungi dari penyakit menular seksual, selain manfaat tersebut

alat kontrasepsi ini memiliki efek samping yaitu menyebabkan

iritasi vagina, sehingga memudahkan terjadinya infeksi.

2). Penyangga uterus (pessarium)

275
Penyangga uterus (pessarium) adalah alat yang di gunakan

untuk terapi pada kasus prolapsus uteri. Prinsip pemakaian

penyangga uterus (pessarium) ialah dengan mengadakan tekanan

pada dinding vagina bagian atas, sehingga bagian dari vagina 18

tersebut beserta uterus tidak dapat turun dan melewati vagina bagian

bawah. Penyangga uterus (pessarium) dapat dipakai selama

beberapa tahun, asal saja penderita diawasi secara teratur.

Penyangga uterus (pessarium) dibersihkan dan disucihamakan,

kemudian dipasang kembali. Periksa ulang sebaiknya dilakukan 2-3

bulan sekali, vagina diperiksa dengan speculum untuk mengetahui

dan mencegah perlukaan akibat pemakaian pessarium.

3). Alergi spermatisid pada kondom pria

Spermatisid adalah alat kontrasepsi berupa zat pembunuh

sperma sebelum sperma masuk kedalam uterus dan membuahi sel

telur, spermatisid biasanya digunakan oleh wanita, namun paling

sering dikombinasikan dengan metode lain misalnya cup atau

kondom pria. Beberapa wanita biasanya timbul efek samping berupa

alergi pada pemakaian spermatisid, alergi ini dalam bentuk iritasi

atau bias berkembang menjadi infeksi saluran kencing.

Perpaduan spermatisid dan pelumas yang sering digunakan

dengan kondom dapat memicu beberapa alergi intim, gejalanya

termasuk reaksi local, yaitu gatal, rasa sakit, bengkak, dan rasa

terbakar.

276
4). Paparan terhadap bahan kimia

Ekosistem vagina adalah lingkaran kehidupan yang da di

vagina, ekosistem ini di pengaruhi oleh dua factor utama yaitu

estrogen dan laktobasilus, jika keseimbangan ini terganggu, bakteri

laktobasilus akan mati dan bakteri pathogen akan tumbuh sehingga

tubuh akan rentan terhadap infeksi.

Banyak factor yang menyebabkan ketidakseimbangan

ekosistem vagina antara lain : kontrasepsi oral, diabetes mellitus,

pemakaian antibiotic, darah haid, cairan sperma, pembersihan dan

pencucian vagina (vaginal douching), dan gangguan hormone yaitu

pada masa pubertas, menapouse, dan kehamilan.

Servisitis sering terjadi dan mengenai hampir 50% wanita

dewasa dengan faktor resiko : perilaku seksual bebas resiko tinggi,

riwayat IMS, memiliki pasangan seksual lebih dari satu, aktivitas

seksual pada usia dini, serta pasangan seksual dengan kemungkinan

menderita IMS.

4. Patofisiologi

Peradangan terjadi pada serviks akibat kuman pathogen aerob dan

anaerob, peradangan ini terjadi karena luka bekas 20 persalinan yang tidak

di rawat serta infeksi karena hubungan seksual. Proses peradangan

melibatkan epitel serviks dan stoma yang mendasarinya. Inflamasi serviks

ini bisa menjadi akut atau kronik.

277
Masuknya infeksi dapat terjadi melalui perlukaan yang menjadi pintu masuk

saluran genetalia, yng terjadi pada waktu persalinan atau tindakan medis

yang menimbulkan perlukaan, atau terjadi karena hubungan seksual.

Selama perkembanganya, epitel silindris penghasil mucus di

endoserviks bertemu dengan epitel gepeng yang melapisi ektoserviks os

eksternal, oleh karena itu keseluruhan serviks yang terpajan dilapisi oleh

epitel gepeng. Epitel silindris tidak tampak dengan mata telanjang atau

secara koloposkopis. Seiring dengan waktu, pada sebagian besar wanita

terjadi pertumbuhan ke bawah, epitel silindris mengalami ektropion,

sehingga tautan skuamokolumnar menjadi terletak dibawah eksoserviks dan

mungkin epitel yang terpajan ini mengalami “Erosi” meskipun pada

kenyataannya hal ini bias terjadi secara normal pada wanita dewasa.

Remodeling ini bisa terus berlanjut dengan regenerasi epitel gepeng

dan silindirs sehingga membentuk zona transformasi. Pertumbuhan

berlebihan epitel gepeng sering menyumbat orifisium kelenjar endoserviks

di zona transformasi dan menyebabkan terbentuknya kista nabothian kecil

yang dilapisi epitel silindirs penghasil mucus. Di zona transformasi

mungkin terjadi infiltrasi akibat peradangan banal ringan yang mungkin

terjadi akibat perubahan pH vagina atau adanya mikroflora vagina.

5. Tanda dan Gejala Penyakit

a. Keluarnya pascakoitus. bercak darah/ perdarahan, perdarahan

b. Leukorea (keputihan)

c. Serviks kemerahan.(pemeriksaan lebih lanjut)

278
d. Sakit pinggang bagian sacral.

e. Nyeri abdomen bawah.

f. Gatal pada area kemaluan.

g. Sering terjadi pada usia muda dan seseorang yang aktif dalam

berhubungan seksual.

h. Gangguan perkemihan (disuria) dan gangguan menstruasi.

i. Pada servisitis kronik biasanya akan terjadi erosi, suatu keadaan yang

ditandai oleh hilangnya lapisan superficial epitel skuamosa dan

pertumbuhan berlebihan jaringan endoserviks.

6. Diagnosis

Diagnosis servisitis dapat ditegakkan dengan beberapa pemeriksaan, yaitu:

a. Pemeriksaan dengan speculum

1) Pada pemeriksaan inspekulo kadang-kadang dapat dilihat

keputihan yang purulen keluar dari kanalis servikalis. Kalau portio

normal tidak ada ektropion, maka harus diingat kemungkinan

gonorroe.

2) Sering menimbulkan erusio (Erythroplaki) pada portio yang

tampak seperti daerah merah menyala.

3) Pada servisitis kronik kadang dapat dilihat bintik putih dalam

daerah selaput lender yang merah karena infeksi. Bintik-bintik ini

disebabkan oleh ovulonobothi dan akibat retensi kelenjar-kelenjar

serviks karena saluran keluarga tertutup oleh pengisutan dari luka

serviks atau kerena peradangan.

279
b. Sediaan hapus untuk biakan dan tes kepekaan.

c. Pap smear

d. Biakan clamydia Biopsy

Beberapa gambaran patologi dapat ditemukan :

a. Serviks kelihatan normal, hanya pada pemeriksaan mikroskopis

ditemukan infiltrasi leukosit dalam stroma endoserviks.

Servisitis ini menimbulkan gejala, kecuali pengeluaran secret

yang agak putih kuning.

b. Porsio uteri disekitar ostium uteri eksternum, tampak daerah

kemerah-merahan yang tidak dipisahkan secara jelas dari epitel

porsio disekitarnya, secret yang dikeluarkan terdiri atas mucus

bercampur nanah.

c. Sobeknya serviks uteri disini lebih luas dan mukosa endosrviks

lebih kelihatan dari luar (ektropion), dalam keadaan demikian

mukosa mudah terkena infeksi dari vagina. Serviks bisa menjadi

hipertropis dan mengeras, secret mukopurulenbertambah

banyak, bila terjadi radang menahun.

7. Diagnosis banding

Proses awal neoplastik, lesi primer sifilis, chancroid, tuberculosis,

Granuloma inguinale. Servisitis yang berat dapat menyebabkan infertilitas

melalui deformitas dan penutupan serviks oleh eksudat yang secara

bersamaan menimbulkan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi

280
sperma. Terapi pada servistis yang tidak adekuat juga dapat mengakibatkan

penyakit radang panggul.

8. Pengobatan Penyakit

Pemberian antibiotik terutama bila ditemukan gonococcus dalam

secret. Servisitis non-spesifik dapat diobati dengan rendaman dalam

Albothyl dan irigasi, namun jika servisitis tidak segera sembuh dilakukan

tindakan opertif dengan melakukan konisasi,dan jika sebabnya ektropion

dapat dilakukan amputasi.Erosion dapat disembuhkan dengan obat keras

seperti Albothyl yang menyebabkan nekrosis epitel silindris dengan harapan

bahwa kemudian diganti dengan epitel gepeng berlapis banyak, namun jika

radang sudah menjadi servisitis kronik pengobatanya lebih baik dilakukan

dengan jalan kauterisasi-radial dengan termokauter atau dengan krioterpi.

9. Pencegahan Penyakit

a. Jagalah kebersihan pribadi (personal hygine)

b. Setelah buang air besar keringkan genitalia eksternal dan perenium

secara menyeluruh. Bersihkan dari arah depan ke belakang setelah

berkemih dan defekasi.

c. Ganti pembalut setiap 1-4 jam setiap hari

d. Kenali pasangan seksual (riwayat menderita PMS/infeksi genetalia)

281
Endometritis

1. Definisi

Endometritis adalah peradangan pada endometrium, yaitu bagian internal

membran mucus pada uterus, yang diakibatkan oleh infeksi bakteri. Biasanya

infeksi bakteri tersebut diperoleh via vagina saat kopulasi ataupun pada saat partus

(Ball dan Peters, 2004).

2. Etiologi

Infeksi bakteri merupakan salah satu penyebab kejadian endometritis.

Bakteri yang bisa menyebabkan endometritis antara lain adalah Staphylococcus sp.,

Streptococcus sp., Klebsiela sp., Bacillus sp., Alkaligenes fecalis, Campylobacter

fetus, Trichomonas fetus, Corynebacterium pyogenes, Escherichia coli, dan

Fusobacterium necrophorum. Endometritis biasanya merupakan lanjutan dari

distokia dan/atau retensio placenta dan mungkin berhubungan dengan penurunan

tingkat involusi uteri pada waktu post partum. Hal ini biasanya berkaitan dengan

terjadinya persisten korpus luteum, karena mengarah pada kondisi self-

perpetuating, dimana tidak ada estrus untuk membantu membersihkan uterus.

Selain itu, pelaksanaan inseminasi buatan (IB) yang tidak memperhatikan

kebersihan juga sangat beresiko menjadi penyebab terjadinya endometritis (Ball

dan Peters, 2004). Menurut data dari Dirjennak (2008), tingkat kejadian

endometritis di Indonesia cukup tinggi yaitu sekitar 20 – 40%. Sebagian besar kasus

terdeteksi bergantung variasi faktor eksternal dan internal saat dilakukan metode

diagnosa.

