Anda di halaman 1dari 44

Urutan Lengkap Khalifah dalam Lintasan Sejarah Katagori : Kajian Siyasah/Khilafah Oleh : Redaksi 21 Dec 2004 - 1:20 am Rasulullah

SAW telah memerintahkan kepada kaum muslimin agar mereka mengangkat seorang khalifah setelah beliau SAW wafat, yang dibai'at dengan bai'at syar'iy untuk memerintahkan kaum muslimin berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Menegakkan syari'at Allah, dan berjihad bersama kaum muslimin melawan musuh-musuh Allah. Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya tidak ada Nabi setelah aku, dan akan ada para khalifah, dan banyak (jumlahnya)." para sahabat bertanya, "Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi SAW menjawab, "penuhilah bai'at yang pertama, dan yang pertama. Dan Allah akan bertanya kepada mereka apa-apa yang mereka pimpin." (HR. MUSLIM) Rasulullah SAW berwasiat kepada kaum muslimin, agar jangan sampai ada masa tanpa adanya khalifah (yang memimpin kaum muslimin). Jika hal ini terjadi, dengan tiadanya seorang khalifah, maka wajib bagi kaum muslimin berupaya mengangkat khalifah yang baru, meskipun hal itu berakibat pada kematian. Sabda Rasulullah SAW : "Barang siapa mati dan dipundaknya tidak membai'at Seorang imam (khalifah), maka matinya (seperti) mati (dalam keadaan) jahiliyyah." Rasulullah SAW juga bersabda : "Jika kalian menyaksikan seorang khalifah, hendaklah kalian taat, walaupun (ia) memukul punggungmu. Sesungguhnya jika tidak ada khalifah, maka akan terjadi Kekacauan." (HR. THABARANI) sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan (kepada kita) untuk taat kepada khalifah. Allah berfirman : "Hai orang-orang yang berfirman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu." (AN NISA :59) Kaum muslimin telah menjaga wasiat Rasulullah SAW tersebut sepanjang 13 abad. Selama interval waktu itu, kaum muslimin tidak pernah menyaksikan suatu kehidupan tanpa ada (dipimpin) seorang khalifah yang mengatur urusan-urusan mereka. Ketika seorang khalifah meninggal atau diganti, ahlul halli wal 'aqdi segera mencari, memilih, dan menentukan pengganti

khalifah terdahulu. Hal ini terus berlangsung pada masa-masa islam (saat itu). Setiap masa, kaum muslimin senantiasa menyaksikan bai'at kepada khalifah atas dasar taat. Ini dimulai sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga periode para Khalifah dari Dinasti 'Utsmaniyyah. Kaum muslimin mengetahui bahwa khalifah pertama dalam sejarah Islam adalah Abu Bakar ra, akan tetapi mayoritas kaum muslimin saat ini, tidak mengetaui bahwa Sultan 'Abdul Majid II adalah khalifah terakhir yang dimiliki oleh umat Islam, pada masa lenyapnya Daulah Khilafah Islamiyyah akibat ulah Musthafa Kamal yang menghancurkan sistem kilafah dan meruntuhnya Dinasti 'Utsmaniyyah. Fenomena initerjadi pada tanggal 27 Rajab 1342 H. Dalam sejarah kaum muslimin hingga hari ini, pemerintah Islam di bawah institusi Khilafah Islamiah pernah dipimpin oleh 104 khalifah. Mereka (para khalifah) terdiri dari 5 orang khalifah dari khulafaur raasyidin, 14 khalifah dari dinasti Umayyah, 18 khalifah dari dinasti 'Abbasiyyah, diikuti dari Bani Buwaih 8 orang khalifah, dan dari Bani Saljuk 11 orang khalifah. Dari sini pusat pemerintahan dipindahkan ke kairo, yang dilanjutkan oleh 18 orang khalifah. Setelah itu khalifah berpindah kepada Bani 'Utsman. Dari Bani ini terdapat 30 orang khalifah. Umat masih mengetahui nama-nama para khulafaur rasyidin dibandingkan dengan yang lain. Walaupun mereka juga tidak lupa dengan Khalifah 'Umar bin 'Abd al-'Aziz, Harun al-rasyid, Sultan 'Abdul Majid, serta khalifah-khalifah yang masyur dikenal dalam sejarah. Adapun nama-nama para khalifah pada masa khulafaur Rasyidin sebagai berikut: 1.Abu Bakar ash-Shiddiq ra (tahun 11-13 H/632-634 M) 2.'Umar bin khaththab ra (tahun 13-23 H/634-644 M) 3.'Utsman bin 'Affan ra (tahun 23-35 H/644-656 M) 4.Ali bin Abi Thalib ra (tahun 35-40 H/656-661 M) 5.Al-Hasan bin Ali ra (tahun 40 H/661 M)

Setelah mereka, khalifah berpindah ke tangan Bani Umayyah yang berlangsung lebih dari 89 tahun. Khalifah pertama adalah Mu'awiyyah. Sedangkan khalifah terakhir adalah Marwan bin Muhammad bin Marwan bin

Hakam. Masa kekuasaan mereka sebagai berikut: 1.Mu'awiyah bin Abi Sufyan (tahun 40-64 H/661-680 M) 2.Yazid bin Mu'awiyah (tahun 61-64 H/680-683 M) 3.Mu'awiyah bin Yazid (tahun 64-68 H/683-684 M) 4.Marwan bin Hakam (tahun 65-66 H/684-685 M) 5.'Abdul Malik bin Marwan (tahun 66-68 H/685-705 M) 6.Walid bin 'Abdul Malik (tahun 86-97 H/705-715 M) 7.Sulaiman bin 'Abdul Malik (tahun 97-99 H/715-717 M) 8.'Umar bin 'Abdul 'Aziz (tahun 99-102 H/717-720 M) 9.Yazid bin 'Abdul Malik (tahun 102-106 H/720-724 M) 10.Hisyam bin Abdul Malik (tahun 106-126 H/724-743 M) 11.Walid bin Yazid (tahun 126 H/744 M) 12.Yazid bin Walid (tahun 127 H/744 M) 13.Ibrahim bin Walid (tahun 127 H/744 M) 14.Marwan bin Muhammad (tahun 127-133 H/744-750 M)

Setelah mereka, khalifah berpindah ke tangan Bani Umayyah yang berlangsung lebih dari 89 tahun. Khalifah pertama adalah Mu'awiyyah. Sedangkan khalifah terakhir adalah Marwan bin Muhammad bin Marwan bin Hakam. Masa kekuasaan mereka sebagai berikut: I. Dari Bani 'Abbas 1.Abul 'Abbas al-Safaah (tahun 133-137 H/750-754 M) 2.Abu Ja'far al-Mansyur (tahun 137-159 H/754-775 M) 3.Al-Mahdi (tahun 159-169 H/775-785 M) 4.Al-Hadi (tahun 169-170 H/785-786 M) 5.Harun al-Rasyid (tahun 170-194 H/786-809 M) 6.Al-Amiin (tahun 194-198 H/809-813 M) 7.Al-Ma'mun (tahun 198-217 H/813-833 M) 8.Al-Mu'tashim Billah (tahun 218-228 H/833-842 M) 9.Al-Watsiq Billah (tahun 228-232 H/842-847 M) 10.Al-Mutawakil 'Ala al-Allah (tahun 232-247 H/847-861 M) 11.Al-Muntashir Billah (tahun 247-248 H/861-862 M) 12.Al-Musta'in Billah (tahun 248-252 H/862-866 M) 13.Al-Mu'taz Billah (tahun 252-256 H/866-869 M) 14.Al-Muhtadi Billah (tahun 256-257 H/869-870 M) 15.Al-Mu'tamad 'Ala al-Allah (tahun 257-279 H/870-892 M)

16.Al-Mu'tadla Billah (tahun 279-290 H/892-902 M) 17.Al-Muktafi Billah (tahun 290-296 H/902-908 M) 18.Al-Muqtadir Billah (tahun 296-320 H/908-932 M) II. Dari Bani Buwaih 19.Al-Qahir Billah (tahun 320-323 H/932-934 M) 20.Al-Radli Billah (tahun 323-329 H/934-940 M) 21.Al-Muttaqi Lillah (tahun 329-333 H/940-944 M) 22.Al-Musaktafi al-Allah (tahun 333-335 H/944-946 M) 23.Al-Muthi' Lillah (tahun 335-364 H/946-974 M) 24.Al-Thai'i Lillah (tahun 364-381 H/974-991 M) 25.Al-Qadir Billah (tahun 381-423 H/991-1031 M) 26.Al-Qa'im Bi Amrillah (tahun 423-468 H/1031-1075 M) III. dari Bani Saljuk 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. Al Mu'tadi Biamrillah (tahun 468-487 H/1075-1094 M) Al Mustadhhir Billah (tahun 487-512 H/1094-1118 M) Al Mustarsyid Billah (tahun 512-530 H/1118-1135 M) Al-Rasyid Billah (tahun 530-531 H/1135-1136 M) Al Muqtafi Liamrillah (tahun 531-555 H/1136-1160) Al Mustanjid Billah (tahun 555-566 H/1160-1170 M) Al Mustadhi'u Biamrillah (tahun 566-576 H/1170-1180 M) An Naashir Liddiinillah (tahun 576-622 H/1180-1225 M) Adh Dhahir Biamrillah (tahun 622-623 H/1225-1226 M) al Mustanshir Billah (tahun 623-640 H/1226-1242 M) Al Mu'tashim Billah ( tahun 640-656 H/1242-1258 M)

Setelah itu kaum muslimin hidup selama 3,5 tahun tanpa seorang khalifah pun. Ini terjadi karena serangan orang-orang Tartar ke negeri-negeri Islam dan pusat kekhalifahan di Baghdad. Namun demikian, kaum muslimin di Mesir, pada masa dinasti Mamaluk tidak tinggal diam, dan berusaha mengembalikan kembali kekhilafahan. kemudian mereka membai'at Al Muntashir dari Bani Abbas. Ia adalah putra Khalifah al-Abbas al-Dhahir Biamrillah dan saudara laki-laki khalifah Al Mustanshir Billah, paman dari khalifah Al Mu'tashim Billah. Pusat pemerintahan dipindahkan lagi ke Mesir. Khalifah yang diangkat dari mereka ada 18 orang yaitu : 1. Al Mustanshir billah II (taun 660-661 H/1261-1262 M)

2. Al Haakim Biamrillah I ( tahun 661-701 H/1262-1302 M) 3. Al Mustakfi Billah I (tahun 701-732 H/1302-1334 M) 4. Al Watsiq Billah I (tahun 732-742 H/1334-1354 M) 5. Al Haakim Biamrillah II (tahun 742-753 H/1343-1354 M) 6. al Mu'tadlid Billah I (tahun 753-763 H/1354-1364 M) 7. Al Mutawakkil 'Alallah I (tahun 763-785 H/1363-1386 M) 8. Al Watsir Billah II (tahun 785-788 H/1386-1389 M) 9. Al Mu'tashim (tahun 788-791 H/1389-1392 M) 10. Al Mutawakkil 'Alallah II (tahun 791-808 H/1392-14-9 M) 11. Al Musta'in Billah (tahun 808-815 H/ 1409-1426 M) 12. Al Mu'tadlid Billah II (tahun 815-845 H/1416-1446 M) 13. Al Mustakfi Billah II (tahun 845-854 H/1446-1455 M) 14. Al Qa'im Biamrillah (tahun 754-859 H/1455-1460 M) 15. Al Mustanjid Billah (tahun 859-884 H/1460-1485 M) 16. Al Mutawakkil 'Alallah (tahun 884-893 H/1485-1494 M) 17. al Mutamasik Billah (tahun 893-914 H/1494-1515 M) 18. Al Mutawakkil 'Alallah OV (tahun 914-918 H/1515-1517 M) Ketika daulah Islamiyah Bani Saljuk berakhir di anatolia, Kemudian muncul kekuasaan yang berasal dari Bani Utsman dengan pemimpinnya "Utsman bin Arthagherl sebagai khalifah pertama Bani Utsman, dan berakhir pada masa khalifah Bayazid II (918 H/1500 M) yang diganti oleh putranya Sultan Salim I. Kemuadian khalifah dinasti Abbasiyyah, yakni Al Mutawakkil "alallah diganti oleh Sultan Salim. Ia berhasil menyelamatkan kunci-kunci alHaramain al-Syarifah. Dari dinasti Utsmaniyah ini telah berkuasa sebanyah 30 orang khalifah, yang berlangsung mulai dari abad keenam belas Masehi. nama-nama mereka adalah sebagai berikut: 1. Salim I (tahun 918-926 H/1517-1520 M) 2. Sulaiman al-Qanuni (tahun 916-974 H/1520-1566 M) 3. salim II (tahun 974-982 H/1566-1574 M) 4. Murad III (tahun 982-1003 H/1574-1595 M) 5. Muhammad III (tahun 1003-1012 H/1595-1603 M) 6. Ahmad I (tahun 1012-1026 H/1603-1617 M) 7. Musthafa I (tahun 1026-1027 H/1617-1618 M) 8. 'Utsman II (tahun 1027-1031 H/1618-1622 M) 9. Musthafa I (tahun 1031-1032 H/1622-1623 M) 10. Murad IV (tahun 1032-1049 H/1623-1640 M)

11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.

Ibrahim I (tahun 1049-1058 H/1640-1648 M) Mohammad IV (1058-1099 H/1648-1687 M) Sulaiman II (tahun 1099-1102 H/1687-1691M) Ahmad II (tahun 1102-1106 H/1691-1695 M) Musthafa II (tahun 1106-1115 H/1695-1703 M) Ahmad II (tahun 1115-1143 H/1703-1730 M) Mahmud I (tahun 1143-1168/1730-1754 M) "Utsman IlI (tahun 1168-1171 H/1754-1757 M) Musthafa II (tahun 1171-1187H/1757-1774 M) 'Abdul Hamid (tahun 1187-1203 H/1774-1789 M) Salim III (tahun 1203-1222 H/1789-1807 M) Musthafa IV (tahun 1222-1223 H/1807-1808 M) Mahmud II (tahun 1223-1255 H/1808-1839 M) 'Abdul Majid I (tahun 1255-1277 H/1839-1861 M) "Abdul 'Aziz I (tahun 1277-1293 H/1861-1876 M) Murad V (tahun 1293-1293 H/1876-1876 M) 'Abdul Hamid II (tahun 1293-1328 H/1876-1909 M) Muhammad Risyad V (tahun 1328-1339 H/1909-1918 M) Muhammad Wahiddin II (tahun 1338-1340 H/1918-1922 M) 'Abdul Majid II (tahun 1340-1342 H/1922-1924 M)

Sekali lagi terjadi dalam sejarah kaum muslimin, hilangnya kekhalifahan. Sayangnya, kaum muslimin saat ini tidak terpengaruh, bahkan tidak peduli dengan runtuhnya kekhilafahan. Padahal menjaga kekhilafahan tergolong kewajiban yang sangat penting. Dengan lenyapnya institusi kekhilafahan, mengakibatkan goncangnya dunia Islam, dan memicu instabilitas di seluruh negeri Islam. Namun sangat disayangkan, tidak ada (pengaruh) apapun dalam diri umat, kecuali sebagian kecil saja. Jika kaum muslimin pada saat terjadinya serangan pasukan Tartar ke negeri mereka, mereka sempat hidup selama 3,5 tahun tanpa ada khalifah, maka umat Islam saat ini, telah hidup selama lebih dari 75 tahun tanpa keberadaan seorang khalifah. Seandainya negara-negara Barat tidak menjajah dunia Islam, dan seandainya tidak ada penguasa-penguasa muslim bayaran, seandainya tidak ada pengaruh tsaqofah, peradaban, dan berbagai persepsi kehidupan yang dipaksakan oleh Barat terhadap kaum muslimin, sungguh kembalinya kekhilafahan itu akan jauh lebih mudah. Akan tetapi kehendak Allah berlaku bagi ciptaanNya dan menetapkan umat

ini hidup pada masa yang cukup lama. Umat Islam saat ini hendaknya mulai rindu dengan kehidupan mulia di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Dan Insya Allah Daulah Khilafah itu akan berdiri. Sebagaimana sabda Rasulullah "...kemudian akan tegak Khilafah Rasyidah yang sesuai dengan manhaj Nabi". Kami dalam hal ini tidak hanya yakin bahwa kekhilafahan akan tegak, lebih dari itu, kota Roma (sebagai pusat agama Nashrani) dapat ditaklukkan oleh kaum muslimin setelah dikalahkannya Konstantinopel yang sekarang menjadi Istambul. Begitu pula daratan Eropa, Amerika, dan Rusia akan dikalahkan. Kemudian Daulah Khilafah Islamiyah akan menguasai seluruh dunia setelah berdirinya pusat Daulah Khilafah. Sungguh hal ini dapat terwujud dengan Izin Allah. Kita akan menyaksikannya dalam waktu yang sangat dekat (Islamuda.com) Bani Utsman, kurang lebih selama dua abad kekuasaan mereka, telah dipimpin oleh delapan sultan, sebelum akhirnya mereka melakukan ekspansi ke sebagian negeri Arab. Turki Utsmani sama dengan para pendahulu mereka, seperti Turki Saljuk dan kabilah Hun. Mereka berasal dari keturunan Mongol, atau Thurani. Mereka mulai merambah ke Eropa pada abad ke-5 M. Mereka lahir dan dibesarkan di Asia Tengah dan Utara. Etnis yang sama juga dimiliki bangsa Bulgaria, yang telah merambah ke Eropa Timur, dan menetap di sana selama dua abad, ke-7 dan ke-9 M. Turki Utsmani adalah etnis Asia terakhir yang telah merambah dan mendiami Eropa, bahkan merupakan negara Mongol yang paling penting dan kuat, yang pernah lahir dalam sejarah. Sejarah Turki Utsmani dimulai dengan peristiwa agung, yang notabene menunjukkan kepahlawanan dan kesatriaan mereka. Pada pertengahan abad ke-13 M, Turki Utsmani merupakan salah satu kabilah kecil di Asia Tengah, yang telah dikalahkan oleh Mongol di bawah pimpinan Artoghul, kepala suku Turki Utsmani menyusuri Asia Tengah, berdekatan dengan Ankara. Ketika mereka menyaksikan dua kelompok berperang, yaitu Kekaisaran Romawi dengan Dinasti Saljuk Rum, yang berpusat di Iconium di bawah pimpinan Sultan Alauddin, maka para pemuka kabilah kecil ini tak punya pilihan lain, kecuali melibatkan diri dalam peperangan ini, karena dorongan naluri berperang mereka demi melindungi pihak yang lemah, sehingga Artoghl dan sekutunya (Sultan Aluddn) yang lemah tersebut menuai

kemenangan. Kabilah kecil dan tokohnya, Arthaghul, inilah yang merupakan cikal bakal Turki Utsmani. Dialah bapak Utsman, yang namanya kemudian digunakan untuk menyebut negara yang dibangunnya. Setelah Artoghul meninggal dunia pada tahun 1288 M, anak tertuanyalah yang kemudian menggantikannya. Dialah Utsman. Utsman dikenal sebagai pemimpin yang mempunyai keberanian luar biasa untuk mengalahkan kabilah dan trah yang berdekatan. Inilah yang mendorong Sultan Alauddin untuk mengangkatnya menjadi pemimpin dan menjadikannya sebagai penguasa yang independen di semua wilayah yang telah ditaklukkannya. Pada tahun 1300 M, Mongol telah menyerang Daulah Saljuk di Asia Kecil, dan berhasil menghancurkannya. Sultan Alauddin kemudian meninggal, lalu tiap emir melepaskan diri dengan wilayahnya sendiri-sendiri; Utsman pun akhirnya memisahkan diri dan mempunyai kekuasaan tersendiri. Dari sanalah kekuasaannya sedikit demi sedikit berkembang hingga beliau mendengar penaklukan Bursa, ketika beliau tengah terbaring menjelang kematiannya. Utsman memberikan perhatian besar pada strukturisasi tentara dan pemerintahan sehingga namanya menjulang, dan negaranya pun menjadi besar. Namanya begitu dikenal dan disebut-sebut di kalangan para pemimpin sehingga dia disebut sebagai pendiri negaranya. Karena itu, negaranya dinisbatkan kepada dirinya. Pada tahun 1336 M, Utsman meninggal, kemudian digantikan oleh puteranya, Ourkhan, yang memang telah dilatih dengan berbagai kegiatan peperangan dan pemerintahan, hingga berhasil menguasai Bursa, dan menjadikannya sebagai ibokuta bagi negara baru ini. Dengan manuver inilah, keluarga Utsman telah mendekati Konstantinopel, ibukota Bizantium. Sebelum perang di antara kedua pemerintahan ini berlangsung yang satu negara muda, kuat, dan berambisi untuk mengembangkan kekuasaannya; sedangkan yang satu lagi negara tua, yang mulai merosot dan sebelum sampai ke Konstantinopel, Ourkhan terlebih dulu menduduki Izmir. Dia melihat pentingnya dilakukan sejumlah pembenahan, yang kelak akan mempunyai pengaruh langsung bagi kemenangan yang akan diraih Turki Utsmani, pertama-tama di Asia Kecil, kemudian di Eropa. Dia menaklukkan Nicomedia (Izmit) dan Nicaea (Iznik) serta negeri-negeri Asia dan Bizantium yang lain. Setelah itu, selama 20 tahun, dia mengokohkan pilar-pilar pemerintahannya, memperbaiki urusan internal negara, serta mendirikan angkatan bersenjata baru, yang dikenal dengan Inkisyriyah. Angkatan bersenjata inilah yang dalam kurun waktu cukup lama menjadi penopang kekuatan negara Utsmani, baik dalam peperangan maupun penaklukan. Terahir

