Anda di halaman 1dari 10

Larang Tukang Gigi Buka Praktek, Permenkes Akan Tambah Jumlah Pengangguran

Jumat, 16 Maret 2012 - 15:14 Topik: permenkes 0 11Email0

Ilustrasi

Sampit, Seruu.com - Kebijakan pemerintah yang akan menertibkan dan melarang tukang gigi membuka praktik bakal berdampak besar terhadap sejumlah tukang gigi di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Sejumlah tukang gigi di wilayah ini terancam menganggur akibat kebijakan tersebut, pasalnya, menjadi tukang gigi merupakan mata pencaharian utama para ahli gigi tanpa latar belakang pendidikan kesehatan resmi tersebut. Kalau saya dilarang membuka praktik, sama saja mematikan pangan saya dan mematikan perekonomian saya. Saya tidak ada pekerjaan lain lagi selain membuka praktik tukang gigi, kata Husni Nafari (50), salah seorang tukang gigi yang membuka praktik di jalan Buntok, Sampit.

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1871/Menkes/ Per/IX/2011 tentang Pencabutan Peraturan menteri Kesehatan Nomor 339/Menkes/Per/v/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi/Ahli Gigi yang intinya

adalah Tukang Gigi/ Ahli Gigi tidak bisa berpraktek lagi.

Permenkes pencabutan aturan tentang tukang gigi itu ditandatangani awal September 2011, dan baru diberlakukan enam bulan kemudian atau jatuh pada 6 Maret 2012. Peraturan tahun 1989 yang dicabut diantaranya memuat ketentuan bahwa kewenangan tukang gigi adalah membuat gigi tiruan (palsu) dari bahan akrilik dan memasangnya. Namun, kabarnya kebijakan itu baru diberlakukan April mendatang.

Husni mengaku belum mengetahui adanya larangan membuka praktik tersebut. Dia menuturkan, keahlian tukang gigi yang didapatnya memang di luar pengetahuan ilmu medis, namun diperoleh secara turum temurun dari kakeknya. Dia menjalankan usaha itu sudah puluhan tahun, tepatnya sejak 1978 silam.

Menurutnya, peralatan praktiknya dibeli dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel) termasuk gigi palsu untuk pasien. Sekali pasang gigi palsu, setiap pasien dikenakan tarif maksimal Rp 150 ribu per gigi. Dalam sebulan, sedikitnya ada tiga orang pasien yang meminta pasang gigi palsu. Rata-rata memasang lebih dari satu gigi.

Husni menuturkan, masyarakat biasanya lebih memilih datang ke tukang gigi untuk memasang gigi palsu karena pelayanan yang cepat dibanding jika ke dokter gigi. Selama menjalani profesinya, Husni mengaku telah dikenal luas hingga ke luar daerah dan tidak jarang diminta datang ke tempat pasien untuk melakukan pemasangan gigi palsu

Selama saya membuka praktik juga tidak pernah ada keluhan dari pasien saya. Apalagi yang saya tangani tidak ada hubungannya dengan mencabut atau membersihkan gigi, saya hanya memasang gigi palsu dan hanya sistem tempel, tidak ada resikonya, jelasnya.

Dalam membuka usaha itu, ungkap Husni, dia memang tidak memiliki izin. Di Kotim juga tidak ada perkumpulan atau asosiasi tukang gigi. Dia berusaha secara mandiri tanpa ada pembinaan dari pemerintah daerah atau lembaga yang berwenang.

Saya buka praktek ini memang tak ada izin, langsung buka saja, soalnya saya merasa tidak menyulitkan orang, dan niat saya hanya ingin menolong orang saja. Orang yang sebelumnya merasa tidak enak (karena tak ada gigi) bisa enak, yang tidak cantik bisa jadi cantik, tuturnya.

Husni menegaskan, selama praktik, dia tidak pernah melayani pasien yang meminta untuk dilakukan pencabutan atau pembersihan karang gigi. Dia tidak berani melakukan hal itu karena khawatir bakal beresiko. Dia menyarankan kepada pasiennya mendatangi dokter gigi apabila ingin mencabut.

