Anda di halaman 1dari 60

Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi

PEMILU (PENTING)

Daftar isi:

• Meminta Jabatan oleh Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsary


• Pemberontakan dengan Lisan Lebih Berbahaya Daripada
Pemberontakan Bersenjata oleh Tim Redaksi Asy Syariah
• Hukum Mayoritas Dalam Syariat Islam Oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin
Sulaimi Al-Atsari
• Siapakah Ahlu Syura? Oleh Tim Redaksi Asy Syariah
• Bolehkah Bergabung dengan Partai Politik? Oleh Tim Redaksi Asy
Syariah
• Mau Kemana Partai Islam? Oleh Tim Redaksi Asy Syariah
• Memaknai Politik Syar’i Oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi
• Demi Suara, Apapun Dilakukan Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip
Syafruddin
• Partai Islam Partai Dakwah? Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
• Demokrasi Adalah Liberalisasi Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
• Kisah Nabi Yusuf dan Meminta Jabatan Oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
• Jangan Berebut Jabatan Bertameng Al-Qur`an Oleh Al-Ustadz Abu
Ubaidah Syafruddin
• Demi Sebuah Kursi Kedudukan Oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar
Meminta Jabatan
oleh Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsary

Meminta jabatan atau mencalonkan diri dalam etika politik merupakan hal
lumrah. Padahal Islam melarang keras perbuatan yang berakar dari budaya Barat
ini. Hadits berikut memberikan penjelasan secara gamblang bagaimana
sesungguhnya Islam memandang sebuah jabatan yang telah menjadi simbol status
sosial ini.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah menasehatkan kepada


Abdurrahman bin Samurah radliallahu 'anhu:

(( ‫  ََُة‬ ِ َْ  ‫َ َْ َ ا‬, ‫َ َر َة‬


ِ‫لا‬
ُ ََْ 
َ . ََِْ ْ‫ََْ َو ِإنْ ُأ‬%َ &
َ ْ'ِ‫ ِإنْ ُأْ ََِْ َْ *َْ ِ َََْ)ٍ ُأ‬+
َ ,-َِ.
ََْ‫& ِإ‬
َ ْ%ِ‫))َْ َََْ)ٍ ُوآ‬
"Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan.
Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh
Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu
karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)."

Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Bukhari dalam Shahih-nya no. 7146 dengan
judul “Siapa yang tidak meminta jabatan, Allah akan menolongnya dalam
menjalankan tugasnya” dan no. 7147 dengan judul “Siapa yang minta jabatan
akan diserahkan kepadanya (dengan tidak mendapat pertolongan dari Allah dalam
menunaikan tugasnya)”. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-
nya no. 1652 yang diberi judul oleh Al-Imam Nawawi “Bab larangan meminta
jabatan dan berambisi untuk mendapatkannya”.
Masih berkaitan dengan permasalahan di atas, juga didapatkan riwayat dari Abu
Dzar Al Ghifari radliallahu 'anhu. Ia berkata: "Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?" Mendengar
permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:

(( ٌ1ِْ2َ3 + َ ,‫ر ِإ‬4 ‫َ َأ َ َذ‬, ٌ)َ,َ‫ َ َأ‬,‫ َو ِإ‬, ٌ)َ‫ََا‬, ‫ْيٌ َو‬7ِ8 ِ)ََِ9ْ‫ َ َ;ْ َم ا‬,‫ َو ِإ‬, َ<9َ=ِ َ‫َ َ?ه‬8‫ َْ َأ‬
‫إ‬, ‫َو َأد ى ا ?ِي‬
َِْ. ِBَْ%َ ))
"Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu
adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan
penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa
yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut." (HR. Muslim no.
1825)
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

((4‫َ َأ َ َذر‬, ًDِْ2َ3 ‫ك‬


َ ‫ َأرَا‬F<,‫ِإ‬, FِْDَ'ِ H
G ِ ‫ َ ُأ‬+
َ َ H
G ِ ‫ ُأ‬F<,‫ َو ِإ‬, Iٍ َِْ ‫ل‬
َ َ 
َ ْ ;َ َ  ‫ و‬
ِ َ'J‫ن ا‬
َ َ َ  ))
"Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah, dan aku menyukai
untukmu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin
dua orang dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim."
(HR. Muslim no. 1826)
Al-Imam Nawawi rahimahullah membawakan kedua hadits Abu Dzar di atas
dalam kitab beliau Riyadlus Shalihin, bab “Larangan meminta jabatan
kepemimpinan dan memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak
pantas untuk memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan”.
Kepemimpinan yang diimpikan dan diperebutkan
Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian
semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah. Mayoritas
orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya jabatan yang
menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) dan kesenangan dunia lainnya.
Sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika
beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radliallahu
'anhu:

(( ‫َ َر ِة‬
ِ ‫ ا‬Kَ%َ ‫ن‬
َ ْ;ُLِ ْ=ََ ْIُM ,‫ِإ‬, )9‫ََاَ) ;م ا‬, ‫ن‬
ُ ْ;ُMََ ‫)) َو‬
"Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan,
padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan." (HR. Bukhari no. 7148)
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk
memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang
lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan
diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai, kekayaan, kemewahan serta
kemegahan.
Wajar kalau kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elit politik atau
'calon pemimpin' di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang
dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau
'sekedar' uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat
berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya. Bahkan yang
ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival
dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang dianggap
sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi
tersebut. Nasalullah as salamah wal `afi`ah.
Berkata Al Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135):
"Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang
mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah,
dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu
semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan
yang besar di permukaan bumi."
Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak akan
mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan adzab. Allah subhanahu
wa ta`ala berfirman:


َ ِ9 ُْ%ِ ُ)َِNَ2ْ‫ََدًا وَا‬. 
َ ‫ض َو‬
ِ ْ‫ر‬P
َ ْ‫ ا‬Fِ. ‫ا‬Q;ُ%ُ ‫ن‬
َ ‫ ُُِو‬
َ 
َ ِ? %ِ َُ%َ2ْRَ, ‫ِ َ ُة‬8Sْ‫ ا ا ُر ا‬+
َ ْ%ِ

"Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir
yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertakwa." (Al-Qashshash: 83)
Al-Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: "Allah ta`ala
mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang
tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya
yang beriman, yang tawadhu` (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di
muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah
yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan
tidak membuat kerusakan di tengah mereka." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/412)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Seseorang yang meminta jabatan
seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai
mereka, memerintahkannya dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini
jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bahagiannya
di akhirat. Oleh karena itu dilarang seseorang untuk meminta jabatan.” (Syarh
Riyadlus Shalihin, 2/469)
Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pimpinan, kemudian berpikir tentang
kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba
Allah dengan kepemimpinan yang kelak bisa ia raih. Kebanyakan mereka justru
sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya,
tak lain hanyalah ucapan yang manis di bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi
pemimpin lah yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekedar
mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka
berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika
belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya
kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya,
mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan
tersebut. Hal ini sesuai dengan pepatah musang berbulu domba. Ini sungguh
merupakan perbuatan yang memudharatkan diri mereka sendiri dan nasib orang-
orang yang dipimpinnya.
Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini,
sehingga Rasullah shallallahu alaihi wasallam menggambarkan kerakusan
terhadap jabatan lebih dari dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah
segerombolan kambing. Beliau bersabda:

(( ِBِ'ِْ ِ ‫ف‬
ِ َ U‫ل َو ا‬
ِ َْ‫ ا‬Kَ%َ ‫ص اَْْ ِء‬
ِ ِْ ِْ ََ َ َْ.َِ Iٍ َ'َ* Fِ. X
َ ِْ‫ن ُأر‬
ِ َ2ِYَZ ‫ن‬
ِ َْYِ‫)) َ ذ‬
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing
lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya disebabkan
ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. Tirmidzi
no. 2482, dishahihkan Syaikh Muqbil dalam Ash Shahihul Musnad, 2/178).

Sifat seorang pemimpin


Di tengah gencarnya para elit politik menambang suara dalam rangka memperoleh
kursi ataupun jabatan, maka layak sekali apabila hadits yang diriwayatkan dari
Abdurrahman bin Samurah dan Abu Dzar di atas dihadapkan kepada mereka,
khususnya lagi pada hadits Abu Dzar yang menyebutkan kriteria yang harus
diperhatikan dan merupakan hal mutlak jika ingin menjadi pemimpin. Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam berkata kepada Abu Dzar radliallahu anhu: "Wahai
Abu Dzar, engkau seorang yang lemah”. Ucapan seperti ini bila disampaikan
secara terang-terangan memang akan memberatkan bagi yang bersangkutan dan
akan membekas di hatinya. Namun amanahlah yang menuntut hal tersebut. Maka
hendaknya dijelaskan kepada orang tersebut mengenai sifat lemah yang melekat
padanya. Namun jika seseorang itu kuat, maka dikatakan padanya ia seorang yang
kuat. Dan sebaliknya, bila ia seorang yang lemah maka dikatakan sebagaimana
adanya. Yang demikian ini merupakan satu nasehat. Dan tidaklah berdosa orang
yang mengucapkan seperti ini bila tujuannya untuk memberikan nasehat bukan
untuk mencela atau mengungkit aib yang bersangkutan.
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Makna ucapan Nabi shallallahu
'alaihi wasallam kepada Abu Dzar adalah beliau melarang Abu Dzar menjadi
seorang pemimpin karena ia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan
membutuhkan seorang yang kuat lagi terpercaya. Kuat dari sisi ia punya
kekuasaan dan perkataan yang didengar/ ditaati, tidak lemah di hadapan manusia.
Karena apabila manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa
kehormatan baginya di sisi mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling
dungu sekalipun, sehingga jadilah ia tidak teranggap sedikitpun. Akan tetapi
apabila seseorang itu kuat, dia dapat menunaikan hak Allah, tidak melampaui
batasan-batasan-Nya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang
hakiki." (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/472).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga menyatakan kepada Abu Dzar bahwa
kepemimpinan itu adalah sebuah amanah. Karena memang kepemimpinan itu
memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah, hal ini dikatakan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah dengan dalil:


ُ َِْ‫ي ا‬
G ;ِ َ9ْ‫ت ا‬
َ َْZَْْ‫ ا‬
ِ َ َ َْ8 ‫ن‬
‫ِإ‬

“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash: 26)
Berkata penguasa Mesir kepada Yusuf alaihis salam:

+
َ ,‫ٌِ َأٌِ ِإ‬Mَ َ'َْ َ ‫اَْ;ْ َم‬

“Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi
lagi dipercaya pada sisi kami.” (Yusuf: 54)
Allah ta`ala menyebutkan sifat Jibril dengan menyatakan:

Iٍ َِ‫ل آ‬
ٍ ;ُ‫ل َر‬
ُ ْ;َ9َ ُB ,‫ِإ‬. ; ُN ‫ذِي‬
ٍ ِMَ ‫ش‬
ِ َْ2ْ‫ ٍة ِ'ْ َ ذِي ا‬. 
ٍ ِ‫ َأ‬I َJ ‫ع‬
ٍ َ ُ

“Sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan
yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan
tinggi di sisi Allah, yang memiliki Arsy, yang ditaati di kalangan malaikat lagi
dipercaya.” (At-Takwir: 19-21)
Beliau rahimahullah berkata: “Amanah itu kembalinya kepada rasa takut pada
Allah, tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut
kepada manusia. Inilah tiga perangai yang Allah tetapkan terhadap setiap orang
yang memutuskan hukuman atas manusia. Allah berfirman:

‫ن‬
َ ‫ُِو‬.َMْ‫ ا‬Iُ ُ‫ ه‬+
َ ِ^َ‫َُو‬. _
ُ ‫لا‬
َ 7َ ْ,‫ْ َِ َأ‬IُMْ=َ ْIَ َْ‫` َو‬
ً ِ%َN ً'ََJ Fَِaِ ‫َُْوا‬Uَ 
َ ‫ن َو‬
ِ ْ;َUْ8‫س وَا‬
َ  '‫َ;ُا ا‬Uْcَ `
َ َ.

“Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tapi takutlah kepada-Ku. Dan
jangan pula kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Siapa yang
tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-
orang kafir.” (Al Maidah: 44) (As-Siyasah Asy-Syar`iyyah, hal. 12-13)
Al-Imam Qurthubi rahimahullah menyebutkan beberapa sifat dari seorang
pemimpin ketika menafsirkan ayat:

‫ل َِْي‬ ُ َ'َ 
َ ‫ل‬
َ َN Fِ ‫ل َوِْ ُذ <ر‬
َ َN ًَ‫س ِإ‬
ِ  '%ِ +
َ ُ%َِZ F<,‫ل ِإ‬
َ َN 
ُ َََ. ‫ت‬
ٍ َِ%َMِ ُBG ‫ َر‬Iَ ِ‫ ِإ َْاه‬Kَ%َْ ‫َوِإ ِذ ا‬

َ ِِ d‫ا‬
“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah
dan larangan), kemudian Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
'Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagi Al-Imam (pemimpin) bagi
seluruh manusia'. Ibrahim berkata: '(Dan saya mohon juga) dari keturunanku'.
Allah berfiman: 'Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dzalim'." (Al-
Baqarah: 124)
Beliau berkata: “Sekelompok ulama mengambil dalil dengan ayat ini untuk
menyatakan seorang Al-Imam (pemimpin) itu harus dari kalangan orang yang
adil, memiliki kebaikan dan keutamaan, juga dengan kekuatan yang dimilikinya
untuk menunaikan tugas kepemimpinan tersebut.” (Al-Jami`li Ahkamil Qur’an,
2/74)
Sebenarnya masih ada beberapa syarat pemimpin yang tidak disebutkan di sini
karena ingin kami ringkas. Mudah-mudahan, pada kesempatan yang lain bisa
kami paparkan.

Nasehat bagi mereka yang sedang berlomba merebut jabatan/ kepemimpinan


Kepemimpinan adalah amanah, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia
tengah memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan
sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat.
Sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam
bidangnya. Karena itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang orang
yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu
mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam juga bersabda:
ُ)َ ‫ِ ِ ا‬dَْ,َ. ُ)َ,َP
َ ‫&ا‬
ِ َ^<ُ3 ‫ِإذَا‬. ‫ لاق‬: ‫َل‬N ‫َََُ؟‬3‫ ِإ‬1
َ َْ‫آ‬: ُ)َ ‫ِ ِ ا‬dَْ,‫َِ َا‬%ْ‫ *َْ ِ َأه‬Kَ‫ْ ُ ِإ‬P
َ ‫ِإذَا ُو< َ ا‬
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada
yang bertanya: 'Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan
amanah?' Beliau menjawab: 'Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya,
maka nantikanlah tibanya hari kiamat".” (HR. Bukhari no. 59)
Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan
berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa radliallahu 'anhu berkata: "Aku dan
dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam. Maka salah seorang dari keduanya berkata: "Angkatlah kami
sebagai pemimpin, wahai Rasulullah". Temannya pun meminta hal yang sama.
Bersabdalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
(( ِBَْ%َ ‫ص‬
َ َ َ َْ  ‫ُ َو‬Bَََ َْ ‫ هَ?َا‬Fّ;َ ُ,  ّ,‫)) ِإ‬
"Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan
tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya." (HR. Bukhari
no. 7149 dan Muslim no. 1733)
Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang yang memangku jabatan
karena permintaannya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada dirinya
sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam kepada Abdurrahman bin Samurah di atas :"Bila
engkau diberikan dengan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh
Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu
karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)."
Siapa yang tidak ditolong maka ia tidak akan mampu. Dan tidak mungkin jabatan
itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap. (Syarah Shahih Muslim, 12/208,
Fathul Bari, 13/133, Nailul Authar, 8/294)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: "Sepantasnya bagi seseorang
tidak meminta jabatan apa pun. Namun bila ia diangkat bukan karena
permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi jangan ia meminta
jabatan tersebut dalam rangka wara' dan kehati-hatiannya dikarenakan jabatan
dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarh Riyadlus Shalihih, 2/470)
Al-Imam Nawawi rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits Abu Dzar:
"Hadits ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan terlebih
lagi bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan
tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh bagi orang yang
menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan kedudukan tersebut atau ia
mungkin pantas namun tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya. Maka
Allah menghinakannya pada hari kiamat, membuka kejelekannya, dan ia akan
menyesal atas kesia-siaan yang dilakukannya. Adapun orang yang pantas menjadi
pemimpin dan dapat berlaku adil, maka akan mendapatkan keutamaan yang besar
sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih seperti hadits: "Ada tujuh
golongan yang Allah lindungi mereka pada hari kiamat, di antaranya Al-Imam
(pemimpin) yang adil". Dan juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang orang-
orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah (pada hari kiamat) berada di atas
mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian pula hadits-hadits lainnya. Kaum
muslimin sepakat akan keutamaan hal ini. Namun bersamaan dengan itu karena
banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam memperingatkan darinya, demikian pula ulama. Beberapa orang yang
shalih dari kalangan pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai pemimpin
dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat penolakan tersebut."
(Syarah Shahih Muslim, 12/210-211)
Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan dengan dalil
permintaan Nabi Yusuf alaihis salam kepada penguasa Mesir:

P
َ ْ‫ ا‬
ِ ِY‫َا‬7َ8 Kَ%َ Fِ'ْ%َ2ْZ‫ٌا‬Iِ%َ ٌhِDَ F<,‫ض ِإ‬
ِ ْ‫ر‬

"Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang


yang pandai menjaga lagi berpengetahuan." (Yusuf: 55)
Maka dijawab, bahwa permintaan beliau alaihis salam ini bukan karena ambisi
beliau untuk memegang jabatan kepemimpinan. Namun semata karena keinginan
beliau untuk memberikan kemanfaatan kepada manusia secara umum sementara
beliau melihat dirinya memiliki kemampuan, kecakapan, amanah dan menjaga
terhadap apa yang tidak mereka ketahui. (Taisir Al-Karimur Rahman, hal. 401)
Al-Imam Syaukani berkata: "Nabi Yusuf alahis salam meminta demikian karena
kepercayaan para Nabi terhadap diri mereka dengan sebab adanya penjagaan dari
Allah terhadap dosa-dosa mereka (ma`shum). Sementara syariat kita yang sudah
kokoh (tsabit) tidak bisa ditentang oleh syariat umat yang terdahulu sebelum kita,
karena mungkin meminta jabatan dalam syariat Nabi Yusuf alaihis salam pada
waktu itu dibolehkan." (Nailul Authar, 8/ 294)
Ketahuilah wahai mereka yang sedang memperebutkan kursi jabatan dan
kepemimpinan, sementara dia bukan orang yang pantas untuk mendudukinya,
kelak pada hari kiamat kedudukan itu nantinya akan menjadi penyesalan karena
ketidakmampuannya dalam menunaikan amanah sebagaimana mestinya. Berkata
Al-Qadli Al-Baidlawi: “Karena itu tidak sepantasnya orang yang berakal,
bergembira dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri dengan
penyesalan dan kerugian.” (Fathul Bari, 13/134)
Faedah hadits
1. Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak boleh diberikan
kepada orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya, dan menempuh
segala cara untuk dapat mendapatkannya
2. Orang yang paling berhak menjadi pemimpin, penguasa, dan memangku
jabatan/ kedudukan adalah orang yang menolak ketika diserahkan kepemimpinan,
jabatan dan kedudukan tersebut dalam keadaan ia benci dan tidak suka dengannya.
3. Kepemimpinan adalah amanah yang besar dan tanggung jawab yang berat.
Maka wajib bagi orang yang menjadi pemimpin untuk memperhatikan hak orang-
orang yang di bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanah
tersebut.
4. Keutamaan dan kemuliaan bagi seseorang yang menjadi pemimpin dan
penguasa apabila memang ia pantas memegang kepemimpinan dan kekuasaan
tersebut, sama saja ia seorang pemimpin negara yang adil, ataukah bendahara
yang terpercaya atau karyawan yang menguasai bidangnya.
5. Ajakan kepada manusia agar jangan berambisi untuk meraih kedudukan
tertentu, khususnya bila ia tidak pantas mendapat kedudukan tersebut.
6. Kerasnya hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan dengan
semestinya, tidak memperhatikan hak orang-orang yang dipimpin dan tidak
melakukan upaya optimal dalam memperbagus urusan kepemimpinannya.
Wallahu ta`ala a`lam bishawwab ***

1) Dan terlebih lagi bila memimpin lebih dari dua orang (Syarh Riyadlus Shalihin,
2/472)

Pemberontakan dengan Lisan Lebih Berbahaya Daripada


Pemberontakan Bersenjata
oleh Tim Redaksi Asy Syariah

Fadhilatusy Syaikh Dr. Shalih As-Sadlan ditanya: “Wahai syaikh, menurut


pemahaman saya, Anda tidak mengkhususkan pemberontakan itu hanya dengan
pedang tetapi termasuk juga pemberontakan yang dilakukan dengan lisan?”

Beliau menjawab:
“Ini pertanyaan penting karena sebagian dari saudara-saudara kita telah
melakukannya dengan niat baik dalam keadaan meyakini bahwa pemberontakan
itu hanya dengan pedang saja. Padahal pada hakekatnya pemberontakan itu tidak
hanya dengan pedang dan kekuatan saja, atau penentangan dengan cara-cara yang
sudah diketahui secara umum. Tetapi pemberontakan yang dilakukan dengan lisan
(ucapan) justru lebih dahsyat dari pemberontakan dengan senjata karena
pemberontakan dengan pedang dan kekerasan justru dilahirkan dari
pemberontakan dengan lisan.
Maka kita ucapkan kepada mereka saudara-saudara kita yang terbawa oleh emosi
yang kami berprasangka baik kepada mereka bahwa mereka berniat baik -
Insyaallah Ta’ala- agar mereka menenangkan dirinya. Dan kami katakan kepada
mereka: tenang dan sabarlah, karena kekerasan dan kebencian kalian akan
membawa dampak yang jelek pada hati. Kemudian hati tersebut akan melahirkan
emosi yang tidak kenal kecuali kekerasan dan pemberontakan. Di samping itu
juga akan membuka pintu bagi orang-orang yang memiliki kepentingan untuk
mengucapkan apa yang dikehendaki oleh hawa nafsunya apakah hak ataupun
batil.
Tidak diragukan lagi bahwa memberontak dengan lisan, atau dengan
menggunakan pena dan tulisan, dengan penyebaran kaset-kaset, tabligh akbar,
maupun ceramah-ceramah umum dengan cara membakar emosi massa, serta tidak
dengan cara yang syar’i, maka saya yakin bahwa ini adalah dasar (pemicu)
lahirnya pemberontakan dengan senjata.
Saya memperingatkan dari perbuatan seperti ini dengan sekeras-kerasnya
peringatan, dan saya katakan kepada mereka: “Kalian harus melihat dan
mempertimbangkan apa hasilnya? Dan hendaklah melihat kepada pengalaman
orang yang telah melakukan sebelumnya dalam masalah ini!” Hendaklah mereka
melihat kepada fitnah-fitnah yang dialami oleh sebagian masyarakat Islam, apakah
sebabnya? Apakah langkah pertama sehingga mereka sampai kepada keadaan
yang seperti ini. Jika kita telah mengetahui yang demikian maka akan kita ketahui
bahwa memberontak dengan ucapan lisan dan menggunakan media massa untuk
membangkitkan kebencian, membakar emosi, dan kekerasan akan melahirkan
fitnah dalam hati.” (lihat ‘Ulama Su’udiyyah Yu’akkiduna ‘Alal Jama’ah Wa
Wujubus Sam’i Wath Tha’ah Li Wulatil Amri, hal. 5-6)

Hukum Mayoritas Dalam Syariat Islam


Oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari

Telah menjadi sunnatullah kalau kebanyakan manusia merupakan para penentang


kebenaran. Maka menjadi ironi, ketika kebenaran kemudian diukur dengan suara
mayoritas.

Apa Itu Hukum Mayoritas ?


Yang dimaksud dengan hukum mayoritas dalam pembahasan ini adalah suatu
ketetapan hukum di mana jumlah mayoritas merupakan patokan kebenaran dan suara
terbanyak merupakan keputusan yang harus diikuti, walaupun ternyata bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah .
Sejauh manakah keabsahan hukum mayoritas ini? Untuk mengetahui jawabannya,
perlu ditelusuri terlebih dahulu oknumnya (pengusungnya), yang dalam hal ini adalah
manusia, baik tentang hakekat jati dirinya, sikapnya terhadap para rasul, atau pun
keadaan mayoritas dari mereka, menurut kacamata syari’at. Karena dengan diketahui
keadaan oknum mayoritas, maka akan diketahui pula sejauh mana keabsahan hukum
tersebut.

Hakekat Jati Diri Manusia


Manusia adalah satu-satunya makhluk Allah yang menyatakan diri siap memikul
“amanat berat” yang tidak mampu dilakukan oleh makhluk-makhluk besar seperti
langit, bumi dan gunung-gunung. Padahal makhluk yang bernama manusia ini berjati
diri dzalum (amat zhalim) dan jahul (amat bodoh). Allah berfirman:
 ‫ن‬َ َ‫ُ آ‬B ,‫ن ِإ‬
ُ َْ, ِ ْ‫ََ ا‬%ََ ‫ ِ'َْ َو‬ َ ْ9َDْk‫ْ'ََ َوَأ‬%ِْ=َ ْ‫ َأن‬ َ َْ ََ. ‫ل‬ ِ َِRْ‫ض َوا‬
ِ ْ‫ر‬P َ ْ‫ت َوا‬
ِ ‫ ا َوَا‬Kَ%َ َ)َ,َP
َ ْ‫ْ'َ ا‬3َ َ  ,‫ِإ‬
َl ً ْ;َُZ ًْ;ُ%
“Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu
amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzaab: 72)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: ”Allah Ta’ala
mengangkat permasalahan amanat yang Dia amanatkan kepada para mukallafiin,
yaitu amanat menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang
diharamkan, baik dalam keadaan tampak maupun tidak tampak. Dia tawarkan amanat
itu kepada makhluk-makhluk besar; langit, bumi dan gunung-gunung sebagai tawaran
pilihan bukan keharusan, ”Bila engkau menjalankan dan melaksanakannya niscaya
bagimu pahala, dan bila tidak, niscaya kamu akan dihukum.” Maka makhluk-makhluk
itu pun enggan untuk memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya, bukan
karena menentang Rabb mereka dan bukan pula karena tidak butuh terhadap pahala-
Nya. Kemudian Allah tawarkan kepada manusia, maka ia pun siap menerima amanat
itu dan siap memikulnya dengan segala kedzaliman dan kebodohan yang ada pada
dirinya, maka amanat berat itu pun akhirnya dipikul olehnya” (Taisiirul Kariimir
Rahman, hal. 620)
Allah  Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Maha Kuasa lagi Maha
Bijaksana tidaklah membiarkan manusia mengarungi kehidupan dengan memikul
amanat berat tanpa bimbingan Ilahi. Maka Dia pun mengutus para rasul sebagai
pembimbing mereka dan menurunkan Kitab Suci agar berpegang teguh dengannya
dan mengambil petunjuk darinya. Allah berfirman:
ِnِْ9ِْ ‫س‬
ُ  '‫ُ;ْ َم ا‬9َِ ‫ن‬
َ ‫َا‬7ِْْ‫ب َوا‬
َ َِMْ‫ ا‬Iُ َُ2َ َ'ْ7َ ْ,‫ت َوَأ‬
ِ َ'<َِْ َ'َ%ُ‫ْ'َ ُر‬%َْ‫َْ َأر‬9َ
“Sungguh Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang
nyata, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab Suci dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Al-Hadiid: 25)

Sikap Manusia Terhadap Para Rasul yang Membimbing Mereka


Namun, demikianlah umat manusia… para rasul yang membimbing mereka itu justru
ditentang, didustakan dan dihinakan.
Allah berfirman:
‫ب‬
ِ َ9ِ2ْ‫َ ِْ ُ ا‬k ‫ي‬
p ;ِ َN ُB ,‫ ا_ ِإ‬Iُ ُ‫َ َ?ه‬8ََ. ‫َ ُوْا‬DَMَ. ‫ت‬
ِ َ'<َِْ ْIُُ%ُ‫ْ ُر‬Iَِِْْ ْ&َ,َ‫ْ آ‬Iُ ,َِ +
َ ِ‫ذ‬

“Yang demikian itu dikarenakan telah datang para rasul kepada mereka dengan
membawa bukti-bukti nyata, lalu mereka kafir (menentang para rasul tersebut), maka
Allah mengadzab mereka. Sesungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Dahsyat
hukuman-Nya.”
(Al-Mukmin: 22)

ِ ِْ'ُْ‫ب ا‬
ِ َِMْ‫ ُ ِ وَا‬7G ‫ت وَا‬
ِ َ'َِّْ ‫َءُوْا‬Z +
َ ِ%َْN ِْ ٌXُ‫ب ُر‬
َ ْ?ّ ُ‫َْ آ‬9َ. ‫ك‬
َ ْ;ُ ? َ‫نْ آ‬-َِ.