Ketika Muhammad II bin Murad II naik tahta, dia segera merealisasikan citacita kaum Muslim sejak zaman permulaan Islam untuk menaklukkan Konstantinopel hingga cita-cita itu benar-benar berhasil diwujudkan pada tahun 857 H/1453 M. Akhirnya, dia dikenal dengan nama Muhammad alFatih (Muhammad sang Penakluk), dan tak lama kemudian Islm bl atau yang kini dikenal dengan Istambul itu menjadi ibukota negara Utsmani, dan menjadi titik tolak untuk melakukan penaklukan ke seluruh Eropa, setelah sebelumnya penaklukan telah terhenti, dengan meninggalnya Abdurrahman al-Ghafiqi, di bagian Selatan Prancis. Tak lama kemudian, Muhammad al-Fatih bertolak untuk menundukkan Murrah, Serbia, dan Bosnia. Beliau juga melakukan tekanan terhadap Italia, Hungaria, dan Jerman. Akhirnya, Tharabzun dan Cremia di kawasan Asia pun tunduk kepadanya. Setelah itu, dia kembali untuk menaklukkan Jerman dan beberapa bagian wilayah Italia, namun dia meninggal dunia sebelum bisa merealisasikan rencananya untuk menaklukkan Rodesia. Dia kemudian digantikan oleh putranya, Yazid II, yang telah berhasil mewujudkan kemenangan armada laut Utsmani yang pertama, melawan armada Bunduqiyah (Italia). Kekuasaannya kemudian diserahkan kepada anaknya, Salim I. Dialah yang kemudian menjadi sultan Utsmani yang paling besar dan mendapatkan kemenangan serta penaklukan paling banyak. Dia menyerang Sultan Safawi, Shah Ismail, yang telah berusaha menyebarkan mazhab Syiah, dan mengembangkan kekuasaan Persia hingga ke Irak. Dia berhasil dikalahkan di Galadiran, berdekatan dengan Tibriz. Sultan Salim I kemudian menduduki Diyarbakar dan Kurdistan, yang merupakan langkah awal untuk menaklukkan Syam dan Mesir, seiring dengan kemenangannya di Maraj Dabiq dan Raidaniyah. Pada saat itu, Kekhilafahan Islam secara syar telah berpindah ke tangannya, setelah Khalifah al-Mutawakkil Alallah, Khalifah Abbasiyah terakhir di Mesir, menyerahkan tampuk kekhilafahan kepadanya. Sultan Salim I pun resmi menjadi khalifah kaum Muslim di seluruh dunia sejak tahun 923 H/1517 M. Dia kemudian meninggal setelah 8 tahun berkuasa. Syarif Makkah juga telah menyerahkan kunci-kunci dua tanah suci, Makkah dan Madinah, kepadanya. Setelah itu, dia digantikan oleh Sultan Sulaiman al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M). Era kepemimpinannya dianggap sebagai era Kekhilafahan Utsmani yang paling jaya berkat kebangkitan sains yang diikuti penemuan ilmiah dan geografis Eropa, sementara Khilafah Utsmani telah meninggalkan jauh negara-negara Eropa, di bidang militer, sains, dan politik. Sulaiman juga telah berhasil menaklukkan Belgrade dan mengambil Rodesia dari pasukan berkuda Santo (Karel Agung) Yohana. Dia menuai kemenangan atas Hongaria dalam pertempuran Mouhackz, serta berhasil menaklukkan Armenia dan Irak, hingga armada laut Khilafah Utsmaniah disegani di seluruh perairan laut; mulai dari Laut Putih, Laut Merah, hingga Samudera

Hindia meskipun kekuatannya belum bisa mengalahkan pasukan berkuda Santo Yohana, penguasa kepulauan Malta. Kepulauan ini merupakan pemberian Charles V, ketika mereka diusir oleh tentara Khilafah Utsmaniah dari Rodesia pada tahun 1522 M. Para ahli sejarah sepakat, bahwa zaman Sulaiman al-Qanuni merupakan zaman kejayaan dan kebesaran Khilafah Utsmaniyah. Hanya dalam waktu 3 abad, kabilah kecil ini berhasil melebarkan sayap kekuasaannya dari Laut Merah, Laut Tengah, dan Laut Hitam. Penaklukannya terbentang dari Makkah hingga Budapest di satu sisi dan dari Baghdad hingga ke Aljazaer di sisi lain. Dua pantai, utara dan selatan, Laut Hitam pun jatuh ke tangannya. Sebagian besar Kerajaan Austria dan Hongaria pun jatuh ke tangannya. Kekuasaan mereka sampai di bagian utara Afrika dari arah negeri Syam hingga perbatasan Marokesh. Setelah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia pada tahun 974 H/1566 M, negara mulai mengalami kemerosotan terusmenerus. Realitas Politik Dalam Dan Menjelang Keruntuhannya Luar Negeri Khilafah Ustmaniah

Politik dalam negeri di sini, maksudnya adalah penerapan hukum-hukum Islam oleh negara di dalam negeri, ketika negara menerapkan hukumhukum Islam di dalam wilayah yang tunduk di bawah kekuasaannya; mengatur muamalah, menegakkan hudd, menerapkan sanksi hukum, menjaga akhlak, menjamin pelaksanaan syiar-syiar dan ibadah, serta mengurus seluruh urusan rakyat sesuai dengan hukum-hukum Islam. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara yang telah dijelaskan oleh Islam. Dalam hal ini, ada dua faktor utama yang menyebabkan kemunduran Khilafah Utsmaniah. Pertama, faktor buruknya pemahaman Islam. Kedua, faktor kesalahan dalam menerapkan Islam. Sebenarnya, buruknya pemahaman dan kesalahan dalam menerapkan Islam ini bisa diperbaiki ketika Khilafah Utsmaniah dipegang oleh orang yang kuat dengan keimanannya yang tinggi, namun sayangnya kesempatan ini tidak dimanfaatkan dengan baik. Sulaiman, yang dijuluki al-Qnni, karena jasanya mengadopsi undang-undang (al-qnn) sebagai sistem yang diterapkan dalam Khilafah Utsmaniah, yang ketika itu juga seorang khalifah yang sangat kuat, justru menyusun undang-undang berdasarkan mazhab tertentu, yaitu mazhab Hanafi, dengan kitab Multaq al-Abhur (Pertemuan Berbagai Lautan)-nya yang ditulis Ibrahim al-Halabi (w. 1549 M). Padahal, Khilafah Islam bukanlah negara mazhab. Dengan kata lain, semua mazhab Islam seharusnya mempunyai tempat di dalam negara dan bukan hanya satu mazhab. Dengan tidak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk melakukan perbaikan, pemahaman Islam yang buruk dan penerapan Islam

yang salah selama ini tidak pernah diperbaiki. Sebagai contoh, dengan diadopsinya undang-undang oleh Sultan Sulaiman, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan khalifah bisa dihindari, namun justru kasus ini tampak tak tersentuh oleh undang-undang. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman al-Qanuni, yang diangkat menjadi khalifah justru orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan, atau lemah. Sebut saja kasus Sultan Musthafa I (1026 H/1617 M), Utsman II (1026-1031 H/1617-1621 M), Murad IV (1023-1049 H/1622-1640 M), Ibrahim bin Ahmad (1049-1058 H/1639-1648 M), Muhammad IV (1058-1099 H/16481687 M), Sulaiman II (1099-1102 H/1687-1690 M), Ahmad II (1102-1106 H/1690-1694 M), Musthafa II (1106-1115 H/1694-1702 M), Ahmad III (1115-1143 H/1703-1730 M), Mahmud I (1143-1167 H/1703-1727 M), Utsman III (1168-1171 H/1758-1761 M), Musthafa III (1171-1187 H/17571773 M), dan Abdul Hamid I (1187-1203 H/1773-1788 M). Inilah yang kemudian mendorong pihak militer, Inkisyriyah yang dibentuk oleh Sultan Ourkhan kala itu melakukan kudeta; masing-masing pada tahun 1525, 1632, 1727 dan 1826 M. Akhirnya, Inkisyriyah dibubarkan tahun 1241 H/1785 M. Di samping itu, kemajemukan rakyat, baik dari segi agama, etnik, maupun mazhab memerlukan penguasa yang kuat, baik secara intelektual maupun yang lain. Jadi wajar, tampilnya penguasa yang lemah ini pada akhirnya memicu terjadinya gerakan sparatisme, seperti yang dilakukan oleh kaum Druz yang dipimpin oleh Fakhruddin bin al-Mani. Inilah yang juga menyebabkan politik luar negeri Khilafah Islam, yaitu dakwah dan jihad yang bertujuan untuk melakukan penaklukan, telah terhenti sejak abad ke-17 M. Berhentinya penaklukan ini juga menyebabkan jumlah pasukan Inkisyriyah semakin membesar, melebihi pasukan dan pegawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara semakin merosot. Kenyataan ini menyebabkan ekonomi Khilafah Utsmaniah terpuruk, ditambah banyaknya praktik suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatan mereka untuk menumpuk kekayaan dan menjilat Sultan. Ditambah dengan menurunnya pendapatan pajak yang dipungut dari komoditas dari Timur Jauh yang melintasi wilayah Utsmaniah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga komoditas tersebut bisa diekspor langsung ke Eropa. Semua ini menyebabkan mata uang Utsmaniah tertekan, sementara sumber pendapatan negara, seperti bahan tambang, tidak mampu menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat. Pada paruh kedua abad ke-16 M, telah terjadi krisis moneter, ketika emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru (Amerika) melalui kolonial Spanyol. Mata uang Utsmaniah ketika itu benar-benar terpuruk; inflasi melambung. Mata uang Barah diluncurkan oleh Khilafah Utsmaniah pada tahun 1620 M tetap tidak berhasil menyelesaikan inflasi. Kemudian, dikeluarkan pula uang Qisry pada abad ke-17 M. Faktor-faktor

ekonomi inilah yang menjadi sebab pasukan Utsmaniah di Yaman melakukan pemberontakan pada paruh kedua abad ke-16 M. Dengan kehidupan pejabat yang korup seperti itu, akhirnya negara harus menanggung utang sebesar 300 juta lira. Dengan tidak dijalankannya politik luar negeri sesuai dengan hukum Islam, yaitu dakwah dan jihad, mafhm jihad sebagai metode untuk mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak kaum Muslim, termasuk para khalifahnya. Ini terlihat dengan jelas pada tindakan Sultan Abdul Hamid Khan ketika meminta syaikh al-Azhar agar membacakan Shahh al-Bukhri di al-Azhar supaya Allah memenangkan Sultan atas Rusia dalam peperangan yang berlangsung pada bulan Rajab tahun 1203 H. Sultan kemudian meminta Pasha (Gubenur) di Mesir kala itu agar memilih sepuluh ulama dari berbagai mazhab untuk membaca Shahh al-Bukhri setiap hari. Sementara itu, di luar negeri, sejak penaklukan Konstantinopel pada abad ke-15, Eropa-Kristen telah melihatnya sebagai awal dari masalah ketimuran (al-masalah as-syarqiyyah), hingga abad ke-16 M, saat terjadinya penaklukan sebagian besar wilayah Balkan, seperti Bosnia dan Albania, serta Yunani dan kepulauan Ionia. Masalah ketimuran inilah yang mendorong Paus Paulus V (1566-1572 M) menyatukan negeri-negeri Eropa yang sebelumnya terlibat dalam konflik antaragama, antara sesama Kristen, yaitu Protestan dan Katolik. Konflik ini baru bisa diakhiri setelah diselenggarakanya Konferensi Westavalia tahun 1667 M. Pada saat yang sama, penaklukan Khilafah Utsmaniah pada tahun-tahun tersebut telah terhenti. Memang, setelah kekalahan Khilafah Utsmaniah atas Eropa (Paus Paulus V, Spanyol, Hungaria dan Perancis) dalam Perang Lepanto tahun 1571 M, Khilafah nyaris hanya mempertahankan wilayahnya. Kelemahan Khilafah Utsmaniah pada abad ke-17 M itu juga dimanfaatkan oleh Austria dan Venesia untuk memukul Khilafah. Melalui Perjanjian Carlowitz (1699 M), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venesia dan Habsburg. Bahkan, Khilafah Utsmaniah terpaksa harus kehilangan wilayahnya di Eropa, setelah kekalahannya dengan Rusia dalam Perang Crimea pada abad ke-18 M, dan semakin tragis setelah dilakukannya Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887 M). Menghadapi kemerosotan tersebut, Khilafah Utsmaniah sebenarnya telah melakukan reformasi (ishlh) sejak abad ke-17 M, yang diteruskan pada abad-abad berikutnya. Namun, lemah pemahaman Islam justru telah menyebabkan reformasi ini gagal. Sebab, ketika itu para penguasa Khilafah Utsmaniah tidak bisa membedakan antara hadhrah dan madaniyah; antara sains/teknologi dan tsaqfah. Kelemahan para penguasa ini dimanfaatkan untuk membentuk struktur baru dalam negara, yang ketika itu dikenal

dengan shadr al-azham (perdana menteri). Struktur seperti ini tidak dikenal dalam sejarah Khilafah Islam, kecuali setelah terpengaruh dengan tradisi demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh Khilafah Islam. Pada saat yang sama, para penguasa dan juga syaikh al-Islm ketika itu mulai membuka diri terhadap demokrasi melalui fatwa-fatwa syaikh al-Islm yang penuh kontroversi. Bahkan, dibentuknya Dewan Tanzimat tahun 1839 M semakin mengokohkan tsaqfah Barat, setelah disusunnya beberapa undang-undang, seperti Undang-undang Acara Pidana (1840 M), dan Undang-undang Dagang (1850 M), ditambah dengan dirumuskannya Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha untuk membatasi fungsi dan kewenangan khalifah. Di dalam negeri, ahli dzimmah khususnya orang Kristen yang mendapatkan hak istimewa pada zaman Sulaiman al-Qanuni, pada akhirnya menuntut persamaan hak dengan kaum Muslim. Bahkan, kemudian hak-hak istimewa inilah yang akhirnya dimanfaatkan untuk melindungi para provokator dan mata-mata asing dengan jaminan perjanjian. Masingmasing, antara Khilafah Utsmaniah dan Bizantium (1521 M) serta Prancis (1535 M) dan Inggeris (1580 M). Dengan hak-hak istimewa ini, populasi orang-orang Kristen dan Yahudi di dalam negeri meningkat. Inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kaum misionaris yang mulai melakukan gerakannya secara intensif di Dunia Islam sejak abad ke-16 M. Malta dipilih sebagai pusat gerakan mereka. Dari sanalah, mereka menyusup ke wilayah Syam pada tahun 1620 M, dan tinggal di sana hingga tahun 1773 M. Di tengah kemunduran intelektual yang dihadapi oleh Dunia Islam, mereka mendirikan berbagai pusat kajian, sebagai kedok gerakan mereka. Pusatpusat kajian ini kebanyakan milik Inggeris, Prancis, dan Amerika. Gerakan inilah yang digunakan oleh Barat untuk mengemban intellectual leadership mereka di Dunia Islam, disertai dengan serangan-serangan mereka terhadap pemikiran Islam. Serangan ini memang sejak lama telah dipersiapkan oleh para Orientalis Barat, yang sejak abad ke-14 M telah mendirikan center of the Oriental Studies (pusat kajian ketimuran). Jadi, gerakan misionaris dan orientalis itu jelas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasai dunia Islam, Islam meminjam istilah Imam al-Ghazali sebagai asas harus dihancurkan, dan Khilafah Islam sebagai penjaganya harus diruntuhkan. Untuk meraih tujuan yang pertama, serangan misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang pemikiran Islam; sedangkan untuk meraih tujuan yang kedua, mereka sengaja menghembuskan paham nasionalisme, dan menciptakan stigma terhadap Khilafah Utsmaniah, dengan sebutan the Sick Man (orang yang sakit). Supaya kekuatan Khilafah Utsmaniah lumpuh, sehingga dengan mudah bisa dijatuhkan dengan sekali pukulan, maka dilakukan upaya intentif untuk memisahkan wilayah Arab dan wilayah lain

dari Khilafah Utsmaniah. Dari sinilah, lahir gerakan-gerakan patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Bahkan, gerakan-gerakan keagamaan juga tak luput dari eksploitasi, seperti kasus Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 M, gerakan ini telah dimanfaatkan oleh Inggris, melalui agennya, Ibn Saud, untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Hijaz dan sekitarnya, yang sebelumnya tidak berhasil dilakukan oleh Inggris melalui gerakan kesukuan. Meskipun demikian, laju gerakan ini di beberapa wilayah akhirnya berhasil dibendung oleh Khilafah Utsmaniah melalui Muhammad Ali Pasha, Gubernur Mesir yang ternyata juga agen Prancis didukung oleh Prancis. Sementara itu, di wilayah Eropa, wilayahwilayah yang telah dikuasai oleh Khilafah terus diprovokasi agar melakukan pemberontakan, sejak abad ke-19 M hingga abad ke-20, seperti kasus Serbia, Yunani, Bulgaria, Armenia dan terakhir Krisis Balkan. Begitulah, akhirnya Khilafah Utsmaniah kehilangan banyak wilayahnya, dan yang tersisa akhirnya hanya Turki. Konspirasi Barat Dan Yahudi Menghancurkan Khilafah Seperti telah dimaklumi, nasionalisme dan sparatisme yang telah dipropagandakan oleh negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Rusia sengaja dilakukan untuk menghancurkan Khilafah Islam. Keberhasilan mereka menggunakan sentimen kebangsaan dan sparatisme di Serbia, Hongaria, Bulgaria, dan Yunani mendorong mereka untuk menggunakan cara yang sama di seluruh wilayah Khilafah Islam. Hanya saja, usaha ini lebih difokuskan di wilayah Arab dan Turki. Sementara itu, kedutaan besar Inggris dan Prancis di Istambul dan daerah-daerah basis Khilafah Islam yang lain seperti Baghdad, Damaskus, Beirut, Kaero dan Jeddah telah menjadi pengendalinya. Untuk menyukseskan misinya, telah dibangun dua markas, Beirut dan Istambul. Markas Beirut memainkan peranan jangka panjang, yaitu mengubah putra-putri umat Islam agar menjadi kafir serta mengubah sistem Islam menjadi sistem kufur. Sedangkan markas Istambul memainkan peranan jangka pendek, yaitu memukul Khilafah Islam dengan telak. Kedutaan-kedutaan negara Eropa juga mulai aktif menjalin hubungan dengan orang Arab. Di Kairo, dibentuk Partai Desentralisasi yang diketuai oleh Rafiq al-Adzim. Di Beirut, Komite Reformasi dan Forum Literal dibentuk. Inggris dan Prancis mulai menyusup di tengah orang-orang Arab yang cenderung memperjuangkan nasionalisme. Tanggal 18 Juni 1913 M, pemuda-pemuda Arab telah mengadakan kongres di Paris, dan mengumumkan nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis di Damaskus telah membongkar rencana pengkhianatan mereka kepada Khilafah Utsmaniah yang didukung oleh Inggris dan Prancis. Sementara itu, di Markas Istambul, negara-negara Eropa tidak hanya puas

dengan merusak putra-putri umat Islam di sekolah-sekolah dan universitasuniversitas melalui propaganda. Mereka ingin memukul Khilafah Islam dari jarak dekat dengan telak. Caranya adalah dengan mengubah sistem pemerintahan Islam dan hukum Islam dengan sistem pemerintahan ala Barat dan hukum-hukum kufur. Kampanye mulai dilakukan oleh Rasyid Pasha, menteri luar negeri zaman pemerintahan Abdul Majid I, pada tahun 1839 M. Tahun yang sama, Honourable Script yang dikenal dengan dengan Khalkhanah yang dijiplak dari perundang-undangan Eropa diperkenalkan. Pada tahun 1855 M, negara-negara Eropa, khususnya Inggris, telah memaksa Khilafah Utsmaniah untuk melakukan amandemen UUD, sehingga dikeluarkanlah Hemayun Script pada tanggal 11 Pebruari 1855 M. Midhat Pasha, salah seorang anggota Free Masonry, pada tanggal 1 September 1876 M diangkat menjadi Perdana Menteri. Midhat membentuk panitia Ad Hoc untuk menyusun UUD, sebagaimana yang dikehendaki oleh Inggris. Komisi ini berhasil menyusun UUD berdasarkan Konstitusi Belgia. Inilah yang dikenal dengan Konstitusi 1876. Namun, konstitusi ini ditolak oleh Sultan Abdul Hamid II, dan Sublime Port pun tidak bersedia melaksanakannya, karena dinilai bertentangan dengan Islam. Medhat Pasha pun akhirnya dipecat sebagai Perdana Menteri. Pada tahun 1908 M, Turki Muda yang berpusat di Salonika pusat komunitas Yahudi Dunamah melakukan pemberontakan. Khalifah dipaksa oleh Turki Muda, yang menjalankan hasil keputusan Konferensi Berlin, untuk mengumumkan UUD yang diumumkan oleh Turki Muda di Salonika, dan tanggal 17 Nopember 1908 merupakan tanggal
pembukaan parlemen yang pertama dalam Khilafah Utsmaniah. Bekerjasama dengan syaikh al-Islm, Sultan Abdul Hamid II akhirnya dipecat dari jabatannya, dan dibuang ke Salonika. Sejak saat itulah, sistem pemerintahan Islam telah berakhir. Namun, Inggris tampaknya belum puas sebelum menghancurkan Khilafah Utsmaniah secara total. Perang Dunia I tahun 1914 M dimanfaatkan oleh Inggris untuk menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915 M. Kemal Pasha, seorang agen Inggris, keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika itu akhirnya menjalankan agenda Inggris, yakni melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan Khilafah Islam. Pada tahun 1919 M, dia menyelenggarakan Konggres Nasional di Sivas, yang berhasil menelorkan Deklarasi Sivas. Deklarasi ini mencetuskan kemerdekaan Turki dan negeri-negeri Islam yang lain dari penjajah, sekaligus melepaskan negeri-negeri tersebut dari Khilafah Utsmaniah. Irak, Syria, Palestina, Mesir, dan lain-lain kemudian mendeklarasikan konsensus kebangsaan sehingga masingmasing menjadi negara merdeka. Pada saat itulah, sentimen kebangsaan semakin mengental, seiring dengan lahirnya Pan-Turkisme dan Pan-Arabisme; masing-masing menuntut kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri atas nama bangsanya, bukan atas nama umat Islam.