Husni mengaku siap mengikuti aturan tersebut apabila memang pemerintah memaksa mereka melarang praktik. Kalau dalam keadaan terpaksa, saya ikuti, tetapi, itu sama saja menutup pangan saya, tegasnya.

http://www.seruu.com/utama/nasional/artikel/larang-tukang-gigi-buka-praktek-permenkes-akantambah-jumlah-pengangguran

kaskus

Tukang gigi (ilustrasi)

Kemenkes tak Keluarkan Izin Baru Tukang Gigi


Sabtu, 17 Maret 2012 23:40 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak akan mengeluarkan izin baru untuk tukang gigi seperti dinyatakan dalam Permenkes 1871/2011 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan No 339/1989. "Permenkes 339/1989 berisi pembaruan izin bagi tukang gigi yang sudah ada, dan dengan Permenkes 1871/2009 yang membatalkan, maka tidak dikeluarkan izin baru bagi tukang gigi," tegas Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Dedi Kuswenda dalam jumpa pers di Jakarta, Sabtu (17/3). Ia juga mengingatkan tukang gigi yang masih memiliki izin dilarang untuk melakukan praktik seperti dokter gigi, misalnya melakukan penambalan, pemasangan behel, pencabutan gigi dan memberikan obat-obatan seperti disebutkan dalam UU No 29/2004 tentang praktik kedokteran. Sesuai dengan UU 29/2004 pasal 73 ayat 2, setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan atau surat izin praktik. "Hasil kajian dari banyak teman profesi, pemasangan gigi yang di atas akar gigi itu tidak boleh, tapi banyak dilakukan oleh tukang gigi. Akar gigi kan tempat kuman, jika ditutup oleh gigi palsu, itu bisa menyebabkan kelainan, bahkan infeksi," papar Dedi. Ia menambahkan banyak tukang gigi yang juga berani memasang kawat gigi (behel), padahal itu merupakan tindakan spesialistik yang hanya boleh dilakukan oleh dokter gigi.

Sesuai dengan Permenkes No 339/1989, tukang gigi hanya berwenang untuk membuat gigi tiruan lepasan dari akrilik sebagian atau penuh dan memasang gigi tiruan lepasan. "Tukang gigi sekarang praktiknya sudah macam-macam. Masyarakat harus tahu tentang aturan itu, karena ini menyangkut keselamatan pasien," ujar Dedi. Sosialisasi aturan dan upaya penertiban disebut Dedi akan dilakukan oleh dinas kesehatan, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. "Kami tidak akan melakukan 'sweeping' atau penertiban bagi tukang gigi tapi mereka akan kena UU praktik kedokteran. Bukan hanya kena Permenkes, tapi melanggar UU," papar Dedi. Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Zaura Rina Anggraeni mengatakan, keamanan merupakan pertimbangan utama bagi penertiban tukang gigi. "Banyak efek samping dari ringan sampai berat jika memaksakan diri berobat ke tukang gigi. Selain keamanan di rongga mulut, keselamatan pasien juga terabaikan dengan tidak adanya pengendalian infeksi atau penularan penyakit," ujar Zaura. Ia juga menegaskan, praktik yang kini banyak ditawarkan tukang gigi, seperti pemasangan behel, 'jacket' atau 'bracket' gigi membutuhkan keterampilan dan izin praktik khusus. Dikatakannya, pentingnya penertiban praktik tukang gigi, karena meskipun biaya 'berobat' ke tukang gigi lebih murah daripada ke dokter gigi, tapi dampaknya bisa jadi menimbulkan masalah yang akan berbiaya tinggi. "Kita perlu memberi edukasi ke masyarakat terutama untuk mencegah terjadinya penyakit gigi dan mulut, dan jika ada masalah untuk tidak berobat ke tukang gigi," kata Zaura. Saat ini diperkirakan ada sekitar 75 ribu tukang gigi diseluruh Indonesia sedangkan jumlah dokter gigi dan spesialis gigi ada sekitar 22 ribu, teknisi gigi 3 ribu orang dan perawat gigi sekitar 15 ribu orang.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/03/17/m11fmv-kemenkes-tak-keluarkan-izinbaru-tukang-gigi

Yang Tak Boleh Dilakukan Tukang Gigi Berdasarkan Permenkes Baru


Vera Farah Bararah - detikHealth

(Foto: thinkstock)

Jakarta, Dalam peraturan baru Menteri Kesehatan, tukang gigi dilarang melakukan pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Lalu sebenarnya apa saja wewenang yang boleh dilakukan oleh tukang gigi?

