Anda di halaman 1dari 12

BEBERAPA ASPEK BIOLOGI CALAPPA HEPATICA (Linnaeus, 1758) (CRUSTASEA; DECAPODA; BRACHYURA; CALAPPIDAE) Oleh Ernawati Widyastuti1)

ABSTRACT SOME BIOLOGICAL ASPECT OF CALAPPA HEPATICA (Linnaeus, 1758) (CRUSTACEA; DECAPODA; BRACHYURA; CALAPPIDAE). Calappa hepatica is one of crab species of genus Calappa, family Calappidae and known as a box crabs or shamefaced crabs. This crab is commonly found on sandy substrate in intertidal and shallow waters and has a wide distribution area along Indo-West Pacific. Some biological aspects such as systematic, morphology, respiration and others are discussed in this paper.

PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, baik yang hidup di darat maupun di laut. Salah satu sumberdaya hayati yang hidup di laut adalah kelompok kepiting. Kepiting dalam taksonomi dikenal dengan infraordo Brachyura dan merupakan kelompok hewan yang termasuk dalam bangsa (ordo) Decapoda, induk kelas Krustasea dari filum Arthropoda. Secara umum, kepiting dapat dikenal dari bentuk tubuhnya yang lebar-melintang. Seperti umumnya hewan dalam kelompok krustasea, kepiting mempunyai kulit atau bagian tubuh yang keras di bagian luar tubuhnya yang tersusun dari bahan kapur dan dikenal dengan sebutan karapas. Kelompok kepiting juga mempunyai bagian perut (abdomen) yang tidak terlihat, karena melipat ke bagian dadanya (NG, 1998; ROMIMOHTARTO & JUWANA, 2005).

1)

Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta

Kelompok kepiting (Brachyura) terdiri dari banyak jenis, marga dan suku. Salah satu jenis dari kelompok kepiting adalah Calappa hepatica dari marga Calappa, suku Calappidae. Calappidae sering dikenal dengan istilah Box Crabs, khususnya untuk anak suku Calappinae. Istilah tersebut disebabkan karena kepiting dari suku Calappidae dapat menyembunyikan kaki-kakinya ke bawah tubuhnya, sehingga mempunyai bentuk tubuh yang unik menyerupai sebuah kotak (box) dengan rapi. Selain itu, biota tersebut juga dikenal dengan istilah shame-faced crabs, karena memiliki kebiasaan menyembunyikan kaki-kakinya di bagian depan dari karapas, sehingga terlihat seperti sedang malu-malu (BOYCE et al., 2001). Oleh karena bentuk tubuh yang khusus tersebut, maka kepitingkepiting dari suku Calappidae lebih mudah dikenali. Menurut BALSS (1957) Calappidae terdiri dari 3 anak suku yaitu Calappinae Alcock, 1896; Matutinae Alcock, 1896 dan Orithyiinae Ihle, 1918. Akan tetapi berdasarkan ALCOCK (1896); SAKAI (1976) dan (GUINOT, 1978 dalam STEVCIC, 1983) hanya terbagi dalam 2 anak suku yaitu Calappinae Alcock, 1896 dan Matutinae Alcock, 1896. Kedua anak suku tersebut dapat dibedakan berdasarkan bentuk merus pada maksiliped ketiga dan pada kaki-kaki jalannya. Calappinae mempunyai bentuk merus pada maksiliped luar (maksiliped ketiga), tidak memanjang atau tidak meruncing dan kaki-kaki jalan berbentuk normal atau beradaptasi untuk merayap, sedangkan Matutinae mempunyai bentuk merus, pada maksiliped luar memanjang dan kaki-kaki jalan berbentuk seperti dayung atau beradaptasi untuk berenang (SAKAI, 1976). Khusus untuk jenis Calappa hepatica, sering dikenal pula dengan istilah reef box crabs. Hal ini disebabkan karena kepiting yang berbentuk kotak ini seringkali ditemukan bersembunyi di karang-karang (NG, 1998).

