Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Polycystic ovary syndrome (PCOS) atau sindrom ovarium polikistik


(SOPK) merupakan salah satu gangguan endokrin yang paling umum terjadi pada
wanita usia reproduksi (Azizi dan Elyasi, 2017). Gambaran utama PCOS
termasuk hiperandrogenisme, oligomenorea, dan/atau ovarium polikistik
(Rotterdam Consensus, 2004; Aversa et al., 2020). Berdasarkan tinjauan terbaru,
PCOS tidak hanya merupakan gangguan endokrin yang heterogen, kompleks,
dengan etiologi yang belum diketahui secara pasti, namun juga merupakan
gangguan metabolik, di mana gangguan multifaktorial ini melibatkan baik faktor
genetik, gaya hidup, maupun lingkungan (Aversa et al., 2020).
PCOS memengaruhi 6%−10% ataupun sekitar satu hingga lima wanita usia
reproduksi (Cooney dan Dokras, 2017). PCOS memiliki implikasi klinis yang
signifikan dan beragam, termasuk reproduksi (infertilitas, hiperandrogenisme,
hirsutisme), metabolisme (resistensi insulin, gangguan toleransi glukosa, diabetes
mellitus tipe 2, profil risiko kardiovaskular yang buruk), dan gangguan psikologis.
Studi menunjukkan bahwa pasien dengan PCOS secara signifikan lebih memiliki
gejala neurotik (mengalami kesulitan mengatasi stres), cemas, depresi, dan
kualitas hidup yang memburuk daripada kontrol (Zangeneh, 2017).
Wanita dengan PCOS memiliki tanda-tanda klinis dan/atau biokimia
hiperandrogenisme, sehingga memiliki harga diri yang lebih rendah, citra diri
yang lebih negatif, dan memiliki distres psikologis yang lebih tinggi. Hal ini
disebabkan oleh karakteristik penampilan fisik hiperandrogenisme yang
memengaruhi identitas feminin dan menyebabkan gangguan psikososial. PCOS
tidak hanya disebabkan oleh faktor psikososial, gejala utamanya seperti
infertilitas, disfungsi menstruasi, hirsutisme, dan obesitas dapat disebabkan oleh
peningkatan stres psikososial dan gangguan mood. Dalam hal ini, masalah
psikologis yang terkait dengan PCOS yang paling banyak mendapat perhatian
adalah depresi (Barry, 2019).

1
Depresi memiliki prevalensi tertinggi, dari 28% hingga 64%, di antara
pasien dengan PCOS (Podfigurna-Stopa et al., 2015). Wanita dengan PCOS
mengalami peningkatan kemungkinan gejala depresi (OR 3,78; 95% CI 3,03-4,72)
(Cooney dan Dokras, 2017). Gejala-gejala depresi pada PCOS lainnya termasuk
perasaan sakit, mood yang depresif, melankolis, dan kesedihan. Namun, penyebab
gangguan ini tidak jelas. Dampak kadar androgen yang tinggi pada gangguan
mood dapat menjadi salah satu alasan tingginya prevalensi depresi (Azizi dan
Elyasi, 2017). Studi lain juga menyebutkan peningkatan androgen, obesitas, dan
resistensi insulin berkontribusi pada hubungan depresi dan PCOS (Cooney dan
Dokras, 2017).
Gangguan emosional seperti depresi dan stres kronis dikaitkan dengan
perubahan fisiologis tertentu seperti peningkatan aktivitas sistem imunitas dan
marker pro-inflamasi. Beberapa bukti menunjukkan hubungan yang kuat antara
depresi dan sitokin pro-inflamasi lainnya seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α)
interleukin-1β (IL-1β), dan IL-6 (Young et al., 2014). Sebuah studi longitudinal
juga menemukan hubungan antara depresi dan IL-6, yang menekankan target jalur
inflamasi pada terapi major depressive disorder (MDD) (Lamers et al., 2019).
Sitokin SSP juga dapat menyebabkan perubahan aktivasi dan fungsi leukosit
perifer, memicu kaskade sitokin di perifer yang dapat memodulasi fungsi spesifik
yang berkaitan dengan reproduksi (Zangeneh et al., 2015).
Stres mungkin berperan dalam hubungan antara PCOS dan depresi (Damone
et al., 2019). Studi berbasis komunitas dengan sampel yang besar memperoleh
hasil bahawa dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami PCOS, wanita
dengan PCOS mengalami peningkatan depresi (27.3% vs 18.8%) dan stres yang
dirasakan (perceived stress). Studi lain menyebutkan bahwa gaya hidup dapat
memiliki peran potensial dalam manajemen stres. Melalui gaya hidup yang sehat,
homeostasis fisiologis tercapai, maka stres dapat dihindari yang nantinya akan
menormalisasikan kerja aksis Hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA).
Normalisasi ini akan memperbaiki kerja sistem reproduksi yang akan
memperbaiki gejala PCOS serta depresi (Zangeneh, 2017).

2
Depresi dapat terjadi sebagai kondisi heterogen dalam skenario klinis mulai
dari gejala ringan transien hingga kondisi klinis yang berat dan menyebabkan
disabilitas sosial dan pekerjaan yang berat pula. Depresi dapat terjadi bersamaan
dengan konstelasi gejala kognitif, emosional, perilaku, fisiologis, interpersonal,
sosial, dan pekerjaan (Gautam et al., 2020). Sebagai manajemennya, antidepresan
dan berbagai terapi psikologis telah terbukti bermanfaat dalam pengobatan depresi
dan direkomendasikan dalam guideline terapi. Namun, penderita depresi sering
lebih memilih terapi psikologis daripada obat-obatan. Hal ini disebabkan adanya
variasi dalam respon individu terhadap obat-obatan, termasuk outcome jangka
panjang (Lepping et al, 2017).
Salah satu intervensi psikologis yang bermanfaat dan efektif untuk depresi
adalah cognitive behavioral therapy (CBT). Sejauh ini CBT merupakan
psikoterapi yang paling banyak diteliti untuk gejala depresi pada dewasa (Cristea
et al., 2015; (Lepping et al, 2017). CBT sendiri adalah salah satu intervensi
psikologis berbasis bukti untuk pengobatan beberapa gangguan psikiatri seperti
depresi, ansietas, gangguan somatoform, dan gangguan penggunaan zat (Gautam
et al., 2020). Sejumlah studi menunjukkan efikasi CBT pada gangguan depresi.
Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa CBT adalah strategi terapi yang efektif
untuk depresi dan terapi kombinasi dengan farmakoterapi secara signifikan lebih
efektif daripada farmakoterapi saja. Bukti juga menunjukkan bahwa tingkat relaps
pasien yang diobati dengan CBT lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang
diobati dengan farmakoterapi saja (Fennell, 2020; Gautam et al., 2020).
Sementara itu, depresi yang terjadi pada wanita dengan PCOS dapat
ditatalaksana dengan baik melalui CBT. Sebuah studi randomized controlled
clinical trial di Iran membuktikan bahwa CBT efektif dalam memperbaiki gejala
depresi dan menurunkan indeks massa tubuh (IMT) pada wanita obesitas yang
mengalami PCOS (Abdollahi et al., 2018). Studi pertama yang dilakukan tahun
2009 pada remaja PCOS yang mengalami gangguan emosi oleh Rofey et al.
menunjukkan bahwa CBT efektif untuk memperbaiki gangguan emosional
termasuk depresi pada subjek penelitian. Namun belum banyak studi yang
meneliti keefektifan CBT terhadap gejala depresi pada wanita dengan PCOS.

