Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH BAHASA ARAB

Disusun Oleh Meilia Puspita Sari XI.IPA.6

BAB I
KAIDAH-KAIDAH DALAM BAHASA ARAB Pengenalan Fi'il, Isim, Huruf, Dhomir
Fiil (kata kerja) Isim (kata benda) Huruf yang memiliki makna Dhomir (kata ganti)

Fiil ()
Al Filu atau Fiil secara bahasa memiliki makna perbuatan atau kata kerja. Sedangkan menurut istilah dalam ilmu nahwu, fiil adalah kata yang menunjukkan suatu makna yang ada pada zatnya serta terkait dengan waktu. Fiil itu ada tiga: 1. Fiil Madhi () 2. Fiil Mudhori () 3. Fiil Amar () Penjelasan: 1. Fiil Madhi adalah kata kerja untuk masa lampau atau dalam istilah bahasa inggrisnya adalah past tense yang memiliki arti telah melakukan sesuatu. Contohnya: ( telah berdiri) atau (telah duduk).

2. Fiil Mudhari adalah kata kerja yang memiliki arti sedang melakukan sesuatu atau dalam istilah bahasa inggrisnya present continues tense. Contohnya: berdiri) atau (sedang duduk). (sedang

3. Fiil Amar adalah kata kerja untuk perintah. Contohnya ( bangunlah!) atau (duduklah!).

Isim ()
Isim secara bahasa memiliki arti yang dinamakan atau nama atau kata benda. Sedangkan menurut ulama nahwu, isim adalah kata yang menunjukkan suatu makna yang ada pada zatnya akan tetapi tidak berkaitan dengan waktu. Isim itu terbagi-bagi menjadi beberapa jenis yang bisa dikelompokkan sesuai dengan kelompoknya. Karena isim banyak sekali, maka kita tidak membahasnya disini. Akan tetapi, untuk memberi pengertian dasar tentang isim, maka berikut contohnya: artinya Zaid (Isim Alam = nama orang), artinya Jakarta (nama tempat),

artinya ini (kata tunjuk), artinya saya (kata ganti) dan contoh-contoh yang lain.

Huruf yang memiliki arti ( )


Huruf secara bahasa memilki arti huruf seperti yang kita kenal dalam bahasa indonesia ada 26 huruf. Sedangkan dalm bahasa arab kita mengenal ada 28 huruf yang kita kenal dengan huruf hijaiyah. Akan tetapi, huruf yang dimaksud disini bukan setiap huruf hijaiyah melainkan huruf hijaiyah yang memiliki arti seperti (dan) (maka) (dengan) (untuk) (akan) (seperti).

Adapun huruf-huruf seperti Alif, Ta, Tsa, dan yang lain yang tidak memiliki arti maka tidak dapat menyusun suatu kalimat, melainkan hanya menyusun suatu kata saja.

Dhomir (kata ganti)

Dhomir atau kata ganti adalah Isim Ma'rifah yang Mubniy (konstan) yang berfungsi untuk menggantikan atau mewakili penyebutan sesuatu atau seseorang maupun sekelompok benda atau orang. Dhamir dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: MUTAKALLIM ( ) atau pembicara (orang pertama). Terdiri dari Mufrad ( = aku, saya) untuk Mudzakkar maupun Muannats. Mutsanna atau Jamak ( untuk Mudzakkar maupun Muannats. MUKHATHAB ( ) atau lawan bicara (orang kedua). Terdiri dari Mufrad ( untuk Muannats. Mutsanna ( = = kami, kita)

engkau) untuk Mudzakkar dan

= kamu berdua)

untuk Mudzakkar maupun Muannats. Jamak untuk Muannats. GHAIB ( ) atau tidak berada di tempat (orang ketiga). Terdiri dari Mufrad ( untuk Muannats. Mutsanna ( = dia)

untuk Mudzakkar dan

= mereka berdua) untuk untuk

Mudzakkar maupun Muannats. Jamak ( Muannats

= mereka) untuk Mudzakkar dan

Adapun pembagian dhomir terbagi menjadi 3 macam: 1. Dhomir Munfashil ( ) ialah dhomir yang penulisanya dipisah dari isimnya. Dhomir munfashil memiliki 2 macam bentuk: a). Dhomir munfashil yang di-rofa'-kan Contohnya : , , , dan sebagainya.

b). Dhomir munfahil yang di-nashob-kan Contohnya : , dan sebagainya.

