Anda di halaman 1dari 15

A.

Berdirinya Dinasti Abbasiyah


Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn
Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu
yang panjang, dari tahun 132 H. (750 M.) s. d. 656 H. (1258 M.). Selama dinasti
ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dan budaya1.
Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Bani Abbas telah melakukan
usaha perebutan kekuasaan, Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan
kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa.
Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada kegiatan keluarga
Syiah. Gerakan itu didahului oleh saudara-saudara dari Bani Abbas, seperti Ali
bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya
mengalami kegagalan, meskipun belum melakukan gerakan yang bersifat politik.
Sementara itu, Ibrahim meninggal dalam penjara karena tertangkap, setelah
menjalani hukuman kurungan karena melakukan gerakan makar. Barulah usaha
perlawanan itu berhasil ditangan Abu Abbas, setelah melakukan pembantaian
terhadap seluruh Bani Umayyah, termasuk khalifah Marwan II yang sedang
berkuasa2.
Bani Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas
kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara
nasab lebih dekat dengan Nabi saw.. Menurut mereka, orang Bani Umayyah
secara paksa menguasai khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu,
untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar
biasa, melakukan pemberontakan terhadap Bani Umayyah3.
Pergantian kekuasaan Dinasti Umayyah oleh Dinasti Abbasiyah diwarnai
dengan pertumpahan darah. Meskipun kedua dinasti ini berlatar belakang
beragama Islam, akan tetapi dalam pergantian posisi pemerintahan melalui
perlawanan yang panjang dalam sejarah Islam.
Disebut dalam sejarah bahwa berdirinya Bani Abbasiyah, menjelang
berakhirnya Bani Umayyah I, terjadi bermacam-macam kekacauan yang antara
lain disebabkan:
1 Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam . Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. 1993. hal 49
2 Abu Suud. Islamologi. cet. I, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003. hal. 72.
3 M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam . Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2007. hal. 143.

1. Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada
umumnya.
2. Merendahkan kaum Muslimin yang bukan Bangsa Arab sehingga mereka tidak
diberi kesempatan dalam pemerintahan.
3. Pelanggaran terhadap Ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara
terang-terangan4.
Oleh karena itu, logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan
mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Bani Umayyah. Gerakan ini
menghimpun;
a. Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah;
b. Keturunan Abbas (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman;
c. Keurunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany5.
Mereka memusatkan kegiatannya di Khurasan. Dengan usaha ini, pada tahun
132 H./750 M. tumbanglah Bani Umayyah dengan terbunuhnya Marwan ibn
Muhammad, khalifah terakhir Bani Umaiyah. Atas pembunuhan Marwan,
mulailah berdiri Daulah Abbasiyah dengan diangkatnya khalifah yang pertama,
yaitu Abdullah ibn Muhammad, dengan gelar Abu al-Abbas al-Saffah, pada tahun
132-136 H./750-754 M6.
Abdullah bin Muhammad alias Abul Al-Abbas diumumkan sebagai khalifah
pertama Dinasti Abbasiyah tahun 750 M. Dalam khutbah pelantikan yang
disampaikan di Masjid Kufah, ia menyebut dirinya dengan Al-Saffah (penumpah
darah) yang akhirnya menjadi julukannya. Hal ini sebenarnya menjadi permulaan
yang kurang baik diawal berdirinya dinasti ini, dimana kekuatannya tergantung
kepada pembunuhan yang ia jadikan sebagai kebijaksanaan politiknya7.
Kholifah Bani Abbasiyah berjumlah 37 kholifah yaitu:
1. Abul Abbas as-Shaffah (pendiri)
2. Abu Jafar Al Manshur
3. Abu Abdullah Muhammad Al Mahdi

(749-754 M)
(754-775 M)
(775-785 M)

4 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik . Cet. I; Bogor: Prenada Media,


2003. hal. 47.

5 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik . Cet. I; Bogor: Prenada Media,


2003. hal. 48.

