Anda di halaman 1dari 60

BAB I PENDAHULUAN

Informasi 1 Tn.Ny. P (35 tahun) datang ke poliklinik Penyakit Dalam Rumah sakit kabupaten dengan keluhan leher terasa tegang. Ny. P juga mengeluhkan terkadang kepala terasa nyut-nyut-an, tidak nyaman, dan badan cepat lelah sehingga sulit tidur. Keluhan berkurang jika penderita beristirahat. Penderita mengaku keluhan terjadi sejak kira-kira 7 bulan yang lalu. Ny. P merupakan seorang ibu rumah tangga dengan 3 orang anak. Penderita menyangkal pernah menderita tekanan darah tinggi, namun mengatakan bahwa ayahnya adalah penderita tekanan darah tinggi. Ny.P mengaku menggunakan KB pil untuk mengontrol kehamilannya. Pasien sudah menggunakan KB pil selama kurang lebih 1 tahun.

Informasi 2 Pemeriksaan Fisik KU/Kes VS : tampak sakit ringan/ compos mentis : T 150/90 mmHg, N 88 x/menit, RR 20x /menit, t 36,5 C

Kepala dan leher dalam batas normal Dada : jantung ictus cordis tak tampak, konfigurasi jantung normal, S1-S2 murni, gallop (-), murmur (-)

Informasi 3 X-foto thorax : jantung CTR <50%, kesan normal, paru tenang AK : Normal sinus rhytm
1

Informasi 4 Diagnosis Terapi : Hipertensi 1 (hipertensi sekunder e.c oral contraceptive) : Non Medikamentosa 1. Disarankan untuk mengganti metode kontrasepsi dengan non hormonal 2. Batasi konsumsi garam 3. Healthy life Style Prognosis : Ad vitam Ad sanationam : ad bonam : Dubia ad bonam Ad Fungsionam : Dubia ad bonam

BAB II PEMBAHASAN

A. Klarifikasi Istilah 1. Nyeri kepala nyut-nyutan Nyeri kepala adalah nyeri atau rasa tak nyaman diatas bagian superior kepala, kadang menyebar ke wajah, gigi, rahang, dan leher. Nyeri kepala ada yang primer dan sekunder. Pada primer, nyerinya adalah ringan kumatkumatan, migren, tegang otot berkelompok. Pada sekunder, nyeri kepala akibat penyakit lain seperti akibat trauma, kelainan vaskuler, kenaikan tekanan intrakranial (Dorland, 2006) Nyeri kepala merupakan suatu jenis nyeri alih ke permukaan kepala yang berasal dari struktur bagian dalam. Beberapa nyeri kepala disesabkan oleh stimulus nyeri yang berasal dari dalam kranium, tapi dapat juga berasal dari luar kepala (Guyton, 2007). 2. Hipertensi Peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolic sedikitnya 140 mmHg (Brown, 2005). 3. Pil KB Obat yang berisi progesteron dan estrogen sintetis, yang diminum selama tiga minggu setiap bulannya dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pematangan folikel dan fase ovulasi dari folikel (Guyton, 2007).

B. Batasan Masalah 1. Identitas:


4

a. Nama b. Usia

: Ny. P : 35 tahun

c. Pekerjaan : ibu rumah tangga 3 orang anak 2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) a. Keluhan utama b. Onset c. Kualitas d. Kuantitas : leher terasa tegang : 7 bulan yang lalu : menganggu aktivitas :-

e. Faktor yang memperberat : f. Faktor yang memperingan: Istirahat g. Gejala penyerta : kepala terasa nyut-nyut-an, tidak nyaman, dan badan cepat lelah sehingga sulit tidur. 3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) a. Tidak hipertensi b. Menggunakan KB pil untuk mengontrol kehamilannya selama kurang lebih 1 tahun. 4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK) Ayahnya adalah penderita tekanan darah tinggi. a. Riwayat sosial dan ekonomi (RSE) Ibu rumah tangga 3 orang anak

C. Analisis Masalah 1. 2. 3. 4. 5. Klasifikasi nyeri kepala Penyebab nyeri kepala Hubungan pil KB dengan hipertensi Anamnesis lanjutan Kemungkinan diagnosis

D. Menyusun berbagai penjelasan mengenai permasalahan 1. Klasifikasi nyeri kepala a. Nyeri kepala terbagi menjadi dua kategori yaitu : 1) Nyeri kepala primer Terdiri atas : migren, nyeri kepala karena ketegangan (tension) serta nyeri kepala Cluster (Price, 2006). 2) Nyeri kepala sekunder Nyeri yang disebabkan oleh penyakit lain seperti akibat trauma, kelainan vaskuler, kenaikan tekanan intrakranial, zat kimia, tumor otak (Prince, 2006). b. Berdasarkan asalnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu (Guyton, 2008): 1) Intrakranial a) Meningitis: peradangan selaput otak termasuk daerah-daerah dura dan daerah sensitive disekeliling sinus venosus. b) Rendahnya tekanan cairan serebrospinal: kekurangan cairan secerebrospinal akan menghilangkan sebagian kemampuan mengambang otak yang dalam keadaan normal dapat dilaksanakan oleh adanya cairan serebrospinal. Otak yang berat kaan meregangkan bermacam-macam permukaan duramater sehingga timbul nyeri kepala. c) Migren: adanya ketidaknormalan vaskular yang penyebabnya belum diketahui secara pasti. d) Nyeri kepala alkoholik: kelebihan minum alcohol langsung merangsang selaput otak e) Konstipasi: terabsorbsinya bahan toksik yang berasal dari perubahan yang timbul pada sistem sirkulasi. 2) Ekstrakranial

a) Spasme otot: ketegangan emosi menyebabkan sapasme otot, kgususnya otot yang melekat pada kulit kepala dan otot-otot leher yang melekat pada oksiput. b) Iirtasi hidung dan struktur sekitar hidung c) Nyeri kepala akibat kelainan mata: kesulita memfokuskan mata agar timbul penglihatan lebih jelas menimbulkan kontraksi berlebiha oto siliaris, sehingga bisa menimbulkan nyeri kepala di daerah retro-orbital. Berdasarkan klasifikasi IHS (International Headache Society) Edisi 2 dari yang terbaru tahun 2004, nyeri kepala terdiri atas migren, nyeri kepala tipe-tegang, a. Migren Migren adalah gangguan periodik yang ditandai oleh nyeri kepala unilateral dan kadang kadang bilateral yang dapat disertai muntah dan gangguan visual. Kondisi ini sering terjadi, lebih dari 10% populasi mengalami setidaknya satu serangan migren dalam hidupnya. Migren dapat terjadi pada semua umur, tetapi umumnya onset terjadi saat remaja atau usia dua puluhan dengan wanita lebih sering. Terdapat riwayat migren dalam keluarga pada sebahagian besar pasien. 1) Migren dengan aura Pasien mengalami gejala prodromal yang tidak jelas beberapa jam sebelum serangan seperti mengantuk, perubahan mood dan rasa lapar. Serangan klasik dimulai dengan aura. Gejala visual meliputi pandangan gelap yang berupa kilasan gelap yang cepat. Aura umumnya membaik setelah 15 hingga 20 menit, dimana setelah itu timbul nyeri kepala. Nyeri terasa seperti ditusuk- tusuk dan lebih berat jika batuk, mengejan atau membungkuk. Nyeri kepala terjadi selama beberapa jam, umumnya antara 4 hingga 72 jam. Pasien
7

nyeri

kepala

klaster

dan

other

trigeminal-autonomic

cephalalgias, dan other primary headaches (Fauci, 2009).