2. Dhomir Muttashil ( ) ialah dhomir yang menyatu dengan isimnya. Dhomir Muttashil memiliki 3 macam bentuk: a). Dhomir Muttashil yang di-rofa'-kan

b). Dhomir Muttashil yang di-nashob-kan c). Dhomir Muttashil yang di-jar-kan

3. Dhomir Mustatir ( ) ialah dhomir yang melebur atau dengan kata lain dalam hal fi'il (kata kerja) terdapat dhomir yang mengandung faa'il-nya (subjek) yang telah melebur sehingga faa'il dalam kata tersebut tidak perlu lagi di tulis.
Contoh :

(Uktub) terdapat faa'il anta yang telah melebur. ( Naktubu) terdapat faa'il nahnu yang telah melebur. ( Yaktubu) terdapat faa'il huwa yang telah melebur.

BAB II
Metode Pembelajaran Bahasa Arab
Unsur-unsur Metode Semua pengajaran mengandung sesuatu tentang pilihan (seleksi), sesuatu tentang tahapan (gradasi), sesuatu tentang penyajian (presentasi), dan sesuatu tentang pengulangan (repetisi). Semua yang termasuk dalam pengajaran, apakah itu pengajaran matematika, sejarah, geografi, bahasa dan lain-lain, merupakan unsur-unsur yang dapat dimasukkan dalam metode. Dengan demikian dapat diketahui bahwa setiap metode tertentu akan senantiasa berkaitan dengan ketentuan-ketentuan tentang pilihan materi atau seleksi, gradasi, presentasi, dan repetisi atau latian-latihan dengan pengulangan materi dalam proses pembelajaran. Jadi metode itu merupakan sebuah sistem dari berbagai komponen yang berkaitan. Seleksi materi dalam proses belajar mengajar diperlukan karena tidak mungkin mengajarkan semua cabang ilmu, harus dipilih bagian yang akan diajarkan. Gradasi itu penting sebab sesuatu yang telah diseleksi tak akan dapat diajarkan seluruhnya sekaligus, harus didahulukan sesuatu yang lebih mudah sebelum berpindah kepada yang agak sukar dan lebih sukar. Presentasi juga penting sebab tidak mungkin mengajarkan sesuatu kepada seseorang tanpa berkomunikasi kepada orang tersebut. Repetisi juga sangat peting sebab tidak mudah mengajarkan suatu keterampilan hanya dengan menerangkan sekali saja, atau memberikan contoh sekali saja. Jadi semua metode, apakah itu metode terjemah, gramatika, langsung dan lain-lain untuk mengajarkan bahasa atau metode ceramah untuk mengajarkan tafsir, hadis dan lainlain, sadar atau tidak sadar pasti memerlukan seleksi, gradasi, presentasi dan repetisi. Metode itu sendiri khususnya metode pengajaran bahasa ialah bagaimana cara mengajar dengan materi bahasa. Para pendidik akan memakai materi-materi itu, tetapi mereka tidak menjadi budak dari materi tersebut. Pendidik akan mengadakan perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi kelasnya seperti mengadakan latihanlatihan percakapan. Sebelum seleksi, gradasi, presentasi dan repetisi dilakukan, perlu