3
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dilihat adanya kompleksitas dari
keterkaitan PCOS dengan kejadian depresi, dan komorbiditas ini dapat berdampak
terhadap kualitas hidup dan kesejahteraan psikologis pasien. Beberapa studi telah
menyarankan adanya skrining depresi pada PCOS. Sementara itu, masih sangat
sedikit studi yang membahas tentang intervensi CBT terhadap depresi pada
PCOS. Oleh karena itu, penulis ingin melakukan tinjauan lebih lanjut melalui
penulisan referat ini untuk melihat bagaimana penatalaksanaan depresi dengan
CBT pada PCOS. Diharapkan melalui penulisan referat ini dapat menambah
khazanah keilmuan terkait penatalaksanaan CBT terhadap depresi yang sangat
rentan terjadi pada PCOS, agar dapat menghasilkan outcome yang lebih baik
terhadap pasien PCOS.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Polycystic Ovary Syndrome


Polycystic ovary syndrome (PCOS) adalah gangguan endokrin yang
heterogen, kompleks dengan etiologi yang tidak diketahui (Podfigurna-Stopa et
al., 2015). PCOS merupakan gangguan yang umum terjadi pada wanita usia
reproduktif di mana prevalensinya mencapai 15-20% bergantung kriteria
diagnosis yang digunakan (Azziz, 2018; Brutocao et al., 2018). Secara umum,
meskipun PCOS lebih sering terdiagnosis pada wanita usia reproduksi, PCOS
sendiri juga merupakan kelainan terkait genetik yang dapat pula ditemukan pada
seluruh wanita dari berbagai kelompok usia (Hestiantoro et al., 2016). Biasanya,
wanita dengan PCOS menunjukkan hiperandrogenisme klinis dan biokimiawi,
oligo/anovulasi, dan morfologi mikropolikistik ovarium. Namun, diagnosis PCOS
bergantung pada kriteria spesifik yang berbeda menurut asosiasi ilmiah yang
merilisnya (Aversa et al., 2020).
Penyebab PCOS hingga saat ini masih belum diketahui sepenuhnya,
diyakini penyebabnya multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks antara faktor
genetik, perilaku, dan lingkungan (Podfigurna-Stopa et al., 2015). Dengan
berkembangnya teknologi, fokus penelitian untuk mencari penyebab PCOS terus
berubah, dari faktor ovarium, aksis HPA, hingga gangguan aktivitas insulin.
Ketiga faktor ini saling berinteraksi dalam regulasi fungsi ovarium (Hestiantoro et
al., 2016).
Penelitian mengenai PCOS pada berbagai ras etnik menemukan bahwa
prevalensi PCOS pada berbagai ras tidak berbeda, tetapi ras berpengaruh terhadap
manifestasi klinis PCOS (resistensi insulin, obesitas, hiperandrogenisme,
dislipidemia). Perbedaan manifestasi klinis ini mungkin disebabkan oleh faktor
lingkungan, seperti pola makan, kebiasaan olahraga, dan gaya hidup (Gambar 1)
(Hestiantoro et al., 2016).

5
FAKTOR LINGKUNGAN
Obesitas
Gaya hidup pasif
Diet tidak seimbang
Gangguan intrauterin

KELOMPOK ETNIS

GEN PREDISPOSISI / PROTEKTIF

Gen yang berhubungan


Gen yang berhubungan dengan
dengan biosintesis, regulasi Genotip proinflamasi
sekresi dan resistensi insulin
dan fungsi androgen

HIPERANDROGENISME INFLAMASI

RESISTENSI INSULIN DAN


TOLERANSI GLUKOSA

Gambar 1. Model Hubungan Kompleks antara Faktor Genetik dan Lingkungan


terhadap Kejadian PCOS (Hestiantoro et al., 2016)

B. Depresi pada PCOS


Masalah psikologis yang terkait dengan PCOS yang paling mendapat
perhatian adalah depresi (Barry, 2019). Meskipun jelas bahwa depresi merupakan
risiko pada PCOS, upaya untuk mengidentifikasi penyebab spesifik depresi pada
PCOS belum memberikan jawaban yang jelas, oleh karena banyak variabel dapat
berkontribusi terhadap depresi pada PCOS (berat badan, jerawat, hirsutisme,
testosteron) baik secara langsung maupun tidak langsung (Barry et al., 2018).
Studi meta analisis menunjukkan wanita dengan PCOS lebih sering menderita

6
depresi dan sangat memengaruhi kualitas hidup dan fungsi seksual (Yin et al.,
2020).
Dalam sebuah studi cross-sectional pada wanita usia reproduksi di India,
ditemukan bahwa prevalensi depresi pada wanita dengan PCOS yaitu 25,7%
dengan gejala yang berhubungan dalam meningkatkan kecenderungan timbulnya
keluhan depresi yaitu jerawat, dengan odds ratio (OR) terkait depresi dengan atau
tanpa keluhan jerawat yaitu 3,78:1 (Chaudhari et al., 2018). Meta-analisis dari 24
studi dengan 167.912 pasien menunjukkan bahwa PCOS dikaitkan dengan
peningkatan terhadap diagnosis klinis depresi yang signifikan secara statistik (OR:
2,79; 95% CI: 2,23-3,50) (Brutocao et al., 2018).
Day et al. (2018) menunjukkan bahwa depresi pada PCOS mungkin
memiliki aspek genetik yang terkait dengan IMT. Seseorang yang didiagnosis
dengan kondisi yang berarti hidup mereka akan terkena dampak dari berbagai
masalah jangka pendek dan jangka panjang dengan berbagai tingkat yang berbeda
mungkin akan merasa cemas dan penurunan mood sebagai reaksi alami. Penelitian
menunjukkan bahwa walaupun testosteron mungkin menyebabkan depresi secara
tidak langsung dengan menyebabkan gejala distres pada PCOS, bukti untuk efek
langsung testosteron lemah (Barry et al., 2018; Borghi et al., 2018). PCOS
memengaruhi kualitas hidup dan dapat memperburuk depresi yang ada baik
karena gambaran PCOS atau karena diagnosis kronis (Podfigurna-Stopa et al.,
2015).
Depresi telah dikaitkan dengan peningkatan kadar kortisol, peningkatan
aktivitas simpatis dan penurunan kadar serotonin dalam sistem saraf pusat,
gambaran yang juga terkait dengan resistensi insulin (Zangeneh et al., 2012).
Mekanisme di mana inflamasi terkait dengan depresi termasuk menyebabkan
perilaku sakit oleh marker inflamasi serta efek inflamasi di otak seperti perubahan
dalam metabolisme neurotransmiter, aktivasi corticotropin-releasing hormone
(CRH), dan gangguan dalam plastisitas sinaptik. Inflamasi dan perilaku sakit juga
berperan dalam hipotesis pertahanan host patogen yang menimbulkan depresi
sebagai adaptasi evolusioner dan bagian integral dari pertahanan host yang
dimediasi imun terhadap patogen (Lamers et al., 2019).