lebih suka berbaring di ruangan yang gelap dan tidur.Gejala yang menyertai adalah fotofobia, mual, muntah, pucat dan dieresis. 2) Migren tanpa aura Pasien mungkin mengalami gejala prodromal yang tidak jelas. Nyeri kepala dapat terjadi saat bangun tidur dan gejala yang lain sama dengan migren tipe klasik. b. Nyeri Kepala Klaster Sindrom ini berbeda dengan migren, walaupun sama-sama ditandai oleh nyeri kepala unilateral, dan dapat terjadi bersamaan. Mekanisme histaminergik dan humoral diperkirakan mendasari gejala otonom yang terjadi bersamaan dengan nyeri kepala ini.Pasien biasanya laki-laki, onset usia 20 hingga 60 tahun. Pasien merasakan serangan nyeri hebat di sekitar satu mata(selalu pada sisi yang sama) selama 20 hingga 120 menit, dapat berulang beberapa kali dalam sehari, dan sering membangunkan pasien lebih dari satu kali dalam semalam. Alkohol juga dapat mencetuskan serangan. Pola ini berlangsung selama berharihari, berminggu-minggu bahkan bulanan kemudian bebas serangan selam berhari-hari, berminggu-minggu, bulan bahkan tahunan. Tidak seperti migren, pasien nyeri kepala klaster seringkali gelisah selama serangan dan tampak kemerahan. c. Nyeri Kepala Tipe-Tegang Nyeri kepala ini merupakan kondisi yang sering terjadi dengan penyebab belum diketahui, walaupun telah diterima bahawa kontraksi otot kepala dan leher merupakan mekanisme penyebab nyeri. Kontraksi otot dapat dipicu oleh faktor-faktor psikogenik yaitu ansietas atau depresi atau oleh penyakit lokal pada kepala dan leher. Pasien umumnya pasien akan mengalami nyeri kepala yang sehari-hari yang dapat menetap selama beberapa bulan atau tahun. Nyeri dapat memburuk pada sore hari dan umumnya tidak responsif terhadap obatobatan analgesik sederhana. Nyeri kepala ini juga besifat bervariasi.
8

Nyeri kepala bervariasi adalah nyeri yang dimulai dari nyeri tumpul di berbagai tempat hingga sensasi tekanan yang menyeluruh sampai perasaan kepala diikat ketat. Selain kadang ada mual, tidak ada gejala penyerta lainnya dan pemeriksaan neurologis adalah normal. 2. Penyebab nyeri kepala Ada beberapa penyebab nyeri kepala diantaranya (Isselbacher, 1999): a. Distensi b. Pendesakan pembuluh darah c. Kompresi d. Spasme, inflamasi dan trauma musculus cranial serta cervical e. Iritasi meningen serta kenaikan tekanan intracranial f. Pertubasi tonjolan serotogenik intraserebral

3.

Hubungan pil KB dengan hipertensi Umumnya, pil KB berisi progesteron dan estrogen sintetis, yang diminum selama tiga minggu setiap bulannya. Tujuan pemberian pil KB ini untuk mencegah terjadinya pematangan folikel dan fase ovulasi dari folikel, dimana peningkatan progesteron dan estrogen dikarenakan konsumsi pil KB akan mengirimkan sinyal umpan balik negatif ke ke hipotalamus untuk menekan sekresi GnRH, yang juga akan menekan sekresi dari FSH ( follicle stimulating hormone) dan LH (luteinizing hormone) sehingga perkembangan folikel untuk membentuk antrum dan oosit akan terhambat, serta ovulasi tidak akan terjadi. Selain itu, kontrasepsi oral ini mencegah kehamilan dengan meningkatkan kekenatalan mukus serviks, sehinga penetrasi sperma menjadi lebih sulit dan menurunkan kontraksi otot-otot di saluran reproduksi

wanita, sehingga transportasi sperma ke oviduktus berkurang (Ahmed 2011; Guyton 2007). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui dampak negatif dari penggunaan pil KB kepada wanita. Sebuah penelitian oleh Ahmed (2011) mengemukakan bahwa pil KB yang berisi estrogen dan progesteron sintetik dapat meningkatkan jumlah aldosteron dalam plasma. Aldosteron sendiri berperan dalam proses retensi cairan dan natrium dalam tubuh, yang menyebabkan penambahan volume darah yang berujung pada peningkatan tekanan darah. Peningkatan aldosteron ini sendiri dipicu peningkatan aktivitas renin yang berperan dalam mensekresi angiotensin I, yang akan diubah oleh ACE dalam ginjal menjadi angiotensin II, dimana selanjutnya angiotensin II akan meningkatkan sekresi aldosteron. Pada proses kehamilan, estrogen sendiri berfungsi meningkatkan volume cairan ibu untuk memudahkan transport oksigen dan nutrisi dari ibu ke janin melalui plasenta, yang akan meningkatkan sekresi estrogen itu sendiri (Ahmed 2011; Guyton 2007). 4. Anamnesis lanjutan ditanyakan RPS, RPD, RPK, RSE a. RPS 1) Nyeri seperti apa? Tajam, tumpul atau seperti ditusuk-tusuk? 2) Nyerinya saat kapan? Saat aktivitas dan istirahat sakit atau tidak? 3) Lokasi nyeri dimana? 4) Ada penjalaran nyeri tidak? b. RPD 1) Ada riwayat obesitas atau tidak? 2) Ada riwayat diabetes atau tidak? 3) Pernah dirawat di Rumah sakit atau tidak? c. RSE 1) Merokok atau tidak?

10

2) Olahraga atau tidak? 3) Konsumsi alkohol atau tidak?

5.

Kemungkinan diagnosis Dari hasil anamnesis didapatkan diagnosis sebagai berikut. Diagnosis Sementara: nyeri kepala dengan leher tegang Diferential Diagnosis: a. Nyeri kepala primer 1) Migren a) Definisi Gangguan periodik yang ditandai oleh nyeri kepala unilateral dan kadang kadang bilateral yang dapat disertai muntah dan gangguan visual. b) Gejala dan tanda HIS mendefinisikan migrain sebagai paling sedikit lima kali serangan nyeri kepala seumur hidup yang memenuhi kriteria sebagai berikut (Headache Classification Comittee, 1988): i. ii. Durasi 4 sampai 72 jam apabila tidak diobati Nyeri kepa dengan paling sedikit dua dari empat gambaran berikut: lokasi unilateral kualitas berdenyut (pulsating), intensitas nyeri sedang sampai berat, atau nyeri yang diperparah oleh aktivitas fisik rutin. iii. Selama nyeri kepala, paling sedikit satu dari dua hal berikut: mual dan muntah atau fotofobia dan fonofobia. 2) nyeri kepala karena ketegangan (tension) a) Definisi Sensasi nyeri pada daerah kepala akibat kontraksi terus menerus otot-otot kepala dan tengkup. b) Gejala

11

Nyeri ringan-sedang, tumpul seperti diikat, tidak berdenyut, menyeluruh, nyeri lebih hebat dari kulit kepala, terjadi spontan. c) Pemeriksaan fisik Ada nyeri tekan microfacial. 3) nyeri kepala Cluster a) Definisi: sakit kepala vascular (pebesaran pembuluh darah dalam vascular). b) Gejala: sakit 15-120 menit, biasa pada 1 sisi kepla, dibelakang mata, muka merah, hidung tersumbat. b. Nyeri kepala sekunder 1) trauma, 2) tumor otak Pada pasien dengan tumor otak, pada anamnesis biasanya disertai dengan keluhan nyeri kepala, muntah, kejang, gangguan mental. Selain itu, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembesaran kepala, papil edema, sensasi abnormal di kepala, nadi lambat dan tensi meningkat (Price, 2006). Pada pemeriksaan foto rontgen thorax pasien tumor otak dapat ditemukan banyak tumor metastase otak berhubungan dengan adanya lesi primer di paru. Sedangkan pada informasi tidak ditemukan gejala-gejala tersebut sehingga kemungkinan pasien ini menderita tumor otak sangat kecil (Price, 2006). Berdasarkan klasifikasi anamnesis, kemungkinan diagnosis dan hasil interpretasi dari informasi 2 dan 3 dengan kelainan peningakatan tekanan darah maka didapatkan diagnosis kerja yaitu Hipertensi sekunder grade 1 ec kontrasepsi oral.

E. Merumuskan Tujuan Belajar


12

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Histologi jantung dan pembuluh darah Fisiologi pembuluh darah dan tekanan darah Fisiologi kontraksi otot jantung Fisiologi sinus rhythm Fisiologi sistem RAA Mekanisme nyeri kepala dan nyeri tengkup Definisi hipertensi Klasifikasi hipertensi Etiologi hipertensi

10. Faktor risiko hipertensi 11. Epidemiologi hipertensi 12. Patomekanisme hipertensi 13. Penegakan diagnosis 14. Penatalaksanaan hipertensi 15. Komplikasi 16. Prognosis F. Belajar Mandiri Sudah dilakukan G. Hasil Sasaran Belajar 1. Histologi jantung dan pembuluh darah a. Histologi jantung Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan yaitu endokardium di sebelah dalam, miokardium di tengah, dan epikardium di sebelah luar. Endokardium terdiri dari endotel selapis gepeng dan stratum subendotelial yang tipis. Di sebelah dalam endokardium terdapat lamina subendocardiaca jaringan ikat. Di sini ditemukan pembuluh darah kecil dan serat Purkinje. Lamina subendocardiaca melekat pada endomisium serat otot jantung. Miokardium adalah lapisan paling tebal dan terdiri dari serat otot jantung. Epikardium terdiri dari mesotel selapis gepeng

13

dan

lamina

subepicardiaca

jaringan

ikat

dibawahnya.