6 Ibid,.
7 Ajid Thohir. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004

4. Abu Muhammad Musa Al Hadi


(785-786 M)
5. Abu Jafar Harun Ar Rasyid
(786-809 M)
6. Abu Musa Muhammad Al Amin
(809-813 M)
7. Abu Jafar Abdullah Al Mamun
(813-833 M)
8. Abu Ishaq Muhammad Al Muthasim (833-842 M)
9. Abu Jafar Harun Al Wasiq
(842- 847 M)
10. Abu Fadl Jafar Al Mutawakkil
(847- 861 M)
11. Abu Jafar Muhammad Al-Muntashir
(861-862 M)
12. Abul Abbas Ahmad Al-Mustain
(862-866 M)
13. Abu Abdullah Muhammad Al-Mutaz (866-869 M)
14. Abu Ishaq Muhammad Al-Muhtadi
(869-870 M)
15. Abul Abbas Ahmad Al-Mutamid
(870-892 M)
16. Abul Abbas Ahmad Al-Mutadid
(892-902 M)
17. Abul Abbas Ahmad Al-Muktafi
(902-905 M)
18. Abul Fadl Jafar Al-Muqtadir
(905-932 M)
19. Abu Mansur Muhammad Al-Qahir
(932-934 M)
20. Abul Abbas Ahmad Ar-Radi
(934-940 M)
21. Abu Ishaq Ibrahim Al-Muttaqi
(940-944 M)
22. Abul Qasim Abdullah Al-Mustaqfi
(944-946 M)
23. Abul Qasim Al-Fadl Al-Muti
(946-974 M)
24. Abul Fadl Abdul Karim At-Thai
(974-991 M)
25. Abul Abbas Ahmad Al-Qadir
(991-1031 M)
26. Abu Jafar Abdullah Al-Qalm
(1031-1075 M)
27. Abul Qasim Abdullah Al-Muqtadi
(1075-1094 M)
28. Abul Abbas Ahmad Al-Mustadzir
(1094-1118 M)
29. Abu Manshur Al-Fadl Al-Mustarsyid
(1118-1135 M)
30. Abu Jafar Al-Mansur Ar-Rasyid
(1135-1136 M)
31. Abu Abdullah Muhammad Al-Muqtafi (1136-1160 M)
32. Abul Mudzafar Al-Mustanjid
(1160-1170 M)
33. Abu Muhammad Al-Hasan Al-Mustadi (1170-1180 M)
34. Abu Al-Abbas Ahmad An-Nasir
(1180-1225 M)
35. Abu Nasr Muhammad Az-Zahir
(1225-1226 M)
36. Abu Jafar Al-Mansur Al-Mustansir
(1226-1242 M)
37. Abu Ahmad Abdullah Al-Mutashim Billah
(1242-1258 M)
Pada masa bangsa Mongol dapat menaklukan Baghdad tahun 656 H/1258
H, ada seorang pangeran keturunan Abbasiyah yang lolos dari pembunuhan dan
meneruskan kekhalifahan dengan gelar khalifah yang hanya berkuasa di bidang
keagamaan di bawah kekuasaan kaum Mamluk di Kairo, Mesir tanpa kekuasaan
duniawi yang bergelar Sultan. Jabatan khalifah yang disandang oleh keturunan
Abbasiyah di Mesir berakhir dengan diambilnya jabatan itu oleh Sultan Salim I
dari Turki Usmani ketika menguasai Mesir pada tahun 1517 M. Dengan demikian,
hilanglah kekhalifahan Abbasiyah untuk selama-lamanya.