282
3. Gejala Klinis

Endometritis dapat menyebabkan infertilitas yaitu berupa matinya embrio

karena infeksi bakteri, terjadinya kegagaan implantasi embrio pada uterus, dan

abortus. Endometritis menyebabkan penurunan kesuburan, memperpanjang calving

interval (CI), menurunkan nilai calving rate (CR), dan meningkatkan jumlah S/C

(service per conception) dalam jangka pendek. Sedangkan untuk jangka panjang,

endometritis dapat menyebabkan sterilitas (kemajiran) karena terjadinya perubahan

saluran reproduksi (Santosa 2002).

LeBlanc et al (2002a) mengidentifikasi endometritis klinis dengan melihat

adanya discharge purulent pada uterus atau ukuran diameter serviks sampai >7.5cm

setelah 20 hari setelah menghasilkan susu, atau dengan melihat adanya discharge

mukopurulen setelah 26 hari menghasilkan susu. Banyak kasus yang tidak

teridentifikasi tanpa adanya bantuan vaginoskopi. Sapi dengan endometritis klinis

antara 20 sampai 33 hari setelah menyusui menjadi 27% lebih lambat untuk

bunting, dan memiliki resiko 1.7 kali untuk mengalami kegagalan reproduksi

dibandingkan dengan sapi yang tidak menderita endometritis (Ball dan Peters,

2004).

4. Patogenesis

Infeksi endometrium biasanya merupakan hasil dari infeksi ascending dari

saluran reproduksi bawah. Dari sisi patologi, endometritis dapat diklasifikasikan

menjadi akut dan kronis. Endometritis akut ditandai dengan adanya neutrofil

283
diantara sel kelenjar endometrium, sedangkan endometritis kronis ditandai dengan

adanya sel plasma dan limfosit diantara sel stroma endometrium. Prekursor

terjadinya endometritis akut adalah prosedur invasif gynekologi, penyakit inflamasi

pada pelvis, dan infeksi post partus. Endometritis kronis biasanya diikuti dengan

retensi setelah partus, aborsi, atau infeksi bakteri seperti chlamiydia, tuebrculosis,

dan bacterial vaginosis (Rivlin et al. 2016).

Pada saat involusi uterus, >90% sapi memiliki mikroorganisme di dalam

uterusnya selama 2 minggu pertama, 78% antara hari ke-16 sampai 30, 50% antara

hari ke- 31 sampai 45, dan 9% antara hari ke-45 sampai 60. Sebagian besar bakteri

ini merupakan kontaminan dari lingkungan dan akan dibersihkan oleh uterus tanpa

merusak fertilitas. Penelitian menunjukkan T. pyogenes, Bacteroides spp,

Clostridia spp., Streptococcus spp., Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus

spp adalah bakteri yang sering ada pada kasus endometritis pada sapi. Tingginya

level progesteron akan menekan produksi mukus, kontraktilitas myometrium,

sekresi kelenjar uterus, dan aktivitas fagositosis dari neutrofil uterus sehingga pada

masa ini rentan adanya infeksi uterus (Ghanem et al. 2015). Pada kuda, bakteri

yang paling banyak diisolasi dari uterus adalah β-hemolytic streptococci dan

Eschericia coli (Rasmussen et al. 2015).

5. Diferensial diagnosa

Infeksi saluran urinari pada pediatrik, penyakit peradangan pelvis (Rivlin et

al. 2016).

284
6. Diagnosa

Langkah pertama untuk mendiagnosa endometritis adalah dengan cara

mengamati gejala klinis yang terjadi. Karakteristik terjadinya endometritis adalah

adanya discharge uterus purulen (>50%) setelah 21 hari post partus atau discharge

mukopurulen (50% pus, 50% mukus) setelah 26 hari post partus. Hal-hal lain yang

perlu diperhatikan adalah history dari sapi tersebut (Galvao 2011).

Langkah selanjutnya adalah mengevaluasi discharge uterus yang keluar ke

vagina menggunakan spekulum, menggunakan Metricheck tool, atau menggunakan

gloves. Ketika menggunakan salah satu metode ini, harus diperhatikan kebersihan

dari vulva untuk mencegah adanya kontaminasi pada vagina, dan sebaiknya

menggunakan lubrikan. Spekulum, Metricheck tool, atau menggunakan tangan

yang menggunakan gloves harus dimasukkan sampai external os cervix. Discharge

harus diambil dan dievaluasi untuk sampel sitologi (Galvao 2011).

Endometritis subklinis didefinisikan adanya >18 % neutrofil (PMN) di

sampel sitologi yang dikoleksi pada hari ke-21 sampai 33 atau >10% PMN di

sampel yang dikoleksi pada hari ke-34 sampai 47. Sampel sitologi uterus dapat

dikoleksi menggunakan cytobrush. Cytobrush adalah sikat kecil yang ditempel

pada tangkai logam yang masuk pada pipa metal dengan diameter yang sama. Alat

ini dilindungi dengan plastic sheath protector selama masuk ke dalam vagina dan

kemudian dikeluarkan setelah melewati cervix. Di badan uterus, cytobrush

dikeluarkan dan dinding tubuh ditekan-tekan sedangkan cytobrush diputar 2-3 kali.

Setelah itu, alat dimasukkan ke dalam pipa kembali dan dikeluarkan dari hewan.

285
Cytobrush dioleskan pada slide mikroskop dan dikeringkan menggunakan udara

sebelum diwarnai dengan pewarna Diff-Quick (Galvao 2011).

Deteksi endometritis pernah menggunakan USG dengan cara mendeteksi

cairan yang terlihat. Akan tetapi, metode ini kurang sensitif daripada sitologi

endometrium (Galvao 2011).

7. Terapi

Terapi yang dapat diberikan diantaranya:

1. terapi antibiotik sistemik

2. infusi uterus

3. pemberian estrogen untuk merangsang respon uterus terhadap infeksi

4. injeksi prostaglandin untuk merangsang estrus, sehingga uterus akan

dibersihkan secara natural.

Heuwieser et al. (2000) membandingkan antara terapi dengan menggunakan

infusi intrauterin polycondensated m-cresolsulphuric acid formaldehyde solution

2% sebanyak 100ml, infusi intrauterin eucalyptus compositum solution 20%

sebanyak 125ml, dan injeksi dengan prostaglandin F2α, dan didapatkan hasil bahwa

terapi prostaglandin F2α menjadi yang paling efektif dibandingkan terapi lainnya.

Administrasi antibiotik secara intra-uterine adalah alternatif lain dari penggunaan

prostaglandin F2α, jika tidak terdapat corpus luteum.

Terapi endometritis yang diberikan masih sebatas pemberian antibiotik

karena sistem imun dari sapi akan bekerja melawan bakteri kontaminan dalam

286
uterus. Sistem imun akan ditekan selama fase luteal, sehingga jika korpus luteum

tetap ada (presisten) pada ovarium hewan yang terkena endometritis, injeksi

prostaglandin F2α atau analognya menjadi pilihan terapi yang efektif. Pemberian

komponen estrogenik ini dilarang diberikan kepada hewan produksi atau hewan

pangan. Pemberian komponen antrimikroba uterus menjadi alternatif lain

menunjukkan efek yang baik ketika korpus luteum tidak presisten pada hewan yang

terinfeksi. Komponen antimikroba yang digunakan harus efektif melawan bakteri

patogenik di lingkungan lumen uterus dan tidak membahayakan sistem imun atau

membutuhkan widrawl time pada hewan produksi susu yang dikonsumsi manusia.

Saat ini sefalosporin memenuhi kriteria tersebut dan telah menggantikan

oksitetrasiklin. Saat ini bakteri sudah banyak yang resisten terhadap pemberian

oksitetrasiklin dan dosis yang digunakan jauh lebih banyak dibandingkan

cefalosporin (Sheldon 2007).

Formulasi berisi 500 mg cephapirin benzathine dalam 19 g emulsifier telah

diterima menjadi pilihan terapi untuk mengatasi endometritis klinis. Obat ini

diberikan secara intrauterin di Canada, Eropa, New Zealand, Australia, dan negara-

negara lain. Obat ini dapat meningkatkan performa reproduksi dari sapi, dan

memperbaiki fertilitas pada sapi yang pernah mengalami retensi plasenta, stillbirth,

atau keluarnya discharge pada vulva pada hari ke-13. Obat lain adalah 125 mg

ceftiofur hydrochloride dalam 10 mL suspensi steril oil-based yang dilabeli untuk

terapi mastitis klinis dapat digunakan untuk mereduksi kontaminasi bakteri, tetapi

tidak dapat meningkatkan fertilitas (Galvao 2011).

287
Kombinasi pemberian sefalosporin pada waktu yang sama atau setelah

injeksi prostaglandin F2α kemungkinan memberikan efek yang lebih bagus

dibandingkan dengan pemberian satu terapi saja. Prosedur ini belum mendapatkan

protokol yang disetujui walaupun sebenarnya prosedur ini tidak menyebabkan

kerusakan pada hewan. Akan tetapi, pemberian dua antibiotik sekaligus harus

sangat diperhatikan oleh dokter hewan karena akan memberikan resiko berupa

semakin banyak menghasilkan residu (Sheldon 2007).

Cara umum yang digunakan untuk mengontrol endometritis adalah dengan

memperhatikan kebersihan tempat dan fasilitas sehingga hewan dapat tidur di

permukaan yang bersih dan kontaminasi bakteri pada kulit dan rambut sedikit.

Formulasi pakan juga penting dalam beberapa hal. Defisiensi mikronutrisi seperti

selenium dan vitamin E dapat menghambat reaksi imun tubuh (Sheldon 2007).

Mioma Uteri

2.1 Definisi

Mioma uteri adalah neoplasma otot polos jinak yang berasal dari

miometrium, terdiri dari sel-sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid, dan

kolagen. Mioma uteri disebut juga dengan leiomioma uteri atau fibromioma uteri,

karena jumlah kolagen mereka yang cukup besar dapat menciptakan konsistensi

yang berserat maka mereka sering disebut sebagai fibroid. Mioma uteri berbatas

tegas, tidak berkapsul, dan berasal dari otot polos jaringan fibrous sehingga mioma

uteri dapat berkonsistensi padat jika jaringan ikatnya dominan, dan berkonsistensi

lunak jika otot rahimnya yang dominan. Mioma uteri merupakan neoplasma jinak

288
yang paling umum dan sering dialami oleh wanita. Neoplasma ini akan

memperlihatkan gejala klinis berdasarkan pada besar dan letak mioma di uterus.

