Anda di halaman 1dari 4

Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 2, No.

4, Juli 2003

PENGARUH PEMAKAIAN LOKAL PERASAN UMBI BAWANG MERAH (Allium cepa L. var. ascalonicum TERHADAP REAKSI KUTAN AKTIF PADA KELINCI ALBINO JANTAN HIBRID NEO ZEALAND
Andreanus A. Soemardji, Maria Immaculata Iwo, dan Nancy Yusticia Lay Departemen Farmasi FMIPA ITB, Bandung Abstract Local effect of onion (Allium cepa L. var. ascalonicum) bulbs juice on active coetaneous anaphylactic reaction on male hybrid New Zealand rabbits shrimp allergic was evaluated. The result showed that onion bulb juice applied as ointment on rabbit allergic skin, with concentration of 5, 10 and 20% could significantly (P < 0.05) inhibit active coetaneous anaphylactic reaction at 24 hours after application. Keywords: Onion bulb, active coetaneous, anaphylactic reaction. PENDAHULUAN Reaksi hipersensitif yang merupakan reaksi samping sistem imun tubuh, respon atau gejala yang terjadi tidak menguntungkan tubuh, bahkan mengganggu tubuh. Yang umum dikenal sebagai reaksi hipersensitif ini menurut Gell dan Coombs terbagi menjadi 4 tipe reaksi. (1) Reaksi alergi adalah reaksi anafilaksis yang merupakan reaksi hipersensitif tipe I yang diperantarai oleh mediator yang dilepaskan oleh mastosit atau basofil. Pelepasan mediator ini pada umumnya melibatkan antibody IgE dan antigen penyebab alergi yang disebut alergen. Reaksi ini merupakan bentuk penyimpangan respon imun humoral. (2) Mediator aktif yang dibebaskan dari sel basofil dan mastosit ini yang menyebabkan berbagai gejala alergi seperti mata merah, urtikaria (kaligata) rhinitis dan asma bronkhial (1,2). Umbi bawang merah (A. cepa L. var ascalonicum Becker) telah banyak digunakan secara tradisional untuk mengurangi gejala alergi pada kulit dengan cara membalurkan umbi yang telah dihancurkan pada kulit yang bengkak (bentol urtikaria) karena alergi dan pada dada penderita asma bronkhial karena alergi (3,4). Berdasarkan pemakaian tradisional tersebut, perlu dilakukan uji khasiat antialergi dari perasan umbi bawang merah pada hewan uji (kelinci) alergi eksperimental, untuk membuktikan khasiatnya. Penelitian ini menguji khasiat antialergi umbi bawang merah yang diberikan secara topical pada kemerahan kulit (urtikaria) kelinci alergi. METODOLOGI Reaksi anafilaksis kutan aktif adalah bentuk reaksi alergi tipe I secara lokal pada kulit. Reaksi ini secara klinis setara dengan disebut test kutan atau PK test, digunakan untuk mencari alergen penyebab alergi pada seseorang (penderita alergi) (1,5). Dalam eksperimen, metode ini diterapkan pada hewan yang dibuat alergi dan dapat digunakan untuk mengevaluasi obat-obat bioaktivitas menekan reaksi alergi tipe I (antialergi) (6,7,8). Kelinci albino diinduksi dengan ekstrak udang sehingga menjadi kelinci alergi terhadap udang. Tantangan secara lokal dilakukan pada punggung kelinci dengan pemberian ekstrak udang 0,1% secara intradermal, eritema (bentolan merah) akan muncul di daerah penyuntikan alergen udang tersebut sebagai reaksi anafilaksis kutan aktif. Perasan umbi bawang merah dalam bentuk salep diaplikasikan pada eritema tersebut, kemudian diamati perkembangannya dengan melihat luas dan intensitas eritema pada kurun waktu tertentu. Nilai kedua parameter ini (luas dan intensitas) antara kelompok uji dan kelompok kontrol dibandingkan dan diolah secara statistik. Kemampuan antialergi bawang merah dievaluasi dari kemampuannya menekan perkembangan luas dan intensitas eritema tersebut. Hewan Uji Kelinci albino jantan dengan mata merah galur hybrid New Zealand yang diperoleh dari peternakan kelinci Lembang, Bandung dengan bobot badan 1,5 2,5 kg. Bahan Uji Umbi bawang merah diperoleh dari petani bawang Desa Congeang Kulon, Kecamatan Congeang, Kabupaten Sumedang (ketinggian sekitar 500 m dpl) dengan usia panen 75 hari. Sebelum digunakan diuji kebenarannya melalui determinasi di Laboratorium Biosistematik Departemen Biologi ITB, yang menunjukkan bahwa bahan uji tersebut adalah A. cepa L. var. ascalonicum Becker. Bahan Lain Udang windu (Panaues monodon) sebagai alergen, dan larutan NaCl 0,9%. Alat-alat Blender, freeze dryer, alat suntik, alat cukur, kasa steril hipoalergik, plester, kertas selovan, alat timbangan listrik, kandang restriksi kelinci dan