Secara ekonomis, kepiting jenis Calappa hepatica kurang begitu dikenal di Indonesia. Akan tetapi, berdasarkan NG (1998), Calappa hepatica merupakan salah satu jenis kepiting yang juga penting dalam bidang perikanan di "Western Central Pacific". Umumnya kepiting tersebut ditangkap oleh masyarakat setempat untuk dikonsumsi. Tulisan ini merupakan tinjauan (review) dari berbagai sumber yang masih terbatas. Penulis mencoba memberikan informasi mengenai beberapa aspek biologi dari Calappa hepatica Linnaeus, 1758, dan diharapkan dengan tulisan ini, masyarakat akan lebih mudah mengenali jenis kepiting tersebut.

SISTEMATIKA Berdasarkan SAKAI (1976), NG (1998), dan NG & DAVIE (2002), Calappa hepatica pertama kali ditemukan tahun 1758, akan tetapi dengan nama yang berbeda, yaitu Cancer hepatica Linnaeus 1758. Jenis ini mempunyai sinonim yaitu Cancer tuberculatus Herbst 1785; Calappa tuberculosa Guerin-Meneville, 1829 dan Calappa spinosissima H. Milne Edwards, 1837. Sistematika dari Calappa hepatica secara lengkap sebagai berikut : Phylum Induk kelas Kelas Anak kelas : ARTHROPODA : CRUSTACEA Pennant, 1777 : MALACOSTRACA Latreille, 1806 : EUMALACOSTRACA Grobben, 1892

Induk bangsa : EUCARIDA Calman, 1904 Bangsa : DECAPODA Latreille, 1803

Anak bangsa : PLEOCYEMATA Burkenroad, 1963 Infra ordo : BRACHYURA Latreille, 1803

Seksi Induk suku Suku Anak suku Marga Jenis

: OXYSTOMATA H. M. Edwards, 1834 : LEUCOSIOIDEA Samouelle, 1819 : CALAPPIDAE De Haan, 1833 : CALAPPINAE De Haan, 1833 : Calappa : Calappa hepatica Linnaeus, 1758

MORFOLOGI Calappa hepatica mempunyai bentuk karapas oval melebar, cembung pada kedua sisinya (Gambar 1). Karapas di bagian punggung sebelah atas dipenuhi oleh tonjolantonjolan seperti kutil dalam berbagai ukuran, sedangkan pada punggung bagian bawah terdapat tonjolan-tonjolan berbentuk lajur-lajur melintang yang memanjang dengan enam duri di bagian samping belakang (postero-lateral). Karapas lebih lebar daripada panjangnya, sehingga bentuknya menyerupai telur. Panjang karapasnya sedikit lebih panjang dari setengah lebarnya. Pada bagian tepi dari karapas bentuknya agak melengkung, dengan lebih kurang terdapat 10 gigi kecil yang tersembunyi di bawah bulu-bulu pendek. Di bagian tepi belakang dari karapas pada jenis ini, terdapat bagian yang melebar seperti sayap yang menutupi sebagian besar kaki-kakinya dan dilengkapi dengan 5 gigi, bergerigi di sebelah atas, sedangkan di sebelah bawah tanpa duri atau gigi (GOSLINER et al., 1966; NG, 1998; NG et al., 1988; and TAKEDA et al., 2000). Antenula sebagai alat pengindra pertama, umumnya miring dan melipat. Sedangkan antena sebagai alat pengindra kedua berukuran kecil.

Gambar 1. Calappa hepatica (HEALY & YALDWYN, 1970)

