Anda di halaman 1dari 16

ANALISIS MASALAH PADA KESEHATAN REPRODUKSI

Pengenalan Masalah dalam Kesehatan Reproduksi


Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah kesejahteraan fisik, mental dan
sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecatatan, dalam segala
aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya.

Menurut program kerja WHO ke IX (1996-2001), masalah kesehatan


reproduksi ditinjau dari pendekatan siklus kehidupan keluarga, meliputi :
1) Praktek tradisional yang berakibat buruk semasa anak-anak (seperti mutilasi,
genital, deskriminasi nilai anak, dsb);
2) Masalah kesehatan reproduksi remaja (kemungkinan besar dimulai sejak masa
kanak-kanak yang seringkali muncul dalam bentuk kehamilan remaja,
kekerasan/pelecehan seksual dan tindakan seksual yang tidak aman);
3) Tidak terpenuhinya kebutuhan ber-KB, biasanya terkait dengan isu aborsi
tidak aman;
4) Mortalitas dan morbiditas ibu dan anak (sebagai kesatuan) selama kehamilan,
persalian dan masa nifas, yang diikuti dengan malnutrisi, anemia, berat bayi
lahir rendah;
5) Infeksi saluran reproduksi, yang berkaitan dengan penyakit menular seksual;
6) Kemandulan, yang berkaitan erat dengan infeksi saluran reproduksi dan
penyakit menular seksual;
7) Sindrom pre dan post menopause dan peningkatan resiko kanker organ
reproduksi;
8) Kekurangan hormon yang menyebabkan osteoporosis dan masalah ketuaan
lainnya.

Kemenkes RI, 2013. Permasalahan kesehatan reproduksi di mulai dengan


adanya perkawinan/hidup bersama. Di antara perempuan 10-54 tahun, 2,6 persen
menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9 persen menikah
pada umur 15-19 tahun. Menikah pada usia dini merupakan masalah kesehatan
reproduksi karena semakin muda umur menikah semakin panjang rentang waktu
untuk bereproduksi. Angka kehamilan penduduk perempuan 10-54 tahun adalah
2,68 persen, terdapat kehamilan pada umur kurang 15 tahun, meskipun sangat
kecil (0,02%) dan kehamilan pada umur remaja (15-19 tahun) sebesar 1,97 persen.
Apabila tidak dilakukan pengaturan kehamilan melalui program keluarga
berencana (KB) akan mempengaruhi tingkat fertilitas di Indonesia.

Kesehatan Reproduksi Remaja


Masa remaja merupakan peralihan masa kanak-kanak menjadi dewasa yang
melibatkan perubahan berbagai aspek seperti biologis, psikologis, dan sosial-
budaya. WHO mendefinisikan remaja sebagai perkembangan dari saat timbulnya
tanda seks sekunder hingga tercapainya maturasi seksual dan reproduksi, suatu
proses pencapaian mental dan identitas dewasa, serta peralihan dari
ketergantungan sosioekonomi menjadi mandiri. Secara biologis, saat seorang anak
mengalami pubertas dianggap sebagai indikator awal masa remaja. Namun karena
tidak adanya petanda biologis yang berarti untuk menandai berakhirnya masa
remaja, maka faktor-faktor sosial, seperti pernikahan, biasanya digunakan sebagai
petanda untuk memasuki masa dewasa.
Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut
sistem, fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat
disini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun
juga sehat secara mental serta sosial kultural.

Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja


Program kesehatan reproduksi remaja mulai menjadi perhatian pada beberapa
tahun terakhir ini karena beberapa alasan:
1) Ancaman HIV/AIDS menyebabkan perilaku seksual dan kesehatan reproduksi
remaja muncul ke permukaan. Diperkirakan 20-25% dari semua infeksi HIV
di dunia terjadi pada remaja. Demikian pula halnya dengan kejadian IMS yang
tertinggi di remaja, khususnya remaja perempuan, pada kelompok usia 15-29
tahun.
2) Walaupun angka kelahiran pada perempuan berusia di bawah 20 tahun
menurun, jumlah kelahiran pada remaja meningkat karena pendidikan seksual
atau kesehatan reproduksi serta pelayanan yang dibutuhkan.
3) Bila pengetahuan mengenai KB dan metode kontrasepsi meningkat pada
pasangan usia subur yang sudah menikah, tidak ada bukti yang menyatakan
hal serupa terjadi pada populasi remaja.
4) Pengetahuan dan praktik pada tahap remaja akan menjadi dasar perilaku yang
sehat pada tahapan selanjutnya dalam kehidupan. Sehingga, investasi pada
program kesehatan reproduksi remaja akan bermanfaat selama hidupnya.
5) Kelompok populasi remaja sangat besar; saat ini lebih dari separuh populasi
dunia berusia di bawah 25 tahun dan 29% berusia antara 10-25 tahun.

Penyebab Masalah Kesehatan Reproduksi


Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat
berdampak buruk bagi keseshatan reproduksi:
1) Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat
pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan
proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil);
2) Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak
buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki,
informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja
karena saling berlawanan satu dengan yang lain, dsb);
3) Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi
karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria
yang membeli kebebasannya secara materi, dsb);
4) Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca
penyakit menular seksual, dsb).

Pengaruh dari semua faktor diatas dapat dikurangi dengan strategi intervensi
yang tepat guna, terfokus pada penerapan hak reproduksi wanita dan pria dengan
dukungan disemua tingkat administrasi, sehingga dapat diintegrasikan kedalam
berbagai progra m kesehatan, pendidikan, sosial dam pelayanan non kesehatan
lain yang terkait dalam pencegahan dan penanggulangan masalah kesehatan
reproduksi.
Contoh Masalah Kesehatan Reproduksi pada Pria

Kasus 1 : Kenali Derajat Impotensi Pria, Punya Anda Tahu atau Timun?

TEMPO.CO, Jakarta - Bagi kaum Adam, impotensi menjadi sebuah masalah


besar dalam hubungan intim. Impotensi atau masalah disfungsi ereksi (DE)
adalah ketidakmampuan yang konsisten untuk mencapai atau mempertahankan
ereksi yang cukup untuk memungkinkan persetubuhan yang memuaskan.

Menurut dokter spesialis andrologi, Heru H. Oentoeng, sebagian besar laki-laki


Indonesia mengalami disfungsi ereksi. Namun, kata Heru, bukan berarti mati
total. "Bisa berfungsi, tapi tidak mampu kerja optimal," katanya pekan lalu.

Heru menerangkan bahwa tingkat ketegangan alat reproduksi ini terbagi dalam
empat kategori. Pada derajat satu seperti tahu, dua bak pisang, tiga layaknya sosis,
dan empat adalah timun.

"Paling banyak lelaki mengalami disfungsi ereksi ringan atau pada tingkat tiga,"
ujar Heru. "Yang terbaik tentu saja timun, yang memiliki ketegangan maksimal."

Pakar andrologi ini menghadiri peluncuran situs Tinggalminta.com dari


perusahaan obat Pfizer. Situs yang diluncurkan pada pekan lalu ini khusus
mendeteksi gangguan impotensi.

Pada laman dalam situs ini terdapat kuesioner yang bisa memberitahukan "tingkat
kekerasan" Anda. Berikut ini derajat "kekerasan" tersebut:

Derajat 1 (tahu): membesar, tetapi tidak keras;


Derajat 2 (pisang): keras, tetapi tidak cukup keras untuk penetrasi;
Derajat 3 (sosis) : cukup keras untuk penetrasi, tetapi tidak sepenuhnya keras; dan
Derajat 4 (timun): sepenuhnya keras dan tegang.
Analisis Kasus

Disfungsi Ereksi (Impotensi) adalah ketidakmampuan seorang pria mendapatkan


ereksi dan atau mempertahankan ereksi yang cukup keras untuk melakukan
hubungan seks sampai selesai.