“Jika mereka mendustakan kamu (Muhammad), maka sesungguhnya para rasul


sebelummu pun telah didustakan (pula), mereka membawa mukjizat-mukjizat yang
nyata, Zabur dan Kitab yang memberi penjelasan yang sempurna." (Ali Imran: 184)
ْ;َN ْIَُ%َْN ْ&َ ? َ‫ آ‬q
َ=ْ‫ِ ا‬Bِ ‫ُ;ْا‬rِ ُِْ X
ِ ِsَِْ ‫َ َدُ;ْا‬Z‫ َو‬tُ ْ‫ُ ُ?و‬8َِْ ْIِِ ْ;َُ ِ ٍ) ‫ ُأ‬X
G ُ‫ْ َوهَ &ْ آ‬Iِ‫ْ ِه‬2َ ِْ ‫ب‬
ُ ‫َا‬7ْ َPْ‫ح َوا‬
ٍ ْ;ُ, ‫ُم‬
‫ب‬ِ َ9ِ ‫ن‬ َ َ‫ آ‬1
َ َْMَ. ْIُُْ?َ8ََ.

“Sebelum mereka, kaum Nuh dan golongan-golongan yang bersekutu sesudah mereka
telah mendustakan (rasul), dan tiap-tiap umat telah merencanakan makar terhadap
rasul mereka untuk menawannya, dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil
untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu, oleh karena itu Aku adzab
mereka. Maka betapa (pedihnya) adzab-Ku.” (Al-Mukmin: 5)

‫ن‬
َ ْ‫ ُءو‬7ِ ََْْ ِBِ ‫ُ;ْا‬,َ‫ْ َ آ‬Iُْ'ِ ‫ِ ُوْا‬cَ 
َ ْ?ِ ِ ‫ق‬
َ َ=َ. +
َ ِ%َْN ِْ X
ٍ ُُ ِ ‫ِى َء‬7ُْْ‫َ ِ ا‬9َ‫ َو‬

“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah
kepada orang yang mencemoohkan para rasul itu adzab atas apa yang selalu mereka
perolok-olokkan.” (Al-Anbiyaa’: 41)

Bagaimanakah Keadaan Mayoritas Dari Mereka ?


Bila kita merujuk kepada Al-Qur’anul Karim, maka kita akan dapati bahwa keadaan
mayoritas umat manusia adalah:
1. Tidak beriman
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
‫ن‬
َ ْ;ُ'ِْvُ 
َ ‫س‬
ِ  '‫َ َ ا‬wْ‫ َأآ‬
ِMَ‫ و‬+
َ < ‫ ِْ َر‬q
G َ=ْ‫ُ ا‬B ,‫ِإ‬

“Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi mayoritas manusia


tidak beriman.” (Huud: 17)

2. Tidak bersyukur
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
َ _‫ن ا‬
‫نِإ‬
َ ْ‫ُ ُو‬MْUَ 
َ ‫س‬
ِ  '‫َ َ ا‬wْ‫ َأآ‬
ِMَ‫س و‬
ٍ  '‫ ا‬Kَ%َ X
ٍ ْrَ. ْ‫ ُ?و‬
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi mayoritas
manusia tidak bersyukur.” (Al-Baqarah: 243)

3. Benci kepada kebenaran


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
َ‫ن‬ َ ْ;ُ‫ آَ ِره‬q
< َ=ْ%ِ ْIُ‫َ َآ‬wْ‫ َأآ‬ ِMَ‫ و‬q < َ=ِْ ْIُ‫ِ^ْ'َآ‬Z َْ9
“Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kalian, tetapi
mayoritas dari kalian membenci kebenaran itu.” (Az-Zukhruf: 78)
4. Fasiq (keluar dari ketaatan)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
‫ن‬ َ ْ;ُ9َِDَ ‫س‬ِ َّ'‫ ا‬ َ ِ ‫ًِْا‬wَ‫ن آ‬ ‫ َوِإ‬
“Dan sesungguhnya mayoritas manusia adalah orang-orang yang fasiq.”
(Al-Maidah: 49)
5. Lalai dari ayat-ayat Allah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
 '‫ ا‬
َ ِ ‫ًِْا‬wَ‫ن آ‬
‫ن َوِإ‬
َ ْ;ُ%ِ.َxَ َ'ِ‫س َْ ءَا‬ ِ 
“Dan sesungguhnya mayoritas dari manusia benar-benar lalai dari ayat-ayat Kami.”
(Yunus: 92)
6. Menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu mereka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
َِ ‫ن‬ َ ْ;G%ِrُ  ‫ًِْا‬wَ‫ن آ‬ ‫ َوِإ‬Iٍ ْ%ِ ِ َْxِ ْIِِY‫هْ;َا‬
“Sesungguhnya mayoritas (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang
lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu.” (Al-An’aam: 119)
7. Tidak mengetahui agama yang lurus.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ْ< ‫ ا‬+
َ ِ‫َُ;ْنَذ‬%ْ2َ 
َ ‫س‬ ِ  '‫َ َ ا‬wْ‫ َأآ‬ ِMَ‫ و‬Iُ <َ9‫ ا‬ ُ
“Itulah agama yang lurus, tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (Yusuf: 40)
8. Mengikuti persangkaan belaka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ْIُ‫ َوِإنْ ه‬ d‫ ا‬ ‫ن ِإ‬َ ْ;ُ2ِ َ ْ‫ن ِإن‬
َ ْ;ُLُ ْcَ  ‫ِإ‬
“Mereka (mayoritas manusia) tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan
mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’aam: 116)
9. Penghuni Jahannam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
َ,ْ‫َْ َذ َرأ‬9َ‫ َو‬y
ِ ْ,
ِ ْ‫ َوا‬ < ِRْ‫ ا‬ َ ِ ‫ًِْا‬wَ‫ آ‬Iَ 'ََRِ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Jahannam mayoritas dari jin dan
manusia.” (Al-A’raaf: 179)

Refleksi terhadap Hukum Mayoritas


Dari apa yang telah lalu, akhirnya kita pun mengetahui bahwa ternyata oknum
mayoritas tersebut (manusia) berjati diri amat dzalim dan amat bodoh,
penentangannya terhadap para rasul yang membimbing mereka luar biasa, demikian
pula mayoritas dari mereka tidak beriman, tidak bersyukur, benci kepada kebenaran,
keluar dari ketaatan, lalai dari ayat-ayat Allah , menyesatkan orang lain dengan
hawa nafsu dan tanpa ilmu, tidak mengetahui agama yang lurus, mengikuti
persangkaan belaka, dan penghuni Jahannam.
Demikianlah kacamata syari’at memandang oknum mayoritas. Bila demikian
kenyataannya, lalu bagaimana dengan hukum mayoritas itu sendiri???
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menggolongkan hukum mayoritas ini ke
dalam kaidah-kaidah yang dipegangi oleh orang-orang jahiliyyah, bahkan termasuk
kaidah terbesar yang mereka punyai. Beliau berkata: “Sesungguhnya di antara kaidah
terbesar mereka adalah berpegang dan terbuai dengan jumlah mayoritas, mereka
menilai suatu kebenaran dengannya dan menilai suatu kebatilan dengan
kelangkaannya dan dengan sedikitnya orang yang melakukan..(Kitab Masail Al-
ahiliyyah, masalah ke-5).
Asy-yaikh Shalih bin Fauzan Al-auzan berkata: “Di antara masalah jahiliyyah adalah;
bahwa mereka menilai suatu kebenaran dengan jumlah mayoritas, dan menilai suatu
kesalahan dengan jumlah minoritas, sehingga sesuatu yang diikuti oleh kebanyakan
orang berarti benar, sedangkan yang diikuti oleh segelintir orang berarti salah. Inilah
patokan yang ada pada diri mereka di dalam menilai yang benar dan yang salah.
Padahal patokan ini tidak benar, karena Allah Jalla wa ‘Alaa berfirman:
‫ن‬
َ ْ;ُLُ ْcَ  ‫ ِإ‬Iُ‫ َوِإنْ ه‬ d‫ ا‬ ‫ن ِإ‬َ ْ;ُ2ِ َ ْ‫ ا_ إِن‬X
ِ َِْ َْ ‫ك‬ َ ْ;G%ِrُ ‫ض‬
ِ ْ‫ر‬P
َ ْ‫ ا‬Fِ. ََْ َwْ‫ْ َأآ‬zِ ُ ْ‫ َوِإن‬
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah  )."
(Al-An’aam: 116)
Dia juga berfirman:
‫ن‬َ ْ;َُ%ْ2َ َ ‫س‬ ِ  '‫َ َ ا‬wْ‫ َأآ‬ ِMَ‫و‬
“Tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (Al-A’raaf: 187)
‫ن‬ َ ْ;ُ9َِDَ ْIُ‫َ َه‬wْ‫َ َأآ‬,َْZ‫ْ ِْ َْ ٍ َوِإنْ َو‬Iِ‫َ ِه‬wْ‫ آ‬Pَ ِ َ,َْZ‫ َوَ َو‬
“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami
mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik.” (Al-A’raaf: 102) Dan lain
sebagainya.” (Syarh Masail Al-Jahiliyyah, hal. 60).
Bila demikian hakekat permasalahannya, maka betapa ironisnya pernyataan para
budak demokrasi bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Suatu pernyataan sesat
yang memposisikan suara rakyat (mayoritas) pada tingkat tertinggi yang tak akan
pernah salah bak suara Tuhan. Mau dikemanakan firman-firman Allah di atas?! Yang
lebih tragis lagi, orang-orang yang mengkampanyekan diri sebagai “partai islam”…..,
siang dan malam berteriak “tegakkan syari’at Islam!!”, namun sejak awal
kampanyenya yang dibidik adalah suara terbanyak, tak mau tahu suara siapakah itu.
Dan ketika duduk di kursi dewan, teriakannya pun hanya sampai pada kata
“tegakkan” sedangkan kata “syari’at Islam” tak lagi terdengar. Jangankan
menegakkan syari’at Islam, menampakkan syiar Islam pada dirinya saja masih harus
mempertimbangkan sekian banyak pertimbangan.
Terlebih lagi tatkala rapat dan sidang digelar, hasilnya pun berujung pada suara
terbanyak. Tak mau tahu, suara siapakah itu….. tak mau peduli, apakah sesuai dengan
syariat Islam ataukah justru menguburnya….. tak mau pusing, apakah
menguntungkan umat Islam ataukah justru menelantarkannya. Dan ketika hasil sidang
tersebut diprotes karena tak selaras dengan syari’at Islam, maka dia pun orang yang
pertama kali berkomentar bahwa ini adalah suara mayoritas anggota dewan….., kita
harus mempunyai sikap toleransi yang tinggi….., kita harus menjunjung tinggi
demokrasi, dan lain sebagainya. Padahal kalau dia belum duduk di kursi dewan,
barangkali dialah orang pertama yang menggelar demo1 dengan berbagai macam
atribut dan spanduknya. Wallahul Musta’an.
Demikianlah bila hukum mayoritas dikultuskan. Kesudahannya, akan semakin jauh
dari hukum Allah, akan semakin buta tentang syari’at Islam, bahkan akan menjadi
penentang terhadap hukum Allah dan syari’at-Nya.
Para pembaca yang dirahmati Allah….. sesungguhnya masih ada fenomena lain yang
perlu untuk direfleksi, yaitu dijadikannya hukum mayoritas sebagai tolak ukur suatu
dakwah. Apabila seorang da’i mempunyai banyak pengikut, ceramahnya diputar di
seluruh radio nusantara dan akhirnya bergelar “da’i sejuta umat” maka dakwahnya
pun pasti benar. Sebaliknya bila seorang da’i pengikutnya hanya sedikit, maka
dakwahnya pun dicurigai, bahkan terkadang divonis sesat. Padahal Allah telah
berfirman tentang Nabi Nuh :
ٌXِْ%َN 
‫ُ ِإ‬Bَ2َ 
َ َ‫ َوَءَا‬
“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit.” (Huud: 40)
Rasulullah  bersabda:
Iُ َPُ ْ‫ ا‬F َ%َ ْ&َ3ِ ُ, ُnْ‫ُ ا ه‬Bَ2َ‫ َو‬F
ِ '‫& ا‬
ُ ْ‫َ ََأ‬., '‫نوَا‬
ِ`
َ ُZ ‫ وَا‬X
ُ ُZ ‫ُ ا‬Bَ2َ‫ و‬F
ِ, ٌَ ‫ُ َأ‬Bَ2َ y
َ َْ‫ َو‬F
ِ '‫ وَا‬.....
“Telah ditampakkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat seorang nabi
bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi bersamanya satu atau dua orang, dan
seorang nabi tidak ada seorang pun yang bersamanya….” (HR. Al Bukhari no: 5705,
5752, dan Muslim no:220, dari hadits Abdullah bin Abbas).
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alus Syaikh berkata: “Dalam hadits ini terdapat
bantahan bagi orang yang berdalih dengan hukum mayoritas dan beranggapan bahwa
kebenaran itu selalu bersama mereka. Tidaklah demikian adanya, bahkan yang
semestinya adalah mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah bersama siapa saja dan di
mana saja”.
(Taisir Al-‘Azizil Hamid, hal.106).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Tidak boleh tertipu dengan
jumlah mayoritas, karena jumlah mayoritas terkadang di atas kesesatan, Allah
berfirman:
‫إ‬ِ Iُ‫ َوِإنْ ه‬ d‫ ا‬
‫ن ِإ‬
َ ْ;ُ2ِ َ ْ‫ ا_ ِإن‬X ِ َِْ َْ ‫ك‬ َ ْ;G%ِrُ ‫ض‬ِ ْ‫ر‬P
َ ْ‫ ا‬Fِ. ََْ َwْ‫ْ َأآ‬zِ ُ ْ‫ن َوِإن‬
َ ْ;ُLُ ْcَ 

“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah ).”
(Al-An’aam: 116)
Jika kita melihat bahwa mayoritas penduduk bumi berada dalam kesesatan, maka
janganlah tertipu dengan mereka. Jangan pula engkau katakan: “Sesungguhnya orang-
orang melakukan demikian, mengapa aku eksklusif tidak sama dengan mereka?” (Al-
Qaulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid, Juz 1 hal. 106)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Maka tolak ukurnya bukanlah
banyaknya pengikut suatu madzhab atau perkataan, namun tolak ukurnya adalah
benar ataukah batil. Selama ia benar walaupun yang mengikutinya hanya sedikit atau
bahkan tidak ada yang mengikutinya, maka itulah yang harus dipegang (diikuti),
karena ia adalah keselamatan. Dan selamanya sesuatu yang batil tidaklah terdukung
(menjadi benar-pen) dikarenakan banyaknya orang yang mengikutinya. Inilah tolak
ukur yang harus selalu dipegangi oleh setiap muslim.” Beliau juga berkata: “Maka
tolak ukurnya bukanlah banyak (mayoritas) atau pun sedikit (minoritas), bahkan tolak
ukurnya adalah al haq (kebenaran), barangsiapa di atas kebenaran- walaupun
sendirian- maka ia benar dan wajib diikuti, dan jika mayoritas (manusia) berada di
atas kebatilan maka wajib ditolak dan tidak boleh tertipu dengannya. Jadi tolak
ukurnya adalah kebenaran, oleh karena itu para ulama berkata: “Kebenaran tidaklah
dinilai dengan orang, namun oranglah yang dinilai dengan kebenaran. Barangsiapa di
atas kebenaran maka ia wajib diikuti”. (Syarh Masail Al-Jahiliyyah, hal.61)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alus Syaikh berkata: “Hendaknya seorang
muslim berhati-hati agar tidak tertipu dengan jumlah mayoritas, karena telah banyak
orang-orang yang tertipu (dengannya), bahkan orang-orang yang mengaku berilmu
sekalipun. Mereka berkeyakinan di dalam beragama sebagaimana yang diyakini oleh
orang-orang bodoh lagi sesat (mengikuti mayoritas manusia -pen) dan tidak mau
melihat kepada apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya”. (Qurratu Uyunil
Muwahhidin, dinukil dari ta’liq Kitab Fathul Majid, hal. 83, no. 1)
Bagaimanakah jika mayoritas berada di atas kebenaran?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Ya, jika mayoritas manusia
berada di atas kebenaran, maka ini sesuatu yang baik. Akan tetapi sunnatulloh
menunjukkan bahwa mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan.
 َ ِْ'ِْvُِ &َ ْLَ َ ْ;َ‫س َو‬ ِ  '‫َ ُ ا‬wْ‫َوَ َأآ‬
“Dan mayoritas manusia tidak akan beriman, walaupun kamu (Muhammad) sangat
menginginkannya” (Yusuf: 103)
_ ِ ‫ا‬X ِ َِْ َْ ‫ك‬َ ْ;G%ِrُ ‫ض‬ِ ْ‫ر‬P َ ْ‫ ا‬Fِ. ََْ َwْ‫ْ َأآ‬zِ ُ ْ‫َوِإن‬
“Dan jika engkau menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah”. (Al-An’aam: 116).” (Syarh
Masail Al-Jahiliyyah, hal.62).

Penutup
Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya
hukum mayoritas bukan dari syari’at Islam, sehingga ia tidak bisa dijadikan sebagai
tolak ukur suatu dakwah, manhaj dan perkataan. Tolak ukur yang hakiki adalah
kebenaran yang dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman As-
Salafus-Shalih.
Atas dasar ini maka sistem demokrasi yang menuhankan suara mayoritas adalah batil.
Demikian pula sikap mengukur benar atau tidaknya suatu dakwah, manhaj dan
perkataan dengan hukum mayoritas, merupakan perbuatan batil dan bukan dari
syari’at Islam.
Wallahu A’lam Bish Shawab.

Siapakah Ahlu Syura?


Oleh Tim Redaksi Asy Syariah

Dalam demokrasi, orang mengenal istilah one man one vote. Dengan satu orang
satu suara, maka tak ada lagi istilah muslim atau kafir, ulama atau juhala, ahli
maksiat atau orang shalih, dan seterusnya. Semua suara bernilai sama di hadapan
‘hukum’. Walhasil, keputusan yang terbaik adalah keputusan yang diperoleh
dengan suara mayoritas. Lalu bagaimana dengan sistem Islam? Siapakah yang
patut didengar suaranya?

Dalam ketatanegaraan Islam, dikenal istilah 'ahli syura'. Posisinya yang sangat
penting membuat keberadaannya tidak mungkin dipisahkan dengan struktur
ketatanegaraan. Karena bagaimanapun bagusnya seorang pemimpin, ia tetap tidak
akan pernah lepas dari kelemahan, kelalaian, atau ketidaktahuan dalam beberapa
hal. Sampai-sampai Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam pun
diperintahkan untuk melakukan syura. Apalagi selain beliau tentunya. Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa'di rahimahullah mengatakan: "Jika Allah mengatakan kepada
Rasul-Nya -padahal beliau adalah orang yang paling sempurna akalnya, paling
banyak ilmunya, dan paling bagus idenya- 'Maka bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu', maka bagaimana dengan yang selain beliau?" (Taisir
Al-Karimirrahman, hal. 154)
Kata asy-syura (‫ُ;ْرَى‬U‫ )ا‬adalah ungkapan lain dari kata musyawarah (ٌ‫َ َو َرة‬Uُ) atau
masyurah (ٌ‫ُ;ْ َرة‬Uَ) yang dalam bahasa kita juga dikenal dengan musyawarah,
sehingga ahli syura adalah orang-orang yang dipercaya untuk diajak
bermusyawarah.

Disyariatkannya Syura
Allah ta'ala berfirman:
ِ ْP َ ْ‫ ا‬Fِ. ْIُ‫َ ِورْه‬k‫َو‬
"Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." (Ali Imran: 159)
Juga Allah memuji kaum mukminin dengan firman-Nya:
ْ;ُ9ِDْ'ُ ْIُ‫ْ'َه‬N‫ْ َوِ  َر َز‬Iَُ'َْ ‫ُ;ْرَى‬k ْIُ‫ن َوَأْ ُه‬
َ
"Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah dan mereka menafkahkan
sebagian yang kami rizkikan kepada mereka." (Asy-Syura: 38)
Kedua ayat yang mulia itu menunjukkan tentang disyariatkannya bermusyawarah.
Ditambah lagi dengan praktek Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang sering
melakukannya dengan para shahabatnya seperti dalam masalah tawanan perang
Badr, kepergian menuju Uhud untuk menghadapi kaum musyrikin, menanggapi
tuduhan orang-orang munafiq yang menuduh 'Aisyah berzina, dan lain-lain.
Demikian pula para shahabat beliau berjalan di atas jalan ini. (lihat Shahih Al-
Bukhari, 13/339 dengan Fathul Bari)
Ibnu Hajar berkata: "Para ulama berselisih dalam hukum wajibnya." (Fathul Bari,
13/341)

Pentingnya Syura
Syura teramat penting keberadaannya sehingga para ulama, di antaranya Al-
Qurthubi, mengatakan: "Syura adalah keberkahan." (Tafsir Al-Qurthubi, 4/251)
Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: "Tidaklah sebuah kaum bermusyawarah di
antara mereka kecuali Allah akan tunjuki mereka kepada yang paling utama dari
yang mereka ketahui saat itu." (Ibnu Hajar mengatakan: "Diriwayatkan oleh Al-
Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad dan Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang kuat."
Lihat Fathul Bari, 13/340)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa'di dalam Tafsir-nya menyebutkan faidah-faidah
musyawarah di antaranya:
1. Musyawarah termasuk ibadah yang mendekatkan kepada Allah.
2. Dengan musyawarah akan melegakan mereka (yang diajak bermusyawarah)
dan menghilangkan ganjalan hati yang muncul karena sebuah peristiwa. Berbeda
halnya dengan yang tidak melakukan musyawarah. Sehingga dikhawatirkan orang
tidak akan sungguh-sungguh mencintai dan tidak menaatinya. Seandainya menaati
pun, tidak dengan penuh ketaatan.
3. Dengan bermusyawarah, akan menyinari pemikiran karena menggunakan pada
tempatnya.
4. Musyawarah akan menghasilkan pendapat yang benar, karena hampir-hampir
seorang yang bermusyawarah tidak akan salah dalam perbuatannya. Kalaupun
salah atau belum sempurna sesuatu yang ia cari, maka ia tidak tercela. (Taisir Al-
Karimirrahman, hal. 154)

Apa yang Perlu Dimusyawarahkan?


Para ulama berbeda pendapat dalam mempermasalahkan hal-hal yang
sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diperintahkan Allah untuk
bermusyawarah dengan para shahabatnya sebagaimana tersebut dalam surat Ali
Imran: 159. Dalam hal ini, Ibnu Jarir menyebutkan beberapa pendapat:
1. Pada masalah strategi peperangan, menghadapi musuh untuk melegakan para
shahabatnya, dan untuk mengikat hati mereka kepada agama ini. Serta agar
mereka melihat bahwa Nabi juga mendengar ucapan mereka.
2. Justru Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diperintahkan untuk bermusyawarah
dalam perkara itu meskipun beliau mempunyai pendapat yang paling benar karena
adanya keutamaan/ fadhilah dalam musyawarah.
3. Allah perintahkan beliau untuk bermusyawarah padahal beliau sesungguhnya
sudah cukup dengan bimbingan dari Allah. Hal ini dalam rangka memberi contoh
kepada umatnya sehingga mereka mengikuti beliau ketika dilanda suatu masalah,
dan ketika mereka bersepakat dalam sebuah perkara, maka Allah akan
memberikan taufiq-Nya kepada mereka kepada yang paling benar. (Tafsir Ath-
Thabari, 4/152-153 dengan diringkas)
4. Sebagian ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah musyawarah pada hal-
hal yang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam belum diberi ketentuannya tentang
perkara tersebut secara khusus.
5. Maksudnya yaitu pada urusan keduniaan secara khusus.
6. Pada perkara agama dan kejadian-kejadian yang belum ada ketentuannya dari
Allah yang harus diikuti. Juga pada urusan keduniaan yang dapat dicapai melalui
ide dan perkiraan yang kuat. (Ahkamul Qur'an karya Al-Jashshash, 2/40-42)

Pendapat terakhir inilah yang dianggap paling kuat oleh Al-Jashshash dengan
alasan-alasan yang disebut dalam buku beliau. Lalu beliau juga berkata: "Dan
pasti musyawarah Nabi pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya dari
Allah. Di mana tidak boleh bagi beliau melakukan musyawarah pada hal-hal yang
telah ada ketentuannya dari Allah. Dan ketika Allah tidak mengkhususkan urusan
agama dari urusan dunia ketika memerintahkan Nabi-Nya untuk musyawarah,
maka pastilah perintah untuk musyawarah itu pada semua urusan. Dan nampaknya
pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari
(13/340) setelah menyebutkan pendapat-pendapat di atas. Juga oleh Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa'di dalam Tafsir-nya (hal. 154) seperti yang terpahami dari
ucapan beliau. Jadi tidak semua perkara dimusyawarahkan sampai-sampai sesuatu
yang telah ditentukan syariat pun dimusyawarahkan, tapi bagian tertentu saja
seperti yang dijelaskan di atas.
Yang mendukung hal ini adalah bacaannya Abdullah bin 'Abbas:
ِ ْP َ ْ‫| ا‬
ِ ْ2َ ْFِ. ْIُ‫َ ِورْه‬k‫َو‬
"Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam sebagian urusan itu." (Tafsir Al-
Qurthubi, 4/250)
Semua hal di atas kaitannya dengan musyawarah yang dilakukan oleh Nabi. Maka
yang boleh dimusyawarahkan oleh umatnya perkaranya semakin jelas, yaitu pada
hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya baik dari Allah atau Rasul-Nya.
Artinya, jika telah ada ketentuannya dari syariat, maka tidak boleh melampauinya.
Dan mereka harus mengikuti ketentuan syariat tersebut. Allah ta'ala berfirman:
ٌIِْ%َ ٌzَِْ _
َ ‫نا‬ ‫_ ِإ‬
َ ‫ُ; ا‬9 ‫ِ وَا‬Bِْ;ُ‫_ َو َر‬
ِ ‫ َ َيِ ا‬
َ َْ ‫َ <ُ;ْا‬9ُ 
َ ‫ }َ'ُ;ْا‬
َ ْ?ِ ‫َ ا‬G‫َ َأ‬
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-
Nya dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar
dan Maha Mengetahui." (Al-Hujurat: 1)
Al-Imam Al-Bukhari mengatakan: "Maka Abu Bakar tidak memilih musyawarah
jika beliau memiliki hukum dari Rasulullah…" [Shahih Al-Bukhari, 13/339-340
dengan Fathul Bari]
Dan sebaliknya. Jika sudah ada ketentuannya dalam syariat namun mereka tidak
mengetahuinya, atau lupa, atau lalai, maka boleh bermusyawarah untuk
mengetahui ketentuan syariat dalam perkara tersebut, bukan untuk menentukan
sesuatu yang berbeda dengan ketentuan syariat. Al-Imam Asy-syafi'i mengatakan:
"Seorang hakim/ pemimpin diperintahkan untuk bermusyawarah karena seorang
penasehat akan mengingatkan dalil-dalil yang dia lalaikan dan menunjuki dalil-
dalil yang tidak dia ingat, bukan untuk bertaqlid kepada penasehat tersebut pada
apa yang dia katakan. Karena sesungguhnya Allah tidak menjadikan kedudukan
yang demikian (diikuti dalam segala hal) itu bagi siapapun setelah Nabi (Fathul
Bari, 13/342). Al-Bukhari mengatakan: "Dan para imam setelah wafatnya Nabi,
bermusyawarah pada hal-hal yang mubah dengan para ulama yang amanah untuk
mengambil yang paling mudah. Dan jika jelas bagi mereka Al Qur'an maupun As
Sunnah, maka mereka tidak melampauinya untuk (kemudian) mengambil
selainnya. Hal itu dalam rangka meneladani Nabi…" (Shahih Al-Bukhari, 13/339-
340 dengan Fathul Bari. Lihat pula hal. 342 baris 18)
Ibnu Taimiyyah mengatakan: "Dan jika seorang (pemimpin) bermusyawarah
dengan mereka (ahli syura) kemudian sebagian mereka menjelaskan kepadanya
sesuatu yang wajib dia ikuti baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya atau
ijma' kaum muslimin, maka dia wajib mengikutinya dan tiada ketaatan kepada
siapapun pada hal-hal yang menyelisihinya. Adapun jika pada hal-hal yang
dipersilisihkan kaum muslimin, maka mestinya dia meminta pendapat dari
masing-masing mereka beserta alasannya, lalu pendapat yang paling mirip dengan
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya itulah yang ia amalkan." (Siyasah Syar'iyyah
karya Ibnu Taimiyyah, hal. 133-134 dinukil dari Fiqh Siyasah Syar'iyyah, hal. 58)
Al-Qurthubi mengatakan: "Syura terjadi karena perbedaan pendapat. Maka
seseorang yang bermusyawarah hendaknya melihat perbedaan tersebut kemudian
melihat kepada pendapat yang paling dekat kepada Al Qur'an dan As sunnah jika
ia mampu. Lalu jika Allah membimbingnya kepada yang Allah kehendaki, maka
hendaknya ia ber-'azam/ bertekad untuk kemudian melakukannya dengan
bertawakkal kepada Allah. Di mana inilah ujung dari ijtihad yang diminta dan
dengan inilah Allah perintahkan Nabi-Nya dalam ayat ini (Ali 'Imran: 159)."
(Tafsir Al-Qurthubi, 4/252)

Siapakah Ahli Syura?


