Anda di halaman 1dari 10

Praktikum PENGARUH KELEBIHAN CAIRAN HIPOTONIS, ISOTONIS, DAN HIPERTONIS TERHADAP PEMBENTUKAN URINE Tujuan Praktikum : Setelah mengikuti

praktikum ini mahasiswa akan dapat menjelaskan perubahan jumlah urine dalam waktu tertentu sebagai dampak dari penambahan cairan hipotonis, isotonis, dan

hipertonis. Alat yang diperlukan 1. Gelas ukuran 2. Cairan untuk diminum : Putih 1 liter Pocari Sweat 1 liter Air gula 1 liter 3. Kertas dan ballpoint untuk mencatat

Mekanisme Pengaturan Cairan dan Elektrolit Perubahan volume cairan dan konsentrasi elektrolit didalamnya dapat menimbulkan masalah kesehatan yang serius, oleh karena itu tubuh mempunyai mekanisme homeostatis yang akan mempertahankan keadaan cairan dan lektrolit dalam batas-batas normal. Organ yang terlibat dalam pengaturan cairan dan elektrolit adalah ginjal, paru-paru, jantung, pembuluh darah, kelenjar adrenal, kelenjar parathyroid, dan kelejar hipofise. Ginjal : Ginjal merupakan organ vital dalam pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pengaturan ini dilakukan bersama-sama dengan hormon aldosteron dan ADH dengan cara sbb. : Mengatur volume cairan ekstrasel (CES) dan osmolalitas cairan melalui retensi dan ekskresi cairan dan elektrolit secara selektif. Saat CES mengalami peningkatan dan osmolalitas plasma menurun (berhubungan dengan penurunan kadar Na), maka ginjal akan mengatur konsentrasi urine menjadi lebih encer dengan mengurangi absorpsi air di tubulus. Hal ini terjadi karena penurunan osmolalitas plasma akan merepresi hipofise posterior untuk tidak mensekresikan ADH yang mengakibatkan penurunan absorpsi air di tubulus ginjal.

Begitu pula saat cairan tubuh menurun. Penurunan volume cairan menyebabkan perfusi ginjal menurun yang merangsang mekanisme renin-angiotensin yang akan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Peningkatan aldosteron akan menimbulkan perasaan haus sehingga intake cairan meningkat, dan meningkatkan absorpsi natrium dan air di ginjal.. Peningkatan Na plasma yang menyebabkan peningkatan osmolalitas CES menyebabkan perangsangan hipofise posterior untuk meningkatkan sekresi ADH. ADH akan merubah permiabilitas tubulus dan duktus contortus terhadap air sehingga absorpsi air meningkat. Mengatur konsentrasi elektrolit di CES melalui retensi dan ekskresi elektrolit secara selektif. Pada ginjal terjadi absorpsi elektrolit terutama natrium, chlorida dan bikarbonat, serta ekskresi kalium dan hidrogen. Banyaknya elektrolit yang diabsorpsi atau diekskresi tergantung konsentrasi elektrolit tersebut di CES. Mengatur pH CES melalui ekskresi hidrogen dan absorpsi bikarbonat. Saat pH CES menurun tubulus ginjal akan mengekskresikan hidrogen ke lumen tubulus. Pada lumen tubulus sebagian hidrogen berikatan dengan HCO3 dan membentuk H2CO3, kemudian terurai menjadi CO2 dan H2O. CO2 dan H2O berdifusi ke dalam sel epitel tubulus dan kembanli membentuk H2CO3 yang kemudian terurai menjadi H dan HCO3 . Hakan disekresikan ke lumen tubulus dan HCO3 akan masuk ke kapiler. Sebaliknya saat pH CES meningkat tubulus akan meretensi hidrogen sehingga tidak terjadi absorpsi bikarbonat. Dengan demikian pH akan kembali menuju normal. Jantung dan Pembuluh Darah : Jantung berfungsi memompakan darah untuk bersirkulasi ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah, dan sekitar 20% dari curah jantung bersirkulasi ke ginjal untuk membentuk urine. Saat volume plasma meningkat, curah jantung juga akan meningkat, dan perfusi ginjal meningkat pula. Keadaan ini akan menyebabkan pembentukan urine lebih banyak dari biasanya. Sebaliknya saat volume plasma menurun, tekanan darah turun, dan akan merangsang baroreseptor di sinus karotikus dan reseptor regang di atrium menyebabkan perangsangan aktivitas simpatis yang menyebabkan vasokontriksi arteriole afferent sehingga filtrasi di glomerulus menurun. Keadaan ini akan merangsang pengeluaran enzim renin kedalam darah dan merubah angiotensinogen yang dibentuk di hati menjadi angiotensin I. Angiotensin I dirubah di paru menjadi angiotensin II. Angiotensin II mempunyai 2 (dua) efek yaitu : 1) menimbulkan vasokonstriksi sehingga tahanan perifir meningkat yang akhirnya meningkatkan tekanan darah, dan 2) merangsang korteks adrenal akan