Impotensi disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu faktor fisik, faktor psikologi
dan faktor gaya hidup dan satu faktor sekunder yaitu perawatan dengan obat-
obatan tertentu. (https://www.seksualitas.net/penyebab-impotensi.htm)

a. Faktor Fisik. Sebuah penelitian mengungkapkan 80% kasus impotensi


disebabkan karena adanya penyakit didalam tubuh penderita. Penyakit ini
biasanya berhubungan dengan peredaran aliran darah dalam tubuh. Aliran
darah yang tidak lancar menyebabkan penis sulit mengalami ereksi.
b. Faktor psikologis. Hanya berkontribusi 10-20% seperti depresi atau
gangguan kecemasan, stress, pasca gangguan stress traumatik, mental
kelelahan, kekerasan psikologis atau trauma, masalah dengan identitas
seksual dan masalah hubungan dengan pasangan. Pengobatan dapat
melibatkan konselinh dan terapi seksual oleh ahlinya.
c. Faktor gaya hidup. Tidur tidak teratur dan kurang olahraga. Gaya hidup
seperti merokok, konsumsi alkohol berlebihan, penyalahgunaan obat
terlarang (steroid heroin, ganja, kokain), obesitas ekstrim.
d. Akibat obat-obatan. Seperti obat antidepresan (anti psikotik dan obat
penenang), obat hipertensi, obat penahan nafsu makan, beta blocker untuk
mengontrol tekanan darah tinggi.

Cara Mengatasi Impotensi (http://disfungsiereksi.org/impotensi-disfungsi-


ereksi/)

a. Melakukan general check up (jika diketahui terdapat pencetus faktor dari


penyakit seperti diabetes, sumbatan pembuluh darah, dll). menekan resiko
tsb dengan mengobati atau menurunkan resiko dari penyakit agar dampak
nya tidak meluas.
b. Jalani gaya hidup bebas stress. Dengan berolahraga, tubuh akan
mengalami kembali kelancaran peredaran darah, kestabilan hormonal,
hingga mempengaruhi peningkatan gairah seks dan peningkatan
kemampuan ereksi. Olahraga seperti aerobik, latihan pelvic floor,
berenang dan jalan kaki.
c. Penuhi kebutuhan nutrisi adekuat. Olahraga diimbangi dengan asupan
nutrisi yang tepat bagi kebutuhan tubuh, kondisi tubuh yang sehat dan
bugan dapat memperbaiki kemampuan ereksi yang dibutuhkan. Perbanyak
makan buah dan sayur.
d. Konsumsi asupan vitalitas. Konsultasi ke dokter, memilih asupan
suplemen yang bersifat alami seperti buah maca atau ginseng yang dapat
meningkatkan libido dan kemampuan ereksi dengan membangun tubuh
yang sehat melalui asupan nutrisi yang menyehatkan tubuh.

Kasus Sifilis (1): Australia Tengah Terancam Wabah Sifilis

Australia, 2 februari 2015.

Kalangan dokter di Australia Tengah diperingatkan menegenai ancaman


wabah sifilis di sejumlah pedalaman di Australia Tengah dan Northern Territory.
Kasus infeksi sifilis di kawasan Territory terus meningkat. Bahkan pada tahun
2014 lalu pasien yang melaporkan terjangkit penyakit sifilis ini meningkat 2 kali
lipat menjadi 75 orang. Padahal pada tahun 2013 tercatat hanya 44 kasus dan
tahun 2013 hanya 30 kasus.

Untuk menyikapi kondisi ini pusat pengendalian Penyakit Northern


Territory telah mengirimkan surat peringatan ke klinik-klinik di kawasan
pedalaman pada 21 januari 2015 lalu. Dalam Surat tersebut para dokter diminta
untuk menawarkan tes sifilis pada seluruh orang yang berusia dibawah 35 tahun
yang aktif melakukan hubungan seksual.