2.2 Epidemiologi

Dari seluruh wanita, insiden mioma uteri diperkirakan terjadi sekitar 20% – 30%.

Mioma uteri sering ditemukan pada wanita usia reproduksi sekitar 20% – 25%,

angka kejadian ini lebih tinggi pada usia diatas 35 tahun, yaitu sekitar 40%.

Tingginya kejadian mioma uteri antara usia 35 – 50 tahun menunjukkan adanya

hubungan antara mioma uteri dengan hormon estrogen. Mioma uteri belum pernah

dilaporkan terjadi pada usia sebelum menarche sedangkan angka kejadian mioma

uteri pada wanita menopause hanya sekitar 10% (Hall, 2016). Ditemukan bahwa

mereka yang menarche pada usia <10 tahun beresiko mendapat penyakit reproduksi

10% lebih cepat dibandingkan dengan wanita yang memulai menstruasi pada usia

14 tahun. Menarche dini (<10 tahun) ditemukan meningkatkan resiko relatif mioma

uteri 1,24 kali sedangkan menarche lambat (>16 tahun) menurunkan resiko relatif

mioma uteri (Indarti, 2004)

Di Indonesia angka kejadian mioma uteri ditemukan 2,39% - 11,87 % dari

semua penderita ginekologi yang dirawat (Prawiroharjo, 2008). Di USA wanita

kulit hitam 3-9 kali lebih tinggi menderita mioma uteri dibandingkan wanita

berkulit putih, sedangkan di Afrika wanita kulit hitam sedikit sekali menderita

mioma uteri (Baziad, 2003). Wanita yang sering melahirkan sedikit

kemungkinannya untuk perkembangan mioma uteri dibandingkan dengan wanita

yang tak pernah hamil atau hanya satu kali hamil. Statistik menunjukkan 60%

289
mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak pernah hamil atau hanya hamil

satu kali. Prevalensi meningkat apabila ditemukan riwayat keluarga, ras,

kegemukan, dan nullipara (Hoffman dkk., 2012).

2.3 Anatomi Uterus

Uterus merupakan organ yang tebal, berotot, berbentuk seperti buah pir,

sedikit gepeng kearah muka belakang dan terletak di dalam cavum pelvis antara

rektum (posterior) dan vesika urinaria (anterior). Dinding uterus terdiri dari otot

polos dengan ukuran panjang uterus sekitar 7-7,5 cm, lebar > 5,25 cm, dengan tebal

sekitar 1,25 cm. Berat uterus normal kurang lebih 57 gram. Pada masa kehamilan

uterus akan membesar pada bulan-bulan pertama dibawah pengaruh hormon

estrogen dan progesteron yang kadarnya meningkat. Pembesaran ini pada dasarnya

disebabkan oleh hipertrofi otot polos uterus diikuti serabut-serabut kolagen yang

ada menjadi higroskopik akibat meningkatnya kadar estrogen sehingga uterus dapat

mengikuti pertumbuhan janin. Setelah menopause, uterus wanita nullipara maupun

multipara, akan mengalami atrofi dan kembali ke ukuran pada masa predolesen.

290
Pembagian Uterus

a. Fundus Uteri (dasar rahim) : bagian uterus yang proksimal yang terletak antara kedua

pangkal tuba uterina.

b. Korpus Uteri : bagian uterus yang membesar pada kehamilan. Korpus uteri mempunyai

fungsi utama sebagai tempat janin berkembang. Rongga yang terdapat pada korpus uteri

disebut kavum uteri.

c. Serviks Uteri (leher rahim): ujung serviks yang menuju puncak vagina disebut porsio,

hubungan antara kavum uteri dan kanalis servikalis disebut ostium uteri yaitu bagian

serviks yang ada di atas vagina.

Pembagian Dinding Uterus

a. Endometrium di korpus uteri dan endoserviks di serviks uteri.

291
Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjar-kelenjar, dan jaringan dengan banyak

pembuluh-pembuluh darah yang berlekuk-lekuk. Pada masa haid sebagian besar

endometrium akan dilepaskan sedangkan pada masa kehamilan endometrium akan

tumbuh menebal diikuti dengan bertambah banyaknya pembuluh darah yang diperlukan

untuk memberi makanan pada janin.

b. Miometrium (lapisan otot polos)

Otot polos di bagian dalam miometrium berbentuk sirkuler sedangkan di bagian luarnya

berbentuk longitudinal. Diantara kedua lapisan ini terdapat lapisan otot oblik yang

berbentuk anyaman. Lapisan otot polos ini merupakan bagian yang paling penting pada

proses persalinan karena setelah proses lahirnya plasenta otot-otot ini akan berkontraksi

dengan kuat guna menjepit pembuluh-pembuluh darah yang ada di sekitarnya sehingga

dapat mencegah terjadinya perdarahan post partum.

c. Perimetirum atau lapisan serosa (peritoneum viseral)

Lapisan ini terdiri dari lima ligamentum yang berfungsi untuk mengfiksasi dan

menguatkan uterus yaitu:

1. Ligamentum kardinale kiri dan kanan, yakni ligamentum yang terpenting, mencegah

supaya uterus tidak turun, terdiri atas jaringan ikat tebal, dan berjalan dari serviks dan

puncak vagina kearah lateral dinding pelvis. Didalamnya ditemukan banyak pembuluh

darah, antara lain vena dan arteria uterine.

292
2. Ligamentum sakro uterinum kiri dan kanan, yakni ligamentum yang menahan uterus

supaya tidak banyak bergerak, berjalan dari serviks bagian belakang kiri dan kanan

kearah sarkum kiri dan kanan.

3. Ligamentum rotundum kiri dan kanan, yakni ligamentum yang menahan uterus agar

tetap dalam keadaan antofleksi, berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan kanan, ke

daerah inguinal waktu berdiri cepat karena uterus berkontraksi kuat.

4. Ligamentum latum kiri dan kanan, yakni ligamentum yang meliputi tuba, berjalan dari

uterus kearah sisi, tidak banyak mengandung jaringan ikat.

5. Ligamentum infundibulo pelvikum, yakni ligamentum yang menahan tuba fallopi,

berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Didalamnya ditemukan urat-urat

saraf, saluran-saluran limfe, arteria dan vena ovarika.

293
2.4

Etiologi

Hingga saat ini penyebab pasti dari mioma uteri masih belum diketahui dan diduga

merupakan penyakit multifaktorial. Mioma merupakan sebuah tumor monoklonal yang

dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal yang berada di antara otot

polos miometrium. Tumbuh mulai dari benih multiple yang sangat kecil dan tersebar pada

miometrium sangat lambat tetapi progresif. Terdapat korelasi antara pertumbuhan tumor

dengan peningkatan reseptor estrogen-progesteron pada jaringan mioma uteri, serta adanya

faktor predisposisi yang bersifat herediter, faktor hormon pertumbuhan, dan Human

Placental Lactogen. Awal mulanya pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi somatik

dari sel-sel miometrium. Mutasi ini mencakup rentetan perubahan kromosom baik secara

parsial maupun keseluruhan. Aberasi kromosom ditemukan pada 23%-50% dari mioma uteri

294
yang diperiksa dan yang terbanyak (36,6%) ditemukan pada kromosom 7 (del(7) (q 21) /q

21 q 32).

Pengaruh hormon dalam pertumbuhan dan perkembangan mioma antara lain:

a. Estrogen

Mioma uteri kaya akan reseptor estrogen. Meyer dan De Snoo mengajukan teori

Cell nest atau teori genitoblast, teori ini menyatakan bahwa untuk terjadinya mioma uteri

harus terdapat dua komponen penting yaitu sel nest (sel muda yang terangsang) dan

estrogen (perangsang sel nest secara terus menerus). Percobaan Lipschutz yang

memberikan estrogen kepada kelinci percobaan ternyata menimbulkan tumor fibromatosa

baik pada permukaan maupun pada tempat lain dalam abdomen. Hormon estrogen dapat

diperoleh melalui penggunaan alat kontrasepsi yang bersifat hormonal.

Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat pertumbuhan tumor

yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen. Mioma uteri akan mengecil

pada saat menopause dan pengangkatan ovarium. Mioma uteri banyak ditemukan

bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas. Selama fase

sekretorik, siklus menstruasi dan kehamilan, jumlah reseptor estrogen di miometrium

normal berkurang. Pada mioma reseptor estrogen dapat ditemukan sepanjang siklus

menstruasi, tetapi ekskresi reseptor tersebut tertekan selama kehamilan.

b. Progesteron

Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma sepanjang siklus

menstruasi dan kehamilan. Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen.


295
Progesteron menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara yaitu mengaktifkan 17 -

Beta hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada tumor.

2.5 Faktor Predisposisi

a. Umur

Frekuensi kejadian mioma uteri paling tinggi terjadi antara usia 35-50 tahun yaitu

mendekati angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia dibawah 20 tahun, sedangkan

pada usia menopause hampir tidak pernah ditemukan. Pada usia sebelum menarche kadar

estrogen rendah, dan meningkat pada usia reproduksi, serta akan turun pada usia

menopause, pada wanita menopause mioma uteri ditemukan sebesar 10%. Proporsi

mioma meningkat pada usia 3545 tahun. Penelitian Chao-Ru Chen di New York

menemukan wanita kulit putih umur 40-44 tahun beresiko 6,3 kali menderita mioma uteri

dibandingkan umur < 30 tahun. Sedangkan pada wanita kulit hitam umur 40-44 tahun

beresiko 27,5 kali untuk menderita mioma uteri jika dibandingkan umur < 30 tahun.

b. Riwayat Keluarga

Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma uteri

mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan dengan wanita

tanpa garis keturunan penderita mioma uteri. Pada wanita tertentu, khususnya wanita

berkulit hitam, angka kejadian mioma uteri lebih tinggi.

c. Obesitas

Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin

berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh enzim aromatase
296
di jaringan lemak. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah estrogen tubuh, dimana hal ini

dapat menerangkan hubungannya dengan peningkatan prevalensi dan pertumbuhan

mioma uteri.

d. Paritas

Wanita yang sering melahirkan lebih sedikit kemungkinannya untuk terjadinya

perkembangan mioma ini dibandingkan wanita yang tidak pernah hamil atau satu kali

hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak

pernah hamil atau hanya hamil satu kali.

e. Kehamilan

Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang pernah dilakukan

ditemukan sebesar 0,3% – 7,2% selama kehamilan. Kehamilan dapat mempengaruhi

mioma uteri karena tingginya kadar estrogen dalam kehamilan dan bertambahnya

vaskularisasi ke uterus. Kedua keadaan ini ada kemungkinan dapat mempercepat

pembesaran mioma uteri. Kehamilan dapat juga mengurangi resiko mioma karena pada

kehamilan hormon progesteron lebih dominan.