untuk mensekresikan aldosteron. Aldosteron meningkatkan absorpsi natrium dan air, volume plasma meningkat, dan produksi urine menjadi turun. Paru-paru : Paru-paru juga termasuk organ vital dalam mempertahankan homeostasis. Melalui ventilasi alveolar diperkirakan 13.000 mEq ion hidrogen terbuang ( di ginjal hanya sekitar 40 80 mEq). Paru-paru dibawah kendali Medulla akan segera mengatasi asidosis/alkalosis metabolik. Saat asidosis metabolik ventilasi paru akan meningkat (hiperventilasi) untuk mengeluarkan CO2 sehingga mengurangi kelebihan asam. Sebaliknya saat alkalosis ventilasi paru akan menurun (hipoventilasi) untuk meretensi CO2 yang akan meningkatkan keasaman cairan tubuh. Oleh karena itu gangguan ventilasi paru dapat menimbulkan gangguan keseimbangan asam-basa. Selain itu paru-paru juga membuang sekitar 300 ml uap air melalui ekspirasi (insensible water loss). Kelenjar Hipofise : Kelenjar hipofise posterior menyimpan dan mensekresikan ADH yang diproduksi oleh hipothalamus. Sekresi ADH akan dirangsang oleh peningkatan osmolalitas CES dan tertahan oleh penurunan osmolalitas CES. Peranan ADH adalah meningkatkan permiabilitas tubulus distal bagian akhir, tubulus kolektivus, dan ductus kolektivus terhadap air, karena tanpa adanya ADH area ini impermiabel terhadap air. Dengan demikian adanya ADH akan meningkatkan absorpsi air di ginjal. Kelenjar Adrenal : Hormon utama dari kelenjar adrenal yang mempengaruhi keseimbangan cairan adalah aldosteron yang disekresi oleh bagian korteks. Hormon ini terutama berperan dalam meningkatkan absorpsi natrium, dan ekskresi hidrogen dan kalium di tubulus distal ginjal. Sekresi aldosterone dirangsang oleh Angiotensin II yang dihasilkan dalam mekanisme renin-angiotensin, penurunan konsentrasi natrium plasma dan peningkatan kalium plasma.

Kelenjar Parathyroid : Kelenjar paratiroid mensekresikan hormon paratiroid. Sekresi hormon ini terangsang oleh penurunan konsentrasi calsium dalam plasma dengan target organ tulang, saluran cerna, dan ginjal.. Hormon ini mempengaruhi pelepasan calsium dan phosphor dari tulang, meningkatkan absorpsi calsium, phosphor di saluran pencernaan dan di tubulus ginjal, serta meningkatkan ekskresi phosphor di ginjal.Aktivitas hormon paratiroid akan meningkat oleh pengaruh vitamin D, yang akan meningkatkan absorpsi calsium di saluran cerna dan di ginjal.serta memudahkan pemecahan osteoclast pada tulang

Kelenjar Tiroid : Kelenjar tiroid mensekresikan hormon calsitonin yang mempunyai peranan dalam penyimpanan calsium pada tulang. Sekresi calsitonin dirangsang oleh peningkatan calsium dalam plasma.