“Layanan kesehatan juga diminta untuk mewaspadai peningkatan kasus


infeksi sifilis yang diidentifikasi terjadi di sejumlah kawasan pedalaman di Alice
Springs. Katherine dan Kawasan Barkly” katanya.
“Saat ini juga intensif dilakukan pelacakan orang yang pernah
berhubungan badan dengan penderita sifilis sehingga tampaknya akan ada banyak
kasus – kasus baru yang akan bermunculan”, katanya.

Juru bicara pada Pusat Pengendalian Penyakit Northern Territory, Dr


Matthew Thalanany mengatakan orang-orang muda yang berusia 13 hingga 19
tahun merupakan kelompok warga yang beresiko tertular infeksi sifilis.

Sifilis merupakan infeksi penyakit seksual menular yang sangat berbahaya


dan bisa menular dengan cepat pda fase awal terjangkit, namun penderita banyak
yang tidak mengetahuinya jika mereka terpapar hingga beberapa bulan setelah
terinfeksi. Jika dibiarkan dan tidak diobati sifilis dapat menjadi penyakit
mematikan dan wabahnya telah diasosiasikan dengan meningkatnya insiden
kematian janin dalam kandungan.

Sifilis secara sejarah dilaporkan terjadi lebih banyak dikalangan warga


aborigin di pedalaman namun diperkirakan angka kejadiannnya belakangan terus
berkurang. pada tahun 2013 sempat terjadi wabah sifilis di sebagian Queensland
dan memicu desakan agar kondom tersedia lebih banyak dan luas dimasyarakat.

“Ini merupakan penyakit yang mempengaruhi banyak organ tubuh dan


sistem tubuh, meski penyebab utama penularannya adalah kontak seksual namun
penyakit ini juga bisa ditularkan lewat ibu ke janinnya,” kata Dr Thalanany.

“Sifilis jika menular pada bayi akan dapat menyebabkan kematian dan
kalaupun dilahirkan dengan selamat bayi akan bisa terinfeksi di alat kelaminnya,
kita benar-benar tidak ingin ada bayi yang lahir dengan penyakit yang seperti itu,
jika ppenyakit itu bisa diobati atau dicegah,” katanya.