2.6 Klasifikasi

• Mioma Subserosa

Mioma subserosa merupakan mioma yang tumbuh di bawah lapisan serosa uterus dan

dapat bertumbuh ke arah luar dan juga bertangkai, dapat hanya sebagai tonjolan saja,

dapat pula sebagai satu massa yang dihubungkan dengan uterus melalui tangkai.

Pertumbuhan kearah lateral dapat berada di dalam ligamentum latum, dan disebut sebagai
297
mioma intraligamen. Mioma yang cukup besar akan mengisi rongga peritoneum sebagai

suatu massa. Perlekatan dengan omentum di sekitarnya menyebabkan sistem peredaran

darah diambil alih dari tangkai ke omentum. Akibatnya tangkai semakin mengecil dan

terputus, sehingga mioma terlepas dari uterus sebagai massa tumor yang bebas dalam

rongga peritoneum. Mioma jenis ini dikenal sebagai mioma jenis mondering atau

parasitic fibroid. Jarang sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus.

Mioma pada serviks dapat menonjol ke dalam satu saluran servik sehingga ostium uteri

eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah maka akan tampak bahwa

mioma terdiri dari berkas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun sebagai kumparan

(whorle like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang

terdesak karena pertumbuhan sarang mioma ini.

• Mioma intramural

Mioma intramural atau insterstisiel merupakan mioma yang berkembang di antara

miometrium dan biasanya multiple. Apabila masih kecil, mioma tidak akan merubah

bentuk uterus tetapi bila besar mioma akan menyebabkan uterus berbenjol-benjol dengan

konsistensi yang padat, uterus bertambah besar, dan berubah bentuknya. Mioma sering

tidak memberikan gejala klinis yang berarti kecuali rasa tidak enak karena adanya massa

tumor di daerah perut sebelah bawah. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus,

dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih ke atas, sehingga

dapat menimbulkan keluhan miksi.

• Mioma submukosa

298
Mioma yang berada di bawah lapisan mukosa uterus atau endometrium dan tumbuh

kearah kavum uteri. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan bentuk dan besar kavum

uteri. Pengaruhnya pada vaskularisasi dan luas permukaan endometrium menyebabkan

terjadinya perdarahan ireguler. Bila tumor ini tumbuh dan bertangkai, maka tumor dapat

keluar dan masuk ke dalam vagina yang disebut mioma geburt, yang harus diperhatikan

dalam menangani mioma bertangkai (mioma submukosa pedinkulata) ialah kemungkinan

terjadinya torsi dan nekrosis sehingga risiko infeksi sangatlah tinggi. Mioma submukosa

walaupun hanya kecil selalu memberikan keluhan perdarahan melalui vagina. Perdarahan

sulit dihentikan, sehingga sebagai terapinya dilakukan histerektomi. Mioma submukosa

umumnya dapat diketahui dengan tindakan kuretase, dengan adanya benjolan waktu

kuret, dikenal sebagai currete bump dan dengan pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui

posisi tangkai tumor.

299
2.7 Manifestasi Klinis

Keluhan yang diakibatkan oleh mioma uteri sangat tergantung dari lokasi, arah

pertumbuhan, jenis, besar, dan jumlah mioma. Hanya dijumpai pada 35% – 50% saja mioma

uteri menimbulkan keluhan sedangkan sisanya tidak mengeluh apapun, terutama pada

penderita dengan obesitas. Hipermenore, menometroragia merupakan gejala klasik dari

mioma uteri. Dari penelitian multisenter yang dilakukan pada 114 penderita ditemukan 44%

gejala perdarahan, yang paling sering ialah jenis mioma submukosa, sekitar 65% wanita

dengan mioma mengeluh dismenore, nyeri perut bagian bawah, serta nyeri pinggang.

Tergantung dari lokasi dan arah pertumbuhan mioma, maka kandung kemih, ureter, dan usus

dapat terganggu, peneliti melaporkan keluhan disuri (14%) dan keluhan obstipasi (13%).

Mioma uteri sebagai penyebab infertilitas hanya dijumpai pada 2% – 10% kasus. Infertilitas

terjadi sebagai akibat obstruksi mekanis tuba falopii. Abortus spontan dapat terjadi bila

mioma uteri menghalangi pembesaran uterus, dimana menyebabkan kontraksi uterus yang

abnormal, dan mencegah terlepas atau tertahannya uterus di dalam panggul.

Berbagai keluhan penderita mioma uteri antara lain dapat berupa:

a. Massa di Perut Bawah

Penderita mengeluh merasakan adanya massa atau benjolan di perut bagian bawah.

b. Perdarahan Abnormal

Diperkirakan 30% wanita dengan mioma uteri mengalami kelainan menstruasi

berupa menoragia. Tidak ditemukan bukti yang menyatakan perdarahan ini berhubungan

dengan peningkatan luas permukaan endometrium atau karena meningkatnya insidens

300
disfungsi ovulasi. Teori yang menjelaskan perdarahan yang disebabkan mioma uteri

menyatakan terjadi perubahan struktur vena pada endometrium dan miometrium yang

menyebabkan terjadinya venule ectasia. Miometrium merupakan wadah bagi faktor

endokrin dan parakrin dalam mengatur fungsi endometrium. Aposisi kedua jaringan ini

dan aliran darah langsung dari miometrium ke endometrium memfasilitasi interaksi ini.

Growth factor yang merangsang stimulasi angiogenesis atau relaksasi tonus vaskuler dan

yang memiliki reseptor pada mioma uteri dapat menyebabkan perdarahan uterus

abnormal dan menjadi target terapi potensial. Selain itu berkurangnya angiogenik

inhibitory factor atau vasoconstricting factor dan reseptornya pada mioma uteri dapat

juga menyebabkan terjadinya perdarahan uterus yang abnormal.

Bila terjadi secara kronis maka dapat terjadi anemia defisiensi zat besi dan bila

berlangsung lama dan dalam jumlah yang besar maka sulit untuk dikoreksi dengan

suplementasi zat besi. Perdarahan pada mioma submukosa seringkali diakibatkan oleh

hambatan pasokan darah endometrium, tekanan, dan bendungan pembuluh darah di area

tumor (terutama vena) atau ulserasi endometrium di atas tumor. Tumor bertangkai

seringkali menyebabkan trombosis vena dan nekrosis endometrium akibat tarikan dan

infeksi (vagina dan kaurm uteri terhubung oleh tangkai yang keluar dari ostium serviks).

Dismenore dapat disebabkan oleh efek tekanan, kompresi, dan termasuk hipoksia lokal

miometrium.

301
c. Nyeri Perut (Pelvic Discomfort)

Mioma tidak menyebabkan nyeri dalam pada uterus kecuali apabila kemudian

terjadi gangguan vaskuler. Nyeri lebih banyak terkait dengan proses degenerasi akibat

oklusi pembuluh darah, infeksi, torsi tangkai mioma atau kontraksi uterus sebagai upaya

untuk mengeluarkan mioma subserosa dari kavum uteri, dalam hal ini sifatnya akut,

disertai dengan rasa mual dan muntahmuntah. Pada mioma yang sangat besar, rasa nyeri

dapat disebabkan karena tekanan pada saraf yaitu pleksus uterovaginalis yang rasa

nyerinya menjalar hingga ke pinggang dan tungkai bawah. Gejala abdomen akut dapat

terjadi bila torsi berlanjut dengan terjadinya infark atau degenerasi merah yang

mengiritasi selaput peritoneum (seperti peritonitis). Mioma yang besar dapat menekan

rektum sehingga menimbulkan sensasi untuk mengejan.

302
d. Pressure Effects (Efek Tekanan)

Pembesaran mioma dapat menyebabkan adanya efek tekanan pada organorgan di

sekitar uterus. Gejala ini merupakan gejala yang tak biasa dan sulit untuk dihubungkan

langsung dengan mioma. Penekanan pada vesika urinaria dapat menyebabkan

pollakisuria dan dysuria, sedangkan penekanan pada uretra dapat menimbulkan retensio

urin yang apabila berlarut-larut dapat menyebabkan hydroureteronephrosis. Tekanan

pada rektum tidak begitu besar, kadang-kadang menyebabkan konstipasi atau nyeri saat

defekasi.

Mioma intramural sering dikaitkan dengan penekanan terhadap organ sekitar.

Parasitik mioma dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna dan perlekatannya dengan

omentum menyebabkan strangulasi usus. Mioma serviks dapat menyebabkan sekret

serosanguinea vaginal, perdarahan, dispareunia, dan infertilitas. Bila ukuran tumor lebih

besar lagi, akan terjadi penekanan ureter, kandung kemih dan rektum. Semua efek

penekanan ini dapat dikenali melalui pemeriksaan IVP, kontras saluran cerna, rontgen,

dan MRI. Abortus spontan dapat disebabkan oleh efek penekanan langsung mioma

terhadap kavum uteri.

e. Penurunan Kesuburan dan Abortus

Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab penurunan kesuburan masih belum

jelas. Dilaporkan sebesar 27% – 40% wanita dengan mioma uteri mengalami infertilitas.

303
Penurunan kesuburan dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars

interstisialis tuba, sedangkan mioma submukosa dapat memudahkan terjadinya abortus

karena distorsi rongga uterus. Perubahan bentuk kavum uteri karena adanya mioma dapat

menyebabkan disfungsi reproduksi. Gangguan implasntasi embrio dapat terjadi pada

keberadaan mioma akibat perubahan histologi endometrium dimana terjadi atrofi karena

kompresi massa tumor. Apabila penyebab lain infertilitas sudah disingkirkan dan mioma

merupakan penyebab infertilitas tersebut, maka merupakan suatu indikasi untuk

dilakukan miomektomi.

2.8 Perubahan Sekunder Mioma Uteri

Bila terjadi perubahan pasokan darah selama pertumbuhannya, maka mioma dapat

mengalami perubahan sekunder atau degeneratif sebagai berikut (Prawiroharjo, 2008).