Ini merupakan pembahasan yang sangat penting mengingat ahli syura sangat besar
andilnya dalam menentukan sebuah keputusan, baik ataupun buruk. Sehingga jika
tidak dipahami secara benar, akan berakibat sangat fatal. Ketika seseorang salah
dalam menentukan ahli syura yaitu dengan memilih orang yang tidak memiliki
kriteria yang ditentukan syariat, maka ini menjadi alamat kehancuran. Saking
pentingnya hal ini, Al-Imam Al-Bukhari bahkan menulis bab khusus dalam kitab
Shahih-nya yang berjudul: Orang Kepercayaan Pemimpin dan Ahli Syuranya.
Lalu beliau menyebutkan sebuah hadits dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ِ ُBَ ْ&َ,َ‫ آ‬ ‫َ)ٍ ِإ‬Dِْ%َ8 ِْ 1
َ َ%ْcَْ‫ ا‬
َ ‫ َو‬F
4 َِ, ِْ _ُ ‫~ا‬ َ َ2َ َ‫ن‬ ِ ََ,َ : ِBَْ%َ ُBGrُ=َ‫ف َو‬
ِ ْ‫ْ ُو‬2َِْ tُ ُ َُْ ٌ)َ,َ ِ
Kَ َ2َ _ُ ‫ ا‬Iَ ََ َْ ‫ُْ;ْ ُم‬2ََْ. ِBَْ%َ ُBGrُ=َ‫ < َو‬Uِ tُ ُ َُْ ٌ)َ,َ ِ ‫َو‬
"Tidaklah Allah mengutus seorang nabi dan tidaklah menjadikan seorang khalifah
kecuali ia akan punya dua orang kepercayaan. Salah satunya memerintahkannya
kepada yang baik dan menganjurkannya, dan yang lain memerintahkan kepada
yang jelek dan dan menganjurkan kepadanya. Maka orang yang terlindungi adalah
yang dilindungi oleh Allah." (Shahih, HR. Al-Bukhari, kitab Al-Ahkam Bab
Bithanatul Imam, no: 7198)
Dari hadits ini dipahami, ada tiga macam pemimpin: ada yang cenderung kepada
yang baik, ada yang cenderung kepada yang buruk, dan ada yang terkadang
cenderung kepada yang baik dan terkadang kepada yang buruk. (Fathul Bari,
13/390-391)
Atas dasar ini, akan dinukilkan keterangan para ulama yang menjelaskan siapa
sebenarnya yang berhak untuk duduk di majelis permusyawaratan. Dalam hal ini
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ُ ‫َ ُر‬Uَُْْ‫ٌََْا‬v
"Seorang yang diminta musyawarahnya adalah orang yang dipercaya." (HR. Abu
Dawud dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihul Jami'
no. 6700. Lihat pula Ash-Shahihah no. 1641)
Hadits ini mengisyaratkan bahwa ahli syura haruslah orang yang amanah karena
tidak mungkin seseorang yang tidak amanah akan dipercaya. Dalam firman Allah:
ِ ْPَ ْ‫ ا‬Fِ. ْIُ‫َ ِورْه‬k‫َو‬
"Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu."
Ibnu 'Abbas mengatakan: "Maksudnya Abu Bakr dan 'Umar." (Sanadnya shahih
diriwayatkan oleh An-Nahhas dalam An-Nasikh wal Mansukh, dan Al-Hakim dan
dishahihkan oleh beliau dan oleh Adz-Dzahabi. Lihat Madarikun Nazhar, hal.
289)
Demikianlah beliau shallallahu 'alaihi wasallam bermusyawarah dengan Abu Bakr
dan 'Umar dalam masalah tawanan perang Badr dan dalam masalah lainnya. Juga
dengan 'Ali bin Abu Thalib dalam masalah kejadian Ifk –yaitu tuduhan zina
kepada 'Aisyah- (Shahih Al-Bukhari no. 7369) dan juga shahabat yang lain. Yang
jelas, Nabi tidak mengajak musyawarah kepada seluruh para shahabatnya dalam
setiap hal. Akan tetapi memilih mereka yang pantas dalam perkara tersebut.
Ahli syura Abu Bakr, Maimun bin Mihran mengatakan: "Bahwa Abu Bakr jika
mendapati sebuah masalah maka beliau melihat kepada Kitabullah. Jika beliau
mendapatkan sesuatu yang memutuskan perkara itu, maka beliau putuskan
dengannya. Dan jika beliau mengetahuinya dari Sunnah Nabi, maka beliaupun
memutuskan dengannya. Bila tidak beliau ketahui, beliau keluar kepada kaum
muslimin dan bertanya kepada mereka tentang Sunnah Nabi (pada perkara
tersebut). Dan bila hal itu tidak mampu (menyelesaikan), maka beliau panggil
tokoh-tokoh kaum muslimin dan para ulama mereka lalu beliau bermusyawarah
dengan mereka." (Ibnu Hajar mengatakan: "Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan
sanad yang shahih.” Lihat Fathul Bari, 13/342)
Ahli syura 'Umar bin Al-Khaththab, Ibnu 'Abbas mengatakan: "Para qurra adalah
orang-orang majelisnya 'Umar dan ahli syuranya, baik yang tua atau yang muda."
(Shahih, HR. Al-Bukhari no. 7286, lihat Fathul Bari, 13/250). Ibnu Hajar
mengatakan: "Al-Qurra maksudnya para ulama yang ahli ibadah." (Fathul Bari,
13/258)
Di antara mereka adalah Abdullah bin 'Abbas sendiri, sebagaimana beliau
kisahkan: "Umar memasukkan aku bersama orang-orang tua yang pernah ikut
perang Badr, maka seolah-olah sebagian mereka marah dan mengatakan:
'Mengapa 'Umar memasukkan pemuda ini bersama kita padahal kita pun punya
anak-anak semacam dia'. Maka 'Umar mengatakan: 'Hal itu berdasarkan apa yang
kalian ketahui (yakni bahwa dia dari keluarga Nabi dan dari sumber ilmu)'." (HR.
Al-Bukhari, 6/28, lihat Bahjatun Nazhirin, 1/195)
Riwayat ini menunjukkan bahwa majlis syuranya 'Umar adalah para shahabat ahli
Badr karena mereka lebih utama daripada yang lain. Kemudian 'Umar
mengikutkan Ibnu 'Abbas bersama mereka karena ilmu yang dimilikinya, di mana
ilmu beliau bahkan melebihi sebagian shahabat ahli Badr karena beliau didoakan
oleh Nabi: "Ya Allah, pahamkan dia tentang agama dan ajari dia takwil."
(Madarikun Nazhar, hal. 162)
Dalam kejadian yang lain, Ibnu 'Abbas mengatakan: "Ketika itu, saya berada di
tempat singgahnya Abdurrahman bin 'Auf di Mina dan beliau di sisi 'Umar, dalam
sebuah haji yang itu merupakan akhir hajinya. Abdurrahman mengarahkan
pertanyaan kepada saya: '(Apa pendapatmu) jika kamu melihat seseorang datang
kepada amirul mukminin ('Umar bin Al-Khaththab) hari ini lalu ia mengatakan:
'Wahai amirul mukminin, apakah anda dapat melakukan sesuatu pada fulan yang
mengatakan: Seandainya 'Umar telah meninggal maka aku telah membai'at fulan.
Demi Allah, tidaklah bai'atnya Abu Bakr dahulu kecuali hanya sesaat lalu
langsung sempurna.' Maka (mendengar laporan itu) 'Umar marah lalu
mengatakan: 'Sungguh saya insya Allah akan berdiri sore ini di hadapan manusia
dan akan memperingatkan mereka dari orang-orang itu yang ingin merampas
urusan mereka.' Maka Abdurrahman mengatakan: 'Wahai amirul mukminin,
jangan kau lakukan! Karena musim haji ini menampung orang-orang hina (juga),
sesungguhnya merekalah yang akan lebih banyak dekat denganmu di saat kamu
berdiri di hadapan mereka. Dan saya khawatir jika engkau bangkit dan
mengucapkan sebuah ucapan lalu dibawa terbang oleh setiap yang terbang,
mereka tidak memahaminya dan tidak mendudukkan pada tempatnya. Maka
tundalah hingga engkau pulang ke Madinah karena Madinah adalah rumah hijrah
dan (rumah) As Sunnah sehingga engkau dapat mengkhususkan ahli fiqih dan
tokoh-tokoh masyarakat, lalu kamu katakan apa yang mungkin kamu katakan
sehingga ahlul ilmi akan memahami ucapanmu dan menempatkannya pada
tempatnya'." (Riwayat Al-Bukhari. Lihat Madarikun Nazhar, hal. 163)
Setelah terjadinya usaha pembunuhan terhadap 'Umar dan 'Umar pun sudah
merasa dekat ajalnya, dia menyerahkan urusan kepemimpinan ini kepada enam
orang shahabat. Dan dikatakan kepada beliau: "Berwasiatlah wahai amirul
mukminin, berwasiatlah! Tunjuklah khalifah." Jawabnya: "Saya tidak mendapati
orang yang yang lebih berhak terhadap perkara ini (kekhilafahan) lebih dari
orang-orang itu, yang Rasulullah meninggal dalam keadaan ridha terhadap
mereka." Lalu beliau menyebut 'Ali, 'Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa'ad dan
Abdurrahman (Shahih, riwayat Al-Bukhari no. 3700, dengan Fathul Bari, 7/59).
'Umar menyerahkan urusan ini hanya kepada 6 orang shahabat yang memiliki sifat
tersebut, padahal saat itu para shahabat berjumlah lebih dari 10 ribu orang.
(Madarikun Nazhar, hal. 165)
Al-Imam Al-Bukhari mengatakan: Dan para imam setelah wafatnya Nabi
bermusywarah dengan para ulama yang amanah pada perkara yang mubah untuk
mengambil yang paling mudah dan jika jelas bagi mereka al Qur'an maupun
sunnah maka mereka tidak melampauinya untuk mengambil selainnya, hal itu
dalam rangka meneladani Nabi [shahih bukhari: 13/339-340 dengan fathul bari,
lihat pula hal: 342 baris: 18] ( TEKS INI TERULANG)
Al-Imam Asy-Syafi'i mengatakan: "Janganlah dia bermusyawarah jika terjadi
suatu masalah kecuali dengan seorang yang amanah, berilmu dengan Al Qur'an
dan As Sunnah dan riwayat-riwayat dari shahabat dan setelahnya, serta berilmu
tentang pendapat-pendapat para ulama, qiyas, dan bahasa Arab." (Mukhtashar Al-
Muzani, dari Madarikun Nazhar, hal. 176)
Ibnu At-Tin menukilkan dari Asyhab, seorang murid Al-Imam Malik, bahwa Al-
Imam Malik mengatakan: "Semestinya seorang pemimpin menjadikan seseorang
yang menerangkan kepadanya tentang keadaan masyarakatnya di saat dia
sendirian. Dan hendaknya orang tersebut orang yang bisa dipercaya, amanah,
cerdas dan bijaksana." (Fathul Bari, 13/190)
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan: "Hendaknya ahli syuramu adalah orang-orang
yang bertakwa dan amanah serta orang yang takut kepada Allah." (Tafsir Al-
Qurthubi, 4/250-251)
Asy-Syihristani mengatakan: "…Akan tetapi wajib bersama penguasa itu (ada)
seorang yang pantas berijtihad sehingga dia (penguasa itu, red) dapat bertanya
kepadanya dalam permasalahan hukum." (Al-Milal, 1/160, lihat Madarikun
Nazhar, hal. 177)
Ibnu Khuwairiz mandad(?) mengatakan: "Wajib bagi para pemimpin untuk
bermusyawarah dengan para ulama dalam hal-hal yang tidak mereka ketahui dan
pada perkara agama yang membuat mereka bingung. Juga bermusyawarah dengan
para pemimpin perang pada urusan peperangan, dengan tokoh masyarakat pada
urusan yang berkaitan dengan maslahat masyarakat, dan dengan para menteri dan
wakil-wakilnya pada perkara kemaslahatan negeri dan kemakmurannya." (Tafsir
Al-Qurthubi, 4/250)
Al-Qurthubi mengatakan: "Para ulama berkata: 'Kriteria orang yang diajak
musyawarah jika dalam perkara hukum hendaknya seorang ulama dan agamis.
Dan jarang yang seperti itu kecuali orang yang berakal. Oleh karenanya Al-Hasan
mengatakan: 'Tidaklah akan sempurna agama seseorang kecuali setelah sempurna
akalnya'. Dan sifat orang yang diajak musyawarah dalam hal urusan dunia
hendaknya orang yang bijak, berpengalaman dan suka terhadap orang yang
mengajaknya musyawarah." (Tafsir Al-Qurthubi, 4/250-251)
Al-Mawardi mengatakan ketika menjelaskan orang-orang yang berhak
bermusyawarah untuk memilih imam/ pemimpin: "…Syarat-syarat yang harus ada
pada mereka ada tiga: pertama, keadilan (yakni keshalihan agamanya) dengan
berbagai syaratnya. Kedua, ilmu yang dengannya dia dapat mengetahui siapa yang
berhak menjadi pemimpin dengan syarat-syarat kepemimpinan. Ketiga, ide yang
bagus dan bijak yang dengan itu dia bisa memilih yang paling pantas untuk
menjadi pemimpin." (Al-Ahkamus Sulthaniyyah, hal. 4)
Dari penjelasan para ulama di atas, dipahami dengan jelas bahwa ahli syura adalah
para ulama yang benar-benar berilmu tentang Al Qur'an dan Sunnah Nabi serta
pendapat-pendapat para ulama sebelumnya dalam berbagai masalah, bertakwa dan
takut kepada Allah, juga memiliki sifat amanah, lagi bijaksana dalam memutuskan
suatu urusan. Demikian pula memiliki keinginan baik untuk umat secara
menyeluruh.
Jika dibutuhkan bermusyawarah pada urusan-urusan duniawi maka juga bisa
melibatkan para ahli yang berpengalaman dalam bidang-bidang tertentu namun
tentunya dengan tidak melepaskan dari sifat-sifat dasar di atas. Demikian pula
tidak bisa dilepaskan dari para ulama karena merekalah yang dapat
mempertimbangkan sisi maslahat dan mafsadah yang hakiki dan secara syar'i,
serta sisi halal dan haramnya. Wallahu a'lam.

Antara Syura dan Demokrasi


Sebagian orang menganggap bahwa demokrasi adalah wujud praktek sistem syura
dalam Islam. Ini adalah anggapan yang salah, dan jauhnya perbedaan antara
keduanya bagaikan timur dan barat. Di antara perbedaannya adalah:
1. Aturan syura berasal dari Allah dan selalu berlandaskan di atas syariat-Nya.
Sementara demokrasi sumbernya adalah suara mayoritas walaupun itu suaranya
orang-orang fasiq bahkan kafir.
2. Bahwa syura dilakukan pada perkara yang belum jelas ketentuannya dalam
syariat, dan jika ada ketentuan syariat maka itulah yang ditetapkan. Adapun dalam
demokrasi, perkara yang sudah jelas dalam syariat pun dapat diubah jika suara
mayoritas menghendakinya, sehingga dapat menghalalkan yang haram dan
sebaliknya.
3. Anggota majelis syura adalah para ulama dan yang memiliki sifat-sifat seperti
telah dijelaskan. Sedang dewan perwakilan rakyat atau majelis permusyawaratan
dalam sistem demokrasi anggotanya sangat heterogen. Ada yang berilmu agama,
ada yang bodoh, ada yang bijak ada yang tidak, ada yang menginginkan kebaikan
rakyat, dan ada yang mementingkan diri sendiri, mereka semualah yang
menentukan hukum dengan keadaan seperti itu.
4. Dalam sistem syura, kebenaran tidak diketahui dengan mayoritas tapi dengan
kesesuaian terhadap sumber hukum syariat. Sedangkan dalam sistem demokrasi,
kebenaran adalah suara mayoritas walaupun menentang syariat Allah yang jelas.
5. Syura adalah salah satu wujud keimanan, karena dengan syura kita
mengamalkan ajaran Islam. Sedangkan demokrasi adalah wujud kekufuran kepada
Allah, karena jika mayoritas memutuskan perkara kekafiran maka itulah
keputusan yang harus diikuti menurut mereka.
6. Syura menghargai para ulama, sedangkan demokrasi menghargai orang-orang
kafir.
7. Syura membedakan antara orang yang shalih dan yang jahat, sedangkan
demokrasi menyamakan antara keduanya.
8. Syura bukan merupakan kewajiban di setiap saat, bahkan hukumnya berbeda
sesuai dengan perbedaan keadaan. Sedangkan demokrasi merupakan sesuatu yang
diwajibkan oleh Barat kepada para penganutnya dengan kewajiban yang melebihi
wajibnya shalat lima waktu dan tidak mungkin keluar darinya.
9. Sistem demokrasi jelas menolak Islam dan menuduh bahwa Islam lemah serta
tidak mempunyai maslahat, sedangkan keadaan syura tidak demikian.
(Lihat kitab Tanwiruzh Zhulumat, hal. 21-36 dan Fiqih As-Siyasah Asy-
Syar'iyyah hal. 61)
Wallahu a'lam.

Bolehkah Bergabung dengan Partai Politik?


Oleh Tim Redaksi Asy Syariah

Apakah dengan kita tidak berpartisipasi dalam pemilu atau tidak mendukung
partai politik (partai berlabel Islam) sama saja kita membiarkan partai atau orang-
orang sekuler mengatur dan memimpin negara ini, yang tentunya menyebabkan
mereka menerapkan undang-undang sekuler dan menolak dengan tegas syariat
Islam?
Ada anggapan bahwa dengan masuk ke partai kita bisa mengubah sistem dan
peraturan kenegaraan dari sistem jahiliyah ke sistem syar’iyyah secara bertahap,
yakni dengan mengalihkan undang-undang sekuler ke undang-undang Islam.
Bagaimanakah seharusnya sikap dan tindakan kita?
Apakah dengan alasan darurat demi membendung gerak langkah musuh-musuh
Islam, kita boleh masuk ke partai dan parlemen?
Abu Lukman, Wonosobo

Ketidakikutsertaan kita ke parpol berlabel Islam tidak berarti kita membiarkan


parpol yang tidak berlabel Islam untuk menetapkan undang-undang sekuler karena
pintu nasehat terbuka dengan banyak cara, bisa dengan bicara langsung dengan
mereka (pemerintah), melalui surat atau cara lain yang sesuai dengan Islam (Lihat
Asy Syariah edisi lalu tentang Cara Menasehati Penguasa). Bukankah orang-orang
yang duduk di pemerintahan kebanyakan orang-orang Islam?
Seandainya parpol berlabel Islam ikut di parlemen apakah mereka dapat merubah
sistem demokrasi yang bertolak belakang 180 derajat dengan Islam? Tentu tidak.
Sehingga masuknya mereka tidak akan merubah sistem tapi justru merubah diri
mereka dari orang yang taat menjadi orang yang bermaksiat. Karena sejak mereka
masuk (ke dalam parlemen) sudah diambil sumpahnya untuk mengakui sistem
yanga ada dan (mengakui) keberadaan partai-partai lain selain Islam. Dan ini awal
kekalahan, ditambah maksiat-maksiat lain yang tidak bisa dihindari. Apakah
memperbaiki kedaan itu dengan cara bermaksiat kepada Allah atau dengan taat
kepadanya?
Cara memperbaiki yang benar adalah dengan tashfiyah dan tarbiyah,
membersihkan Islam dari segala kotoran dan mendidik umat di atas Islam yang
murni. Ingat ucapan Al-Imam Malik:
“Umat ini tidak akan baik kecuali dengan sesuatu yang (telah) memperbaiki
generasi awal (umat ini).”
- Alasan bahwa dengan masuk parlemen akan bisa mengubah sisitem yang ada tak
lebih sekedar dalih untuk membolehkan masuk dalam parlemen, karena
sesungguhnya merubah sistem yang ada adalah sesuatu yang mustahil. Apa yang
bisa mereka rubah? Kalau misalnya bisa sebagian, berapa persen besarnya? Dan
apakah mereka benar-benar bisa merubah sistem ini? Tolong dijawab secara
realistis dan jangan dengan khayalan. Yang jelas sistem ini (demokrasi) adalah
bathil sejak awalnya.
- Bila alasan darurat yang dipakai maka merupakan alasan yang terlalu jauh.
Bagaimana kita masuk ke dalam sistem yang bertolak belakang dengan Islam lalu
beralasan dengan darurat? Mana penerapan syariat Islam yang menjadi syiar
pergerakan? Bagaimana mereka menerapkan syariat Islam secara kaffah dan
memperjuangkannya sedang belum apa-apa sudah melanggar syariat Islam yang
agung. Coba renungkan!
Wallahu a’lam.

Mau Kemana Partai Islam?


Oleh Tim Redaksi Asy Syariah

Umat Islam belumlah lupa, beberapa waktu silam pascareformasi, kala hendak
memilih pemimpin negeri ini, sebuah fatwa diteguhkan oleh sejumlah partai politik
(parpol) Islam, ”haram memilih pemimpin wanita”. Namun beberapa waktu
kemudian, ”fatwa” itu dimentahkan kembali. Bak bola salju, perkara ini terus
menggelinding dan membesar. Hingga pada pemilihan kepala daerah (pilkada), tak
cuma soal wanita, sejumlah parpol Islam bahkan sudah tidak malu mendukung
kepala/wakil kepala daerah non-muslim.
Itulah sebuah ironi bernama politik yang dipertontonkan kepada umat. Politik nyata-
nyata tak hanya mengubah lawan menjadi kawan atau sebaliknya, tapi terbukti bisa
membongkar pasang syariat sekehendak hati. Dewan syuro partai bukan mengawal
syariat namun justru menjadi stempel untuk melegalisasi penyimpangan syariat.
Loyalitas tidak lagi dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah namun oleh fatwa
Dewan Syuro, AD/ART parpol, bahkan sekadar ucapan tokoh sentralnya.
Makanya menjadi ”maklum” jika ada fenomena caleg non-muslim, koalisi dengan
parpol non-muslim ataupun sekuler, dsb, karena kamus politik memang
menghalalkannya. Juga tak perlu heran jika ada pengurus partai yang kelabakan,
ketika partainya dituding anti yasinan, tahlilan, barzanji, dsb. Minder disebut partai
Islam yang eksklusif, kemudian tergopoh-gopoh menyatakan bahwa partainya plural,
inklusif, bahkan menampilkan kesan nasionalis. Lebih takut kehilangan suara
daripada menampakkan al-haq, lebih khawatir simpatisan lari ketimbang mendapat
murka Allah l. Na’udzubillah.
Lagi-lagi sebuah ironi. Di panggung politik, mereka bisa mesra dengan kalangan
orang kafir, para preman dan ahli maksiat, para penyembah kubur, dll, namun di balik
itu mereka justru menebar kebencian kepada dakwah yang mengajak kepada
kemurnian Islam. Islam yang diusung sebagaimana yang diajarkan Rasulullah n
kepada para sahabatnya justru dianggap memecah-belah umat. Sementara mereka
sendiri tidak mau berkaca diri bahwa dengan partai mereka telah membuat umat
terkotak-kotak, membuat umat berloyalitas kepada partai bukan kepada Islam.
Alhasil, fenomena saling aniaya dan membunuh hanya karena beda partai, tak pernah
dianggap memecah-belah umat.
Yang memilukan kemudian, umat malah disodori ”fatwa” haram golput. Ini sama saja
orang yang tidak memilih karena paham akan kemungkaran-kemungkaran demokrasi
divonis ”berdosa”. Na’udzubillah. Di saat umat dilingkupi pemahaman agama yang
jauh dari Islam yang murni, umat justru disuguhi politikus-politikus bodoh yang
hanya pandai bertutur dan nampak santun tapi lancang mengaduk-aduk agama untuk
kepentingan politik praktis. Konyolnya lagi, ada yang malah menganggap
berdemokrasi sebagai bagian dari jihad. Begitu mudahnya menggunakan istilah jihad,
sama mudahnya saat mereka menggelari tokoh ideologis mereka dengan asy-syahid.
Yang disayangkan tentu, masih saja ada kaum muslimin yang bisa dibodohi
sedemikian rupa. Padahal orang-orang yang fanatik partai itu hanya menggunakan
jaring laba-laba sebagai pijakan. ”Dalil”-nya, itupun kalau bisa disebut dalil, sangat
lemah dan klasik. ”Kita sudah berada dalam sistem yang mau tidak mau kita harus
ikut. Kalau kita tidak memilih partai Islam, maka kekuasaan akan berada di tangan
orang-orang kafir.”
”Si parpol” ini bisa jadi memang tak mau berkaca. Bagaimana mungkin mereka
berkoar-koar mau memenangkan Islam sementara mereka justru mengangkat caleg
non-muslim, mengusung pasangan kepala daerah yang salah satunya non-muslim,
berkoalisi dengan parpol non-Islam, dan seabrek pelanggaran syariat lainnya.
Bagaimana pula jika pemerintah yang berkuasa atau parlemen dikuasai muslim tapi
bukan dari kader partainya atau hasil "tarbiyah" mereka, atau taruhlah pemerintah
yang berkuasa telah menegakkan sebagian dari syariat Islam, apakah mereka mau
berhenti? Jawabnya, tentu saja tidak.
Makanya jangan pernah tertipu mereka yang bergelut dengan parpol, dianggap telah
berbuat sesuatu untuk umat sementara yang berkiprah di luar itu tak memberikan
kontribusi apapun bagi umat. Padahal kesibukan mereka dalam ingar-bingar politik
justru menjadikan mereka melalaikan perbaikan umat. Bahkan perbaikan diri-diri
mereka sendiri. Adanya petinggi parpol ”Islam” yang percaya angka hoki serta
banyaknya politikus muslim yang terlibat skandal amoral serta jauh dari akhlak Islam
adalah contoh nyata.
Oleh karena itu, jangan pernah terselip asa, melalui sistem demokrasi, umat Islam bisa
meraih kejayaannya. Melalui sistem politik kotor hasil adopsi filsafat Yunani,
kemuliaan Islam dan muslimin bisa kita tegakkan. Tak bakal ada kebaikan yang
dibangun di atas kemungkaran. Yang ada hanyalah pertanyaan, ”Mau kemana partai
Islam?”
Memaknai Politik Syar’i
Oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi

Makna Politik
Politik, dalam bahasa arab disebut dengan siyasah. Dalam kamus Lisanul Arab karya
Ibnu Manzhur (juz 6 hal. 429) disebutkan bahwa kata siyasah bermakna mengurus
sesuatu dengan kiat-kiat yang membuatnya baik.
Politik itu sendiri, menurut Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu terbagi menjadi
dua macam:
1. Politik yang diwarnai kezaliman. Maka ini diharamkan dalam syariat Islam.
2. Politik yang diwarnai keadilan. Maka ini bagian dari syariat Islam. (Lihat Ath-
Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal. 4)
Politik, bila dilihat dari sisinya yang buruk (politik yang diwarnai kezaliman) semata,
akan melahirkan trauma politik pada seseorang. Ujung-ujungnya berkesimpulan
bahwa politik itu kejam dan politikus tak lain hanyalah ahli tipu muslihat yang kental
dengan sifat makar, dusta, dan licik. Sebenarnya bila dilihat dari segala sisinya, ada
pula politik yang syar’i (politik yang diwarnai keadilan). Bahkan ia merupakan salah
satu cabang dan pintu dari syariat Islam yang mulia ini, sebagaimana dikatakan Al-
Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya yang monumental I’lamul
Muwaqqi’in, juz 4 hal. 452. Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, politik yang syar’i
disebut dengan as-siyasah asy-syar’iyyah.
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, lantas apakah
keterangan di atas merupakan legitimasi bagi politik praktis yang ‘diimani’ partai
politik (parpol) Islam sekarang ini? Untuk mengetahui jawabannya simaklah
penjelasan berikut ini.