Tata Kerja Praktikum 1. Mintalah 3 orang mahasiswa untuk menjadi orang percobaan 2. Berikan kesempatan kepada ketiga orang percobaan untuk mengosongkan kandung kemihnya 3. Orang percobaan I diminta untuk minum Putih 1000 ml, orang percobaan II minum Pocari Sweat, dan orang percobaan III minum Air Gula. 4. Tunggulah jam., 1 jam, dan 2 jam kemudian untuk mengosongkan kembali kandung kemihnya 5. Catatlah jumlah masing-masing urine yang di keluarkan oleh ketiga orang percobaan 6. Adakah perbedaan jumlah dan berat jenis urine pada ketiga orang percobaan tersebut ? mengapa demikian, jelaskan mekanismenya !

Laporan Praktikum

Nama NPM Tanggal Praktikum Partner

: Anggi Putri Ariyani : 220110120102 : 21 Maret 2013 : 1. Eka Ratnasari (122) 2. Dinni Puspasari (113) 3. Lovi Meilina (141) 4. Mustika Rahmi (129) 5. Nurul Azmi N. (108) 6. Neng Nopi Farida (159) 7. Risva Antika (131) 8. Sammy Lazuardi (099) 9. Santi Mulyasari (119) 10. Sri Astutiningsih (156) 11. Wenda Rizki P (162) 12. Widya Dahlia J (154)

Tujuan Praktikum : Untuk mengetahui pengaruh meminum cairan hipotonis, isotonis dan hipertonis dalam jumlah tertentu pada jumlah volume urine, karakteristik urine dan berat jenis urine.

Cara melakukan : Orang Percobaan I minum Putih 1 liter menghasilkan : 1/2 jam kemudian : 450 ml 1 jam kemudian : 2 jam kemudian : 300 ml 350 ml BJ : BJ : BJ : 1,009 1,010 1,008

Orang Percobaan II minum NaCl 0.9 % 1 liter menghasilkan : jam kemudian : 1 jam kemudian : 2 jam kemudian : 120 ml 300 ml 450 ml BJ : BJ : BJ : 1,002 1,010 1,008

Orang Percobaan III minum Dextrosa 10% 1 liter menghasilkan : jam kemudian : 1 jam kemudian : 2 jam kemudian : Karakteristik Urin Karakteristik naracoba I 50 ml 130 ml 180 ml BJ : BJ : 1,008 BJ : 1,007

jam kemudian 1 jam kemudian 2 jam kemudian

: Warna bening dan encer : Warna bening dan encer : Warna bening kekuningan dan encer

Karakteristik naracoba II jam kemudian 1 jam kemudian 2 jam kemudian : Warna kuning dan kekentalan normal : Warna kuning pucat dan kekentalan normal : Warna kuning lebih pekat dan kekentalan normal

Karakteristik naracoba III jam kemudian 1 jam kemudian 2 jam kemudian : Warna kuning pekat dan agak kental : Warna kuning agak bening dan encer : Warna kuning tua dan encer

Pembahasan hasil pengamatan Secara umum fisiologis pembentukan urin berasal dari darah yang kemudian akan masuk ke dalam ginjal untuk di filtrasi di glomerulus. Di glomerulus ini darah disaring agar sel-sel yang berukuran besar seperti sel-sel darah dan protein tidak dapat menembus membrane glomerulus sehingga tetap ada dalam aliran darah, sedangkan benda - benda seperti glukosa, ion - ion dan benda lain yang ukurannya lebih kecil dari membrane glomerulus dapat terus melewati proses filtrasi dan hasil dari filtrasi tadi disebut sebagai filtrate Dimana dalam proses filtrasi ini ada berberapa faktor yang berperan untuk mendorong filtrasi dan melawan filtrasi. Faktor yang dapat mendorong filtrasi yaitu tekanan hidrostatik di kapiler glomerulus dan tekanan onkotik dalam kapsula bowman. Faktor yang melawan filtrasi yaitu tekanan hidrostatik di kapsula bowman dan tekan onkotik protein plasma dalam kapiler glomerulus. Langkah selanjutnya yaitu proses reabsorpsi, bagian yang bertanggung jawab melakukan reabsorpsi yaitu di tubulus proksimal. Dimana ion-ion yang masih digunakan oleh tubuh (seperti natrium dan kalium), kalsium dan glukosa sehingga benda-benda tersebut tidak terdapat dalam urin. Langkah selanjutnya adalah proses sekresi yang merupakan proses perpindahan molekul dari cairan ekstra selular ke lumen tubulus nephron. Dimana produk-produk yang disekresikan merupakan hasil dari sisan metabolisme yang sudah tidak butuhkan oleh tubuh lagi. Misalnya sekresi K+ dan H+ yang dilakukan oleh nephron untuk keseimbangan ion-ion. Dan kemudian urin akan diekskresikan melalui proses berkemih.