Perseteruan Antara Mustafa Kemal Dan Khalifah


Sejak tahun 1920 M, Kemal Pasha telah menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah Inggris berhasil menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara, dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan Khalifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan Khalifah dan sebaliknya memihak kaum nasionalis. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional, yang menobatkan dirinya sebagai ketuanya. Karena itu, pada saat itu ada dua pemerintahan; pemerintahan Khilafah di Istambul, dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional yang berpusat di Ankara. Meski kedudukannya semakin kuat, Kemal Pasha tetap tidak berani membubarkan Khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan draft yang mengatur pemisahan antara Khilafah dengan kesultanan (pemerintahan). Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional,

draft Kemal Pasha ini ditolak. Kemal Pasha pun mencari alasan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Nasional ini. Caranya adalah dengan melibatkan Dewan Perwakilan Nasional ini dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah krisis memuncak, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Kemal Pasha sebagai ketua Parlemen, yang diharapkan bisa menyelesaikan kondisi kritis tersebut. Setelah resmi dipilih menjadi ketua parlemen, Kemal Pasha mengumumkan kebijakannya; mengubah sistem khilafah dengan republik, yang dipimpin seorang presiden yang dipilih melalui pemilihan umum. Pada tanggal 29 Oktober 1923 M, Kemal Pasha dipilih oleh Parlemen menjadi presiden Turki yang pertama. Namun, karena track record Kemal Pasha yang dikenal buruk di mata kaum Muslim, ambisinya untuk membubarkan Khilafah Islam ini tidak mulus. Mustafa Kemal Pasha dianggap murtad, dan rakyat pun mendukung Sultan Abdul Majid, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tidak menyurutkan langkah Kemal Pasha. Justru sebaliknya, dia melancarkan serangan balik, dengan melakukan penyesatan politik dan pemikiran, bahwa siapa saja yang menentang sistem republik adalah pengkhianat bangsa, dan harus dihukum mati. Akhirnya, berbagai teror dilakukan oleh Kemal Pasha untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Pada saat yang sama, Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing sehingga harus dienyahkan. Setelah situasinya kondusif, Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional, dengan draft keputusan yang sudah di tangan. Tepat pada tanggal 3 Maret 1924 M, Kemal Pasha mengumumkan pemecatan Khalifah, pembubaran sistem khilafah dan menjauhkan Islam dari negara. Inilah titik klimaks revolusi kufur yang dilakukan oleh Kamal Attaturk, lanatu Allh alayh.

Kesimpulan
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan, bahwa faktor utama yang menyebabkan kemunduran dan hancurnya Khilafah Utsmaniah tak lain adalah buruknya pemahaman keislaman umat Islam dan kesalahan dalam menerapkan Islam pada waktu itu. Dari kedua faktor inilah, persoalan-persoalan derivat lainnya lahir dan berkembang. Akhirnya, berbagai konspirasi yang dilakukan oleh negara-negara imperialis Barat dengan mudah mendapatkan tempat. Inilah yang juga menjadi pintu masuknya orang-orang non-Muslim, termasuk mata-mata asing, di dalam negeri, sehingga gerakan misionaris bergerak dengan leluasa di negeri-negeri Islam, sembari menyebarkan racun nasionalisme dan patriotisme. Dari sinilah, gerakan-gerakan nasionalisme dan patriotisme, yang menuntut kemerdekaan negeri mereka, yang notabene akan menyebabkan wilayah mereka terlepas dari Khilafah Islam itu bermunculan. Karena faktor yang sama, usaha mulia dan brilian Sultan Abdul Hamid II melalui Pan-Islamisme-nya pun kandas di tangan para anggota Free Masonry, yang notabena adalah putra-putri umat Islam. Lepasnya wilayah Islam, satu persatu dari negara induk menyebabkan lemahnya kekuasaan Khilafah Utsmaniah sehingga yang tersisa hanya Turki. Dengan mundurnya taraf pemikiran politik umat dan penguasa pada saat itu, upaya Inggris, Prancis, dan Rusia untuk menyeret Khilafah Utsmaniah dalam Perang Dunia I pun tak terbendung. Kekalahan pihak Jerman-Utsmaniah ini menyebabkan Khilafah Utsmaniah tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh negara pemenang perang. Akhirnya, tinggal sekali pukulan telak, institusi yang telah rapuh ini telah cukup untuk diruntuhkan. Eksekusi itu diserahkan pada Markas Istambul, dengan Mustafa Kemal Attaturk sebagai eksekutornya. [Hizbut Tahrir Online]

Hidup Sejahtera Di Bawah Naungan Islam


Katagori : Kajian Siyasah/Khilafah Oleh : Redaksi 24 Apr 2004 - 3:30 am

Oleh: Syamsuddin Ramadhan Kehancuran Sistem Dunia hayatulislam.net - Tanpa disadari, sistem dunia tengah memasuki holocoust peradaban yang sangat mengerikan. Meskipun, kecenderungan ini telah disadari sejak awal tahun 70-an, --yakni, setelah diadakannya Konferensi Stockholm

mengenai lingkungan manusia, dan terutama ketika diterbitkan sebuah blue print yang bertajuk, A Blue Print for Survival*1) dari The Ecologist, serta Laporan Pertama yang dikeluarkan oleh Club of Rome, The Limits to Growth*2)--, namun demikian belum ada satupun solusi tuntas untuk membarikade meluasnya kehancuran sistem dunia. Hampir semua krisis yang dihadapi sistem dunia sekarang ini berasal dari sejumlah kecenderungan multidimensional berikut ini: 1. Meningkatnya pengaruh lingkungan terhadap aktivitas manusia.*3) 2. Semakin sedikitnya sumber-sumber yang dilestarikan.*4) 3. Peningkatan eksponensial penduduk dunia.*5) 4. Masalah-masalah peningkatan produksi pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk dunia.*6) 5. Meningkatnya kecenderungan-kecenderungan pada modernisasi dan industrialisasi dari hampir seluruh aktivitas manusia.*7) 6. Meningkatnya kecenderungan pada urbanisasi dan tumbuh suburnya megapolis.*8) 7. Melebarnya jurang antara negara-negara berkembang dengan negara-negara yang sedang berkembang.*9) 8. Meningkatnya kebergantungan kepada teknologi.*10) 9. Meningkatnya kecenderungan-kecenderungan pada apa yang disebut Herman Kahn sebagai budaya inderawi (bersifat empiris, duniawi, sekular, humanistik, pragmatik, utiliter, dan hedonistik).*11) 10. Meningkatnya pengangguran.*12) 11. Pembaruan yang dirangsang bukan oleh adanya kebutuhan-kebutuhan riil, melainkan oleh semakin besarnya ketidakseimbangan konsumsi.*13) 12. Meningkatnya gejala alienasi pada diri manusia, baik keterasingan manusia dengan alam, manusia lainnya, bahkan dengan dirinya sendiri. *14) Bila kecenderungan-kecenderungan global di atas terus menyapu sistem dunia dari waktu ke waktu, tanpa ada tindakan berarti untuk sekedar menghambat atau menghentikan sejumlah rentetan bahayanya; sudah selayaknya kita bertanya, Apa penyebab dasar keseluruhan kecenderungan di atas? Selama ini, pendekatan untuk menjawab fenomena-fenomena di atas lebih didasarkan pada pendekatan yang bersifat pragma-parsialis. Pendekatan ini lebih diarahkan pada solusi-solusi parsialistik dan pragmatik. Sebuah solusi yang didasarkan pada asumsi bahwa ideologi yang menyangga sistem dunia saat ini telah paripurna sebagai klaim dari Francis Fukuyama--. Munculnya problem-problem ekonomi, politik, dan sosial, bukan disebabkan karena kesalahan sistem kapitalistik, namun lebih dirahkan karena policy-policy jangka pendek yang kurang tepat, atau karena human error. Akibatnya, untuk menyelesaikan problem multidimensional ini, mereka lebih menyandarkan kepada pendekatan-pendekatan yang bersifat pragmatis, dan mengandalkan kepada kebijakan-kebijakan parsialitik, tanpa pernah mengkaji ulang sistem dasar yang menyangganya. Padahal, sebagaimana ungkapan dari Keynes, Problem-problem kemanusiaan, sering diselesaikan dengan policy-policy mikro dan makro, tanpa pernah meneliti ulang paradigma dasar yang menopang sistem dunia saat ini (kapitalisme). Bisa jadi, penyebab dasar munculnya problem-problem kemanusiaan bukan karena

kesalahan pada level kebijakan mikro dan makro, akan tetapi lebih didasarkan kepada kesalahan paradigma dasarnya, ideologi kapitalisme! Dengan kata lain, ideologi kapitalisme sebagai penyangga sistem dunia perlu dikaji kembali kelayakannya, baik pada tataran obyektif-ilmiah dan empiris/*15)

Kapitalisme: Gagal Menciptakan Kesejahteraan Hidup sejahtera merupakan dambaan setiap umat manusia. Sebab, tujuan, hidup di dunia adalah mendapatkan kebahagiaan hidup. Lalu, dibuatlah paradigma dan ukuran kesejahteraan*16) berikut policy, taktik, dan cara untuk meraihnya. Pandangan terhadap kesejahteraan termasuk pula cara untuk meraihnya sangat tergantung dari sudut pandang manusia terhadap kehidupan ini. Ide kapitalisme dan sosialisme suatu ideologi yang bercorak materialistikmenempatkan capaian materi, sebagai unsur mendasar bagi kebahagiaan. Keduanya juga memformulasikan strategi untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Sosialisme terbukti gagal menciptakan kesejahteraan. Masyarakat equal tanpa kelas tidak pernah bisa diwujudkan pada tataran empirik. Produksi menurun sangat tajam. Pertumbuhan ekonomi sangat kecil. Lahirlah manusia-manusia mesin yang menuhankan materi, serta kelas-kelas sosialis yang semakin menjauhkan masyarakat sosialis dari ide masyarakat ide. Kegagalan ide ini semakin tampak jelas, setelah rakyatnya meruntuhkan rejim sosialis di Rusia sebagai representasi dari kekuatan sosialisme. Meski demikian, remah-remah pemikiran sosialisme masih berceceran dan diadopsi oleh beberapa negara komunis.*17) Di sisi lain, kapitalisme sebagai penyangga sistem dunia juga terbukti gagal menciptakan kesejahteraan manusia. Bahkan, ideologi ini telah menyeret manusia pada kehancuran-kehancuran yang lebih mengerikan lagi. Kebobrokan sistem kapitalisme, baik pada sistem hukum dan pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, dan kesehatan telah nyata-nyata terpampang di depan mata. Di bawah ini akan kami paparkan fakta gagalnya sistem kapitalisme:

Kapitalisme: Sistem Pemerintahan Dan Hukum 1. Nasionalisme Nasionalisme terbukti gagal dan sudah tidak relevan lagi untuk membangun peradaban masa depan. Sebagaimana dikutip dari Kalim Shiddiqui*18), paham nasionalisme dinyatakan sebagai paham yang menuntut adanya kesetiaan kepada bangsanya melebihi segalanya.*19) Menurut Sardar, nasionalismemerupakan indikator destruktif bagi peradaban masa depan. Paham ini telah berimplikasi buruk bagi umat manusia; (1) meningkatnya jumlah negara yang hanya mementingkan dirinya sendiri dengan mengesampingkan bahkan cenderung mengorbankan kepentingan pihak lain, (2) munculnya rasialisme yang bersifat massal, (3) nasionalisme telah memecah belah umat manusia, bahkan menutup trend dunia global yang saling menopang dan mendukung.*20) Data di lapangan menunjukkan; sejak PD II, 20 juta jiwa hilang karena konflik-konflik yang berdimensi nasionalistik. 29 konflik dari 30 konflik terjadi pada dimensi domestik. Di Sovyet lebih dari 20 konflik terjadi dan menelan korban raturan ribu bahkan hingga mencapai jutaan.*21) Cost-cost ekonomi yang tidak perlu, timpangnya distribusi, dan terhambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, merupakan konsekuensi logis dari paham nasionalisme. Arus barang-barang dan manusia tidak bisa masuk dengan mudah disebuah negara akibat pemberlakuan tarif cukai yang melangit. Anda bisa membayangkan, seandainya cukai tidak ada tentu arus barang dan orang akan lebih lancar. Selain itu, dengan dicairkannya sekat-sekat nasionalistik cost-cost yang tidak perlu itu bisa dipangkas bahkan dieleminasi. Harga barang dan jasa tentu akan lebih murah.

Terbentuknya MEE merupakan contoh gamblang, betapa dengan diruntuhkannya arogansi nasionalistik, telah memacu pertumbuhan ekonomi yang sangat luar biasa.*22) Kecenderungan global juga menunjukkan bahwa nasionalisme sudah tidak relevan lagi bagi peradaban mendatang. Saat ini, diperlukan suatu sistem dunia yang saling menopang dan mendukung.*23) 2. Sistem Pemerintahan Demokratik Sistem pemerintahan demokratik yang menempatkan rakyat sebagai pihak berdaulat juga telah menimbulkan nestapa modern. Diadopsinya sistem pemerintahan demokrasi yang berimplikasi logis kepada sekulerismetelah menimbulkan apa yang disebut oleh pakar-pakar barat dengan ungkapan beragam namun bermakna sama. A Sorokin menyebut dengan The Crisis of Our Age. Sayyed Hossen Nasser menyebut abad sekarang dengan istilah Nestapa Manusia Modern, karena adanya alienasi seperti yang digambarkan oleh Eric Fromm. Luis Leahy menyebut dengan Kekosongan Rohani. Gustave Jung mengomentari peradaban sekarang dengan Gersang Psikologis. Peter Berger menyatakan, bahwa masyarakat kapitalistik selalu bercorak sekuleristik. Sedangkan masyarakat yang sekuleristik cenderung akan memarginalkan peran agama, bahkan ada kecenderungan untuk mereduksi agama menjadi subsistem yang tidak lagi berarti. Pembagian kekuasaan dengan alasan menghilangkan otoritarianismeterbukti malah menimbulkan dualisme kepemimpinan serta kaburnya batas wewenang masing-masing lembaga negara. Padahal dengan adanya dualisme kepemimpinan akan menimbulkan kontraksi-kontraksi kekuasaan yang berakibat kepada konflik elit politik. Konflik elit politik akan berbuntut pada dikorbankannya kepentingan-kepentingan publik dan terabaikannya urusan rakyat. Ditempatkannya rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat, telah berakibat pada munculnya aturanaturan yang penuh dengan bias, kepentingan dan tidak mampu memberikan jawaban tuntas dan mendasar atas problem manusia. Sistem hukum positif juga tidak mampu memberi jaminan keadilan dan keamanan masyarakat. Ketimpangan-ketimpangan praktek peradilan telah membuat masyarakat semakin takut dengan hukum. Lebih dari itu, pendidikan hukum kepada rakyat juga sangat kurang dan bahkan terkesan diabaikan. Akhirnya kebanyakan rakyat tidak mengetahui hukum-hukum yang diberlakukan di negaranya. Ketidaktahuan rakyat terhadap hukum dieksploitasi oleh praktisi-praktisi hukum untuk mengeruk keuntungan ekonomis sebesar-besarnya dari klien-kliennya. 3. Sistem Ekonomi Capaian yang dihasilkan oleh sistem ekonomi kapitalistik tampak pada penjelasan O. Henry dalam Supply and Demand, .bencana melanda bumi dengan penumpukan kekayaan demikian cepat, namun tidak memberikan timbal balik apapun . Produksi yang dianggap oleh kapitalis sebagai inti permasalahan ekonomi meningkat cukup signifikan. Namun, di sisi lain, kesenjangan ekonomi dan mandegnya distribusi barang dan jasa merupakan problem yang belum bisa dipecahkan oleh sistem ekonomi kapitalis. Munculnya konglomerasi, serta perusahaan-perusahaan individu yang menguasai aset-aset publik, semakin memperlebar jurang kemiskinan antara yang kaya dan miskin. Kekayaan terus tersedot k arah negaranegara kapitalis raksasa dan para pemilik modal.*24) Menjelang akhir tahun 1988 asimetri distribusi pendapatan seluruh dunia mengakibatkan 75% dari 5,1 milyar penduduk dunia hanya bisa menikmati 15% dari seluruh pendapat dunia, untuk kemudian dibagibagikan di antara negara-negara berkembang. Sebaliknya, negara-negara industri barat yang penduduknya hanya 17% dari seluruh penduduk dunia, hidup dengan menikmati 66% pendapatan dunia. Eropa Timur dan USSR dengan penduduknya 8% dari penduduk dunia mendapat bagian 19% dari pendapatan dunia, yang besarnya mencapai 18,4 ribu miliar dolar AS.*25) Data sebelumnya menunjukkan, 26% penduduk negaranegara blok barat dan blok timur menguasai lebih dari 78% produksi, 81% penggunaan energi, 70% pupuk,

dan 87% persenjataan dunia. Sementara itu, 74% penduduk negara-negara berkembang (Afrika, Asia dan Amerika Latin) hanya mendapat jatah sekitar 1/5 produksi dan kekayaan dunia.*26) Jurang antara negara kaya dan negara miskin semakin melebar. Pada tahun 1970-1980, GNP real di negara miskin rata-rata meningkat 17 dolar per penduduk, di negara pengekspor minyak 624 dilar, dan di negara industri 2.117 dolar.[27] Ini berarti, jika pertumbuhan pada dasawarsa 1980-1990 sama dengan dasawarsa sebelumnya, rasio pendapatan penduduk di negara miskin dan negara kaya tahun 1990 menjadi 1 dibanding 52 (sebelumnya 1:43). Bank Dunia membandingkan statistik ekonomi dan sosial dari 185 negara dengan jangkauan dari 16 negara yang memiliki GNP sebesar 100 milir dolar AS ke atas hingga 95 negara yang memiliki GNP di bawah 10 miliar dolar AS. Sebagai gambaran perbedaan antara negara-negara berkembang dengan negara-negara maju seperti AS, maka Bhutan memiliki GNP perkapita sebesar 150 dolar AS dan harapan hidup rata-rata 46 tahun, sedangkan AS dengan GNP sebesar 18.430 dolar AS, dengan harapan hidup rata-rata 75 tahun. Ini benar-benar terlalu besar bagi warganegara di kedua negara tersebut untuk memahami seperti apa hidup di negara lain.*28) Demikianlah, sistem kapitalistik telah melahirkan kesenjangan perekonomian yang semakin hari semakin melebar. Kecenderungan ini siap meledak menjadi revolusi yang sangat dahsyat. Bahkan, pakar barat sendiri, Peter Drucker menyatakan bahwa abad 20 akan menyuguhkan apa yang sebelumnya telah diramalkan oleh Mao dan Castro, yaitu perang antarkelashanya hanya, perang yang berlangsung pada saat ini adalah perang antarras.*29) Richard Kean juga mengingatkan kepada dunia, Bahaya besar dari jurang pemisah yang ada sekarang ini antara kaum kaya/miskin, Utara/Selatan, dan antara ras Kaukasoid dan golongan kulit berwarna, disebabkan oleh kesadaran yang dirasakan oleh kaum miskin bahwa mereka miskin. Kepongahan teknologi barat akan berubah menjadi pukulan maut bagi imperialisme. Dunia barat telah menyebarkan berita-berita mengenai prestasi material mereka ke seluruh dunia. Kesadaran diri, dugaan-dugaan dan perasaan ketidakadilan semakin tumbuh subur di negara-negara miskin, tanpa usaha untuk mengatasi keadaan ini, pecahnya suatu revolusi semakin mengancam.*30) Kesenjangan dalam perolehan pendapatan dan kekayaan merupakan inti persoalan ekonomi dunia saat ini. Ia adalah isyu ekonomi utama dari problematika dunia. Kenyataan di atas merupakan konsekuensi logis diterapkannya sistem ekonomi kapitalistik. Problem di atas tidak sekadar disebabkan karena adanya human error, atau lemahnya norma dan etika para pelaku ekonominya, namun lebih banyak dikarenakan oleh paradigma dasar sistem ekonomi kapitalik itu sendiri. Beberapa paradigma salah dari sistem perekonomian kapitalistik tampak pada asumsi-asumsi di bawah ini: Kapitalis memandang bahwa problem dasar ekonomi adalah produksi. Pandangan ini didasarkan pada sebuah asumsi yang salah, Kebutuhan manusia tak terbatas, sedangkan alat pemuasnya terbatas. Keterbatasan alat pemuas merupakan problem dasar ekonomi yang harus dipecahkan. Sebab, kebutuhan manusia tidak terbatas sedangkan alat pemuasnya terbatas. Masalah ini bisa diselesaikan dengan meningkatkan produksi semaksimal mungkin. Padahal, asumsi ini adalah asumsi yang sangat salah. Kebutuhan manusia itu sebenarnya terbatas, bukan tak terbatas. Kebutuhan manusia akan makanan misalnya, bukan tak terbatas, akan tetapi terbatas. Seseorang hanya mampu mengkonsumsi nasi maksimal 3 piring, lebih dari itu ia tidak membutuhkan nasi lagi. Selain itu, manusia tidak selamanya mengkonsumsi makanan secara terus menerus, atau mengkonsumsi makanan yang sejenis. Manusia mengkonsumsi berbagai macam makanan. Ada sebagian manusia yang mengkonsumsi jagung, beras, ketela, gandum, dan lain-lain. Ini berarti., daya dukung alam masih bisa mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Faktor kecerdasan manusia juga berperan penting agar manusia bisa survive dalam kondisi yang sulit. Lahan sempit bukanlah alasan untuk tidak bisa menyamai produksi pada lahan yang luas. Dengan ditemukannya rekayasa genetika, deservikasi, pertanian dengan media udara, dan air semakin menguatkan bahwa manusia mampu survive dalam kondisi apapun.

