Anda di halaman 1dari 11

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM MEMILIH JODOH

KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT, atas berkah, rahmat dan hidayah-Nya, penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang nantinya akan diajukan guna memenuhi tugas Mata Kuliah Hadits Tarbawi pada Program Pascasarjana Strata Dua Studi Ilmu Tarbiyah Konsentrasi Pendidikan Agama Islam di Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung, yang penulis beri judul Nilai-nilai Pendidikan dalam Memilih Jodoh. Penyusun menyadari hasil makalah ini belumlah sepenuhnya benar, maka penyusun menerima saran dan kritik demi perbaikan di masa mendatang. Ucapan terima kasih penyusun sampaikan kepada Bapak DR. H. Sulton Syahril, M.A. dan DR. M. Akmansyah, M.A. selaku dosen Hadits Tarbawi, yang kami membimbing dalam penyelesaian makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca umumnya. Jombang : 01 Januari 2013 Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman Judul......................................................................................... Kata Pengantar ....................................................................................... Daftar Isi ................................................................................................

BAB I Pendahuluan................................................................................ BAB II Pembahasan .............................................................................. A. Tujuan Pernikahan................................................................... B. Kreteria Memilih Calon Istri yang Sholihah............................ C. Memberi Nafkah ..................................................................... D. Pengaruh Orang Tua Terhadap Pendidikan Anak .................. BAB III Penutup .................................................................................. A. B. Kesimpulan............................................................................. Penutup...................................................................................

Daftar Pustaka

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Disyariatkannya pernikahan terkandung maksud agar agama seseorang semakin sempurna, nafsu birahinya tidak serakah, terjaga ketahanan mental dan jasmani, memperkokoh tali persaudaraan, baik antar individu maupun dengan masyarakat, menjaga kemuliaan bangsa dan negara, serta meraih ampunan dosa. Namun, kini telah banyak manusia yang memilih kedudukan dan martabat hewani, enggan menikah, memilih hidup bebas tanpa batas dalam menyalurkan nafsu birahinya. Kenyataan ini tidak perlu dipungkiri, karena sudah ada sejak Allah menciptakan bumi. Bahkan sampai kiamat perilaku hewani itu mungkin tetap akan menghiasi kehidupan manusia yang tak pernah tersentuh nilai keimanan. Mereka memandang bahwa hidup adalah uang dan kemegahan. Harta, tahta, dan wanita sebagai tolok ukur keberhasilan dalam mengarungi hidup hingga dalam memilih pasangan hidup selalu mengutamakan kekayaan material, keturunan, dan kecantikan. Bagi mereka, hal tersebut merupakan prestise dalam mengarungi kehidupan di tengah masyarakat. Agama dan akhlak bukan lagi dijadikan ukuran, bahkan menjadi cemoohan. Ada pula di antara mereka yang menikah hanya sekadar mencari ajang penyaluran seks, mencari kenikmatan dan kepuasan duniawi. Hal tersebut senantiasa dijadikan dambaan dalam memilih pasangan hidup. B. 1. 2. 3. RUMUSAN MASALAH Apakah tujuan pernikahan dalam Islam ? Bagaimanakah kriteria memilih calon istri yang sholeh ? Bagaimana tuntunan Islam memberi nafkah pada Istri ? pendidikan anak dalam

4. Bagaimanakah peran orang tua terhadap menentukan pasangan hidup ?

BAB II PEMBAHASAN A. Tujuan Pernikahan dalam Islam

Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini: 1. Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya:

. .
ArtinyaDiriwayatkan dari Abdullah bin Masud Radhiyallahu anhu. Ia menuturkan: "Kami bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebagai pemuda yang tidak mempunyai sesuatu, lalu beliau bersabda kepada kami: "Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).(H.R Bukhori)[1] 2. Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

...... : ( .)
Artinya: Rasulullah SAW bersabda :Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.... (HR Ahmad dan Disahihkan oleh Ibnu Hibban).[2] 3. Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Taala memerintahkan:

... .
Artinya Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita

yang beriman: Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka. (An-Nur: 30-31) Dalam surah yang lain, Allah Subhanahu wa Taala memuji orang-orang beriman yang salah satu sifat mereka adalah menjaga kemaluan mereka kecuali kepada apa yang dihalalkan:

.. .
Artinya: Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (Al-Mu`minun: 5-6) B. Kriteria memilih calon istri yang sholeh

1. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya Taat kepada Allah adalah kriteria yang paling utama dari kriteria yang lain. Memilih calon pasangan hidup, minimal harus terdapat satu syarat ini. Karena Allah Taala berfirman,

..
Artinya: Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa. (QS. Al Hujurat: 13) Taqwa dalam pandangan kami adalah menjaga diri dari adzab Allah Taala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka hendaknya seorang muslim berjuang untuk mendapatkan calon pasangan yang paling mulia di sisi Allah, yaitu seorang yang taat kepada aturan agama. Rasulullah shallallahualaihi wasallam pun menganjurkan memilih istri yang baik agamanya,

:
Artinya: Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi. (HR. Bukhari-Muslim).[3] Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,


Artinya: Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar. (HR. Tirmidzi. Al Albani berkata dalam Adh Dhoifah bahwa hadits ini hasan lighoirihi) Ilmu agama adalah poin penting yang menjadi perhatian dalam memilih pasangan. Karena bagaimana mungkin seseorang dapat menjalankan perintah

Allah dan menjauhi larangan-Nya, padahal dia tidak tahu apa saja yang diperintahkan oleh Allah dan apa saja yang dilarang oleh-Nya? Dan disinilah diperlukan ilmu agama untuk mengetahuinya. Maka pilihlah calon pasangan hidup yang memiliki pemahaman yang baik tentang agama. Karena salah satu tanda orang yang diberi kebaikan oleh Allah adalah memiliki pemahaman agama yang baik. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Artinya: Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapat kebaikan akan dipahamkan terhadap ilmu agama. (HR. Bukhari-Muslim) 2. Al Kafaah (Sekufu) Sekufu atau al kafaah -secara bahasa- adalah sebanding dalam hal kedudukan, agama, nasab, rumah dan selainnya (Lisaanul Arab, Ibnu Manzhur). Al Kafaah secara syariat menurut mayoritas ulama adalah sebanding dalam agama, nasab (keturunan), kemerdekaan dan pekerjaan. [4]Atau dengan kata lain kesetaraan dalam agama dan status sosial. Banyak dalil yang menunjukkan anjuran ini. Di antaranya firman Allah Taala,


Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula. (QS. An Nur: 26) Al Bukhari pun dalam kitab shahihnya membuat Bab Al Akfaa fid Diin (Sekufu dalam agama) kemudian di dalamnya terdapat hadits,

:
Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (keislamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi. (HR. Bukhari-Muslim) Salah satu hikmah dari anjuran ini adalah kesetaraan dalam agama dan kedudukan sosial dapat menjadi faktor kelanggengan rumah tangga. Hal ini diisyaratkan oleh kisah Zaid bin Haritsah radhiyallahu anhu, seorang sahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy radhiyallahu anha. Zainab adalah wanita terpandang dan cantik, sedangkan Zaid adalah lelaki biasa yang tidak tampan. Walhasil, pernikahan mereka pun tidak berlangsung lama. Jika kasus seperti ini terjadi pada sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, apalagi kita?

3. Menyenangkan jika dipandang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits yang telah disebutkan, membolehkan kita untuk menjadikan faktor fisik sebagai salah satu kriteria memilih calon pasangan. Karena paras yang cantik atau tampan, juga keadaan fisik yang menarik lainnya dari calon pasangan hidup kita adalah salah satu faktor penunjang keharmonisan rumah tangga. Maka mempertimbangkan hal tersebut sejalan dengan tujuan dari pernikahan, yaitu untuk menciptakan ketentraman dalam hati.

