Anda di halaman 1dari 5

FEATURES

ON THE ROAD

BERTAMU KE BUYAT
Teks: Yusi Avianto Pareanom Foto-foto: Pretty Mamonto Foto-foto bawah air: Robert Humberson dan Jerry Kojansow

"Datanglah ke Buyat sesekali. Kau bisa menyelam di sana," undang kawan saya suatu hari. Ajakan ini kontan mengundang rasa penasaran. Sudah lama saya ingin menyaksikan keindahan bawah laut perairan Sulawesi Utara. Tetapi, nama yang terlintas selalu Bunaken, sebelah utara semenanjung, tidak Buyat yang terletak di pesisir selatan. "Memang bagus?" tanya saya. "Makanya kau datang, lihatlah sendiri," ujar kawan saya.
Awal Januari 2007 akhirnya saya berangkat ke sana. Perjalanan saya hari itu dari Cengkareng dengan pesawat Garuda Indonesia berjalan mulus. Saya tiba di Manado pukul sepuluh malam waktu setempat. Manado Teluk Buyat Saya menuju ruang sarapan dengan mata masih terkantuk. Dari balik kaca hotel terhampar pemandangan Laut Sulawesi di sebelah utara. Pulau Bunaken dan Manadotua samar-samar saja terlihat karena gerimis. Tak lama kemudian datanglah dua rekan seperjalanan saya, Pretty Mamonto dan Ramadan Mamangge. Sekitar pukul sepuluh kami berangkat. Segera saja batas selatan kota kami tinggalkan dan tibalah kami di jalan-jalan berbukit di bumi Minahasa. Jalanan yang kami lalui juga berbelok-belok mengikuti kontur bukit. Pemandangan di kiri kanan begitu elok. Pohon-pohon nyiur, persawahan, dan gunung-gunung di kejauhan memanjakan mata. Kota pertama yang kami lewati adalah Tomohon yang terletak kurang lebih 700 meter di atas permukaan laut. Di sini juga ada pasar tradisional terbesar di Minahasa yang menjual berbagai macam jenis daging yang tak akan dijumpai di tempat lain.

Kota berikutnya yang kami lewati adalah Leilem di mana perhatian kami tersedot oleh kecantikan bangunan Gereja Immanuel. Tempat ini pernah digunakan untuk sidang Dewan Gereja sedunia beberapa tahun yang lalu. Gereja ini adalah satu dari sekian ratus gereja yang kami temui sepanjang jalan. Boleh dibilang hampir tiap seratus meter kami bertemu gereja. Lepas Leilem kami tiba di Kawangkoan. Kota ini terkenal akan produk kacang tanahnya. Ada yang disajikan dalam bentuk kacang sangrai, gulali, dan masih banyak yang lainnya. Kami selanjutnya tiba di Ratahan. Ada pemandangan unik di sini, yaitu banyaknya bentor alias becak motor, yang cocok untuk daerah berbukit-bukit. Sudah begitu, full musik lagi. Di tempat ini angkutan lama bendi yang menggunakan kuda juga masih banyak dijumpai. Lepas Ratahan mobil kami berjalan ekstra hati-hati, banyak anjing yang nongkrong di tengah. Kalau melindas, si penabrak mesti mengganti kerugian. Besarnya? Tergantung, seberapa banyak puting si anjing. Kalau tak salah, satu puting dihargai Rp 50 ribu. Kalau si anjing naas punya delapan puting, kalikan saja. Sebelum memasuki hutan lindung jalan mulai bermasalah. Banyak lubang di sana-sini. Kelokan-kelokan pun makin tajam. Pengemudi mesti ekstra hati-hati di sini. Sayang, lepas hutan jalan makin parah kondisinya. Untunglah tak berapa lama kami tiba di pesisir selatan. Laut Maluku terlihat dari jalanan yang kami lewati. Setelah tiga jam lebih melewati perbukitan, aroma laut yang khas menyergap saat kami menyusuri Belang. Tempat ini adalah desa nelayan. Penduduk di kawasan ini sebagian besar adalah muslim. Kami mesti memutar karena ada hajatan yang memakan jalan utama. Di tepi laut, beberapa anak riang mengejar layang-layang. Tak berapa kami tiba di Pantai Lakban di Buyat. Beberapa pedati yang ditarik sapi seolah menghela kami ke masa puluhan tahun silam. Tiga ekor genjikanak babiasyik memakan gundukan entah apa.