Dalam praktikum ini ada 3 naracoba, masing-masing naracoba meminum cairan yang berbeda. Naracoba I meminum air putih, naracoba II meminum pocari sweat dan naracoba III meminum air gula masing-masing 1 liter. Pada naracoba I yang meminum air putih 1 liter, didapatkan hasil urin dengan volume yang lebih banyak daripada kedua naracoba lainnya. Grafik diatas menunjukan volume yang turun lalu naik kembali tetapi tetap dalam jumlah yang banyak karena ginjal normal memiliki kemampuan yang besar dalam membentuk berbagai proporsi zat terlarut dan air dalam urin sebagai respon terhadap berbagai perubahan. Bila terdapat kelebihan air dalam tubuh dan osmolaritas cairan tubuh menurun, ginjal akan mengeluarkan urin dengan osmolaritas 50mOsm/L (1/6 dari Osmolaritas CES normal). Ginjal mereabsorpsi zat terlarut terus menerus , dan pada saat yang sama tidak terjadi proses reabsorbsi sejumlah besar air di tubulus kontortus distal dan duktus kolektikus. Sehingga volume urin yang dikeluarkan semakin meningkat dan osmolaritas urine menurun, yang menyebabkan ekskresi urin yang encer dalam volume yang besar. Tetapi, jumlah total zat terlarut yang diekskresi ginjal tetap relative konstan. Respon ginjal tersebut mencegah penurunan drastis osmolaritas plasma selama meminum air dalam jumlah yang berlebihan. Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa naracoba yang meminum air putih 1 liter. Kemudian setelah 2 jam, sisa metabolisme berupa urin yang dikeluarkan adalah sebanyak 1100 ml. Dari data tersebut diketahui ternyata urine yang dikeluarkan naracoba lebih banyak dibandingkan dengan jumlah volume air putih yang diminum (air yang diminum 1000 ml dan urine yang dihasilkan 1100 ml ). Seharusnya urine yang dikeluarkan lebih sedikit karena terjadi sekresi zat. Namun, hal tersebut dapat terjadi karena mungkin sebelum diberi perlakuan, naracoba sudah mengkonsumsi makanan atau minuman yang banyak dan belum di ekskresikan sepenuhnya. Sehingga mengakibatkan peningkatan jumlah urine yang dikeluarkan setelah naracoba minum air putih. Setelah dilakukan pengukuran dan perhitungan berat jenis, di dapatkan berat jenis urin sebesar 1,008-1,010 sehingga urin naracoba dapat dikatakan normal karena urin yang normal memiliki BJ antara 1,003 1,030. Karakteristik pada naracoba I yang meminum air putih cenderung encer hal ini karena Bila terdapat kelebihan air didalam tubuh dan osmolaritas didalam cairan ekstrasel turun, sekresi