diketahui terlebih dulu materi apa yang akan diajarkan, sebab materi bisa mempengaruhi seleksi, gradasi, presentasi dan repetisi. Dalam hal ini materi yang dimaksud adalah bahasa Arab. Oleh karena itu perlu diketahui sifat-sifat bahasa Arab, agar dengan demikian dapat ditentukan metode yang baik, mulai dari penentuan seleksi, penentuan gradasi, penentuan presentasi serta penentuan repetisi materi agar diperoleh keterampilan berbahasa. Pada tahap tertentu akan diperlukan metode khusus untuk materi khusus, misalnya metode mengajarkan tata bahasanya atau metode mengajarkan kosa katanya. Pada tataran ini mesti diperhatikan beberapa ilmu yang diperlukan untuk pendukung ke arah keterampilan berbahasa Arab. Meskipun pada dasarnya yang dipelajari dalam bahasa Arab itu hanya dua, yakni kosa kata dan aturan penggunaannya, tetapi pada kenyataannya banyak ilmu yang berkaitan dengan dua hal tersebut, misalnya ilmu alaswat yang berkaitan dengan bunyi kosa kata, atau ilmu sharaf yang berkaitan dengan perubahan bentuk kosa kata sampai dengan penyusunan kosa kata-kosa kata menjadi suatu kalimat yang komplek. Dalam pembelajaran bahasa akan terasa bahwa unsur repetisi sangat dominan untuk menumbuhkan keterampilan berbahasa. Adapun unsur lainnya merupakan prasyarat yang mengantarkan agar pembelajarannya berlangsung efektif dan efisien. Metode Pembelajaran Kosa Kata Perbaikan sistem pengajaran bahasa Arab dilembaga-lembaga pendidikan formal diawali dengan Kurikulum Tahun 1976. Kurikulum tersebut mengembangkan sistem pengajaran bahasa Arab yang dikenal dengan all in one system. All in one system ini waktu itu merupakan gagasan Menteri Agama R I, Prof. Dr. HA. Mukti Ali. Metode yang digunakan adalah aural-oral approach, sesuai dengan perluasan tujuan pengajaran bahasa Arab, untuk mencapai semua kemahiran berbahasa. Dengan all in one system maka pengajaran didasarkan pada satu kesatuan materi dan bukan pada cabang-cabang materi bahasa Arab yang bermacam-macam. Dengan demikian materi pelajarannya meliputi materi membaca, mengungkapkan, menghafal, menulis, latihan nahwu sharaf, dan sebagainya yang semuanya saling berkaitan. Kelihatan bahwa metode yang

digunakan selalu terkait dengan tujuan pembelajaran bahasa yang masih mengarah pada pencapaian kemahiran atau keterampilan. Dewasa ini dengan berbagai kajian kritis dapat diketahui bahwa pembelajaran bahasa Arab tidak bertujuan untuk empat keterampilan. Keterampilan berbahasa, khususnya bahasa Arab, hanya dua yaitu ketarampilan menyimak atau mendengar dan mengucapkan atau berbicara. Dalam kajian metode pembelajaran bahasa Arab disini dikhususkan untuk pembelajaran kosa kata. Tentu saja metode-metode pembelajaran bahasa Arab secara umum tidak dapat digunakan dengan efektif dan efisien. Materi pembelajaran bahasa Arab secara garis besar ada dua macam yaitu kosa kata dan aturan pemakaian atau gramatikanya. Untuk menguasai kedua materi tersebut berbeda caranya karena berbeda jenisnya. Jenis pertama, yakni kosa kata berupa ucapan yang harus dihafal tanpa harus dipikirkan atau dirasionalisasikan, sedangkan jenis kedua, yakni gramatika merupakan materi pemba-hasan yang tidak cukup hanya dihafal saja tetapi memerlukan pe-mikiran serta aktivitas analogi. Ini semua hanya tinjauan dari masyarakat non-Arab, karena bagi bangsa Arab sendiri materi pembelajaran bahasa Arab tidak perlu dipilah-pilah. Mereka sudah hafal kosa kata, dan cara memakainya juga sudah secara otomatis gramatically. Mereka tidak akan salah seperti kita mengucapkan bahasa kita sendiri sebagai bahasa ibu. Terhadap jenis materi bahasa Arab yang pertama, yakni kosa kata, maka cara mepelajarinya cukup dengan menghafal saja. Menghafal suatu kata tentunya dengan cara mengerti maksudnya. Masalahnya berada dalam cara menghafal dengan mudah dan dapat mempergunakannya dengan mudah pula. Disebutkan bahwa metode yang baik adalah yang menggunakan banyak latihan atau drill, karena bahasa adalah kemampuan (Malakah) yang tidak bisa dicapai hanya dengan kaedah, tetapi dengan latihan dan pengulangan. Kalau semua metode itu mementingkan pengulangan maka semuanya bisa dipakai karena hanya dengan pengulangan maka kosa kata dapat dihafal dan dikuasai untuk dipergunakan baik dalam percakapan maupun dalam tulisan. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa penghafalan kosa kata itu tidak harus menghabiskan waktu, misalnya dengan pengulangan lebih dulu dalam kalimat tanpa