Pasangan kaki pertama berkembang menjadi capit yang kuat, capit ini disebut cheliped. Capit sebelah kanan mempunyai dua tonjolan di bagian dasar dari kedua jarinya yang dipergunakan untuk memecahkan cangkang kerang-kerangan maupun kelomang dan selanjutnya mengambil isinya untuk dimakan (Gambar 2). Pasangan kaki kedua dan berikutnya berbentuk pipih memanjang, meruncing dan halus, termasuk kaki terakhir. Hal ini menandakan bahwa Calappa hepatica merupakan jenis kepiting yang dapat merayap. Pada C. hepatica dactylus sebagai segmen atau bagian terakhir dari masing-masing kaki berbentuk normal atau tidak seperti dayung (NG, 1998). Hal ini berbeda bila dibandingkan dengan kepiting-kepiting suku Calappidae dari anak suku Matutinae dan suku Portunidae yang mempunyai kaki terakhir berbentuk seperti dayung, yang berfungsi untuk berenang (SAKAI, 1976; ROMIMOHTARTO & JUWANA, 2005). Karapas berwarna putih dengan bercak-bercak berwarna emas dan coklat atau abu-abu kekuning-kuningan sampai abu-abu (NG et al., 1988). Calappa hepatica juga mempunyai keistimewaan yaitu dapat mengubur badannya dengan menggunakan capitnya. Sebagian badannya akan terkubur, namun bagian depan (anterior) dari tubuh kelihatan menonjol keluar dari dasar substrat, terutama pasir (STEVCIC, 1983). Kepiting jantan dapat dibedakan dari kepiting betina, yaitu dengan cara melihat dari bentuk bagian perutnya (abdomen). Bentuk abdomen jantan umumnya sempit dan meruncing ke depan atau berbentuk segitiga, sedangkan bentuk abdomen kepiting betina berbentuk segitiga yang melebar sampai berbentuk agak bulat atau semicircular (MCLAUGHLIN, 1980; NG, 1998; ROMIMOHTARTO & JUWANA, 2005). Dalam pertumbuhannya, Calappa hepatica dan kelompok kepiting lainnya, umumnya mengalami pergantian kulit (molting). Kulit kerangka luar (eksoskeleton) yang

terbuat dari bahan berkapur, tidak dapat terus tumbuh mengikuti pertumbuhan tubuh kepiting. Jika kepiting akan tumbuh besar, maka kulit tersebut akan retak dan pecah, kemudian akan keluar individu yang lebih besar dengan keadaan kulit yang masih lunak (NONTJI, 2005).

Gambar 2. Capit bagian kanan Calappa hepatica (HEALY & YALDWYN, 1970)

SISTEM PERNAFASAN Kepiting dan krustasea lainnya bernapas dengan insang. Kebanyakan hewan ini memerlukan oksigen (O2) dan mengeluarkan karbondioksida (CO2), melalui jaringan insang. Arus pernapasan atau aliran air yang membawa O2 untuk kepiting suku Calappidae sangat rumit. Bagian pertama yang berhubungan dengan pernafasan tersebut adalah capit (cheliped). Capit-capit yang keras dan pipih tertekan dengan rapat pada daerah pterygostomial (bagian yang berbentuk segitiga pada permukaan bawah karapas), menutup bagian-bagian mulut secara lengkap, namun menyisakan satu celah antara tepi anterolateral (samping depan) bagian atas dari karapas dan tepi atas capit yang bergerigi. Bagian tepi atas yang bergerigi tersebut membentuk suatu saringan yang berguna untuk menyaring partikel-partikel pasir, sedangkan rambut-rambut pada daerah pterygostomial berfungsi untuk membantu dalam menyaring air masuk menuju bilik-bilik insang, dimana akan terjadi pertukaran gas-gas. Celah-celah penghisap terletak di bagian depan capit yang dijaga oleh dasar-dasar exopodite pada maksiliped ketiga yang dilengkapi rambut-rambut. Bagian untuk keluar dibentuk pada endostome yang mempunyai dua pancaran yang dipisahkan oleh septum. Air kemudian membawa keluar benda-benda termasuk CO2 dari dalam tubuh lewat daerah mulut (buccal) dengan melalui endostome. Proses keluarnya benda-benda dari dalam tubuh tersebut menghasilkan suatu semprotan atau pancaran yang kelihatan seperti suatu pipa penyemprot (BOYCE et al., 2001; STEVCIC, 1983).