Kebutuhan manusia tidak tak terbatas. Yang tidak tak terbatas adalah keinginannya. Secara ekonomi, keinginan manusia tidak mutlak harus dipenuhi semuanya. Seandainya keinginan-keinginan tertentu tersebut tidak dipenuhi atau dipuasi, tidak akan menimbulkan masalah yang serius.*31) Sistem ekonomi kapitalistik juga sangat lemah dalam hal distribusi. Penumpukan kekayaan pada sebagian pihak, serta ketidakmampuan di pihak yang lain merupakan implikasi logis diterapkannya sistem ekonomi kapitalistik.*32) Kegagalan kapitalisme di bidang-bidang lain juga tampak jelas. 4. Bidang Pendidikan Di bidang pendidikan, lahir generasi sekuleristik-materialistik-hedonistik, yang mengagung-agungkan materi. Dunia pendidikan lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi. Pakar-pakar pendidikan modern menyatakan bahwa pendidikan sekarang ini tidak lebih untuk mencetak manusia-manusia materialistik yang berorentasi kepada produksi dan konsumsi materi belaka. Belum lagi ditambah dengan kebijakan-kebijakan pendidikan yang memarginalkan peran agama dan etika.*33) Pendidikan sekuleristik telah menuntun anak menjadi orang-orang yang permisive (budaya serba boleh). Cairnya norma agama merupakan akibat dari pola dan orentasi pendidikan yang salah. Lahir kemudian generasi-generasi brengsek yang jauh dari norma-norma kemanusiaan.*34) Aborsi, vandalisme, kekerasan yang dilakukan pelajar semakin menjadi-jadi. Dunia fashion yang mengumbar aurat semakin menambah kegilaan aksi-aksi asusila dan kriminalitas. Kegagalan sistem pendidikan kapitalistik juga disebabkan karena kesalahan di dalam memandang manusia ideal, dan cara untuk membentuk manusia ideal. Karena ideologi ini berpusat kepada materi, dunia pendidikan pun arus mengikuti kaedah-kaedah yang bersifat materialistik. Ini semakin diperparah dengan kenyataan bahwa pendidikan dewasa ini dibangun di atas asumsi-asumsi psikologis yang salah. Belum lagi ditambah dengan sistem sosial masyarakat yang tidak mendukung sama sekali terhadap pendidikan anak. Akibatnya, anak semakin terjauh dari keluarga, teman, dan bahkan dirinya sendiri. Lahirlah psikopatpsikopat yang merasa dirinya bukan psikopat! Akhirnya kehancuran peradaban manusia tinggal menunggu waktu saja.

5. Sistem Kesehatan Jaminan terhadap kesehatan bagi masyarakat juga semakin jauh. Dengan adanya swastanisasi pada pengelolaan kesehatan berakibat pada mahalnya biaya kesehatan. Sementara fasilitas kesehatan yang disediakan pemerintah tetap tidak mampu memberikan pelayanan kesehatan yang memadai.

Islam Diterapkan Akan Membawa Rahmat Islam adalah dien agung yang menjelaskan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Islam datang dengan seperangkat aturan multidimensional yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia yang lain. Ini tercermin pada hukum-hukum Islam yang mengatur masalah muamalat, dan uqubat (sistem sanksi). Islam juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendirinya. Ini tercermin pada hukum-hukum yang mengatur masalah akhlaq, makanan dan pakaian. Tidak hanya itu, Islam juga mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya. Ini terefleksi pada hukum ibadah, dan sistem aqidah (keyakinan). Allah SWT berfirman: Dan Kami telah menurunkan kepadamu (Mohammad) al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan

sebagai petunjuk dan rahmat dan khabar gembira bagi orang muslimin. (QS. an-Nahl [16]: 89). Islam tidak sekedar menjelaskan aspek-aspek kehidupan dalam bentuk yang umum, lebih dari itu, Islam juga menjelaskan dengan rinci aturan-aturan yang mengatur kehidupan masyarakat. Islam dengan aqidah dan syariahnya, memiliki kekhasan dalam memandang problematika manusia dan penyelesaiannya. Metode penyelesaian yang terefleksi pada sistem hukum Islammerupakan refleksi Islam sebagai way of life (jalan hidup). Perangkat hukum Islam ini diturunkan oleh Allah SWT, dengan tendensi khusus, yakni agar ia menjadi rahmat atas seluruh umat manusia. Allah SWT berfirman: Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Mohammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (Qs. alAnbiyaa [21]:107). Muhammad diutus oleh Allah SWT sebagai Rasul, dengan membawa risalah Islam. Risalah ini berisikan pokok-pokok aturan yang mengatur kehidupan manusia. Berdasarkan ayat di atas, risalah Islam ditujukan agar manusia mendapat rahmat baik di kehidupan dunia maupun akherat. Dengan demikian, Islam merupakan satu-satunya sistem yang memiliki tata cara pemeliharaan dan pengaturan terhadap manusia, jaminan pemenuhan terhadap kebutuhan-kebutuhan pokoknya, serta jaminan atas hak-hak asasi manusia. Semua itu wajib dipelihara agar manusia bisa meraih dan menikmati kebahagian hidup di dunia ini. Allah SWT berfirman: Dan carilah pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri Akherat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. (Qs. al-Qashash [28]: 77). Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjuru dan makanlah sebagian rejekiNya. Dan hanya kepadaNyalah kamu kembali. (Qs. al-Mulk [67]:15). Pada dasarnya, manusia berjalan di muka bumi ini untuk memenuhi kebutuhan asasinya dan kebutuhan pelengkapnya sebatas kemampuannya. Agar manusia tidak terjatuh kepada pemenuhan yang salah, Islam datang dengan sistem hukum yang mengatur tata cara untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Tidak cukup hanya itu, Islam juga telah menjelaskan kepada manusia barang dan jasa apa saja yang seharusnya dikonsumsi, sekaligus apa saja yang tidak boleh dikonsumsi. Dengan aturan-aturan ini diharapkan manusia mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan asasinya serta bila mungkin bisa memenuhi kebutuhan pelengkapnya. Kaum muslim tidak diperbolehkan mencuri, merampok, menjambret, dan lain-lain. Sebab, aktivitas semacam ini bukanlah cara yang dibenarkan oleh Islam untuk memenuhi kebutuhan hidup. Islam juga melarang kaum muslim mengkonsumsi khamer. Sebab, benda-benda semacam ini merupakan benda yang haram untuk dikonsumsi. Islam juga melarang jasa pelacuran. Sebab, jasa semacam ini adalah jasa yang diharamkan dalam Islam. Demikianlah, Islam sebagai dien agung dan sempurna telah menerangkan kepada manusia tatacara untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, sekaligus obyek apa yang boleh digunakan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan manusia.

Asas Penerapan Islam di Tengah-tengah Masyarakat Penerapan Islam di tengah-tengah masyarakat harus didasarkan kepada asas-asas berikut ini: 1. Keadilan Hukum Islam Islam diterapkan untuk menjamin hak-hak keadilan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Selain itu, tendensi diberlakukannya Islam adalah, untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketenangan jiwa, kebahagiaan hidup, dan terpeliharanya urusan manusia dalam Islam. Allah swt berfirman:

Dan Kami turunkan dari al-Qur'an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Qs. al-Israa [17]: 82). Sesungguhnya al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus. (Qs. al-Israa [17]: 9). 2. Penerapan dan pemberlakuan Islam secara menyeluruh merupakan wewenang Daulah Khilafah Islamiyyah. Daulah Islamiyyah harus mampu menjamin pemberlakuan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat. Negara merupakan salah satu pilar bagi penerapan syariat Islam. Negara juga berperan langsung dalam mengatur urusan rakyat dan memenuhi hajat hidup masyarakat. Allah swt berfirman: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah dan janganlah kami mengikuti hawa nafsu mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu (Qs. al-Maa'idah [5]: 49]). 3. Ketaqwaan harus dijadikan dasar bagi individu, masyarakat dan negara Islam untuk menjalankan syariat Islam. Pemberlakuan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat harus dilandasi dengan ketaqwaan kepada Allah SWT. Tanpa ketaqwaan maka penerapan syariat Islam akan kehilangan ruh dan spiritnya. Bahkan akan berujung kepada kehancuran penerapan Islam itu sendiri. Allah SWT berfirman: Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku. (Qs. adz-Dzaariyaat [51]: 56). 4. Adanya hubungan taawuniyyah (saling tolong menolong) antara negara dengan rakyatnya. Pemberlakuan syariat Islam akan menemui kegagalan tatkala tidak ada aktivitas tolong menolong antara negara dengan rakyatnya. Dalam hal ini Allah SWT telah berfirman: Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Qs. al-Maa'idah [5]: 2). 5. Muhasabah Umat terhadap Negara Penerapan syariat Islam harus mendapat kontrol dari semua pihak. Pihak-pihak yang menyimpang dari syariat Islam harus diluruskan dan dikembalikan kepada jalan yang lurus dan benar. Adanya kontrol (muhasabah) merupakan jaminan agar semua komponen masyarakat bisa selalu berjalan sesuai dengan aturan Allah SWT. Rasulullah Saw bersabda: Siapa saja yang mengetahui adanya penguasa dzalim, yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah, merusak perjanjian dengan Allah, memperlakukan hamba-hamba Allah dengan dosa dan permusuhan, kemudia ia tidak mau merubahnya baik dengan ucapan atau perbuatan, maka Allah akan memasukkannya ke dalam kelompok mereka. Inilah lima asas bagi penerapan syariat Islam. Dengan lima asas ini pula akan terwujud jaminan, bila Islam diterapkan akan membawa rahmat bagi manusia. Sebaliknya penerapan syariat Islam tanpa memperhatikan lima asas ini, hanya akan berakhir kepada kegagalan penerapan syariat Islam.

Islam Menjamin Kebutuhan Pokok Tiap Rakyat Salah satu bagian terpenting dari syariat Islam adalah adanya aturan-aturan yang berkaitan dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi tiap individu masyarakat, baik berupa pangan, pakaian, dan papan, serta lapangan pekerjaan. Dalam hal memenuhi kebutuhan pokok ini Islam telah mewajibkan kaum laki-laki untuk bekerja untuk mencukupi kebutuhan pokok dirinya, sanak kerabatnya yang tidak mampu, serta isteri dan anak-anaknya. Allah SWT berfirman: Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang maruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. (Qs. al-Baqarah [2]: 233). Bagi orang yang tidak mampu bekerja, Islam telah menetapkan nafkah mereka akan dijamin oleh sanak kerabatnya. Jika sanak kerabatnya juga tidak mampu memenuhi kebutuhannya, maka beban menafkahi diserahkan kepada negara. Negara Islam dengan baitul maalnya akan menanggung nafkah bagi orangorang yang tidak mampu bekerja dan berusaha. Rasulullah Saw bersabda: Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya. [HR. Bukhari dan Muslim]]. Negara selayaknya juga menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya, agar rakyat bisa bekerjsa dan berusaha. Rasulullah Saw pernah memberi dua dirham kepada seseorang dan bersabda: Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya, belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja. Negara juga harus mendorong rakyatnya agar giat bekerja agar mereka bisa memenuhi kebutuhankebutuhannya. Rasulullah saw pernah mencium tangan Saad bin Muadz ra, tatkala beliau saw melihat bekas-bekas kerja pada tangan Muadz. Beliau Saw bersabda: Dua tangan yang dicintai Allah taala. Fakta bahwa pemerintahan Islam saat itu telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya tercermin dengan apa yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab. Beliau ra, telah membangun suatu rumah yang diberi nama , daar al-daaqiq (rumah tepung). Di dalam rumah itu tersedia berbagai macam jenis tepung, korma, dan barang-barang kebutuhan lainnya. Tujuan dibangunnya rumah itu adalah untuk menolong orang-orang yang singgah dalam perjalanan dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang perlu sampai kebutuhannya terpenuhi. Rumah itu dibangun diantara jalan antara Mekah dan Syam, ditempat strategis dan mudah dicapai oleh para musafir. Daar al-daqiiq juga dibangun diantara jalan Syam dan Hijaz.*35) Jika negara tidak mampu, maka seluruh kaum muslim wajib menanggungnya. Ini direfleksikan dengan cara penarikan pajak oleh negara dari orang-orang yang mampu, lalu didistribusikan kepada orang-orang yang tidak membutuhkan.

Islam Menjamin Kesehatan Dan Pendidikan Rakyat Kesehatan dan pendidikan adalah dua hal yang merupakan kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Keduanya termasuk masalah pelayanan umum dan kemashlahatan hidup terpenting. Negara merupakan pihak yang berkewajiban mewujudkan pemenuhan kedua hal ini untuk seluruh rakyatnya. Islam telah menetapkan bahwa yang akan menjamin dua jenis kebutuhan dasar itu adalah negara. Pengadaaan dan jaminan terhadap kedua kebutuhan mendasar ini akan ditanggung sepenuhnya oleh negara, baik untuk orang miskin maupun kaya, muslim maupun non muslim. Baitul Maal akan

menanggung pembiayaannya.*36) Pada masa Rasulullah Saw, beliau saw pernah mendapat hadiah dari Muqauqis seorang dokter. Oleh Rasulullah Saw dokter tersebut dijadikan sebagai dokter umum untuk seluruh rakyat. Tindakan Rasulullah Saw dengan menjadikan dokter tersebut sebagai dokter umum menunjukkan bahwa hadiah tersebut bukanlah untuk kepentingan pribadi aan tetapi untuk kaum muslim dan negara.*37) Pada masa lalu, Daulah Islamiyyah telah menjalan fungsi ini dengan sangat baik. Di masa Daulah Islamiyyah, banyak rumah-rumah pengobatan didirikan. Bahkan negara mendorong sepenuhnya riset terhadap obat-obatan serta teknik-teknik pengobatan baru. Rasulullah Saw pernah membangun tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta dari Baitul Maal.*38) Pernah serombongan orang berjumlah delapan dari Urairah datang mengunjungi Rasulullah Saw di Madinah. Mereka menyatakan keimanan dan keislamannya kepada Rasulullah Saw, karena Allah. Di sana, merek aterserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah Saw memerintahkan mereka beristirahat di pos pengembalaan ternak kaum muslim milik Baitul Maal, di sebelah Quba yang bernama Zhi Jadr. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk. Mereka diijinkan minum susu dari binatang-binatang ternak.*39) Dalam buku Tarikhul Islam al-Siyasi, diceritakan bahwa Umar ra telah memberikan sesuatu dari Baitul Maal untuk membantu kaum yang terserang penyakit lepra di jalan menuju Syams, ketika ia melewati daerah tersebut. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh para khalifah dan wali-wali. Bahkan Khalifah Walid bin Abdul Malik secara khusus memberikan bantuan kepada orang yang terkena penyakit lepra.*40) Dalam bidang pelayanan kesehatan ini Bani Ibnu Thulun di Mesir memiliki mesjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari tempat penyimpanan obat-obatan dan minuman, serta dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk mengobati secara gratis kepada orang-orang yang sakit.*41) Dalam bidang pendidikan, Islam juga memberikan porsi perhatian yang sangat besar. Banyak nash dan hadits yang mendorong kaum muslim untuk belajar, dan melakukan aktivitas-aktivitas ilmiah. Rasulullah Saw bersabda: Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim. [HR. Thabarni]. Pada saat itu, gaji guru diambilkan secara langsung dari Baitul Maal. Sebab, jaminan untuk mendapatkan pendidikan terbaik merupakan tanggungjawab negara Islam. Rasulullah pernah menetapkan kebijakan terhadap tawanan perang Badar, apabila seorang tawanan telah mengajar 10 orang penduduk Madinah dalam hal baca dan tulis akan dibebaskan sebagai tawanan. Ad-Damsyiqy menceritakan suatu kisah dari alWadliyah bin Atha, yang mengatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anakanak. Oleh khalifah Umar bin Khaththab ra guru-guru tersebut digaji 15 dinar tiap bulannya. Demikianlah, Islam telah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok, serta pelayanan-pelayanan publik bagi tiap individu rakyatnya. Bila demikian kenyataannya, kita sebagai orang yang berakal sehat pasti akan lebih condong kepada sistem Islam yang demikian sempurna dan agung. Alangkah indahnya jika syariat Allah diterapkan di muka bumi ini. Sungguh, rahmat, kemuliaan dan kesejahteraan akan dikecap oleh setiap umat manusia, baik muslim maupun kafir, bila hukum-hukum Allah ditegakkan di muka bumi ini.

Catatn Kaki: 1. E. Goldsmith, R. Allen et al., A Blueprint for Survival, The Ecologist, jili.2, no.1 (Januari, 1972), lihat juga perkiraan kembali E. Goldsmith, Deindustrialising Society, The Ecologist, jilid.7, no.4 (Mei 1977), hal.128-43.