Fatamorgana Politik Praktis


Politik praktis merupakan cara berpolitik ala barat (baca: musuh-musuh Islam) dalam
menentukan kepala negara/pemerintahan serta anggota lembaga legislatif (baca:
politik untuk mencapai kekuasaan), yang dijejalkan di negeri-negeri muslim. Sistem
tersebut tidaklah diciptakan dan dijejalkan di negeri-negeri muslim melainkan untuk
mem-fait accompli kekuatan umat Islam yakni agar mereka tidak punya pilihan di
negerinya sendiri (seakan-akan tidak bisa menghindarinya), sekaligus memalingkan
mereka dari mendalami agamanya (tafaqquh fiddin) dengan berbagai kesibukan
politik. Sehingga tidaklah satu negeri muslim pun yang menganut sistem tersebut,
melainkan kekuatan dan keilmuan umat Islamnya benar-benar terpantau dengan jelas
oleh musuh-musuhnya.
Mungkinkah sistem yang diciptakan barat (baca: musuh-musuh Islam) dengan sekian
pelanggarannya tersebut dapat mengantarkan umat Islam kepada kejayaannya?
Spontan, orang yang berakal akan menjawab: “Tidak mungkin!”
Tak ubahnya fatamorgana, dari jauh seakan air yang menyejukkan, namun setelah
didekati ternyata pemandangan semu belaka.
Tengoklah kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir, pimpinan Hasan Al-Banna.
“Perjuangan” bertahun-tahun harus berakhir di tiang gantungan, penjara, atau tembak
mati. Demikian pula FIS (sebuah partai “Islam” di Aljazair) yang berhasil menang
pada putaran pertama pemilu tahun 1412 H. Impian pun lenyap manakala militer
melakukan kudeta dengan alasan ‘negeri dalam kondisi darurat’. FIS pun meradang,
genderang “jihad” melawan penguasa ditabuh. Pertempuran bersenjata pun terjadi,
dan akhirnya pertumpahan darahlah kesudahannya.1 Lagi-lagi umat Islam sebagai
tumbalnya. Agama mereka terlantar, dakwah pun semakin hari semakin tergerus oleh
‘kejamnya’ kehidupan berpolitik mereka.2
Lebih dari itu, konsekuensinya sangat berat khususnya bagi seorang muslim yang
berteguh diri di atas Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mengapa demikian? Karena asasnya adalah demokrasi yang ‘menuhankan’ suara
rakyat (mayoritas). Kendaraannya adalah kampanye dengan segala pelanggaran syar’i
dan etikanya. Panoramanya adalah ikhtilath (campur-baur laki perempuan). Ciri
khasnya adalah persaingan ketat, bahkan perseteruan tak sehat dengan obral janji yang
(nampak) menggiurkan. Taruhannya adalah menjual prinsip al-wala’ wal bara’.3
Wallahul Musta’an.
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk mengetahui
lebih rinci tentang jalan yang mengantarkan kepada kejayaan umat Islam, silakan
buka kembali Majalah Asy Syariah edisi Polemik Menuju Negara Islam (No.
16/II/1426 H/2005). Adapun rincian bahasan seputar partai politik Islam, maka dapat
anda ikuti pada Kajian Utama Majalah Asy Syariah edisi kali ini, insya Allah.

Apa Itu As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Politik yang Syar’i)?


Setelah mengikuti bahasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa as-siyasah asy-
syar’iyyah adalah bagian dari syariat Islam. Sedangkan politik praktis, tak lain adalah
ciptaan barat (baca: musuh-musuh Islam) yang tidak ada kaitannya dengan as-siyasah
asy-syar’iyyah dan sudah barang tentu bukan dari Islam.
Bila demikian, apa definisi as-siyasah asy-syar’iyyah menurut terminologi syariat?
Menurut terminologi syariat, as-siyasah asy-syar’iyyah bermakna pengaturan urusan
pemerintahan kaum muslimin secara menyeluruh dengan kiat-kiat yang dapat
mewujudkan kebaikan (maslahat) serta mencegah terjadinya keburukan (mafsadah),
dengan tetap menjaga batasan-batasan syar’i dan prinsip-prinsipnya secara umum -
meskipun tidak secara nash- serta perkataan para imam ahli ijtihad. (As-Siyasah Asy-
Syar’iyyah karya Abdul Wahhab Khallaf, hal. 15. Dinukil dari Madarikun Nazhar fis
Siyasah hal. 126-127)
Dari sini, diketahui bahwa as-siyasah asy-syar’iyyah disamping berpegang dengan
dalil yang tegas, juga berpijak pada maslahah mursalah, yaitu suatu maslahat di mana
tidak didapati dalil secara tegas baik yang memerintahkan maupun yang melarang.
Tentunya, yang menentukan sebagai maslahat adalah para imam ahli ijtihad, bukan
sembarang orang. Demikianlah penjelasan Ibnu ‘Aqil, Ibnul Qayyim, Ibnu Nujaim,
dan yang lainnya rahimahumullah dari para pakar di bidang ini. (Lihat Madarikun
Nazhar fis Siyasah hal. 128-129)
Mengenai rincian as-siyasah asy-syar’iyyah, sesungguhnya telah dijelaskan para
ulama Islam dalam banyak karya tulisnya. Di antaranya; Al-Imam Al-Mawardi dalam
Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wal Wilayat Ad-Diniyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (yang terhimpun dalam Majmu’ Fatawa, juz 28),
Al-Imam Ibnul Qayyim dalam Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-
Syar’iyyah, dan selainnya.

Mengenal Lebih Jauh As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Politik yang Syar’i)


Para pembaca yang semoga dirahmati Allahl, mengingat as-siyasah asy-syar’iyyah
amat terkait dengan pengaturan urusan pemerintahan, maka tentunya ada dua pihak
yang saling terkait dengannya; pihak pengatur dalam hal ini adalah para penguasa
(ulil amri) dan pihak yang diatur dalam hal ini adalah rakyat. As-siyasah asy-
syar’iyyah yang dijalankan para penguasa tersebut tak akan berjalan dengan baik
tanpa adanya sambutan ketaatan dari rakyat. Maka dari itu, adanya gayung bersambut
antara para penguasa dan rakyatnya dalam hal penerapan as-siyasah asy-syar’iyyah
merupakan keharusan. Karena dengan itulah terwujud kehidupan yang tenteram,
aman, dan sentosa. Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat sahabat di bawah
kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga masyarakat tabi’in
serta tabi’ut tabi’in di bawah kepemimpinan para penguasanya.
Di antara dasar pijakan as-siyasah asy-syar’iyyah adalah firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
_
َ ‫نا‬ ‫ِ ِإ‬Bِ ْIُMُdِ2َ  ِ2ِ, _َ ‫نا‬ ‫ل ِإ‬
ِ َْ2ِْ ‫ُُ;ا‬Mْ=َ ْ‫س َأن‬ ِ  '‫ ا‬ َ َْ ْIَُْMَ ‫َِ َوِإذَا‬%ْ‫ َأه‬Kَ‫ت ِإ‬
ِ َ,ََْ‫وا ا‬G‫د‬vَ ُ ْ‫ْ َأن‬Iُ‫_ َُْ ُآ‬
َ ‫نا‬
‫ِإ‬
‫ً ًَِا‬2َِ ‫ن‬ َ َ‫آ‬. ‫_ َو‬ َ ‫ُ;ا ا‬2ِs‫ ءَاَ'ُ;ا َأ‬ َ ِ? ‫َ ا‬G‫ ََأ‬tُ ‫و‬G‫َ ُد‬. ‫ْ ٍء‬Fَk Fِ. ْIُْ‫نْ َ'َ َز‬-َِ. ْIُMْ'ِ ِ َْْ‫ ا‬Fِ‫ل َوأُو‬َ ;ُ ‫ُ;ا ا‬2ِs‫َأ‬
`
ً ِ‫ َْو‬
ُ َْ ‫ٌَْ َوَأ‬8 + َ ِ‫ِ ِ َذ‬8aْ‫_ وَاَْ;ْ ِم ا‬
ِ ِ ‫ن‬ َ ;ُ'ِْvُ ْIُْ'ُ‫ل ِإنْ آ‬ ِ ;ُ ‫_ وَا‬ ِ ‫ ا‬Kَ‫ِإ‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kalian menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar
lagi Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(Sunnahnya) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 58-59)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Menurut para ulama, ayat
pertama (dari dua ayat di atas) turun berkaitan dengan para penguasa (ulil amri), agar
mereka menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Dan apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkannya dengan adil. Sedangkan
ayat kedua turun berkaitan dengan rakyat baik dari kalangan militer maupun
selainnya, agar mereka senantiasa taat kepada para penguasanya dalam hal pembagian
jatah, keputusan, komando pertempuran, dan lain sebagainya. Kecuali jika mereka
memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak boleh menaati makhluk (para
penguasa tersebut) dalam rangka bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah Subhanahu wa
Ta’ala). Jika terjadi perbedaan pendapat antara para penguasa dengan rakyatnya
dalam suatu perkara, hendaknya semua pihak merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun jika sang penguasa tidak mau
menempuh jalan tersebut, maka perintahnya yang tergolong ketaatan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap wajib ditaati.
Karena ketaatan kepada para penguasa dalam perkara ketaatan tersebut merupakan
bagian dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Demikian pula hak mereka (para penguasa), tetap harus dipenuhi
(oleh rakyatnya), sebagaimana yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫ب‬
ِ َ9ِ2ْ‫َِ ُ ا‬k _
َ ‫نا‬ ‫_ ِإ‬
َ ‫ُ;ا ا‬9 ‫ن وَا‬ ِ ‫ُْوَا‬2ْ‫ وَا‬Iِ ْJ-ِْ‫ ا‬Kَ%َ ‫ُ;ا‬,‫َ َو‬2َ َ‫ْ;َى َو‬9 ‫ اِْ < وَا‬Kَ%َ ‫ُ;ا‬,‫َ َو‬2َ‫َو‬
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kalian
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2) [Lihat
Majmu’ Fatawa, juz 28 hal. 245-246]
Untuk mengenal lebih jauh tentang contoh as-siyasah asy-syar’iyyah dan
penerapannya, perhatikanlah poin-poin berikut ini.
1. Suatu tugas/jabatan diberikan kepada yang berhak menyandangnya, baik terkait
dengan kemiliteran maupun selainnya. Pemberian tugas/jabatan tersebut tak boleh
didasari kedekatan pribadi ataupun hubungan kekerabatan (nepotisme). Sahabat Umar
bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa mempunyai suatu
kewenangan terhadap urusan kaum muslimin, kemudian memberikan tugas/jabatan
kepada seseorang karena kedekatan pribadi atau hubungan kekerabatan, maka ia telah
berkhianat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam serta kaum muslimin.”
2. Kriteria kelayakan mendapat tugas/jabatan ada dua: kuat dan dapat dipercaya.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Sesungguhnya orang terbaik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat
lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash: 26)
Kuat di sini tergantung pada tugas/jabatan yang diemban. Kuat dalam hal
kepemimpinan perang tolok ukurnya adalah keberanian/ketegaran jiwa, pengalaman
bertempur dengan segala tipu muslihatnya serta keahlian dalam mengatur strategi
pertempuran. Kuat dalam hal memutuskan perkara (hukum) di antara manusia tolok
ukurnya adalah kepahaman tentang prinsip-prinsip keadilan yang bersumber dari Al-
Qur’an dan As-Sunnah serta kemampuan untuk merealisasikan keputusannya
tersebut. Adapun dapat dipercaya (amanah), maka tolok ukurnya adalah rasa takut
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak menjual ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan harga yang murah (hal-hal duniawi, red.) serta tidak takut terhadap (celaan)
manusia (dalam keputusannya).
3. Berkumpulnya dua sifat, kuat dan dapat dipercaya pada seseorang, merupakan
sesuatu yang langka. Oleh karena itu, jika ada dua orang; yang satu lebih amanah
sedangkan yang lainnya lebih kuat, maka yang diutamakan adalah yang paling
bermanfaat bagi (kelangsungan) tugas tersebut dan yang paling sedikit mudaratnya.
Atas dasar itu, yang diutamakan dalam hal kepemimpinan perang adalah seorang yang
kuat lagi pemberani/tegar jiwanya –walaupun terkadang jatuh dalam kesalahan-
daripada seseorang yang lemah mentalnya –walaupun ia seorang yang dapat
dipercaya-. Jika suatu tugas butuh sifat amanah yang lebih, maka diutamakanlah
seorang yang dapat dipercaya, seperti tugas mengelola perbendaharaan dan yang
semisalnya. Adapun tugas pendistribusian uang sekaligus pengelolaannya, dibutuhkan
seorang yang kuat lagi dapat dipercaya.
Dalam hal memutuskan perkara (hukum), diutamakan hakim yang paling berilmu
tentang prinsip-prinsip keadilan, paling wara’ (berhati-hati), dan paling mampu dalam
merealisasikan keputusan. Jika ada dua hakim, yang satu lebih berilmu sedangkan
yang lain lebih wara’ (berhati-hati), maka dalam perkara yang penyelesaian
hukumnya mudah namun rawan mengikuti hawa nafsu dalam memutuskannya,
diutamakanlah hakim yang lebih wara’ (berhati-hati). Sedangkan dalam perkara yang
rumit penyelesaiannya dan dikhawatirkan terjadi kerancuan dalam memutuskannya,
maka diutamakanlah hakim yang lebih berilmu. Kemudian jika ada dua hakim; yang
satu lebih berilmu dan lebih wara’ (berhati-hati), sedangkan yang lain lebih mampu
dalam merealisasikan keputusan hukum (tegas), maka pada kasus yang
penyelesaiannya didukung penguasa diutamakan seorang hakim yang lebih berilmu
dan lebih wara’ (berhati-hati). Namun pada kasus yang penyelesaiannya kurang
mendapat dukungan dari berbagai pihak (kebijakan yang tidak populer) dan tidak
terlalu dibutuhkan ilmu dan wara’ yang berlebih, maka diutamakan seorang hakim
yang lebih mampu dalam merealisasikan keputusan hukum tersebut.
4. Pentingnya memerhatikan partner (pasangan) dalam suatu tugas. Jika pemimpin
suatu tugas berkarakter lembut, maka wakilnya yang berkarakter keras. Jika
pemimpin berkarakter keras, maka wakilnya yang berkarakter lembut. Demikian itu
agar tercipta suatu keseimbangan (kestabilan) dalam lingkungan tugas tersebut. Oleh
karena itu, Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu (yang berkarakter
lembut) lebih memilih Khalid bin Al-Walid radhiyallahu ‘anhu (yang berkarakter
keras) sebagai wakilnya dalam komando perang. Sedangkan Khalifah Umar bin Al-
Khaththab radhiyallahu ‘anhu (yang berkarakter keras) lebih memilih Abu ‘Ubaidah
Ibnul Jarrah radhiyallahu ‘anhu (yang berkarakter lembut) sebagai wakilnya.
Sehingga terciptalah suatu keseimbangan (kestabilan) dalam lingkup tugas tersebut.
5. Di antara sebab langgengnya suatu kepemimpinan adalah manakala diwarnai
dengan kedermawanan dan keberanian/ketegaran jiwa. Kedermawanan di sini adalah
mendistribusikan keuangan (seperlunya) kepada orang-orang yang berhak
mendapatkannya -walaupun mereka para tokoh-, untuk stabilisasi sosial politik,
kepentingan keagamaan baik yang bersifat fisik maupun non fisik, dan lain
sebagainya. Adapun keberanian/ketegaran jiwa, maksudnya adalah tegar dalam
mengatasi masalah, bersabar, dan tidak marah kecuali karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Suatu kepemimpinan yang jauh dari kedermawanan dan keberanian/ketegaran
jiwa tersebut, maka kepemimpinannya akan cepat berakhir dan berpindah ke tangan
orang lain.
(Disarikan dari kitab As-Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu, yang terhimpun dalam Majmu’ Fatawa juz 28 hal. 244-296)
Adapun poin-poin penting yang dapat disarikan dari kitab Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah
fis Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu adalah
sebagai berikut:
1. Tugas inti pemerintah muslim adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar
(memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran) di tengah
rakyatnya. Sedangkan poros keberhasilan dari seluruh tugas/jabatan pemerintahan
adalah kejujuran dalam pemberian informasi/data dan keadilan dalam memutuskan
suatu putusan perkara. Ada suatu tugas/jabatan yang sangat membutuhkan kejujuran
pejabatnya. Seperti penanggung jawab keuangan yang bertugas mencatat arus keluar
masuk uang negara dan juga para staf ahli kenegaraan yang bertanggung jawab
menyampaikan informasi valid tentang perkembangan situasi dan kondisi negara
kepada penguasa (ulil amri).
Ada pula tugas/jabatan yang sangat membutuhkan keadilan pejabatnya, yaitu
manakala posisinya sebagai pembuat keputusan yang ditaati. Seperti para pemimpin
(instansi pemerintahan) baik sipil maupun militer, hakim, dan lain sebagainya. Oleh
karena itu merupakan suatu kewajiban bagi kepala negara (pemimpin) untuk
menjadikan orang-orang yang jujur dan adil sebagai pembantunya dalam menjalankan
roda pemerintahannya. Adapun rincian deskripsi tugas pada masing-masing
tugas/jabatan, maka menyesuaikan situasi dan kondisi. [Hal. 184-185]
2. Diperbolehkan bagi pemerintah muslim untuk menerapkan siyasah juz’iyyah
(politik parsial). Yaitu menentukan satu keputusan di luar keumuman yang terjadi,
bila diyakini dapat mendatangkan maslahat yang bersifat umum bagi umat Islam.
Contohnya;
- Keputusan Khalifah Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu agar umat Islam (di
masanya) menunaikan ibadah haji dengan jenis haji ifrad (salah satu jenis haji yang
sah dengan mengkhususkan ibadah haji semata tanpa umrah). Padahal Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan haji tamattu’ yang padanya terdapat
rangkaian ibadah haji dan juga umrah. Keputusan tersebut diambil manakala melihat
Masjidil Haram lengang dari para mu’tamirin (orang-orang yang berumrah) di luar
musim haji. Maka dengan keputusan tersebut Masjidil Haram pun selalu diramaikan
umat Islam baik di musim haji maupun di luar musim haji.
- Ketika terjadi pertikaian sengit antara dua orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam di masa kekhalifahan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dalam hal bacaan
Al-Qur’an dan sama-sama bersaksi bahwa itulah yang didapat dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu
(dengan kesepakatan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) memerintahkan
penyusunan Al-Qur’an untuk kali kedua4 dengan satu dialek bacaan saja di antara
dialek-dialek yang didapat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian
membakar mushaf-mushaf selainnya. [Hal. 10-18]
3. Bagi hakim selaku pemberi amar putusan dalam suatu perkara, diperbolehkan
untuk:
- Mengatakan sesuatu yang sebenarnya ia tidak akan melakukannya: “Saya akan
lakukan demikian”, dalam rangka melacak kebenaran pihak yang ditanganinya.
- Memutuskan sesuatu yang menyelisihi pernyataan/pengakuan pihak yang berseteru,
manakala meyakini bahwa yang benar tidaklah seperti apa yang dinyatakan pihak
yang berseteru tersebut.
- Membatalkan putusan yang dijatuhkannya disebabkan adanya putusan lain dari
hakim yang setara atau lebih mumpuni darinya.
Dasar dari semua itu adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dahulu
ada dua orang wanita (masing-masing) bersama anaknya. Tiba-tiba datang seekor
serigala memangsa salah satu dari anak keduanya. Kedua wanita itu pun mengklaim
bahwa anak yang dimangsa tersebut bukan anaknya, akan tetapi anak kawannya.
Akhirnya keduanya pergi ke Nabi Dawud ‘alaihissalam untuk menyelesaikan
perkaranya. Maka diputuskanlah bahwa anak yang ada saat ini adalah milik wanita
(ibu) yang lebih tua. Kemudian keduanya pergi ke Nabi Sulaiman bin Dawud
‘alaihimassalam dan menyampaikan putusan Nabi Dawud ‘alaihissalam tersebut.
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata: “Datangkanlah kepadaku sebilah pisau untuk
memotong anak tersebut menjadi dua bagian.” Maka dengan spontan wanita (ibu)
yang lebih muda mengatakan: “Jangan kau lakukan itu -semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala merahmatimu- sungguh anak tersebut miliknya.” Akhirnya Nabi Sulaiman
‘alaihissalam pun memutuskan bahwa anak tersebut milik wanita (ibu) yang lebih
muda. (HR. Al-Bukhari no. 3427)
- Memutuskan suatu putusan berdasarkan indikasi kuat, manakala diyakini dapat
mengantarkan kepada putusan yang tepat.5 Sebagaimana yang ditempuh Raja Mesir
Al-Aziz6 seputar kasus istrinya yang menuduh Nabi Yusuf ‘alaihissalam berbuat tak
senonoh terhadap dirinya. Dengan melihat posisi koyakan baju gamis Nabi Yusuf
‘alaihissalam yang berada di bagian belakang, maka diputuskanlah oleh Al-Aziz
bahwa yang salah adalah istrinya. Karena posisi koyakan baju gamis Nabi Yusuf
‘alaihissalam yang berada di bagian belakang merupakan indikasi kuat bahwa
istrinyalah yang mengajak Nabi Yusuf ‘alaihissalam untuk melakukan perbuatan tak
senonoh itu. Ketika Nabi Yusuf ‘alaihissalam tak menyambut ajakannya lalu pergi
meninggalkannya, wanita itu pun berupaya mengejar Nabi Yusuf ‘alaihissalam dan
menggapai baju gamis beliau hingga koyak di bagian belakangnya. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
“Maka tatkala suami wanita itu (Al-Aziz) melihat baju gamis Yusuf koyak di bagian
belakang, berkatalah dia: ‘Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya
kamu (istrinya), sesungguhnya tipu daya kamu sangatlah besar’.” (Yusuf: 28) [Hal. 4-
5]
4. Putusan perkara yang dijatuhkan kepada anggota masyarakat (rakyat), bermuara
pada dua kasus:
a. Pengaduan (tuduhan) satu pihak terhadap pihak lainnya, baik dalam perkara pidana
maupun perdata. Dalam kasus ini, pihak yang diadukan/dituduh terdiri dari tiga jenis;
Pertama: Si tertuduh dinyatakan bersih dari tuduhan tersebut. Maka menurut
kesepakatan ulama, dia tidak boleh dihukum. Sedangkan si penuduh dijatuhi hukuman
atas tuduhan dustanya itu.
Kedua: Si tertuduh adalah seorang yang majhul (tidak jelas keadaannya) dari jenis
orang baik ataukah tidak. Maka untuk sementara waktu ia ditahan hingga jelas duduk
permasalahannya.
Ketiga: Si tertuduh dikenal dengan kejahatannya. Maka dia ditahan hingga jelas
duduk permasalahannya. Khusus jenis ini, boleh diancam dengan kekerasan atau
dipukul jika diperlukan. Adapun cara dalam memutuskan suatu putusan perkara
dalam kasus pengaduan/tuduhan tersebut ada 25 cara, sebagaimana disebutkan Ibnul
Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya di atas hal. 83-182.
b. Pelanggaran yang murni terkait dengan pelaksanaan agama, baik dalam hal ibadah,
muamalah, akhlak, dan lain sebagainya (tak terkait secara langsung dengan
pengaduan/tuduhan).
Untuk menanganinya, maka pemerintah muslim membentuk tim/badan khusus yang
dalam kitab fiqh disebut Al-Hisbah. Tugas pokoknya adalah menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari
kemungkaran). Merekalah yang bertugas memerintahkan orang-orang untuk
menunaikan shalat lima waktu tepat pada waktunya. Memberikan sanksi terhadap
orang yang tidak shalat baik dengan pukulan maupun penjara. Mengontrol para imam
masjid dan muadzin. Memerintahkan orang-orang untuk shalat Jum’at, shalat
berjamaah, menunaikan amanah, dan berlaku jujur. Menyampaikan nasihat baik
dengan ucapan maupun perbuatan. Melarang dari perbuatan khianat, mengurangi
timbangan dan sukatan, serta berlaku curang dalam produksi barang dan
perdagangannya. Mengontrol para produsen makanan maupun pakaian serta melarang
mereka untuk memproduksi produk-produk yang diharamkan dalam agama ini.
Melarang transaksi yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti riba dan segala transaksi yang mengandung
unsur judi. Menormalkan harga pasar dan mencegah para pedagang dari menimbun
barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan menekan para penimbun
tersebut agar menjualnya dengan harga pasar yang wajar, dan lain sebagainya. [183-
223]
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, demikianlah
selayang pandang tentang as-siyasah asy-syar’iyah (politik yang syar’i) yang dapat
disajikan dalam kesempatan kali ini. Semoga sedikit sajian tersebut dapat membuka
cakrawala berpikir umat tentang kehidupan beragama sekaligus menjadi motivator
untuk semakin mendalami agama Islam yang haq ini.
Amin ya Rabbal ‘Alamin. 1 Untuk mengetahui lebih rinci tentang ratap tangis politik
di Aljazair, silakan merujuk kitab Madarikun Nazhar fis Siyasah dan Fatawa Al-
Ulama’ Al-Akabir Fima Uhdira min Dima’ fi Aljazair. Keduanya karya Asy-Syaikh
Abdul Malik bin Ahmad Ar-Ramadhani.
2 Prinsip berpolitik praktis itu sendiri diingkari para "reformis" Ikhwanul Muslimin
(IM) seperti Sayyid Quthb (Mesir), Abul A’la Al-Maududi (Pakistan), dan orang-
orang yang mengikuti jejak mereka. Menurut mereka, "jalan satu-satunya" adalah
melakukan gerakan penggulingan kekuasaan (kudeta). Padahal dengan prinsip
tersebut -disadari ataupun tidak- mereka telah teridentifikasi sebagai Neo-Khawarij
yang diperingatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak sabdanya.
(Untuk lebih rincinya, lihat Manhajul Anbiya’ fid Da’wati Ilallah, Fihil Hikmah wal
‘Aql, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali).
Demikian halnya dengan Hizbut Tahrir (HT). Mereka lebih memilih berada di luar
sistem dengan terus melakukan penentangan terhadap para penguasa, mengungkapkan
pengkhianatan dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan kritik,
kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya, jika hak-hak umat
dilanggar atau pemerintah tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, yaitu bila
melalaikan salah satu urusan umat atau menyalahi hukum-hukum Islam. Ironisnya,
dengan prinsip tersebut -disadari ataupun tidak- HT telah meniti jejak Al-Qa’adiyyah,
salah satu sekte dari kelompok sesat Khawarij. Menurut Al-Imam Abdullah bin
Muhammad Adh-Dha’if, Al-Qa’adiyyah merupakan kelompok Khawarij yang paling
jahat. (Lihat Masail Al-Imam Ahmad karya Al-Imam Abu Dawud, rahimahullahu hal.
271, Tahdzibut Tahdzib juz 8 hal. 114, dan Hadyus Sari Muqaddimah Fathil Bari hal.
454, keduanya karya Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu, dan rubrik Manhaji
Majalah Asy Syariah, edisi Polemik Menuju Negara Islam No. 16/II/1426 H/2005).
3 Untuk mengetahui lebih rinci tentang al-wala’ wal-bara’ khususnya yang ada pada
kelompok Ikhwanul Muslimin, lihat rubrik Manhaji Majalah Asy Syariah edisi
Sejarah Hitam IM (Ikhwanul Muslimin) (No. 20/II/1426 H/2005).
4 Penyusunan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf untuk kali pertama terjadi di masa
kekhalifahan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu (dengan kesepakatan para
sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), ketika para ahli Al-Qur’an dari kalangan
sahabat banyak yang gugur dalam pertempuran Yamamah di mana dikhawatirkan Al-
Qur’an akan lenyap di tengah umat.
5 Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu telah berpanjang lebar dalam menjelaskan
kaidah tersebut beserta contoh-contohnya, sebagaimana pada hal. 3-50.
6 Al-Aziz adalah sebutan bagi raja Mesir, secara harfiah berarti yang mulia.
Sedangkan namanya adalah Ar-Rayyan bin Al-Walid. Silakan lihat pembahasan
tentang nama Raja Mesir di masa Nabi Yusuf ‘alaihissalam pada rubrik Tafsir edisi
ini. –red

Demi Suara, Apapun Dilakukan


Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

Menjelang pemilu, berbagai wilayah di Republik Indonesia ini diwarnai berbagai


atribut partai. Mereka –para peserta pesta demokrasi– berlomba memajang
anggota partainya untuk dipilih rakyat. Mereka berlomba meraup suara sebanyak
mungkin agar bisa meloloskan anggota partainya menduduki kursi jabatan yang
diperebutkan.