117

Pengaruh Pemakaian Lokal (Andreanus A. Soemardji)

alat-alat lain yang biasa digunakan di Laboratorium Farmakologi-Toksikologi. HASIL DAN PEMBAHASAN Selain ditetapkan kebenaran identitas umbi bawang merah yang digunakan melalui determinasi, dilakukan pula analisa organoleptik, karakteristik simplisia atau rajangan umbi dan penapisan fitokimia menurut metode baku (9). Hasil karakterisasi bahan uji dapat di lihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Penetapan karakteristik dari bahan uji yang merupakan bahan alam ini, dilakukan untuk memberikan batasan (kriteria) umum kualitas bahan uji. Tabel 1. Ciri organoleptik bahan uji umbi bawang merah (A. cepa L. var. ascalonicum) Karakter Warna umbi Bau Siung Hasil Pengamatan Merah pucat Aromatik khas, menyengat Setiap siung terdiri dari 5 6 anakan dengan tunas berbentuk silinder

Tabel 2. Karakteristik simplisia uji rajangan umbi bawang merah (A. cepa L. var. ascalonicum) Parameter Karakter A. Karakter umum - Kadar air - Susut pengeringan - Kadar abu total - Asam B. Karakter fitokimia - Alkaloid - Flavonoid Hasil Pengamatan 16,67 % 15,0 mg/g 5, 605 % 0,726% Ada, Positif dengan Mayer dan Dragendorf Ada, merah muda pada Lapisan Amil alkohol dalam larutan alkohol : HCl = 1 : 1 dan serbuk Mg Ada, ditunjukkan dengan adanya Lapisan buih Ada, positif (hijau tua) dengan pereaksi Fe (III) klorida 1%

- Saponin - Tannin galat

Rajangan umbi bawang merah diperas dengan blender kemudian dilakukan pengeringan beku dengan freeze dryer, diperoleh 62,5 g jus umbi bawang merah kering dari 210 g umbi segar (rendemen 29,76%). Untuk pemakaian atau aplikasi

baik bahan uji maupun pembanding dibuat dalam bentuk salep dengan pembawa vaselin kuning. Alergen yang digunakan adalah daging udang windu, yang secara klinis dapat menyebabkan alergi urtikaria pada manusia (10). Daging udang blender, dihancurkan dengan supernatannya digunakan sebagai sediaan alergen ekstrak udang dengan konsentrasi 30% dan 10%. Induksi udang pada kelinci dilakukan dengan pemberian ekstrak udang 30% sebanyak 2 ml/kg BB secara subkutan (8,11,12). Reaksi alergi pada kelinci terjadi setelah masa sensitisasi 21 hari, dibuktikan dengan uji reaksi anafilaksis kutan aktif pada punggung kelinci alergi yang punggungnya telah dicukur. Hasil uji ini dapat dilihat pada Tabel 3. Luas bentol diukur secara planimetri dan intensitas kemerahan diamati secara visual (kualitatif). Evaluasi perkembangan bentol merah yang merupakan reaksi alergi tipe I pada kulit ini dapat lebih jelas dilihat pada Gambar 1. pada daerah penyuntikan intradermal NaCl fisiologis 0,1 ml (sebagai kontrol), juga menunjukkan adanya bentolan merah yang relatif kecil dan tidak bermakna dibandingkan bentolan alergi tipe I tantangan dengan alergen. Bentolan kontrol ini terjadi hanya karena akibat mekanik penyuntikan. Dari Tabel 3 dan Gambar 1, ditunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi tantangan alergen 10% dan 30% tidak memberikan perbedaan ukuran dan kualitas bentol alergi yang terjadi dan bentolan alergi terbesar (optimum) terjadi setelah 120 150 menit pemberian tantangan. Untuk penelitian selanjutnya digunakan alergen 10% dan aplikasi sediaan uji 120 menit setelah tantangan. Bentolan alergi tipe I ini terjadi karena adanya mediator yang vasoaktif, terutama histamin yang terbebaskan dari granul sel mastosit di daerah kulit yang mengalami degranulasi (1,2,6). Degranulasi sel mastosit terjadi karena perubahan aktifitas enzimatik pada dinding sel yang diinduksi oleh adanya interaksi antibody IgE yang menempel pada sel mastosit tersebut dengan antigen (alergen) spesifiknya (1,2,6) dalam hal ini ekstrak udang. Histamin diketahui dapat mempengaruhi ketebalan pembuluh kapiler dan vasodilatasi kapiler (1,2,6). Hasil pengamatan pemberian lokal perasan bawang merah terhadap perkembangan bentolan alergi tipe I pada kelinci alergi udang dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 2. dari data pada Tabel 4 yang diolah ke dalam Gambar 2 tersebut, tampak sampai 3 jam pertama aplikasi sediaan uji maupun pembanding belum memberikan penekanan terhadap bentolan alergi tipe I yang terjadi, dibandingkan kelompok kontrol yang hanya diberi aplikasi pembawa sediaan salep saja.