Kasus Sifilis (2) : Bocah 8 Tahun Alami Kekerasan Seksual hingga


Menderita Penyakit Kelamin

Kamis, 1 Oktober 2015 | 02:39 WIB

PONTIANAK, KOMPAS.com - Siapa yang akan mengira jika seorang


bocah perempuan berusia 8 tahun dinyatakan mengidap penyakit gonore atau
sifilis. Bocah malang tersebut awalnya sering merasa kesakitan pada saat buang
air kecil. Lantaran terus mengeluh kesakitan, orangtua korban pun lantas merasa
cemas.
Bocah tersebut kemudian dibawa ke puskesmas terdekat untuk diperiksa.
Hasil diagnosa dokter sungguh mencengangkan, korban dinyatakan mengidap
penyakit gonore, penyakit yang tak lazim diderita oleh anak-anak.
Dokter yang memeriksa lantas curiga dan melakukan pemeriksaan lebih
lanjut terhadap korban. Hasil pemeriksaan lanjutan lebih mencengangkan,
ternyata, selain terkena penyakit, korban juga mengalami luka robek pada alat
vitalnya.
Didampingi Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID)
Kalimantan Barat, Alik R Rosyad, kedua orangtua dan korban kemudian
mendatangi Polresta Pontianak untuk membuat laporan, Rabu (30/9/2015) sore
pukul 16.00 WIB.
Berawal dari proses pemeriksaan kesehatan korban di pusat kesehatan
masyarakat, kasus kekerasan seksual yang dilakukan terhadap bocah itu pun
terungkap.
"Awalnya, korban mengeluh sakit pada kemaluannya kepada orangtuanya.
Oleh orangtua, korban lalu diajak periksa ke Puskemas. Dari hasil cek kesehatan,
ternyata diketahui korban menderita penyakit seksual (sifilis). Dokter yang
memeriksa korban merasa curiga, lalu langsung memeriksa kondisi selaput dara
korban, ternyata sudah sobek" kata Alik, Rabu (30/9/2015).
Alik menjelaskan, kasus anak mengalami penyakit seksual tidak mungkin
terjadi jika tidak ada hubungan badan yang dilakukan. Sehingga, kuat dugaan jika
korban telah menjadi korban kekerasan seksual oleh seseorang.
Sejauh ini, KPAID Kalbar sudah membangun komunikasi dengan korban.
Namun, keterangan yang didapat dari korban masih sedikit, lantaran kondisi
korban yang masih mengalami trauma.
"Cerita korban, dia kenal dengan orang yang melakukan perbuatan itu
dengannya. Orangnya pun diketahui tinggal tidak jauh dari rumah korban," tutur
Alik.
Berkaitan dengan apa yang dialami korban, KPAID Kalbar bersama
keluarga sudah resmi melaporkan kasus tersebut kepada polisi. "Untuk proses
hukumnya tentu kami serahkan ke polisi. Kami, tentu akan fokus pemulihan
psikologis korban," ujar Alik.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polresta Pontianak, Kompol Andi Yul
Lapawesean mengatakan, kepolisian sudah menerima pengaduan yang dibuat oleh
keluarga korban. "Pasti akan diproses, orangtua korban sudah kami arahkan untuk
membuat pengaduan," kata, Andi.
Dari pengaduan itu, kepolisian akan mengumpulkan barang bukti dan
petunjuk untuk melakukan penindakan. Dari informasi awal, pelaku pencabulan
tersebut diduga seorang pria tua renta yang tinggalnya tidak jauh dari kediaman
korban.
"Kami kumpulkan bukti-buktinya untuk mendalami pelakunya. Jika semua
terkumpul, dalam waktu dekat tentu pelakunya bisa ditangkap," ucap Andi.

Analisis Kasus (Sifilis)

Sifilis adalah salah satu penyakit menular seksual, penyakit tersebut


ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit ini bersifat laten atau dapat
kambuh lagi sewaktu-waktu selain itu bisa bersifat akut dan kronis. Penyakit ini
dapat cepat di obati bila sudah dapat dideteksi dini. Kuman yang menyebabkan
penyakit sifillis dapat memasuki tubuh dengan menembusselaput lendir yang
normal dan mampu menembus plasenta sehingga menginfeksi janin (Soedarto,
1998 dalam N. Silvia Rosita dkk, 2013).

Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Troponema


pallidium. Penyakit menular seksual adalah penyakit yang ditularkan melalui
hubungan seksual. Penyakit ini sangat kronis, bersifat sistemik dan menyerang
hampir seluruh alat tubuh.

Sifillis adalah penyakit infeksi oleh Troponema pallidium dengan perjalanan


penyakit yang kronis, adanya remisi dan aksaserbasi, dapatmenyerang semua
organ dalam tubuh terutama sistem kardiovaskuler, otak,dan susunan syaraf, serta
dapat terjadi sifilis kongenital (Mansjoer, Arif, 2000:153 dalam Heffner, Linda J.
dan Schust, Danny J., 2013).