Di antara peserta pesta demokrasi itu, terdapat partai-partai yang mengusung


nama Islam. Mereka masih berkeyakinan bahwa sentimen agama masih menjadi
komoditas yang laik jual. Meskipun senyatanya, kesantunan beragama terkadang
tidak melekat dalam pergaulan mereka. Tak sedikit yang berlaga sehingga saling
menyerang, baku tikai hanya karena beda partai. Tak sedikit pula yang membujuk
rayu masyarakat dengan uang, kaos, atau fasilitas lainnya dengan maksud
masyarakat memilihnya. Ini yang sering dimunculkan sebagai isu-isu untuk
meruntuhkan partai lawan.
Seperti apa wajah partai Islam sekarang? Atau, sebelum pertanyaan ini
disodorkan, perlu dipertanyakan terlebih dulu: Adakah partai Islam itu? Partai-
partai “Islam” (dalam tanda kutip) cukup variatif. Baik dari sisi konstituen (para
pendukung) maupun dari sisi visi yang menjadi dasar perjuangan mereka.
Di antaranya ada yang secara tegas menyatakan diri sebagai partai berazas Islam,
berjuang untuk menegakkan hukum Islam ke dalam perundang-undangan
Indonesia. Dalam sejarah kepartaian setelah Indonesia merdeka, partai yang
memiliki garis perjuangan seperti itu bisa ditemukan pada Partai Masyumi.
Bagaimana dengan partai-partai “Islam” masa pascareformasi? Sungguh, partai-
partai yang ada sekarang masih sulit untuk disejajarkan dengan Partai Masyumi
yang dulu. Walau dengan tingkat “soliditas” yang tinggi dan “handal”, toh dalam
pentas sejarah kepartaian, Masyumi masih bisa dijegal kalangan nasionalis sekuler
dan kalangan komunis. Perjuangan untuk menegakkan syariat Islam melalui
sistem demokrasi kepartaian pun kandas. Presiden Soekarno saat itu menekan
Masyumi untuk bubar melalui Keputusan Presiden No. 200/1960. Maka, tidak
kurang dari sebulan setelah Keputusan Presiden tersebut, pada tanggal 13
September 1960 Partai Masyumi menyatakan membubarkan diri. Pembubaran diri
ini dilakukan setelah Presiden mengancam akan menjadikannya sebagai partai
terlarang jika tidak mematuhinya. (Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas
Nasional, Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, hal.
414-415). Itulah klimaks memperjuangkan agama melalui alur demokrasi.
Berupaya membangun dinding, tapi lupa membangun fondasi. Berupaya agar
syariat Islam diberlakukan dalam perundangan, tapi lalai membekali umat dengan
pemahaman Islam yang benar.
Bentuk lainnya, terdapat pula partai-partai yang secara tegas menyatakan bukan
partai Islam, namun memiliki basis massa dan pengurus partai berasal dari tokoh-
tokoh yang dianggap oleh sebagian kalangan sebagai tokoh Islam. Partai-partai ini
oleh sebagian kalangan dianggap memiliki akar sejarah keislaman dan memiliki
ikatan emosional yang kuat dengan ormas-ormas Islam.
Terlepas dari corak yang ada pada partai-partai “Islam” tersebut, tumbuh
keyakinan pada sebagian kalangan bahwa terjun ke gelanggang politik, masuk
dalam sistem demokrasi merupakan bentuk perjuangan menegakkan dakwah.
Berjuang melalui partai-partai “Islam”, menyuarakan aspirasi umat adalah bagian
dari dakwah. Bahkan telah terpatri pada benak sebagian kaum muslimin, bila tidak
turut berjuang melalui partai, maka negara akan dipimpin dan dikuasai kaum
kafir. Umat Islam akan menjadi kelompok marginal (terpinggirkan), tidak berada
dalam arus lingkaran kekuasaan. Seakan-akan keselamatan kaum muslimin hanya
bisa dicapai dengan merebut suara terbanyak pada pesta demokrasi. Padahal Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
ْ'ِ ‫ ءَاَ'ُ;ا‬َ ِ? ‫_ ا‬ُ ‫ َوَ َ ا‬
َ'<Mََُ‫ْ َو‬Iِِ%َْN ِْ 
َ ِ? ‫ ا‬1
َ َ%ْcَْ‫ض آََ ا‬ ِ ْ‫ اَْر‬Fِ. ْIُ 'َDِ%ْcَََْ ‫ت‬
ِ َ=ِ ‫ُ;ا ا‬%َِ‫ْ َو‬IُM
َk Fِ ‫ن‬ َ ;ُ‫ْ ِآ‬Uُ َ Fِ'َ,‫ُُْو‬2َ ً'ْ‫ْ َأ‬Iِِ.ْ;َ8 ِ ْ2َ ِْ ْIُ 'َ< ََُ‫ْ َو‬Iَُ Kَrَْ‫ ا ?ِي ار‬Iُ َُ'ِ‫ْ د‬Iَُ +َ ِ‫ْ َ َذ‬2َ َ َDَ‫ْ^ً وََْ آ‬
‫ن‬
َ ;ُ9َِDْ‫ ا‬Iُ ُ‫ ه‬+
َ ِ^َ‫َُو‬.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-
orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi
aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Abul Fida Ismail Ibnu Katsir rahimahullahu menuturkan, inilah janji Allah
Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh,
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadikan umat-Nya sebagai khalifah di muka
bumi. Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadikan umat-Nya
sebagai pemimpin-pemimpin masyarakat dan penguasa mereka. Sungguh, benar-
benar Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengganti rasa takut menjadi situasi yang
penuh rasa aman dan (tegaknya) hukum. Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi
telah membuktikan janji itu dan milik-Nya lah segala puji. Saat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum meninggal dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah membukakan kemenangan kepada kaum muslimin dengan Fathu Makkah,
Khaibar, Bahrain, dan seluruh Jazirah Arab serta bumi Yaman secara total. Jizyah
(upeti) telah bisa diperoleh dari kalangan Majusi Hajar, sebagian pinggiran Syam.
Para raja mengajukan deklarasi damai kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antaranya Raja Heraklius, Romawi, penguasa Mesir dan Iskandariyah yaitu
Muqauqus, Raja Oman, Raja An-Najasyi di Habasyah yang memerintah setelah
Ashimah rahimahullahu. Kemudian, kala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah wafat, Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih pengganti beliau dengan Abu
Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Semasa pemerintahannya, Abu Bakr Ash-
Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengirim pasukan di bawah komando Khalid bin
Walid radhiyallahu ‘anhu ke Persia. Kemenangan pun diperoleh, Persia
ditaklukkan dan sebagian tentaranya dibunuh. Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu
‘anhu pun mengutus pasukan di bawah pimpinan Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu
ke wilayah Syam. Juga mengirim sahabat Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhu
beserta pasukannya ke Mesir. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan
kemenangan kepada pasukan kaum muslimin di Syam, berhasil pula menguasai
Bashrah, Damaskus, dan yang tersisa adalah sebagian negeri Hauran. Sepeninggal
Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, muncul Umar Al-Faruq radhiyallahu
‘anhu. Beliau menegakkan pemerintahan secara paripurna, yang belum ada
tandingannya dalam sejarah –setelah para nabi– dalam hal kekokohan, kekuatan,
dan keadilannya yang sungguh sempurna. Dalam masa pemerintahannya, wilayah
Syam dikuasai secara total, beberapa wilayah Mesir lainnya, dan sebagian besar
wilayah Persia pun berhasil dikuasai. Begitu pula dengan kekaisaran Kisra,
berhasil ditaklukkan dan direndahkan serendah-rendahnya. Raja Kisra lari hingga
terusir. Nasib serupa pun menimpa Raja Romawi. Kerajaannya berhasil
diruntuhkan, hingga terlepas kekuasaannya di negeri Syam dan dia lari menuju
Konstantinopel. Kemudian saat masa Daulah Utsmaniyah, kekuasaan kaum
muslimin semakin melebar dari Timur hingga belahan Barat bumi. Wilayah
Maghribi berhasil dikuasai hingga batas ujung yaitu Andalusia, Qabras (Cyprus),
negeri Qairawan dan Sabtah yang terletak sekitar Laut Atlantik. Dari arah timur
hingga ke negeri Cina. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir saat menjelaskan ayat di atas,
3/366)
Demikianlah fakta sejarah. Lantaran kekokohan iman, kebersihan aqidah,
ketulusan beramal shalih, Allah Subhanahu wa Ta’ala menampakkan janjinya.
Kata Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu, pertolongan Allah
Subhanahu wa Ta’ala bisa diperoleh dengan mengikuti syariat-Nya dan bersabar
(dalam menjalankannya). Sebagaimana firman-Nya:
‫ ءَاَ'ُ;ا‬
َ ِ? ‫َ ا‬G‫ْ ََأ‬IُMَ‫َْا‬N‫َ<&ْ َأ‬wُ‫ْ َو‬Iُ‫_ َ'ُْْآ‬
َ ‫إِنْ َ'ُُْوا ا‬
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya
Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)
Ini sebagaimana tersebut dalam pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
+
َ َ‫َه‬Rُ tُ ِْRَ _
َ ‫ِ ا‬hَDْ ‫ ا‬،َ+ْdَDْ=َ _ َ ‫ِ ا‬hَDْ ‫ا‬
“Jagalah (hukum-hukum) Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah (hukum-
hukum) Allah niscaya akan engkau dapati Dia di depanmu.” (HR. At-Tirmidzi no.
2516, dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih
Al-Jami’, no. 7957)
Maka, barangsiapa menjaga Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjaga agama-
Nya, bersikap istiqamah, saling menasihati dan bersabar atasnya, kelak Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan menolongnya, mengokohkannya atas musuh-
musuhnya serta menjaganya dari tipu daya musuhnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:

َ ِ'ِْvُْ‫َْ ُ ا‬, َ'َْ%َ Q9َ ‫ن‬َ َ‫َوآ‬
“Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (Ar-Rum:
47)
Nampak, betapa keberhasilan yang gilang-gemilang dari generasi utama umat ini
karena ketaatan, ketundukan, dan ketulusan mereka dalam menetapi perintah
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka
adalah generasi yang senantiasa ittiba’ (mengikuti) apa yang dicontohkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah kunci keberhasilan mereka.
Dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka berhasil menguasai dan
memimpin di berbagai belahan dunia. Ke sanalah mesti merujuk. Merekalah yang
patut untuk diteladani. Bukan mengikuti langkah-langkah yang telah dicanangkan
secara sistematik oleh orang-orang kafir, musuh-musuh Islam. Ketika menukil
ayat:
‫ن‬
َ ;ُ2ِ‫ْ رَاآ‬Iُ‫آَ َة َوه‬7 ‫ن ا‬ َ ;ُْvُ‫َ َة َو‬% ‫ُِ;نَ ا‬9ُ  َ ِ? ‫ ءَاَ'ُ;ا ا‬
َ ِ? ‫ُ وَا‬Bُ;ُ‫_ َو َر‬
ُ ‫ ا‬Iُ ُMGِ‫ َ َو‬,‫ِإ‬. _
َ ‫ل ا‬
;َ ََ َْ‫َو‬
‫ب‬
َ ْ7ِ ‫ن‬ -َِ. ‫ ءَاَ'ُ;ا‬َ ِ? ‫ُ وَا‬Bَ;ُ‫ن َو َر‬ َ ;َُِxْ‫ ا‬Iُ ُ‫_ ه‬
ِ ‫ا‬
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang
yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah
itulah yang pasti menang.” (Al-Ma’idah: 55-56)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam menyatakan: “Perhatikan, Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menjanjikan kemenangan kepada orang-orang yang
beriman atas musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala setelah menyebutkan
kaidah (prinsip) keimanan, yaitu sikap wala’ (loyalitas) yang kokoh kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan orang-orang
yang beriman. Sikap wala’ (loyalitas) ini diiringi pula dengan sikap berlepas diri
secara total dari musuh-musuh (Allah Subhanahu wa Ta’ala).” (Tanwir Azh-
Zhulumat, hal. 49)
Maka, apa yang akan terjadi jika perjuangan menegakkan Islam tanpa
mengindahkan prinsip-prinsip keimanan? Bahkan prinsip-prinsip tersebut dinjak-
injak dan dicampakkan demi meraup suara pada pemilu. Wallahul Musta’an.
Bila ditelaah secara cermat, sejauh mana kerusakan yang ditimbulkan akibat
mengikuti sistem demokrasi ini, bagaimana sikap para aktivis partai “Islam”
setelah mereka berkubang di lumpur demokrasi, maka sudah bukan satu hal yang
asing bila terdengar lontaran-lontaran pemikiran aneh dan ganjil dari para politisi
partai “Islam”. Dari sekian banyak “Islam”, ada partai “Islam” yang memimpikan
keadilan dan kesejahteraan masyarakat, menggeser haluan perjuangan partainya.
Menjelang Pemilu 1999 misalnya, Dewan Syariah partai “Islam” ini, selaku
lembaga yang bertugas membuat putusan agama untuk anggota dan simpatisan
partai, mengeluarkan seruan kepada kader dan pendukungnya agar tak terjebak
dalam kesibukan mencari pemilih. Sebab, partai ini didirikan bukan untuk
mengejar kekuasaan, tapi guna kepentingan dakwah. Jelang Pemilu 2004, Dewan
Syariah partai “Islam” ini mengeluarkan seruan, yang terpenting dilakukan aktivis
kader partainya adalah mengajak orang sebanyak-banyaknya memilih partai
“Islam” ini. Soal dakwah urusan kemudian. Partai “Islam” ini pun mengalami
perubahan dari sebuah partai idealis menjadi pragmatis. Tak heran, bila kemudian
muncul pernyataan dari Wakil Sekjen Partai tersebut, bahwa partainya siap
menerima anggota non-muslim untuk dijadikan anggota DPR dari partai “Islam”-
nya. Bahkan, dikatakannya, bahwa partainya siap berkoalisi dengan partai apapun
dan lembaga manapun. Menghadapi Pemilu 2009 ini, Sekjen partai “Islam” ini,
saat acara temu muka Tim Delapan partai “Islam” ini dengan sejumlah tokoh non-
muslim Makassar, menyatakan bahwa untuk memenuhi target suara 20% dalam
Pemilu 2009, partai “Islam” ini berhasrat merangkul semua suku maupun agama.
Begitulah pergeseran perilaku politik partai yang didirikan para aktivis bercorak
pemahaman Ikhwanul Muslimin.
Pergeseran perilaku politik telah mengubah sikap beragama. Idealisme
memperjuangkan tegaknya syariat Islam, luntur tercelup kepentingan-kepentingan
sesaat. Adagium (pepatah) dalam politik: “Tidak ada lawan atau kawan abadi,
yang ada adalah kepentingan abadi” benar-benar diterapkan. Menukil pernyataan
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam, satu dari sekian banyak
kerusakan mengikuti pemilu yaitu tamyi’ al-wala’ wal bara’ (lunturnya sikap
loyalitas terhadap al-haq dan ahlul haq, serta berlepas diri dari kebatilan dan
pengusungnya). (Lihat Tanwir Azh-Zhulumat hal. 49)
Seorang kafir akan dijadikan teman seiring dalam perjuangan karena
menunjukkan sikap loyalitas terhadap partai. Sedangkan seorang muslim yang
taat, karena ketaatannya kepada syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia tidak
dihiraukannya. Bahkan, bisa jadi seorang muslim tadi disikapi sebagai lawan
dengan tingkat permusuhan yang tajam lantaran mengkritisi cara perjuangan
berpartai. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫ن‬
َ ;ُ2ِ‫ْ رَاآ‬Iُ‫آَ َة َوه‬7 ‫ن ا‬ َ ;ُْvُ‫َ َة َو‬% ‫ُِ;نَ ا‬9ُ  َ ِ? ‫ ءَاَ'ُ;ا ا‬ َ ِ? ‫ُ وَا‬Bُ;ُ‫_ َو َر‬
ُ ‫ ا‬Iُ ُMGِ‫ َ َو‬,‫ِإ‬. _
َ ‫ل ا‬
;َ ََ َْ‫َو‬
‫ن‬
َ ;َُِxْ‫ ا‬Iُ ُ‫_ ه‬
ِ ‫با‬َ ْ7ِ ‫ن‬ -َِ. ‫ ءَاَ'ُ;ا‬َ ِ? ‫ُ وَا‬Bَ;ُ‫َو َر‬
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang
yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah
itulah yang pasti menang.” (Al-Ma’idah: 55-56)
Firman-Nya:
ََ ‫  ِر ُر‬DُMْ‫ ا‬Kَ%َ ‫ِ ا ُء‬k‫ُ َأ‬Bَ2َ 
َ ِ? ‫_ وَا‬
ِ ‫لا‬ ُ ;ُ‫ُْ=َ ٌ َر‬Iَُ'َْ ‫ ُء‬
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”
(Al-Fath: 29)
Selain itu, seseorang, partai atau jamaah yang terjerembab ke dalam kubangan
lumpur demokrasi, maka jerat-jerat aturan perundangan akan mengikatnya. Dia
harus tunduk dengan segala perundangan yang ada walau perundangan tersebut
menyelisihi syariat. Peraturan yang mengharuskan setiap partai mengajukan calon
legislatif dengan komposisi (keterwakilan) 30% harus wanita, tentu bukan semata
aturan untuk partai peserta pemilu. Peraturan ini harus dilihat pula sebagai bentuk
kemenangan para pejuang emansipasi wanita. Sedangkan agenda tersembunyi dari
program emansipasi yaitu merobek hijab muslimah dan mengeluarkan kaum
muslimah dari tradisi Islam. Bila kaum muslimah sudah duduk di kursi legislatif,
maka koyaklah hijab mereka. Mereka akan bercampur dengan laki-laki yang
bukan mahram, mendedahkan aurat, bebas berpandangan antarlawan jenis dan
keluar rumah dengan sebab yang bukan darurat. Tak cuma itu, akibat mengikuti
sistem demokrasi, maka saat kampanye berlangsung, para wanita turut membaur
di antara peserta kampanye laki-laki. Di manakah letak pengamalan terhadap
syariat? Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
Kَ‫ِ )ِ اُْو‬%ِ‫َه‬Rْ‫ج ا‬ َ G ََ 
َ ْZ ََ َ‫ َو‬ ُMِ;ُُ Fِ. ‫ن‬
َ َْN‫َو‬
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
َْ'ِ َ ََl َ  ‫ ِإ‬ ََُ'ِ‫ ز‬َ ُِْ َ‫ َو‬
َُZ‫ُُو‬.  َ ْdَDْ=َ‫ َو‬
ِ‫ ِْ َأ َْ ِره‬
َ ْrُrْxَ ‫ت‬
ِ َ'ِْvُْ%ِ ْXُN‫َو‬
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya’.” (An-
Nur: 31)
Pemilihan terhadap wanita untuk menduduki jabatan yang memiliki tanggung
jawab dalam kepemimpinan umat, masuk dalam kategori hadits Abu Bakrah
radhiyallahu ‘anhu:
‫ اْ ََأ ًة‬Iُ ُ‫َ;ْمٌ َو ;ْا َأْ َه‬N ‚ َ ِ%ْDُ َْ
“Tidak akan beruntung satu kaum (bangsa) yang menyerahkan kepemimpinannya
kepada seorang wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 4425)
Apa yang dilakukan partai-partai “Islam” kala Megawati dari Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) maju mencalonkan diri menjadi Presiden? Partai-
partai “Islam” nyaring menyuarakan penentangannya. Menjelang Pemilu 1999
kala itu diwarnai persaingan antara kalangan Islam dengan nasionalis sekuler.
Partai-partai “Islam” berupaya menjegal Megawati untuk duduk di kursi RI-1.
Mereka menggunakan banyak cara, termasuk mencari justifikasi (pembenaran)
dari agama bahwa Islam melarang wanita menjadi kepala negara.
Setelah melebur dalam ‘poros tengah’, partai-partai “Islam” mengusung nama Gus
Dur untuk dicalonkan menjadi Presiden. Upaya ‘poros tengah’ berhasil. Gus Dur
menduduki kursi presiden. Namun, kala kinerja Gus Dur morat-marit, ‘poros
tengah’ yang didukung partai-partai “Islam” menarik dukungannya kepada Gus
Dur. Akhirnya, Gus Dur makzul, lengser dari kursi presiden. Penggantinya adalah
Megawati. Posisi Megawati menguat karena mendapat dukungan partai-partai
“Islam”.
Dulu, partai-partai “Islam” sekuat tenaga menjegal Megawati jadi presiden, tapi
setelah itu berbalik mendukungnya. Dalil agama yang melarang wanita jadi kepala
negara pun sirna. Tak terdengar lagi gaungnya. Nyata, pernyataan boleh tidaknya
wanita jadi kepala negara hanya retorika politik. Para politisi, termasuk dari
partai-partai “Islam”, telah melakukan politisasi agama guna memperoleh
dukungan kalangan Islam. Agama akan dijunjung sedemikian rupa manakala
menguntungkan para politisi atau partai. Namun ketika agama tidak bisa atau
menghambat perolehan suara atau kedudukan partai dan politisi, maka agama itu
pun dicampakkan.
Kasus yang nyaris sama terjadi pada sebuah partai “Islam”. Partai satu ini pernah
dituding sebagai partai anti tahlilan dan yasinan. Melihat latar belakang
pendidikan keagamaan para kader partai “Islam” ini, tudingan seperti itu tidak
bisa secara mutlak disalahkan. Artinya, kalau para kader partai “Islam” ini mau
jujur, praktik acara tahlilan dan yasinan bukan merupakan tradisi keagamaan yang
dianut dan diyakini para kader partai “Islam” ini sebagai sesuatu yang benar.
Tahlilan dan yasinan bukan materi yang diajarkan kepada kader-kader partai
“Islam” ini di halaqah-halaqah tarbiyah mereka. Bahkan, kalau mereka mau jujur,
justru ritual tahlilan dan yasinan dinilai (oleh para kader partai “Islam” ini)
sebagai bid’ah.
Masalahnya, mengapa tudingan sebagai partai anti tahlilan dan yasinan dibantah?
Jawaban untuk pertanyaan ini harus kembali kepada kebijakan petinggi partai.
Sebagaimana seruan Dewan Syariah Partai, yang terpenting dilakukan kader
adalah mengajak orang pilih partai “Islam” ini. Adapun dakwah, bisa dilakukan
setelah itu. Target untuk menggapai perolehan suara sebanyak-banyaknya telah
melunturkan idealisme keagamaan. Orientasi kekuasaan telah menjadikan lidah
para kader kelu untuk menyuarakan kebenaran yang telah diyakininya. Bahkan
yang ekstrem, untuk memupus partai “Islam” ini sebagai partai anti tahlilan dan
yasinan, Ketua Majelis Syura sering memimpin tahlilan, yasinan, dan menghadiri
peringatan Maulid Nabi. Ini disampaikan di hadapan para kader partai yang salah
satu unsur lambangnya dua bulan sabit mengapit padi tersebut saat Mukernas
2008 di Makassar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut karakteristik umat yang kelak memperoleh
kemenangan dan kejayaan, di antaranya menegakkan amar ma’ruf dan mencegah
kemungkaran. Firman-Nya:
ْIُMْ'ِ ُْMَْ‫ن َو‬
َ ;ُ=ِ%ْDُْ‫ ا‬Iُ ُ‫ ه‬+ َ ِ^َ‫َ ِ َوأُو‬Mْ'ُْ‫ ا‬
ِ َ ‫ن‬ َ ْ;َْ'َ‫ف َو‬
ِ ‫ُْو‬2َِْ ‫ن‬ َ ‫َْ ِ َوَُُْو‬cْ‫ ا‬Kَ‫ن ِإ‬ َ ;َُْ ٌ) ‫ُأ‬
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pula untuk menghapus
kemungkaran. Kata Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, “Saya telah
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ن‬
ِ َْ-ِْ‫ ا‬1
ُ َ2ْ3‫ َأ‬+ َ ِ‫ِ َو َذ‬Bِْ%َ9َِ. ْzِ ََْ ْIَ ْ‫ن‬-َِ. ِBِ,َِ%َِ. ْzِ ََْ ْIَ ْ‫ْن‬-َ. tِ ِ َِ tُ َِّْxُْ%َ. ‫ًَا‬Mْ'ُ ْIُMْ'ِ ‫َْ َرأَى‬
“Barangsiapa melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya. Bila tidak
mampu, (ubahlah) dengan lisannya. Bila tidak mampu, dengan hatinya. Yang
demikian itu selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pula untuk berkata yang
baik. Bila tak bisa, diam. Bukan lantas membuat pernyataan-pernyataan politis
yang menghasung umat terjatuh pada praktik-praktik bid’ah. Diriwayatkan dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda:
ْ&َُِْ ْ‫ًَْا َأو‬8 ْXُ9َْ%َ. ِ ِ8aْ‫_ وَاَْ;ْ ِم ا‬ ِ ِ ُ ِْvُ ‫ن‬َ َ‫َْ آ‬
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berbicaralah yang
baik atau diam.” (HR. Muslim no. 34)
Demokrasi telah menggiring umat untuk terpaku pada perolehan suara, sementara
ketentuan syariat ditanggalkan. Patutkah yang demikian ini dikategorikan
memperjuangkan Islam dan kaum muslimin? Wallahu a’lam.
Partai Islam Partai Dakwah?
Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullahu dalam Al-Hujajul Qawiyyah ‘ala