Abu Suud dalam bukunya mengemuakakan bahwa pemerintahan Bani


Abbasiyah dibagi ke dalam lima periode, yakni :
a. Periode Pertama (750-847 M)
Pada periode awal pemerintahan Dinasti Abasiyah masih menekankan
pada kebijakan perluasan daerah. Kalau dasar-dasar pemerintahan Bani
Abasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas al-Saffah dan Abu
Jafar al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah
sesudahnya, sejak masa Khalifah al-Mahdi (775-785 M.) hinga Khalifah alWasiq (842-847 M.). Zaman keemasan telah dimulai pada pemerintahan
pengganti Khalifah al-Jafar, dan mencapai puncaknya dimasa pemerintahan
Harun Al-Rasyid. Dimasa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai
jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada
umumnya.
b. Periode Kedua (232 H./847 M. 334H./945M.)
Kebijakan Khalifah al-Mukasim (833-842 M.), untuk memilih anasir Turki
dalam ketentaraan kekhalifahan Abasiyah dilatar belakangi oleh adanya
persaingan antara golongan Arab dan Persia, pada masa al-Makmun dan
sebelumnya.khalifah al-Mutawakkil (842-861 M.) merupakan awal dari
periode ini adalah khalifah yang lemah.
Pemberontakan masih bermunculan dalam periode ini, seperti
pemberontakan Zanj didataran rendah Irak selatan dan Karamitah yang
berpusat di Bahrain. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran
Bani Abbasiyah pada periode ini adalah; Pertama, luasnya wilayah kekuasaan
yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Kedua,
profesionalisasi tentara menyebabkan ketergantungan kepada mereka menjadi
sangat tinggi. Ketiga, kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara
sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot, khalifah tidak sanggup lagi
memaksa pengiriman pajak ke Bagdad.
c. Periode Ketiga (334 H./945 M.-447 H./1055 M.)
Posisi Bani Abasiyah yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi
merupakan ciri utama periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk
ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut
aliran Syiah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang
diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi
kekuasaanya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan
Persia, Hasan menguasi wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah
al-Ahwaz, Wasit, dan Bagdad. Bagdad dalam periode ini tidak sebagai pusat
pemerintahan Islam, karena telah pindah ke Syiraz dimana berkuasa Ali bin
Buwaihi.
d. Periode Keempat (447 H./1055M.-590 H./1199 M.)

Periode keempat ini ditandai oleh kekuasaan Bani Saljuk dalam Daulah
Abbasiyah. Kehadirannya atas naungan khalifah untuk melumpuhkan kekuatan
Bani Buwaihi di Baghdad. Keadaan khalifah memang sudah membaik, paling
tidak karena kewibawannya dalam bidang agama sudah kembali setelah
beberapa lama dikuasai orang-orang Syiah.
e. Periode Kelima (590 H./1199 M.-656 H./1258 M.)
Telah terjadi perubahaan besar-besaran dalam periode ini. Pada periode
ini, Khalifah Bani Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu
dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Bagdad dan
sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan
politiknya, pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menghancurkan
Bagdad tanpa perlawanan pada tahun 656 H./1256 M8.
B. Puncak Kejayaan Dinasti Abbasiyah
Peradaban dan kebudayaan islam tumbuh dan berkembang bahkan mencapai
kejayaan pada masa Abbassiyyah. Hal tersebut dikarenakan Dinasti Abbassiyyah
pada periode ini lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam
dari pada perluasan wilayah. Puncak kejayaan dinasti Abbassiyyah terjadi pada
masa khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809M) dan anaknya Al Mamun (813833M). Ketika Ar Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur, kekayaan
melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga pemberontakan dan luas
wilayahnya mulai dari Afrika Utara hingga ke India. Pada masanya, hidup pula
para Filsuf, pujangga, ahli baca Al quran, dan para Ulama di bidang Agama
didirikan perpustakaan yang di beri nama Baitul Hikmah, di dalamnya orang
dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Kota Bagdad sebagai pusat intelektual terdapat beberapa pusat aktifitas
pengembangan ilmu antara lain Baitul Hikmah. Sebagai ibu kota Bagdad
mencapai puncaknya pada masa Harun Ar-Rasyid walaupun kota tersebut belum
50 tahun di bangun. Kemegahan dan kemakmurn tercermin dalam istana khalifah
yang luasnya sepertiga dari kota Bagdad yang berbentuk bundar dengan di
lengkapi beberapa banguna sayap dan ruang audiensi yang di penuhi berbagai
perlengkapan yang terindah, dengan demikian, dinasti Abbassiyyah dengan
pusatnya di Bagdad sangat maju sebagai pusat kota peradaban dan pusat ilmu
pengetahuan. Beberapa kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan dapat di
sebutka beberapa berikut:
Kontribusi ilmu terlihat pada upaya Harun Al-Rasyid dan putranya AlMakmun ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat peneropong
bintang, perpustakaan terbesar yang di beri nama Baitul Hikmah dan dilengkapi
pula dengan lembaga untuk penerjemahan.
8 Abu Suud, Islamologiy . Cet. I; Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2003. hal.
74-81

1. Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan


Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan Dunia Islam selalu bermuara
pada masjid. Masjid dijadikan centre of edication. Pada Dinasti Abbasiyah
inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi. Lembaga ini kita
kenal dua tingkatan yaitu :
a. Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat
anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta
anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama.
b. Tingkat pedalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi
ke luar daerah atau ke masjid-masjid bahkan ke rumah-rumah gurunya.
c. Corak Gerakan Keilmuan.
Gerakan keilmuan pada Dinasti Abbasiyah lebih bersifat spesifik. Kajian
keilmuan yang kemanfaatannya bersifat keduniaan bertumpu pada ilmu
kedokteran, disamping kajian yang bersifat pada Al-Quran dan Al-Hadis;
sedang astronomi, mantik dan sastra baru dikembangkan dengan
penerjemahan dari Yunani.
2. Kemajuan dalam Bidang Agama
Pada masa Dinasti Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai berkembang
terutama dua metode penafsiran, yaitu tafsir bi al-matsur dan tafsir bi al-rayi.
Dalam bidang hadis, pada zamannya hanya bersifat penyempurnaan,
pembukuan dari catatan dan hafalan para sahabat. Pada zaman ini juga mulai
diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis. Pengklasifikasian itu secara
ketat dikualifikasikan sehingga kita kenal dengan klasifikasi hadis Shahih,
Dhaif, dan Maudhu. Bahkan dikemukakan pula kritik sanad dan matan,
sehingga terlihat jarah dan takdil rawi yang meriwayatkan hadis tersebut.
a) Dalam bidang fiqih, pada masa ini lahir fuqaha legendaris yang kita kenal,
seperti Imam Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam
Syafei (767-820 M) dan Imam Ahmad Ibnu Hambal (780-855 M).
b) Ilmu lughah tumbuh berkembang dengan pesat pula karena bahasa Arab
yang semakin dewasa memerlukan suatu ilmu bahasa yang menyeluruh.
Ilmu bahasa yang dimaksud adalah nahwu, sharaf, maani, bayan, badi,
arudh dan insya. Sebagai kelanjutan dari masa Amawiyah I di Damaskus.
3. Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Kemajuan ilmu teknologi (sains) sesungguhnya telah direkayasa oleh ilmu
Muslim. Kemajuan tersebut adalah sebsgai berikut.
a) Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind kemudian diterjemahkan
oleh Muhammad Ibnu Ibrahim Al-Farazi (777 M). Ia adalah astronom
Muslim pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengukur
ketinggian bintang. Di samping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam
lainnya, seperti Ali ibnu Isa Al-Asturlabi, Al-Farghani, Al-Battani, Umar
Al-Khayyam dan Al-Tusi.

b) Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah ibnu
Rabban Al-Tabari. Pada tahun 850 ia mengarang buku Firdaus Al-Hikmah.
Tokoh lainnya adalah Al-Razi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
c) Ilmu kimia. Bapak ilmu kimia Islam adalah Jabir ibnu Hayyan (721-815
M). Sebenarnya banyak ahli kimia Islam ternama lainnya seperti Al-Razi,
Al-Tuqrai yang hidup pada abad ke-12 M.
d) Sejarah dan geografi. Pada masa Abbasiyah sejarawan ternama abad ke-3
H adalah Ahmad bin Al-Yakubi, Abu Jafar Muhammad bin Jafar bin Jarir
Al-Tabari. Kemudian, ahli ilmu bumi yang masyhur adalah ibnu
Khurdazabah.
4. Perkembangan Politik dan Administrasi
Sejarah telah mengukir bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah, umat Islam
benar-benar berada di puncak kejayaan dan memimpin peradaban dunia saat
itu. Masa pemerintahan ini merupakan golden age dalam perjalanan sejarah
peradaban Islam, terutama pada masa Khalifah Al-Makmun.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah periode I, kebijakan-kebijakan politik
yang dikembangkan antara lain:
a. Memindahkan ibukota negara dari Damaskus ke Bagdad
b. Memusnahkan keturunan Bani Umayyah
c. Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri,
Abbasiyah memberi peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum
mawali.\
d. Menumpas pemberontakan-pemberontakan
e. Menghapus politik kasta9.
5. Bidang Ekonomi
a. Perdagangan dan industri
Segala usaha di tempuh untuk memajukan perdagangan dengan
memudahkan jalan-jalanya, seperti di bangun sumur dan tempat
peristirahatan di jalan-jalan yang dilewati oleh kafilah dagang, dibangun
armada-armada dagang, dan di bangun armada-armada untuk melindungi
pantai negara dari serangan bajak laut. Serta membetuk suatu badan khusus
yang bertugas mengawasi pasaran dagang, mengatur ukuran timbangan,
menentukan harga pasaran (mengatur politik dagang) agar tidak terjadi
penyelewengan.
b. Pertanian dan perkebunan
Kota-kota administratif seperti Basrah, Khufah, Mosul, dan al-Wasit
menjadi pusat usaha-usaha pengembangn pertanian dan rawa-rawa di sekitar
Kuffah di keringkan dan di kembangkan menjadi kawasan pertanian yang
subur. Untuk menggarap daerah-daerah pertanian tersebut di datangkanlah
buruh tani dalam jumlah yang besar dari Afrika Timur guna menciptakan
ekonomi pertanian dan perkebunan yang intensif. Di samping itu usaha
9 Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. hlm 48.

untuk mendorong kaum tani agar lebih intensif di lahkukan beberapa


kebijakan antara lain:
1) Memperlakuhkan ahli zimmah dan nawaly dengan perlakuan yang baik
dan adil, serta menjamin hak milik dan jiwa mereka.
2) Mengambil tindakan yang keras terhadap pejabat yang berlaku kejam
terhadap petanian. Memperluas daerah pertanian dan membangun kanalkanal dan bendungan baik besar maupun kecil, sehingga tidak ada daerah
pertanian yang tidak ada irigasi.
c. Pendapatan Negara
Selain dari sektor perdagangan, pertanian, dan perindustrian, sumber
pendapatan negara juga berasal dari pajak. Pada masa Harun al-Rasyid,
pemasukan pada sektor ini mencapai 272 juta dirham dan 4,5 juta dinar.
Sementara pada masa al-Mutashim, pajak yang berhasil terkumpul
meningkat sebesar 314.271.350 dirham dan 5.102.00 dinar. Pendapatan juga
berasal dari jizyah, zakat, asyur al tijarah, dan kharaj.
d. Sistem Moneter
Sebagai alat tukar, para pelaku ekonomi menggunakan mata uang dinar
(pedanag barat) dan dirham (pedagang timur). Penggunann dua mata uang
ini menurut Azumardi Azra, memiliki dua konsekuensi. Pertama, mata uang
dinar harus di perkenalkan di wilayah-wilayah yang selama ini hanya
mengenal mata unag dirham. Kedua, dengan mengeluarkan banyak mata
uang emas, mengurangi penyimpanan emas batangan atau perhiasan
sekaligus menjamin peredaran uang dengan kebutuhan pasar. Kebijakan di
sektor ini adalah di ciptaknya sistem pembayaran dengan sistem cek agar
memepermudah para kafilah-kailah dagang bertransaksi10.
C. Keruntuhan Dinasti Abbasiyah
Kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah yang menjadi awal
kemunduran dunia Islam terjadi dengan proses kausalitas sebagaimana yang
dialami oleh dinasti sebelumnya. Konflik internal, ketidak mampuan khalifah
dalam mengkonsolidasi wilayah kekuasaannya, budaya hedonis yang melanda
keluarga istana dan sebagainay, disamping itu juga terdapat ancaman dari luar
seperti serbuan tentara salib ke wilayah-wilayah Islam dan serangan tentara
Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Dalam makalah ini penulis akan
membahas sebab-sebab kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah serta
dinamikanya.
Tak ada gading yang tak retak. Mungkin pepatah inilah yang sangat pas
untuk dijadikan cermin atas kejayaan yang digapai bani Abbasiah. Meskipun
Daulah Abbasiyah begitu bercahaya dalam mendulang kesuksesan dalam hampir
segala bidang, namun akhirnya iapun mulai menurun dan akhirnya runtuh.