 Atrofi

Ditandai dengan pengecilan tumor yang umumnya terjadi setelah persalinan atau

menopause.

 Degenerasi Hialin

Terjadi pada mioma yang telah matang atau tua dimana bagian yang semula aktif tumbuh

kemudian terhenti akibat kehilangan pasokan nutrisi dan berubah warnanya menjadi

kekuningan, melunak atau melebur menjadi cairan gelatin sebagai tanda terjadinya

degenerasi hialin. Perubahan ini sering terutama pada penderita usia lanjut disebabkan

karena kurangnya suplai darah. Jaringan fibrous berubah menjadi hialin dan serabut otot

menghilang. Mioma kehilangan struktur aslinya dan menjadi homogen. Dapat meliputi

304
sebagian besar atau hanya sebagian kecil daripadanya seolah-olah memisahkan satu

kelompok serabut otot dari kelompok lainnya.

 Degenerasi Kistik

Setelah mengalami hialinisasi, hal tersebut berlanjut dengan cairnya gelatin sehingga

mioma konsistensinya menjadi kistik. Adanya kompresi atau tekanan fisik pada bagian

tersebut dapat menyebabkan keluarnya cairan kista ke kavum uteri, kavum peritoneum,

atau retroperitoneum.

Dapat meliputi daerah kecil maupun luas, dimana sebagian dari mioma menjadi cair,

sehingga terbentuk ruangan-ruangan yang tidak teratur berisi agar-agar, dapat juga terjadi

pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga menyerupai limfangioma. Dengan

konsistensi yang lunak tumor ini sukar dibedakan dari kista ovarium atau suatu

kehamilan.

 Degenerasi Lemak

Disebut juga miksomatosa yang terjadi setelah proses degenerasi hialin dan kistik.

Degenerasi ini sangat jarang dan umumnya asimtomatik. Pada mioma yang sudah lama

dapat terbentuk degenerasi lemak. Di permukaan irisannya berwarna kuning homogen

dan serabut ototnya berisi titik lemak dan dapat ditunjukkan dengn pengecatan khusus

untuk lemak.

 Degenerasi Kalkareus (Calsireus Degeneration)

Disebut juga kalsifikasi, degenerasi ini terutama terjadi pada wanita usia lanjut oleh

karena adanya gangguan dalam sirkulasi. Dengan adanya pengendapan garam kapur pada
305
sarang mioma maka mioma menjadi keras dan memberikan bayangan pada foto rontgen.

Degenerasi ini umumnya terjadi pada mioma subserosa yang sangat rentan terhadap

defisit sirkulasi yang dapat menyebabkan pengendapan kalsium karbonat dan fosfat di

dalam tumor.

 Degenerasi Merah (Kaneus)

Degenerasi ini diakibatkan oleh trombosis yang dikuti dengan terjadinya bendungan vena

dan perdarahan sehingga menyebabkan perubahan warna mioma. Degenerasi jenis ini

seringkali terjadi bersamaan dengan kehamilan karena kecepatan pasokan nutrisi bagi

hipertrofi miometrium lebih diprioritaskan sehingga mioma mengalami defisit pasokan

dan terjadi degenerasi septik dan infark. Degenerasi ini disertai rasa nyeri tetapi akan

menghilang sendiri (self limited). Terhadap kehamilannya sendiri, dapat terjadi partus

prematurus atau koagulasi diseminata intravaskuler (DIC).

Perubahan ini sering terjadi pada masa kehamilan dan nifas. Diperkirakan karena suatu

nekrosis subakut sebagai gangguan vaskularisasi. Pada pembelahan dapat dilihat sarang

mioma seperti daging mentah berwarna merah disebabkan pigmen hemosiderin dan

hemofusin. Degenerasi merah tampak khas apabila terjadi pada kehamilan muda disertai

emesis, haus, sedikit demam, kesakitan, tumor pada uterus membesar dan nyeri pada

perabaan.

 Septik

306
Defisit sirkulasi dapat menyebabkan mioma mengalami nekrosis di bagian tengah tumor

yang berlanjut dengan infeksi yang ditandai dengan nyeri, kaku dinding perut, dan demam

akut.

 Degenerasi ganas

Transformasi ke arah keganasan (menjadi miosarkoma). Terjadi pada 0,1% – 0,5%

penderita mioma uteri.

2.9 Diagnosis dan Diagnosis Banding

a. Anamnesis

Cari keluhan utama serta gejala klinis mioma, faktor risiko, serta kemungkinan

komplikasi yang terjadi. Biasanya teraba massa menonjol keluar dari jalan lahir yang

dirasakan bertambah panjang serta adanya riwayat pervaginam terutama pada wanita usia

diatas 40 tahun.

b. Pemeriksaan Fisik

Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual rutin uterus. Diagnosis

mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu atau lebih

massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini adalah

bagian dari uterus.

c. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

307
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan perdarahan

uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadangkadang mioma menghasilkan

eritropoetin yang pada beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan

antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioma terhadap ureter

yang menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi

pembentukan eritropoietin ginjal. Imaging

 Pemeriksaan dengan USG (Ultrasonografi) transabdominal dan transvaginal

bermanfaat dalam menetapkan adanya mioma uteri.

Ultrasonografi transvaginal terutama bermanfaat pada uterus yang kecil. Uterus

atau massa yang paling besar baik diobservasi melalui ultrasonografi

transabdominal. Mioma uteri secara khas menghasilkan gambaran ultrasonografi

yang mendemonstrasikan irregularitas kontur maupun pembesaran uterus.

Gambaran tumor bentuk bulat atau bulat lonjong baik soliter maupun multipel dengan

hiperekoik homogen, dinding tegas, tanpa efek lateral dan pantulan posterior, pembuluh

darah diluar massa tumor.

308
 Histeroskopi digunakan untuk melihat adanya mioma uteri submukosa, jika mioma

kecil serta bertangkai. Mioma tersebut sekaligus dapat diangkat.

 MRI (Magnetic Resonance Imaging) sangat akurat dalam menggambarkan jumlah,

ukuran, dan likasi mioma tetapi jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak

sebagai massa gelap berbatas tegas dan dapat dibedakan dari miometrium normal.

MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas,

termasuk mioma (Goodwin dkk., 2009).

Diagnosis banding mioma uteri antara lain kehamilan, neoplasma ovarium, dan

adenomyosis.

2.10 Tata Laksana

Penatalaksanaan mioma uteri harus memperhatikan usia, paritas, kehamilan,

konservasi fungsi reproduksi, keadaan umum, dan gejala yang ditimbulkan. Bila kondisi

pasien sangat buruk, lakukan upaya perbaikan yang diperlukan termasuk nutrisi,

suplementasi zat esensial, ataupun transfusi. Pada keadaan gawat darurat akibat infeksi atau

gejala abdominal akut, siapkan tindakan bedah gawat darurat untuk menyelamatkan

309
penderita. Pilihan prosedur bedah terkait dengan mioma uteri adalah miomektomi atau

histerektomi.

a. Konservatif

Penderita dengan mioma kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan pengobatan, tetapi

harus diawasi perkembangan tumornya. Jika mioma lebih besar dari kehamilan 10-12

minggu, tumor yang berkembang cepat, terjadi torsi pada tangkai, perlu diambil tindakan

operasi. Terapi konservatif dilakukan bila mioma uteri terjadi tanpa adanya keluhan dan

tanda-tanda degenerasi ganas.

b. Medikamentosa

Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan pertumbuhan mioma uteri

secara menetap belum tersedia pada saat ini. Terapi medikamentosa masih merupakan

terapi tambahan (adjuvan) atau terapi pengganti sementara dari operatif. Preparat yang

selalu digunakan untuk terapi medikamentosa adalah analog GnRHA (Gonadotropin

Realising Hormon Agonis), progesteron, androgen (danazol, gestrinon), tamoksifen,

goserelin, antiprostaglandin (NSAID), COCs (combination oral contraceptive pills),

agen-agen lain seperti gossypol dan amantadine (Chegini dkk., 2003; Parsanezhad dkk.,

2012). GnRH agonis diberikan 3-6 kali setiap bulan sekali yang dimulai pada hari ke-3

sampai 5 mentruasi dengan dosis 375 mg

intramuskuler gluteal.

Perempuan dengan dismenore memiliki kadar prostaglandin F2α dan E2 endometrium

yang lebih tinggi dibandingkan wanita dengan mioma uteri tanpa gejala. Dengan

310
demikian, pengobatan dismenore dan menoragia terkait dengan leiomioma didasarkan

pada peran prostaglandin sebagai mediator dari gejalagejala ini, sehingga penggunaan

NSAID dapat dikatakan efektif untuk penderita dengan dismenore.

c. Operatif

Terapi operatif tergantung pada:

1. Adanya keluhan gangguan haid serta komplikasinya dan atau keluhan pendesakan

organ sekitar.

2. Infertilitas post terapi GnRH agonis

3. Nyeri pelvik kronis akibat pendesakan, perlekatan, dismenore, disparunea, hemorhoid,

disuria berulang, nyeri defekasi, dan manipulasi.

4. Ketentuan:

a. Umur penderita lebih dari 50 tahun adalah TAH-BSO atau SVH tergantung kondisi

serviks.

b. Menginginkan anak dilakukan miomektomi atau enukleasi mioma baik post GnRH

agonist maupun langsung.

c. Pada kasus dengan gangguan haid dimana umur lebih dari 40 tahun

d. Pendekatan operatif adalah laparotomi dan atau laparoskopi

Tindakan operatif yang dapat dilakukan meliputi miomektomi, histerektomi, dan

embolisasi arteri uterus.

311
 Miomektomi merupakan tindakan pengambilan sarang mioma saja tanpa

pengangkatan uterus. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada mioma submukosa

dan mioma geburt dengan cara ekstirpasi lewat vagina.

 Histerektomi merupakan tindakan pengangkatan uterus yang paling umum dilakukan

pada kasus mioma uteri. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan alasan

mencegah timbulnya mioma uteri berulang atau timbulnya karsinoma servisis uteri.

Histerektomi untuk mioma uteri dapat dilakukan secara vaginally, abdominally, atau

laparoscopically.