anna Wasa’il Ad-Da’wah Tauqifiyyah menuturkan bahwa dakwah (mengajak
manusia) ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ibadah yang agung. Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan hal ini. Mendorong setiap muslim untuk
terjun dalam kancah dakwah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan para pegiat
dakwah sebagai sebaik-baik manusia dalam perkataannya. Mengangkat amalan
mereka pada derajat utama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ًْ;َN 
ُ َْ ‫ َوَْ َأ‬
َ ِِ%ُْْ‫ ا‬ َ ِ Fِ' ,‫ل ِإ‬َ َN‫َِ=ً َو‬L X َ َِ‫_ َو‬ ِ ‫ ا‬Kَ‫ ِ ْ َدَ ِإ‬
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang shalih dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang
yang berserah diri’?” (Fushshilat: 33)
Ini mengandung pengertian, bahwa tak ada seorang pun yang paling baik
perkataannya daripada orang yang menyeru (berdakwah) ke jalan Allah Subhanahu
wa Ta’ala, beramal dengan apa yang didakwahkannya. Dia menjelaskan secara
gamblang tentang dakwah yang diembannya tanpa malu, jenuh, berat, dan malas.
Bahkan dia katakan: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”
Seseorang tidak akan merasa tertipu dengan menduduki status sebagai da’i (orang
yang menyeru manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Sebab, dirinya termasuk
orang yang mewarisi tugas para nabi, yaitu mengajak manusia ke jalan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
diwahyukan kepada Penutup dan Imam para nabi:
ْXُN َ ِ‫ْ ِآ‬Uُْ‫ ا‬
َ ِ َ,‫_ َوَ َأ‬ ِ ‫نا‬ َ َ=ُْ‫ َو‬Fِ'َ2َ ‫ ا‬
ِ َ‫َ َو‬,‫ َِ َ ٍة َأ‬Kَ%َ _ ِ ‫ ا‬Kَ‫ َأدُْ; ِإ‬Fِ%َِ tِ ?ِ َ‫ه‬
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)
Ayat ini menjadi dalil, sesungguhnya para pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah du’at (para penyeru) ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibnu Katsir
rahimahullahu menyatakan bahwa Alah l berfirman kepada Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam: Dia memerintahkannya agar mengabarkan kepada segenap manusia
bahwa jalan ini, yaitu thariqah dan sunnahnya, adalah mendakwahkan kepada
kesaksian “Tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah saja tiada sekutu
bagi-Nya,” menyeru ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan materi dakwah
tersebut berdasar bashirah (hujjah), keyakinan, dan burhan (penjelasan). Dia dan
segenap orang yang mengikutinya mendakwahkan kepada apa yang telah
didakwahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas dasar bashirah, yakin,
burhan, akal, dan syariat. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/496)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi jawaban bahwa selalu akan ada pada umat
ini sekelompok manusia yang menyeru ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kelompok tersebut membimbing manusia kepada kebaikan, memerintahkan mereka
dengan kebaikan tersebut, memperingatkan segenap manusia dari keburukan dan
mencegah mereka untuk melakukan keburukan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
‫ن‬
َ ;ُ=ِ%ْDُْ‫ ا‬Iُ ُ‫ ه‬+
َ ِ^َ‫َ ِ َوأُو‬Mْ'ُْ‫ ا‬
ِ َ ‫ن‬َ ْ;َْ'َ‫ف َو‬
ِ ‫ُْو‬2َِْ ‫ن‬ َ ‫َْ ِ َوَُُْو‬cْ‫ ا‬Kَ‫ن ِإ‬
َ ;َُْ ٌ) ‫ْ ُأ‬IُMْ'ِ ُْMَْ‫َو‬
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula:
 ُ َْ ‫ َأ‬F َ ِ‫ ه‬Fِ ِ ْIُْ‫َ ِد‬Z‫َ)ِ اْ=ََ'َ)ِ َو‬dِْ;َْ‫َْ)ِ وَا‬Mِ=ِْ + َ < ‫ َر‬X
ِ َِ Kَ‫ع ِإ‬
ُ ْ‫اد‬
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
serta bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)
Bersandar pada ayat di atas, para ulama rahimahumullah menjelaskan bahwa
berdakwah, mengajak manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dihukumi fardhu
kifayah. Wajib atas sekelompok dari kalangan kaum muslimin untuk menegakkannya
di setiap zaman dan tempat. Jika tidak ada yang menegakkannya sama sekali, maka
mereka semua berdosa. (Majmu’ Al-Fatawa, 15/165)
Allah Subhanahu wa Ta’ala sungguh telah menyediakan pahala yang besar dan
balasan nan melimpah bagi siapa yang menegakkan perkara dakwah ini. Dalam Ash-
Shahihain, dari hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, sungguh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam berbicara kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:
Iِ َ2 '‫ ِْ ُْ ِ ا‬+ َ َ ٌَْ8 ‫ً وَا ًِا‬%ُZ‫ َر‬+ َ ِ _
ُ ‫_ ََنْ َْ ِيَ ا‬ ِ ‫وَا‬
“Demi Allah, sungguh jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang lantaran
engkau, itu lebih baik bagimu daripada (engkau mendapat) unta merah.”
Unta merah adalah sebaik-baik harta di kalangan orang Arab waktu itu.
Dalam Shahih Muslim (no. 2674) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ َ ُBَ2َِ َْ ‫ُ; ِر‬Z‫ ُأ‬X ُ ْwِ ِ ْZَْ‫ ا‬
َ ِ ُBَ ‫ن‬
َ َ‫ هًُى آ‬Kَ‫ِ َْ َدَ ِإ‬Bَْ%َ ‫ن‬ َ َ‫ََ)ٍ آ‬%َ3 Kَ‫َْ^ً َوَْ َدَ ِإ‬k ْIِ‫ُ; ِره‬Z‫ُƒُ ِ ُأ‬9ْ'
ً^َْk ْIَِِJ} ِْ + َ ِ‫ƒ َذ‬ ُ ُ9ْ'َ  َ ُBَ2َِ َْ ‫َ ِم‬J} X
ُ ْwِ Iِ ْJ-ِْ‫ ا‬
َ ِ
“Barangsiapa menyeru (mengajak) kepada petunjuk, baginya pahala sebagaimana
pahala orang yang mengikutinya, tidak berkurang pahala mereka sedikitpun. Dan
barangsiapa yang menyeru (mengajak) kepada kesesatan, atasnya dosa semisal dosa
orang yang mengikutinya tanpa mengurangi demikian itu dari dosa mereka
sedikitpun.”
Juga disebutkan dalam Shahih Muslim, hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshari
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِBِ%َِ. ِ ْZ‫ َأ‬X
ُ ْwِ ُBَ%َ. ٍ َْ8 Kَ%َ ‫ل‬ ‫َْ َد‬
“Barangsiapa yang menunjukkan kebaikan, maka dia mendapatkan pahala seperti
pahala orang yang melakukan kebaikan tersebut.”
Demikianlah Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullahu mengungkapkan
keutamaan dakwah, mengajak manusia untuk senantiasa berada di atas jalan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Berada dalam ketaatan kepada-Nya, meninggalkan segala
perkara yang dilarang-Nya. Dakwah adalah ibadah. Karenanya, dakwah dengan
sarana-sarana yang mengantarkan kepada tujuannya adalah bersifat tauqifiyah (sebuah
ketetapan yang diatur syariat). Bukan perkara yang semua orang bebas melontarkan
pemikiran dan pendapatnya hanya lantaran dia melihat sesuatu yang dia anggap
sebagai maslahat padanya. Islam tak semata mengarah kepada tujuan, namun Islam
mengatur pula bagaimana (atau dengan cara apa) sebuah tujuan itu harus dicapai.
Untuk menggapai tujuan, Islam melarang menghalalkan segala cara.
Menurut Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullahu, tujuan menghalalkan
segala cara (َ)َ%ِ;َ ْ‫ََ)ُ َُ ِّ ُر ا‬xْ‫ )ا‬merupakan kaidah pemahaman Yahudi. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
tُ َ ِ8‫ُُوا ءَا‬Dْ‫َ ا' َ ِر وَاآ‬BْZ‫ ءَاَ'ُ;ا َو‬ َ ِ? ‫ ا‬Kَ%َ ‫ل‬ َ 7ِ ْ,‫ب ءَاِ'ُ;ا ِ ?ِي ُأ‬
ِ َِMْ‫ ا‬Xِ ْ‫َ)ٌ ِْ َأه‬DِYَs ْ&ََN‫ن َو‬
َ ;ُ2ِZَْ ْIُ %َ2َ
“Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): ‘Perlihatkanlah
(seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman
(sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya,
supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran)’.” (Ali ‘Imran: 72)
Contoh kasus penerapan kaidah Yahudi ini yaitu diperbolehkan seseorang memasuki
gelanggang (menjadi anggota) “parlemen kafir” dengan tujuan berdakwah (mengajak
manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, memperbaiki masyarakat dan negara).
Sama halnya dengan menjadikan tarian dan nyanyian sebagai wasilah (perantara atau
alat) dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan bentuk-bentuk
aplikasi dari kaidah “tujuan menghalalkan segala cara.” (Lihat Al-Hujajul Qawiyyah,
hal. 44-45)
Hal yang sama dinyatakan pula oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam
hafizhahullah, bahwa pemilu adalah wasilah (sarana) yang diharamkan. Wasilah ini,
katanya lebih lanjut, adalah wasilah yang haram bila didalami dan dikaitkan dengan
satu kaidah yang disebut:
َ)َ%ِْ;َ ْ‫ََ)ُ َُ ِّ ُر ا‬xْ‫ا‬
“Tujuan menghalalkan semua cara.”
Kaidah tersebut merupakan kaidah Zionis Yahudi. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
ْZ‫ ءَاَ'ُ;ا َو‬ َ ِ? ‫ ا‬Kَ%َ ‫ل‬ َ 7ِ ْ,‫ب ءَاِ'ُ;ا ِ ?ِي ُأ‬
ِ َِMْ‫ ا‬X
ِ ْ‫َ)ٌ ِْ َأه‬DِYَs ْ&ََN‫ن َو‬
َ ;ُ2ِZَْ ْIُ %َ2َ tُ َ ِ8‫ُُوا ءَا‬Dْ‫َ ا' َ ِر وَاآ‬B
“Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): ‘Perlihatkanlah
(seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman
(sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya,
supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran)’.” (Ali ‘Imran: 72)
Kata beliau hafizhahullah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengharamkan membangun kuburan (mendirikan bangunan di atas kuburan), karena
hal itu bisa mengantarkan kepada perbuatan syirik. Begitu pula halnya, Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan mendekati kemaksiatan karena hal itu bisa
mengantarkan seseorang terjatuh padanya. Juga, Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengharamkan mencela sesembahan orang-orang musyrik karena perbuatan itu bakal
memancing mereka melakukan celaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman-
Nya:
Iٍ ْ%ِ ِ َْxِ ‫_ َْوًا‬ َ ‫;ا ا‬Gََُ. _ ِ ‫نا‬
ِ ‫ن ِْ دُو‬ َ ;َُْ َ ِ? ‫;ا ا‬Gَُ َ‫َو‬
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan.” (Al-An’am: 108) [Lihat Tanwir Azh-Zhulumat, hal. 65-66)
Maka, sungguh hal yang aneh dan ganjil bila ada fatwa yang mengharamkan golput
(tidak mengikuti pemilu). “Wajib bagi bangsa Indonesia untuk memilih pemimpin.
Kalau yang dipilih ada, namun tidak dipilih menjadi haram,” ujar Wakil Ketua
Komisi Fatwa MUI Pusat saat menjelaskan hasil Ijtima’ Ulama Fatwa III MUI di
Padangpanjang, Sumbar. Bagaimana mungkin memunculkan pemimpin dilakukan
dengan cara-cara yang haram? Bukankah berpartai dan pemilu merupakan rangkaian
dari sebuah sistem demokrasi1? Bukankah berpartai dan pemilu merupakan wasilah
yang diharamkan? Ini sama dengan orang bersuci tapi menggunakan air najis.
Demikian pula dengan pemikiran yang mengusung pemahaman bahwa partai
merupakan sarana atau “kendaraan” menyampaikan dakwah. Dari pemahaman ini
mencuatlah istilah “Partai Dakwah.” Maknanya, partai politik yang mengemban
amanat dakwah dan menyalurkan aspirasi politik kaum muslimin.
Fakta di lapangan, masyarakat yang bersifat heterogen tentu tidak akan mau
menerima kehadiran kader partai yang menyampaikan dakwah, menyitir ayat Al-
Qur’an dan hadits, yang menggiring masyarakat untuk mendukung partainya. Fakta di
lapangan, banyak masjid menolak kehadiran mubaligh yang berceramah mengarahkan
pendengarnya untuk memilih partai tertentu. Fenomena ini menunjukkan bahwa
masyarakat menghendaki dakwah yang murni. Dakwah yang mengajarkan
pemahaman agama yang lurus dam benar. Bukan dakwah yang diwarnai oleh
kepentingan-kepentingan partai, meskipun partai tersebut mengusung diri sebagai
“partai dakwah” yang memimpikan keadilan dan kesejahteraan.
Pemikiran yang menjadikan partai sebagai alat dakwah, perjuangan menegakkan
syariat Islam, tak cuma di Indonesia. Di Mesir, melalui gerakan Ikhwanul Muslimin,
tujuan meperjuangkan Islam melalui jalur politik hingga kini tiada membuahkan hasil.
Di Pakistan dengan Jamaat Islami, juga tak bisa meraih suara seperti yang diharapkan.
Di Sudan, di bawah pimpinan Hasan At-Turabi, berhasil memenangkan pemilu. Akan
tetapi, dakwah melalui jalur politik justru malah membuahkan wakil presiden dari
kalangan Nasrani. Tak hanya itu, Hasan At-Turabi pun melegalkan pemurtadan (lihat
Asy Syariah no. 16/II/1426H/2005).
Di Yaman, Abdulmajid Az-Zindani menjadi salah satu mesin penggerak demokrasi.
Melalui media yang ada, dia menyerukan kaum muslimah untuk terjun dalam dunia
politik. Meski untuk hal itu terjadi banyak pelanggaran syariat. (Lihat Tuhfatul Mujib
‘ala As’ilatil Hadhiri wal Gharib, Bab Az-Zindani wa Majlis Asy-Syaikhat bil
Yaman, hal. 417, karya Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu)
Di Aljazair malah lebih menyedihkan. Pemilu yang telah dimenangkan partai Islam
berakhir dengan tragedi berdarah. Kaum muslimin dihantui ketakutan. Dakwah pun
selalu dicurigai bahkan dihalangi pihak penguasa.
Demikianlah bila kaum muslimin menjadikan sistem demokrasi sebagai panglima.
Alih-alih bakal memberi kebaikan, ternyata memberi mudarat yang luar biasa kepada
kaum muslimin. Banyak yang mengira sistem demokrasi bisa memberikan kebaikan
bagi kaum muslimin. Senyatanya, justru meruntuhkan nilai-nilai Islam. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ <‫ََْ ُز‬.‫_ َأ‬ َ ‫نا‬ ‫ت ِإ‬ٍ ‫ْ َََا‬Iَِْ%َ + َ ُْDَ, ْHَ‫` َ?ْه‬َ َ. ‫َ ُء‬Uَ َْ ‫َ ُء َوَِْي‬Uَ َْ X G ِrُ _ َ ‫ن ا‬-َِ. ً'ََ tُ }ََ. ِBِ%ََ ‫ُ ُ; ُء‬Bَ
‫ن‬
َ ;ُ2َ'َْ َِ ٌIِ%َ
“Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang
buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh
setan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan
menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena
kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat.” (Fathir: 8)
Kata Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu, “Apakah makna
demokrasi? Demokrasi bermakna rakyat menghukumi dirinya dengan dirinya sendiri.
Seandainya (melalui pemungutan suara) menghasilkan suara (terbanyak) bahwa
homoseksual itu halal, niscaya hasil suara tersebut akan didahulukan daripada Al-
Kitab dan As-Sunnah.” (Tuhfatul Mujib, hal. 431)
Sungguh naif sekali jika untuk menentukan kebenaran, halal-haram, baik-jelek,
dengan cara pengumpulan suara. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

َ َُِْْ‫ ا‬ َ ِ  َ,;ُMَ `َ َ. + َ < ‫ ِْ َر‬q G َ=ْ‫ا‬
“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk
orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫ل‬
َ 7َ ْ,‫ْ َِ َأ‬Iَُ'َْ ْIُMْ ‫ن ا‬ِ ‫ْ َوَأ‬Iَ%َْ. ‫نْ َ َ; ;ْا‬-َِ. +
َ َْ‫_ ِإ‬
ُ ‫لا‬ َ 7َ ْ,‫| َ َأ‬
ِ ْ2َ َْ ‫ك‬ َ ;ُ'ِْDَ ْ‫ْ َأن‬Iُ‫ْ وَا ْ َ?رْه‬Iُ‫ْ َأهْ;َاءَه‬zِ َ َ ‫_ َو‬ُ ‫ا‬
‫ن‬
َ ;ُ9َِDَ ‫س‬ ِ  '‫ ا‬ َ ِ ‫ًِا‬wَ‫ن آ‬ ‫ْ َوِإ‬Iِِ ;ُ,‫| ُذ‬ِ ْ2َِ ْIَُُِ ْ‫_ َأن‬ ُ ‫ َ ُِ ُ ا‬,‫َأ‬. ْ‫ ا‬Iَ ْMُ=َ.‫_ َأ‬
ِ ‫ا‬ َ ِ ُ َْ ‫ن َوَْ َأ‬ َ ;ُxَْ ِ) ِ%ِ‫َه‬R
‫ن‬
َ ;ُ'ِN;ُ ‫َ;ْ ٍم‬9ِ ًْMُ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-
hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian
apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang
telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki
akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka.
Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah
hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Ma’idah: 49-50)
Sebagian mereka berpendapat, jika mereka menguasai perolehan suara dan berhasil
meraih kursi mayoritas di DPR atau berhasil merebut kursi kepemimpinan negara
dalam pemilu, niscaya akan bisa ditegakkan syariat Islam. Benarkah?
Para nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala berdakwah menyeru umat manusia agar
menetapi tauhid yang lurus. Inilah tugas para nabi. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
‫ت‬
َ ;ُ* ‫َْ'ُِ;ا ا‬Z‫_ وَا‬ َ ‫ن ُاُُْوا ا‬
ِ ‫ ُأ )ٍ َرُ;ً َأ‬X
< ُ‫ آ‬Fِ. َ'ْwَ2َ َْ9َ‫َو‬
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thaghut itu’.” (An-Nahl: 36)
Para nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti Nuh, Hud, Shalih, dan Syu’aib r
menyeru kaumnya masing-masing dengan ajakan yang sama:
tُ ُ َْ* ٍBَ‫ْ ِْ ِإ‬IُMَ َ _َ ‫َ;ْ ِم اُُْوا ا‬Nَ
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada ilah bagimu selain-Nya.” (Al-
A’raf: 59, 65, 73, 85)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
_
ِ ‫لا‬ ُ ;ُ‫ن ُ=َ ًا َر‬ ‫_ َوَأ‬
ُ ‫ا‬ ‫َ ِإ‬Bَ‫ ِإ‬
َ ْ‫َُْوا َأن‬Uَ K َ ‫س‬
َ  '‫ ا‬X َ َِN‫ت َأنْ ُأ‬
ُ ِْ‫ُأ‬
“Saya telah diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka melakukan
kesaksian bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali hanya Allah, dan
sesungguhnya Muhammad adalah rasul Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 25 dan Muslim
no. 33 dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Itulah inti dakwah para nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena dakwah tauhid ini
pula mereka menghadapi tribulasi (berbagai cobaan) dakwah, saat mengajak dan
menyeru manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Permusuhan orang-orang kafir
di zamannya bukan karena para nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut merebut
kekuasaan. Bukan pula lantaran hendak mengatur pemerintahan. Tapi, permusuhan
orang-orang kafir itu disebabkan dakwah tauhid.
Sungguh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditawari kekayaan, dibujuk
untuk ditempatkan menjadi orang mulia di kalangan Quraisy, dan ditawari kekuasaan.
Namun, semua bentuk tawaran dari utusan orang-orang Quraisy tersebut beliau tolak.
(Lihat As-Sirah An-Nabawiyyah, 1/206-208, karya Ibnu Hisyam)
Ada sebuah pertanyaan penting untuk dijawab: Mengapa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menolak tawaran kekuasaan tersebut? Tak lain karena beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu –tentunya di bawah bimbingan wahyu– bahwa
tawaran tersebut mengandung berbagai konsekuensi yang bertentangan dengan syariat
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sistem kekuasaan yang ditawarkan oleh orang-orang
Quraisy tersebut akan menyeret beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang
mukminin yang bersamanya ke dalam berbagai pelanggaran terhadap hukum-hukum
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dakwah yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan bukan bertujuan meraup
keduniaan. Bukan untuk mengumpulkan harta kekayaan. Bukan guna menjadi orang
yang paling berkuasa, dan dengan kekuasaan itu beliau lalu bisa mengatur orang-
orang Quraisy. Bukan. Bukan demikian tujuan dakwah yang beliau emban. Tapi
benar-benar dalam rangka mengentaskan umat manusia dari lumpur kesyirikan,
menuju kemurnian tauhid.
Maka, jika menghendaki tegaknya syariat Islam bukan dengan cara menceburkan diri
dalam kubangan lumpur demokrasi. Karena, kemuliaan dakwah nan hakiki tak akan
bisa diusung oleh budak-budak demokrasi. Kemuliaan Islam hanya bisa diraih dengan
meneladani generasi terdahulu dari umat ini, yaitu generasi salaf. Seperti diungkapkan
Al-Imam Malik bin Anas rahimahullahu:
َُ‫ِ َأ و‬Bِ ‚
َ ُ%َL َِ  ‫ اُْ )ِ ِإ‬tِ ?ِ َ‫ِ ُ ه‬8} ‚ َ ُ%َْ َْ
“Tidak akan baik (generasi) akhir umat ini kecuali apa (cara/sistem yang) dengannya
telah menjadikan baik (generasi) awal umat ini.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan bahwa kehinaan bisa
menerpa umatnya manakala agama tidak dijadikan rujukan. Kehinaan itu akan terus-
menerus ada hingga mereka mau kembali mengamalkan nilai-nilai Islam. Hadits Ibnu
Umar radhiyallahu ‘anhuma mengungkapkan pesan tersebut. Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
K َ ْIُMْ'َ ُBُ7ِ ْ'َ  َ Q‫ْ ُذ‬IُMَْ%َ _ ُ ‫َ ا‬n %َ ‫َِ َد‬Rْ‫ ا‬Iُ ُْ‫ع َوَ َآ‬ ِ ْ‫ر‬7 ِ ْIُِْ3‫َ ِ َو َر‬9َْ‫ب ا‬
َ َ,ْ‫ْ َأذ‬Iُْ?َ8‫ِْ'َ)ِ َوَأ‬2ِْ ْIُْ2َََ ‫ِإذَا‬
ْIُMِ'ْ‫ ِد‬Kَ‫ُ;ا ِإ‬2ِZَْ
“Apabila kalian telah disibukkan dengan jual beli riba, kalian mengambil ekor-ekor
sapi, dan senang dengan pertanian, serta meninggalkan jihad, niscaya Allah akan
menimpakan kehinaan kepada kalian. Tak akan dicabut kehinaan tersebut dari kalian
hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3462,
dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.
11)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ٌIِ‫ْ َ?َابٌ َأ‬Iَُُِ ْ‫ِْ'َ)ٌ َأو‬. ْIَُُِ ْ‫ أَن‬tِ ِ ْ‫ن َْ َأ‬ َ ;ُDَِcُ  َ ِ? ‫َْ=ْ َ? ِر ا‬%َ.
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Sebaliknya, manakala kaum muslimin berpegang teguh dengan syariat Allah
Subhanahu wa Ta’ala, senantiasa menjaga keimanan dan ketakwaan kepada-Nya,
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menurunkan berkah-Nya. Firman-Nya:
َ'ْ=ََDَ ‫َ;ْا‬9 ‫َُى ءَاَ'ُ;ا وَا‬9ْ‫ ا‬X َ ْ‫ن َأه‬ ‫ض َوَ;ْ َأ‬
ِ ْ‫ ا َ ِء وَاَْر‬ َ ِ ‫ت‬ٍ َ‫ْ َ َآ‬Iَِْ%َ
“Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami limpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi.” (Al-A’raf: 96)2
Jalan keselamatan adalah mengikuti apa yang telah dicontohkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan dengan cara mengambil pemikiran-pemikiran
yang menyelisihi Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata Al-Imam Az-
Zuhri rahimahullahu:
ٌ‫َة‬Rَ, ِ) 'Gِ ‫اَِِْْ ُم‬
“Berpegang teguh dengan As-Sunnah adalah keselamatan.”
Wallahu a’lam.

1 Pembahasan tentang demokrasi menurut kacamata Islam, bisa pembaca lihat pada
majalah kita ini, Vol. I/No. 06/ Maret 2004/ 1425 H
2 Lihat pula penjelasan Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menerangkan ayat
ke-55 dari surah An-Nur, dalam artikel Kajian Utama berjudul Demi Suara, Apapun
Dilakukan.
Demokrasi Adalah Liberalisasi
Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

Telah masyhur bahwa pemahaman demokrasi berasal dari masyarakat Yunani Kuno.
Athena, sebagai pusat pemerintahan masyarakat Yunani Kuno, telah membumikan
pemahaman demokrasi pada masyarakatnya. Masyarakat telah dilibatkan langsung
dalam menentukan pemerintahnya melalui penggunaan hak dipilih dan memilih.
Meskipun hak politik ini masih tidak diberlakukan kepada kaum wanita, budak, atau
yang berstatus warga asing. Athena menjadi benih masyarakat yang liberal (yang
memiliki kebebasan) bagi rakyatnya untuk menentukan sendiri pemerintahannya.
Inilah yang diistilahkan dewasa ini dengan masyarakat yang demokratis. Masyarakat
yang warganya memiliki kebebasan untuk menentukan masa depan kehidupan
bangsanya.
Dalam perkembangannya, pemahaman demokrasi diusung oleh beberapa tokoh
pemikir dan filosof. John Locke dalam bukunya Two Treatises of Government (1690)
menyatakan bahwa pemerintah bertugas menjamin hak-hak dasar rakyat, yaitu hak
untuk hidup, hak memiliki, hak berbicara, beragama dan hak kebebasan membuat
opini. Jika pemerintah tak mampu menjaga hak-hak tersebut, rakyat memiliki hak
melakukan revolusi. Di Perancis, sejak tahun 1700-an, tiga filosof terkenal, yaitu
Montesquieu, Rousseau, dan Voltaire juga melontarkan ide-ide kebebasan. Dalam
buku The Spirit of the Laws (1748), Montesquieu membagi kekuasaan negara
menjadi tiga, atau yang dikenal dengan Trias Politika. Yaitu kekuasaan eksekutif,
yudikatif, dan legislatif. Adapun Rousseau dalam buku The Social Contract (1762)
mengungkapkan bahwa pemerintahan merupakan cermin dari kepercayaan rakyatnya.
Sedangkan Voltaire memberikan kecaman terhadap pemerintah yang mengekang
kebebasan rakyatnya. Dari ide-ide dan pemikiran-pemikiran tiga filosof tersebut,
rakyat Perancis melakukan gerakan revolusi. Tahun 1789, Revolusi Perancis meletus
dengan mengusung jargon: liberty (kebebasan), fraternity (persaudaraan), dan equality
(persamaan). Tiga prinsip ini dijadikan kalangan Yahudi sebagai prinsip
Freemasonry, organisasi bawah tanah Yahudi yang mengendalikan lobi Yahudi di
Amerika Serikat. (A New Encyclopedia of Freemasonry, New York, Wing Books,
1996 - Syamsuddin Ramadhan, www.syariahpublications.com)
Setelah usai Perang Dunia I, ide demokrasi laris dianut berbagai negara termasuk
Indonesia. Tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan yang telah mengenyam pendidikan
barat, melansir ide-ide demokrasi tersebut. Ide-ide tersebut dibungkus dengan bahasa
nasionalisme.
Pemahaman demokrasi mulai menggeliat hebat setelah Perang Dunia II. Negara-
negara jajahan banyak yang mendapatkan kemerdekaan, maka model bentuk negara
banyak yang merujuk ke pemikiran para filosof yang mengusung ide-ide demokrasi.
Kemudian pemahaman demokrasi ini tak terbatas pada ranah (bidang) politik, tapi
merambah ke berbagai bidang lainnya. Demokrasi, yang salah satu prinsipnya adalah
liberty (kebebasan), lantas merambah pada bidang ekonomi, sosial, budaya, dan
kewanitaan. Maka, berkembanglah tuntutan untuk memberikan kebebasan kepada
kaum wanita dalam menentukan hak politiknya. Tak mengherankan bila kemudian
wanita beramai-ramai naik ke panggung politik. Tak lagi terikat aturan agama, karena
mereka memiliki kebebasan yang diatur undang-undang. Dengan bahasa lain,
kebebasan yang dilegalkan atas nama negara.
Dalam ranah agama di Indonesia, gagasan-gagasan liberalisasi (yang merupakan salah
satu sendi demokrasi) diusung secara terbuka oleh Nurcholis Madjid pada periode
tahun 1970-an. Yang sebelumnya, bibit-bibit gagasan tersebut disemai oleh Djohan
Effendi dan Ahmad Wahib. Bisa pula dimasukkan nama lain, yaitu Harun Nasution.
Disusul kemudian Abdurrahman Wahid, Syafi’i Ma’arif, Dawam Rahardjo,
Komarudin Hidayat, Ulil Abshar, dan sebagainya. Tendensi mereka secara nyata
menarik gagasan-gagasan demokratisasi diterapkan di Indonesia, di semua wilayah
publik dan semua bidang kehidupan, tak terkecuali dalam bidang agama.
Saat terjadi polemik tentang Ahmadiyah, maka wajah-wajah para pembela dan
penjaja liberalisme secara nyata muncul ke permukaan. Kini, dalam ranah politik,
partai-partai politik dari kalangan berbasis massa Islam, sadar atau tidak telah pula
mengusung gagasan liberalisme. Meskipun dalam bahasa mereka digunakan slogan
“demokratisasi”. Namun, inti ajarannya tetap sama. Demokratisasi adalah liberalisasi.
Wallahu a’lam.