HABITAT DAN PENYEBARAN Kepiting Calappa hepatica umumnya ditemukan hidup pada substrat-substrat berpasir, seringkali bersembunyi di karang-karang dan di daerah padang lamun. Kepiting ini dapat ditemukan dari daerah pasang surut (intertidal zone) perairan dangkal sampai pada kedalaman laut kurang lebih 100 meter (NG, 1998; TAKEDA et al., 2000). Kepiting jenis ini mempunyai daerah penyebaran yang luas, yakni di sepanjang daerah Indo-West Pacific, dari Hawaii sampai ke Jepang, ke arah pantai Timur Afrika dan Laut Merah (TAKEDA et al., 2000). Umumnya C. hepatica ditemukan di daerah intertidal (pasang surut) yang memiliki substrat pasir. Kepiting tersebut juga ditemukan di berbagai perairan yang tersebar di Indonesia, seperti di Laut Arafura (Maluku), Pulau Komodo (Nusa Tenggara Barat), Pulau Jinatu (Kepulauan Taka Bona Rate), Jawa Timur, Jawa Tengah serta di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

KEBIASAAN MAKAN Calappa hepatica umumnya dikenal sebagai pemakan binatang (predator). GOSLINER et al. (1996) menyatakan bahwa kepiting dari marga Calappa, termasuk jenis Calappa hepatica umumnya sebagai pemakan moluska dan kepiting pertapa (hermit crabs) yang berlindung dalam cangkang moluska dari kelas Gastropoda (kelompok siput). Kepiting tersebut makan dengan cara memecah atau menghancurkan cangkang moluska dengan kekuatan chela atau capitnya. Capit bagian kanan lebih besar dan kuat, dilengkapi dengan sebuah gigi khusus yang digunakan untuk merusak cangkang mangsanya, capit ini lebih dikenal sebagai capit penghancur. Capit bagian kiri lebih kecil, dengan gigi-gigi yang hampir sama ukurannya, dan dikenal sebagai capit pemotong atau penjepit

(STEVCIC, 1983). Makanan kemudian dibawa masuk melalui maksiliped III sebagai pintu pertama masuknya makanan.

PEMBIAKAN Seperti terlihat dalam sistematika, Calappa hepatica termasuk dalam seksi Oxystomata. Berdasarkan HARTNOLL (1960) bahwa semua kepiting dari seksi Oxystomata melakukan pembuahan (fertilisasi) di dalam (internal fertilization). Selanjutnya dijelaskan oleh MOOSA dkk. (1985) bahwa cara perkawinan dari kepiting dengan fertilisasi di dalam, adalah sebagai berikut : Kepiting jantan lebih dahulu mendatangi kepiting betina yang akan berganti kulit dan membantunya untuk melepaskan selubung kulitnya. Kemudian kepiting jantan membalikkan kepiting betina yang masih berkulit lunak sehingga terletak dalam posisi terlentang. Kepiting jantan kemudian memasukkan pleopod I ke dalam oviduct dari betina. Sperma jantan masuk ke dalam oviduct dengan bantuan pleopod II yang berfungsi sebagai alat pemompa. Setelah sel-sel telur dibuahi oleh sel-sel sperma dari induk jantan, telur-telur dibawa kepiting betina dan disimpan dalam suatu wadah yang bentuknya seperti keranjang yang terletak diantara abdomen dan cephalothoraks dan menempel pada abdominal limbs. Kepiting betina kemudian membuka abdomennya dan keluar ribuan telur berwarna putih. Tiap telur mempunyai ukuran yang lebih kecil dari kepala peniti (pinhead). Setelah telurtelur tersebut menetas, kemudian terbentuk larva kecil yang bentuknya seperti kutu pantai, namun sangat berlainan dengan bentuk dewasanya yang disebut dengan nauplius. Nauplius berukuran mikroskopis, sehingga jarang terlihat dengan mata biasa. Nauplius dilengkapi dengan 3 pasang anggota badan yaitu antenna I (antennula), antenna II (antenna)

10

dan mandibula. Nauplius kemudian berganti kulit sampai beberapa kali dan berubah bentuk menjadi larva zoea. Zoea yang baru menetas bentuknya lebih mirip dengan udang, dikepalanya terdapat semacam tanduk memanjang, matanya besar dan diujung kakinya terdapat rambut-rambut. Tahap zoea sendiri terdiri dari 4 tingkat untuk kemudian berubah ke tahap megalopa dengan bentuk yang lain lagi. Berbeda dengan bentuk dewasa yang hidup di dasar, larva berenang-renang terbawa arus dan hidup sebagai plankton. Setelah mengalami pergantian kulit beberapa kali, larva kemudian berubah bentuk seperti bentuk dewasanya (LANGKOSONO, 1988; NONTJI, 2005).