memahami makudnya, kemudian setelah itu diterangkan maksudnya, baik dengan isyarat atau dengan alat peraga atau dengan keterangan berbahasa Arab langsung tanpa terjemahannya. Praktek demikian menghabiskan waktu dan sama sekali tidak cocok bagi orang atau mahasiswa yang sudah dewasa yang tidak memerlukan lagi pengulangan seperti itu. Karena itu metode langsung tidak mesti baik. Bahkan boleh jadi dengan cara menterjemahkan langsung justru bisa dipahami dan dihafal dengan cepat. Terdapat metode yang mendahulukan bercakap-cakap dan membaca. Metode ini amat disukai sebab bahasa yang dipelajari itu sudah boleh digunakan untuk bercakap-cakap dengan sesamanya. Metode demikian sesuai dengan prinsip belajar bahasa, bahwa belajar bahasa hendaknya tidak disibukkan dengan berbagai aturan tata bahasa tetapi cukup ditiru, dipahami dan dipakai dalam percakapan. Metode belajar bahasa secara langsung tanpa terjemahannya disebut sebagai metode langsung atau The Direct Method atau Natural Method atau Oral Method atau Modern Method atau Berlitz Method. Akan tetapi bagaimana bisa langsung bercakap-cakap kalau tidak memiliki kosa kata sama sekali? Karena itu perlu lebih dulu menghafal kosa kata. Kalau dipergunakan metode langsung maka akan memakan waktu lama hanya untuk memahami satu atau dua kata saja. Apa salahnya bila diberikan kosa kata dengan terjemahannya langsung? Kemudian kata yang sudah dihafal itu digabung dengan kata yang lain yang juga sudah dipahami, selanjutnya dipergunakan dengan berulang-ulang dalam percakapan. Dalam memberikan makna atau arti kata tidak harus mempersulit diri, misalnya dengan keterangan langsung tanpa terjemah. Jadi perlu diperhatikan bahwa menerangkan dengan bahasa asalnya yang asing (Arab) itu hanya sekedar untuk motivasi agar murid atau mahasiswa tidak menggunakan bahasa sendiri, sehingga bersungguh-sungguh dalam mempergunakan bahasa Arab. Ini bisa disiasati cukup dengan menunjukkan artinya, kemudian tidak mengucapkannya kecuali dengan bahasa Arab. Dari telaah terhadap berbagai metode, ada beberapa metode yang patut diperhatikan dalam menguasai kosa kata dengan efisien dan efektif. Pertama, Mimmem Method (Mimicry and Memorization Method). Metode ini untuk menghafal. Meskipun

metode ini sering diterapkan dengan penyampaian kalimat utuh lebih dulu tetapi akan lebih baik bila diterapkan dengan penyampaian unsur paling kecil dalam kalimat, yakni kata. Dalam mempraktekkan Mimmem Method ini perlu digabung dengan metode kedua, yakni Language Control Method sehingga perolehan kosa katanya terkontrol mulai dari yang paling mudah dan sederhana sampai dengan yang paling sukar. Penggunaan metode ini akan menjadi benar-benar terkontrol bila diikuti dengan pemanfaatan metode ketiga, yaitu Phonetic Method, di mana metode ini lebih membiasakan pendengaran terhadap kata-kata terpendek dan selanjutnya pada kalimat yang panjang. Penggunaan alat-alat peraga itu bisa disiasati dengan langsung saja diterangkan tanpa harus menghabiskan waktu dan beaya. Sebenarnya sederhana sekali belajar kosa kata dan cara menghafalnya, yakni dengan digabung dengan katakata yang lain agar cepat bisa menggunakan dan teringat terus. Kalau ini dikatakan sebagai metode eklektik maka sebutan itu perlu dibatasi dengan cara mengambil yang efektif dan efisien saja, sehingga tidak mempersulit diri seperti ketika memakai metode langsung dengan mempersiapkan alat peraga yang biasanya terlalu mahal yang ternyata hanya untuk memahami satu kosa kata saja. Adapun metode-metode lainnya itu hanya sekedar untuk mengusir kebosanan. Dalam hal teori mengajarkan bahasa Arab, maka dikenal ada dua, yakni teori kesatuan (Nadhoriyat al-Wihdah) dan teori bagian-bagian (Nadhoriyat al-Furu). Untuk yang pertama sesuai de-ngan teori gestalt yakni memahami secara keseluruhan lebih dulu selanjutnya memahami bagian-bagian terkecil yang perlu dipahami. Kenyataannya dua teori tersebut akan dipakai pada kebutuhan tertentu, tidak bisa dipisahkan dalam arti tidak diperlu-kan salah satunya dalam praktek pembelajaran bahasa Arab. Hal ini mengingat bahwa pada kasus tertentu diperlukan penelaahan untuk bagian-bagian terkecil. Oleh karena itu kedua teori tersebut akan diperlukan pada waktu yang berbeda. Tidak perlu diperdebatkan keunggulan dan kelemahannya karena setiap teori memiliki kelemahan dan juga keunggulan.