Kisah Nabi Yusuf dan Meminta Jabatan


Oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Penjelasan Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani tentang Kisah Nabi Yusuf


Orang yang berdalil dengan kisah masuknya Nabi Yusuf dalam siyasah
(pemerintahan) telah tenggelam dalam kesalahan. Yaitu ketika beliau mengatakan:
‫ض‬
ِ ْ‫ اَْر‬ ِ ِY‫َا‬7َ8 Kَ%َ Fِ'ْ%َ2ْZ‫ا‬
“Jadikanlah aku bendaharawan negara Mesir.” (Yusuf: 55)
Padahal beliau tidak memasuki tugas ini kecuali setelah mendapatkan persaksian dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tertulis pada persaksian tersebut:
َ ٌhِDَ F<,‫ٌِإ‬Iِ%
“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi sangat berpengetahuan.”
(Yusuf: 55)1
Ahli balaghah (sastra Arab) dapat membedakan antara kata ُhِ.َ=ْ‫( ا‬yang berarti
menjaga) dengan kata ُhِDَ=ْ‫( ا‬yang sangat pandai menjaga), juga antara kata Iُ َِ2ْ‫(ا‬yang
berilmu) dengan kata Iُ ِ%َ2ْ‫( ا‬yang sangat berpengetahuan). Maka perhatikan hal ini,
karena sesungguhnya ini termasuk rahasia-rahasia Al-Qur`an yang penuh hikmah.
Sebagaimana diherankan dari yang lain juga, yang membolehkan diri mereka
menerima jabatan politik masa ini –bersamaan dengan apa yang ada di dalamnya
berupa sistem parlemen kafir atau jahat– berdalil dengan perbuatan Nabi Yusuf,
sembari melalaikan bahwa Nabi Yusuf tidak memintanya. Namun raja itulah yang
menawarkannya kepada beliau. Beliau juga tidak menerimanya melainkan ketika raja
tersebut menjamin keamanan dan kebebasan baginya. Sehingga tidak ada tekanan,
atau ancaman, atau mengorbankan agama, atau tarik ulur, atau tawar menawar, atau
adu argumentasi. Oleh karena itu, perhatikan urutannya dalam firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
ٌِ‫ٌِ َأ‬Mَ َ'َْ َ ‫ اَْ;ْ َم‬+
َ ,‫ل ِإ‬
َ َN ُBَ %َ‫َ  آ‬%َ. FِْDَ'ِ ُBِْ%ْcَْ‫ِ َأ‬Bِ Fِ,;ُْY‫ ا‬+
ُ ِ%َْ‫ل ا‬
َ َN‫ َو‬. ‫ض‬
ِ ْ‫ اَْر‬
ِ ِY‫َا‬7َ8 Kَ%َ Fِ'ْ%َ2ْZ‫ل ا‬
َ َN
ٌIِ%َ ٌhِDَ F<,‫ِإ‬
“Dan raja berkata: ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang
yang rapat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia
berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan
tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.’ Berkata Yusuf: ‘Jadikanlah aku bendaharawan
negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi sangat
berpengetahuan’.” (Yusuf: 54-55)
Adapun mereka (para politikus, pen), mereka telah takjub dan berbaik sangka
terhadap diri mereka sendiri. Sehingga setan menggambarkan suatu gambaran yang
terbayang dalam benak mereka bahwa mereka akan kokoh dalam kebenaran.
Sementara sebenarnya mereka leleh dalam keridhaan terhadap aturan manusia. Allah
lah tempat memohon pertolongan.
Adapun Nabi Yusuf, beliau tidak mengorbankan agamanya dan tidak menyia-nyiakan
kesungguhannya dalam siyasah (politik) yang syar’i. Tidak pula beliau melaksanakan
undang-undang raja yang kafir, dengan dalih maslahat dakwah. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
ٌIِ%َ Iٍ ْ%ِ ‫ ذِي‬X < ُ‫ق آ‬
َ ْ;َ.‫َ ُء َو‬Uَ, َْ ‫ت‬
ٍ َZ‫ َد َر‬zُ َ.َْ, _ُ ‫َ َء ا‬Uَ ْ‫ ِإ  َأن‬+
ِ ِ%َْ‫ ا‬
ِ ِ‫ د‬Fِ. tُ َ8‫ُ َ? َأ‬8َِْ ‫ن‬ َ َ‫َ آ‬
“Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali
Allah menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di
atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.”
(Yusuf: 76)
Bila kita mengalah (pada anggapan mereka yakni beliau minta jabatan, pen) maka
kamipun akan mengatakan sebagaimana yang dinyatakan ulama ushul fiqih, ‘syariat
umat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita pada perkara yang menyelisihi syariat
kita’. Padahal di sini syariat kita menyelisihinya, karena kita dilarang untuk minta
jabatan. Seperti dalam hadits Abdurrahman bin Samurah, ia berkata: Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:
ٍ)َََْ ِ َْ* َْ ََِ ْ‫& ِإََْ َوِإنْ ُأ‬
َ ْ%ِ‫ ِإنْ ُأْ ََِ َْ َََْ)ٍ ُوآ‬+ َ ,ِ-َ. ‫َ َر َة‬-ِْ‫ل ا‬
ِ َ َْ َ ،َ‫ َُ َة‬
َ ْ 
ِ َْ  ‫َ َْ َ ا‬
ْ'ِ‫ََُْأ‬%َ &َ
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan,
karena jika engkau diberi karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu
(tidak akan ditolong). Namun jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau
akan ditolong” (Muttafaqun ‘alaih)
Kami akan menjawab bahwa Nabi Yusuf telah disebutkan kesuciannya oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan tidak bekerja kecuali dengan bimbingan Allah. Yakni,
semua manusia berlaku padanya kaidah “jika engkau diberi kepemimpinan karena
permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak ditolong) ….” kecuali yang
diberi predikat kesucian oleh wahyu yang tidak akan salah. Adapun mereka yang sok
pandai pada masa ini, mereka tunduk pada kondisi undang-undang pada hari ini
ataupun besok. Bahkan sebelum melaksanakan tugas poltiik tersebut, mereka harus
bersumpah untuk menghormati undang-undang. Dan ini telah terjadi, bahkan kami
tidak tahu bahwa selainnya juga telah terjadi. Maka sungguh ajaib orang yang
menyingkirkan kekafiran dengan kekafiran.
Maka tersimpulkan dari ketergesaan ini lima jawaban:
1. Nabi Yusuf tidak meminta kepemimpinan, namun ditwarkan kepada beliau,
sebagaimana ditunjukkan oleh susunan ayat. Maksimal yang ada dalam ucapan beliau
‫ض‬
ِ ْ‫ اَْر‬ ِ ِY‫َا‬7َ8 Kَ%َ Fِ'ْ%َ2ْZ‫ا‬
“Jadikan aku bendaharawan negeri (Mesir)” adalah keterangan tentang spesialisasinya
dan pilihannya.
2. Beliau aman dari tekanan peraturan (negara) dan dipersilakan untuk mengamalkan
syariat Islam. Dua hal ini hanyalah sebuah khayalan dalam realita aturan-aturan di
muka bumi masa ini.
3. Bahwa beliau mendapat persaksian kesucian di mana beliau juga seorang Rasul.
Sehingga tidak dikhawatirkan pada beliau apa yang dikhawatirkan pada orang lain.
Diriwayatkan oleh Muhammad bin Sirin rahimahullahu, bahwa Umar radhiyallahu
‘anhu menugaskan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sebagai gubernur di daerah
Bahrain. Lalu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu datang membawa uang 10.000. Maka
Umar mengatakan kepadanya: “Apakah engkau peruntukkan harta ini untuk
kepentingan pribadimu, wahai musuh Allah dan musuh kitab-Nya?!”
Maka Abu Hurairah menjawab: “Aku bukan musuh Allah ataupun musuh kitab-Nya,
akan tetapi justru musuh yang memusuhi keduanya.”
Umar menukas: “Lalu darimana hartamu ini?”
“Itu adalah kuda yang berkembang biak, dan hasil kerjaan budakku, serta pemberian
yang datang beberapa kali,” jawab Abu Hurairah.
Mereka pun memeriksanya. Ternyata mereka mendapatkannya seperti apa yang
dikatakan Abu Hurairah. Setelah hal itu berlalu, Umar memanggil Abu Hurairah
untuk ditugaskan kembali akan tetapi beliau menolak. Maka Umar berkata: “Apakah
kamu tidak suka jabatan ini, padahal telah memintanya orang yang lebih baik darimu,
Yusuf ‘alaihissalam?”
Abu Hurairah menjawab: Yusuf adalah seorang nabi, putra seorang nabi, dan cucu
seorang nabi. Sedangkan saya, Abu Hurairah, putra seorang ibu yang kecil. Dan aku
khawatir tiga tambah dua (perkara -pent).”
Umar berkata: “Tidakkah kamu katakan lima saja?”
Abu Hurairah menjawab: “Saya khawatir berkata tanpa ilmu, memutuskan tanpa
kesabaran dan pikir panjang, takut punggungku dicambuk, hartaku diambil dan
kehormatanku dicela.”2
4. Syariat umat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita pada perkara yang menyelisihi
syariat kita. Dalam hal ini, syariat kita telah menyelisihinya.
5. Nabi Yusuf melakukan apa yang beliau lakukan pada tugasnya tersebut dengan
posisi beliau sebagai seorang rasul. Seandainya pun seseorang diperbolehkan
mengikuti beliau dalam urusan itu, maka pewarisnya secara syar’i adalah seorang
mujtahid. Ibnu Abdil Bar berkata: “Bila yang demikian itu (menyebut keahliannya
dalam kondisi terpaksa -pent), maka boleh bagi seorang ulama saat itu untuk memuji
dirinya dan mengingatkan tentang kedudukannya, maka saat itu berarti dia
membicarakan nikmat Allah pada dirinya dalam rangka mensyukurinya.” (Jami’
Bayanil ‘Ilm wa Fadhlihi, 1/176).
Wallahu a’lam.

Penjelasan Asy-Syaikh As-Sa’di


Asy-Syaikh Al-Mufassir Abdurrahman As-Sa’di mengatakan: “Jawabannya ada pada
firman Allah:
ٌIِ%َ ٌhِDَ F<,‫ِإ‬
“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi sangat berpengetahuan.”
Yakni, beliau memintanya demi mewujudkan maslahat ini yang tidak mungkin
dilakukan orang lain. Yaitu, menjaga harta dengan sempurna, mengetahui segala sisi
yang terkait dengan perbendaharaan tersebut, baik pengeluaran, pembelanjaan
maupun penegakan keadilan yang sempurna. Maka ketika beliau melihat sang raja
mendekatkan dirinya kepadanya (menjadikannya orang khusus) dan
mengutamakannya atas raja itu sendiri, serta pada kedudukan yang tinggi, maka
menjadi wajib baginya untuk memberikan pengarahan yang sempurna bagi raja
maupun rakyat. Itu adalah suatu keharusan dalam tugasnya.
Oleh karenanya, ketika beliau melakukan tugas menjaga perbendaharaan Mesir,
beliau sangat berusaha untuk menguatkan pertanian, sehingga tidak tersisa satu
tempat pun dari tanah Mesir, dari ujung ke ujung yang lain, yang pantas untuk
ditanami melainkan ia tanami selama tujuh tahun. Lalu beliau bentengi dan jaga
dengan penjagaan yang sangat ajaib. Setelah itu, datanglah tahun-tahun paceklik.
Manusia sangat membutuhkan pangan. Maka, beliaupun berusaha menimbang dengan
penuh keadilan, sehingga beliau larang para pedagang untuk membeli makanan,
khawatir mendesak orang-orang yang butuh. Maka terwujudlah dengan itu maslahat
yang banyak dan manfaat yang tidak terhitung, sebagaimana telah diketahui.”
(Bahjatul Qulub Al-Abrar)

1 Lihat kitab Bahjatu Qulubil Abrar karya Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu, hal.
150-151.
2 Riwayat Ibnu Sa’d dalam kitab Thabaqat Al-Kubra (4/335). Dalam sanadnya Abu
Hilal Ar-Rasibi dan dia –walaupun haditsnya tidak sangat dibuang– tapi juga
didukung dalam riwayat ini oleh Ayyub As-Sikhtiyani sebagaimana dalam kitab As-
Siyar karya Adz-Dzahabi (2/612). Dengan itu, riwayat ini menjadi shahih.

Jangan Berebut Jabatan Bertameng Al-Qur`an


Oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin

ٌِ‫ٌِ َأ‬Mَ َ'َْ َ ‫ اَْ;ْ َم‬+


َ ,‫ل ِإ‬
َ َN ُBَ %َ‫َ  آ‬%َ. FِْDَ'ِ ُBِْ%ْcَْ‫ِ َأ‬Bِ Fِ,;ُْY‫ ا‬+
ُ ِ%َْ‫ل ا‬
َ َN‫ َو‬. َ%َ Fِ'ْ%َ2ْZ‫ل ا‬
َ َN ‫ض‬
ِ ْ‫ اَْر‬
ِ ِY‫َا‬7َ8 K
ٌIِ%َ ٌhِDَ F<,‫ِإ‬
Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang
yang dekat denganku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengannya, dia
berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan
tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara
negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi
berpengetahuan.” (Yusuf: 54-55)

“Pucuk di cinta ulam tiba”, begitulah sebuah ungkapan yang terucap dari seorang
yang merasa senang dan bahagia, atas tercapainya suatu dambaan yang selama ini
dicari dan dicitakan, bahkan melebihi dari apa yang diduga dan dikira.
Adalah kesempatan emas, yang disenangi oleh banyak manusia, khususnya bagi para
pengembara kursi (jabatan), tahta, dan dunia, tatkala dihadapkan pada sebuah
tawaran, untuk duduk di atas kursi (jabatan).
Bisa jadi seseorang akan menanggapi dan berkata: “Ini namanya kejatuhan rezeki,
susah dicari, dan untuk mendapatkannya sulit sekali. Belum tentu seumur hidup bisa
ketemu sekali. Mengapa ditolak?” Atau mungkin…
“Betul, di dalamnya banyak penyimpangan dan pelanggaran. Akan tetapi, kalau
bukan kita yang mengubah, lantas siapa lagi?”
“Kalau kursi jabatan diduduki oleh orang luar, siapa yang akan melakukan perubahan,
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mewujudkan syariat Islam dan sistem
kenegaraan yang bernuansa Islam?”
“Segala sesuatu itu apabila sudah dikuasai dan dipegang kepalanya, yang lain akan
mudah dikendalikan dan dikuasai.”

Penjelasan dan Makna Ayat


+
ُ ِ%َْ‫ل ا‬
َ َN‫َو‬
“Dan raja berkata.”
Al-Imam Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir rahimahullahu (224-318 H),
dalam tafsirnya Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an (16/147) menerangkan bahwa raja
yang dimaksud dalam ayat ini adalah raja yang terbesar (terkemuka). Ia bernama Ar-
Rayyan bin Al-Walid, sebagaimana tersebut dalam sebuah riwayat dari jalan Ali bin
Hussain, dari Muhammad bin Isa, dari Salamah, dari Muhammad bin Ishaq. (lihat
pula Tafsir Ibnu Katsir 4/275, Ibnu Abi Hatim 8/383)
َ'ِ ُBِْ%ْcَْ‫َأ‬FِْD
“Aku memilih dia sebagai orang yang rapat denganku.”
Maknanya adalah: “Aku jadikan dia sebagai orang khusus dan penasihat khusus bagi
diriku.” (Lihat Tafsir Ath-Thabari, Ibnu Katsir, dan Al-Baghawi).
Ibnu Abi Hatim, Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi
rahimahullahu (wafat pada th. 327 H), menyebutkan dalam kitab tafsirnya (8/386),
riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Raja mengatakan kepada nabi Yusuf
‘alaihissalam, “Sesungguhnya aku menyukai agar kamu menemaniku dalam setiap
keadaan, kecuali dalam urusan keluargaku. Karena aku tidak suka makan
bersamamu.”
Mendengar hal itu, Nabi Yusuf ‘alaihissalam marah sambil berkata: “Aku lebih
berhak untuk menjauhkan diri, karena orangtuaku adalah Ibrahim Khalilullah,
orangtuaku Ishaq dzabihullah.” Pada riwayat lain dengan lafadz: “Yusuf bin Ya’qub,
Nabiyullah bin Ishaq dzabihullah bin Ibrahim Khalilullah.”
ُBَ %َ‫َ  آ‬%َ.
“Maka tatkala telah bercakap-cakap dengannya.”
Al-Imam Al-Baghawi, Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud rahimahullahu wafat
th. 516 H, dalam tafsirnya Ma’alimut Tanzil (4/250-251) menyebutkan riwayat dari
Wahb (bin Munabbih, pen.). Ketika Nabi Yusuf ‘alaihissalam mendatangi sang raja
dan mengucapkan salam kepadanya dengan bahasa Arab. Raja bertanya, “Bahasa
apakah ini?” Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjawab, “Ini bahasa pamanku, Nabi
Ismail.” Kemudian Nabi Yusuf ‘alaihissalam mendoakannya dengan bahasa Ibrani.
Raja bertanya, “Bahasa apakah ini?” Dijawab, “Ini bahasa ayah-ayahku dan raja tidak
tahu dengan dua bahasa tersebut.”
Wahb juga bercerita bahwa sang raja (Ar-Rayyan bin Al-Walid) ini menguasai 70
bahasa. Setiap kali berbicara dengan suatu bahasa, Nabi Yusuf menjawabnya dengan
bahasa yang sesuai, bahkan menambah dengan dua bahasa, yaitu Arab dan Ibrani.
Melihat hal ini, sang raja heran dan terkesan, dalam keadaan Nabi Yusuf masih muda.
Usia beliau pada waktu itu baru mencapai 30 tahun. Maka raja mendudukkannya, dan
berkata, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
ٌِ‫ٌِ َأ‬Mَ َ'َْ َ ‫ اَْ;ْ َم‬+
َ ,‫ل ِإ‬
َ َN
“Dia berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang
berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami’.”
Sebagian meriwayatkan, bahwa raja ingin mendengarkan secara langsung tentang
ta’bir mimpi yang pernah diceritakan sebelumnya (lihat apa yang tersebut dalam surat
Yusuf dari ayat 43 sampai 49, pen.).
Setelah mendengar seluruh penuturan Nabi Yusuf ‘alaihissalam, Sang Raja bertanya,
“Siapa yang akan mendampingiku dalam hal ini, serta mampu menyelesaikan,
mengerjakan, dan mengatur semua urusan ini?”
Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjawab, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
ٌIِ%َ ٌhِDَ F<,‫ض ِإ‬ ِ ْ‫ اَْر‬ ِ ِY‫َا‬7َ8 Kَ%َ Fِ'ْ%َ2ْZ‫ل ا‬
َ َN
Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”
ٌِ‫ٌِ َأ‬Mَ َ'َْ َ ‫ اَْ;ْ َم‬+
َ ,‫ل ِإ‬
َ َN
Raja berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang
berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.”
Ibnul Jauzi rahimahullahu (588-587 H), menyebutkan dalam tafsirnya riwayat Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma, makna ٌِ‫ٌِ َأ‬Mَ adalah “Aku telah mengokohkan,
menguatkan, dan memercayakan urusan kekuasaan (kerajaan/negara) kepadamu.”
Al-Muqatil rahimahullahu berkata, makna  ُ ِMَ‫ اْـ‬yaitu orang yang punya kedudukan
(terkemuka). Sedangkan  ُ َِْ‫ ا‬yaitu yang menjaga, memelihara, dan melindungi.
(Lihat Zadul Masir 3/439)
Al-Baghawi rahimahullahu menyebutkan dalam tafsirnya,  ُ ِMَ‫ اْـ‬yaitu berpangkat,
berkedudukan. Sedangkan  ُ َِْ‫ ا‬adalah yang dipercaya.
Al-Alusi rahimahullahu dalam kitabnya Ruhul Ma’ani juga menyebutkan, Al-Makin
yaitu berpangkat dan berkedudukan yang tinggi. Al-Amin yaitu dipercaya atas segala
sesuatu.
‫ض‬
ِ ْ‫ اَْر‬ ِ ِY‫َا‬7َ8 Kَ%َ Fِ'ْ%َ2ْZ‫ل ا‬
َ َN
Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir).”
Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, kata  ُ ِY‫َا‬7َ8 adalah
bentuk jamak dari ٌ)َ,‫َا‬7َ8 artinya tempat menyimpan, yaitu tempat peyimpanan
makanan dan harta. Sedangkan ‫ض‬ ُ ْ‫ اَْر‬alif-lam di sini berfungsi sebagai pengganti
idhafah, maknanya + َ ِ3ْ‫ َأر‬
ُ ِY‫َا‬7َ8 yaitu bendahara negaramu (Mesir).
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu juga menyebutkan sebuah riwayat dari jalan
Sa’id bin Manshur rahimahullahu ia berkata, “Saya mendengar dari Malik bin Anas
radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Negeri Mesir adalah ‫ض‬ ِ ْ‫ اَْر‬ِ ِY‫َا‬7َ8. Tidakkah kalian
mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
‫ض‬
ِ ْ‫ اَْر‬ ِ ِY‫َا‬7َ8 Kَ%َ Fِ'ْ%َ2ْZ‫ل ا‬
َ َN
yaitu untuk menjaganya (menjadi bendahara negara), dengan menghilangkan mudhaf.
F<,‫ٌ ِإ‬Iِ%َ ٌhِDَ
“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”
Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu setelah menyebutkan ayat ini, mengatakan
bahwa para ulama berselisih dalam menafsirkannya hingga menjadi tiga pendapat:
Pertama, mereka berpendapat, maknanya adalah: “Sesungguhnya aku adalah orang
yang pandai menjaga segala yang telah dititipkan kepadaku. Berpengetahuan terhadap
apa yang telah diserahkan/dilimpahkan kepadaku.”
Pendapat ini dinisbahkan kepada sebuah riwayat dari Ibnu Humaid, dari Salamah, dari
Ibnu Ishaq.
Kedua, pendapat yang mengatakan, maknanya: “Aku adalah orang yang pandai
menjaga segala yang telah dilimpahkan kepadaku. Berpengetahuan terhadap perkara
(urusannya).”
Pendapat ini dinisbahkan kepada sebuah riwayat dari jalan Bisyr, dari Yazid, dari
Sa’id, dari Qatadah.
Ketiga, ada pula yang mengatakan, maknanya: “Aku adalah seorang yang pandai
menjaga untuk hisab/perhitungan (perihal pengeluaran dan pemasukan harta milik
negara, pen.), mengetahui beberapa bahasa.”
Pendapat ini disandarkan kepada sebuah riwayat, dari jalan Ibnu Waqi’, dari ‘Amr,
dari Al-Asyja’i.
Setelah memaparkan tiga pendapat di atas, beliau berkata: “Menurut kami pendapat
yang kuat adalah pendapat yang pertama. Karena ucapan ini terjadi setelah Nabi
Yusuf ‘alaihissalam mengatakan kepada raja: ”Jadikanlah aku bendahara negara
(Mesir).” Bentuk permohonan Nabi Yusuf kepada raja, bahwa ia mampu mengurusi
(sebagai bendahara) negara Mesir, menunjukkan, bahkan sekaligus sebagai
pemberitaan bahwa beliau memiliki kemampuan dalam hal ini. Makna ini lebih sesuai
untuk memaknai kalimat … † ketimbang dimaknakan dengan makna sebagaimana
yang tersebut pada pendapat ketiga (tersebut di atas).”
Abul Fida Isma’il bin Umar, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir rahimahullahu (700-
774 H), berkata setelah menyebutkan dua ayat di atas: “Dalam ayat ini, Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang Raja Mesir (Ar-Rayyan bin Al-Walid),
setelah memastikan terbebasnya Nabi Yusuf ‘alaihissalam, bersih dan sucinya
kehormatan beliau dari apa yang dituduhkan kepadanya. Raja mengatakan
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
FِْDَ'ِ ُBِْ%ْcَْ‫ِ َأ‬Bِ Fِ,;ُْY‫ا‬
“Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat
denganku”, yakni jadikanlah dia sebagai orang khusus dan penasihat khusus bagiku.
ُBَ %َ‫َ  آ‬%َ.
“Maka tatkala telah bercakap-cakap dengan dia” yakni raja telah bercakap-cakap
dengannya, mengetahui serta melihat keutamaan, kepandaian, kemahiran, dan
kecakapan serta keutamaan dan kesempurnaan pada rupa dan perangainya, berkatalah
raja kepadanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ٌِ‫ٌِ َأ‬Mَ َ'َْ َ ‫ اَْ;ْ َم‬+
َ ,‫ِإ‬
“Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi
dipercaya pada sisi kami” yakni, sesungguhnya kamu di sisi kami telah menjadi
seseorang yang berkedudukan dan dipercaya. Yusuf ‘alaihissalam berkata,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ٌIِ%َ ٌhِDَ F<,‫ض ِإ‬ ِ ْ‫ اَْر‬ ِ ِY‫َا‬7َ8 Kَ%َ Fِ'ْ%َ2ْZ‫ا‬
”Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang
pandai menjaga lagi berpengetahuan.”
Nabi Yusuf ‘alaihissalam memuji dirinya. Hal ini diperbolehkan bagi seorang yang
belum diketahui tentang keadaan dirinya, pada saat yang dibutuhkan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa ia adalah orang yang ٌhِDَ (pandai
menjaga), penjaga/bendahara yang dipercaya, ٌIِ%َ (berpengetahuan), yakni memiliki
pengetahuan, ketelitian, dan kejelian terhadap segala perkara yang diurusinya. (lihat
Tafsir Ibnu Katsir, 4/275)
Perlu diketahui sekali lagi, bahwa Nabi Yusuf ‘alaihissalam mengucapkan ucapan
yang mengandung pujian terhadap dirinya tersebut adalah ketika beliau telah
mendapatkan kedudukan dan kepercayaan di sisi raja. Bukan serta merta beliau
memuji dirinya untuk meraih kedudukan. Tentu hal ini berbeda dengan keadaan para
kontestan pemilu atau para politikus yang berkampanye memuji diri dalam rangka
meraih kedudukan dan ambisi politiknya.

Faedah
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dalam tafsirnya: “Sebagian ulama
berkata, pada ayat ini terdapat dalil tentang diperbolehkannya bagi orang yang baik
(shalih), bekerja untuk orang yang buruk (fajir) atau penguasa yang kafir. Dengan
syarat, orang tersebut tahu, bahwa segala pekerjaan/tugas diserahkan kepadanya
(diberi kekuasaan penuh untuk mengaturnya), dan bukan diatur oleh (orang-orang
yang fajir atau penguasa yang kafir tersebut, pen.). Sehingga, ia akan mengatur sesuai
dengan apa yang dia kehendaki (untuk hal yang baik dan bermanfaat). Adapun kalau
pekerjaan tersebut harus berdasarkan pada kemauan dan kehendak orang yang fajir
atau (penguasa yang kafir), menuruti hawa nafsu dan kekufurannya (di bawah aturan
mereka), hal yang demikian ini tidak diperbolehkan.
Sebagian mereka berpendapat, perihal ini (bekerja untuk orang buruk/ penguasa yang
kafir) khusus hanya untuk Nabi Yusuf ‘alaihissalam saja. Adapun sekarang tidak
diperbolehkan. Pendapat yang pertama lebih kuat (boleh dan bukan kekhususan),
dengan syarat yang telah disebutkan tadi.
Al-Mawardi rahimahullahu berkata: “Apabila yang berkuasa adalah orang yang zalim,
para ulama berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya, seorang untuk bekerja
dengannya.
Pendapat pertama, membolehkan. Apabila seorang bekerja dengan baik dan benar
(memenuhi hak), pada perkara yang telah diserahkan penuh kepadanya (untuk
mengaturnya). Karena dalam ayat ini, Nabi Yusuf ‘alaihissalam bekerja (menerima
pekerjaan) dari raja (Fir’aun)1. Pertimbangan ini berdasarkan pekerjaan (kemampuan)
beliau dan bukan pada orang lain.
Pendapat kedua, tidak membolehkan. Hal ini berdasarkan adanya bentuk/unsur
menolong atas kezaliman yang mereka lakukan. Memuji mereka, dengan meniru
(melakukan) perbuatannya.
Para ulama yang berpendapat membolehkan bekerja dengan orang yang zalim,
menjawab perihal yang terjadi pada Nabi Yusuf ketika menerima pekerjaan dari
Fir’aun, dengan dua jawaban:
Pertama, Fir’aun (raja)-nya Nabi Yusuf waktu itu seorang yang shalih (muslim).
Adapun Fir’aun yang membangkang (kafir), adalah Fir’aun (raja)-nya Nabi Musa
‘alaihissalam.
Kedua, hal ini melihat pada kekuasaan dan bukan pada pekerjaannya.”
Al-Mawardi berkata: “Yang benar dalam hal ini adalah merinci masalah menjadi tiga
kesimpulan:
1. Boleh bagi orang yang memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukannya.
Dengan catatan, tidak ada unsur berijtihad (berpendapat) dalam melaksanakan
tugasnya seperti menyalurkan shadaqah dan zakat.
Boleh seseorang menerima pekerjaan dan tugas dari orang yang zalim. Karena,
adanya nash/dalil yang menerangkan kepada siapa shadaqah dan zakat itu disalurkan
telah mencukupi, sehingga tidak memerlukan lagi adanya ijtihad. (Maka kebebasan
bertindak dalam hal ini, telah menjadi cukup baginya [terbebaskan] dari mengikuti
perintah [peraturan orang zalim tersebut, pen.]).
2. Keadaan di mana seseorang tidak diperbolehkan untuk bertindak sendiri, adanya
keharusan untuk berijtihad (berpendapat, berinisiatif) dalam mengatur urusan, seperti
menangani harta rampasan.
Keadaan seperti ini tidak boleh bagi seseorang untuk menerima penugasan dari orang
yang zalim. Hal ini dikarenakan ia telah melakukan tindakan yang tidak benar dan
berijtihad (berpendapat, mengatur) pada perkara yang tidak berhak untuk
melakukannya.
3. Keadaan yang boleh melimpahkan tugas kepada orang yang ahli dan boleh baginya
berijtihad, seperti menangani hukum dan pidana. Apabila terjadi kesepakatan dari
kedua belah pihak dan tidak ada yang dipaksa, (maka boleh baginya bekerja untuk
orang yang zalim, pen.). Namun apabila terjadi pemaksaan, tidak diperbolehkan.
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu dalam Taisir Al-Lathiful Mannan, berkata
setelah menyebutkan ayat di atas: “Pada ayat ini terdapat keutamaan ilmu, ilmu syar’i
dan hukum, ilmu ta’bir mimpi, ilmu mengatur dan mengurusi negara, serta ilmu
kepemerintahannya. Yang menjadi salah satu sebab Nabi Yusuf ‘alaihissalam
memperoleh kedudukan yang tinggi di dunia dan di akhirat kelak, yaitu adanya ilmu
yang beragam dan banyak (mengetahui berbagai macam ilmu). Hal ini juga
menunjukkan bahwa ilmu ta’bir mimpi termasuk bagian dari fatwa. Maka tidak boleh
bagi siapapun untuk mena’birkan suatu mimpi dan memastikannya, sebelum
mengetahui secara pasti. Sebagaimana halnya (dalam hukum/perkara), tidak boleh
bagi siapapun berfatwa dalam hal apapun tanpa ilmu. Karena dalam surat Yusuf ini,
Allah Subhanahu wa Ta’ala menamai kemampuan mena’birkan mimpi, dengan nama
ilmu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
~
ِ ِ‫ اَْ َد‬X
ِ ِ‫ ِْ َْو‬+
َ ُ<%َ2ُ‫ َو‬+
َ G ‫ َر‬+
َ َِْRَ +
َ ِ?َ َ‫َوآ‬
“Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi nabi) dan diajarkan-Nya
kepadamu sebagian dari ta’bir mimpi-mimpi.” (Yusuf: 6)
Ayat ini juga menerangkan, tidak mengapa seseorang memberitakan tentang dirinya,
berupa sifat-sifat yang baik dan sempurna, berilmu pengetahuan dan yang lainnya.
Hal ini boleh dilakukan selama membawa maslahat, selamat dari berdusta, dan tidak
bermaksud untuk memperlihatkan diri (riya’). Seperti yang tersebut dalam ayat:
Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)

Catatan: Beberapa rujukan yang tersebut di atas, keumumannya dinukil dari Al-
Maktabah Asy-Syamilah. Mengingat keterbatasan rujukan yang ada pada kami.
Wallahu a’lam bish-shawab, wal ‘ilmu ‘indallah.