2. D. Meadows et al, The Limits to Growth, Potomac Associates, New York, 1972. 3. Lihat Mans on the Global Environment:Assesment and Recommendations for Actions, Laporan Studi mengenai Masalah-masalah Lingkungan yang Kritis (MIT Press, Cambridge, Mass, 1970); Lester Brown, World Without Borders (Random House, New York, 1972); Eric Ashby, Reconciling Man with Nature (Oxford University Press, Oxford, 1978). 4. Wilson Clark, Energy for Survival (Anchor/Doubleday, New York, 1974). Lihat juga C.L. Wilson; Energy Clobal Prospect 1985-2000 (McGraw-Hill, New York, 1977). 5. Paul R Ehrlich, The Population Bomb (Ballantine, New York, 1968); Jan Jinice dan Alfred Savey, Population Explosion: Abundance or Femine (Dell, New York, 1962); R.C. Cook, World Population Projection 1965-2000, Population Bulletin, no.21 (1965). 6. Lihat S.A. Marie,The World Food Crisis, edisi ke-2 (Longman, London, 1978). Lihat juga pandangan yang lebih radikal dan alternatif, Susan George, How the Other Half Dies First (Houghton Mifflin, Boston, 1976) 7. Daniel Lerner, The Passing of The Traditional Society (New York, 1958); W. Schramm, Mass Media and National Development (Standford University Press, Standford, California, 1964); C. Cooper, Science, Technology and Development (Methuen, London, 1977), Ziauddin Sardar, Science, Technology and Development in the Muslim World, (Croom Helm, London, 1977). 8. P. and P. Goodman, Communitas (Vintage Books, New York, 1960); J.W. Reps, The Making of Urban America (Princeton University Press, Princeton, 1965); W.R. Ewald Jr (ed), Environment for Man and Policy (Indiana Press, Bloomington, Indiana, 1967) 9. P. Alpert, Partnership or Confrontation? Poor Lands and Rich (Free Press, New York, 1973); Barbara Ward et al, (ed), The Widening Gap (Columbia University Press, New York, 1971); Lester Pearson, Partners in Development (Praeger, New York,1969); G. Lean, Rich World, Poor World (Allen and Unwin, London, 1978). 10. Lihat L. Winner, Autonomous Technology (MIT Press, London, 1972); J. Meynard, Technocracy (Free Press, New York, 1969); C. Ackroyd et al (ed), The Technology of Political Control (Penguin, Harmondsworth, 1977) 11. H. Kahn dan A.J. Wiener, The Year 2000: a Framework for Speculation on the Next Thirty Years (Macmillan, New York, 1967); R. Aron, Progress and Disillusion: the Dialectics of Modern Society (Pall Mall Press, London, 1968). 12. R. Jolly et al (ed), Third World Employment (Penguin, Harmondsworth, 1973); W.H Ware, Future Computer Technology and its Impact (RAND Corporation, Santa Monica, 1966). 13. T. Scitovsky, The Joyless Economy: an Enquiry into Human Satisfaction and Consumer Dissatisfaction (Oxford University Press, Oxford, 1977); B Ward, Whats Wrong With Economics?(Macmillan, London, 1972). 14. H. Skolimowski, Knowledge and Values, The Ecologist, jil.5, no.1 (Januari 1975); A. Swingewood, The Myth of Mass Culture (Macmillan, London, 1977). 15. Bandingkan dengan, Lester Thurow, The Future of Capitalism, Firs Edition, 1997, Nicholas Brealy Publishing Limited, London. Lihat juga Robert A. Isaak, International Political Economy; (terj) Ekonomi Politik Internasional (pentj) Muhadi Sugiono; ed.I, 1995, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta. 16. Bandingkan dengan Taqiyyuddin al-Nabhani, Nidzam al-Islaam, tanpa penerbit, 1953. Kebahagiaan

(kesejahteraan) hakiki menurut pandangan seorang muslim bukan sekedar diukur dengan capaian-capaian yang bersifat materialistik, namun lebih dari itu, keridloan Allah. 17. Gagalnya sistem sosialisme dan kapitalisme lebih disebabkan karena rapuhnya ideologi itu sendiri. Kritik terhadap sosialisme dan kapitalisme bisa dirujuk pada Syamsuddin Ramadlan, Koreksi Total; SosialismeKomunisme Marhaenisme, ed.I, Al-Adzhar Press, 2001, Bogor. 18. Kalim Shiddiqiu, Towards a New Destiny (Open Press, Slough, 1971) 19. Menurut Robert A. Isaak, nasionalisme atau sistem negara bangsa modern muncul dari perpecahan kesatuan umat Kristen abad pertengahan dan pertama kali diakui secara resmi sebagai sistem di banyak negara di Eropa oleh Perdamaian Westphalia tahun 1648 dan perjanjian Ultrecht 1713. Konsepsi Eropa tentang negara berdaulat merupakan konsepsi yang memesautkan perhatian pada kekuasaan politik yang memiliki monopoli untuk menggunakan kekuatan di dalam batas-batas wilayahnya. [Robert A. Isaak, International Political Economy; (terj) Ekonomi Politik Internasional (pentj); Muhadi Sugiono, ed.I, 1995, PT Tiara Wacana, Yogyakarta, hal

ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN : Hanya Akan Terwujud di Bawah Naungan Khilafah

Katagori : Kajian Siyasah/Khilafah Oleh : Redaksi 06 Mar 2004 - 3:49 pm

Sebagaimana diketahui, baru saja Konferensi Internasional Cendekiawan Islam di Jakarta diselenggarakan beberapa waktu lalu. Konferensi yang digagas PBNU itu pada akhirnya menyepakati untuk terus mendukung ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin. Kesepakatan itu dituangkan dalam Deklarasi Jakarta. Rancangan deklarasi tersebut terdiri dari 19 poin (Republika, 26/2/04). Deklarasi tersebut di antaranya memuat beberapa hal yang terkesan filosofis sekalipun sebetulnya banyak dipengaruhi oleh arus pemikiran yang dikembangkan Barat. Contohnya adalah poin 1 yang menyatakan percaya sepenuhnya bahwa ajaran Islam mewajibkan umatnya untuk mendukung terwujudnya perdamaian (salam), keadilan (adalah), kebebasan (huriyyah), moderat (tawassuth), toleransi (tasamuh), keseimbangan (tawazun), konsultasi (syura) dan persamaan (musawah) sebagai hal mendasar bagi kehidupan. Beberapa poin di antaranya juga hanya berupa pemikiran dan seruan yang bersifat umum. Contohnya adalah poin yang menyatakan, percaya bahwa nilai-nilai Islam yang tinggi membutuhkan kerja keras umat agar mampu mewujudkan kesejahteraan dan menghapus kemiskinan. Di samping bersifat umum, ia juga tidak memuat metode implementasinya sehingga sebagian besar tampaknya akan berhenti dalam wujud seruan dan deklarasi yang mandul. Dalam Deklarasi Jakarta yang dihasilkan itu terdapat dua hal yang tampak menonjol: Pertama, seruan mendukung sepenuhnya dialog konstruktif dalam rangka menumbuhkembangkan hubungan saling pengertian dan respek di antara penganut agama yang ada di seluruh dunia. Kedua, seruan mendukung dimulainya pencerahan (renaissance) Islam sebagai rahmatan lil alamin dengan meneguhkan semangat iqra' sebagai suatu nilai dasar kebenaran komprehensif.

Seruan dialog antaragama mencakup dialog antara Barat dengan peradaban mereka, yaitu kapitalismesekular, berikut keyakinan ruhani mereka yaitu Nasrani (dan Yahudi) di satu pihak serta kaum Muslim dengan Islam dan peradaban Islam di pihak lain. Menurut para penyerunya, dialog antaragama ini dibangun di atas tiga ide dasar: Pertama, kesetaraan dan kesamaan antara agama-agama dan peradaban-peradaban serta tidak adanya keunggulan satu agama dan peradaban terhadap agama dan peradaban yang lain. Kedua, penerimaan terhadap yang lain seperti apa adanya dan penyelidikan (pengkajian) terhadap yang lain tanpa mengeluarkan hukum atau ide yang bertentangan/membantah, tetapi sekadar untuk pemahaman dan pengetahuan tanpa adanya batasan atau syarat tertentu. Ketiga, tawaran atau tujuan dari adanya dialog adalah untuk saling berinteraksi antar agama dan antar peradaban untuk mewujudkan peradaban dan agama yang lebih tinggi dengan jalan mengambil nilai-nilai yang dimiliki secara bersama oleh agama-agama yang berdialog (Islam, Nasrani, dan Yahudi).

Hakikat Dialog Antar Agama/Peradaban


Agama, sebagaimana diketahui, ada dua jenis. Pertama, agama yang memiliki serangkaian konsepsi kehidupan seperti Islam. Islam merupakan agama ruhiah sekaligus agama siysiyah (politik). Islam juga memberikan serangkaian konsepsi untuk mengatur kehidupan. Kedua, agama yang tidak memiliki konsepsi kehidupan seperti Nasrani, Yahudi, dan agama-agama lain di luar Islam. Dengan kerangka dialog seperti di atas, kita akhirnya tahu bahwa Islam berusaha disejajarkan dengan agama-agama lain, yakni sekadar sebagai agama ruhiah saja, sembari diabaikan sisi politiknya. Islam politik', kalaupun diambil, tidak lebih hanya substansinya saja, bukan dalam bentuk legal-formalnya. Artinya, sebagian besar ajaran Islam harus dibuang atau ditafsirkan ulang dan diambil substansi atau nilai moralnya saja. Jika tidak, hal itu dianggap akan merusak dialog dan bertentangan dengan ruh dialog. Dengan demikian, seruan dialog antaragama dan peradaban sesungguhnya tidak lebih sebagai upaya untuk mengebiri Islam. Dari dialog antaragama/antarperadaban, yang diuntungkan adalah peradaban kapitalismesekular, karena ia justru menjadikan kaum Muslim menanggalkan Islam dari kehidupan. Islam tidak boleh menjadi peradaban dan ideologi untuk mengatur kehidupan. Dengan dialog ini pula, ideologi dan peradaban kapitalisme-sekular justru semakin kokoh dan tidak ada yang menjadi tandingannya dan Barat kapitalis akan semakin leluasa dan berkuasa menjajah dan menguras kekayaan Dunia Islam. Di samping itu, menurut Dr. Ameer Ali, salah seorang cendekiawan Muslim dari Australia, Islam semakin ditakuti dan dianggap musuh besar kokohnya hegemoni AS dan kekuatan globalisasi (Republika , 25-0204). Untuk memperlancar semua itu harus dikembangkan pemikiran untuk melakukan penafsiran ulang terhadap Islam. Di sinilah seruan pencerahan (renaissance) agaknya memiliki relevansinya. Istilah pencerahan ini sebenarnya istilah yang populer pada abad pertengahan di Eropa. Pencerahan Eropa ini ditandai dengan adanya revolusi pemikiran di segala bidang yang mendapat tantangan dari raja-raja dan pendeta, yang kemudian mengakibatkan pergolakan berdarah antara raja dan agamawan dengan para cendekiawan dan rakyat. Penyelesaian pergolakan ini terjadi dengan kompromi yang menghasilkan gagasan sekularisme, yakni gagasan untuk memisahkan agama dari pengaturan negara dan kehidupan. Sekularismne inilah yang menjadi akidah mereka, yang kemudian menjadi dasar dari ideologi/peradaban kapitalisme Barat, yang salah satu instrumennya adalah demokrasi. Dengan demikian, istilah pencerahan (renaissance) ini sesungguhnya identik dengan sekularisme. Pengistilahan renaissance Islam akhirnya bisa disalahpahami sebagai sekularisme Islam. Apakah memang ini yang dimaksud? Wallhu alam. Yang pasti, dengan dialog antaragama dan antarperadaban, Islam akhirnya hanya akan diambil substansi dan nilai moralnya saja. Pada gilirannya, istilah Islam rahmatan lil alamin seolah-olah dimaknai sebagai Islam yang harus mentoleransi peradaban kufur, yakni peradaban kapitalis-sekular. Dengan kata lain, Islam akhirnya dikebiri dan dikerdilkan.

Pencerahan yang Sesungguhnya


Bagi kaum Muslim, pencerahan yang sesungguhnya adalah dengan mengambil dan menggenggam erat cahaya (petunjuk) Allah yang akan mengeluarkan kita dari kegelapan menuju cahaya, bukan dengan mengambil apa yang dibawa oleh orang kafir karena justru akan menenggelamkan kita ke dalam kegelapan. Allah SWT berfirman: Allah Pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) menuju cahaya (iman). Sementara itu, orang-orang kafir, pelindung-pelindung mereka ialah thght , yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya . (QS al-Baqarah [2]: 257). Mengambil petunjuk Allah dalam kehidupan artinya menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan. Dengan itulah Islam akan secara sempurna menjadi rahmatan lil alamin. Menurut Dr. Wahbah az-Zuhayli, dosen Universitas Damaskus, salah seorang pemateri Konferensi, penerapan Islam memerlukan adanya negara (Islam) ( Kompas , 25/02/04). Namun sayangnya, dalam hal bernegara ini, yang merupakan sarana paling ideal untuk menerapkan segala ajaran Islam, ternyata tak ada satupun (negara yang ada saat ini) yang dapat dikatakan sebagai negara Islam. (Republika , [Dialog Jumat], 27/2/04). Oleh karena itu, umat Islam harus mewujudkan format negara yang dikehendaki oleh Islam dan telah dicontohkan oleh Rasul dan para sahabat. Format negara yang sesuai dengan penamaan Rasul dan telah menjadi Ijma Sahabat adalah Khilafah Islamiyah.

Kewajiban Menegakkan Khilafah


Prof. Abd al-Raheem Ali Muhammad Ibrahim, ulama besar Sudan, yang juga salah seolah pembicara Konferensi, berucap, Umat Islam wajib menegakkan kesatuan umat atau Khilafah dengan satu pemimpin atau khalifah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dan diikuti oleh para khallifah beliau dulu. Umat Islam di setiap negara perlu menanamkan pada hatinya tentang wajibnya Khilafah itu ditegakkan dan selangkah demi selangkah sehingga diharapkan umat Islam memiliki satu pemimpin, satu khalifah bagi Dunia Islam. Dengan demikian, Khilafahlah yang akan dapat menyatukan seluruh potensi umat dan negeri-negeri Islam sehingga seluruhnya dapat bahu-membahu mengatasi segala problem yang terjadi dan bersama pula mengemban Islam sehingga menjadi rahmatan lil alamin. Kita menyaksikan pada masa dulu Khilafah mampu mewujudkan kesejahteraan seperti pada masa Khalifah Umar bin Abd al-Aziz, Khalifah Harun arRasyid, Khalifah Sulaiman al-Qanuni, dsb. Kondisi tersebut sampai sekarang masih menjadi mimpi umat yang tidak dapat terwujud di bawah negara sekular demokrasi. Walhasil, Khilafah harus terus diperjuangkan dan diwujudkan. Untuk itu, umat Islam harus bersatu dan melakukan revolusi pemikiran. Caranya adalah dengan mewujudkan kesatuan umat dalam kesatuan akidah, kesatuan pandangan mengenai konsepsi kehidupan, dan kesatuan tujuan untuk merealisasikan Islam di tengah-tengah kehidupan dengan metode negara Khilafah Islamiyah. Upaya ini dapat terealisasi dengan jalan: - Membina umat dengan pemikiran dan hukum-hukum Islam hingga menjadi konsepsi hidup mereka. - Menyerang ide, pemikiran, dan hukum-hukum rusak yang ada di tengah-tengah masyarakat dan menyingkap kepalsuannya sehingga umat menolaknya dan menggantinya dengan Islam. Membongkar kezaliman dan kebejatan para penguasa. Menyeru Ahlul Quwah untuk memeluk Islam secara kaffah dan menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin Islam yang mampu menjalankan pemerintahan berdasarkan al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Dengan jalan inilah akan terwujud barisan umat yang kokoh, dan dengan pertolongan Allah, Khilafah

Islamiyah

akan

segera

tegak dan

Islam rahmatan

lil

alamin

terealisasi.

Allah

SWT

berfirman:

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. (QS. An-Nr [24]: 55). Hisbut Tahrir

MENGAPA (Renungan 80 Tahun Tanpa Khilafah)

HARUS

KHILAFAH?

Sepanjang Abad 20 hingga kini, dunia yang kita diami diwarnai dengan persoalan-persoalan pelik yang tidak selesai diatasi umat manusia, sekalipun teknologi yang dimilikinya jauh lebih baik daripada zaman sebelumnya. Umat manusia kini memiliki dunia yang hampir seperti tanpa masa depan. Hal ini terjadi karena dunia dipimpin oleh suatu ideologi yang tidak manusiawi dan tidak membawa rahmat bagi seluruh alam, yakni kapitalisme-sekular, yang tidak menghendaki campur tangan agama dalam mengatur kehidupan. Karena itu, ideologi ini sesungguhnya tidak memiliki misi suci yang berorientasi mencerahkan dan mengentaskan seluruh manusia dari kegelapan, kemiskinan, atau ketertindasan. Kalaupun ia mengatasnamakan nilai-nilai universal seperti HAM atau demokrasi, maka itu hanya sekadar jalan untuk mempermudah aksesnya dalam menguras kekayaan ekonomi bangsa lain. Inilah ideologi yang saat ini diterapkan dan disebarkan ke seluruh dunia oleh kekuatan-kekuatan negara besar, terutama Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Berbeda dengan kapitalisme-sekular, Islam adalah sumber ideologi yang sejatinya bersifat manusiawi, membawa rahmat bagi siapa sajakarena sifatnya yang berimbang, serta tidak menjajah atau bersifat eksploitatif atas manusia lain. Ini karena Islam diturunkan oleh Allah SWT yang sangat mengerti sifat-sifat dan kebutuhan manusia serta apa yang dapat membuat manusia sengsara atau bahagia. Fakta empiris menunjukkan, bahwa Islam memang pernah benar-benar menjadi ideologi yang memimpin dunia tatkala ia diterapkan dan disebarkan oleh sebuah kekuatan besar, yaitu Daulah Islamiyah. Negara ini secara de facto didirikan oleh Rasulullah saw. di Madinah pada 12 Rabiul Awwal, bertepatan dengan 23 September 622. Pasca Nabi saw., Negara ini terus berlanjut dalam format negara Khilafah Islamiyah. Kepemimpinan Khilafah Islamiyah ini berlangsung terus, dengan pasang surutnya, hingga 3 Maret 1924, yakni tatkala secara resmi Khilafah yang berpusat di Istambul Turki, dibubarkan. Meski periode khalifah yang baik dan buruk datang silih berganti, negara Khilafah secara de facto tetaplah negara yang diperhitungkan dunia selama 13 abad, dan pada saat itulah kaum Muslim juga diperhitungkan. Pada saat Khilafah masih ada, tak cuma kaum Muslim yang terlindungi kehormatannya, namun peradaban dunia seluruhnya. Kita tidak akan mengenal peradaban Yunani kuno (seperti matematika atau kedokteran), andaikata peradaban Islam yang maju pesat di bawah naungan Khilafah tidak menyelamatkannya dan terus mengembangkan ilmu pengetahuan; justru ketika Eropa diterpa zaman kegelapan akibat permusuhan gereja terhadap para ilmuwan. Khilafah Islam pernah menaungi ratusan etnis yang berbeda-beda, yang membentang dari tepi Atlantik di Barat sampai sebagian Cina di timur, dan dari tepi Sahara di selatan sampai Kaukasus di utara, tanpa diskrimasi atau penjajahan. Kekuasaan yang besar itu maju bersama. Para ulama bermunculan di segenap penjuru. Mereka berkarya dalam bahasa Arabsebagai bahasa negara kesatuan saat ituwalaupun mereka bukan etnis Arab. Kesatuan yang besar itu terbukti efektif untuk mengatasi kesulitan akibat bencana alam yang melanda sebagian negeri atau serangan orang-orang kafir terhadap negeri-negeri Islam. Kita menyaksikan bagaimana kaum Muslim bisa dipersatukan, tanpa sekat-sekat ras, ketika mereka menghadapi serangan tentara Salib, atau ketika mereka menghadapi serbuan Tartar yang membumihanguskan Bagdad tahun 1258. Bagdad boleh saja hancur, Khalifah boleh saja terbunuh, namun Khilafah Islamiyah tidak bubar