"Pekerjaan tukang gigi hanya membuat gigi tiruan lepasan dan akrilik, sebagian atau penuh dan memasang gigi tiruan tersebut," ujar dr H R Dedi Kuswenda, MKes, direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Ditjen BUK Kemenkes, dalam temu media di Gedung Kemenkes, Jakarta, Sabtu (17/3/2012). Sementara itu dr Dedi menuturkan ada larangan untuk tukang gigi, yaitu: 1. Dilarang melakukan penambalan gigi dengan tambalan apapun 2. Dilarang memasang gigi tiruan cekat, mahkota 3. Dilarang menggunakan obat-obatan yang berhubungan dengan tambalan tetap atau sementara 4. Dilarang melakukan pencabutan gigi dengan atau tanpa suntikan 5. Dilarang melakukan tindakan medis 6. Dilarang mewakilkan pekerjaan pada siapapun. "Fakta dilapangan banyak tukang gigi yang tidak memiliki izin tapi melakukan praktek mandiri seperti mencabut atau pasang behel. Terus terang kita enggak memberi izin, karena memang tidak ada izin baru untuk tukang gigi," ujar dr Dedi. dr Dedi mengungkapkan dalam Permenkes No 339/MENKES/PER/V/1989 tukang gigi yang sudah punya izin berdasar Permenkes No 53/DPK/I/K/1969 wajib mendaftarkan diri kembali atau perbaruan izin dari waktu itu untuk jangka waktu 3 tahun dan bisa diperpanjang hingga usia 65 tahun. "Sebetulnya itu suatu kelanjutan mulai dari tahun 1969 sampai 1989, maka sesungguhnya kementerian kesehatan tidak memberikan izin baru sejak itu, selain tukang izin yang sudah dapat izin. Kalau kita lihat sekarang mungkin usianya sudah ada yang lebih dari 65 tahun dan tidak boleh praktik lagi," ungkapnya. Sementara itu drg Zaura Rini Anggraeni, MDS selaku Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) menuturkan efek atau akibat dari tindakan tukang gigi ini faktanya mulai dari efek samping ringan hingga berat. "Yang dipikirkan saat ini adalah keselamatan pasien khususnya jika tindakan di bawah standar. Akibatnya bisa terlihat di rongga gigi atau penularan penyakit dan lainnya," ujar drg Zaura. Saat ini banyak tukang gigi dalam plangnya menyebutkan melayani hal-hal yang diluar ketentuannya. Padahal tindakan itu memerlukan pemahaman dasar ilmu pengetahuan serta kompetensi keterampilan. "Masyarakat menganggap ke dokter gigi biaya berobatnya tinggi sekali, jadi mungkin masyarakat pergi ke tukang gigi yang biayanya lebih ringan, tapi hal ini bisa timbul akibat yang nantinya justru membutuhkan biaya lebih tinggi lagi," ungkapnya. Tidak semua perawatan gigi itu mahal, ada yang murah dan terjamin seperti di puskesmas murah, bermutu dan terjangkau, di rumah sakit pemerintah atau rumah sakit gigi dan mulut yang terdapat di semua fakultas kedokteran gigi. Bahkan di beberapa daerah ada yang menggratiskan biaya dokter gigi, jadi tidak selamanya mahal. "Kalau di swasta tentu harganya lebih mahal, tapi kalau di rumah sakit pemerintah relatif murah dan pelayanannya bermutu. Karena semua dokter gigi yang berpraktek sudah melewati uji kompetensi," ujar drg Zaura. drg Zaura menjelaskan wewenang dari tukang gigi ini dibatasi pada pembuatan dan pemasangan gigi akrilik yang bukan di atas akar gigi, jadi hanya boleh yang lepas pasang dan bukan yang ditempel. "Harus dilakukan pengawasan sehingga nantinya tidak merugikan masyarakat dan pelayanan kesehatan gigi harus dilakukan dengan benar agar pasien tidak tertular penyakit yang tidak diinginkan seperti hepatitis atau HIV/AIDS," ungkapnya. Tukang gigi yang saat ini masih memiliki izin praktik akan dikembalikan ke ketentuannya semula yang hanya membuat gigi tiruan dari akrilik, sebagian atau penuh yang bisa dilepas-lepas. Sementara itu dr Dedi menturkan Kadinkes Provinsi Kabupaten/Kota harus membina para tukang gigi yang masih terdaftar dibina tingkat Puskesmas, diberikan formulir untuk didata lebih baik lagi dan diharapkan bisa bekerja sama dengan teknisi gigi yang telah teregistrasi di majelis tenaga kesehatan Indonesia dan Provinsi.