Setan begejil malas, Obelix, dan pesta ikan


Kami istirahat makan siang di barak yang sehari-hari ditempati para pegawai PT Newmont Minahasa Raya. Sebetulnya, pertambangan perusahaan ini sudah tutup. Barak disediakan untuk para pegawai yang menangani proses penghijauan bekas tambang. Kami mampir untuk bertemu Jerry Kojansow,

manajer di tempat ini yang juga adalah Master Diver SSI (Scuba School International). Jerry, yang biasa dipanggil Jerco, sudah belasan tahun melakukan kegiatan menyelam di perairan Buyat. Bahkan salah satu titik dinamai mengikuti panggilannya, Jerco Point. Ia juga yang bertanggung jawab dalam proyek penanaman reef ball, terumbu buatan untuk memperbanyak habitat ikan. Pria berusia 35 tahun ini yang kami minta jadi pemandu. "Kita langsung ke laut?" tanyanya. Kami bertiga langsung menggeleng. Istirahat dululah. Mana enak pergi ke laut setelah empat jam terkocok di mobil? Di barak ini kami sempat bertemu Prof. Dr. Otto Soemarwoto, pakar ekologi Indonesia yang sedang berlibur dengan cucu-cucunya. Satu jam kemudian barulah kami siap. Perahu yang akan membawa kami dimiliki Jeffrey, nelayan asal Sangihe. Perahunya bisa disewa dengan harga 150 200 ribu rupiah. Ada dua anak lelakinya yang membantu. Kulit mereka coklat kehitaman, khas anak laut. Sepanjang jalan dua anak ini tanpa henti menyanyikan lagu-lagu pop Indonesia terkini. "Tempat apa saja yang bagus?" tanya saya. "Wah, semuanya bagus," jawab Jerry tertawa. Kata Jerry, ada 24 titik di perairan Buyat yang semuanya ciamik. Selain terumbu karang alami, di tujuh lokasi penyelam bisa menjumpai reef ball. Hujan kembali turun ketika perahu meninggalkan Teluk Buyat. Beberapa ikan terbang pamer melompat dan melayang belasan meter di samping kiri-kanan kami. Lokasi penyelaman pertama yang kami tuju adalah Pulau Racun yang berjarak 4,3 kilometer dari Teluk Buyat. Pulau ini tidak memiliki pantai. Bagian tepinya adalah daerah curam yang langsung berbatasan dengan air sedalam 10 meter. Saya dan Ramadan terjun ke air mengikuti Jerry. Ombak Laut Maluku lumayan besar saat itupaling tidak itu yang saya rasakan. Jerry memberi isyarat agar kami melongok ke titik yang ia tunjuk dengan tangannya. Dan....untuk beberapa detik saya kehilangan kata-kata. Pemandangan yang terhampar di depan saya benar-benar membuat saya takjub. Jembatan bawah air dengan karang keras dan lunak di sekitarnya. Karang batu akropora berbentuk meja, koloni krinoit, spons, dan masih banyak lagi. Yang paling membuat saya tertegun adalah tarian warna di seputar saya. Saya tak menjumpai warna-