 Endometrial Ablation

 Hysteroscopy

 Embolisasi arteri uterus (Uterin Artery Embolization / UAE) merupakan injeksi arteri

uterina dengan butiran polyvinyl alkohol melalui kateter yang nantinya akan

menghambat aliran darah ke mioma dan menyebabkan nekrosis. Nyeri setelah UAE

lebih ringan daripada setelah pembedahan mioma dan pada UAE tidak dilakukan insisi

serta waktu penyembuhannya lebih

cepat (Swine, 2009).

312
d. Radiasi dengan radioterapi

Radioterapi dilakukan untuk menghentikan perdarahan yang terjadi pada beberapa kasus.

Alur Tata Laksana Mioma Uterus berdasarkan PPK OBSGYN UNUD 2015

Keluhan positif:

1. Infertilitas. Pada mioma uterus dengan keluhan infertilitas dilakukan histerosalfingografi

untuk mengetahui kavum uterus, patensi tuba, hidrosalfing, dan tanda-tanda infeksi

kronis.

2. AUB-L berupa menoragia, metroragia, dan menometroragia.

3. Komplikasi perdarahan seperti lemah, lesu, penyakit jantung, anemia, mudah infeksi,

penuruanan kinerja, dan konsentrasi.

313
4. Pendesakan ke organ pelviks sehingga menimbulkan gangguan seperti gangguan

berkemih dan defekasi, nyeri pelvik kronik, serta nyeri di regio suprasimfisis.

2.11 Komplikasi

a. Degenerasi ganas

Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya sekitar 0,32% – 0,6% dari

seluruh mioma, serta merupakan 50% – 75% dari semua sarkoma uterus. Keganasan

umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histopatologi pada uterus yang telah

diangkat. Curiga akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila

terjadi pembesaran sarang mioma saat menopause.

b. Torsi (putaran tangkai)

Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami putaran atau torsi sehingga timbul

gangguan sirkulasi akut yang berujung nekrosis, dengan demikian terjadilah sindroma

abdomen akut, namun jika torsi terjadi secara perlahan maka gangguan akut tidak terjadi.

2.12 Prognosis

Prognosis mioma uteri dengan lesi soliter biasanya sangat baik, khususnya bila

dilakukan eksisi. Fertilitas dapat terpengaruh, tergantung dari ukuran dan lokasi mioma.

Mioma uteri sendiri jarang bertransformasi menjadi kanker. Tanda bahaya dari kanker yang

paling umum adalah tumor yang tumbuh secara cepat sehingga membutuhkan tindakan

pembedahan. Tindakan operatif histerektomi dengan mengangkat seluruh mioma merupakan

suatu tindakan kuratif. Mioma uteri yang kambuh kembali (rekurens) setelah dilakukan

miomektomi terjadi pada 15% – 40% pasien dan 60% memerlukan tindakan lebih lanjut.
314
2.13 Pencegahan

a. Pencegahan Primordial

Pencegahan ini dilakukan pada perempuan yang belum menarche atau sebelum terdapat

resiko mioma uteri. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mengkonsumsi makanan

yang tinggi serat seperti sayuran dan buah.

b. Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan pencegahan awal sebelum seseorang menderita mioma.

Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan penyuluhan mengenai faktor-faktor resiko

mioma terutama pada kelompok yang beresiko yaitu wanita pada masa reproduktif. Selain

itu tindakan pengawasan terhadap pemberian hormon estrogen dan progesteron dengan

memilih pil KB kombinasi (mengandung estrogen dan progesteron), pil kombinasi

mengandung estrogen lebih rendah dibanding pil sekuensil, oleh karena pertumbuhan

mioma uteri berhubungan dengan kadar estrogen.

c. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan untuk orang yang telah terkena mioma uteri, tindakan ini

bertujuan untuk menghindari terjadinya komplikasi. Pencegahan yang dilakukan adalah

dengan melakukan diagnosa dini dan pengobatan yang

tepat.

d. Pencegahan Tersier

315
Pencegahan tersier merupakan upaya yang dilakukan setelah penderita melakukan

pengobatan. Pencegahan pada tahap ini berupa rehabilitasi untuk meningkatkan kualitas

hidup dan mencegah timbulnya komplikasi. Pada dasarnya hingga saat ini belum

diketahui penyebab tunggal yang menyebabkan mioma uteri, namun merupakan

gabungan beberapa faktor atau multifaktor.

Tindakan yang dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas hidup dan

mempertahankannya. Penderita pasca operasi harus mendapat asupan gizi yang cukup

dalam masa pemulihannya.

316
Endometriosis

a. Pengertian

Endometriosis merupakan penyakit inflamasi yang ditandai dengan tumbuhnya

jaringan abnormal dengan struktur menyerupai endometrium secara ektopik dan

memicu reaksi peradangan (HIFERI dan POGI, 2017). Definisi lain endometriosis

yang umum digunakan yaitu keberadaan kelenjar dan stroma endometrial pada lokasi

ektopik, umumnya pada peritoneum pelvis, ovarium, dan septum retrovaginalis

(Burney dan Giudice, 2012).

Berdasarkan kedalaman susukan lesi di lokasi ektopik, endometriosis sering

bermanifestasi dalam tiga bentuk, yaitu pada peritoneum atau endometriosis

superfisial, pada ovarium hingga dapat membentuk kista endometrioma, dan

endometriosis deep infiltrative atau susukan dalam (Lasmar, et al., 2012).

b. Etiologi

Penjelasan mengenai awal kemunculan jaringan endometriumekstrauterin pada

endometriosis masih belum diketahui secara pasti. Beberapa teori berbeda telah

dicetuskan oleh para ahli. Teori-teori tersebut dapat dikelompokkan menjadi teori-

teori yang menyatakan bahwa jaringan endometriosis yang muncul berasal dari

endometrium intrauterin yang berpindah ke lokasi-lokasi ekstrauterin serta teori yang

mendukung bahwa jaringan endometriosis berasal dari jaringan lain diluar uterus.

1) Menstruasi Retrograde

Teori ini merupakan prinsip tertua yang menjelaskan perjalanan penyakit


317
endometriosis. Seorang ahli ginekologis bernama John Sampson pertama kali

mengamati adanya pergerakan bebas darah dan bagian dari jaringan endometrium

dari tuba falopii menuju ke ruang peritoneum saat melakukan laparotomi pada

pasien yang sedang mengalami menstruasi (Patel, et al., 2018).

2) Metaplasia Selomik

Masa perkembangan embrio melibatkan pembentukan selom, rongga berisi

cairan yang akan mengalami perubahan morfologis dan diferensiasi untuk

membentuk janin secara sempurna. Rongga- rongga tersebut dilapisi oleh lapisan

epitel selomik (celomic epithelium) yang berasal dari lempeng mesoderm. Lapisan

epitel tersebut berperan penting dalam pembentukan organ viseral dikarenakan

kemampuannya untuk berdiferensiasi menjadi sel mesenkim yang multipoten

(Laura, et al., 2016). Epitel selomik yang tidak terdiferensiasi menjadi sel-sel

mesenkim akan bermanifestasi sebagai mesothelium pada tubuh manusia dewasa.

Terdapat dugaan bahwa endometriosis berasal dari sel-sel ekstrauterin. Teori

metaplasia selomik (coelomic metaplasia) dalam etiologi endometriosis

menyebutkan bahwa sel-sel terspesialisasi yang berada pada lapisan mesothelium

pada peritoneum visceralis dan peritoneum abdominalis dapat bertransdiferensiasi

secara abnormal atau mengalami metaplasia menjadi jaringan mirip endometrium

(Sourial, et al., 2014). Hal-hal yang dapat menginduksi terjadinya metaplasia

pada sel-sel tersebut masih belum diketahui secara pasti. Terdapat keterlibatan

sistem imun dan faktor hormonal sebagai dua hal yang dapat menstimulasi sel-sel

peritoneum normal menjadi jaringan yang menyerupai endometrium (Burney dan


318
Giudice, 2012).

3) Metastasis Limfatik dan Vaskuler

Endometriosis dapat ditemukan di bagian tubuh yang terletak jauh dari

pelvis, contohnya pada regio thoraks (Sonavane, et al., 2011). Teori metastasis

menjelaskan hipotesis bahwa jaringan menstrual berpindah dari endometrium ke

limfonodi terdekat untuk selanjutnya berhalan melalui pembuluh limfa dan vena

menuju ke bagian tubuh yang jauh (Patel, et al., 2018). Dugaan keterlibatan

persebaran melalui sistem limfatik dapat menjelaskan keberadaan jaringan

endometrium pada pembuluh limfa dan limfonodi pada beberapa penderita

(Jerman dan Hey-Cunningham, 2015).

c. Patofisiologi

1) Gangguan Hormon

Estrogen dan progesteron merupakan dua hormon yang memegang fungsi

sistem regulasi daripada jaringan endometrium, diperkirakan keduanya meregulasi

ekspresi dari ratusan gen yang berperan dalam berbagai fase siklus menstruasi

(Bulun, et al., 2012). Estradiol dan progesteron memicu perkembangan histologis

pada jaringan endometrium. Perubahan histologis akan terjadi pada jaringan

endometrium, yang terpapar estradiol dan progesteron, baik jaringan eutopik

maupun jaringan ektopik. Estrogen endogen fisiologis dalam tubuh manusia

disintesis dalam tiga bentuk utama yaitu estron (E1), estradiol atau 17β-estradiol

(E2), dan estriol (E3) (Cui, et al., 2013).

319
Dalam kondisi fisiologis, hormon estrogen diproduksi oleh sel folikel ovarium

secara siklik sepanjang siklus menstruasi (Hawkins dan Matzuk, 2010). Estradiol,

bentuk paling poten dari hormon estrogen, memegang peranan penting dalam

kemampuan sel endometrium untuk tetap bertahan dan berproliferasi secara ektopik

pada endometriosis. Menurut Bulun (2009), estradiol dapat mencapai lokasi lesi

endometriosis yang tumbuh secara ekstrauterin melalui beberapa jalur. Pertama,

estradiol yang diproduksi oleh sel folikel ovarium mencapai lokasi endometriosis

melalui sirkulasi. Kedua, enzim aromatase yang terdapat pada jaringan perifer

mendukung pengubahan androstenedion menjadi estron untuk kemudian

dikonversi lanjut menjadi estradiol dan selanjutnya estradiol menuju ke lokasi

endometriosis melalui sirkulasi. Hormon estrogen yang diproduksi diluar kelenjar

gonad dikenal sebagai estrogen ekstragonad (Bracht, et al., 2019). Ketiga,

kemampuan lesi endometriosis untuk mengubah kolesterol menjadi estradiol

karena mampu mengekspresi gen enzim aromatase.