1 Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, fir’aun (pharao)


adalah nama yang dipakai untuk penyebutan raja-raja Mesir zaman dahulu.
Sebagaimana Qaisar (Kaisar) atau Hiraql (Heraklius) untuk penamaan raja-raja
Romawi. Adapun Persia terkenal penyebutannya dengan Al-Akasirah, bentuk jamak
dari Kisra. Sedangkan raja-raja Yaman dikenal penamaannya dengan At-Taba’ah,
jamak dari Taba’. Kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Muhammad bin Ishaq,
bahwa fir’aun-nya Nabi Yusuf adalah raja terkemuka bernama Ar-Rayyan bin Al-
Walid, dan masuk Islam (mengikuti ajaran Nabi Yusuf ‘alaihissalam). Sedangkan
fir’aun-nya Nabi Musa ‘alaihissalam adalah raja yang bernama Al-Walid bin Mush’ab
bin Ar-Rayyan (dan menentang ajaran Nabi Musa ‘alaihissalam)

Demi Sebuah Kursi Kedudukan


Oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar

‫ل‬
َ َN ِBِ ‫ َْ َأ‬،<‫َْ ِري‬,َْ‫ ا‬+
ٍ َِ ِ ْ H
ِ ْ2َ‫ آ‬
ِ ْ ‫ ا‬
ِ َ:I%‫ و‬B% _‫ ا‬K%L _
ِ ‫لا‬
ُ ;ُ‫ل َر‬
َ َN: Fِ. `
َ ِْ‫ن ُأر‬
ِ َ2ِYَZ ‫ن‬
ِ َْY‫َ ِذ‬
ِBِ'ِِ ‫ف‬
ِ َ U‫ل وَا‬
ِ َْ‫ ا‬Kَ%َ ‫ص اَْْ ِء‬
ِ ِْ ِْ ََ َ َْ.َِ Iٍ َ'َ*
Dari Ka’b bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah sekawanan
kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena
ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan.”

Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 2482) melalui jalan Suwaid bin Nashr,
dari Abdullah bin Al-Mubarak, dari Zakariya bin Abi Zaidah, dari Muhammad bin
Abdirrahman, dari Ibn Ka’b bin Malik, dari ayahnya, dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullahu berkata, ”Hadits ini diriwayatkan melalui jalan
lain dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya dari hadits Ibnu ‘Umar,
Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Usamah bin Zaid, Abu Sa’id, dan ‘Ashim bin ‘Adi Al-
Anshari g.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu (3/456).
Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam Ash-Shahihul Musnad
(2/178) dan Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ (no. 5620).
Al-Qadhi rahimahullahu menerangkan, hadits ini shahih dan sangat masyhur. Kami
memperoleh hadits ini lebih dari satu jalur periwayatan. Secara umum, pada lafadz
hadits terdapat perbedaan kata namun bermakna sama.

Makna Hadits
Makna hadits ini, kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala lapar yang
dibiarkan bebas di antara sekawanan kambing masih belum seberapa apabila
dibandingkan kerusakan yang muncul karena ambisi seseorang untuk mendapatkan
kekayaan dan kedudukan. Karena, ambisi untuk mendapatkan harta dan kedudukan
akan mendorong seseorang untuk mengorbankan agamanya. Adapun harta, dikatakan
merusak karena ia memiliki potensi untuk mendorongnya terjatuh dalam syahwat
serta mendorongnya untuk berlebihan dalam bersenang-senang dengan hal-hal
mubah. Sehingga akan menjadi kebiasaannya. Terkadang ia terikat dengan harta lalu
tidak dapat mencari dengan cara yang halal, akhirnya ia terjatuh dalam perkara
syubhat. Ditambah lagi, harta akan melalaikan seseorang dari zikrullah. Hal-hal
seperti ini tidak akan terlepas dari siapapun.
Adapun kedudukan, cukuplah sebagai bukti kerusakannya bahwa harta dikorbankan
untuk meraih kedudukan. Sementara kedudukan tidak mungkin dikorbankan hanya
untuk mendapatkan harta. Inilah yang dimaksud dengan syirik khafi (syirik yang
tersamar). Dia tenggelam di dalam sikap oportunis, merelakan prinsipnya hilang,
kenifakan, dan seluruh akhlak tercela. Maka, ambisi terhadap kedudukan lebih
merusak dan lebih merusak. (Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi)
Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu berkata, “Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam (di dalam hadits ini) mengabarkan bahwa ambisi untuk
memperoleh kedudukan dapat merusak agama seseorang. Kerusakannya tidak kurang
dari kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala terhadap sekawanan kambing.
Agama seorang hamba tidak akan selamat bila ia memiliki ambisi untuk memperoleh
harta dan kedudukan, hanya sedikit yang dapat selamat. Perumpamaan yang teramat
agung ini memberikan pesan untuk benar-benar waspada dari keburukan ambisi untuk
memperoleh harta dan kedudukan di dunia.”
Beliau rahimahullahu juga berkata, “Ambisi seseorang terhadap kedudukan tentu
lebih berbahaya dibandingkan ambisinya terhadap harta. Karena usaha untuk
mendapatkan kedudukan duniawi, derajat tinggi, kekuasaan atas orang lain, dan
kepemimpinan di atas muka bumi, lebih besar mudaratnya dibandingkan usaha
mencari harta. Sungguh besar mudaratnya. Bersikap zuhud dalam hal ini begitu sulit.”
(Syarh Ibnu Rajab)

Menjaga Agama Adalah Cita-cita Mulia


Di dalam hadits ini terdapat faedah yang mengingatkan kita bahwa perkara yang
terpenting bagi seorang hamba adalah menjaga agamanya. Serta merasa rugi apabila
muncul kekurangan di dalam menjalankan agama. Cinta seorang hamba terhadap
harta dan kedudukan, upaya yang ia tempuh untuk mendapatkannya, ambisi untuk
meraih harta dan kedudukan, serta kerelaan bersusah-payah untuk mengalahkan,
hanya akan menyebabkan kehancuran agama dan runtuhnya sendi-sendi agamanya.
Simbol-simbol agama akan terhapus. Bangunan-bangunan agamanya pun akan roboh.
Ditambah lagi bahaya yang akan ia hadapi karena menempuh sebab-sebab
kebinasaan.
Apakah Hanya Karena Sebuah Kedudukan Kita Menjatuhkan Diri Dalam Jurang
Kehancuran?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umat Islam untuk meniru akhlak
tercela kalangan Yahudi. Karena meniru akhlak tercela mereka akan berakhir dengan
kehancuran dan celaka. Di antara sekian banyak tingkah laku Yahudi yang harus
dijauhi adalah ambisi untuk mendapatkan kedudukan. Apakah pantas seorang muslim
mengaku memperjuangkan Islam, sementara cara yang digunakan adalah cara-cara
Yahudi? Dengan berebut kursi, meraih suara terbanyak, ingin tampil ke depan,
hendak memimpin, menduduki kursi-kursi kedudukan, dan menjadi seorang
penguasa? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ <‫َ ِم ُز‬2ْ,َْ‫ اَُْ ;َ)ِ وَا‬X
ِ َْcْ‫ )ِ وَا‬rِDْ‫ وَا‬H ِ َ‫ ا ?ه‬َ ِ ‫َ'ْ َ َ ِة‬9ُْ‫ِ ِ ا‬sَ'َ9ْ‫ وَا‬
َ ِ'َْ‫ ا'<َ ِء وَا‬
َ ِ ‫ت‬
ِ ‫ َ;َا‬U‫ ا‬H
G ُ ‫س‬
ِ  '%ِ
‫ب‬
ِ aَْ‫ ا‬
ُ ُْ tُ َ ْ'ِ _ ُ ‫َْ وَا‬,G ‫ع اْ=ََ ِة ا‬
ُ ََ +
َ ِ‫ث َذ‬
ِ َْ=ْ‫وَا‬
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullahu ketika menjelaskan ayat di atas
menyatakan, “Telah dibuat indah untuk manusia sifat tertariknya mereka terhadap
wanita dan anak keturunan serta segala hal yang disebutkan. Allah Subhanahu wa
Ta’ala menyebutkan hal ini hanyalah untuk menjelaskan sifat buruk orang-orang
Yahudi. Mereka lebih mengutamakan dunia dan ambisi terhadap kekuasaan
dibandingkan harus mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
padahal mereka telah mengetahui kebenarannya.” (Tafsir Ath-Thabari)

Ambisi Untuk Berkuasa Pasti Disertai Sikap Menjelekkan Orang Lain


Adapun orang-orang yang berambisi untuk meraih tampuk kekuasaan, Ibnul Qayyim
rahimahullahu menjelaskan, mereka mengejar kekuasaan untuk melampiaskan seluruh
keinginan. Yaitu berkuasa di muka bumi, agar seluruh hati mengarah dan cenderung
kepada mereka, serta membantu mereka di dalam mewujudkan keinginan. Dalam
keadaan merekalah yang menguasai dan mengatur. Sehingga ambisi untuk meraih
kekuasaan hanya akan melahirkan kerusakan-kerusakan yang tidak mungkin diketahui
secara pasti jumlahnya kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan muncul dosa,
hasad, perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, dengki, kezaliman, fitnah, fanatik
pribadi, tanpa memedulikan lagi hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang terhina
di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala akan dimuliakan sementara orang yang dimuliakan
Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti dihina. Kekuasaan duniawi tidak mungkin sempurna
kecuali dengan cara-cara kotor seperti tersebut di atas. Kekuasaan duniawi tidak akan
tercapai kecuali dengan menempuh langkah-langkah yang penuh dengan mafsadah,
bahkan berkali-kali lipat. Sementara orang-orang yang telah meraih kekuasaan
amatlah buta dengan hal-hal ini. (Ar-Ruh, Ibnul Qayyim rahimahullahu)
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu berkata: “Tidak ada seorang pun yang memiliki
ambisi untuk mendapatkan kekuasaan melainkan ia pasti senang menyebutkan
kekurangan dan cela orang lain, sehingga dialah yang dikenal sebagai orang
sempurna. Dia pun tidak senang apabila ada yang menyebutkan kebaikan orang lain.
Barangsiapa gila kekuasaan maka ucapkan ‘selamat berpisah’ dari kebaikan-
kebaikannya.”

Ambisi Untuk Meraih Kekuasaan Akan Merusak Ilmu


Al-Ahnaf bin Qais rahimahullahu menjelaskan bahwa penyakit yang akan merusak
alim ulama adalah ambisi untuk meraih kekuasaan. (‘Aja'ib Al-Atsar)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu pernah berkata kepada Sufyan bin ‘Uyainah
rahimahullahu, “Cinta kekuasaan lebih disenangi orang dibandingkan emas dan perak.
Barangsiapa berambisi memperoleh kekuasaan ia akan mencari-cari aib orang lain.”
(Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Ibnu Muflih)
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata, “Kekuasaan lebih disenangi oleh ahli
qira’ah dibandingkan emas merah.” (Al-Wara’, Al-Imam Ahmad hal. 91)
Ibnu ‘Abdus rahimahullahu berkata, “Setiap kali bertambah kemuliaan seorang alim
dan bertambah tinggi derajatnya, maka semakin cepat dia merasa ujub. Kecuali orang
yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan taufiq-Nya dan membuang
ambisi terhadap kekuasaan dari dirinya.” (Jami’ Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlih 1/142,
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullahu)
“Ilmu hadits adalah disiplin ilmu yang mulia. Yang sesuai untuk ilmu ini hanyalah
akhlak mulia dan perilaku yang terpuji. Ilmu ini akan menghilangkan akhlak buruk
dan perilaku tercela. Ilmu hadits adalah ilmu akhirat, bukan ilmu dunia. Barangsiapa
yang ingin mendengarkan periwayatan hadits atau ingin menyampaikan ilmu hadits,
hendaknya ia berupaya meluruskan dan mengikhlaskan niat. Dia pun harus
membersihkan hatinya dari tujuan-tujuan duniawi dan segenap noda-nodanya. Dia
pun harus berhati-hati dari penyakit dan kotoran dari ambisi terhadap kekuasaan.”
(Muqaddimah Ibnu Shalah)
Salah satu hal yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat, ulama dunia
senantiasa memerhatikan kekuasaan. Senang akan pujian dan massa. Sementara
ulama akhirat menjauhi hal tersebut. Mereka benar-benar menjaga diri dari hal itu dan
menyayangkan orang-orang yang terkena penyakit tersebut.
Namun dikarenakan telah terbiasa dan memiliki ambisi mendapatkan kedudukan,
telah menguasai pemikiran mereka. Tinggallah ilmu hanya terucap melalui lisan
sebagai sebuah adat, bukan untuk diamalkan. (Shaidul Khathir, Ibnul Jauzi
rahimahullahu)

Ambisi Untuk Meraih Kekuasaan Akan Merusak Realisasi Cinta Kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala
Seringkali syahwat khafiyyah (tersembunyi) yang masuk pada diri seseorang dapat
merusak realisasi cinta seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Merusak
pula penghambaan dan keikhlasan di dalam beragama. Sebagaimana pernyataan
Syaddad bin Aus rahimahullahu, ”Wahai sekalian sisa-sisa orang Arab.
Sesungguhnya yang paling aku cemaskan bila menimpa kalian adalah riya’ dan
syahwat khafiyyah.”
Ketika ditanya tentang makna syahwat khafiyyah, Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani
rahimahullahu menjawab, “Syahwat khafiyyah adalah ambisi terhadap kekuasaan.”
Hadits ini menjelaskan bahwa keyakinan yang benar tentu tidak akan membawa
dirinya untuk berambisi semacam ini. Karena bila hati telah merasakan manisnya
beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, merasakan manisnya mahabbah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentu tidak ada lagi yang lebih ia cintai selain itu
sampai ia menemui-Nya. Dengan sebab inilah, keburukan dan kekejian akan
dijauhkan dari orang yang benar-benar ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ َِ%ْcُْ‫َ ا‬,‫ُ ِْ َِ ِد‬B ,‫َ َء ِإ‬Uْ=َDْ‫; َء وَا‬G‫ُ ا‬Bْ'َ ‫ف‬
َ ِ َْ'ِ +
َ ِ?َ َ‫آ‬
“Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian.
Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)
[Al-'Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu]
Termasuk Golongan Manakah Kita?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa ambisi seorang hamba
untuk memperoleh harta dan kekuasaan akan merusak agamanya. Seperti halnya atau
bahkan lebih parah dibandingkan dua ekor serigala yang dibiarkan bebas di tengah-
tengah kawanan kambing. Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan
keadaan orang yang mendapatkan catatan amal dengan tangan kirinya. Dia
menyatakan:
ْBََِ F<'َ Kَ'ْ*‫َ َأ‬. ْBَِ,َ ْ%ُ F<'َ + َ َ%َ‫ه‬
“Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan
dariku.” (Al-Haqqah: 28-29)
Akhir kehidupan seseorang yang haus akan kekuasaan hanyalah seperti Fir’aun.
Adapun para penumpuk harta, akhir kehidupannya hanyalah seperti Qarun. Padahal
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan keadaan Fir’aun dan Qarun di dalam
kitab-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫ض‬
ِ ْ‫ر‬P َ ْ‫ ا‬Fِ. ‫َرًا‬J}َ‫ُ ; ًة و‬N ْIُْ'ِ  َk‫ْ َأ‬Iُ‫ُ;ا ه‬,َ‫ْ آ‬Iِِ%َْN ِْ ‫ُ;ا‬,َ‫ آ‬ َ ْ?ِ ‫َِ)ُ ا‬Nَ ‫ن‬
َ َ‫ آ‬1 َ َْ‫ُُوا آ‬dْ'ََ. ‫ض‬
ِ ْ‫ر‬P
َ ْ‫ ا‬Fِ. ‫ْ ًَِْوا‬Iَ‫َأ َو‬
‫ق‬
ٍ ‫_ ِْ وَا‬ ِ ‫ا‬ َ ِ ْIَُ ‫ن‬
َ َ‫ْ َوَ آ‬Iِِ ْ;ُ,?ُ ِ _
ُ ‫ ا‬Iُ ُ‫َ َ?ه‬8ََ.
“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memerhatikan
betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu adalah lebih hebat
kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi,
maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak
mempunyai seorang pelindung dari azab Allah.” (Ghafir: 21)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
ِNَ2ْ‫ََدًا وَا‬. َ‫ض َو‬
ِ ْ‫ اَْر‬Fِ. ‫ا‬Q;ُ%ُ ‫ن‬ َ ‫ َ ُُِو‬ َ ِ? %ِ َُ%َ2ْRَ, ‫ِ َ ُة‬8aْ‫ ا ا ُر ا‬+ َ ْ%ِ
َ ِ9 ُْ%ِ ُ)َ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang
baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 83)

Sesungguhnya manusia ada empat macam.


Pertama, orang-orang yang menginginkan kekuasaan dan kerusakan di atas muka
bumi, yaitu dengan durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka adalah para
raja dan penguasa yang selalu berbuat kejahatan seperti Fir’aun dan pengikutnya.
Mereka adalah makhluk yang paling buruk. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ ِ ‫ن‬َ َ‫ُ آ‬B ,‫ْ ِإ‬Iُ‫َِ َءه‬, Fِْ=ََْ‫ْ َو‬Iُ‫‚ َأ ْ'َ َءه‬
ُ < ?َ ُ ْIُْ'ِ ً)َDِYَs 1
ُ ِ2ْrََْ ً2َِk ََ%ْ‫ َأه‬X
َ َ2َZ‫ض َو‬
ِ ْ‫ اَْر‬Fِ. َ%َ ‫ن‬
َ ْ;َِْ. ‫ن‬
‫ِإ‬

َ ِِْDُْ‫ا‬
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan
menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka,
menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan
mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-
Qashash: 4)
Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak
akan masuk Al-Jannah seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan
seberat semut kecil. Dan tidak akan masuk neraka seseorang yang di dalam hatinya
keimanan seberat semut kecil.” Kemudian ada orang bertanya, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku merasa senang bila pakaian dan sandalku bagus. Apakah hal ini
termasuk dari kesombongan?” Rasulullah menjawab, “Tidak, sesungguhnya Allah
adalah Dzat Yang Maha Indah, Dia senang dengan keindahan. Sombong ialah
menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”
Sikap menolak kebenaran dan merendahkan orang lain adalah sikap orang yang
menginginkan kekuasaan dan kerusakan.
Kedua, orang-orang yang menghendaki kerusakan tanpa disertai keinginan untuk
berkuasa. Seperti para pencuri dan penjahat dari kalangan orang-orang rendahan.
Ketiga, orang-orang yang menginginkan kekuasaan tanpa disertai kerusakan.
Sebagaimana halnya orang yang memiliki agama namun ingin menguasai yang lain.
Keempat, para penduduk Al-Jannah. Yaitu orang-orang yang tidak menginginkan
kekuasaan dan kerusakan di atas muka bumi. Padahal mereka lebih mulia
kedudukannya dibanding yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ ِ'ِْvُ ْIُْ'ُ‫ن ِإنْ آ‬ َ ْ;َ%َْْ‫ ا‬Iُ ُْ,‫ُ;ا َوَأ‬,َ7ْ=َ َ‫َوَ َِ'ُ;ا َو‬
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal
kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman.” (Ali Imran: 139)
ْIُMََْ‫ْ َأ‬Iُ‫ْ َوَْ َِ َآ‬IُMَ2َ ُB %‫ن وَا‬ َ ْ;َ%َْْ‫ ا‬Iُ ُْ,‫ َوَأ‬Iِ ْ% ‫ ا‬Kَ‫َ َِ'ُ;ا َوَُْ;ا ِإ‬%َ.
“Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah-
(pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-
amalmu.” (Muhammad: 35)
‫ن‬
َ ;َُ%ْ2َ َ  َ ِ9ِ.َ'ُْ‫ ا‬
ِMَ‫ َو‬ َ ِ'ِْvُْ%ِ‫ِ َو‬Bِ;َُ ِ‫ ُة َو‬7 ِ2ْ‫ِ ا‬B %ِ‫َو‬
“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang
mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (Al-Munafiqun: 8)
Alangkah banyak orang yang mengharapkan kekuasaan padahal justru membuat
dirinya semakin terhina. Betapa banyak orang yang diangkat kedudukannya padahal
dirinya tidak berharap kekuasaan dan kerusakan. (As-Siyasah Asy-Syar’iyyah,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu)

Ulama Islam dan Kedudukan


Kepada mereka yang mengaku sedang memperjuangkan Islam. Kepada mereka yang
merasa sedang mengibarkan bendera Islam. Apakah mereka lebih baik dari Salaf,
generasi pertama umat Islam? Apakah mereka tidak membaca biografi para ulama?
Perhatikanlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman
bin Samurah radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Muslim rahimahullahu:
ََْ%َ &
َ ْ'ِ‫& ِإََْ َوِإنْ ُأْ ََِ َْ *َْ ِ َََْ)ٍ ُأ‬
َ ْ%ِ‫ ِإنْ ُأْ ََِ َْ َََْ)ٍ ُوآ‬+
َ ,-َِ. ‫َ َر َة‬-ِْ‫ل ا‬
ِ ََْ 
َ ،َِْ  ‫َ َْ َ ا‬
“Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena
sesungguhnya bila engkau memperoleh kepemimpinan karena permintaanmu maka
engkau akan dibiarkan. Dan jika engkau memperolehnya tanpa dasar permintaan
engkau akan dibantu.” (Silakan merujuk majalah Asy Syariah Vol I/No. 06/Maret
2004/Muharram 1425 untuk keterangan lebih lengkap tentang hadits ini, dengan tema
Hukum Meminta Jabatan)
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu di dalam Siyar A’lam An-Nubala’
menyebutkan banyak kisah menakjubkan dari sisi-sisi kehidupan para ulama. Mereka
adalah manusia-manusia pilihan yang berusaha menjauhkan diri dari kedudukan dan
kekuasaan. Berikut ini beberapa contoh yang dapat diambil ibrahnya.
- Manshur bin Al-Mu’tamir As-Sulami rahimahullahu menolak untuk diangkat
sebagai seorang qadhi. Maka dikirimlah serombongan pasukan untuk memaksanya.
Kepada Yusuf bin ‘Umar, komandan pasukan tersebut, dikatakan, ”Walaupun engkau
koyak kulit tubuhnya, dia tidak akan mau untuk menerima tawaran tersebut.” Maka,
Manshur pun ditinggalkan.
- Abu Qilabah Al-Jarmi rahimahullahu, salah seorang tabi’in, lari meninggalkan
negerinya dari Bashrah hingga daerah Yamamah dan meninggal di sana. Beliau lari
untuk menghindari tawaran menjadi seorang qadhi. Ayyub As-Sikhtiyani
rahimahullahu pernah menemuinya dan bertanya tentang alasan beliau untuk lari
menghindar. Maka Abu Qilabah menjawab, “Aku tidak melihat sebuah perumpamaan
yang tepat untuk seorang qadhi kecuali seseorang yang tercebur di dalam lautan yang
luas, hingga kapan dia akan mampu berenang? Pasti dia akan tenggelam.”
- Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyi rahimahullahu ketika menolak untuk
diangkat menjadi seorang qadhi, beliau berkata kepada seseorang yang menanyakan
sebab penolakannya, “Apakah engkau tidak mengerti bahwa para ulama akan
dikumpulkan pada hari kiamat bersama para nabi? Sementara para qadhi akan
dikumpulkan bersama para penguasa?”
- Al-Mughirah bin Abdillah Al-Yasykuri rahimahullahu menolak permintaan Khalifah
Harun Ar-Rasyid untuk menjadi seorang qadhi. Beliau beralasan, Sungguh demi
Allah, wahai Amirul Mukminin, aku lebih memilih dicekik oleh setan daripada harus
memegang kedudukan qadha’. Ar-Rasyid lalu berkata, “Tidak ada lagi keinginan
selain itu.” Kemudian Harun Ar-Rasyid pun mengabulkan permintaannya.
- Al-Imam Abdurrahman bin Mahdi rahimahullahu berkata, “Amirul Mukminin
memaksa Sufyan Ats-Tsauri untuk memegang kedudukan al-qadha’ (yakni menjadi
qadhi). Maka, Sufyan pun berpura-pura menjadi orang bodoh agar terbebas. Setelah
Amirul Mukminin mengetahui hal tersebut, maka Sufyan pun dibebaskan lalu ia
melarikan diri.”
Marilah kita membaca biografi para ulama yang lain, seperti Abu Ja’far Muhammad
bin Jarir Ath-Thabari, Abu ‘Amr Abdurrahman bin ‘Amr Al-Auza’i, Muhammad bin
Wasi’ bin Jabir Al-Akhnas, Abu Sufyan Waki’ ibn Al-Jarrah Al-Kufi, Al-Imam Abu
Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, Abu Ya’la Mu’alla bin Manshur Ar-Razi, Abdullah
bin Idris bin Yazid Al-Kufi, dan yang lain. Mereka berusaha menjauhi kursi
kedudukan. Benar-benar mengagumkan.
Apabila demikian sikap para ulama Islam, maka apakah mereka yang berebut kursi
dan mencari suara terbanyak dapat dikatakan sedang memperjuangkan Islam? Dusta
dan sungguh dusta lisan mereka. Mungkin terbersit dalam benak, jika kita tidak
menduduki kursi-kursi penting maka Islam akan diinjak-injak? Maka, jawabnya ada
pada pendirian seorang Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal rahimahullahu.
Disebutkan dalam Mihnatul Imam Ahmad (hal. 70-72) beliau berkata, ”Sungguh,
sekali-kali tidak mungkin hal itu akan terjadi! Sesungguhnya Allah Subhanahu wa
Ta’ala pasti akan membela agama-Nya. Sesungguhnya ajaran Islam ini memilki Rabb
yang akan menolongnya. Dan sesungguhnya dienul Islam ini sangat kuat dan kokoh.”
Wallahu a’lam.

Weblink : http://www.asysyariah.com
http://salafiyunpad.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai