PEMILU (PENTING)
Daftar isi:
Meminta jabatan atau mencalonkan diri dalam etika politik merupakan hal
lumrah. Padahal Islam melarang keras perbuatan yang berakar dari budaya Barat
ini. Hadits berikut memberikan penjelasan secara gamblang bagaimana
sesungguhnya Islam memandang sebuah jabatan yang telah menjadi simbol status
sosial ini.
Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Bukhari dalam Shahih-nya no. 7146 dengan
judul “Siapa yang tidak meminta jabatan, Allah akan menolongnya dalam
menjalankan tugasnya” dan no. 7147 dengan judul “Siapa yang minta jabatan
akan diserahkan kepadanya (dengan tidak mendapat pertolongan dari Allah dalam
menunaikan tugasnya)”. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-
nya no. 1652 yang diberi judul oleh Al-Imam Nawawi “Bab larangan meminta
jabatan dan berambisi untuk mendapatkannya”.
Masih berkaitan dengan permasalahan di atas, juga didapatkan riwayat dari Abu
Dzar Al Ghifari radliallahu 'anhu. Ia berkata: "Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?" Mendengar
permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:
(( ٌ1ِْ2َ3 + َ
,ر ِإ4 َ َأ َ َذ, ٌ)َ,َ
َ َأ, َو ِإ, ٌ)َََا, ْيٌ َو7ِ8 ِ)ََِ9ْ
َ َ;ْ َم ا, َو ِإ, َ<9َ=ِ ََ َ?ه8 َْ َأ
إ, َو َأد
ى ا
?ِي
َِْ. ِBَْ%َ ))
"Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu
adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan
penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa
yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut." (HR. Muslim no.
1825)
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
(( َ َر ِة
ِ اKَ%َ ن
َ ْ;ُLِ ْ=ََ ْIُM
,ِإ, )9ََاَ) ;م ا, ن
ُ ْ;ُMََ )) َو
"Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan,
padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan." (HR. Bukhari no. 7148)
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk
memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang
lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan
diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai, kekayaan, kemewahan serta
kemegahan.
Wajar kalau kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elit politik atau
'calon pemimpin' di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang
dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau
'sekedar' uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat
berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya. Bahkan yang
ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival
dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang dianggap
sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi
tersebut. Nasalullah as salamah wal `afi`ah.
Berkata Al Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135):
"Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang
mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah,
dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu
semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan
yang besar di permukaan bumi."
Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak akan
mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan adzab. Allah subhanahu
wa ta`ala berfirman:
َ ِ9
ُْ%ِ ُ)َِNَ2ََْدًا وَا.
َ ض َو
ِ ْرP
َ ْ اFِ. اQ;ُ%ُ ن
َ ُُِو
َ
َ ِ?
%ِ َُ%َ2ْRَ, ِ َ ُة8Sْ ا
ا ُر ا+
َ ْ%ِ
"Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir
yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertakwa." (Al-Qashshash: 83)
Al-Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: "Allah ta`ala
mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang
tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya
yang beriman, yang tawadhu` (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di
muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah
yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan
tidak membuat kerusakan di tengah mereka." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/412)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Seseorang yang meminta jabatan
seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai
mereka, memerintahkannya dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini
jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bahagiannya
di akhirat. Oleh karena itu dilarang seseorang untuk meminta jabatan.” (Syarh
Riyadlus Shalihin, 2/469)
Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pimpinan, kemudian berpikir tentang
kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba
Allah dengan kepemimpinan yang kelak bisa ia raih. Kebanyakan mereka justru
sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya,
tak lain hanyalah ucapan yang manis di bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi
pemimpin lah yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekedar
mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka
berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika
belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya
kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya,
mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan
tersebut. Hal ini sesuai dengan pepatah musang berbulu domba. Ini sungguh
merupakan perbuatan yang memudharatkan diri mereka sendiri dan nasib orang-
orang yang dipimpinnya.
Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini,
sehingga Rasullah shallallahu alaihi wasallam menggambarkan kerakusan
terhadap jabatan lebih dari dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah
segerombolan kambing. Beliau bersabda:
(( ِBِ'ِْ ِ ف
ِ َ
Uل َو ا
ِ َْ اKَ%َ ص اَْْ ِء
ِ ِْ ِْ ََ َ َْ.َِ Iٍ َ'َ* Fِ. X
َ ِْن ُأر
ِ َ2ِYَZ ن
ِ َْYِ)) َ ذ
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing
lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya disebabkan
ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. Tirmidzi
no. 2482, dishahihkan Syaikh Muqbil dalam Ash Shahihul Musnad, 2/178).
ُ َِْي ا
G ;ِ َ9ْت ا
َ َْZَْْ ا
ِ َ َ َْ8 ن
ِإ
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash: 26)
Berkata penguasa Mesir kepada Yusuf alaihis salam:
+
َ
,ٌِ َأٌِ ِإMَ َ'َْ َ اَْ;ْ َم
“Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi
lagi dipercaya pada sisi kami.” (Yusuf: 54)
Allah ta`ala menyebutkan sifat Jibril dengan menyatakan:
Iٍ َِل آ
ٍ ;ُل َر
ُ ْ;َ9َ ُB
,ِإ. ;
ُN ذِي
ٍ ِMَ ش
ِ َْ2ْ ٍة ِ'ْ َ ذِي ا.
ٍ ِ َأI
َJ ع
ٍ َ ُ
“Sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan
yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan
tinggi di sisi Allah, yang memiliki Arsy, yang ditaati di kalangan malaikat lagi
dipercaya.” (At-Takwir: 19-21)
Beliau rahimahullah berkata: “Amanah itu kembalinya kepada rasa takut pada
Allah, tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut
kepada manusia. Inilah tiga perangai yang Allah tetapkan terhadap setiap orang
yang memutuskan hukuman atas manusia. Allah berfirman:
ن
َ ُِو.َMْ اIُ ُ ه+
َ ِ^ََُو. _
ُ لا
َ 7َ ْ,ْ َِ َأIُMْ=َ ْIَ َْ` َو
ً ِ%َN ً'ََJ Fَِaِ َُْواUَ
َ ن َو
ِ ْ;َUْ8س وَا
َ
'َ;ُا اUْcَ `
َ َ.
“Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tapi takutlah kepada-Ku. Dan
jangan pula kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Siapa yang
tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-
orang kafir.” (Al Maidah: 44) (As-Siyasah Asy-Syar`iyyah, hal. 12-13)
Al-Imam Qurthubi rahimahullah menyebutkan beberapa sifat dari seorang
pemimpin ketika menafsirkan ayat:
ل َِْي ُ َ'َ
َ ل
َ َN Fِ
ل َوِْ ُذ <ر
َ َN ًَس ِإ
ِ
'%ِ +
َ ُ%َِZ F<,ل ِإ
َ َN
ُ
َََ. ت
ٍ َِ%َMِ ُBG َرIَ ِ ِإ َْاهKَ%َْ َوِإ ِذ ا
َ ِِ
dا
“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah
dan larangan), kemudian Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
'Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagi Al-Imam (pemimpin) bagi
seluruh manusia'. Ibrahim berkata: '(Dan saya mohon juga) dari keturunanku'.
Allah berfiman: 'Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dzalim'." (Al-
Baqarah: 124)
Beliau berkata: “Sekelompok ulama mengambil dalil dengan ayat ini untuk
menyatakan seorang Al-Imam (pemimpin) itu harus dari kalangan orang yang
adil, memiliki kebaikan dan keutamaan, juga dengan kekuatan yang dimilikinya
untuk menunaikan tugas kepemimpinan tersebut.” (Al-Jami`li Ahkamil Qur’an,
2/74)
Sebenarnya masih ada beberapa syarat pemimpin yang tidak disebutkan di sini
karena ingin kami ringkas. Mudah-mudahan, pada kesempatan yang lain bisa
kami paparkan.