karenanya. Di seluruh penjuru negeri, Islam masih diterapkanekonomi masih ekonomi Islam, pendidikan masih pendidikan Islam, hukum masih hukum Islam. Karena itu, dalam waktu singkat, tiga tahun kemudian, kaum Muslim cepat berkonsolidasi, lalu mengalahkan Tartar, bahkan sebagian tentara Tartar justru masuk Islam. Abad-abad selanjutnya juga Khilafah kembali jaya. Tahun 1453, Konstantinopel, ibukota kekaisaran Byzantium Romawi, berhasil dibuka oleh kaum Muslimdan menjadi Istambul. Abad 17 kekuatan kaum Muslim masih menguasai separuh Eropa. Bahkan sebagian pemeluk Protestan di Hungaria atau Austria justru memohon perlindungan kepada Khilafah dari ancaman raja-raja Katolik yang berkuasa. Itulah yang terjadi sampai akhirnya dakwah di dalam umat Islam mengalami kemunduran. Akibatnya, pasokan sumberdaya manusia berkualitas menyusut. Teknologi yang sebelumnya dikembangkan untuk menopang jihad terabaikan sampai suatu ketika tiba-tiba tersalip kemajuan di Barat, revolusi Industri. Pada saat itu, umat Islam tidak serta-merta kembali menggenggam erat kepemimpinan ideologi Islam, namun justru mulai meniru Barat, bahkan sampai ke sistem perundang-undangnya. Akibatnya, bukannya bangkit, umat Islam malah makin terpuruk. Pada Perang Dunia I, agen-agen Barat memancing agar Negara Khilafahyang sudah sakit-sakitan itu terlibat. Secara de facto mereka telah menghabisi Khilafah pada akhir Perang Dunia I itu, dengan dikuasainya banyak wilayah Khilafah oleh Inggris dan Prancis. Kemudian, untuk menghabisi sama sekali sistem Khilafah, mereka menugaskan Kemal Attaturk, yang seolah-olah bak pahlawan, untuk memproklamirkan berdirinya Republik Turki, sebagai syarat ditariknya pasukan asing dari Turki. Pada 3 Maret 1924, secara resmi Attaturk membubarkan Khilafah, seraya mengusir Khalifah terakhir, yaitu Abdul Madjid II. Setelah Khilafah bubar, Barat makin leluasa untuk menerapkan dan menyebarkan ideologi kapitalistiksekularistiknya ke seluruh dunia, terutama ke Dunia Islam yang kaya sumberdaya alam. Pertengahan abad20, upaya itu dihambat oleh Uni Soviet yang berusaha menerapkan dan menyebarkan ideologi sosialismekomunisme. Namun, pada akhir abad-20, Amerika Serikatlah yang memimpin dunia dengan ideologi kapitalistik-sekularistiknya. Akibatnya, umat Islam kini semakin jauh dari misi yang pernah dibebankan Allah kepada mereka, yaitu misi merahmati seluruh alam, seperti yang pernah berhasil dibuktikan oleh Daulah Khilafah. Jangankan merahmati seluruh alam, melindungi mereka sendiri saja, seperti di Palestina, Bosnia, Cechnya, Kashmir, Xin Jiang, Moro, Afganistan, dan Irak, mereka tidak mampu. Hal ini karena misi tersebut memang hanya mampu dilaksanakan dalam suatu barisan yang terpimpin suatu formasi ideologis. Tanpa formasi yang rapi, energi 1,5 miliar umat Islam tidak akan fokus. Bukankah Amerika Serikat, Inggris, Prancis, atau Uni Soviet juga hanya mampu melaksanakan misi ideologis mereka dalam suatu formasi dan struktur yang rapi, dengan negara sebagai panglimanya? Negara mereka peduli menjalankan pendidikan, mengembangkan teknologi, menerapkan ekonomi yang menjamin kemakmuran bangsanya, dan politik luar negeri yang melindungi kepentingan warganya di seluruh dunia. Mereka bahkan menempatkan misi-misi budayanya di seluruh dunia, juga misi-misi militer, termasuk kapal-kapal induk dan selam bertenaga nuklir, hampir di seluruh samudera. Suatu struktur hanya bisa ditandingi dengan struktur pula. Sejarah membuktikan bahwa adidaya Romawi dan Persiapun akhirnya tunduk oleh sebuah struktur, yakni Daulah Islamiyah yang didirikan oleh Rasulullahsekalipun struktur tersebut pada saat awalnya sangat kecil (hanya sebesar Madinah) dan juga secara ekonomi, teknologi, maupun militer lemah. Namun demikian, mereka memiliki ideologi Islam yang kuat dan orang-orang yang meyakini akidah atau ideologi itu yang sangat kuat. Karena itu, tidak bisa tidak, struktur seperti Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah itu kembali dinantikan oleh dunia ini untuk bisa menandingi struktur yang zalim, yang mengemban ideologi kapitalistik-sekularistik. Tentu saja Khilafah Islamiyah yang akan berdiri kembali ini bukanlah negara utopia. Dia adalah negara modern dalam arti menggunakan teknologi dan manajemen yang mutakhir. Namun, visi, dan misinya adalah qurani; seluruh perangkat hukumnya hanya semata-mata digali dari Islam; yakni dari al-Quran, as-

Sunnah,

Ijma

Sahabat,

dan

Qiyas,

dengan

olah

ijtihad

tanpa

henti

dari

para

ahli

ijtihad.

Mendirikan kembali Khilafah tentu tak semudah membalik tangan, juga tak semudah melakukan kudeta militer yang penuh kekerasan (power of muscle), maupun memenangkan pemilu dengan dukungan logistik (power of money). Kita harus benar-benar memahami sejarah perjuangan Rasulullah dalam mengubah permikiran dan perasaan umat sehingga mereka bersedia memperjuangkan penerapan Islam sekalipun menanggung penderitaan yang luar biasa. Inilah kepemimpinan pemikiran (power of mind, qiyadah fikriyah), yang merupakan kunci dari kesuksesan para nabi. Karena itu, semua gerakan dakwah, para ulama dan cendekiawan, juga tokoh-tokoh politik, sudah saatnya bersama-sama mengkaji dan menggali lebih dalam bagaimana sesungguhnya konsep dan sistem Khilafah itu. Rasulullah dalam berbagai hadisnya mengabarkan kepastian kembalinya lagi Khilafah, setelah era kekuasaan-kekuasaan sekular (mulkan jabariyyan), sebagainamana beliau pernah meramalkan dibukanya Konstantinopel. Pertanyaannya, sudahkah kita menjadi bagian dari orang-orang terbaik yang memiliki kontribusi dalam proses ini? Allah SWT berfirman: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nr [24]: 55) Sekali lagi pertanyaannya, siapkah kita memenuhi panggilan Islam untuk kejayaan kita kaum Muslimin? Mari kita renungkan firman Allah SWT: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian. (QS al-Anfal [8]: 24).

KALEIDOSKOP PERJUANGAN PENEGAKKAN SYARIAT ISLAM


Tahun 2003 sudah berlalu. Saat ini kita mulai menapaki lembaran baru tahun 2004. Lembaran-lembaran masa lalu hendaknya kita jadikan bahan renungan bahkan mungkin juga menjadi sebuah cambuk guna meraih sebuah cita-cita perjuangan. Dalam konteks perjuangan penegakkan syariat Islam, jika kita menilik apa yang terjadi selama tahun 2003 tampaklah sebuah benang merah yang menghubungkan pasang-surutnya perjuangan menegakkan syariat Islam. Riak-riak gelombang semangat perjuangan dapat terekam dengan jelas sebagai apresiasi umat akan kerinduan penerapan syariat Islam. Sebaliknya, kita juga menemui batu karang yang menghadang upaya tersebut. Memang, ada sejumlah peristiwa yang tergolong ke dalam upaya membungkam penerapan syariat Islam, antara lain: Pertama, upaya pengkaburan atau menggugat kebenaran Islam. Ada seorang cendekiawan Muslim, misalnya, menyimpulkan bahwa al-Quran bukanlah kitab suci atau sakral, dengan alasan tidak ada kata al-Quds atau al-Muqaddas untuk al-Quran. Dia beranggapan bahwa al-Quran itu terkena hukum sejarah atau kena intervensi tangan-tangan manusia. Upaya lainnya adalah intervensi AS untuk melakukan sekulerisasi terhadap sistem pendidikan pesantren di Indonesia. AS seolah menganggap bahwa kurikulum yang ada telah menghasilkan santri-santri teroris yang membahayakan AS. Dari anggapan inilah AS merasa perlu untuk campur tangan membenahi sistem pendidikan pesantren yang ada, dengan cara memberikan bantuan dana yang cukup besar pada sejumlah pesantren. Padahal pada kenyataannya bukanlah demikian. Santri-santri yang ada sebenarnya dididik untuk terikat dengan syariat Islam. Walhasil, syariat Islam, oleh AS dan Barat dipandang sebagai sesuatu yang membahayakan. Jika kurikulum pesantren disekulerisasi maka secara pasti pemahaman keislaman para santri akan sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh Islam. Inilah yang dikehendaki oleh AS.

Kedua, tindakan Pemerintah yang tidak memihak Islam dan kaum Muslim. Di antaranya, munculnya UU Anti Teroris yang terkesan dipaksakan. Kita tahu bahwa keluarnya UU tersebut sejalan dengan upaya AS mengkampanyekan perang terhadap teroris. Kita pun tahu siapa lagi yang dimaksud teroris oleh AS kalau bukan umat Islam. Padahal siapa pun tahu bahwa bukti-bukti teror dan pelaku selama ini tidak jelas dan sarat dengan rekayasa. Penculikan sejumlah pengurus masjid dan aktivis Islam oleh aparat kepolisian-meski kepolisian, sebagaimana dituturkan oleh Kaporli Jenderal Polisi Dai Bachtiar, mengklaim itu sebagai penangkapanadalah kasus paling mutakhir di antara sejumlah kasus yang membuat kaum Muslim semakin prihatin. Polisi beralasan, mereka yang ditangkap adalah orang-orang yang memang diduga terlibat dalam sejumlah aksi teroris atau berencana melakukan teror baru. Kepolisian Medan juga mengklaim telah menangkap 10 orang anggota Jamaah Islamiyah yang terlibat dalam perampokan di Medan dan Pekanbaru, yang pada kenyataannya, mereka semua adalah aktivis Islam. Ketiga, rekayasa asing dalam pencitraburukan umat Islam. Misalnya, apa yang terjadi pada saat jatuhnya vonis empat tahun penjara-lebih ringan dari tuntutan jaksa yang 15 tahun-kepada Ustadz Abu Bakar Baasyir. Vonis ini memancing komentar tokoh-tokoh asing yang merasa tidak puas dengan vonis tersebut. Mereka menyatakan bahwa hal itu menunjukkan Indonesia masih setengah hati menghukum teroris. Dengan berbagai pernyataan itu, mereka ingin menekan Pemerintah dan proses pengadilan di Indonesia agar menjatuhkan hukuman sesuai dengan kehendak mereka atau yang menyenangkan mereka. Pada saat yang sama, AS kembali mengeluarkan travel warning (peringatan perjalanan) bagi para warganya agar mereka berhati-hati atau jangan mengunjungi Indonesia karena ada ancaman teroris. Yang ingin dikatakan AS sebenarnya adalah, Jangan ke Indonesia karena di Indonesia banyak teroris. Di samping itu, AS juga mengumumkan telah membekukan aset (rekening) sepuluh teroris yang semuanya warga negara Indonesia. Padahal, suatu negara tidak bisa seenaknya membekukan aset warga negara lain. Tatkala polisi Filipina menangkap empat orang WNI menduga empat orang tersebut sebagai anggota Jamaah Islamiyah Presiden Filipina, Arroyo menyambut penangkapan tersebut sebagai kemenangan melawan terorisme di Asia Tenggara. Ia menyatakan, Filipina akan bekerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk melacak kontak-kontak bawah tanah para tersangka. Hal itu untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas soal jaringan terorisme internasional. Begitu juga peristiwa Bom Bali yang telah menjadi titik tolak upaya mengganyang terorisme di Asia Tenggara, yang telah berhasil dijadikan dasar untuk menetapkan Jamaah Islamiyah sebagai organisasi teroris. Padahal, Jamaah Islamiyah sendiri belum jelas benar, baik keberadaannya maupun bentuknya. Apalagi, banyak hal dari kasus Bom Bali yang mengundang tanda tanya dan interpretasi lain, yakni dugaannya adanya keterlibatan pihak asing, terutama AS, sebagai dalang di balik ledakan itu. Akibatnya, kesimpulan yang hendak disodorkan ke hadapan khalayak bahwa kelompok Islam militan atau kelompok Islam fundamentalis (dengan Jamaah Islamiyah sebagai simbolnya) sebagai biang kerok terorisme menjadi kurang dapat dipercaya. Namun sebaliknya, banyak juga upaya yang telah dilakukan oleh umat untuk penegakkan syariat Islam. Di antaranya: Pertama, upaya-upaya formalisasi syariat Islam. Upaya-upaya ini tampak tatkala mulai diberlakukannya undang-undang otonomi daerah. Adanya peraturan tersebut telah mendorong sebagian daerah tingkat II dan I di berbagai belahan negeri ini mengumumkan bahwa sandaran dari hukum dan peraturan daerah mereka adalah al-Quran dan Hadis Nabi. Artinya, daerah-daerah tersebut mengupayakan formalisasi syariat Islam dalam pemerintahannya. Sebut saja daerah Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Garut, Propinsi Banten, Propinsi NAD, dll. Terlepas dari syariat Islam yang diusung masih bersifat parsial (masih seputar pada simbol dan terbatas pada semangat semata), namun apa yang telah dilakukan menunjukkan adanya upaya-upaya formalisasi syariat Islam.

Kedua, respon terhadap kebijakan yang menyudutkan syariat Islam. Di antaranya tatkala munculnya kontroversi seputar RUU Sisdiknas, terutama pada pasal 12 ayat 1, huruf a. Pasal ini paling banyak menuai protes dari kalangan Kristen. Namun, dengan sigap, hampir seluruh lapisan umat Islam mendukung diterapkannya sistem pendidikan yang berbasis pada syariat Islam. Selanjutnya adalah perjuangan umat dalam mengganyang pornoaksi dan pornografi. Umat meminta kepada Pemerintah agar tayangan-tayangan TV dan media elektronik lainya serta media cetak yang ada tidak menjadi lahan persemaian pornografi dan pornoaksi. Umat meminta agar ada undang-undang yang tegas dalam menindak kegiatan tersebut yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat dan merusak generasi penerus.

Mengapa Ini Terjadi?


Jika kita menilik lebih dalam lagi maka apa yang terjadi pada tahun 2003-sebagaimana dipaparkan di atastampak bahwa ada 3 agenda besar yang sedang diusung oleh AS bersama kaki tangannya. Pertama: upaya memperlemah akidah umat. Akidah adalah pondasi dasar pertama yang membentengi setiap diri umat untuk tidak terjerumus dalam lembah kemaksiatan. Jika keyakinan akan Islam atau akidah itu sendiri digoyang atau diperlemah maka umat tidak lagi mempunyai spirit dalam menjalankan syariat, karena sandarannya (al-Quran dan Hadis Rasul) sudah diruntuhkan. Akhirnya, umat semakin lama akan semakin jauh dari syariat Islam. Apa yang dilakukan oleh para orientalis dalam menggugat al-Quran dan sekularisasi pendidikan adalah contoh nyata upaya memperlemah akidah umat. Kedua, upaya menghambat keterikatan umat pada syariat Islam. Sejumlah peraturan yang mengakomodasi syariat Islam telah banyak dikeluarkan. Namun, pada kenyataannya peraturan tersebut terkesan alot untuk diimplementasikan. Justru yang ada adalah adanya kesan dari beberapa pihak yang menghalangi implementasi tersebut. Contoh, jilbab di sebagian institusi sekolah masih dilarang. Mereka tahu bahwa jika umat sudah terbiasa terikat dengan syariat Islam maka umat akan senantiasa menyandarkan seluruh perbuatannya pada aturan-aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Umat akan selalu bertanya terlebih dulu apakah perbuatan yang dilakukannya sudah sesuai dengan Islam ataukah belum; bukan hanya dalam masalah ibadah saja, lebih dari itu, masalah ekonomi, politik, pemerintahan, dll pun akan senantiasa disandarkan pada syariat Islam. Inilah hal yang tidak diinginkan oleh musuh Allah. Ketiga, memadamkan ruh jihad umat. Setelah umat jauh dari syariat maka secara otomatis umat akan jauh dari pemahaman Islam. Setelah jauh dari pemahaman Islam, umat secara pasti tidak mempunyai kekuatan untuk menyebarkannya. Jangankan mendakwahkan Islam, hanya untuk memahami saja umat sudah tidak mampu lagi. Kondisi ini juga akan berpengaruh terhadap ruh jihad umat. Umat secara itiqadi diracuni untuk tidak menyebarkan Islam. Islam hanya diartikan sebagai spirit semata, atau kalaupun tidak, hanya diambil aspek-aspek ruhiahnya saja. Dakwah dan jihad sebagai upaya penyebaran Islam ke seluruh penjuru dunia dimatikan.

Dakwah Islam ke Depan


Dengan kondisi di atas, dakwah Islam ke depan haruslah mengusung tiga hal. Pertama, penguatan akidah umat secara terus-menerus yang diwujudkan dengan senantiasa berupaya membersihkah akidah dari penyakit-penyakit yang ada seperti filsafat, sekularisme, dan penyakit lainnya. Kedua, mengusung penegakan syariat dengan senantiasa mendakwahkan pentingnya institusi negara (Khilafah) yang mengayomi umat Islam. Dengan Khilafah, seluruh peraturan yang menyangkut segala aspek kehidupan akan senantiasa diikatkan pada hukum syariat. Dengan demikian, umat akan senantiasa terjaga untuk selalu melaksanakan syariat Allah. Umat akan diarahkan secara sistematis (dengan perundangundangan yang ada) untuk terikat dengan syariat Islam. Ketiga, meningkatkan ruh jihad di kalangan umat. Dengan ruh jihad ini umat akan senantiasa terjaga untuk membela Islam sebagai agama dan sistem hidup. Umat tidak hanya marah tatkala al-Quran dilecehkan,

namun juga tatkala sebagian besar umat mengadopsi pemikiran-pemikiran dari luar Islam (sekularismekapitalisme dan sosialisme-marxisme). Umat tidak hanya membela mati-matian tatkala kaum Muslimah dilarang berjilbab, namun umat pun akan berjuang mati-matian untuk formalisasi syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

Wahai Umat Islam


Sudah saatnya semua kekuatan kaum Muslim di seluruh negeri ini menyatukan langkah menuju ridha Allah. Tidak dapat dipungkiri bahwa negeri dan bangsa ini adalah muslim. Maka tali aqidah Islamlah yang mampu menjaga persatuan dan kesatuan kaum Muslim agar tidak mudah diobok-obok oleh kekuatan kufur AS dan para sekutunya dengan segala tipu daya dan arogansi mereka. Marilah kita senantiasa terikat dengan hukum-hukum Allah; bersama-sama berjuang menegakkan syariat Islam. Marilah kita jaga keutuhan negeri dan bangsa muslim ini dengan sistem pemerintahan dan negara yang diridhoi Allah dan diletakkan dasardasarnya oleh Rasulullah saw. yakni Khilafah Islamiyah. Allah SWT berfirman:

Berpegang teguhlah kalian pada tali agama Allah secara keseluruhan dan janganlah bercerai berai. (QS Ali Imran [3]: 103).

Membongkar Tuduhan Palsu Kaum Orientalis Dan Liberalis (Menelusuri Kredibilitas Sahabat Abu Bakrah r.a.)
Katagori : Kajian Siyasah/Khilafah Oleh : Redaksi 10 Jun 2004 - 7:00 pm

Siapa Abu Bakrah (-51 H)? Nama asli Abu Bakrah, menurut Ibn Saad, adalah Nafi ibn Masruq. Dalam beberapa catatan hadis, namanya dikenal dengan Masruh. Ibunya adalah Sumayyah dan ia adalah saudara seibu dengan Ziyad ibn Abi Sufyan. Ia pernah menjadi budak di Thaif. Ketika Rasulullah mengepung penduduk kota tersebut, beliau bersabda, Siapa saja yang datang kepada kami, maka dia bebas (merdeka) sebagai budak. Baginda memanggilnya dengan nama Abu Bakrah.*1) Al-Hasan al-Basri, salah seorang ulama tbin terkemuka, menyatakan, Tidak ada seorang sahabat pun dari sahabat-sahabat Rasulullah Saw yang tinggal di Basrah lebih mulia dibandingkan dengan Imran ibn Husayn dan Abu Bakrah. Ia mempunyai banyak pengikut dan merupakan orang terpandang di Basrah. Ia wafat di Basrah tahun 51 H.*2) Imam al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahh al-Bukhr dan Shahh Muslim, telah meriwayatkan 14 hadis yang bersumber dari Abu Bakrah. Yang diriwayatkan secara bersamasama ada 8 hadis, 5 hadis diriwayatkan secara terpisah oleh al-Bukhari, dan 1 hadis oleh Muslim.*3) Tentang kedudukan Abu Bakrah sebagai sahabat memang tidak dipersoalkan, antara lain sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Hasan al-Basri, seperti yang dikutip oleh Ibn Abd al-Barr di atas. Ini berarti, sebagaimana kaidah umum yang disepakati ahli hadis, bahwa semua sahabat adalah adil.*4) Oleh karena itu, begitu saja sebuah nash hadis dinyatakan oleh sahabat, ulama ahli hadis tidak akan mempersoalkannya. Akan tetapi, yang dipersoalkan adalah orang lain yang tidak termasuk sahabat, baik sezaman maupun setelah mereka, yang menyatakan pernah mendapatkan hadis dari Nabi Saw. Sebab, ada dua katagori perawi hadis, sahabat atau bukan sahabat.*5) Ini adalah pandangan yang acceptable di kalangan ahli hadis, baik sahabat tersebut terkontaminasi dengan fitnah ataupun tidak.*6)

Abu Bakrah Dan Kasus Sumpah Palsu


Abu Bakrah, dalam catatan ahli sejarah, sebagaimana dikutip oleh at-Thabari dari al-Waqidi, pernah bersumpah menyaksikan perbuatan serong al-Mughirah bin Syubah, yang juga salah seorang sahabat Rasulullah Saw, ketika mereka sama-sama berada di Basrah. Keduanya bertetangga yang dipisah oleh

sebuah jalan. Al-Mughirah ditemukan oleh Abu Bakrah dan beberapa orang sedang berada di bawah kedua kaki seorang wanita. Ia kemudian meminta mereka untuk memberikan kesaksian dan mereka sepakat bahwa perempuan itu adalah Ummu Jamil dari suku Amir bin Shashaah yang memang tergila-gila dengan al-Mugirah. Kasus ini terjadi pada zaman Umar ibn al-Khaththab menjadi Khalifah. Setelah mendengar kasus ini, Umar ibn al-Khaththab mengirim Abu Musa al-Asyari untuk pergi ke Basrah. Abu Musa tidak bersedia berangkat seorang diri, karena takut ada syubhat dan sebagainya. Karena itu, ia meminta izin untuk membawa serta 29 sahabat, di antaranya Anas ibn Malik, Imran ibn Hushayn, dan Hisyam ibn Amir. Al-Mughirah, Abu Bakrah, Nafi ibn Kildah, Syibl ibn Mabad al-Bajali, dan Ziyad kemudian berangkat ke Madinah untuk dihadapkan kepada Umar ibn al-Khaththab. Akhirnya, dua dari tiga saksi yang ada, yaitu Nafi ibn Kildah dan Syibl ibn Mabad al-Bajali, memberikan kesaksian bahwa apa yang dikatakan oleh Abu Bakrah adalah benar; sedangkan Ziyad menyatakan yang berbeda dengan dua saksi sebelumnya, termasuk Abu Bakrah. Karena kesaksian ini dianggap tidak cukup, Umar mencambuk mereka (Abu Bakrah, Nafi ibn Kildah, dan Syibl ibn Mabad al-Bajali) sebanyak 80 kali cambukan. Mereka kemudian diperintahkan agar bertobat. Dua di antaranya, selain Abu Bakrah, telah bertobat*7), sebaliknya Abu Bakrah tidak bersedia sambil menyatakan, Engkau meminta aku bertobat semata-mata agar engkau dapat menerima kesaksianku? Umar menjawab, Benar.