118

Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 2, No. 4, Juli 2003

Tabel 5. Persentase reduksi luas bentol alergi tipe I setelah aplikasi lokal sediaan uji, obat pembanding dan pembawa pada kelinci alergi udang Kelompok perlakuan Persentase reduksi luas bentol (%) setelah jam ke: 0 1 2 3 24
35,51 69,71* 63,15* 79,18* 35,89

27
88,77 94,20* 87,44 70,61 87,18

30
76,92 92,75* 94,32* 98,77* 87,18*

48
95,26 98,55 94,32 98,77 92,31

72
100 100 100 100 100

1. Kontrol (n=3) 0 -8,41 5,91 8,27 (Vas. Kuning) 2. Sediaan Uji 0 3,26 -0,74 -7,25 5% b/b 0 0,39 7,69 -2,84 10% b/b 0 19,17 -6,53 -2,86 20% b/b 0 -45,31 -76,08 -23,08 3. Pembanding Keterangan: -: Terjadi pembesaran ukuran luas bentol *: Berbeda bermakna pada P < 0.05

Luas Bentol (cm2)

Sampai 3 jam pertama ini, semua bentolan alergi tipe I untuk semua kelompok tampak masih berkembang (membesar) dan ukuran (kualitas) bentolan antar kelompok berbeda.

150 100 50 0 0 -50 -100 Waktu Aplikasi (Jam) Kontrol Pembanding Salep Uji 5% Salep Uji 20% Salep Uji 10% 1 2 3 24 27 30 48 72

5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 15 30 45 60 90 120 150 180 210 Waktu (menit)

Luas Bentol (cm2)

Gambar 3. Persentase inhibisi luas bentol alergi tipe I setelah penantangan dan aplikasi lokal Pada jam ke 24 dan seterusnya (sampai 72 jam) baru tampak penekanan (penyembuhan) terhadap bentolan alergi tipe I yang terjadi. Kelompok uji dan kelompok pembanding (hidrokortison asetat) menekan perkembangan bentolan lebih besar, ukuran dan intensitas kemerahan bentolan alergi lebih cepat menurun (sembuh) padahal kualitas bentolan awal lebih besar dari kontrol (Tabel 4). Perlu dicatat bahwa kecepatan perkembangan bentol alergi tipe I yang terjadi pada tiap kelompok berbeda (Tabel 4). Luas bentol alergi maksimum pada kelompok kontrol tercapai lebih cepat pada 1 jam setelah aplikasi lokal sediaan pembawa salep (atau 3 jam setelah tantangan), yaitu sebesar 3,72 cm2, pada kelompok uji 5, 10, dan 20%, bentol maksimum terjadi berturut-turut pada 3, 3, dan 2 jam setelah aplikasi lokal sediaan salep bahan uji sebesar 4,514; 3,874; dan 3,980 cm2. Sedangkan pada kelompok pembanding (salep hidrokortison asetat 0,1%) bentol maksimum terjadi 2 jam setelah aplikasi lokal sediaan pembanding sebesar 4,189 cm2. Luas bentol-bentol maksimum pada kelompok uji dan kelompok pembanding lebih besar dari pada luas bentol maksimum kelompok kontrol.

Kontrol

Alergen 10%

Alergen 30%

Gambar 1. Perkembangan bentol alergi tipe I setelah penantangan dengan berbagai konsentrasi alergen udang

5 4.5 4 Luas Bentol (cm2) 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0 1 2 3 24 Waktu (Jam) 27 30 48 72

Kontrol Pembanding

Salep Uji 5% Salep Uji 20%

Salep Uji 10%

Gambar 2. Perkembangan bentol alergi tipe I setelah penantangan dan aplikasi lokal

119

Pengaruh Pemakaian Lokal (Andreanus A. Soemardji)