10 Nur Chamid, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2010. Hlm. 123-135.

Menurut beberapa literatur, ada beberapa sebab keruntuhan daulah Abbasyiah,


yaitu:
1. Faktor Internal
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, faktor-faktor
penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah
terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat
kuat, sehingga benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah
kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri
cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah,
mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan
khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling
berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu
dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan
nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya
sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani
Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada
dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orangorang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani
Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua,
orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah
(kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas
ashabiyah tradisional11.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka
menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula.
Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di
tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah
bangsa non-Arab ('ajam) di dunia Islam.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh
penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan
baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan
tentara. Khalifah Al-Mutashim (218-227 H) yang memberi peluang besar
kepada bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka di
diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan
rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat
yang mereka diami12.
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah,
naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan
11 Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II.
Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000. h.80

siapa yang diangkat jadi Khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas
sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang
Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada
periode ketiga (334-447), dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk,
bangsa Turki pada periode keempat (447-590H)13.
2. Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang Memerdekakan Diri
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa
keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti
Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam
kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, secara riil,
daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur
bersangkutan. Hubungan dengan Khalifah hanya ditandai dengan
pembayaran upeti14.
Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan
pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah
tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di
kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga
para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan
kebudayaan daripada politik dan ekspansi15. Selain itu, penyebab utama
mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya
kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan
oleh bangsa Persia dan Turki16. Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di
pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Dinasti yang
lahir dan memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah
Abbasiyah, di antaranya adalah:
Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H),
Shafariyah di Fars (254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H),
Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai
Baghdad (320-447).

12 Yusuuf al-Isy, Tarikh Ashr Al-Khilafah Al-Abbasiyyah, Terj. Arif


Munandar. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007. h. 102-104
13 Badari yatim , op.cit., h. 50
14 Ibid. Hal 62
15 Ibid,.
16 Yusuuf al-Isy, Tarikh Ashr Al-Khilafah Al-Abbasiyyah, Terj. Arif
Munandar. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007. hal. 137

Yang berbangsa Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di


Turkistan (320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti
Seljuk dan cabang-cabangnya
Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H),
Ayubiyah (564-648 H).
Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 h), Aghlabiyyah
di Tunisia (18-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di
Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H),
Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H),
Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah
di Mesir17.
3. Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan
pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar,
sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat
maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi
setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut
mengalami kemunduran yang drastis18.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara
menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya
pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah
kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian
rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran
membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan
pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat
melakukan korupsi19.
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara
morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah
kekuatan politik dinasti Abbasiyah, faktor ini saling berkaitan dan tak
terpisahkan.
4. Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan

17 Badari yatim ,op. cit., h. 65-66


18 Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin,
(Jakarta: Serambi, 2008), h. 436 dan 618
19 Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jil. 1, Kairo, Lajnah al-Talif wa alNasyr. yang dikutip Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah
islamiayah II. h. 82

Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi


penguasa, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme.
Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda
rasa keimanan para khalifah.
Khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya, beliau juga
memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah
pada tahun 140 H20. Setelah al Manshur wafat digantikan oleh putranya AlMahdi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan
beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta
melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua
itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman
dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana
seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang
menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan
Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung
di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat
(ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran
Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan
dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang
kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya,
memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan.
Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan
orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut 21. Syi'ah pernah berkuasa
di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun.
Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua
dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti
perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu'tazilah, yang dipertajam oleh alMa'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan
menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan
mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah
dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali naik
daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun
pada masa dinasti Seljuk yang menganut paham Asy'ariyyah penyingkiran
20 Ahmad al-Usyairy, Attarikh al-Islami, Terj. Samson Rahman. Jakarta:
Akbar, 2003. h. 224
21 Badari yatim, op.cit., h. 83

golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung


penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya22.
2. Faktor Eksternal
Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan faktor-faktor internal
kemunduran dan kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor
eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
1. Perang Salib
Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan benih permusuhan dan
kebencian orang-orang kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu
bertambah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis
menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orangorang Kristen yang ingin berziarah kesana. Oleh karena itu pada tahun
1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk
melakukan perang suci, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.
Perang salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang atau periode
telah banyak menelan korban dan menguasai beberapa wilaya Islam.
Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil
menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre23.
2. Serangan Mongolia ke Negeri Muslim dan Berakhirnya Dinasti Abbasiyah
Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah.
Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang
kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H).
Sebagai awal penghancuran Bagdad dan Khilafah Islam, orang-orang
Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan
juga menguasai Asia Kecil24. Pada bulan September 1257, Hulagu
mengirimkan ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak
agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan
memberikan jawaban. Maka pada Januari 1258, Hulagu khan
menghancurkan tembok ibukota25. Sementara itu Khalifah al-Mutashim
langsung menyerah dan berangkat ke base pasukan mongolia. Setelah itu
para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka
22 Ibid. Hal 84
23 Ibid. h. 76-79. K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pra Modern. Cet. IV;
Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003. h. 411. Karen Amstrong, Islam
A Short History. New York: Moder Library, 2000. terj. Ira puspito Rini,
Sepintas Sejarah Islam. Yokyakarta: Ikon Teralitera, 2002. h.114
24 Ahmad al-Usyairy, Attarikh al-Islami, terj. Samson Rahman. Jakarta:
Akbar, 2003. h. 258
25 Philip K. Hitti, op. cit., h. 619

semua dieksekusi. Dan Hulagu beserta pasukannya menghancurkan kota


Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari
dengan jumlah korban sekitar dua juta orang26. Dan Dengan terbunuhnya
Khalifah al-Mutashim telah menandai babak akhir dari Dinasti
Abbasiyah27.

26 Ahmad al-Usyairy, op. cit., h. 259


27 https://youchenkymayeli.blogspot.sg/2012/06/kemunduran-dankehancuran-dinasti.html

Daftar Pustaka
Badri Yatim. 1993. Sejarah Peradaban Islam . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Abu Suud. 2003. Islamologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
M. Abdul Karim.2007. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam. Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher.
Musyrifah Sunanto. 2003. Sejarah Islam Klasik . Bogor: Prenada Media.
Ajid Thohir. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Nur Chami.2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
https://youchenkymayeli.blogspot.sg/2012/06/kemunduran-dan-kehancurandinasti.html
Philip K. Hitti. 2008. History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin.
Jakarta: Serambi.
Ira puspito Rini. 2002. Sepintas Sejarah Islam. Yokyakarta: Ikon Teralitera
Ahmad al-Usyairy.2003. Attarikh al-Islami, terj. Samson Rahman. Jakarta: Akbar

Anda mungkin juga menyukai