Puncak kadar hormon progesteron terjadi pada fase luteal dalam siklus

menstruasi dan dapat menjadi penanda yang baik terhadap terjadinya ovulasi

(Marcinkowska, 2020). Kadar progesteron yang tinggi saat ovulasi berfungsi untuk

menurunkan ekspresi gen-gen yang berhubungan dengan replikasi DNA sehingga

saat siklus menstruasi memasuki awal fase sekretorik, proliferasi jaringan

endometrium dapat terhambat (Patel, et al., 2017). Pada endometriosis, terjadi

penurunan respon sel terhadap hormon progesteron. Hal ini dapat diketahui melalui

gen-gen yang berperan dalam regulasi siklus sel seperti Proliferating Cell Nuclear

320
Antigen (PCNA), Ki67, forkhead box protein O1 (FOXO1), dan Mitotic Arrest

Deficient-like 1 protein (MAD2LI), yang seharusnya menurun pada pada awal

fase sekretori pada wanita normal, mengalami peningkatan pada wanita dengan

penyakit endometriosis ringan hingga berat (Patel, et al., 2017).

Mekanisme pasti yang menjelaskan bagaimana penurunan respon sel terhadap

hormon progesteron masih belum diketahui. Pada beberapa pasien endometriosis

terjadi peningkatan ringan kadar hormon progesteron sistemik, sedangkan pasien

lainnya tidak menunjukkan perbedaan dengan kondisi normal (Patel, et al., 2017).

Sehingga, alterasi respon sel terhadap hormon progesteron pada penyakit

endometriosis disebabkan oleh faktor selain perubahan kadar hormon progesteron

sistemik. Resistensi terhadap progesteron merupakan hal yang terjadi pada

jaringan endometrium pasien dengan endometriosis, dibuktikan dengan adanya

perubahan pada ekspresi isoform reseptor progesteron PR-A dan PR-B, koaktivator

reseptor steroid, dan berbagai efektor lain yang dapat menurunkan efektivitas kerja

hormon progesterone pada sel endometrium (Patel, et al., 2017).

Selain peningkatan hormon estrogen yang berasal dari dalam tubuh, paparan

terhadap senyawa menyerupai estrogen dari luar juga merupakan salah satu faktor

yang dapat mendukung perkembangan endometriosis. Endocrine Disrupting

Chemicals atau EDC diartikan sebagai zat kimia eksogen yang dapat memberikan

pengaruh terhadap aspek apa saja dalam aksi hormon di tubuh manusia (Zoeller, et

al., 2012). Estrogen eksogen merupakan faktor potensial yang mendukung

perjalanan patogenesis endometriosis, sebagaimana dengan estrogen endogen yang


321
diproduksi oleh tubuh (Burney dan Giudice, 2012). Salah satu contoh EDC yang

dapat memicu perkembangan jaringan endometrial secara ekstra uterin adalah

2,3,6,8-tetrachlorodibenso-p-dioxin (TCDD) dan dioxin-like polychlorinated

bisphenyls (PCB) yang dibuktikan melalui penelitian pada monyet rhesus (Smarr,

et al., 2016).

Dioxin umumnya merupakan hasil samping dari aktivitas industrial, namun

juga dapat berasal dari fenomena alam contohnya erupsi vulkanik dan kebakaran

hutan. Lebih dari 90 persen paparan dioxin pada manusia terjadi melalui konsumsi

makanan, terutama daging, olahan susu, ikan, dan hasil laut (WHO, 2016).

Perlindungansumber pangan dari paparan dioxin secara langsung maupun sekunder

melalui rantai makanan perlu dilakukan untuk menghindari efek buruk yang dapat

ditimbulkan.

2) Reaksi Sistem Imun

Endometriosis merupakan sebuah kondisi inflamatorik kronik yang terjadi

berhubungan dengan adanya deposit jaringan endometrial yang tumbuh dan

berkembang secara ektopik (ekstrauterin). Dalam proses perkembangan jaringan

endometrium secara ekstrauterin, rangkaian reaksi imun dan inflamasi lokal

memegang peran penting untuk kebertahanan jaringan endometrium di lokasi

ekstrauterin. Keberadaan jaringan endometrium pada lokasi ektopik memicu reaksi

inflamasi lokal melalui rekrutmen sel- sel imun ke lokasi tersebut, sebagai respon

terhadap jaringan endometrium yang terinterpretasi sistem imun tubuh sebagai

jaringan rusak (Herington, et al., 2011). Keterlibatan reaksi inflamasi dalam


322
pekembangan penyakit endometriosis dibuktikan melalui kadar sitokin proinflamasi

IL-1β, IL-6, dan TNF-α serum pada wanita dengan endometriosis lebih tinggi

dibandingkan kelompok wanita sehat yang bertindak sebagai kontrol (Malutan, et

al., 2015). Peningkatan ekspresi protein sitokin IL-8, yang merupakan

kemoatraktan kuat terhadap sel neutrofil, juga dilaporkan meningkat pada lesi

endometriosis (Symons, et al., 2019).

Kegagalan sistem imun non spesifik (innate immune system) dalam

mengeliminasi jaringan endometrium merupakan peristiwa yang terjadi pada

endometriosis. Kegagalan ini dapat terjadidikarenakan menurunnya sitotoksisitas

sel Natural Killer (NK) dan sel limfosit T, menurunnya kemampuan fagosit sel

makrofag, dan meningkatnya jumlah sel neutrofil pada peritoneum (Herington, et

al., 2011). Selanjutnya, sitokin dan growth factor yang disekresi oleh sel-sel imun

tersebut, terdapat reaksi inflamasi yang dimediasi sistem imun yang, bersamaan

dengan lesi endometriosis, menghasilkan sitokin, growth factor, dan zat-zat

angiogenik dengan jumlah yang tinggi (Malutan, et al., 2015). Hal-hal tersebut akan

menunjang kemampuan bertahan sel endometrium secara ekstrauterin.

d. Manifestasi Klinis

Menurut pedoman (guidline) European Society of Human Reproduction and

Embryology (ESHRE) tentang manajemen endometriosis, riwayat keluhan yang

memiliki nilai guna untuk menjadi pedoman menentukan diagnosis endometriosis

diantaranya adalah dismenorea berat pada wanita infertile, dismenorea, nyeri pelvis

kronis (chronic pelvic pain), nyeri abdominopelvis, perdarahan berat saat menstruasi,
323
perdarahan pasca koitus dan/atau riwayat terdiagnosis kista ovarium, dispareunia

dalam (deep dyspaneuria), keluhan intestinal siklik (irritable bowel syndrome), dan

penyakit inflamatori pelvis (pelvic inflammatory disease) (Johnson, et al., 2017).

Adapun persentase kejadian gejala endometriosis pada penderitanya menurut

Konsensus Tatalaksana Nyeri Endometriosis adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1: Gejala Klinis Pasien Endometriosis (HIFERI dan POGI, 2017)

Gejala Presentase (%)

Nyeri haid 62
Nyeri pelvis kronis 57
Dispareunia dalam 55
Keluhan intestinal siklik 48
Infertilitas 40

1) Nyeri Haid

Nyeri haid atau dismenorea dapat berupa kumpulan gejala seperti nyeri

abdomen, kram dan nyeri punggung (lumbago), yang berhubungan dengan

menstruasi. Nyeri haid pada penderita endometriosis terjadi akibat abnormalitas

pada kontraksi uterus dan keberadaan lesi yang memicu sensasi nyeri (Harada,

2013.

324
2) Nyeri Pelvis Kronis

Menurut European Association of Urology (EAU), nyeri pelvis kronis

atau chronic pelvic pain adalah nyeri kronis atau nyeri berkelanjutan pada

bagian tubuh yang berhubungan dengan pelvis (panggul) (Engeler, et al.,

2015). Nyeri yang dirasakan pasien dapat berupa sensasi nyeri

berkelanjutan selama enam bulan atau lebih atau berupa nyeri hilang

timbul secara siklik selama kurun waktu yang sama. Pemeriksaan fisik

lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui kondisi kesehatan tertentu yang

mendasari munculnya nyeri pelvis kronis pada pasien.

Pada endometriosis, nyeri pelvis kronis dapat muncul dikarenakan

perubahan sistem inervasi pada lokasi di sekitar lesi endometriosis (Coxon,

et al., 2018). Perubahan tersebut bervariasi tergantung pada kedalaman

susukan lesi dan letak lesi. Hal ini menjelaskan kemungkinan perbedaan

kualitas nyeri endometriosis dapat diantara pasien berdasarkan perbedaan

lokasi berkembangnya lesi. Endometrioma ovarium terinervasi secara

kurang baik dibandingkan endometriosis dengan tipe dan lokasi lainnya

(McKinnon, et al., 2012).

3) Dispareunia Dalam

Dispareunia merupakan istilah yang digunakan untuk keluhan nyeri

yang timbul saat pasien melakukan aktivitas seksual penetratif.

Dispareunia dan vaginismus selanjutnya disatukan sebagai gangguan

327
nyeri/penetrasi genito-pelvis dan tercantum dalam The Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorders-5 (DSM-5) sebagai DSM-5 302.76

(F52.6): Genito-Pelvic Pain or Penetration Disorder (The American

College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), 2019; American

Psychiatric Association, 2013).

Pengelompokan dispareunia sebagai superfisial dan dalam didasarkan

pada lokasi nyeri yang dirasakan pasien ketika terjadi penetrasi dalam

hubungan seksual (Orr, et al., 2019). Dispareunia superfisial dirasakan

pasien berupa nyeri pada introitus vagina saat awal penetrasi dan seringkali

membuat penetrasi tidak dapat dilanjutkan. Pada dispareunia dalam, rasa

nyeri sekitar rongga panggul akan dirasakan pasien saat penetrasi secara

dalam. Menurut etiologinya, dispareunia superfisial dapat disebabkan oleh

vestibulodynia, disfungsi diafragma pelvis, adanya dermatosis pada vulva,

dan sindrom genitourinaria pada wanita menopause (Orr, et al., 2019).