7
Telah diketahui bahwa depresi dapat dikorelasikan dengan sitokin pro-
inflamasi, dan beberapa anti-depresan mengurangi produksi sitokin pro-inflamasi.
Peningkatan faktor inflamasi seperti sitokin proinflamasi yaitu interleukin (IL)-1β,
IL-6 dan tumor necrosis factor-α yang berkontrubusi pada perkembangan dan
keparahan depresi (Young et al., 2014). Sitokin SSP juga dapat menyebabkan
perubahan aktivasi dan fungsi leukosit perifer, dan dapat memicu kaskade sitokin
di perifer yang dapat memodulasi fungsi spesifik yang berkaitan dengan
reproduksi. Stres dan depresi kronis dapat berdampak pada sistem imun yang
menyebabkan peningkatan aktivitas imun. Marker inflamasi yang meningkat
secara kronis dapat menjadi penyebab kelelahan, perasaan tertekan, penarikan
sosial, dan gangguan tidur pada PCOS. Sitokin melemahkan blood-brain-barrier,
menyebabkan kekurangan serotonin dan peningkatan hormon stres kronis (Barry,
2019).
Gangguan psikiatri yang terjadi pada wanita dengan PCOS dapat
menurunkan kualitas hidup (Podfigurna-Stopa et al., 2015; Chaudhari et al., 2018;
Brutocao et al., 2018). Pada gambar 2 dapat dilihat bagaimana patofisiologi PCOS
menyebabkan depresi pada seorang wanita.

8
Gambar 2. Patofisiologi dan Gambaran PCOS yang Menyebabkan Depresi
(Hiam et al., 2019)

Interaksi antara faktor biopsikososial dianggap sebagai penyebab


tingginya tingkat depresi yang terkait dengan PCOS. IMT yang lebih tinggi telah
terbukti dapat memprediksi depresi (Brutocao et al., 2018) dan telah dikaitkan
dengan self-esteem yang lebih rendah dan ketidakpuasan tubuh (PodfigurnaStopa
et al., 2015; Stapinska-Syniec et al., 2018). Infertilitas dan kekhawatiran tentang
kehamilan juga telah dikaitkan dengan distres yang lebih tinggi (Holton et al.,
2018). Jerawat dan tumbuhnya rambut yang tidak diinginkan telah ditemukan
berkontribusi pada perasaan sedih dan iritabel, dan cemas (Asik et al., 2015;
Cooney et al., 2017; Podfigurna-Stopa et al., 2015). Bukti systematic review
menemukan bahwa rambut yang tidak diinginkan dan ketidakteraturan menstruasi
memiliki dampak terbesar pada kualitas hidup terkait kesehatan (Bazarganipour et
al., 2015). Terkait dengan ini, penelitian kualitatif telah menunjukkan bahwa
distres mungkin terkait dengan persepsi kurangnya kontrol atas gejala PCOS dan
dampaknya pada tubuh wanita (Hadjiconstantinou et al., 2017).

9
C. Gangguan Kognitif pada PCOS
Sebuah studi di Iran yang mengukur performa kognitif menggunakan
kuesioner Montreal Cognitive Assessment (MoCA) pada wanita dengan PCOS
menunjukkan bahwa pada grup PCOS memiliki performa kognitif yang lebih
rendah dibandingkan kontrol, terutama dalam domain fungsi eksekutif,
visouspasial, dan atensi. Hal ini disebabkan oleh beberapa gejala PCOS seperti
hiperandrogenisme sangat terkait dengan status psikologis yang dapat
mengganggu fungsi kognitif (Mehrabadi et al., 2020).
Resistesi insulin dan hiperandrogenisme yang terjadi pada PCOS dinyatakan
berhubungan dengan fungsi kognitif yang ditunjukkan oleh gangguan struktural
dan fungsional otak (Saydam dan Yildiz, 2021). Studi fMRI menunjukkan
pengaruh resistensi insulin pada metabolisme glukosa otak, yang dapat
memengaruhi kognisi pada pasien PCOS. Laporan fMRI juga menunjukkan
bahwa pasien PCOS dengan resistensi insulin dapat menunjukkan aktivasi
regional yang lebih besar selama kinerja suatu emotion task (Castellano et al.,
2015). Faktor parameter endokrin dan metabolik memegang peranan penting
dalam memediasi defisit kognitif pada PCOS (Franik et al., 2019). PCOS dapat
menyebabkan perubahan aktivitas daerah otak yang bertanggung jawab untuk
memori kerja visuospasial, pemrosesan wajah, dan memori episodik. Konektivitas
fungsional yang berkurang dalam lobus frontal kanan terkait dengan tingkat
luteinizing hormone (LH) yang tinggi pada wanita dengan PCOS (Lai et al.,
2020).

D. Gangguan Kognitif pada PCOS dengan Depresi


Depresi yang terjadi pada wanita dengan PCOS juga akan menimbulkan
defek pada fungsi kognitif. Literatur menunjukkan adanya gangguan kognitif
(seperti memori, atensi, kinerja verbal, fungsi eksekutif, fungsi psikomotor, dan
fungsi otak) dalam sistem kognitif orang yang mengalami depresi dan cemas
(Spritzer, 2014). Disregulasi respon emosional dan sirkuit regulasi mendasari
patofisiologi depresi. Regio sentral limbik dan paralimbik termasuk korteks

10
prefrontal, cingulate anterior, amigdala, nukleus accumbens terutama terlibat
dalam perilaku termotivasi. Area-area ini bertanggung jawab dari integrasi dan
regulasi kognisi dan informasi yang relevan secara emosional termasuk peristiwa
yang menonjol, bermanfaat, dan tidak bermanfaat. Peningkatan aktivitas diamati
di korteks prefrontal dan cingulate anterior ventral pada pasien dengan depresi
(Saydam dan Yildiz, 2021).
Wanita dengan PCOS memiliki peningkatan risiko gangguan mood. Studi
pada 7 wanita resisten insulin dengan PCOS dan 5 kontrol yang dilakukan fMRI
dan tugas pemrosesan emosional simultan dan PET CT menunjukkan, ketika
gambaran emosional negatif diperlihatkan, wanita resisten insulin dengan PCOS
mengalami peningkatan aktivasi regional di korteks prefrontal kiri dan cingulate
anterior ventral dibandingkan dengan kontrol dan perbedaan antara kelompok ini
menghilang setelah terapi metformin. Area yang terkena ini bertanggung jawab
untuk menerjemahkan isyarat eksternal dan internal ke dalam respon perilaku dan
berperan dalam pengambilan keputusan. Pasien yang resisten insulin dengan
PCOS ditemukan memiliki aktivasi limbik yang lebih besar selama tugas
emosional daripada kontrol yang mengakibatkan peningkatan kecemasan yang
diselesaikan dengan terapi metformin. Peningkatan ketersediaan -opioid
receptor di nucleus accumbens dan amigdala dikaitkan dengan gangguan mood
karena area ini berkontribusi pada pemrosesan emosional dan aversif serta reward
antisipatif (Marsh et al., 2013).
Peningkatan aktivasi limbik dan peningkatan ketersediaan reseptor opioid di
area yang terkait dengan pemrosesan emosional dikaitkan dengan peningkatan
gangguan mood dan ansietas pada wanita dengan PCOS. Interaksi antara
resistensi insulin, sistem opioid dan regulasi emosional dianggap penting dalam
memahami patofisiologi gangguan mood yang sering terlihat pada wanita dengan
PCOS (Saydam dan Yildiz, 2021). Gambar 3 di bawah ini memperlihatkan
ringkasan modalitas neuroimaging dan implikasinya pada PCOS.