BAB III
TOKOH-TOKOH ISLAM
Imam Al- Ghazali
Tempat Kelahiran Imam Al- Ghazali Imam Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad AlGhazali, yang terkenal dengan hujjatul Islam (argumentator islam) karena jasanya yang besar di dalam menjaga islam dari pengaruh ajaran bidah dan aliran rasionalisme yunani. Beliau lahir pada tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M di Ghazalah suatu kota kecil yang terlelak di Thus wilayah Khurasah yang waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan didunia islam. Beliau dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana, ayahnya adalah seorang pengrajin wol sekaligus sebagai pedagang hasil tenunannya, dan taat beragama, mempunyai semangat keagamaan yang tinggi, seperti terlihat pada simpatiknya kepada ulama dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu memberi nasehat kepada umat. Itulah sebabnya, ayahnya sebelum wafat menitipkan anaknya (imam al-Ghazali) dan saudarnya (Ahmad), ketika itu masih kecil dititipkan pada teman ayahnya, seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan bimbingan dan didikan. Meskipun dibesarkan dalam keadaan keluarga yang sederhana tidak menjadikan beliau merasa rendah atau malas, justru beliau semangat dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, dikemudian beliau menjelma menjadi seorang ulama besar dan seorang sufi. Dan diperkirakan imam Ghazali hidup dalam kesederhanaan sebagai seorang sufi sampai usia 15 tahun (450-456)

2. Pendidikan dan Perjalanan Mencari Ilmu Perjalanan imam Ghazali dalam memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya. Kepada ayahnya beliau belajar Al-quran dan dasar-dasar ilmu keagamaan ynag lain, di lanjutkan di Thus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Setelah beliau belajar pada teman ayahnya (seorang ahli tasawuf), ketika beliau tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan keduanya, beliau mengajarkan mereka masuk ke sekolah untuk memperoleh selain ilmu pengetahuan. Beliau

mempelajari pokok islam (al-quran dan sunnah nabi).Diantara kitab-kitab hadist yang beliau pelajari, antara lain : a. Shahih Bukhori, beliau belajar dari Abu Sahl Muhammad bin Abdullah Al Hafshi b. Sunan Abi Daud, beliau belajar dari Al Hakim Abu Al Fath Al Hakimi c. Maulid An Nabi, beliau belajar pada dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Khawani d. Shahih Al Bukhari dan Shahih Al Muslim, beliau belajar dari Abu Al Fatyan Umar Al Ruasai. Begitu pula diantarnya bidang-bidang ilmu yang di kuasai imam al-Ghazli (ushul al din) ushul fiqh, mantiq, flsafat dan tasawuf. Santunan kehidupan sebagaimana lazimnya waktu beliau untuk belajar fiqh pada imam Kharamain, beliau dalam belajar bersungguh-sungguh sampai mahir dalam madzhab, khilaf (perbedaan pendapat), perdebatan, mantik, membaca hikmah dan falsafah, imam Kharamain menyikapinya sebagai lautan yang luas.

Imam Hanbali
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsalabah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Mad bin Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim. Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabiul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H. Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.

Masa Menuntut Ilmu Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafii, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan. Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof dan sebagainya. Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh. Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah. Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy

hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih. Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafii. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafii sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin Uyainah, Ismail bin Ulayyah, Waki bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun dan lainlain. Beliau berkata, Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin Ulayyah.

KESIMPULAN
Maka dapat kita simpulkan bahwa fiil adalah kata kerja, isim adalah kata benda dan setiap kata selain kata kerja, huruf disini adalah setiap huruf hijaiyah yang memiliki arti dan dhomir adalah kata ganti yang berfungsi untuk menggantikan atau mewakili penyebutan sesuatu atau seseorang maupun sekelompok benda atau orang. Berarti setiap kalimat yang tidak berkata sambung, itu artinya terpisah. Kaidah seperti ini mungkin berbeda dengan bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa setiap kalimat atau frasa dianggap bersambung, baik dibantu kata penghubung atau tidak. Lain halnya bila dijeda dengan koma atau titik, itu sudah pasti terpisah.

Anda mungkin juga menyukai