Abu Bakrah balik menjawab, Saya wajib untuk tidak bersaksi antara dua perkara (antara kebenaran dan kesalahan bersaksi dalam kasus al-Mughirah) selama-lamanya, selama saya masih hidup.*8) Riwayat tentang kasus pencambukan dan kesaksian Abu Bakrah pada zaman Umar ini banyak dimuat oleh ahli sejarah, seperti at-Thabari, baik dalam kitab Trkh maupun Tafsr-nya. Demikian juga Ibn Saad dalam at-Tabaqt al-Kubr-nya dan penulis biografi sahabat seperti Ibn Abd al-Barr dalam al-Istib f Marifat alAshb. Di samping itu, riwayat ini juga masyhur di kalangan ahli fikih, Ibn Abi Syibah, dan Abdurrazzaq memuatnya dalam masing-masing kitab Musannaf-nya serta Ibn Qudamah dalam al-Mughn-nya. Jadi, kisah tentang kesaksian Abu Bakrah ini memang masyhur di kalangan ulama kaum Muslim, baik ahli sejarah, biografi, maupun fikih. Berdasarkan berbagai catatan ahli di atas, Abu Bakrah jelas tidak pernah bersumpah palsu atau berbohong. Sebaliknya, Abu Bakrah menyatakan kesaksiannya terhadap perzinaan al-Mughirah ibn Syubah dengan Ummu Jamil sebagai kebenaran yang diyakininya, sekalipun ia harus menanggung dua konsekuensi sekaligus: Pertama, sebagaimana yang dinyatakannya (dalam catatan Ibn Abd al-Barr), Saya wajib untuk tidak bersaksi antara dua perkara (antara kebenaran dan kesalahan bersaksi dalam kasus al-Mughirah) selamalamanya, selama saya masih hidup. Artinya, jika ia bersedia menarik balik kesaksiannya, atau menganggap tuduhannya adalah palsu, berarti ia telah melakukan kebohongan, yakni dengan menyatakan kebenaran yang disaksikannya sebagai kedustaan. Ini jelas ia nafikan, sekalipun konsekuensinya, ia tidak akan pernah diterima lagi oleh Umar. Inilah konsekuensi pertama dan inilah yang ia pertahankan, Engkau memin ta aku bertobat semata hanya agar engkau dapat menerima kesaksianku? tanya Abu Bakrah kepada Umar. Kedua, sebagaimana yang dinyatakan oleh ahli sejarah, biografi, dan fikih, bahwa akibat ketidakcukupan nishb saksi, ia terpaksa dicambuk 80 kali. Bahkan, setelah ia tidak bersedia untuk bertobat, dan ketika ditanya balik, apakah al-Mughirah berzina atukah tidak, ia tetap mengulang jawaban yang sama, yang membuat Umar marah dan akan mencambuknya untuk ronde kedua. Akan tetapi, niat Umar dicegah oleh Ali ibn Abi Thalib, dengan hujah, bahwa Abu Bakrah tidak menyatakan tuduhan baru, selain hal yang sama seperti sebelumnya.*9) Artinya, ia konsisten dengan kesaksiannya, sekalipun ia telah dicambuk dan terpaksa harus menerima cambukan sebanyak 80 kali lagimeskipun tidak jadi dilakukan. Dalam riwayat lain, jika cambukan ronde kedua itu jadi dilaksanakan oleh Umar, maka ia wajib merajam al-Mughirah, tetapi akhirnya tidak dilaksanakan oleh Umar.*10) Dari kasus tersebut dapat dipahami, bahwa akibat penarikan balik Ziyad ibn Abi Sufyan, Abu Bakrah dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, bertobat dan menarik balik kesaksiannya, dengan konsekuensi, kesaksiannya kelak akan diterima kembali, yang berarti beliau berbohong atau mendustakan apa yang ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Kedua, tidak mau bertobat, tidak menarik balik kesaksiannya, yang berarti ia konsisten dengan kebenaran yang ia lihat dengan mata kepalanya; sekalipun konsekuensinya, ia harus dicambuk dan kesaksiannya tidak akan diterima selamanya. Dalam keadaan seperti ini, ia memilih sikap kedua, dan ini merupakan ijtihadnya sekaligus kebenaran yang ia pertahankan

sampai

meninggal

dunia.

Dari gambaran di atas, tampak dengan sejelas-jelasnya, bahwa Abu Bakrah sebenarnya tidak berbohong dalam kesaksiannya, hanya saja nishb kesaksian tersebut tidak cukup akibat penarikan balik kesaksian Ziyad ibn Abi Sufyan, saudara seibunya. Ia terpaksa menanggung hukuman cambuk akibat kekurangan nishb kesaksian tersebut. Pada zaman Muawiyah, Ziyad telah dijatuhi tuduhan oleh Muawiyah atas kebohongangan dalam kesaksiannya yang menyebabkan Abu Bakrah dicambuk, tetapi Abu Bakrah melarang Muawiyah untuk melakukannya. Setelah kasus ini, Abu Bakrah bersumpah untuk tidak berbicara dengan Ziyad yang masih saudara seibu dengannya itu hingga meninggal dunia. Ziyad pun akhirnya memenuhi tuduhan Muawiyah dan berusaha mendekati anak-anak Abu Bakrah untuk menebus kesalahannya.*11)

Antara Kesaksian Dan Periwayatan


Setelah menganalisis kasus Abu Bakrah di atas, sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum Orientalis dan Liberalis, bahwa sosok Abu Bakrah sebagai saksi tidak dapat diterima, begitu juga dalam kasus yang serupa, yaitu periwayatan. Logikanya, hadis-hadis yang bersumber dari Abu Bakrah perlu dikaji ulang kesahihannya, baik yang dinyatakan sahih oleh al-Bukhari maupun Muslim. Sekilas statemen dan kongklusi ini benar, sekalipun sebenarnya salah. Statemen dan kongklusi tersebut terlalu simplikatif, kalau tidak boleh dibilang ngawur. Ini karena antara kesaksian (syahdah) dan periwayatan (riwyah) merupakan dua fakta yang berbeda, sekalipun terdapat garis ekuivalen pada bagian-bagian tertentu. Dari segi fakta, periwayatan (riwyah) bergantung pada penukilan orang yang adil serta kuat hafalan dari orang yang sejenis mulai dari sumber berita yang pertama hingga terakhir. Fakta periwayatan ini tidak memerlukan nishb, juga tidak ada larangan anak meriwayatkan dari orangtua dan saudaranya. Berbeda dengan fakta kesaksian (syahdah). Kesaksian, di samping harus ada syarat sifat adil dan terpenuhinya nishb, juga tidak dibenarkan anak menjadi saksi orangtua dan saudaranya; di samping bahwa pada masa yang sama, kesaksian tersebut diberikan berdasarkan kesaksian mata atau telinga secara langsung, bukan karena mendengar penuturan orang lain. Dalam periwayatan, di samping adil, kuat hafalan, juga ada syarat sanad-nya mesti bersambung hingga perawi terakhir. Ini berbeda dengan kesaksian, yang tidak perlu syarat mesti kuat hafalan dan tidak adanya keterputusan sanad, karena saksi adalah orang yang secara langsung melihat atau mendengarkan kasus. Selain itu, hakikat kesaksian adalah memenuhi pembuktian di hadapan hakim, agar suatu kasus yang dibuktikan itu menjadi jelas bagi hakim tersebut, yang dengan begitu, dia dapat mengambil keputusan hukum. Kesaksian tidak boleh diwakilkan atau dinukilkan melalui orang lain. Fakta ini juga berbeda dengan periwayatan.*12) Dengan demikian, menyamakan kesaksian dengan periwayatan adalah cara berfikir simplikatif dan ngawur, yang menunjukkan ketidakcukupan perangkat ilmu atau dengan sengaja merancang kebohongan atas nama obyektifitas. Sungguh absurd. Kesaksian adalah menyatakan apa yang dilihat atau yang didengar, bukan menyatakan tentang berita yang didengar atau dilihat. Berita yang didengar atau dilihat, yang kemudian disampaikan kepada orang lain, bisa bohong ataupun benar, sedangkan apa yang dilihat dan didengar mesti benar, jika dibuktikan dengan nishb saksi yang representatif. Ini berbeda dengan berita, sekalipun jumlah pembawa berita tersebut kuantitasnya sangat banyak, nilai berita tersebut tetap ada dua kemungkinan, bisa benar dan salah, bergantung pada kredebilitas pembawa beritanya. Karena itu, kesaksian dengan periwayatan jelas berbeda. Memang, ada garis ekuivalen antara kesaksian dan periwayatan, yakni sama-sama memerlukan syarat adil. Akan tetapi, tetap perlu dibedakan, bahwa adil dalam kasus periwayatan mempunyai kualifikasi yang berbeda dengan adil dalam kasus kesaksian. Adil dalam periwayatan berarti Muslim, berakal, serta selamat dari sebab-sebab kefasikan dan terkikisnya murah (kehormatan diri). Sebaliknya, adil dalam kasus kesaksian berarti konsisten, yakni bersikap preventif terhadap apa yang dianggap orang sebagai tidak konsisten.*13) Karena itu, seorang saksi tidak mesti Muslim, tetapi boleh non-Muslim, dalam kasus yang oleh syariat ditetapkan boleh untuk diberi kesaksian oleh orang non-Muslim. Berbeda dengan periwayatan yang mesti diriwayatkan hanya oleh seorang Muslim.

Menghukumi Kasus Abu Bakrah


Berdasarkan perangkat ilmu di atas, dapat disimpulkan, bahwa kasus Abu Bakrah perlu dilihat sebagai kasus

hukum syariat. Artinya, keputusan bahwa Umar mencambuk Abu Bakrah sebanyak 80 kali akibat ketidakcukupan nishb kesaksiannya itu merupakan hukum syariat yang diterapkan kepada orang yang bersaksi tetapi kurang memenuhi nishb yang dibutuhkan. Demikian pula, keputusan Umar untuk tidak menerima kesaksian Abu Bakrah, adalah hukum syariat yang diputuskan oleh seorang hakim terhadap fakta hukum tertentu. Keputusan hakim ini juga mengikat karena merupakan hukum syariat yang disampaikan oleh lembaga peradilan. Pada masa yang sama, keputusan Abu Bakrah untuk memilih bersikap konsisten dengan kesaksiannya, apapun konsekuensinya, juga adalah keputusan hukum syariat; ia yang lebih rela tidak diterima kesaksiannya untuk selama-lamanya daripada berbohong kepada Allah, bahwa kesaksiannya salah. Hanya saja, apakah keputusan Umar untuk tidak menerima kesaksian Abu Bakrah tersebut juga mengubah kredibelitas keadilannya sebagai perawi? Jawabannya, tidak. Sebab, hukum tersebut berkaitan dengan kesaksian Abu Bakrah, bukan periwayatannya, yakni berkaitan dengan hukum penolakan kesaksiannya akibat ketidakcukupan nishb-nya serta ketidakse-diaannya untuk menarik balik kesaksiannya dan untuk bertobat di hadapan Umar yang menjadi hakim ketika itu. Pada masa yang sama, keputusan Abu Bakrah ini juga merupakan hukum syariat yang ia pilih, ketimbang ia harus berdusta kepada Allah sekalipun kemudian mengakibatkan kesaksiannya akan diterima kembali. Dari kasus ini, jelas sekali, bahwa apa yang dialami oleh Abu Bakrah, sebagaimana yang dideskripsikan oleh ahli hadis disebut sebagai lubs al-fitan (terkontaminasi oleh fitnah), sehingga apa yang menjadi pendiriannya dipandang sebagai hukum syariat berdasarkan ijtihadnya. Ini berbeda kalau ia berdusta. Kasus-kasus serupa juga pernah dialami oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubayr; yakni ketika menjadi bught kepada Ali ibn Abi Thalib. Demikian juga tindakan sahabat yang lari dari medan perang dalam Perang Hunayn atau yang membocorkan rahasia kaum Muslimin kepada musuh seperti yang dilakukan oleh Hatib ibn Abi Baltaah. Semuanya ini, oleh ahli hadis disebut dengan lubs al-fitan, dan tidak akan mencederakan kredibelitas mereka sebagai pembawa berita.*14) Karena itu, al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahh al-Bukhr dan Shahh Muslim, tetap menerima riwayat Abu Bakrah, dan bukan hanya satu dua riwayat, tetapi 14 hadis; 8 buah hadis diriwayatkan secara bersama-sama, 5 buah hadis diriwayatkan secara terpisah oleh al-Bukhari, dan 1 hadis oleh Muslim.*15) Kedudukan Shahh al-Bukhari dan Shahh Muslim sendiri telah diakui oleh semua ulama sebagaimana kata Ibn Taymiyah, Tidak ada kitab di bawah kolong langit ini yang paling sahih setelah al-Quran, kecuali Shahh al-Bukhr dan Shahh Muslim.*16) Imam al-Bukhari sendiri memberikan jaminan, Saya tidak memasukkan dalam kitab al-Jami ini kecuali yang sahih, dan masih banyak yangn sahih yang lain saya tinggalkan, karena takut terlalu panjang. Imam Muslim juga menyatakan, Tidak semua hadis sahih yang saya hafal saya letakkan di sini, tetapi saya hanya meletakkan apa yang mereka sepakati.*17)

Penutup
Serangan terhadap Abu Bakrah, salah seorang sahabat Nabi, sebenarnya merupakan tujuan antara, karena tujuan yang sebenarnya adalah untuk menciptakan keraguan pada sumber otentik Islam, yaitu Hadis Nabi Saw. Adalah naif, dengan justifikasi obyektifitas ilmiah, kesimpulan yang kurang didukung dengan perangkat ilmu yang mencukupi digunakan untuk menilai ketidakabsahan seorang sahabat sebagai perawi. Ini, tentu saja, merupakan upaya konspiratif untuk menegakkan kebohongan dengan justifikasi obyektifitas ilmiah. Akhirnya, meminjam kata-kata Waliyullah ad-Dahlawi, Siapa saja yang merendahkan kedudukan keduanya (Shahh al-Bukhr dan Shahh Muslim) adalah pembuat bidah dan pengekor jalan orang-orang nonMukmin. Mereka adalah persis seperti orang-orang yang mem-bebek kepada para Orientalis. Tepat sekali, ungkapan Abu Zarah ar-Razi yang menyatakan, Jika Anda melihat seseorang menudu h salah seorang sahabat Rasulullah Saw dengan tuduhan negatif, ketahuilah, bahwa dia adalah orang zindiq. Sebab, Rasul jelas benar, al-Quran juga pasti benar, dan apa yang dibawanya adalah benar; yang semuanya itu hanya sampai kepada kita melalui jasa para sahabat. Orang-orang zindiq itu hendak mencederakan kesaksian kita kepada al-Kitab dan as-Sunnah, padahal mencedarakan kredibelitas mereka jauh lebih utama.*18) Wallhu Rabb al-Mustan.

Catatan Kaki
1. Ibn Saad, Tabaqt al-Kubr, Juz VII, hlm. 15; Ibn al-Qayyim, Zd al-Mad, juz III, hlm. 497. 2. Ibn Abd al-Barr, Al-Istib, juz IV, hlm. 1531. 3. Masil al-Imm Ahmad, juz III, hlm. 291 4. Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifyah f Ilm ar-Riwyah, hlm. 46-49; As-Suyuthi, Tadrb ar-Rw, hlm. 400 5. Al-Amidi, al-Ihkm f Ushl al-Ahkm, juz II, hlm. 95 6. Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifyah f Ilm ar-Riwyah, hlm. 46-49; As-Suyuthi, Tadrb ar-Rw, hlm. 400 7. At-Thabari, Trkh at-Thbar, juz II, hlm. 493 8. Ibn Abd al-Barr, Al-Istib, juz IV, hlm. 1615 9. Ibn Abi Syibah, Musannaf, juz II, hlm. 127 10. Ibn Qudamah, al-Mughn, juz VIII, hlm. 235 11. Ibn Saad, at-Thabaqt al-Kubr, juz VII, hlm. 15 12. Fathi Muhammad Salim, Al-Istidll bi azh-Zhann f al-Aqdah, hlm. 122 13. Taqiyuddin an-Nabhani, Syahshiyyah al-Islmiyyah, juz I, hlm. 279; Ahmad ad-Daur, Ahkm alBayyinah, hlm. 53 14. Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifyah fi Ilm ar-Riwyah, hlm. 46-49; As-Suyuthi, Tadrb ar-Rw, hlm. 400 15. Masil al-Imm Ahmad, juz III, hlm. 291 16. Ibn Taymiyah, Majm al-Fatw Syaykh al-Islm, juz XVIII, hlm. 74 17. Dr. Ajaj al-Khathib, Ushl al-Hadts, hlm. 318 18. Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifyah f Ilm ar-Riwyah, hlm. 49 Oleh: Hafizh Abdurrahman hayatulislam.net

Menampilkan kembali Islam sebagai Ideologi


Katagori : Kajian Siyasah/Khilafah Oleh : Redaksi 06 Jul 2004 - 1:16 am

Percaturan kehidupan di Indonesia saat ini dipenuhi oleh hingar-bingar pemilihan kepala negara. Munculnya tokoh organisasi Islam menambah ramai wacana. Islam pun diusung; sayangnya masih sebatas dalam tataran permukaanseperti lagu pengiring kampanye yang dikesankan islami, janji-janji dengan membawa nama Allah SWT, atau kampanye dalam bentuk doa bersama. Perbincangan tentang figur pemimpin terjadi dimana-mana, namun perbincangan tentang sistem apa yang akan dikembangkan nyaris tidak disentuh. Padahal, baiknya suatu masyarakat bukan hanya bergantung pada orang yang memimpin, melainkan juga pada sistem aturan yang diterapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini memberikan gambaran bahwa Islam merupakan sistem yang seharusnya diterapkan, menggantikan tatanan kapitalis yang selama ini mengatur manusia.

Islam Sebagai Mabda' (Ideologi)


Mabda' merupakan istilah bahasa Arab yang dapat diterjemahkan sebagai ideologi, namun bukan ideologi dalam pengertian yang sempit, sebagaimana dalam pandangan sekularisme. Menurut Muhammad Muhammad Ismail dalam bukunya, Al-Fikr al-Islmi (hlm. 911), yang disebut dengan mabda' adalah akidah/keyakinan yang digali dari proses berpikir, yang kemudian melahirkan sistem atau aturan-aturan (aqdah aqliyyah yanbatsiqu anh nizhm). Menurut definisi ini, sebuah akidah/keyakinan disebut sebagai mabda' (ideologi) jika memiliki dua syarat: (1) bersifat aqliyyah; (2) memiliki sistem/aturan. Akidah, dalam hal ini, bisa dimaknai sebagai pemikiran yang bersifat integral (menyeluruh) mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan ini; mengenai keadaan sebelum dan setelah kehidupan dunia; juga mengenai hubungan antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dan sesudah dunia.