Dispareunia dalam merupakan salah satu tanda kardinal dari

endometriosis yang dapat ditemukan pada 55% penderita (Tabel 1). Meski

demikian, penanganan pasien dengan keluhan dispareunia dalam dengan

kecenderungan menderita endometriosis memerlukan pemeriksaan lanjut

untuk mengetahui kemungkinan penyebab lain yang tidak berhubungan

dengan endometriosis atau bahkan menjadi faktor komorbid endometriosis

(Orr, et al., 2019). Gejala dispareunia dalam yang dialami pasien

328
endometriosis timbul melalui mekanisme proliferasi serabut saraf melalui

jalur kenaikan ekspresi Nerve Growth Factor (NGF) pada lesi

endometiosis (Kajitani, et al., 2013). Selain melalui proliferasi serabut

saraf, diduga terdapat alterasi sistem sensitisasi rasa sakit dan alterasi

sistem myofasial yang terlibat (Orr, et al., 2018).

4) Keluhan Intestinal Siklik

Pasien dengan endometriosis dapat mengalami gejala-gejala

gastrointestinal, seperti nyeri pada abdomen, rasa kembung dan mual,

konstipasi, muntah, dan diare. Hal yang mungkin mendasari timbulnya

gejala tersebut yaitu fenomena hipersensitivitas viseral atau visceral

hypersensitivity. Hipersensitivitas viseral berkaitan dengan gejala

gastrointestinal merupakan perubahan sensasi pasien terhadap rangsangan

fisiologis, yang ditandai dengan kepekaan pasien terhadap peningkatan

stimulus mekanis seperti perubahan tekanan atau volume pada organ

pencernaan (Farzael, et al., 2016). Hipersensitivitas viseral dapat timbul

melalui mekanisme neuroimunologis yakni aktivasi sel mast dan pelepasan

mediator inflamasi disekitar saraf aferen perifer bagian distal,

menyebabkan peningkatan sensitivitas terhadap rangsangan mekanik dan

rasangan zat kimia seperti ATP dan bradikinin (Farzael, et al., 2016; Ek,

et al., 2015). Walaupun memiliki nilai diagnostik untuk memperkirakan

adanya endometriosis usus, gejala gastrointestinal tidak berhubungan

329
secara signifikan dengan lokasi berkembangnya lesi endometriosis (Ek, et

al., 2015).

Gejala gastrointestinal yang dirasakan pasien memungkinkan adanya

keterkaitan antara endometriosis dengan sindrom iritasi usus atau irritable

bowel syndrome. Gejala gastrointestinal dapat muncul pada penderita

endometriosis dengan atau tanpa faktor komorbid berupa sindrom iritasi

usus (Issa, et al., 2016). Keberadaan dua kondisi patologis tersebut secara

bersamaan berhubungan dengan meningkatnya rasa nyeri yang dirasakan

penderita, terutama saat sedang dalam masa menstruasi (Ek, et al., 2015).

5) Infertilitas

Infertilitas primer diartikan sebagai tidak berhasilnya suatu pasangan

unutk mendapatkan kehamilan sekurang-kurangnya dalam 12 bulan

berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi, sedangkan

infertilitas sekunder adalah ketidakmampuan seseorang memiliki anak atau

mempertahankan kehamilannya. Infertilitas idiopatik mencakup pasangan

infertil yang memiliki hasil normal dalam pemeriksaan kesuburan yang

meliputi tes ovulasi, patensi tuba, dan analisis semen (HIFERI,

PERFITRI, IAUI, dan POGI, 2013).

Infertilitas yang dialami oleh penderita endometriosis dapat terjadi

karena berbagai faktor. Rasa sakit akibat dispareunia dapat menyebabkan

pasien menghentikan aktivitas hubungan seksual sehingga pembuahan

330
tidak terjadi (Wahl, et al., 2020). Perubahan fisiologis sistem reproduksi

yang timbul pada endometriosis juga mempengaruhi kesuburan pasien.

Kondisi inflamasi kronis menimbulkan gangguan pada proses ovulasi dan

mengurangi kualitas sperma yang sedang berada di tubuh wanita

endometriosis (Macer dan Taylor, 2012). Sementara itu, keberadaan lesi

edometriosis pada organ reproduksi, misalnya pada kasus endometrioma

ovarium, berpotensi memberikan hambatan mekanis pada pelepasan ovum

(Holoch dan Lessey, 2010).

Perubahan respon endometrium terhadap progesteron yang dihasilkan

pada fase luteal memungkinkan adanya penurunan reseptifitas pada

endometrium (Macer dan Taylor, 2012). Namun, sebuah studi dengan

perbandingan kelompok kontrol menunjukkan bahwa wanita dengan

endometriosis memiliki kemampuan implantasi normal meskipun dengan

tingkat fertilisasi yang lebih rendah (Singh, et al., 2014). Penyebab yang

lebih kuat atas kegagalan implantasi pada pasien endometriosis yaitu

ketidakmampuan embrio yang terbentuk untuk melakukan implantasi

(Gauché-Cazalis, et al., 2012), kemungkinan disebabkan oleh penurunan

kualitas gamet pembentuk sebagaimana telah dijelaskan pada bagian

sebelumnya.

e. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dapat dilakukan untuk memprediksi adanya

331
endometriosis dan menyimpulkan dugaan letak pertumbuhan jaringan

endometrium ektopik pada endometriosis di rongga pelvis.

f. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk

menegakkan diagnosis endometriosis pada wanita. Rekomendasi

pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan oleh HIFERI dan POGI

(2017) diantaranya mencakup pemeriksaan penanda biokimiawi

(pemeriksaan IL-6, TNF-α, CA-125, caspase-3, caspase-9, dan matriks

metalloproteinase-9) dan pencitraan (ultrasonografi/USG transvaginal,

Magnetic Resonance Imaging/MRI, dan laparoskopi. Dalam penetapan

diagnosis endometriosis, laparoskopi merupakan baku emas dan dapat

ditunjang dengan hasil pemeriksaan histopatologi yang mendukung

(HIFERI dan POGI, 2017).

Penggunaan penanda biokimiawi sebagai pemeriksaan non-invasif

dalam penegakan diagnosis endometriosis didasarkan pada patofisologi

penyakit yang berkaitan dengan proses inflamasi. Sampel dapat diperoleh

dari serum atau plasma, urin, dan cairan endometrium atau cairan

menstruasi yang diambil melalui fornix posterior vagina atau serviks saat

dilakukannya pemeriksaan inspekulo (Fassbender, et al., 2015). Cairan

peritoneum juga dapat digunakan sebagai sampel untuk pemeriksaan yang

bersifat semi-invasif. Penanda biokimiawi lainnya yang tidak berkaitan

332
dengan proses inflamasi, seperti CA-125, merupakan indikator yang

digunakan untuk mendeteksi adanya massa dalam rongga pelvis serta

memiliki peran penting sebagai prediktor endometriosis pada pasien

(Karimi-Zarchi, et al., 2016).

Pencitraan lini pertama yang dapat dilakukan dalam penegakkan

diagnosis endometriosis yaitu pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Transvaginal (HIFERI dan POGI, 2017). Pemeriksaan Magnetic

Resonance Imaging (MRI) dikategorikan sebagai pemeriksaan lini kedua

dan bersifat lebih superior dibandingkan USG Transvaginal dikarenakan

kemampuannya yang lebih baik dalam visualisasi endometriosis deep

infiltrative (Foti, et al., 2018).

g. Diagnosis

Diperlukan penggalian informasi riwayat kesehatan dan pemeriksaan

fisik secara teliti untuk menetapkan diagnosis endometriosis pada pasien.

Dokter harus menyingkirkan kemungkinan penyebab-penyebab non-

ginekologis yang dapat melatarbelakangi munculnya keluhan utama nyeri

panggul yang muncul pada pasien, seperti masalah pencernaan atau saluran

kemih (Armstrong, 2011). Untuk mendukung tujuan tersebut, dapat

dilakukan pemeriksaan penunjang yang tepat.

Diagnosis definitif endometriosis dapat dicapai melalui pemeriksaan

histologis lesi endometriosis yang didapatkan melalui tindakan operatif

333
pengangkatan massa. Secara mikroskopis, pada lesi endometriosis dapat

ditemukan gambaran kelenjar endometrium (sel-sel epitel Müllerian, dapat

disertai atipia atau metaplasia), stroma endometrium, dan tanda-tanda

pendarahan kronis yang meliputi timbunan (laden) hemosiderin atau

adanya sel busa (foamy machrophage) (Han, et al., 2020).

Untuk menilai keparahan atau severitas penyakit, American Society

of Reproductive Medicine (ASRM) membagi endometriosis menjadi empat

derajat keparahan dengan mempertimbangkan letak, luas, kedalaman

implantasi sel endometrium ektopik, dan ukuran lesi serta ada tidaknya

perlengketan lesi pada struktur disekitarnya (Johnson, et al., 2017).

Keempat derajat keparahan endometriosis berturut-turut secara bertingkat

yaitu minimal, ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe).

334
Gambar 2.1: Derajat keparahan (severitas) endometriosis (Johnson,

et al., 2017).

h. Tatalaksana

Tatalaksana endometriosis sebagai penyakit kronis terdiri atas tatalaksana

konservatif nyeri endometriosis dan tatalaksana bedah nyeri endometriosis

(HIFERI dan POGI, 2017). Dalam pemilihan tatalaksana untuk pasien, dokter

harus mempertimbangkan kondisi pasien seperti usia, ada atau tidaknya

335
massa, dan keinginan pasien untuk memiliki keturunan.

Pelaksanaan terapi konservatif endometriosis dilakukan untuk

mengurangi gejala berkaitan dengan endometriosis yang muncul pada

penderita. Terapi supresi hormon menjadi pilihan untuk mengobati

endometriosis dan meredakan gejala yang timbul pada pasien (Dunselman, et

al., 2014), mengingat bahwa hormon-hormon seperti hormon esterogen

memiliki pengaruh besar dalam perjalanan penyakit. Regimen terapi

hormonal yang dapat digunakan diantaranya pil kontrasepsi kombinasi,

progestin, agonis GnRH, danazol, inhibitor enzim aromatase, dan anti

progesteron (HIFERI dan POGI, 2017).

Prosedur pembedahan dalam tatalaksana nyeri endometriosis dapat

bersifat definitif maupun konservatif (HIFERI dan POGI, 2017). Manajemen

bedah yang bersifat konservatif diutamakan untuk pasien yang masih dalam

usia reproduktif dan ingin hamil di masa depan atau mencegah induksi

menopause dini. Sedangkan tindakan bedah yang bersifat definitif dilakukan

melalui ooforektomi bilateral untuk menginduksi menopause serta

pengangkatan uterus dan tuba falopii disertai eksisi seluruh lesi endometriosis

(HIFERI dan POGI, 2017).

336

Anda mungkin juga menyukai