Lamina

subepicardiaca mengandung pembuluh darah koronaria, saraf, dan jaringan adipose (Eroschenko, 2012). Perbedaan struktur atrium dan ventrikel secara histologi dilihat dari ketebalan lapisan endokardium dan miokardium. Atrium memiliki lapisan endokardium lebih tebal dibandingkan endokardium ventrikel. Ventrikel memiliki lapisan miokardium jauh lebih tebal dibandingkan miokardium atrium. Di antara atrium dan ventrikel terdapat valvula atrioventrikularis yang tersusun atas selapis sel endotel dan jaringan ikat subendotelial. Di bawah jaringan ikat subendotelial terdapat (Eroschenko, 2012). serat kolagen bergelombang yang memperkuat kedua lapisan endocardium

14

Gambar 1. Atrioventricular Junction.

(Erschenko, 2012)

Gambar 2. Serat Purkinje. (Erschenko, 2012)

15

b. Histologi sistem vascular 1) Arteri dan Vena Dinding arteri dibagi menjadi 3 lapisan yaitu (Eroschenko, 2010): a) Tunika intima, merupakan lapisan otot dan beberapa unsur yang terususun longitudinal. b) Tunika media, merupakan lapisan otot paling tebal, terdiri atas unsur yang tersusun melingkar. c) Tunika adventitia, terdiri atas unsur-unsur yang tersusun longitudinal. Batas antara tunika media dan tunika intima adalah tunika elastika interna, yang dapat dilihat nyata pada arteri berukuran sedang, sedangkan pada vena hanyadapat ditemui pada vena berukuran besar. Tunica elastika eksterna hanya terdapat pada arteri. Lapisan ini ditemukan pada perbatasan tunika media dan tunika adventitia.

1 2

4 5

Gambar 3. Arteri muskularis. (Erschenko, 2012) Keterangan: 1. Tunika intima


16

2. 3. 4. 5.

Lamina elastika interna Tunika media Lamina elastika eksterna Tunika adventisia Arteri dan vena mempunyai lapisan yang sama, dari dalam ada

tunika intima, tunika media dan tunika adventesia. Akan tetapi ada beberapa yang membedakan struktur arteri dan vena, antara lain adalah :

Gambar 2 Arteri dan Vena (Martini, 2012)

17

Tabel 1. Perbedaan Arteri dan Vena. (Martini, 2012) LUMEN BENTUK LAPISAN ARTERI Sempit Lebih bulat Membrana elastica interna ada di semua ukuran arteri VENA Lebar Tidak bulat/Irreguler Membrana elastica interna hanya ada pada

vena besar Tunica media tebal Tunica media tipis Ada membrane elastica Tidak mempunyai eksterna Tunika adventisia tipis Dinding vena terdiri dari 3 lapisan : a) Tunica intima Lapisan yang dekat dengan lumen, lapisan ini disusun oloeh endotel dengan jaringan ikat sub endotel. Endothel merupakan epite squamous simpleks, sedangkan jaringan ikat subendotel tersusun dari jaringan ikat subendotel. Dibawah jaringan ikat subendotel dapat ditemukan membrana elastica interna. b) Tunica media Pada vena tunica media cenderung tipis, karena hanya terdiri dari beberapa atau tidak mempunyai lapisan otot polos . c) Tunica adventisia Merupakan lapisan paling luar dan paling tebal yang terdiri dari jaringan ikat kolagen, elastis, dan lain-lain. membrane elastica eksterna Tunika adventivisia tebal

18

2) Aorta Pada gambar terdapat endotel dan jaringan ikat subendotel pada tunika intima. Struktur dinding aorta memiliki serat elastik yang tersebar di tunika media dengan sedikit serat otot polos. Lalu pada tunika adventisia terdapat jaringan ikat tipis pada bagian perifer. Tunika adventisia mendapatkan pasokan darah dari vasa vasorum. Di pembuluh besar sperti aorta dan arteri pulmonalis, tunika media mengisi sebagian besar dinding pembuluh, sedangkan tunika adventisa lebih tipis (Eroschenko, 2010).

Gambar 3. Arteri Elastik. (Erschenko, 2012)

Keterangan : 1. Tunika intima 2. Membrana elastika interna 3. Tunika media 4. Tunika adventisia

19

2.

Fisiologi pembuluh darah dan tekanan darah a. Cardiac output Curah jantung (Cardiac Output) adalah volume darah yang dipompa oleh masing-masing ventrikel permenit (bukan jumlah darah total yang dipompa oleh jantung). Selama satu periode waktu, volume darah yang mengair melalui sirkulasi paru sama dengan volume yang mengalir melalui sirkulasi sistemik. Karena itu curah jantung dari masing-masing ventrikel normalnya sama, meskipun dari denyut per denyut dapat terjadi variasi ringan (Sherwood, 2012). Dua penentu curah jantung adalah kecepatan jantung (heart rate atau denyut per menit) dan volume sekuncup ( stroke volume atau volume darah yang dipompa per denyut). Kecepatan jantung rerata saat istirahat adalah 70 denyut permenit, ditentukan oleh ritmisitas nodus SA. Volume sekuncup rerata saat istirahat adalah 70 ml per denyut, menghasilkan curah jantung rerata 4.900 ml/menit, atau mendekati 5 liter per menit (Sherwood, 2011). Volume sekuncup dipengaruhi oleh faktor instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik yaitu venous return yang dipengaruhi oleh preload, afterload, dan kontraktilitas. Preload adalah panjang serabut miokardium ventrikel kiri pada akhir diastolic (EDV). Hukum FrankStarling menyatakan bahwa semakin teregang miokardium maka semakn besar juga kontraksinya. Saat ventrikel merespon dengan kontraksi lebih kuat, akan menghasilkan volume sekuncup dan curah jantung yang lebih besar pula. Afterload adalah hambatan bagi ventrikel kiri untuk mengeluarkan darah. Secara spesifik, merupakan jumlah tekanan yang dibutuhkan ventrikel kiri untuk membuka katup aorta selama sistolik dan mengeluarkan darah. Afterload berbanding terbalik dengan volume sekuncup. Afterload berhubungan dengan tekanan darah arteri dan karakteristik katup. Semakin tinggi tekanan darah arteri, jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa darah ke sirkulasi.
20

Faktor ketiga yaitu kontraktilitas yang dipengaruhi oleh stimulasi sistem simpatis. Sehingga saat kontraksi meningkat, pengeluaran darah akan lebih cepat, volume sekuncup dan curah jantung akan meningkat (Sherwood, 2012). Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi volume sekuncup dan denyut jantung yaitu efek stimulasi parasimpatis dan simpatis. Sistem saraf parasimpatis berasal dari nucleus motorik dorsali nervus vagus di medulla oblongata. Menginervasi nodus SA atrium, nodus AV, ventrikel dan sistem Purkinje. Ketika terstimulasi, ujung saraf parasimpatis mengeluarkan neurotransmitter Asetilkolin yang menyebabkan penurunan kecepatan nodus SA, menurunkan denyut jantung, dan konduktivitas atrial berkurang. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung. Sedangkan sistem saraf simpatis berada di antara vertebra toraksis satu dan lima dan berakhir di seluruh area jantung. Ketika terstimmulasi, ujung saraf mengeluarkan neurotransmitter norepinefrin dan menyebabkan peningkatan denyut jantung, kecepatan konduksi melalui nodus AV, peningkatan kontraktilitas atrium dan ventrikel dan vasokonstriksi perifer karena berikatan dengan reseptor adrenergic,mengaktifkan protein G dan membuka chanel ion. Efek simpatis yang ditimbulkan menyebabkan peningkatan curah jantung (Sherwood, 2012).

Gambar 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Cardiac Ourput (Sherwood, 2012)


21

b. Fisiologi Hemodinamik Kardiovaskular

MAP ( Mean Arterial Pressure )

COP

TP R HR r l viskositas

SV

Aliran balik

Simpatis parasimpatis Kontrol vasokonstriktor lokal Kontrol metabolik lokal

SDM

Katup vena

Vol. darah

Efek penghisapan jantung

Pompa respirasi

Pompa otot rangka

Gambar 5. Bagan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah.