DAFTAR PUSTAKA ALCOCK, A. 1896. Materials for a carcinological fauna of India No.2. Brachyura Oxystomata. J. Asiat. Soc. Beng. 65 (2) : 134 296. BALSS, J. 1957. Decapoda. Systematik In : H.G. Bronn, Klassen und Ordnungen des Tierreichs. 5.(1).7(12) : 1505 1672. BOYCE, S.L.; T. SPEARS and L.G. ABELE 2001. Systematics of Calappidae (Decapoda, Brachyura). http://crustacea.nhm.org GOSLINER, T. M.; D.W. BEHRENS and G.C. WILLIAMS 1966. Coral Reef Animals of the Indo-Pacific : animal life from Africa to Hawaii exclusive of the Vertebrates. Sea Challengers 4, Sommerset Rise, Monterey, CA 93940. California : 314 pp. HARTNOLL, R.G. 1969. Mating in the Brachyura. Crustaceana 16 (2) : 161 181. HEALY, A. and J. YALDWYN 1970. Australian Crustaceans in Colour. A.H. and A.W. Reed. Sidney Australia : 111 pp. LANGKOSONO, 1988. Beberapa Catatan tentang Hewan Krustasea. Lonawarta, XII (1): 68 74. MCLAUGHLIN, A.A. 1980. Comparative Morphology of Recent Crustacea. W.H. Freeman and Company, USA : 177 pp.

11

MOOSA, M.K.; I. ASWANDY dan A. KASRY 1985. Kepiting Bakau, Scylla serrata (Forskal, 1775) dari Perairan Indonesia. Seri Sumber Daya Alam 122. Lembaga Oseanologi Nasional. LIPI, Jakarta : 18 hal. NG, P.K.L. 1998. Crabs. In : FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes. (Carpenter, K.E & N.Volker eds.). The Living Marine Resources of The Western Central Pacific. Volume I. Food & Agriculture Organization, Rome. 1046 1155. NG, P.K.L. and P.J.F. DAVIE 2002. A checklist of the Brachyuran crabs of Phuket and western Thailand. In : Proceeding of the International workshop on the Andaman Sea. (Bruce, N., M. Berggren & S. Bussarawit eds.). Phuket Marine Biological Center, Departmen of Fisheries, Thailand. Part 2 : 369 384. NG, P.K.L.; J.C.Y. LAI and C. AUNGTONYA 1988. The Box and Moon Crabs of Thailand, with Description of a New Species of Calappa (Crustacea: Brachyura: Calappidae, Matutidae). Phuket Marine Biological Center Special Publication 23 (2) : 341 360. NONTJI, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan, ed. revisi cet. 4, Jakarta : 356 hal. ROMIMOHTARTO, K. dan S. JUWANA 2005. Biologi Laut : Ilmu pengetahuan tentang biota laut. Jambatan, Jakarta : 540 hal. SAKAI, T. 1976. Crabs of Japan and The Adjacent Seas. Kodansha Ltd. Tokyo : 773 pp. STEVCIC, Z. 1983. Revision of the Calappidae. In : Papers from the Conference on the biology and evolution of Crustacea. (J.K. Lowry, ed.). The Australian Museum. Memoir 18 : 165 171. TAKEDA, M.; D.L. RAHAYU dan I. ASWANDY 2000. Prawns and Crabs. In : Field Guide to Lombok Island : Identification Guide to Marine Organisms in Seagrass Beds of Lombok Island, Indonesia. (Matsuura, K., O.K. Sumadhiharga dan K. Tsukamoto eds.). Ocean Research Institute, University of Tokyo, Tokyo : 44 pp.

12

Anda mungkin juga menyukai