http://health.detik.com/read/2012/03/17/170346/1869986/775/yang-tak-boleh-dilakukan-tukang-gigiberdasarkan-permenkes-baru?l1101755hl

NASIONAL - KESEHATAN
Minggu, 18 Maret 2012 , 07:49:00

Kemenkes Tertibkan Tukang Gigi


JAKARTA - Praktek tukang gigi cukup menjamur di sejumlah wilayah di Indonesia. Para tukang gigi yang menyebut dirinya ahli gigi tersebut sejatinya sudah meresahkan pemerintah. Sebab, para tukang gigi tersebut makin berani melakukan tindakan medis di luar kewenangannya sebagai sekedar tukang gigi. Tindakan medis tanpa disertai kompetensi yang memadai tersebut membahayakan kesehatan pasien. Pemerintah dalam hal ini Kemenkes segera menertibkan para tukang gigi di sejumlah wilayah Indonesia. "Sudah menjadi tugas pemerintah untuk melindungi masyarakat agar mendapatkan pelayanan yang kompeten untuk kesehatan gigi dan mulut. Menurut fakta di lapangan, banyak tukang gigi yang sudah melakukan hal-hal di luar kewenangan mereka. Mereka melanggar UU Praktek Kedokteran. Para tukang gigi tersebut akan ditertibkan,"jelas Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Ditjen Bina Upaya Kesehatan Dedi Kuswenda di gedung Kemenkes, kemarin (17/3). Dedi menuturkan, kewenangan tukang gigi sejatinya hanya mencakup membuat gigi tiruan lepasan dari akrilic sebagian atau penuh dan memasang gigi tiruan lepasan. Namun, kenyataannya para tukang gigi tersebut melakukan lebih dari itu. Bahkan melakukan tindakantindakan medis yang seharusnya hanya boleh dilakukan dokter gigi. Hal tersebut bisa membahayakan pasien. "Mereka lakukan tindakan cabut gigi, bahkan ada juga yang menambal gigi. Mereka banyak melakukan pemasangan gigi di atas akar gigi. Akar gigi itu kan tempatnya kuman. Bisa mengakibatkan kelainan. Mereka juga melakukan pemasangan behel, yang sebetulnya tindakantindakan spesialistik. Efeknya bisa panjang itu," papar Dedi. Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia Ketua Umum PB PDGI drg Zaura Rini Anggraeni MDS menambahkan tidak sedikit, keluhan yang diterima para dokter gigi terkait kerusakan yang diakibatkan para tukang gigi. Beberapa keluhan yang kerap diteriam antara lain pasien mengeluhkan rasa terbakar, sakit dan bengkak setelah diaplikasikan gigi tiruan tanpa dilakukan pencabutan sisa akar gigi. "Itu benar terjadi di Kabupaten Kudus. Para tukang gigi ini kan mengabaikan keselamatan pasien. Mereka tidak memikirkan pengendalian infeksi dan penularan penyakit yang mungkin terjadi," katanya. Terkait hal tersebut, lanjut Dedi, Kemenkes sebenarnya tidak lagi menerbitkan ijin bagi para tukang gigi. Yang ada hanya pembaharuan ijin bagi para tukang gigi yang sudah memiliki ijin sejak tahun 1969. Diakui Dedi, pada masa itu, tukang gigi diberikan ijin untuk membuat gigi tiruan lepasan dari akrilic sebagian atau penuh dan memasang gigi tiruan lepasan berdasarkan Permenkes No. 53/DPK/I/K/1969. Sebab, jumlah dokter gigi masih sangat terbatas pada waktu itu. Selanjutnya, dalam rengka penertiban pengawasan, maka dikeluarkan Permenkes No.339/MENKES/PER/V/1989. Namun, Permenkes No. 339 itu telah dicabut digantikan dengan Permenkes No. 1871/MENKES/PER/2011. Dalam Permenkes yang terbaru tersebut, hanya diatur para tukang gigi yang sudah terdaftar dan telah mendapatkan ijin sesuai Permenkes sebelumnya yakni Permenkes No. 53//DPK/I/K/1969.