22

Keterangan : 1) MAP (Mean Arterial Pressure) = tekanan darah arteri rata-rata 2) COP (Cardiac Output) = darah yang dikeluarkan jantung dalam setiap menitnya 3) SV (Stroke Volume) = darah yang dipompa ventrikel setiap denyutnya 4) HR (Heart Rate) = denyut jantung dalam 1 menit 5) TPR (Total Perifer Resistant) = total hambatan perifer 6) r = jari-jari pembuluh darah 7) l = panjang pembuluh darah 8) SDM = jumlah sel darah merah Tekanan darah arteri rata-rata merupakan hasil perkalian dari curah jantung (cardiac output) dengan resistensi vaskuler perifer. Curah jantung dipengaruhi oleh volume sekuncup (stroke volume) dan frekuensi denyut jantung (heart rate), dimana SV dipengaruhi oleh aliran balik vena sedangkan HR dipengaruhi oleh sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Aliran darah vena dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya (Sherwood, 2011): 1) Aktivitas simpatis Stimulasi simpatis menimbulkan vasokonstriksi vena, yang cukup meningkatkan tekanan vena. Hal ini kemudian meningkatkan gradien tekanan untuk mendorong lebih banyak darah dari vena ke dalam atrium kanan. 2) Katup vena Darah hanya dapat terdorong ke depan karena vena-vena besar mempunyai katup-katup satu arah. Katup-katup ini memungkinkan darah bergerak ke depan ke arah jantung dan mencegah darah mengalir kembali ke jaringan. Katup-katup ini juga berperan melawan efek gravitasi yang ditimbulkan oleh posisi berdiri dengan membantu memperkecil aliran balik darah yang cenderung terjadi sewaktu seseorang berdiri dan untuk
23

sementara waktu menunjang bagian-bagian kolom darah pada saat otot rangka berelaksasi (Sherwood, 2011) 3) Volume darah Pergeseran cairan bulk flow pasif dari cairan interstitium ke dalam plasma dan retensi garam dan air dapat meningkatkan volume darah sehingga tekanan vena meningkat dan menyebabkan tekanan gradien juga meningkat (Sherwood, 2011) 4) Efek penghisapan jantung Pada saat kontraksi ventrikel, katup-katup AV tertarik ke bawah, sehingga rongga atrium membesar. Akibatnya, tekanan atrium secara sementara turun di bawah 0 mmHg, sehingga gradient tekanan vena ke atrium meningkat dan aliran balik vena juga meningkat (Sherwood, 2011) 5) Pompa respirasi Akibat aktivitas pernapasan, tekanan di dalam rongga dada rata-rata 5 mmHg di bawah tekanan atmosfer. Saat berjalan melalui rongga dada, sistem vena yang mengembalikan darah ke jantung dari bagian bawah tubuh terpajan ke tekanan sub atmosfer. Karena tekanan di tungkai dan abdomen mendapat tekanan atmosfer normal, maka terjadi gradient tekanan eksternal antara vena-vena bawah dan vena-vena dada. Perbedaan tekanan ini memeras darah dari vena-vena di bagian bawah menuju venavena dada, sehingga aliran balik vena meningkat (Sherwood, 2011) 6) Pompa otot rangka Vena-vena besar di ekstrimitas terletak di antara otot-otot rangka sehingga pada saat otot-otot ini berkontraksi, vena-vena tersebut tertekan. Penekanan vena eksternal menurunkan kapasitas vena dan meningkatkan tekanan vena, sehingga cairan yang terdapat dalam vena vena terperas ke arah jantung (Sherwood, 2011) Frekuensi denyut jantung dipengaruhi oleh sistem saraf simpatis dan parasimpatis, dimana sistem saraf simpatis berfungsi untuk meningkatkan

24

frekuensi denyut jantung dan kekuatan kontraktilitas otot jantung. Sedangkan sistem saraf parasimpatis bekerja sebaliknya (Sherwood, 2011) Total hambatan perifer (Total Perifer Resistant) dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya (Sherwood, 2011): 1) Jari-jari pembuluh darah Semakin kecil jari-jari pembuluh darah, makin besar resistensi perifernya. 2) Panjang pembuluh darah Semakin panjang pembuluh darah, makin besar resistensi perifernya. 3) Viskositas plasma Semakin pekat suatu cairan, maka makin besar pula resistensi perifernya. 4) Gerakan pompa jantung 5) Elastisitas dinding pembuluh darah 3. Fisiologi Fisiologi Kontraksi Otot Jantung Mekanisme bagaimana suatu potensial aksi di serat otot jantung menimbulkan kontraksi di serat otot jantung cukup mirip dengan proses penggabungan eksitasi-kontraksi di otot rangka. Adanya potensial aksi lokal di tubulus T menyebabkan Ca2+ dikeluarkan ke dalam sitosol dari simpanan intrasel di reticulum sarkoplasma. Berbeda denan sel otot rangka, selama potensial aksi Ca
2+

juga berdifusi dari CES ke dalam sitosol melintasi

membran plasma. Pemasukan Ca2+ ini semakin memicu pengeluaran Ca2+ dari reticulum sarkoplasma. Ca2+ di sitosol adalah berikatan dengan kompleks troponin-tropomiosin (lebih tepatnya pada troponin C) dan secara fisik menggeser kompleks tersebut sehingga dapat terjadi siklus jembatan silang dan kontraksi (kepala aktin bebas dari ikatan kompleks tropomiosintroponin dan berikatan dengan kepala myosin berenergi tinggi yang mendekatkan aktin ke garis M, terjadilah kontraksi) (Sherwood, 2012).

25

Gambar 6. Siklus Kontraksi Sel Otot Jantung. (Martini, 2012)

Gambar 7. Siklus sel otot jantung . (Pearson, 2004).


26

Potensial aksi di sel kontraktil jantung

Merambat menuruni Tubulus T


2+ dari Pengeluaran Ca2+ reticulum sarkoplasma

2+ dari Masuknya Ca2+ cairan ekstra seluler

2+ di sitosol Ca2+ meningkat

Kompleks troponintropomiosin di aktin tergeser

Siklus jembatan silang antara aktin dan miosin

Filamen tipis bergeser ke dalam (mendekati garis M) di antara miosin Kontraksi

Gambar 8. Bagan Mekanisme Kontraksi Sel Kontraktil Otot Jantung (Sherwood, 2012)

27

Potensial Aksi Serabut Purkinje

Peningkatan permeabilitas bergantung voltase

Penurunan Potensial Aksi

Membran myosit

Penurunan permeabilitas K+

Pengaktifan saluran Ca+ lambat

Depolarisasi

Influks Ca+ ke CIS dan influks K+ keluar sel menurun Pemanjangan fase datar

Inaktifan saluran Ca+ lambat Peningkatan permeabilitas K+ K+ keluar dari CIS

Peningkatan permeabilitas mendadak membran terhadap Na+ yang disertai dengan influks Na+

Repolarisasi Gambar 9. Bagan Proses Depolarisasi dan Repolarisasi. (Sherwood, 2012) Dalam keadaan istirahat, sel jantung berada dalam keadaan terpolarisasi secara elektris, yaitu bagian dalamnya bermuatan lebih negatif daripada bagian luarnya. Polarisasi listrik ini dijaga oleh pompa membran yang menjamin agar ion-ion (kalium, natrium, dan kalsium) yang diperlukan untuk mempertahankan bagian dalam sel supaya relatif bersifat elektronegatif dapat terdistribusi dengan baik (Thaler, 2009). Aktivitas listrik jantung dapat dipicu oleh saraf maupun dapat oleh jantung sendiri. Jantung memiliki sifat otoritmisitas yang menyebabkan jantung
28

bisa berdenyut karena potensial aksi yang ditimbulkannya sendiri. Hal ini dikarenakan jantung memiliki dua jenis khusus sel otot jantung yaitu sel kontraktil dan sel otoritmik (Sherwood, 2012). Mekanisme konduksi jantung adalah sebagai berikut (Sherwood, 2012):

Nodus Sinoatrial

Internodular pathway

Nodus Atrioventrikular

Melalui myosit di myokard ium

Berkas Hiss Kanan Serabut Purkinje

Berkas Hiss Kiri Serabut Purkinje

Ventrikel Dextra

Ventrikel Sinistra

Gambar 10. Bagan Perjalanan Potensial Aksi (Sherwood, 2012) 4. Fisiologi sinus rhythm Sel sel otoritmik jantung tidak memiliki potensial istirahat. Sel sel tersebut memperlihatkan suatu pace maker, yaitu membran mereka secara perlahan mengalami depolarisasi, atau bergeser antara potensial potensial aksi sampai tercapai ambang, pada saat membran mengalami potensial aksi. Sel sel jantung yang mampu mengalami ototrimitas ditemukan di lokasi lokasi berikut ini (Sherwood, 2011):

29

a. Nodus Sinoatrium (SA), daerah kecil khusus di dinding atrium kanan dekat lubang vena cava superior b. Nodus Atrioventrikel (AV), sebuah berkas kecil sel otot jantung khusus di dasar atrium kanan dekat septum, tepat di atas pertautan atrium dan ventrikel. c. Berkas HIS (Berkas Atrioventrikel), suatu jaras sel khusus yang berasal dari atrioventrikel, tempat berkas tersebut bercabang membentuk berkas kanan dan kiri yang berjalan ke bawah septum, melingkari ujung bilik ventrikel, dan kembali ke atrium di sepanjang dinding luar. d. Serat purkinje, serat terminal halus yang berjalan dari berkas his dan menyebar ke seluruh miokardium ventrikel seperti ranting ranting pohon.