Allah Taala berfirman,


Dan di antara tanda kekuasaan Allah ialah Ia menciptakan bagimu istri-istri dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram denganya. (QS. Ar Ruum: 21) Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga menyebutkan 4 ciri wanita sholihah yang salah satunya,


Jika memandangnya, membuat suami senang. (HR. Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih) Oleh karena itu, Islam menetapkan adanya nazhor, yaitu melihat wanita yang yang hendak dilamar. Sehingga sang lelaki dapat mempertimbangkan wanita yang yang hendak dilamarnya dari segi fisik. Sebagaimana ketika ada seorang sahabat mengabarkan pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa ia akan melamar seorang wanita Anshar. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Sudahkah engkau melihatnya? Sahabat tersebut berkata, Belum. Beliau lalu bersabda, Pergilah kepadanya dan lihatlah ia, sebab pada mata orang-orang Anshar terdapat sesuatu. (HR. Muslim) 4. Subur (mampu menghasilkan keturunan) Di antara hikmah dari pernikahan adalah untuk meneruskan keturunan dan memperbanyak jumlah kaum muslimin dan memperkuat izzah (kemuliaan) kaum muslimin. Karena dari pernikahan diharapkan lahirlah anak-anak kaum muslimin yang nantinya menjadi orang-orang yang shalih yang mendakwahkan Islam.

Oleh karena itulah, Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih calon istri yang subur,


Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku. (HR. An NasaI, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani dalam Misykatul Mashabih) Karena alasan ini juga sebagian fuqoha (para pakar fiqih) berpendapat bolehnya fas-khu an nikah (membatalkan pernikahan) karena diketahui suami memiliki impotensi yang parah. As Sadi berkata: Jika seorang istri setelah pernikahan mendapati suaminya ternyata impoten, maka diberi waktu selama 1 tahun, jika masih dalam keadaan demikian, maka pernikahan dibatalkan (oleh penguasa) (Lihat Manhajus Salikin, Bab Uyub fin Nikah hal. 202)

C.

Tuntunan Islam memberi nafkah

Apabila gerbang perkahwinan sudah dilalui, maka suami dan isteri haruslah saling memahami kewajiban-kewajiban dan hak masing-masing, agar tercapai keseimbangan dan keserasian dalam membina rumah tangga yang harmoni. Kewajiban-kewajiban dan hak-hak tersebut adalah saling melengkapi yang tersurat dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Sahabat Mu'awiyah bin Haidah bin Mu'awiyah al-Qusyairi radhiyallaahu' anhu bahwasanya ia dialog bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'wa sallam , "Ya Rasulullah, apakah hak seorang isteri yang mesti dipenuhi oleh seorang suaminya?" Maka Rasulullah shallallahu alaihi 'wa sallam menjawab: 1. Engkau memberinya Makan apabila engkau Makan, 2. Engkau memberinya Pakaian apabila engkau berpakaian, 3. Janganlah engkau memukul wajahnya, 4. Janganlah engkau memburuk-burukkannya (menghinanya), dan 5. Janganlah engkau meninggalkannya melainkan di dalam Rumah (iaitu jangan berpisah tempat Tidur melainkan di dalam Rumah)." Memberi Makan merupakan istilah lain bahasa dari memberi nafkah. Memberi nafkah suami telah diwajibkan ketika sang suami akan melaksanakan 'aqad nikah, yaitu dalam bentuk mahar, saling melengkapi sebagaimana tersurat dalam Al-Qur'an, surat al-Baqarah ayat 233. Bahkan ketika terjadi perceraian, Suami Masih berkewajiban memberikan nafkah kepada isterinya selama Masih dalam MASA 'iddahnya Dan nafkah untuk menguruskan Anak-anaknya. Barangsiapa Yang hidupnya sekadar cukup Makan,

dialog

Tetap

Wajib

memberikan

nafkah

Menurut

kemampuannya.