Sifilis adalah penyakit kelamin yang disebabkan oleh infeksi Treponema


pallidum, menular melalui hubungan seksual atau secara transmisi vertikal. Sifilis
bersifat kronik, sistemik dan menyerang hampir semua alat tubuh (Saiful, 2000).
Schaudinn dan Hoffman (1905), berhasil menemukan penyebab sifilis yaitu
Treponema pallidum. Organisme ini termasuk dalam ordo Spirochaetales, famili
Spirochaetaceae dan genus Treponema dengan tingkat virulensi yang tinggi
Treponema pallidum berbentuk spiral yang teratur rapat dengan jumlah lekukan
sebanyak 8 – 24. Panjangnya berkisar 6 – 15 μm dengan lebar 0,15 μm. Apabila
difiksasi, Treponema pallidum terlihat seperti gelombang dengan panjang
gelombang sebesar 1,1μm dan amplitudo 0,2 – 0,3 mm (Djuandi. A, 2000).
Gejala dan Tanda
Lesi primer (Chancre=ulcus durum) biasanya muncul 3 minggu setelah
terpajan. Lesi biasanya keras (indurasi), tidak sakit, terbentuk ulcus dengan
mengeluarkan eksudat serosa di tempat masuknya mikroorganisme. Masuknya
mikroorganisme ke dalam darah terjadi sebelum lesi primer muncul, biasanya
ditandai dengan terjadinya pembesaran kelenjar limfe (bubo) regional, tidak sakit,
keras non fluktuan. Infeksi juga dapat terjadi tanpa ditemukannya ulcus durum
yang jelas, misalnya kalau infeksi terjadi di rectum atau cervik. Walaupun tidak
diberi pengobatan ulcus akan hilang sendiri setelah 4-6 minggu. Sepertiga dari
kasus yang tidak diobati akan mengalami stadium generalisata, stadium dua, di
mana muncul erupsi kulit yang kadangkala disertai dengan gejala kontitusional
tubuh. Timbul makolo popular biasanya pada telapak tangan dan telapak kaki
diikuti dengan limfa denopati. Erupsi sekunder ini merupakan gejala klasik dari
Sifilis yang akan hilang spontan dalam beberapa minggu atau sampai 12 bulan
kemudian. Penderita stadium erupsi sekunder ini, sepertiga dari mereka yang tidak
diobati akan masuk ke dalam fase laten selama berminggu-minggu bahkan selama
bertahun-tahun.
Pada awal fase laten sering muncul lesi infeksius yang berulang pada
selaput lendir. Terserangnya Susunan Syaraf Pusat (SSP) ditandai dengan gejala
meningitis sifilitik akut dan berlanjut menjadi sifilis meningovaskuler dan
akhirnya timbul paresis dan tabes dorsalis. Periode laten ini kadangkala
berlangsung seumur hidup. Pada kejadian lain yang tidak dapat diramalkan, 5-20
tahun setelah infeksi terjadi lesi aorta yang sangat berbahaya (sifilis
kardiovaskuler) atau guma dapat muncul di kulit, saluran pencernaan tulang atau
pada permukaan selaput lendir. Stadium awal sifilis jarang sekali menimbulkan
kematian atau disabilitas yang serius, sedangkan stadium lanjut sifilis
memperpendek umur, menurunkan
kesehatan dan menurunkan produktivitas dan efisiensi kerja. Mereka yang
terinfeksi sifilis dan pada saat yang sama juga terkena infeksi HIV cenderung
akan menderita sifilis SSP.
Infeksi pada janin terjadi pada ibu yang menderita sifilis stadium awal
pada saat mengandung bayinya dan ini sering sekali terjadi sedangkan
frekuensinya makin jarang pada ibu yang menderita stadium lanjut sifilis pada
saat mengandung bayinya. Infeksi pada janin dapat berakibat aborsi, stillbirth,
atau kematian bayi karena lahir prematur atau lahir dengan Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) atau mati karena menderita penyakit sistemik. Infeksi congenital
dapat berakibat munculnya manifestasi klinis yang muncul kemudian berupa
gejala neurologis terserangnya SSP. Dan kadangkala infeksi konginital dapat
mengakibatkan berbagai kelainan fisik yang dapat menimbulkan stigmasasi di
masyarakat seperti gigi Hutchinson, saddlenose (hidung pelana kuda), saber shins
(tulang kering berbentuk pedang), keratitis interstitialis dan tuli. Sifilis congenital
kadangkala asimtomatik, terutama pada minggu-minggu setelah lahir (James
Chin, 2006).