Tampak pula pada hari ke 3 (jam ke 72) semua bentolan pada semua kelompok mengalami penyembuhan termasuk kelompok kontrol, tetapi berbeda kecepatan penyembuhannya. Persentase reduksi luas bentolan alergi tipe I terhadap ukuran luas bentol awal tiap kelompok dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 3. Dari Tabel 5, lebih jelas terlihat bahwa sediaan uji menekan perkembangan bentolan alergi tipe I lebih besar (0,39 98,77%), dibandingkan kelompok lain, termasuk kelompok pembanding. Penurunan ini lebih tampak bermakna pada jam ke 24. Bahan uji 20% dalam bentuk salep memberikan efek terbesar secara bermakna (P < 0,05) dibandingkan kelompok kontrol dan lebih besar dari pada sediaan pembanding. Efek penekanan terhadap bentolan alergi tipe I adalah efek antialergi (lokal kulit), dapat terjadi melalui berbagai mekanisme (1,2,6), antara lain penyetabilan dinding sel mastosit sehingga menghambat degranulasi (seperti pada kerja pembanding hidrokortison asetat), efek antihistamin yaitu meng-antagonis efek histamin ataupun mencegah degranulasi lanjut sel mastosit. Sediaan pembanding hidrokortison asetat pada penelitian ini, kurang menunjukkan aktivitasnya menekan perkembangan bentol alergi tipe I dalam penelitian ini mungkin karena pelepasannya dari bentuk sediaan (dalam vaselin) kurang baik, sehingga kurang berpenetrasi ke dalam kulit dan kurang berefek. Sediaan salep hidrokortison asetat di pasaran dibuat dengan formula yang baik dan merupakan hasil penelitian tersendiri. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan, kelinci dapat menjadi alergi terhadap udang yang juga tercatat sebagai alergen makanan pada manusia, sehingga model alergi pada kelinci dapat digunakan sebagai model penelitian obat-obat antialergi dengan korelasi klinis yang cukup baik. Hasil penelitian ini menunjang pemakaian perasan umbi bawang merah secara tradisional untuk menanggulangi bentolan kaligata (urtikaria) secara lokal. Dari data-data penelitian yang dilakukan juga dapat disimpulkan bahwa sediaan perasan (jus) kering umbi bawang merah (A. cepa L. var. ascalonicum) 20% dalam bentuk salep dapat menekan perkembangan reaksi anafilaksis kutan pada kelinci alergi udang. Penelitian lanjut untuk melihat pengaruh umbi bawang merah terhadap sel mastosit in vitro akan dilakukan sebagai tindak lanjut (elaborasi) dari penelitian ini.

SARAN Dari penelitian ini disarankan agar dilakukan penelitian pencarian bentuk sediaan yang tepat bagi perasan umbi bawang merah ini untuk meningkatkan pemakaian sebagai obat kaligata lokal secara nyaman. DAFTAR PUSTAKA 1. Roitt, I.M., J. Brostoff, D.K. Male, 1985, Imunology, Gower Medical Publ., London 19.10-19.11. 2. Subowo, 1993, Imunologi Klinik, Penerbit Angkasa Bandung, 9. 3. De Feo, V.C. Amborsio dan F. Senatore, 1992, Traditional Physiotherapy in Caserta Province, Fitoterapia, Vol. LXIII (4), Napoli, 346. 4. Chaudri, R.D., 1996, Herbal Drugs Industry, 1st ed., Eastern Publ., New Delhi, 421. 5. Kirkwood, E., Colewis, 1983, Understanding Medical Immunology, John Wiley & Sons, Singaphore. 6. Soemardji, A.A., C. Veysseyre, dan M. Carraz, 1995, Pengaruh Na-Kromoglikat Lomudal terhadap reaksi Anafilaktik Kutan Pasif pada Kelinci, Acta Pharmaceutica Indonesia, XX (1), 19 29. 7. Soemardji, A.A, 1996, Reaksi Anafilaktik Kutan Pasif: Suatu Metode Eksperimental Acta Pharmaceutica Imunofarmakologi, Indonesia, XXIV (1), 22 26. 8. Soemardji, A.A., J.R. Wattimena, dan A.S. Ranti, 1987, Petunjuk Laboratorium, Beberapa Uji In Vitro dalam Bidang Farmakologi; Evaluasi Reaksi Alergi Tipe I dan Obat Antialergi Pada Hewan Percobaan, PAU-Ilmu Hayati-ITB. 9. World Health Organization, 1980, Quality Control for Medicinal Plant Materials, WHO, Geneva. 10. Metcalfe, D.D., H.A. Sampson, and R.A. Simon, 1994, Food Allergy: adverse Reactions to Foods and Food Additives, Blackwell Sci. Publ., Boston, 37 48. 11. Chakrin, L.W. and R.D. Krell, 1980, Preclinical Evaluation of Antiallergic Agents, J. Pharm. Sci., 69 (2), American Pharmaceutical Association, 329 243. 12. Ihsan, S., 1995, Induksi dan Terapi Desensitisasi Alergi Udang Galah pada Mencit, Tugas Akhir, Jurusan Farmasi ITB, Bandung.

120

Anda mungkin juga menyukai