Sedangkan sistem aturan yang dimaksud mencakup berbagai pemecahan atas berbagai problem kehidupan (baik pribadi, keluarga, masyarakat maupun negara; menyangkut persoalan ibadah, akhlak, sosial, politik, ekonomi, dan budaya); juga mencakup cara untuk menerapkan berbagai pemecahan tersebut serta cara memelihara sekaligus menyebarkan akidah tersebut (An-Nabhani, Nizhm al-Islm , hlm. 22). Aqdah aqliyyah plus berbagai pemecahannya disebut dengan fikrah (ide/konsep). Sedangkan cara untuk menerapkan berbagai pemecahan tersebut serta cara untuk memelihara sekaligus menyebarkan akidah tersebut disebut dengan tharqah (metode operasional)untuk menerapkan fikrh yang dimaksud. Walhasil, yang dimaksud dengan mabda' (ideologi), dalam hal ini, bukan semata-mata berupa pemikiran teoritis, melainkan pemikiran yang dapat dijelmakan secara operasional dalam realitas kehidupan. Merujuk pada pengertian di atas, agama-agama selain Islam tidak dapat dikategorikan sebagai mabda' (ideologi). Alasannya: (1) Agama-agama di luar Islam bukanlah akidah/keyakinan yang bersifat aqliyyah tetapi lebih bersifat taslmiyyah (semata-mata didasarkan pada kepasrahan/ketundukan tanpa reserve [tidak digali dari proses berpikir]); (2) Agama-agama di luar Islam tidak memiliki sistem/aturan untuk mengatur kehidupan manusia, kecuali semata-mata menyangkut masalah ritual, spiritual, dan moral belaka. Karena itu, Islam tidak layak disejajarkanapalagi disamakandengan agama-agama lain yang hanya berkutat dalam masalah ritual, spiritual, dan moral belaka. Sebagai mabda' (ideologi), Islam hanya layak disejajarkanmeskipun jelas tidak bisa disamakandengan dua ideologi lain yang ada di dunia, yakni: kapitalisme-sekular dan sosialisme-komunis. Bedanya, Islam satu-satunya mabda' (ideologi) yang sahih, karena bersumber dari Allah sang Pencipta, sedangkan dua ideologi lainnya adalah sesat karena sematamata lahir dari akal manusia yang serba lemah. Akidah, Islam menegaskan bahwa semua yang ada di alam ini diciptakan oleh Allah SWT (QS Thaha [20]: 14; QS al-Baqarah [2]: 22). Allah SWT tidak hanya menciptakan aturan bagi alam semesta (berupa hukum alam/sunatullah), melainkan juga menurunkan aturan (berupa hukum Islam) untuk mengatur kehidupan manusia, sebagaimana yang termaktub di dalam wahyu-Nya. Karena Allah telah menentukan hukum-Nya untuk mengatur kehidupan manusia, jelas manusia tidak boleh membuat lagi aturan lain sekehendak hawa nafsunya. Hanya Allah sajalah yang berhak menentukan hukum dan aturan bagi manusia (QS al-Baqarah [2]: 2; QS al-Qadr [97]: 1, QS an-Nahl [16]: 103; QS Yusuf [12]: 40), yang dibawa oleh Rasulullah (QS alFath [48]: 28-29; QS ash-Shaf [61]: 9). Karena itu, semua yang terdapat di dalam al-Quran harus diikuti (QS al-Hasyr [59] : 7; QS al-Baqarah [2] : 4). Apalagi, sebab utama (raison d'etre) dari penciptaan manusia sendiri (termasuk jin) adalah untuk beribadah kepada Allah dalam arti luas (QS adz-Dzariyat [51]: 56). Muhammad Quthub dalam bukunya, Mafhm Yanbagi an Tushahah , memaknai ibadah dalam pengertian luas ini sebagai ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada Allah dengan mengikatkan diri dengan syariat-Nya (hukum Islam) dalam segala aspek kehidupan. Memang, manusia bebas memilih untuk mengikuti ataupun melanggar aturan yang Allah turunkan (QS alBalad [90]: 10). Akan tetapi, pada Hari Kiamat nanti manusia akan dibangkitkan dan dihisab atas pilihannya itu. (QS al-Mukminun [23]: 16; QS ar-Ra'du [13]: 40-41; QS al-Insyiqaq [84]: 8; QS al-Ghasiyah [88]: 26). Ujung-ujungnya, ada manusia yang dimasukkan oleh Allah SWT ke dalam surga, ada pula yang ke neraka (QS al-Baqarah [2]: 25; QS ad-Dukhan [44]: 51-55; QS al-Waqi'ah [55]: 41-43). Berdasarkan bahasan di atas, jelaslah, akidah Islam menetapkan bahwa sebelum ada kehidupan dunia ini ada Allah Pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan; bahwa Allah Pencipta manusia telah menurunkan aturan-aturan-Nya ke dunia ini untuk mengatur kehidupan manusia; dan bahwa manusia akan menuju alam akhirat dengan dimasukkan ke dalam surga atau nerakabegantung pada terikat-tidaknya dirinya dengan aturan-aturan-Nya. Itulah realitas akidah Islam yang harus diyakini oleh setiap Muslim. Karena itu, agama Islam tidak boleh dipisahkan dari kehidupan. Seorang Muslim diperintahkan untuk menaati Allah SWT di rumah, di pasar, di mal, di kendaraan, di kantor, di masjid, di ruang pertemuan, di mess, di hotel, dan di setiap tempat. Demikian juga ketika makan, minum, berpakaian, berakhlak, beribadah, dan berbagai muamalah. Berdasarkan hal ini, jelas sekali, seorang Muslim diperintahkan untuk selalu melakukan perbuatannya sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT. Semua itu tidak lain semata-mata dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati berupa keridhaan Allah SWT yang salah satu wujudnya adalah surga yang penuh kenikmatan, yang telah dijanjikan-Nya. Seorang Muslim akan merasa tenteram dan bahagia saat berhasil melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Sebaliknya, ia akan bersedih jika melanggar hukum-hukum Allah SWT. Beginilah akidah Islam sebagai qiydah fikriyyah , yang memimpin penganutnya untuk senantiasa menjadikan dirinya sebagai hamba Allah yang selalu patuh dan taat kepada-Nya.

Pada sisi lain, akidah Islam juga menjelaskan berbagai pemecahan masalah kehidupan yang dapat digali dari sumber-sumber hukum Islam: al-Quran, Hadis Nabi saw., Ijma Sahabat, dan Qiyas syar'iyyah . Dari sinilah lahir hukum-hukum Islam yang mengatur hubungan laki-laki dengan perempuan seperti bergaul, meminang, menikah, nafkah, mengurus anak, persoalan nasab, perwalian, dan warisyang tercakup dalam sistem sosial (nizhm ijtimi) Islam; yang mengatur kepemilikan berikut sebab-sebab dan jenis-jenisnya, berbagai jenis akad dalam muamalah, perseroan dan perusahaan, kebijakan-kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan, lembaga perekonomianyang tercakup dalam sistem ekonomi (nizhm iqtishdi) Islam; yang mengatur pemerintahan dan bentuknya, kepemimpinan dan syarat-syaratnya, lembaga-lembaga pemerintahan, perang dan damai, hubungan luar negeri, partai politik, dan persoalan-persoalan lainyang tercakup dalam sistem pemerintahan (nizhm al-hukm) Islam; juga yang mengatur masalah persanksian dan jenis-jenisnya (hudd, jinyat, tazr, mukhlaft), hal-hal yang menyangkut persaksian, penyidikan dan penyelidikan, dan pembuktianyang tercakup dalam sistem persanksian (nizhm uqbt) Islam. Begitu pula menyangkut sistem-sistem Islam lainnya.

Sistem Islam Wajib Diterapkan


Walhasil, jelas bahwa Islam adalah satu-satunya agama sekaligus ideologi yang sahih di sisi Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: Sesungguhnya dn yang benar di sisi Allah adalah Islam. (QS. Ali Imran [3]: 19). Lebih tegas lagi Allah SWT menyatakan: Siapa saja menjadikan selain Islam sebagai dn, maka tidak akan diterima dan di akhirat kelak dia termasuk orang yang rugi . (QS Ali Imran [3]: 85 ). Dengan nada yang sama Allah SWT memberitahukan: Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya (Muhammad) dengan membawa petunjuk dan agama yang haq untuk dimenangkannya atas semua agama. Cukuplah Allah sebagai Saksi. (QS al-Fath [48]: 28). Maksudnya, Islam akan senantiasa mengungguli seluruh dn (keyakinan, agama, ideologi) para penghuni bumi, baik orang Arab maupun bukan; berbagai kelompok; dan kaum musyrik (Lihat: Ibn Katsir, Tafsr alQur'n al Azhm, IV/246). Kemenangan atau keunggulan Islam atas yang lain jelas hanya terjadi ketika Islam ditampilkan secara utuh sebagai sebuah mabda' (ideologi) sebagaimana dulu pernah dibuktikan selama hampir 13 abad lamanya; bukan semata-mata sebagai agama ritual, spiritual, dan moral belaka. Islam seperti inilah yang diperintahkan Allah SWT untuk menjadi pandangan hidup dan pengatur masyarakat. Wallhu alam. (Hisbut Thahrir)

80 Tahun Dunia Menanti Khilafah


Katagori : Kajian Siyasah/Khilafah Oleh : Redaksi 12 Mar 2004 - 10:25 am

(Memperingati Pembubaran Khilafah, 3 Maret 1924) Di sepanjang abad ke-20 hingga kini, dunia yang kita diami diwarnai dengan persoalan-persoalan pelik yang tidak selesai diatasi umat manusia, sekalipun teknologi yang dimilikinya jauh lebih baik dari zaman sebelumnya. Keluarga manusia tumbuh setiap hari seperempat juta jiwa. Namun manusia tidak sama. Dalam gaya hidup, kesejahteraan, dan beban ekologis seperti pemborosan energi dan sampah yang dibuangnya, mereka berbeda seperti halnya bahasa dan orientasi budayanya. Misalnya, efek rumah kaca yang sangat berbahaya secara global, dihasilkan tak lebih dari sepertiga penduduk dunia, yaitu di negaranegara maju. Tiap hari mereka menghembuskan 60 juta ton CO2 ke atmosfer.

Menurut FAO, setiap hari hutan tropis dunia berkurang 463 km persegi, atau seluas 63 ribu lapangan bola, oleh kerakusan industri, yang hasilnya terutama dikonsumsi di negara-negara maju. Bersama itu punah pula ekosistem yang menyediakan oksigen, air, dan habitat bagi keanekaragaman hayati. Pada saat yang sama pengeluaran militer di dunia, yang terutama dilakukan negara-negara maju untuk mengancam dan menghantam negeri-negeri muslim, sekitar 2 miliar dolar AS per hari. Hanya dengan sebagian kecil jumlah ini barangkali Dunia Ketiga bisa diselamatkan. Menurut Unicef, di Dunia Ketiga setiap hari 36 ribu balita mati akibat kelaparan. Umat manusia kini memiliki dunia yang hampir tanpa masa depan. Ini terjadi karena dunia dipimpin oleh suatu ideologi yang tidak manusiawi dan tidak membawa rahmat bagi seluruh alam. Ideologi ini memandang bahwa kebahagiaan adalah ketika seluruh kebutuhan atau keinginan materinya dapat dipenuhi. Tentu saja ini hanya bagi mereka yang menguasai alat-alat produksi (termasuk teknologi). Adapun orang lain yang kebetulan tidak menguasai alat-alat produksi, baik sebangsa atau apalagi tidak sebangsa, tidak akan terpikirkan. Maka ideologi ini menganggap absah saja untuk menguras sumber daya alam bangsa lain, baik dengan cara kasar seperti penjajahan, atau halus seperti pasar bebas. Ideologi ini tidak memiliki misi suci yang berorientasi mencerahkan dan mengentaskan seluruh manusia dari kegelapan, kemiskinan, atau ketertindasan. Kalaupun ia mengatasnamakan nilai-nilai universal seperti HAM atau demokrasi, maka itu tak lebih sekadar jalan mempermudah aksesnya dalam menguras ekonomi bangsa lain. Inilah ideologi kapitalismesekulerisme, yang tak ingin agama dilibatkan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Inilah ideologi yang saat ini diterapkan dan disebarkan ke seluruh dunia, oleh kekuatan-kekuatan negara besar, terutama Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis.

Islam ideologi alternatif


Adapun Islam, ajaran Ilahi ini sebernarnya merupakan sumber yang tak ada habisnya untuk suatu ideologi alternatif, yang semestinya lebih manusiawi, lebih membawa rahmat bagi siapa saja, karena sifatnya yang berimbang, tidak eksploitatif atas manusia lain, tidak menjajah. Ini karena Islam diturunkan Allah SWT yang sangat mengerti sifat dan kebutuhan manusia serta apa yang dapat membuat manusia sengsara atau bahagia. Dan fakta empiris menunjukkan, bahwa Islam memang pernah benar-benar menjadi ideologi yang memimpin dunia, tatkala ia diterapkan dan disebarkan oleh sebuah kekuatan besar, yaitu negara Khilafah Islamiyah. Negara ini de-facto didirikan oleh Rasulullah SAW di Madinah pada 12 Rabi'ul Awwal 1H, bertepatan dengan 23 September 622M. Kepemimpinan negara Khilafah ini berlangsung terus hingga 3 Maret 1924, yakni tatkala secara resmi Khilafah yang berpusat di Istanbul, Turki, dibubarkan. Meski periode khalifah yang baik dan buruk datang silih berganti, namun negara Khilafah de facto tetaplah negara yang diperhitungkan dunia selama 13 abad, dan saat itulah umat Islam juga diperhitungkan. Pada saat Khilafah masih ada, tak cuma kaum muslimin yang terlindungi kehormatannya, namun peradaban dunia seluruhnya. Kita tidak akan mengenal peradaban Yunani kuno (seperti matematika atau kedokteran), andaikata peradaban Islam yang maju pesat di bawah naungan Khilafah, tidak menyelamatkan dan terus mengembangkan ilmu pengetahuan, pada saat Eropa diterpa zaman kegelapan akibat permusuhan gereja terhadap para ilmuwan. Khilafah Islam pernah menaungi ratusan etnis yang berbeda-beda, yang membentang dari tepi Atlantik di Barat sampai sebagian Cina di Timur, dari tepi Sahara di Selatan sampai Kaukasus di Utara, tanpa diskrimasi atau penjajahan. Wilayah yang besar itu maju bersama. Para ulama bermunculan di segenap penjuru. Mereka memang berkarya dalam bahasa Arab sebagai bahasa internasional saat itu walaupun mereka bukan etnis Arab. Dan kesatuan yang besar itu terbukti efektif mengatasi kesulitan akibat bencana alam atau serangan musuh yang melanda sebagian negeri. Kita saksikan bagaimana kaum muslimin bisa dipersatukan, tanpa sekatsekat ras, ketika mereka menghadapi serangan tentara Salib, atau serbuan Tartar yang membumihanguskan Baghdad tahun 1258. Bagdhad boleh saja hancur, khalifah boleh saja terbunuh, namun Khilafah Islamiyah tidak bubar karenanya.

Di seluruh negeri, Islam masih diterapkan oleh para gubernur (wali, sultan) dan hakim (qadhi), ekonomi masih ekonomi syariah, pendidikan masih pendidikan Islam, hukum masih hukum Islam, maka dalam waktu singkat, tiga tahun kemudian, kaum muslimin bisa cepat berkonsolidasi dan lalu mengalahkan Tartar, bahkan sebagian besar tentara Tartar masuk Islam. Abad-abad selanjutnya Khilafah kembali jaya. Tahun 1453, Konstantinopel, ibukota kekaisaran Byzantium Romawi, dibebaskan kaum muslimin dan menjadi Istanbul. Abad 17 kekuatan kaum muslimin masih melindungi separo Eropa. Bahkan sebagian pemeluk Protestan di Hongaria atau Austria justru mohon perlindungan kepada Khilafah dari ancaman raja-raja Katholik.

Awal kemunduran Islam


Umat Islam mulai mundur ketika pada abad ke-18 dakwah internal mulai mengendor. Akibatnya pasokan sumber daya manusia berkualitas menyusut. Teknologi yang sebelumnya dikembangkan untuk menopang jihad terabaikan, sampai suatu saat tersalip kemajuan di Barat, ''Revolusi Industri''. Pada saat itu, umat Islam tak serta merta kembali menggenggam erat ideologi Islam, namun justru mulai mengimitasi Barat, bahkan sampai sistem perundangannya. Akibatnya malah makin buruk. Pada Perang Dunia I, agen-agen Barat memancing agar Negara Khilafah yang sudah sakit-sakitan itu terlibat. De facto mereka menghabisi Khilafah pada perang itu, dengan dikuasainya banyak wilayah Khilafah oleh Inggris dan Prancis. Lalu untuk menghabisi sama sekali sistem Khilafah, mereka memanfaatkan Kemal Attaturk, yang bak pahlawan, memproklamirkan berdirinya Republik Turki, sebagai syarat ditariknya pasukan asing dari Turki. Pada 3 Maret 1924, secara resmi Attaturk membubarkan Khilafah, seraya mengusir Khalifah terakhir, yaitu Abdul Madjid II. Setelah Khilafah bubar, Barat makin leluasa menerapkan dan menyebarkan ideologi kapitalismesekulerismenya ke seluruh dunia, terlebih ke dunia Islam yang kaya sumber daya alam. Kalaupun upaya ini kadang terkendala, itu hanyalah persaingan sesama mereka. Pertengahan abad ke-20, upaya itu dihambat Uni Soviet yang berusaha menyebarkan sosialisme-komunisme. Namun di awal abad ke-21, Amerika Serikatlah yang memimpin dunia dengan kapitalisme-sekulerismenya. Maka umat Islam kini semakin jauh dari misi yang dibebankan Allah kepada mereka, yaitu misi merahmati seluruh alam seperti yang pernah berhasil dibuktikan Daulah Khilafah. Jangankan merahmati seluruh alam, melindungi mereka sendiri saja, seperti di Palestina, Bosnia, Chechnya, Kashmir, Xin Jiang, Moro, Afghanistan, Iraq, juga Indonesia, mereka tidak mampu. Ini karena misi tadi memang hanya bisa dilaksanakan dalam suatu barisan, suatu formasi ideologis. Tanpa formasi yang rapi, energi 1,5 miliar umat Islam tidak akan fokus. Bukankah Amerika Serikat, Inggris, Prancis, atau Uni Soviet, juga hanya mampu melaksanakan misi ideologis mereka dalam suatu formasi, struktur yang rapi, dengan negara sebagai panglimanya? Negara mereka peduli menjalankan menjamin kemakmuran bangsanya, dunia. Mereka bahkan menempatkan kapal-kapal induk dan pendidikan, mengembangkan teknologi, menerapkan ekonomi yang dan politik luar negeri yang melindungi kepentingannya di seluruh misi-misi budayanya di seluruh dunia, juga misi-misi militer, termasuk selam bertenaga nuklir, di seluruh samudra.

Suatu struktur hanya bisa ditandingi dengan struktur pula. Sejarah membuktikan bahwa adidaya Romawi dan Persia pun akhirnya tunduk oleh struktur bentukan Rasulullah. Sekalipun struktur tadi pada awalnya sangat kecil (hanya sebesar Madinah) dan juga secara ekonomi, teknologi maupun militer tak berarti. Namun mereka memiliki ideologi yang kuat dan orang-orang yang meyakini akidah yang sangat kuat.

Dunia menantikan khilafah


Tak bisa tidak, struktur seperti Daulah Khilafah itu dinantikan dunia ini kembali, untuk menandingi struktur zalim dari ideologi kapitalisme-sekulerisme. Tentu saja Khilafah yang akan berdiri kembali ini bukan negara masa lalu atau negara utopia. Dia adalah negara modern dalam teknologi dan manajemen yang mutakhir. Namun visi misinya adalah Qurani, dan seluruh perangkat hukumnya semata-mata digali dari Islam, bersumber al-Quran, Sunnah, ijmak sahabat, dan qiyas, dengan olah ijtihad tanpa henti dari para mujtahid. Mendirikan kembali Khilafah tentu tak semudah membalik tangan. Juga tak semudah kudeta militer yang

penuh kekerasan (power of muscle), maupun menang pemilu dengan politik uang (power of money). Kita harus memahami sejarah perjuangan Nabi dalam mentransformasi pemikiran dan perasaan umat, sehingga mereka bersedia memperjuangkan penerapan Islam sekalipun menanggung penderitaan yang luar biasa. Inilah kepemimpinan pemikiran (power of mind), yang merupakan kunci dari kesuksesan para Anbiya. Alvin Toffler menyebut power of mind adalah kekuatan atau kekuasaan dengan mutu yang paling tinggi. Karenanya, semua gerakan dakwah, para ulama dan cendekiawan, juga tokoh-tokoh politik, sudah saatnya bersama-sama mengkaji dan menggali lebih dalam, bagaimana konsep dan sistem Khilafah itu. Rasulullah dalam berbagai hadisnya mengabarkan akan kembalinya lagi Khilafah, setelah era kekuasaan-kekuasaan sekuler (mulkan jabariyyan), sebagaimana beliau telah meramalkan dibebaskannya Konstantinopel. Pertanyaannya adalah, sudahkah kita jadi bagian dari orang-orang terbaik yang berkontribusi pada proses ini. (RioL)

Anda mungkin juga menyukai