Allah Azza wa Jalla berfirman: "Artinya: ... Dan orangutan Yang Terbatas rizkinya, hendaklah memberi nafkah bahasa Dari harta Yang diberikan Allah kepadanya Allah membebani seseorang melainkan MEDIA NUSANTARA (sesuai) Mencari Google Artikel APA Yang diberikan Allah kepadanya Allah kelak Akan memberikan kelapangan Penghasilan kena pajak kesempitan..." (At-thalaq: 7 ) Ayat Yang mulia Suami menunjukkan kewajiban seseorang untuk memberikan nafkah, meskipun AGLOCO dalam keadaan serba kekurangan, tentunya disesuaikan Mencari Google Artikel Baru Hal inisial Kadar rezeki Yang telah Allah berikan kepada dirinya. Berdasarkan ayat inisial pula, memberikan nafkah kepada isteri hukumnya adalah Wajib. Sehingga dalam MENCARI nafkah, seseorang MEDIA NUSANTARA boleh bermalas-malasan Dan MEDIA NUSANTARA boleh bergantung kepada orangutan Hidup Lain Serta MEDIA NUSANTARA boleh meminta-Minta kepada orangutan Lain agar memberikan nafkah kepada isteri Dan anaknya. Sebagai ketua Rumah Tangga, seorang Suami harus memiliki sales Dan bekerja sungguhsungguh Mencari Google Artikel Baru Mencari Google Artikel Baru sesuai kemampuannya. BAB III KESIMPULAN

A.

Kesimpulan

Kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang bernilai edukatif, maka mempunyai hakikat, ciri dan komponen. Ketiga aspek tersebut perlu betul guru ketahui dan pahami guna menunjang tugas di medan pengabdian, ketiga aspek tersebut adalah : a. Hakikat Belajar Mengajar b. Ciri-Ciri Belajar Menagjar c. Komponen-Komponen Belajar Mengajar Sebagai suatu proses pengaturan, maka kegiatan belajar mengajar memiliki ciriciri, Bertujuan, memiliki prosedur yang direncanakan, materi yang khusus, aktivitas anak didik, guru berperan sebagai pembimbing, disiplin, batasan waktu, dan evaluasi (penilaian). B. Penutup

Demikian uraian seacara umum tentang hakikat, ciri dan komponen belajar mengajar. Penyusun menyadari hasil makalah ini belumlah sepenuhnya benar,

maka penyusun menerima saran dan kritik demi perbaikan di masa mendatang. Akhir kata, semoga laporan makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca umumnya.

DAFTAR PUSTAKA Ad. Rooijakkers, Mengajar dengan Sukses, Gramedia, Jakarta, Cetakan VII. 1990. Moh. Yzer Belajar Usman dan Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi Kegiatan Mengajar, Remaja Rosdakarya, Bandung, Cetakan II. 1990.

Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru, Bandung, Cetakan III. 1990. ______, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Fakultas Tarbiyah, IAIN Antasari, Banjarmasin, 1994. Roestiyah. N.K. Masalah Pengajaran Sebagai Suatu Sistem , Bina Aksara, Jakarta. 1989 Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta, Jakarta,1991 Winarno Teknik Surrakhmad, Pengantar Interaksi Mengajar Belajar, Metodologi Pengajaran, Tarsito, Bandung, 1990. Dasar

[1] M. Fuad Abdul Baqi. Al-Lulu Wal Marjan (Kumpulan Hadits Sahih Bukhori Muslim), Insan Kamil, Jawa Tengah. 2011, hlm. 370. [2] Al-Hafidz Bin Hajar Al-Atsqolani, Bulughul Maram Min Adilatil Ahkam, Kitab Nikah, No. 995: Pustaka Alawiyah, Semarang. Hlm: 201. [3] Hafidz Bin Hajar Al-Atsqolani Op. Cit. No. 997. Hlm. 201. [4] Panduan Lengkap Nikah, hal. 175

Anda mungkin juga menyukai