Gambar 11. Sistem hantaran khusus jantung. (Martini, 2012) Pada siklus normal, saat nodus SA tereksitasi oleh potensial aksi, nodus SA akan mengirimkan potensial aksi ke seluruh dinding atrium agar otot-otot atrium dapat berkontraksi. Saat otot atrium mengalami depolarisasi akan menampilkan gelombang P pada EKG. Setelah itu, potensial aksi akan merambat menuju nodus AV, dan pada saat di nodus AV ada jeda beberapa saat sebelum potensial aksi ini disalurkan menuju sel otoritmik selanjutnya,

30

yang digambarkan pada EKG dengan segmen PR. Jeda ini merupakan waktu untuk memastikan atrium berkontraksi secara maksimal, agar tidak terjadi kontraksi atrium dan ventrikel secara bersamaan. Setelah atirum selesai kontraksi, perjalanan impuls akan langsung disalurkan nodus AV menuju bundle his kemudian serat purkinje, untuk mengeksitasi otot-otot ventrikel. Saat ventrikel mengalami depolarisasi, terbentuklah kompleks QRS. Masa atrium saat repolarisasi tidak tergambarkan di EKG karena tertutupi oleh depolarisasi dari ventrikel. Setelah itu, ada segmen ST, dimana segmen ini memastikan ventrikel telah terkontraksi sepenuhnya. Setelah ventrikel mengalami depolarisasi, maka terjadi fase repolarisasi, yang tergambarkan oleh gelombang T. Gelombang U sendiri tidak selalu muncul, kadang dapat muncul pada keadaan patologis, maupun fisiologis. Irama sinus sendiri merupakan irama EKG dimana terdapat gelombang QRS setelah P (Sherwood, 2011).

Gambar 12. Interval-interval dalam EKG

31

Gambar 13. Interval RR

5.

Fisiologi sistem RAA

Gambar 14. Mekanisme Sistem Renin Angiotensin Aldosteron.

32

Sistem renin-angiotensin-aldosteron adalah

serangkaian reaksi yang

dirancang untuk membantu mengatur tekanan darah (Sherwood, 2001). a. Ketika tekanan darah turun (untuk sistolik, sampai 100 mm Hg atau lebih rendah), ginjal melepaskan enzim renin ke dalam aliran darah. b. Renin membagi angiotensinogen, suatu protein besar yang beredar dalam aliran darah yang didapat dari hati, menjadi potongan-potongan. Satu bagiannya adalah angiotensin I. c. Angiotensin I, yang relatif tidak aktif, dibagi menjadi potongan-potongan oleh angiotensin-converting enzyme (ACE). Satu bagiannya adalah angiotensin II, suatu hormon yang sangat aktif. d. Angiotensin II menyebabkan dinding otot arteri kecil (arteriola) mengerut, meningkatkan tekanan darah. Angiotensin II juga memicu pelepasan hormon aldosterone dari kelenjar adrenal dan hormon antidiuretik dari kelenjar pituitari. e. Aldosteron menyebabkan ginjal untuk menahan pengeluaran garam (natrium) dan kalium. Natrium menyebabkan air harus dipertahankan, sehingga meningkatkan volume darah dan tekanan darah. 6. Mekanisme nyeri kepala dan nyeri tengkup Pada hipertensi, terjadi peningkatan tekanan darah diakibatkan aktivasi sistem RAA, aktivasi saraf simpatis, faktor genetik, atau adanya penyakit dan penyebab sekunder lain seperti feokromositoma, gagal ginjal, penggunaan kontrasepsi oral, dan lain-lain. Efek aldosteron yang meningkatkan reabsorpsi cairan dan natrium mengakibatkan terjadinya retensi cairan sehingga volume darah akan meningkat. Peningkatan aktivitas simpatis karena aktivasi dari Angiotensin II akan menyebabkan peningkatan aktivitas reseptor pada jantung dan pada pembuluh darah. Reseptor akan menyebabkan peningkatan kontraksi otot jantung yang akan berujung pada peningkatan cardiac output. Sementara, aktifnya reseptor pada pembuluh darah akan menyebabkan kontraksi otot-otot polos dalam vaskuler, sehingga
33

meningkatkan resistensi pembuluh darah. Pada vena, bersamaan dengan volume darah yang bertambah, hal ini akan meningkatkan jumlah aliran balik vena ke jantung, sehingga meningkatkan beban jantung (preload) untuk memompa darah, yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah ini pun akan terjadi pada pembuluh darah sistemik, termasuk pada otak (Sherwood, 2001; Snel, 2006). Otak manusia sendiri terlindungi dari beberapa lapisan, dimulai dari lapisan terluar yang sering disebut scalp yang terdiri dari kulit, jaringan ikat, aponeurosis, loose areolar tissue, dan periosteum, serta lapisan meningens yang terdiri dari duramater, arachnoidea mater, dan piamater (Sherwood, 2001; Snel, 2006).

Gambar 15. Peningkatan Intrakranial. (Snel, 2006) Diantara duramater dan periosteum terdapat ruang epidural, diantara duramater dan arachnoidea mater terdapat ruang subdural, sementara diantara
34

arachnoidea mater dan piamater terdapat ruang subarachnoidea. Pada ruang subarachnoidea ini terdapat cairan serebrospinal. Sepanjang lapisan meningens ini, banyak terdapat pembuluh darah yang berfungsi dalam vaskularisasi setiap lapisan meningens. Duramater divaskularisasi oleh arteri meningea media, arteri carotis interna, arteri maxillaris, arteri occiptalis, arteri vertebralis, dan arteri pharyngea ascendens. Vena-vena biasanya bermuara di dalam sistem sinus di otak, terutama di sinus sphenoparietalis. Dalam ruang subarachnoidea selain terdapat meningens, beberapa arteri serebri dapat ditemukan di ruang ini (Sherwood, 2001; Snel, 2006). Persarafan duramater sendiri didapatkan dari cabang-cabang nervus trigeminus, n. vagus, dan tiga nervus cervicalis atas serta cabang-cabang truncus sympathicus yg berjalan menuju duramater. Pada duramater, terdapat banyak ujung-ujung saraf sensorik yang peka terhadap regangan, sehingga apabila terjadi regangan maka akan timbul sensasi nyeri kepala. Stimulasi ujung-ujung sensorik nervus trigeminus di atas tingkat tentorium akan menyebabkan nyeri alih pada kulit kepala yang sama. Stimulasi ujung-ujung saraf sensorik duramater dibawah tingkat tentorium akan menimbulkan nyeri alih ke daerah tengkuk dan belakang kulit kepala di sepanjang persarafan nervus occipitalis major. Pada keadaan hipertensi, akan terjadi pula peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan meningkatnya volume darah pada vaskuler, dimana hal ini dapat menyebabkan peregangan pada duramater, sehingga dapat timbul rasa nyeri pada kepala dan sekitar tengkuk (Sherwood, 2001; Snel, 2006). Teori lain mengatakan bahwa terjadinya nyeri kepala dan rasa tegang di leher pada hipertensi disebabkan karena mekanisme vasokontriksi yang terjadi di pembuluh darah. Vasokontriksi ini dapat disebabkan karena aktivasi sistem RAA, dimana angiotensin II akan meningkatkan aktivitas simpatis dengan pelepasan epinefrin dan norepinefrin, dimana ada yang berikatan dengan reseptor di jantung dan reseptor di pembuluh darah. Bila berikatan dengan reseptor , hal ini akan menyebabkan terjadinya spasme otot polos
35