ADH oleh hipofisis posterior akan menurun. Oleh sebab itu, permeabilitas tubulus distal dan ductus kolektikus terhadap air akan menurun, yang menghasilkan sejumlah besar urin encer. Jadi, kecepatan sekresi ADH sangat menentukan encer atau pekatnya urin yang dikeluarkan oleh ginjal. Pada naracoba II yang meminum pocari sweat atau cairan isotonik dengan volume yang normal tapi lebih sedikit dari naracoba I yang meminum air putih dapat dilihat bahwa volume urin yang dikeluarkan naracoba II terus meningkat di setiap waktunya. Jumlah volume

kesuluruhan urin yang dikeluarkan juga berkurang dari input cairan sebelumnya yang awalnya 1000 ml menjadi 870 ml hal ini disebabkan karena adanya proses penyerapan zat oleh tubuh untuk metabolisme. Berat jenis ( BJ ) urine naracoba II yang minum air pocari sweat atau isotonik setelah dilakukan pengukuran yaitu sebesar 1,002-1,010. Ternyata BJ urine naracoba II yang minum air pocari sweat atau isotonik hampir sama dengan BJ dari urine naracoba I yang meminum air putih walaupun BJ urin naracoba II edikit lebih rendah, padahal BJ urin naracoba II seharusnya lebih besar. Hal ini karena air isotonik mengandung lebih banyak ion-ion yang diperlukan oleh tubuh sehingga air isotonik yang diserap oleh tubuh lebih banyak untuk metabolisme urine, sehingga BJ urinenya lebih besar. Karakteristik urin naracoba II yang meminum air isotonik berwarna kuning dan tidak encer seperti urin naracoba I warna kuning tersebut dihasilkan dari urochrome yang merupakan pemecahan produk empedu. Hasil urine naracoba III yang meminum air gula jumlah volume urin yang dikeluarkan pertama kali sangat sedikit dibandingkan dengan hasil urin naracoba lainnya bahkan sangat sedikit yaitu sebanyak 50 ml saja dan jika dijumlahkan keeluruhan volume urin yang dikeluarkan adalah sebanyak 360 ml yang artinya volume urine yang dikeluarkan jauh lebih sedikit dari air yang diminum. Hal ini disebabkan karena dalam tubuh akan terjadi peningkatan osmolaritas dan hal ini menyebabkan ADH terangsang keluar untuk menghemat persediaan air dalam tubuh. Akibat ADH disekresikan oleh hipofisi posterior, maka ADH dalam plasma akan meningkat. Hal ini menyebabkan air akan direabsorpsi lebih banyak sehingga volume dan laju produksi urin akan menurun sebagai cara untuk menjaga homeostatis tubuh.

Setelah dilakukan pengukuran dan perhitungan berat jenis, di dapatkan berat jenis urin sebesar 1,008-1,010 sehingga urin naracoba dapat dikatakan normal karena urin yang normal memiliki BJ antara 1,003 1,040. Berat jenis urin berhubungan erat dengan diuresa, semakin besar diuresa semakin rendah berat jenisnya dan begitupula sebaliknya, semakin

kecil diuresa semakin tinggi berat jenisnya. Karakteristik urin naracoba III pada awalnya berwarna kuning pekat namun berangsur menjadi muda pada eliminasi urin selanjutnya. Hal ini karena kecilnya diuresis di ginjal karena semakin besar diuresis semakin muda warna urinnya atau mungkin bisa juga disebabkan oleh naracoba sebelumnya sudah meminum obat-obatan atau makan yang dapat menyebabkan perubahan warna pada urin.

Kesimpulan Dari hasil praktikum tersebut dapat disimpulkan bahwa naracoba yang meminum air putih mengeluarkan volume urin yang lebih banyak dari naracoba yang lainnya, karena zat-zat yang diserap oleh ginjal dari air putih sedikit sehingga air yang dibuang menjadi lebih banyak, sedangkan pada naracoba yang lainnya ada sebagian zat yang diserap oleh ginjal sehingga volumenya pun menjadi lebih sedikit. Berat jenis masing-masing urin dalam batas normal, dan hal ini bisa dipastikan bahwa dalan urin tersebut tidak terdapat benda atau zat-zat yang mengindikasikan gangguan pada sitem urinaria. Karakteristik urin menunjukan warna yang normal dan kepekatan yang normal yaitu berwarna kuning dan bening kekuningan untuk yang meminum air putih. Tidak ditemukan urin yang berwarna merah atau lainnya yang mencirikan adanya gangguan.

Anda mungkin juga menyukai