Cara Penularan
Cara penularan sifilis adalah dengan cara kontak langsung yaitu kontak dengan
eksud. Sifilis tiat infeksius dari lesi awal kulit dan selaput lendir pada saat
melakukan hubungan seksual dengan penderita sifilis. Lesi bisa terlihat jelas
ataupun tidak terlihat jelas. Pemajanan hampir seluruhnya terjadi karena
hubungan seksual. Penularan karena mencium atau pada saat menimang bayi
dengan sifilis konginetal jarang sekali terjadi. Infeksi transplasental terjadi pada
saat janin berada dalam kandungan ibu menderita sifilis.
Transfusi melalui darah donor bisa terjadi jika donor menderita sifilis pada
stadium awal. Penularan melalui barang-barang yang tercemar secara teoritis bisa
terjadi namun kenyataannya boleh dikatakan tidak pernah terjadi. Petugas
kesehatan pernah dilaporkan mengalami lesi primer pada tangan mereka setelah
melakukan pemeriksaan penderita sifilis dengan lesi infeksius (James Chin,
2006).

Cara Pencegahan
Adapun cara pencegahan penyakit sifilis adalah sebagai berikut:
1. Selalu menjaga higienis (kebersihan/kesehatan) organ ginetalia.
2. Jangan lupa menggunakan kondom bila melakukan hubungan seks.
3. Mintalah jarum suntik baru setiap kali menerima pelayanan medis yang
menggunakan jarum suntik.

Pengendalian dan Pencegahan Sifilis


Prinsip umum pengendalian sifilis adalah bertujuan untuk memutus rantai
penularan infeksi sifilis dan mencegah berkembangnya sifilis dan komplikasinya.
Tujuan tersebut dapat dicapai bila ada penyatuan semua sumber daya dan dana
untuk kegiatan pengendalian sifilis. Upaya tersebut meliputi (N. Silvia Rosita dkk,
2013) :

1. Upaya promotif
a. Pendidikan seks yang tepat untuk mengikis ketidak tahuan tentang
seksualitas dan Sifilis.
b. Meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama untuk tidak
berhubungan seks selain pasangannya.
c. Menjaga keharmonisan hubungan suami istri tidak menyeleweng untuk
meningkatkan ketahanan keluarga.
2. Upaya preventif
a. Hindari hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan atau dengan
pekerja seks komersial (WTS)
b. Bila merasa terkena IMS, hindari melakukan hubungan seksual.
c. Bila tidak terhindarkan, untuk mencegah penularan pergunakan kondom.
d. Memberikan penyuluhan dan pemeriksaan rutin pada kelompok risiko
tinggi.
e. Penyuluhan dan pemeriksaan terhadap partner seksual penderita sifilis.
3. Upaya kuratif
a. Peningkatan kemampuan diagnosis dan pengobatan sifilis yang tepat.
b. Membatasi komplikasi dengan melakukan pengobatan dini dan efektif
baik simtomatik maupun asimtomatik.
4. Upaya rehabilitatif
a. Memberikan perlakuan yang wajar terhadap penderita sifilis, tidak
mengucilkannya, terutama oleh keluarga dan partnernya untuk
mendukung kesembuhannya.
Untuk mencegah seseorang agar tidak tertular penyakit sifilis ada banyak
hal yang dapat dilakukan. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain :

a. Tidak berganti-ganti pasangan.


b. Berhubungan seksual dengan aman, selektif memilih pasangan
dan mempratikkan “protective sex”.
c. Menghindari penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan transfusi darah
yang sudah terinfeksi.
d. Menghindari alkohol dan penggunaan narkoba juga dapat membantu
mencegah penularan sifilis karena kegiatan tersebut dapat mengakibatkan
perilaku seksual berisiko.
e. Menggunakan kondom saat berhubungan untuk mencegah penularan PMS.
f. Menjauhkan diri dari kontak seksual yang diketahui telah terinfeksi.