pada tunica media sehingga terjadi vasokontriksi. Mekanisme vasokontriksi juga dapat disebabkan oleh peningkatan aktivitas simpatis pada otot rangka dikarenakan stress atau ketegangan yang menyebabkan otot rangka mengalami spasme sehingga terjadi vasokontriksi. Keadaan vasokontriksi ini akan menghambat oksigenasi pada jaringan, termasuk pada otot-otot disekitar leher dan kepala, yang akan menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob dan penumpukan hasil metabolisme seperti laktat, maupun pengeluaran mediator seperti prostaglandin, yang akan menyebabkan rasa nyeri maupun tegang pada leher (Sherwood, 2001; Snel, 2006). 7. Definisi hipertensi Hipertensi adalah desakan darah yang berlebihan dan hampir konstan pada arteri. Hipertensi juga disebut dengan tekanan darah tinggi, dimana tekanan tersebut dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika memompa darah sehingga hipertensi ini berkaitan dengan kenaikan tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Standar hipertensi adalah sistolik 140 mmHg dan diastolik 90 mmHg (Gunawan, 2010). Menurut WHO yang dikutip oleh Slamet Suyono (2010:253) batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg dan tekanan darah sama dengan atau lebih dari 160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. Secara umum seseorang dikatakan menderita hipertensi jika tekanan darah sistolik/diastolik 140/90 mmHg (normalnya 120/80 mmHg) (Suyono, 2010). Hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu (Gray, 2003): a. Hipertensi Primer Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), sebagian besar karena pola hidup sedenter. b. Hipertensi Sekunder

36

Hipertensi yang berkaitan dengan berbagai vaskular.

penyakit primer seperti

gangguan ginjal, sistem saraf pusat, penyakit endokrin, dan penyakit

8.

Klasifikasi hipertensi Tabel 1. Klasifikasi Menurut JNC (Joint National Committe on Prevention, Detection, Evaluatin, and Treatment of High Blood Pressure). (Sani, 2008) Kategori Tekanan Darah menurut JNC 7 Normal Pra-Hipertensi Hipertensi: Tahap 1 Tahap 2 Kategori Tekanan Darah menurut JNC 6 Optimal Nornal Normal-Tinggi Hipertensi: Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tekanan Darah Sistol (mmHg) < 120 120-139 < 130 130-139 140-159 160 160-179 180 dan/ atau Tekanan Darah Diastol (mmHg) dan atau dan atau atau atau atau atau < 80 80-89 < 85 85-89 90-99 100 100-109 110

37

38

Tabel 2. Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO. (Sani, 2008) Kategori Optimal Normal Normal-Tinggi Tingkat 1 (Hipertensi Ringan) Sub-group: perbatasan Tingkat 2 (Hipertensi Sedang) Tingkat 3 (Hipertensi Berat) Hipertensi sistol terisolasi (Isolated systolic hypertension) Sub-group: perbatasan 140-149 <90 Tekanan Darah Sistol (mmHg) < 120 < 130 130-139 140-159 140-149 160-179 180 140 Tekanan Darah Diatol (mmHg) < 80 < 85 85-89 90-99 90-94 100-109 110 < 90

Tabel 3. Klasifikasi Hipertensi Menurut Perhimpunan Hipertensi Indonesia. (Sani, 2008) Kategori Normal Prehipertensi Hipertensi Tahap 1 Hipertensi Tahap 2 Hipertensi Sistol terisolasi Tekanan Darah Sistol (mmHg) <120 120-139 140-159 160-179 140 dan/atau Dan Atau Atau Atau Dan Tekanan Darah Diastol (mmHg) <80 80-89 90-99 100 <90

39

9.

Etiologi hipertensi Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu (Kaplan, 1998): a. Hipertensi Primer Artinya hipertensi yang belum diketahui penyebabnya dengan jelas. Berbagai faktor yang diduga turut berperan sebagai penyebab hipertensi primer seperti bertambahnya umur, stress psikologis, dan hereditas (keturunan). Sekitar 90 % pasien hipertensi diperkirakan termasuk dalam kategori ini. Pengobatan hipertensi primer sering dilakukan adalah membatasi konsumsi kalori bagi mereka yang kegemukan (obes), membatasi konsumsi garam, dan olahraga. Obat antihipertensi mungkin pula digunakan tetapi kadang-kadang menimbulkan efek samping seperti meningkatnya kadar kolesterol, menurunnya kadar natrium (Na) dan kalium (K) didalam tubuh dan dehidrasi. b. Hipertensi Sekunder Artinya penyebab boleh dikatakan telah pasti yaitu hipertensi yang diakibatkan oleh kerusakan suatu organ. Yang termasuk hipertensi sekunder seperti : hipertensi jantung, hipertensi penyakit ginjal, hipertensi penyakit jantung dan ginjal, hipertensi diabetes melitus, dan hipertensi sekunder lain yang tidak spesifik.

10. Faktor risiko hipertensi Faktor risiko juga dikelompokkan menjadi 2, yaitu (Nurkhalida, 2003) : a. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol 1) Umur Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin besar risiko terserang hipertensi. Arteri kehilangan elastisitasnya atau kelenturannya dan tekanan darah seiring bertambahnya usia, kebanyakan orang hipertensinya meningkat ketika berumur lima puluhan dan enampuluhan.
40

Dengan bertambahnya umur, risiko terjadinya hipertensi meningkat. Meskipun hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun paling sering dijumpai pada orang berusia 35 tahun atau lebih. Sebenarnya wajar bila tekanan darah sedikit meningkat dengan bertambahnya umur. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada jantung, pembuluh darah dan hormon. Tetapi bila perubahan tersebut disertai aktor-faktor lain maka bisa memicu terjadinya hipertensi. 2) Jenis Kelamin Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka yang cukup bervariasi. Ahli lain mengatakan pria lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 2,29 mmHg untuk peningkatan darah sistolik. Karena wanita lebih banyak yang menderita hipertensi dibanding pria, hal ini disebabkan karena terdapatnya hormon estrogen pada wanita. 3) Riwayat Keluarga Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama pada hipertensi primer. Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat. Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya menderita hipertensi. 4) Genetik Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya
41

berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala. b. Faktor yang dapat diubah/dikontrol 1) Kebiasaan Merokok Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara rokok dengan peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan. Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi. Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab meningkatnya tekanan darah segara setelah isapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil didalam paru-paru dan diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Setelah merokok dua batang saja maka baik tekanan sistolik maupun diastolik akan meningkat 10 mmHg. Tekanan darah akan tetap pada ketinggian ini sampai 30 menit setelah berhenti mengisap rokok. Sementara efek nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah juga akan menurun dengan perlahan. Namun pada perokok berat tekanan darah akan berada pada level tinggi sepanjang hari. 2) Konsumsi Asin/Garam Secara umum masyarakat sering menghubungkan antara konsumsi garam dengan hipertensi. Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi melalui peningkatan volume
42

plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan ekskresi kelebihan garam sehingga kembali pada keadaan hemodinamik (sistem pendarahan) yang normal. Pada hipertensi esensial mekanisme ini terganggu, di samping ada faktor lain yang berpengaruh. Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari. 3) Konsumsi Lemak Jenuh Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah.Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah. 4) Penggunaan Jelantah Jelantah adalah minyak goreng yang sudah lebih dari satu kali dipakai untuk menggoreng, dan minyak goreng ini merupakan minyak yang telah rusak. Penggunaan minyak goreng terutama jelantah karena akan meningkatkan pembentukan kolesterol yang berlebihan yang dapat menyebabkan aterosklerosis dan hal ini dapat memicu terjadinya penyakit tertentu, seperti penyakit jantung, darah tinggi dan lain-lain.
43

5) Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum alkohol berat cenderung hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi belum diketahui secara pasti. Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah merah berperan dalam menaikkan tekanan darah. 6) Obesitas Obesitas atau kegemukan dimana berat badan mencapai indeks massa tubuh > 25 (berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m)) juga merupakan salah satu faktor risiko terhadap timbulnya hipertensi. Obesitas merupakan ciri dari populasi penderita hipertensi. Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari penderita hipertensi yang tidak obesitas. Pada obesitas tahanan perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi dengan aktivitas renin plasma yang rendah. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut dari populasi penderita hipertensi. 7) Olahraga Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih
44

tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri. 8) Stres Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stress menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Stres adalah yang kita rasakan saat tuntutan emosi, fisik atau lingkungan tak mudah diatasi atau melebihi daya dan kemampuan kita untuk mengatasinya dengan efektif. Namun harus dipahami bahwa stres bukanlah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar itu. Stres adalah respon kita terhadap pengaruh-pengaruh dari luar itu. Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, bingung, cemas, berdebar-debar, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stres berlangsung cukup lama, tubuh berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag. 9) Penggunaan Estrogen Estrogen meningkatkan risiko hipertensi karena akan mengaktivasi sistem renin angiotensin aldosteron. Sintesis renin substrat angiotensinogen dalam hati, yang selanjutnya membantu meningkatkan produksi angiotensin II dan aldosteronisme sekunder. Peningkatan ini otomatis akan membuat volume darah juga meningkat sehingga dapat menimbulkan hipertensi. 11. Epidemiologi hipertensi

45

Menurut WHO dan the International Society of Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia, dan 3 juta di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10 penderita tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat (Rahajeng, 2009). Di Indonesia masalah hipertensi cenderung meningkat. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3% penduduk menderita hipertensi dan meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004. Kelompok Kerja Serebrokardiovaskuler FK UNPAD/RSHS tahun 1999, menemukan prevalensi hipertensi sebesar 17,6%, dan MONICA Jakarta tahun 2000 melaporkan prevalensi hipertensi di daerah urban adalah 31,7%. Sementara untuk daerah rural (Sukabumi) FKUI menemukan prevalensi sebesar 38,7%.10 Hasil SKRT 1995, 2001 dan 2004 menunjukkan penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit nomor satu penyebab kematian di Indonesia dan sekitar 2035% dari kematian tersebut disebabkan oleh hipertensi. Penelitian epidemiologi membuktikan bahwa hipertensi berhubungan secara linear dengan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular (Rahajeng, 2009). Masalah hipertensi yang ditemukan adalah besarnya prevalensi di Indonesia dan di setiap provinsi. Prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran termasuk kasus yang sedang minum obat, secara nasional adalah 32,2%. Prevalensi tertinggi ditemukan di Provinsi Kalimantan Selatan (39,6%) sedangkan terendah di Papua Barat (20,1%). Prevalensi hipertensi nasional berdasarkan pengukuran saja adalah 28,3%; Provinsi dengan prevalensi tertinggi tetap Kalimantan Selatan (35,0%), yang terendah juga tetap Papua Barat (17,6%). Berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan dan/atau minum obat, prevalensi secara nasional hanya 7,7%, tertinggi didapatkan di Sulawesi Utara (11,4%), dan terendah di Papua (4,2%). Cakupan tenaga kesehatan terhadap hipertensi adalah 24,2%, dan dua provinsi dengan cakupan tenaga kesehatan yang cukup tinggi adalah Sulawesi Utara (37,4%) dan Papua Barat (35,3%), sedangkan terendah
46

ditemukan di Sulawesi Barat (13,9%). Perlu diketahui Provinsi Kalimantan Selatan yang mempunyai prevalensi hipertensi tertinggi ternyata cakupan tenaga kesehatan hanya 24,0%. Hal ini berarti bahwa masih ada 76,0% kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis (Rahajeng, 2009). 12. Patomekanisme hipertensi One mechanism of hypertension has been described as high-output hypertension. High-output hypertension results from decreased peripheral vascular resistance and concomitant cardiac stimulation by adrenergic hyperactivity and altered calcium homeostasis. A second mechanism manifests with normal or reduced cardiac output and elevated systemic vascular resistance due to increased vasoreactivity. Another (and overlapping) mechanism is increased salt and water reabsorption (salt sensitivity) by the kidney, which increases circulating blood volume (Madhur, 2013). Cortisol reactivity, an index of hypothalamic-pituitary-adrenal function, may be another mechanism by which psychosocial stress is associated with future hypertension. In a prospective substudy of the Whitehall II cohort, with 3 years follow-up of an occupational cohort in previously healthy patients, investigators reported 15.9% of the patient sample developed hypertension in response to laboratory-induced mental stressors and found an association between cortisol stress reactivity and incident hypertension (Madhur, 2013).

47

Gambar 16. Bagan Patogenesis hipertensi. (Sudoyo, 2009)

48

HIPERTENSI

Tekanan yang meningkat

Kelelahan

Jantung memompa lebih kuat

Kebutuhan O2 meningkat

Asupan darah ke tubuh dan otak meningkat

Hipoksia miokard

Nyeri dada Melalui pembuluh serviks Tekanan daerah serviks meningkat Peningkatan tekanan intrakranial

Tertekannya neuron dan kapiler di otak

Tertekannya neuron di serviks

Hipoksia

Nyeri leher

Cedera/kematian neuron

Nyeri kepala

Gambar 17. Bagan Patofisiologi Hipertensi (Sudoyo, 2009)

49

13. Penegakan diagnosis Untuk melakukan penegakan diagnosis hipertensi memerlukan beberapa cara sebagai berikut (Fauci, 2009). a. Anamnesis 1) Sering sakit kepala, leher terasa tegang 2) Jantung terasa berdebar, dada terasa berat atau sesak 3) Keluhan sistem serebrovaskular (susah konsentrasi, susah tidur, migrain) 4) Lama mengidap hipertensi. Obat obatan yang pernah dipakai 5) Riwayat hipertensi pada kehamilan 6) Riwayat keluarga hipertensi 7) Faktor risiko penyakit kardiovaskular atau kebiasaan buruk seperti pola makan, stress, psikososial, merokok, minum alkohol b. Pemeriksaan Fisik 1) Inspeksi: a) Apakah ada wajah bulat pertanda sindrom Cushing b) Apakah ada perkembangan otot ekstremitas yang tidak proporsional untuk melihat apakah ada koarktasio aorta c) Apakah ada hiperhidrosis, untuk melihat risiko penyakit hipertiroid d) Apakah ada oedem dan perubahan warna kulit 2) Palpasi Perabaan denyut nadi arteri karotis untuk melihat risiko

stenosis/oklusi 3) Auskultasi
50

Apakah ada bunyi gallop atau ronki pada pulmo 4) Pengukuran tekanan darah pada 2 3 kali kunjungan berhubung variabilitas tekanan darah. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan posisi terlentang, duduk atau berdiri. c. Pemeriksaan Penunjang 1) Fungsi Ginjal : kreatinin, ureum, urin 2) Darah rutin : Hb, Ht, LED, AGD 3) EKG 4) Foto thorax 5) Mata d. Pemeriksaan funduskopi untuk mengetahui apakan ada retinopati hipertensi atau tidak.

14. Penatalaksanaan hipertensi a. Non Medikamentosa Modifikasi gaya hidup (terapi nonfarmakologis) merupakan bagian yang paling penting dari terapi hipertensi selain terapi dengan obat antihipertensi (terapi farmakologis) (Department Of Health And Human Services, 2004). Tabel 4. Macam-macam Modifikasi Gaya hidup. (Department Of Health And Human Services, 2004) Modifikasi yang disarankan Penurunan berat badan Pertahankan berat badan normal dengan indeks masa
51

Penurunan Rekomendasi tekanan darah sistolik yang dapat tercapai 5-20 mmHg tiap penurunan 10 kg

tubuhantara 18,5-24,9 Menjalankan perencanaan makan DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) Kurangi konsumsi natrium Mengurangi asupan natrium hingga kurang dari 2,4 gram natrium atau 6 gram Aktifitas fisik natrium klorida Menjalankan aktifitas fisik rutin seperti berjalan (paling tidak 30 menit sehari dan beberapa Mengurangi konsumsi alkohol hari seminggu) Batasi asupan tidak lebih dari 2 minuman sehari untuk pria (30 ml etanol) dan tidak lebih dari 1 minuman sehari untuk wanita Menghentikan rokok bagi yang perokok 2-4 mmHg 4-9 mmHg 2-8 mmHg kg/m2 Mengkonsumsi buah, sayur, dan produk rendah lemak 8-14 mmHg

52

b. Algoritme penatalaksanaan hipertensi untuk pasien dewasa menurut JNC VII tahun 2003 ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Gambar 18. Alogaritma Penatalaksanaan Hipertensi. (Department Of Health And Human Services, 2004). c. Medikamentosa Bila modifikasi gaya hidup tidak dapat mencapai target tekanan darah, maka diberi terapi obat antihipertensi. Dari algoritma JNC VII, terapi hipertensi pasien tanpa indikasi penyerta dengan hipertensi stadium I dapat diberi 1 atau 2 macam obat antihipertensi. Pada pasien stadium 2 diberikan 2 macam obat antihipertensi. Dibawah ini adalah obat-obat antihipertensi (Department Of Health And Human Services, 2004).
53

54

Tabel 5. Terapi Farmakologi Pasien Hipertensi. (Department Of Health And Human Services, 2004). Golongan Obat Kisaran dosis dalam Thiazide diuretics Hydrochlorothiazid e Chlorthalidone Loop diuretics Potassium sparing diuretics Aldosterone receptor blockers Beta Blockers Indapamide Furosemide Amiloride Spironolactone Atenolol Bisoprolol Carvedilol ACE inhibitor Propanolol Captopril Enalapril ARB Ramipril Losartan Valsartan CCB Irbesartan Amlodipine Nifedipine long acting Diltiazem extended Alpha 1 blocker Release Doxazosin 180-420 1-16 1 1 mg/hari 12,5-50 12,5-25 1,25-2,5 20-80 5-10 25-50 25-100 2,5-10 12,5-50 40-160 25-100 5-40 2,5-20 25-100 80-320 150-300 2,5-10 30-60 Frekuensi pemberian per hari 1 1 1 2 1-2 1 1 1 2 2 2 1-2 1 1-2 1-2 1 1 1

55

Central alpha 2 agonist and other centrally acting drugs Direct vasodilator 1) Diuretik

Clonidine Methyldopa

0,1-0,8 250-1000

2 2

Hydralazine Minoxidil

25-100 2,8-80

2 1-2

Bekerja dengan cara mengeluarkan cairan tubuh lewat kencing sehingga sehingga volume cairan didalam tubuh berkurang yang mengakibatkan daya pompa jantung lebih ringan. Contoh obatnya: Thiazid (HCT), Loop diuretic (furosemide) (Nafrialdi, 2007). 2) Beta Bloker Berperan dalam menghambat reseptor beta adrenergik. Menurunkan kontraksi dan aktivitas dari jantung, sehingga kerja jantung menjadi lebih ringan. Obat yang biasa digunakan adalah Propanolol dengan dosis 80320 mg/hari, terbagi dalam 2-4 kali. Kontraindikasi pada pasien CHF, AV block, bronkospasme pada asma (Alaeddini, 2013). 3) Vasodilator Bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos. Contohnya: Prazosin, Hidralasin. 4) ACE inhibitor Menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II yang berperan sebagai vasokontriktor poten, dan juga menurunkan sekresi dari aldosteron (Alaeddini, 2013). 5) Ca Chanel Blocker Mereduksi influks kalsium melalui kanal kalsium, dimana kalsium berperan dalam kontraksi otot polos dan jantung. Menyebabkan relaksasi

56

otot. Hasilnya adalah vasodilatasi arteri perifer dan penurunan afterload. Obat yang biasa digunakan dalah Amlodipine dengan dosis 5-10 mg PO 4x sehari (Alaeddini, 2013). 6) ARB Menghambat aktivitas angiotensin II hanya di reseptor AT 1 maka obat ini juga disebut AT1 Blocker. Penghambatan ini menyebabkan vasodilatasi dan penurunan pengeluaran aldosterone dan ADH (Nafrialdi, 2007). 15. Komplikasi Komplikasi hipertensi dapat terjadi hampir di seluruh tubuh, tergantung vaskuler di bagian mana yang mengalami kerusakan. Perlu dicatat bahwa pada hipertensi, resistensi vaskuler meningkat, serta terjadi penurunan aliran darah hampir di seluruh tubuh (Sudoyo, 2009). a. Organ Jantung Kompensasi jantung terhadap kerja yang keras akibat hipertensi berupa penebalan pada otot jantung kiri. Kondisi ini akan memperkecil rongga jantung untuk memompa, sehingga jantung akan semakin membutuhkan energi yang besar. Kondisi ini disertai dengan adanya gangguan pembuluh darah jantung sendiri (koroner) akan menimbulkan kekurangan oksigen dari otot jantung dan berakibat rasa nyeri. Apabila kondisi dibiarkan terus menerus akan menyebabkan kegagalan jantung untuk memompa dan menimbulkan kematian (Sudoyo, 2009). b. Sistem Saraf Gangguan dari sistem saraf terjadi pada sistem retina (mata bagian dalam) dan sistem saraf pusat (otak). Didalam retina terdapat pembuluhpembuluh darah tipis yang akan menjadi lebar saat terjadi hipertensi, dan memungkinkan terjadinya pecah pembuluh darah yang akan menyebabkan gangguan pada organ penglihatan (Sudoyo, 2009). c. Sistem Ginjal
57

Hipertensi yang berkepanjangan akan menyebabkan kerusakan dari pembuluh darah pada organ ginjal, sehingga fungsi ginjal sebagai pembuang zat-zat racun bagi tubuh tidak berfungsi dengan baik. Akibat dari gagalnya sistem ginjal akan terjadi penumpukan zat yang berbahaya bagi tubuh yang dapat merusak organ tubuh lain terutama otak (Sudoyo, 2009). 16. Prognosis Pada pasien ini, perlu dilakukan penggantian kontrasepsi oral dengan kontrasepsi non-hormonal, dikarenakan hipertensi yang muncul pada pasien ini disebabkan karena kontrasepsi hormonal yang pasien gunakan. Apabila hal ini dilakukan, disertai pemberian obat-obatan yang adekuat dan perbaikan gaya hidup, maka prognosisnya adalah dubia ad bonam, dimana memungkinkan untuk sembuh total karena berbeda pada hipertensi esensial, pada hipertensi sekunder yang dialami pasien ini, telah diketahui faktor penyebab munculnya hipertensi, sehingga kesembuhan dapat dicapai (Sudoyo, 2009).

58

DAFTAR PUSTAKA Ahmed; RD, Gordon; PJ, Taylor. 2011. Effect of Contraceptives on Aldosteron/renin ration may according to the components of contraceptive, renin assay method, and possibly route of administration. Journal of Endocrin Metabolics. Vol 96. Hal 1797-804.
Alaeddini, J. 2013. Atherosclerosis. National Heart Lungs and Blood Institute. Available from URL : www.nhlbi.nih.gov/.../Atherosclerosis/Atherosclerosis_WhatIs.html

Brown, Carolt. 2005. Penyakit Aterosklerosis Koroner. Dalam: P atofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC. Dorland, W.A. 2006. Kamus Kedokteran. Jakarta : EGC Fauci, A. 2009. Hypertension. In A. Fauci, ed. Harrison's Manual of Medicine. 17th ed. New York: McGraw-Hill Companies. pp.712-14. Gray, Huon, Keit Dawkins. 2003. Lecture Notes Kardiologi Edisi 4. Jakarta: Erlangga. Gunawan. 2010. Hipertensi. Jakarta: PT Gramedia. Guyton, AC; Hall, JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC. Isselbacher. 1999. Harrison Prinsip Prinsip Dasar Ilmu penyakit Dalam volume I. Jakarta : EGC. Kaplan M. Norman. Measurenment of Blood Pressure and Primary Hypertension: Pathogenesis in Clinical Hypertension: Seventh Edition. Baltimore, Maryland USA: Williams & Wilkins, 1998; 28-46. Madhur, MS. 2013. Hypertension. Medscape Reference. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/241381-overview#aw2aab6b2b3aa. Tanggal 24 April 2013. Martini, Frederich. 2012. Fundamentals of Anathomy and Physiology Ninth Edition. New York: Benjamin Cummings. Nafrialdi. 2007. Obat Antihipertensi. Dalam: Farmakologi dan terapi FKUI Ed. 5 . Jakarta: Gaya Baru. Nurkhalida. 2003. Warta Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Depkes RI; 19-21.
59

Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, E/6, vol.2. Jakarta:EGC.) Rahajeng, Ekowati., S. Tuminah. 2009. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol.59(12): 580-487.) Sani, Aulia. 2008. Hypertension Current Perspective. Jakarta: Medya Crea; p.11-9. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC. Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC. Snell, Richard. 2006. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC. Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II . Jakarta: Interna Publishing. Suyono, Slamet.2010. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 2001; 253, 454-459,463-464. Thaler MS. 2009. Satu-Satunya Buku EKG yang Anda Perlukan . Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hlm.10-31. U.S. Department Of Health And Human Services. 2004. The seventh report of Joint National Committee on Prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure, NIH publication No.03- 5233.

60

Anda mungkin juga menyukai