Yang paling membuat saya tertegun adalah tarian warna di seputar saya. Saya tak menjumpai warnawarna semacam ini di daratan. Menyaksikan ini saya teringat dongeng kanak-kanak yang saya baca sekian tahun yang lampau dari buku berbahasa Jawa. Alkisah, pada zaman dahulu kala bumi masih berwarna kelabu. Maka, oleh Sang Penguasa para setan begejil alias jin diberi buli-buli berisi cat aneka warna dan cairan pemanis untuk mewarnai dunia dan memberi rasa pada tumbuhan. Ada satu setan begejil malas yang hanya membawa dua kantong warna, kuning dan hijau, serta segentong besar cairan gula. Tanaman pertama yang ia temui langsung ia warnai daun dan batangnya serta ia sirami cairan gula sebanyak-banyaknya. Tanaman itu bernama tebu. Setelah itu si begejil tidur bermalas-malasan lagi. Nah, saya membayangkan para jin lain yang tidak disebutkan dalam cerita itu. Buli-buli cairan gula mereka sudah habis, sementara cat mereka masih berlimpah ruah. Maka, terjunlah mereka ke laut dan mewarnai segala sesuatu di dalamnya dengan riang gembira. Salah satu tempat mereka bermain warna pastilah di perairan Buyat ini. Sepersekian detik setelah pikiran ini melintas, saya dikagetkan oleh kedatangan seekor ikan sotong (cuttlefish) lengan besar. Ampun, tampangnya mirip alien. Berani sumpah. Perahu mengarah ke titik penyelaman yang lain, ST 4 Point. "Ini taman firdausnya," kata Jerry. Di tempat ini ada terumbu yang berjenis semi wall, ada juga yang terpisah-pisah (patchy reef). Arusnya relatif tenang, tapi saya tak ikut terjun. Tetapi dari atas perahu saya bisa melihat beberapa ikan badut (clownfish)ingat film Finding Nemo?yang tinggal di atas anemon. Kali ini Pretty ikut nyemplung ke laut. "Rasanya seperti bertamu ke alam lain," kata Pretty. Karena hari sudah makin sore dan Jerry melihat rombongan kami makin habis tenaganya, ia meminta Jeffrey mengarahkan perahunya kembali ke pantai. Sial, tibatiba saja motor perahu mati. Diutak-atik tetap saja mesin tak mau hidup. Kemudian, terjadilah apa yang selama ini hanya hidup dalam ingatan akan komik petualangan Asterix. Jerry terjun lagi ke laut dan menarik perahu dengan berenang. Mirip apa yang dilakukan Obelix dalam buku Asterix dan Cleopatra! Untunglah tak berapa lama kemudian datang perahu nelayan lain yang membawa suku cadang pengganti. Kembali ke barak, pukul tujuh malam kami menggelinding ke rumah Jeffrey di tepi pantai. Istrinya sudah menyiapkan belasan ikan segar besar untuk dibakar. Ada kakap, groper, kerapu, dan beberapa lagi yang tak saya kenal jenisnya tapi saya yakin rasanya pasti enak. Tiga ekor ikan pertama yang selesai diangkat segera saja tandas. Begitu juga dengan ikan-ikan kloter berikutnya. Bumbunya sederhana, tapi sambal dabu-dabunya benar-benar merangsang selera.

"Mau menyelam malam?" tanya Jerry. Menurutnya, penyelaman malam hari bisa lebih mengasyikkan karena ada beberapa binatang yang memang hanya muncul pada saat-saat itu. Namun ajakan tersebut saya tolak karena ingin menikmati bulan purnama bersinar terang.

Pit Mesel dan Kampung Buyat


Pagi tiba, saya diajak John Lee, yang sehari-hari mengawasi proyek reklamasi lahan, untuk melihatlihat bekas tambang Mesel yang kini sudah ditutup. Dalam perjalanan ke sana kami berjumpa dengan beberapa penambang rakyat yang menggunakan mobil off road. Bukit-bukit di kawasan Buyat dan Ratatotok memang sejak dulu dikenal memiliki kandungan mineral yang tinggi. Perusahaan tambang Belanda, Nederlandsch Mijnbouw Maatschappij, mulai menambang emas pada tahun 1887. Di atas bukit yang dulunya lokasi tambang itu sekarang ditanami tanaman keras semisal jati dan mahoni. Sudah tak ada lagi bangunan pabrik di sini. Lubang galian utama sekarang menjadi danau luas. Dari atas kami melihat ada seorang pemancing di sana. Ia sendirian, tapi gagang pancingnya lima. Turun dari bukit kami singgah ke Kampung Buyat. Di tempat ini Ramadan sehari-hari tinggal menjalankan aktivitasnya sebagai anggota sebuah LSM yang mendampingi penduduk kampung. Kami sempat pula melongok danau di kampung. Beberapa anak mandi, sebagian memancing. Siang itu juga kami kembali ke Manado. Saat melintasi Teluk Buyat, saya punya niatan untuk kembali. Tetapi lain kali, saya mesti lebih baik mempersiapkan diri. []

Anda mungkin juga menyukai