Para tukang gigi terdaftar tersebut juga harus selalu melakukan pembaharuan ijin hanya sampai usia 65 tahun. "Kalau sesuai perhitungan kita, di tahun 2012 ini para tukang gigi yang dulu terdaftar usianya sudah lebih dari 65 tahun. Dan pada usia di atas itu sudah tidak boleh lagi melakukan tindakantindakan tukang gigi. Jadi secara alamiah seharusnya para tukang gigi itu akan habis sendiri. Karena mereka dilarang mewariskan keahliannya sebagai tukang gigi pada keturunannya," tegas Dedi. Rencananya penertiban atas tukang gigi akan mulai dilakukan bulan April mendatang. Pemerintah akan memberikan himbauan pada para tukang gigi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia melalui Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Para tukang gigi itu nantinya bisa diarahkan untuk menjadi teknisi gigi melalui pendidikan formal atau mengembalikan fungsi tukang gigi sesuai dengan kewenangannya. "Untuk di lapangan kita kerjasama dengan pemda. Namun dengan cara-cara yang persuasif tidak asal gerebek. Kita akan mengembalikan mereka ke kiprahnya sebagai tukang gigi. Nantinya juga akan ada pola kemitraan,"imbuh Dedi.

http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=121022

Profesi Tukang Gigi Dihabisi


Didit Putra Erlangga Rahardjo | Agus Mulyadi | Rabu, 14 Maret 2012 | 16:54 WIB Dibaca: 2861 Komentar: 3

Share:

Kompas/Didit Putra Erlangga

Pengurus Perkumpulan Tukang Gigi Indonesia (PTGI) Jawa Barat memberikan keterangan kepada wartawan, di Bandung, Rabu (14/3/2012).

TERKAIT:

Praktik Tukang Gigi Akan Segera Ditertibkan

BANDUNG, KOMPAS.com - Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan mengenai pekerjaan tukang gigi, dianggap bakal menghabisi profesi tukang gigi di seluruh Indonesia. Mereka kini tak lagi diperbolehkan memberi pelayanan mulut dan gigi kepada warga, khsusnya pemasangan gigi palsu. Pencabutan Permenkes tersebut ditandatangani awal September 2011, dan baru diberlakukan enam bulan kemudian atau jatuh pada 6 Maret 2012. Peraturan tahun 1989 yang dicabut, memuat ketentuan bahwa kewenangan tukang gigi adalah membuat gigi tiruan dari bahan akrilik dan memasangnya. "Dengan pencabutan permenkes tersebut, artinya kami dipaksa untuk menganggur," ujar Mohamad Jufri, Ketua Perkumpulan Tukang Gigi Indonesia Jawa Barat di Bandung, Rabu (14/3/2012). Dia mengungkapkan bahwa ada sekitar 75.000 tukang gigi di Indonesia, yang bekerja sejak puluhan tahun. Permenkes pencabutan itu tidak memberikan kejelasan nasib mereka, jika tukang gigi dilarang beroperasi lagi.