11
Gambar 3. Modalitas Neuroimaging pada PCOS dan Implikasinya (Saydam dan
Yildiz, 2021)

Selain dari segi biologi, dari aspek psikososial seperti persepsi seseorang
juga berperan dalam timbulnya defisit kognitif pada PCOS yang mengalami
depresi. Wanita dengan PCOS diketahui dengan distorsi persepsi self-image
independen dari fungsi seksual dan IMT. Persepsi dan dimensi afektif kognitif
tampaknya memainkan peran penting dalam disfungsi self-image pada wanita
dengan PCOS, dan berdampak pada disfungsi seksual dan depresi yang terkait
dengan sindrom tersebut (Kogure et al., 2019).
Sebuah studi melihat bagaimana persepsi terhadap sakit yang dialami wanita
dengan PCOS dapat berkaitan dengan distres psikologis yang dialami. Persepsi
penyakit berperan penting dalam berkontribusi terhadap distres psikologis pada
wanita dengan PCOS, di mana mereka yang melaporkan lebih banyak gejala
(dikenal sebagai identitas penyakit), mengalami konsekuensi yang dirasakan lebih
tinggi, kontrol pribadi yang kurang, dan pemahaman yang lebih rendah tentang
penyakit (dikenal sebagai koherensi penyakit) yang semuanya secara signifikan
terkait dengan distres yang lebih tinggi (Light et al., 2021).
Model regulasi diri dari Leventhal menekankan adaptasi terhadap penyakit
dan outcome kesehatan. Jalur emosi didasarkan pada bagaimana individu secara

12
emosional mengatur, mengatasi, dan menilai ancaman kesehatan. Outcome
penyakit adaptif bergantung pada sistem regulasi diri yang konsisten dan stabil
antara persepsi penyakit (cognitive pathway), respon emosional (emotion
pathway), koping, dan persepsi penilaian (Light et al., 2021). Studi menunjukkan
bahwa intervensi yang menargetkan pada persepsi penyakit dapat menjadi kunci
untuk mengubah perilaku dan memperbaiki kualitas hidup pada wanita dengan
PCOS yang mengalami depresi (Mani et al., 2018).

E. Cognitive Behavior Therapy (CBT)


Aaron Beck mengembangkan bentuk psikoterapi pada 1960-an dan 1970-an
yang awalnya ia beri nama “cognitive therapy” sebuah istilah yang sering
digunakan secara sinonim dengan “cognitive behavior therapy” (CBT). Beck
merancang psikoterapi yang terstruktur, berjangka pendek, berorientasi saat ini
untuk depresi. Sejak saat itu, psikoterapis di seluruh dunia telah berhasil
mengadaptasi terapi ini ke populasi yang sangat beragam dengan berbagai
gangguan dan masalah, dalam banyak setting dan format. Adaptasi ini telah
mengubah fokus, teknik, dan lama terapi, tetapi asumsi teoretis tetap konstan.
Dalam semua bentuk CBT yang diturunkan dari model Beck, klinisi mendasarkan
terapi pada formulasi kognitif: keyakinan maladaptif, strategi perilaku, dan faktor
pemeliharaan yang menjadi ciri gangguan tertentu (Beck, 2021).
Cognitive behavioral therapy yang lebih sering disingkat dengan CBT
berfokus pada cara seseorang berpikir dan bertindak untuk membantu masalah
emosional dan perilaku. CBT adalah psikoterapi yang bertujuan untuk membantu
klien mengatasi masalah emosional mereka (Branch and Willson, 2020).
- Kognitif berarti proses mental seperti berpikir. Kata kognitif mengacu
pada segala sesuatu yang terjadi dalam pikiran termasuk mimpi, memori,
gambar, pikiran dan perhatian.
- Perilaku mengacu pada segala sesuatu yang dilakukan. Ini termasuk apa
yang dikatakan, bagaimana mencoba memecahkan masalah, bagaimana
bertindak dan menghindar. Perilaku mengacu pada aksi dan inaksi,

13
misalnya menggigit lidah alih-alih berbicara, pikiran tersebut masih
merupakan perilaku meskipun berusaha untuk tidak melakukan sesuatu.
- Terapi adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan pendekatan
sistematis untuk memerangi masalah, penyakit, atau kondisi yang tidak
teratur.

Efektivitas CBT untuk berbagai masalah psikologis telah diteliti lebih luas
daripada pendekatan psikoterapi lainnya. Reputasi CBT sebagai terapi yang
sangat efektif didasarkan pada penelitian lanjutan. Beberapa penelitian
mengungkapkan bahwa CBT lebih efektif daripada obat-obatan saja untuk terapi
ansietas dan depresi. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang menjalani CBT
untuk berbagai jenis masalah – khususnya, untuk kecemasan dan depresi – tetap
sehat lebih lama. Ini berarti bahwa orang yang memiliki CBT relaps lebih jarang
daripada mereka yang memiliki bentuk lain dari psikoterapi atau hanya minum
obat. Hasil positif ini kemungkinan sebagian disebabkan oleh aspek edukasi CBT
– orang yang menjalani CBT menerima banyak informasi yang dapat mereka
gunakan untuk menjadi terapis bagi diri mereka sendiri (Branch dan Willson,
2020).
CBT merupakan metode yang bertujuan untuk mengurangi distres dan
disfungsi psikologis dengan mengeksplorasi dan membahas bagaimana integrasi
pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang berkontribusi pada masalah yang
muncul. Tiga asumsi yang menjadi dasar CBT (Teater, 2013):
1. Pikiran (kognisi) memediasi emosi dan perilaku;
2. Kognisi yang salah menyebabkan distres dan disfungsi psikologis;
3. Distres dan disfungsi psikologis dikurangi melalui modifikasi dalam kognisi
dan perilaku yang salah.

CBT mengacu pada pendekatan terapi yang didasarkan pada premis bahwa
proses kognitif terlibat dalam berkembangnya psikopatologi, terutama distres
emosional dan gangguan fungsi, dan memerlukan terapis untuk menyesuaikan
intervensi agar dapat membantu pasien dengan sebaik-baiknya (Kazantzis et al.,

14
2018). Salah satu komponen penting dari terapi kognitif melibatkan mengajar
pasien untuk mengidentifikasi pikiran yang mengarah pada distres atau disfungsi,
untuk mengevaluasi pemikiran mereka, dan untuk secara efektif menanggapi
kognisi ini. Gambar di bawah ini menggambarkan model kognitif (Beck dan
Hindman, 2017).

Gambar 4. Model Kognitif (Beck dan Hindman, 2017)

Ahli teori kognitif percaya bahwa kognisi maladaptif, sering disebut sebagai
automatic thinking, menyebabkan emosi dan perilaku maladaptif. Dengan
demikian, identifikasi dan disputasi yang sukses dari penilaian maladaptif ini, dan
penggantian dengan yang lebih adaptif akan mengarah pada emosi yang lebih
sehat dan perilaku yang lebih fungsional. Sebelum sebuah pikiran disfungsional
dapat diselesaikan, ia harus dikenali terlebih dahulu (O’Donohue dan Fisher,
2012). Konsep sentral dalam CBT adalah seseorang merasakan apa yang
dipikirkan. Oleh karena itu, CBT bekerja dengan prinsip bahwa klien dapat hidup
lebih bahagia dan produktif jika klien berpikir dengan cara yang sehat (Branch
and Willson, 2020).

Beberapa prinsip terapi CBT yaitu (Beck, 2021):


1. Rencana terapi CBT didasarkan pada konseptualisasi kognitif yang terus
berkembang.
2. CBT membutuhkan hubungan terapeutik yang baik.