Pemeriksaan Sifilis
Seperti yang dikuti oleh Silitonga J.T (2011) ada beberapa pemeriksaan
terhadap sifilis yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :

a. Pemeriksaan lapangan gelap (dark field) dengan bahan pemeriksaan dari


bagian dalam lesi. Ruam sifilis primer dibersihkan dengan larutan NaCl
fisiologis. Serum diperoleh dari bagian dasar atau dalam lesi dengan cara
menekan lesi sehingga serum akan keluar. Kemudian serum diperiksa pada
lapangan gelap untuk melihat ada tidaknya T. pallidum berbentuk ramping,
dengan gerakan lambat dan angulasi. Bahan apusan lesi dapat pula diperiksa
dengan metode mikroskop fluoresensi, namun pemeriksaan ini memberikan
hasil yang kurang dapat dipercaya sehingga pemeriksaan dark field lebih
umum dilaksanakan.
b. Penentuan antibodi di dalam serum yang timbul akibat infeksi T. pallidum.
Tes yang dilakukan sehari-hari dapat menunjukkan reaksi IgM dan juga IgG
tetapi tidak dapat menunjukkan antibodi spesifik adalah tes Wasserman, tes
Kahn, tes VDRL (Veneral Diseases Research Laboratory), tes RPR (Rapid
Plasma Reagin) dan tes Automated Reagin. Tes-tes tersebut merupakan tes
standar untuk sifilis dan memiliki spesifisitas rendah sebab dapat
menunjukkan hasil positif semu. Sedangkan tes RPCF (Reiter Protein
Complement Fixation) merupakan tes yang dapat menunjukkan kelompok
antibodi spesifik. Tes dengan spesifitas tinggi dan dapat menentukan antibodi
spesifik sifilis ini adalah tes TPI, tes FTA-ABS, tes TPHA dan tes Elisa.
Selain itu menurut penyakitsifilis.com pemeriksaan yang dapat dilakukan
untuk penderita sifilis adalah :

1. Tes penyaringan seperti VDRL (Veneral Diseases Research Laboratory), tes


RPR (Rapid Plasma Reagin) atau RPR (Rapid Plasma Reagin). Tes
penyaringan ini mudah dilakukan dan biayanya terjangkau meskipun perlu
dilakukan tes ulang karena pada beberapa minggu pertaman sifilis primer
hasilnya dapat negatif.
2. Tes antibodi seperti FTA-ABS (Fluorescent Treponemal Antibody
Absorption). Tes antibodi merupakan tes yang dilakukan terhadap bakteri
penyebab sifilis. Tes ini digunakan untuk memperkuat hasil tes penyaringan
yang positif. Pada fase primer atau sekunder, diagnosis sifilis diambil
berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap cairan dari luka di kulit
atau mulut, selain itu dapat juga menggunakan sampel darah.
Menurut Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual Depkes RI tahun
2006, diagnosa sifilis dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium yaitu
pemeriksaan serologis terhadap darah dan liquor serebrospinalis.
Sumber:

Harahap, Juliandi. 2003. Kesehatan Reproduksi. (Online).


(http://library.usu.ac.id/download/fk/kedkomunitas-juliandi.pdf), diakses
pada 03 Februari 2016

Heffner, Linda J. dan Schust, Danny J. 2013. At a Glance Sistem Reproduksi.


Jakarta: Erlangga.

IDAI. 2013. Kesehatan Reproduksi Remaja Dalam Aspek Sosial. (Online).


(http://idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/kesehatan-reproduksi-
remaja-dalam-aspek-sosial), diakses pada 03 Februari 2016

Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. (Online).


(http://dinkes.bantenprov.go.id/upload/article_doc/Hasil_Riskesdas_2013.
pdf), diakses pada 03 Februari 2016

N. Silvia Rosita dkk. 2013. Penyakit Menular Seksual. (Online),


(https://www.academia.edu/5516385/Penyakit_Menular_Seksual), diakses
pada 13 September 2015.

Silitonga J.T. 2011. Infeksi Menular Seksual. (Online)


(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26065/4/Chapter%20II.p
df), diakses pada 12 September 2015

Tempo.co. 2015. Kenali Derajat Impotensi Pria, Punya Anda Tahu atau Timun?
(Online). (https://gaya.tempo.co/read/news/2015/02/25/174645211/kenali-
derajat-impotensi-pria-punya-anda-tahu-atau-timun), diakses pada 03
Februari 2016

Anda mungkin juga menyukai