http://regional.kompas.com/read/2012/03/14/16545872/Profesi.Tukang.Gigi.Dihabisi
KEMENKES TIDAK TERBITKAN IZIN PRAKTIK BARU BAGI TUKANG GIGI SEJAK 23 TAHUN LALU
Jakarta, 17 Maret 2012 Guna melindungi masyarakat dari pelayanan kedokteran yang tidak sesuai dengan standard, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.1871/MENKES/PER/IX/2011 tentang Pencabutan Permenkes sebelumnya No.339/MENKES/PER/V/1989 yang mengatur kewenangan, larangan serta perizinan tukang gigi. Permenkes No.1871/MENKES/PER/IX/2011 mengatur para tukang gigi yang terdaftar dan memiliki izin sejak 1953. Kemenkes tidak menerbitkan izin baru sejak tahun 1969, serta pembaharuan izin hanya dapat diperpanjang hingga yang bersangkutan berusia 65 tahun. Dengan demikian, sebetulnya pekerjaan tukang gigi secara alamiah sudah sepuh, tidak bisa lagi melakukan hal tersebut. Demikian keterangan Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan, dr.Dedi Kuswenda, M.Kes terkait berita seputar tukang gigi, di Jakarta (17/3). Dijelaskan, pendaftaran dan perizinan praktik tukang gigi diatur pada Permenkes No. 53/DPK/I/K/1969, karena pada masa itu, jumlah dokter gigi dan penyebarannya belum banyak. Namun, upaya penertiban dan pengawasan tukang gigi mulai dilakukan seiring terbitnya Permenkes No.339/MENKES/PER/V/1989, 23 tahun lalu. Permenkes ini mengatur kewenangan, larangan dan perizinan tukang gigi. Dalam Permenkes tersebut diantaranya dinyatakan bahwa kewenangan tukang gigi adalah untuk membuat dan memasang sebagian atau penuh gigi tiruan lepasan dari

akrilik. Permenkes melarang tukang gigi melakukan penambalan gigi dengan tambalan apapun; pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat/mahkota tumpatan tuang dan sejenisnya; menggunakan obat-obatan yang berhubungan dengan tambalan gigi baik sementara ataupun tetap; melakukan pencabutan gigi, baik dengan suntikan maupun tanpa suntikan; melakukan tindakan-tindakan secara medis termasuk pemberian obatobatan. Terkait perizinan, Permenkes No.339/MENKES/PER/V/1989 mengatur tukang gigi yang telah teregistrasi dan memiliki izin wajib melakukan pembaharuan izin untuk jangka waktu tiga tahun dan dapat diperpanjang kembali hingga usia 65 tahun. Disebutkan pula, Kementerian Kesehatan tidak menerbitkan izin baru bagi tukang gigi selain bagi tukang gigi yang telah mendapatkan izin berdasarkan Permenkes No. 53/DPK/I/K/1969. Jadi, Permenkes No. 1871/MENKES/PER/IX/2011 tahun 2011 hanya mengatur para tukang gigi yang terdaftar dan telah mendapatkan izin Kementerian Kesehatan sesuai Permenkes No. 53/DPK/I/K/1969 dimana izin tersebut sudah diatur kembali dalam Permenkes No. 339/MENKES/PER/V/1989, jelas dr. Dedi. Permenkes No. 1871/MENKES/PER/IX/2011 juga menyatakan, Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota, Kepala Puskesmas harus membina Tukang Gigi dalam rangka perlindungan terhadap masyarakat. Di tingkat Puskesmas, pembinaan dilakukan dalam bentuk penjaringan/pendataan disertai pemberian formulir pendataan kepada tukang gigi yang berpraktik di wilayahnya. Sementara di tingkat Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, melakukan pembinaan yang diarahkan untuk kerjasama dengan profesi teknisi gigi yang telah teregistrasi Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dan MajelisTenaga Kesehatan Provinsi (MTKP). Dr. Dedi menyatakan, praktik jasa pelayanan tukang gigi yang menyebut diri sebagai ahli gigi, kian menjamur dan semakin dicari masyarakat. Dengan alasan mencari pelayanan dengan harga murah, masyarakat seolah tidak peduli dengan keselamatan dirinya. Para tukang gigi yang tidak memiliki izin praktik ini melakukan praktik mandiri melebihi kewenangannya dan melakukan tindakan-tindakan spesialistik, seperti tindakan pencabutan, penambalan gigi, perawatan ortodonti (behel) dan pembuatan mahkota akrilik atau porselen. Menurut dr. Dedi, Kemenkes akan secepatnya melakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui daerah, tinggal implementasinya di daerah, karena itu berhubungan dengan

otonomi daerah. Nanti akan ada pola kemitraan seperti dukunbidan, Itu yang kita harapkan, tandas dr. Dedi.

http://www.depkes.go.id/index.php/component/content/article/43-newsslider/1866-kemenkes-tidakterbitkan-izin-praktik-baru-bagi-tukang-gigi-sejak-23-tahun-lalu.html

Anda mungkin juga menyukai