15
3. CBT terus memantau kemajuan klien.
4. CBT diadaptasi secara budaya dan menyesuaikan perawatan dengan individu.
5. CBT menekankan hal-hal yang positif.
6. CBT menekankan kolaborasi dan partisipasi aktif.
7. CBT adalah aspiratif, berbasis nilai, dan berorientasi pada tujuan.
8. CBT awalnya menekankan masa kini.
9. CBT bersifat edukatif.
10. CBT peka terhadap waktu.
11. Sesi CBT terstruktur.
12. CBT menggunakan penemuan terbimbing dan mengajarkan klien untuk
menanggapi kognisi disfungsional mereka.
13. CBT mencakup Rencana Tindakan (pekerjaan rumah terapi).
14. CBT menggunakan berbagai teknik untuk mengubah pikiran, mood, dan
perilaku.

Ketika mulai akan memahami kesulitan emosional, CBT mendorong klien


untuk memecahkan masalah spesifik yang dimiliki dengan menggunakan format
ABC, di mana:
- A adalah activating event, yang berarti peristiwa eksternal nyata yang telah
terjadi, peristiwa masa depan yang diantisipasi terjadi atau peristiwa internal
dalam pikiran, seperti gambar, ingatan, atau mimpi. A sering disebut sebagai
“trigger”.
- B adalah beliefs. Keyakinan mencakup pemikiran, aturan pribadi, tuntutan
yang dibuat (pada diri sendiri, dunia, dan orang lain) dan makna yang
dilekatkan pada peristiwa eksternal dan internal.
- C adalah consequences. Konsekuensi termasuk emosi, perilaku, dan sensasi
fisik yang menyertai emosi yang berbeda.

Di bawah ini dapat dilihat model ABC dari suatu masalah dalam bentuk
gambar 5. Menuliskan masalah Anda dalam format ABC yang merupakan teknik

16
CBT sentral, dapat membantu membedakan antara pikiran, perasaan, dan perilaku
serta peristiwa pemicunya (Branch and Willson, 2020).

Gambar 5. Model ABC (Branch and Willson, 2020)

1. Konseptualisasi Kognitif
Konseptualisasi kognitif adalah landasan CBT. Melalui hal ini seorang
psikoterapis mengetahui framework dari terapi yang akan dijalankan, dan dapat
membantu terapis untuk (Beck, 2021):
- memahami klien, kekuatan dan kelemahan mereka, aspirasi dan tantangan
mereka;
- mengenali bagaimana klien mengalami gangguan psikologis dengan pikiran
disfungsional dan perilaku maladaptif;
- memperkuat hubungan terapeutik;
- merencanakan terapi di dalam dan di seluruh sesi;
- memilih intervensi yang tepat dan menyesuaikan terapi sesuai kebutuhan;
dan
- mengatasi titik macet.

CBT didasarkan pada model kognitif, yang berhipotesis bahwa emosi,


perilaku, dan fisiologi seseorang dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang

17
peristiwa (baik eksternal, seperti gagal dalam ujian, dan internal, seperti gejala
fisik yang mengganggu). Sangat penting untuk mengembangkan strengths-based
dan problem-based conceptualizations. Cognitive Conceptualization Diagrams
(CCD) membantu terapis mengatur sejumlah besar data yang didapatkan dari
klien. Strengths-Based Cognitive Conceptualization Diagram (SB-CCD; Gambar
6) membantu terapis memperhatikan dan mengatur pola kognisi dan perilaku yang
membantu klien. Ini menggambarkan, antara lain, hubungan antara (Beck, 2021):
- life event yang penting dan adaptive core belief,
- adaptive core belief dan makna automatic thought klien,
- adaptive core belief, intermediate belief terkait, dan strategi koping adaptif,
- situasi, automatic thought adaptif, dan perilaku adaptif. (Beck, 2021).

18
Gambar 6. Strengths-Based Cognitive Conceptualization Diagram (Beck, 2021)

2. CBT terhadap Depresi


Beberapa studi telah melihat keefektifan CBT terhadap depresi. Lepping et
al. (2017) telah melakukan review terhadap trial CBT yang mengukur clinical
global impression (CGI) terhadap gejala depresi. Hasil studi ini menemukan skor
CGI 2,2 di mana mengindikasikan CBT memberikan respon klinis yang signifikan
terhadap depresi dan menyarankan untuk terus memberikan terapi CBT pada
pasien dengan depresi (Lepping et al., 2017).
Kognisi maladaptif khusus untuk depresi disebut sebagai triad kognitif:
keyakinan negatif tentang diri sendiri, pengalaman hidup (dan dunia pada
umumnya), dan masa depan. Pada depresi, kognisi negatif ini memengaruhi (dan
pada gilirannya dipengaruhi oleh) mood, perilaku, dan gejala fisik individu.
Pasien depresi biasanya merasa sedih, kosong, iritabel, cemas dan/atau bersalah;
mereka sering meramalkan masa depan tidak memiliki apa-apa selain masalah dan
rasa sakit yang tak berkesudahan; mereka umumnya mengalami penurunan energi
dan motivasi; mereka mungkin mengalami gangguan tidur, libido, dan nafsu
makan; mereka cenderung mengurangi tingkat aktivitas mereka dan
mengasingkan diri dari orang lain (Beck dan Hindman, 2017).
Ketika depresi, individu cenderung terlalu fokus pada diri sendiri. Mereka
cenderung secara tidak proporsional mengalokasikan perhatian pada pikiran
negatif, perasaan sedih, dan gejala fisiologis mereka. Perenungan depresi biasanya
menghasilkan eksaserbasi gejala dan ketidakaktifan yang berkelanjutan. Ketika
mode depresi terus aktif, rasa putus asa individu tentang masa depan dapat
meningkat dan mengarah pada peningkatan ide bunuh diri ketika mereka percaya
bunuh diri adalah satu-satunya solusi untuk masalah mereka (Beck dan Hindman,
2017).
Model kognitif yang dikemukakan oleh Beck menunjukkan bahwa individu
yang depresi dan cemas memiliki distorsi khas atau kecenderungan dalam pikiran
mereka. Ini disebut negative automatic thoughts karena itu adalah pikiran yang

19
muncul secara spontan, biasanya sesuai dengan mood, tampak masuk akal, dan
sering tidak diperiksa lagi. Pikiran otomatis, bagaimanapun, bisa benar, salah,
atau sebagian benar. Bias khas yang terkait dengan depresi dan kecemasan
termasuk (O’Donohue dan Fisher, 2012):
- personalisasi (peristiwa itu diarahkan pada saya atau itu salah saya),
- catastrophizing (melihat peristiwa itu sebagai bencana daripada hanya tidak
menyenangkan),
- pikiran dikotomis (melihat peristiwa dalam semua atau tidak sama sekali,
istilah hitam dan putih),
- fortune telling (memprediksi masa depan berdasarkan informasi yang
terbatas),
- mengabaikan hal-hal positif (berfokus pada hal-hal negatif tanpa
mempertimbangkan hal-hal positif),
- overgeneralizing (mengambil satu peristiwa dan menarik kesimpulan yang
luas),
- mindreading (menghubungkan pikiran dan perasaan kepada orang lain
berdasarkan informasi kecil),
- labeling (memandang diri sendiri atau orang lain dalam hal konsep kaku
kepribadian atau kegagalan moral).

Distorsi atau bias pikiran otomatis ini dihipotesiskan dapat memperburuk


atau mempertahankan depresi dan ansietas secara langsung, serta tidak langsung,
melalui dampak negatifnya pada perilaku (yaitu, menyebabkan perilaku
depresogenik seperti pasif, avoidan, atau isolasi). Restrukturisasi kognitif
melibatkan identifikasi distorsi atau bias pikiran otomatis tertentu, situasi yang
memunculkannya, dan memodifikasi konten atau kredibilitas pikiran ini
(O’Donohue dan Fisher, 2012).
Teknik perilaku kognitif untuk depresi memusatkan perhatian pada
hubungan antara berikut ini (Hughes et al., 2014):
- Life event (apa yang terjadi);

20
- kognisi/pikiran (apa yang dipikirkan, bagaimana menilai atau menafsirkan
peristiwa dan situasi yang terjadi);
- perilaku (bagaimana bereaksi atau apa yang dilakukan ketika menafsirkan
situasi dengan cara tertentu);
- fisiologi/tubuh (bagaimana tubuh bereaksi ketika menafsirkan situasi
dengan cara tertentu);
- afek/mood (bagaimana perasaan, konsekuensi emosional terkait dengan
bagaimana menafsirkan situasi dengan cara tertentu).

Keuntungan CBT pada depresi (Gautam et al., 2020):


1. Digunakan untuk mengurangi gejala depresi sebagai pengobatan independen
atau dalam kombinasi dengan obat-obatan
2. Digunakan untuk memodifikasi skema atau keyakinan yang mendasari yang
mempertahankan depresi
3. Dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah psikososial yang dapat
berkontribusi pada gejala
4. Mengurangi kemungkinan kambuh
5. Meningkatkan kepatuhan terhadap terapi medis yang direkomendasikan

3. CBT terhadap Depresi pada PCOS


CBT direkomendasikan oleh American Psychological Association dan
American College of Physicians sebagai salah satu terapi lini pertama untuk
pasien dengan depresi (Qaseem et al., 2016). CBT memiliki ukuran efek sedang
hingga besar untuk pengobatan MDD (Cuijpers et al., 2016). Sebuah studi pilot
kecil pada remaja dengan PCOS, obesitas, dan depresi menunjukkan bahwa
delapan sesi mingguan dan tiga sesi CBT berbasis keluarga, menunjukkan
penurunan berat badan dan gejala depresi yang signifikan pada Children’s
Depressive Inventory (Rofey et al., 2009). Studi RCT lainnya yang menilai
keefektifan CBT pada wanita dengan PCOS yang mengalami depresi dan obesitas
menemukan bahwa CBT dengan durasi 45-60 menit selama delapan sesi efektif
dalam memperbaiki gejala depresi dan menurunkan IMT pada kelompok

21
perlakuan. Studi ini merekomendasikan pendekatan CBT untuk memperbaiki
gejala fisik maupun psikologis pada wanita dengan PCOS (Abdollahi et al.,
2018).
Dalam sebuah studi pilot RCT wanita dewasa dengan PCOS, overweight/
obesitas, dan depresi, di mana subjek dilakukan randomisasi untuk 8 kunjungan
CBT mingguan ditambah 16 kunjungan lifestyle counseling mingguan (CBT + LS
arm) atau 8 kunjungan kontrol kontak dengan anggota tim ditambah 16 kunjungan
lifestyle counseling mingguan (LS arm). Studi ini menemukan bahwa wanita
dalam kelompok CBT + LS kehilangan lebih banyak berat badan setiap minggu,
serta mengalami perbaikan respon stres yang diukur dengan perubahan denyut
jantung dan kortisol selama Trier Social Stress Test (TSST) yang dilakukan pada
awal dan minggu ke-8. CBT + LS mingguan selama 8 minggu dibandingkan
dengan LS saja juga menghasilkan peningkatan kualitas hidup pada wanita
overweight/obesitas dengan PCOS dan gejala depresi. Intervensi ini dikaitkan
dengan penurunan respon otonom terhadap stresor, yang menunjukkan hubungan
potensial antara CBT, penurunan berat badan, dan modulasi respon stress (Cooney
et al., 2018).
Secara umum, intervensi 3 komponen termasuk diet, olahraga, dan CBT
lebih efektif dalam meningkatkan kesejahteraan emosional jangka panjang.
Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa intervensi gaya hidup independen
pada penurunan berat badan dapat mengurangi depresi dan body-image, tetapi
intervensi gaya hidup dan penurunan berat badan dapat meningkatkan self-esteem.
Dengan demikian, intervensi gaya hidup melalui tiga komponen berdasarkan CBT
terbukti berhasil meningkatkan mood pada wanita dengan PCOS yang overweight
atau obesitas dan berusaha untuk hamil (Jiskoot et al., 2020).
Dalam studi RCT yang menilai keefektifan CBT pada wanita dengan PCOS
menemukan bahwa, CBT 8 sesi/minggu efektif dalam memperbaiki kualitas hidup
dan kelelahan psikologis, hal ini juga meningkatkan kesehatan pada subjek
penelitian tersebut (Abdollahi et al., 2019). Studi terbaru di Nigeria juga
memperoleh hasil bahwa CBT akan secara signifikan meredakan gejala depresi
pada pasien PCOS yang menerima terapi fertilitas bila dibandingkan dengan

22
kontrol, pada tingkat signifikan p < 0,000 (Umeaku et al., 2020). Berdasarkan
studi-studi di atas, dapat disimpulkan bahwa CBT memiliki efikasi yang baik
untuk depresi pada PCOS (Cooney dan Dokras, 2017).

Tabel 1. Tahapan CBT terhadap Depresi pada PCOS (Abdollahi et al., 2018)
Sesi 1 Memahami anatomi dan fisiologi sistem reproduksi; definisi ovarium;
bagaimana ovarium bekerja; definisi cognitive-behavioral therapy;
mengulangi pernyataan positif tentang self-love; mencoba untuk
kesehatannya sendiri.
Sesi 2 Pengulangan tugas sesi sebelumnya; faktor yang memengaruhi fungsi
ovarium dan definisi PCOS; teknik pernapasan; teknik waktu.
Sesi 3 Mengumpulkan tugas sesi sebelumnya, menjelaskan bagaimana
pernapasan dan nutrisi memengaruhi kesehatan ovarium, mencari tahu
pikiran nutrisi yang tidak efektif dan memberikan informasi tentang
makanan yang sesuai dan tidak sesuai pada PCOS.
Sesi 4 Mengumpulkan tugas sesi sebelumnya, memberikan informasi mengenai
dampak olahraga pada PCOS, menjelaskan jenis olahraga dan
memilihnya berdasarkan batasan lingkungan hidup, dan mempraktikkan
beberapa olahraga.
Sesi 5 Mengumpulkan tugas sesi sebelumnya, mengajarkan metode relaksasi
dan pengendalian stres berdasarkan itu, dan memvisualisasikan pikiran.

23
Sesi 6 Mengumpulkan tugas sesi sebelumnya, menjelaskan bagaimana pikiran
memengaruhi tubuh, menjelaskan pengenalan depresi dan berlatih
meditasi.
Sesi 7 Mengumpulkan tugas sesi sebelumnya, menjelaskan bagaimana
mengenali kebahagiaan, dan mengajarkan ekspresi diri yang positif dan
bagaimana mencatat thought.
Sesi 8 Memantau status peserta dan mengevaluasi kemajuan mereka melalui
diskusi.

24
BAB III
SIMPULAN

Wanita dengan PCOS mengalami banyak peristiwa kehidupan yang penuh


tekanan yang dapat menyebabkan distres psikologis. Masalah psikologis yang
terkait dengan PCOS yang paling mendapat perhatian adalah depresi. Gangguan
tersebut berakar pada beberapa faktor penting seperti perubahan penampilan,
periode menstruasi yang ireguler atau bahkan amenorea, dan gangguan pada sikap
dan perilaku seksual. Salah satu intervensi psikologis yang bermanfaat dan efektif
untuk depresi adalah cognitive behavioral therapy (CBT). Salah satu komponen
penting dari CBT mengajarkan pasien untuk mengidentifikasi pikiran otomatis
disfungsional yang mengarah pada distres, untuk mengevaluasi pikiran tersebut,
serta dapat membantu mengubah pikiran, perilaku, dan mood yang disfungsional.
Depresi yang terjadi pada wanita dengan PCOS juga akan menimbulkan
defek pada fungsi kognitif. Literatur menunjukkan adanya gangguan kognitif
(seperti memori, atensi, kinerja verbal, fungsi eksekutif, fungsi psikomotor, dan
fungsi otak) dalam sistem kognitif orang yang mengalami depresi. Sehingga dapat
dihipotesiskan bahwa depresi yang terjadi pada wanita dengan PCOS dapat
ditatalaksana dengan baik melalui intervensi CBT.

25
DAFTAR PUSTAKA

Abdollahi L, Mirghafourvand M, Babapour JK, Mohammadi M. 2018. The Effect


of Cognitive Behavioral Therapy on Depression and Obesity in Women
with Polycystic Ovarian Syndrome: A Randomized Controlled Clinical
Trial. Iran Red Crescent Med J. 20(3): e62735. 
Abdollahi L, Mirghafourvand M, Babapour JK, Mohammadi M. 2019.
Effectiveness of cognitive-behavioral therapy (CBT) in improving the
quality of life and psychological fatigue in women with polycystic ovarian
syndrome: a randomized controlled clinical trial. J Psychosom Obstet
Gynaecol. 40(4):283-293.
Asik M, Altinbas K, Eroglu M, Karaahmet E, Erbag G, Ertekin H, Sen H. 2015.
Evaluation of affective temperament and anxiety–depression levels of
patients with polycystic ovary syndrome. J Affective Disord.185, 214–218.
Aversa A, La Vignera S, Rago R, Gambineri A, Nappi RE, Calogero AE, Ferlin
A. 2020. Fundamental Concepts and Novel Aspects of Polycystic Ovarian
Syndrome: Expert Consensus Resolutions. Front Endocrinol (Lausanne).
Aug 11; 11:516.
Azizi M, Elyasi F. 2017. Psychosomatic Aspects of Polycystic Ovarian
Syndrome: A Review. Iran J Psychiatry Behav Sci. June; 11(2): e6595.
Azziz R. 2018. Polycystic Ovary Syndrome. Obstet Gynecol. 132(2): 321-36.
Barry JA, Qu F, Hardima PJ. 2018. An exploration of the hypothesis that
testosterone is implicated in the psychological functioning of women with
polycystic ovary syndrome (PCOS). Medical Hypotheses. 110: 42–45.
Barry JA. 2019. Psychological Aspects of Polycystic Ovary Syndrome. Palgrave
Macmillan: 35-54.
Bazarganipour F, Taghavi SA, Montazeri A, Ahmadi F, Chaman R, Khosravi A.
2015. The impact of polycystic ovary syndrome on the health-related quality
of life: A systematic review and meta-analysis. Iran J Reprod Med. 13(2):
61.
Beck JS. 2021. Cognitive Behavior Therapy, Basics and Beyond. 3rd edition. The
Guilford Press.
Beck JS, Hindman R. 2017. Cognitive Therapy. In Kaplan & Sadock’s
Comprehensive Textbook of Psychiatry. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P,
eds. Volume II. 10th Edition. Wolters Kluwer.
Borghi L, Leone D, Vegni E, Galiano V, Lepadatu C, Sulpizio P, Garzia E. 2018.
Psychological distress, anger and quality of life in polycystic ovary
syndrome: Associations with biochemical, phenotypical and

26
sociodemographic factors. J Psychosomatic Obstetr Gynecol: 39(2): 128–
37.
Branch R, Willson R. 2020. Cognitive Behavioural Therapy for Dummies®. 3rd
Edition: John Wiley & Sons, Inc.
Brutocao C, Zaie F, Alsawas M, Morrow AS, Murad MH, Javed A. 2018.
Psychiatric disorders in women with polycystic ovary syndrome: a
systematic review and meta-analysis. Endocrine. 62, 318–25.
Castellano CA, Baillargeon JP, Nugent S, Tremblay S, Fortier M, Imbeault H,
Duval J, Cunnane SC. 2015. Regional brain glucose hypometabolism in
young women with polycystic ovary syndrome: possible link to mild insulin
resistance. PLoS One.10:e0144116.
Chaudhari AP, Mazumdar K, Mehta PD. 2018. Anxiety, Depression, and Quality
of Life in Women with Polycystic Ovarian Syndrome. Indian J Psychol
Med. 40(3):239-246.
Cooney LG, Dokras A. 2017. Depression and Anxiety in Polycystic Ovary
Syndrome: Etiology and Treatment. Curr Psychiatry Rep. 19(11):83.
Cooney LG, Lee I, Sammel MD, Dokras A. 2017. High prevalence of moderate
and severe depressive and anxiety symptoms in polycystic ovary syndrome:
a systematic review and meta-analysis. Hum Reprod. 32(5):1075-1091.
doi:10.1093/humrep/dex044.
Cooney LG, Milman LW, Hantsoo L, Kornfield S, Sammel MD, Allison KC,
Epperson CN, Dokras A. 2018. Cognitive-behavioral therapy improves
weight loss and quality of life in women with polycystic ovary syndrome: a
pilot randomized clinical trial. Fertil Steril. 110(1):161-171.e1.
Cristea I, Huibers M, David D, Hollon S, Andersson G, Cuijpers P. 2015. The
effects of cognitive behavior therapy for adult depression on dysfunctional
thinking: A meta-analysis. Clinical psychology review. 42. 62-71.
Cuijpers P, Cristea IA, Karyotaki E, Reijnders M, Huibers MJ. 2016. How
effective are cognitive behavior therapies for major depression and anxiety
disorders? A meta-analytic update of the evidence. World
Psychiatry.15(3):245-258.
Damone AL, Joham AE, Loxton D, Earnest A, Teede HJ, Moran LJ. 2019.
Depression, anxiety and perceived stress in women with and without PCOS:
a community-based study. Psychological Medicine. 49: 1510–20.
Day F, Karaderi T, Jones MR, Meun C, He C, Drong A, Magi R. 2018. Large-
scale genome-wide meta-analysis of polycystic ovary syndrome suggests
shared genetic architecture for different diagnosis criteria. PLoS Genetics.
14(12), e1007813.

27
Fennell M. 2020. Cognitive behaviour therapy for depressive disorders. In:
Gelder M, Andreasen N, Lopez-Ibor J, Geddes J, editors. New Oxford
Textbook of Psychiatry. 3rd edition. New York: Oxford University Press;
1304-12.
Franik G, Krysta K, Witkowska A, Dudek A, Krzystanek M, Madej P. 2019. The
impact of sex hormones and metabolic markers on depressive symptoms
and cognitive functioning in PCOS patients. Gynecol Endocrinol.
35(11):965-969.
Gautam M, Tripathi A, Deshmukh D, Gaur M. 2020. Cognitive Behavioral
Therapy for Depression. Indian J Psychiatry. 62 (Suppl 2): S223-S229.
Hadjiconstantinou M, Mani H, Patel N, Levy M, Davies M, Khunti K, Stone M.
2017. Understanding and supporting women with polycystic ovary
syndrome: A qualitative study in an ethnically diverse UK sample.
Endocrine Connections. 6(5): 323–330.
Hestiantoro A, Wiweko B, Harzif AK. 2016. Konsensus Tata Laksana Sindrom
Ovarium Polikistik. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas
Indonesia (HIFERI) Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
(POGI).
Hiam D, Moreno-Asso A, Teede HJ, Stepto NK, Moran LJ, Gibson-Helm M.
2019. The Genetics of Polycystic Ovary Syndrome: An Overview of
Candidate Gene Systematic Reviews and Genome-Wide Association
Studies. J Clin Med. 8(10):1606.
Holton S, Hammarberg K, Johnson L. 2018. Fertility concerns and related
information needs and preferences of women with PCOS. Human
Reproduction Open. 4: hoy019.
Hughes C, Herron S, Younge J. 2014. CBT for Mild to Moderate Depression and
Anxiety: A Guide to Low-intensity Interventions. Open University Press.
McGraw-Hill Education: 70-2.
Jiskoot G, Dietz de Loos A, Beerthuizen A, Timman R, Busschbach J, Laven J.
2020. Longterm effects of a three-component lifestyle intervention on
emotional well-being in women with Polycystic Ovary Syndrome (PCOS):
A secondary analysis of a randomized controlled trial. PLoS ONE. 15(6):
e0233876.
Kazantzis N, Luong H, Usatoff A, Impala T, Yew R, Hofmann S. 2018. The
Processes of Cognitive Behavioral Therapy: A Review of Meta-Analyses.
Cognitive Therapy and Research. 42. 10.1007/s10608-018-9920-y.
Kogure GS, Ribeiro VB, Lopes IP, Furtado CLM, Kodato S, Silva de Sá MF,
Ferriani RA, Lara LADS, Maria Dos Reis R. 2019. Body image and its

28
relationships with sexual functioning, anxiety, and depression in women
with polycystic ovary syndrome. J Affect Disord. 15; 253:385-393. 
Lai W, Li X, Zhu H, Zhu X, Tan H, Feng P, Chen L, Luo C. 2020. Plasma
luteinizing hormone level affects the brain activity of patients with
polycystic ovary syndrome. Psychoneuroendocrinology. 112:104535.
Lamers F, Milaneschi Y, Smit JH, Schoevers RA, Wittenberg G, Penninx BWJH.
2019. Longitudinal Association between Depression and Inflammatory
Markers: Results from the Netherlands Study of Depression and Anxiety.
Biological Psychiatry; 85:829–837.
Lepping P, Whittington R, Sambhi RS, Lane S, Poole R, Leucht S, Cuijpers P,
McCabe R, Waheed W. 2017. Clinical relevance of findings in trials of CBT
for depression. European Psychiatry. 45: 207-11.
Light RS, Chilcot J, McBride E. 2021. Psychological Distress in Women Living
with Polycystic Ovary Syndrome: The Role of Illness Perceptions. Womens
Health Issues. 31(2):177-184.
Mani H, Chudasama Y, Hadjiconstantinou M, Bodicoat DH, Edwardson C, Levy
MJ, Gray LJ, Barnett J, Daly H, Howlett TA, Khunti K, Davies MJ. 2018.
Structured education programme for women with polycystic ovary
syndrome: a randomised controlled trial. Endocr Connect. 7(1):26-35. 
Marsh CA, Berent-Spillson A, Love T, Persad CC, Pop-Busui R, Zubieta JK,
Smith YR. 2013. Functional neuroimaging of emotional processing in
women with polycystic ovary syndrome: a case-control pilot study. Fertil
Steril. 100(1):200-7.e1. 
Mehrabadi S, Sadatmahalleh SJ, Kazemnejad A, Moini A. 2020. Association of
acne, hirsutism, androgen, anxiety, and depression on cognitive
performance in polycystic ovary syndrome: A cross-sectional study. Int J
Reprod Biomed.18(12):1049-1058.
O’Donohue W, Fisher J. 2012. Cognitive Behavior Therapy: Core Principles for
Practice. New Jersey: John Wiley & Sons Inc.
Podfigurna-Stopa A, Luisi S, Regini C, Katulski K, Centini G, Meczekalski B.
2015. Mood disorders and quality of life in polycystic ovary syndrome.
Gynecol Endocrinol. 31(6):431–4.
Qaseem A, Barry MJ, Kansagara D. 2016. Clinical Guidelines Committee of the
American College of P. Nonpharmacologic versus pharmacologic treatment
of adult patients with major depressive disorder: a clinical practice guideline
from the American College of Physicians. Ann Intern Med. 164:350–9.

29
Rofey DL, Szigethy EM, Noll RB, Dahl RE, Lobst E, Arslanian SA. 2009.
Cognitive-behavioral therapy for physical and emotional disturbances in
adolescents with polycystic ovary syndrome: a pilot study. J Pediatr
Psychol. 34(2):156-63. doi: 10.1093/jpepsy/jsn057.
Rotterdam ESHRE/ASRM-Sponsored PCOS consensus workshop group. 2004.
Revised 2003 consensus on diagnostic criteria and long-term health risks
related to polycystic ovary syndrome (PCOS). Hum Reprod. 19:41–7.
Saydam BO, Yildiz BO. 2021. Polycystic Ovary Syndrome and Brain: An Update
on Structural and Functional Studies. J Clin Endocrinol Metab.106(2):e430-
e441.
Spritzer PM. 2014. Polycystic ovary syndrome: reviewing diagnosis and
management of metabolic disturbances. Arq Bras Endocrinol Metabol. 58:
182–187.
Stapinska-Syniec A, Grabowska K, Szpotanska-Sikorska M, Pietrzak B. 2018.
Depression, sexual satisfaction, and other psychological issues in
women with polycystic ovary syndrome. Gynecol Endocrinol. 34(7), 597–
600.
Teater B. 2013. Cognitive Behavioural Therapy.
Umeaku NN, Obi-Nwosu H, Anolue CC. 2020. Assessing the Effectiveness of
Cognitive Behavioural Therapy on Depressive Symptoms among Polycystic
Ovary Syndrome Patients Receiving Fertility Treatment. Int J Research
Innovation in Social Sci. 4(1): 66-72.
Yin X, Ji Y, Chan CLW, Chan CHY. 2020. The mental health of women with
polycystic ovary syndrome: a systematic review and meta-analysis. Arch
Womens Ment Health. https://doi.org/10.1007/s00737-020-01043-x
Young JJ, Bruno D, Pomara N. 2014. A review of the relationship between
proinflammatory cytokines and major depressive disorder. J Affect
Disord. 169: 15-20.
Zangeneh FZ, Jafarabadi M, Naghizadeh MM, Abedinia N, Haghollahi F. 2012.
Psychological Distress in Women with Polycystic Ovary Syndrome from
Imam Khomeini Hospital, Tehran. J Reprod Infertil. 13(2):111-15.
Zangeneh FZ, Naghizadeh MM, Jafarabadi M. 2015. Immune Modulation of
Interleukin-1α by Noradrenaline and Cortisol in Women with PCOS
(Psychoneuroimmunology Aspect). Annual Research & Review in Biology.
7(6): 390-8.
Zangeneh FZ. 2017. Polycystic Ovary Syndrome and Sympathoexcitation:
Management of Stress and Lifestyle. J. Biol. Today's World. 6(8): 146-154.

30

Anda mungkin juga menyukai