P
َ ْ ا
ِ ِYَا7َ8 Kَ%َ Fِ'ْ%َ2ْZٌاIِ%َ ٌhِDَ F<,ض ِإ
ِ ْر
1) Dan terlebih lagi bila memimpin lebih dari dua orang (Syarh Riyadlus Shalihin,
2/472)
Beliau menjawab:
“Ini pertanyaan penting karena sebagian dari saudara-saudara kita telah
melakukannya dengan niat baik dalam keadaan meyakini bahwa pemberontakan
itu hanya dengan pedang saja. Padahal pada hakekatnya pemberontakan itu tidak
hanya dengan pedang dan kekuatan saja, atau penentangan dengan cara-cara yang
sudah diketahui secara umum. Tetapi pemberontakan yang dilakukan dengan lisan
(ucapan) justru lebih dahsyat dari pemberontakan dengan senjata karena
pemberontakan dengan pedang dan kekerasan justru dilahirkan dari
pemberontakan dengan lisan.
Maka kita ucapkan kepada mereka saudara-saudara kita yang terbawa oleh emosi
yang kami berprasangka baik kepada mereka bahwa mereka berniat baik -
Insyaallah Ta’ala- agar mereka menenangkan dirinya. Dan kami katakan kepada
mereka: tenang dan sabarlah, karena kekerasan dan kebencian kalian akan
membawa dampak yang jelek pada hati. Kemudian hati tersebut akan melahirkan
emosi yang tidak kenal kecuali kekerasan dan pemberontakan. Di samping itu
juga akan membuka pintu bagi orang-orang yang memiliki kepentingan untuk
mengucapkan apa yang dikehendaki oleh hawa nafsunya apakah hak ataupun
batil.
Tidak diragukan lagi bahwa memberontak dengan lisan, atau dengan
menggunakan pena dan tulisan, dengan penyebaran kaset-kaset, tabligh akbar,
maupun ceramah-ceramah umum dengan cara membakar emosi massa, serta tidak
dengan cara yang syar’i, maka saya yakin bahwa ini adalah dasar (pemicu)
lahirnya pemberontakan dengan senjata.
Saya memperingatkan dari perbuatan seperti ini dengan sekeras-kerasnya
peringatan, dan saya katakan kepada mereka: “Kalian harus melihat dan
mempertimbangkan apa hasilnya? Dan hendaklah melihat kepada pengalaman
orang yang telah melakukan sebelumnya dalam masalah ini!” Hendaklah mereka
melihat kepada fitnah-fitnah yang dialami oleh sebagian masyarakat Islam, apakah
sebabnya? Apakah langkah pertama sehingga mereka sampai kepada keadaan
yang seperti ini. Jika kita telah mengetahui yang demikian maka akan kita ketahui
bahwa memberontak dengan ucapan lisan dan menggunakan media massa untuk
membangkitkan kebencian, membakar emosi, dan kekerasan akan melahirkan
fitnah dalam hati.” (lihat ‘Ulama Su’udiyyah Yu’akkiduna ‘Alal Jama’ah Wa
Wujubus Sam’i Wath Tha’ah Li Wulatil Amri, hal. 5-6)
“Yang demikian itu dikarenakan telah datang para rasul kepada mereka dengan
membawa bukti-bukti nyata, lalu mereka kafir (menentang para rasul tersebut), maka
Allah mengadzab mereka. Sesungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Dahsyat
hukuman-Nya.”
(Al-Mukmin: 22)
ِ ِْ'ُْب ا
ِ َِMْ ُ ِ وَا7G ت وَا
ِ َ'َِّْ َءُوْاZ +
َ ِ%َْN ِْ ٌXُب ُر
َ ْ?ّ َُْ آ9َ. ك
َ ْ;ُ ?
َنْ آ-َِ.
“Sebelum mereka, kaum Nuh dan golongan-golongan yang bersekutu sesudah mereka
telah mendustakan (rasul), dan tiap-tiap umat telah merencanakan makar terhadap
rasul mereka untuk menawannya, dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil
untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu, oleh karena itu Aku adzab
mereka. Maka betapa (pedihnya) adzab-Ku.” (Al-Mukmin: 5)
ن
َ ْ ُءو7ِ ََْْ ِBِ ُ;ْا,َْ َ آIُْ'ِ ِ ُوْاcَ
َ ْ?ِ
ِ ق
َ َ=َ. +
َ ِ%َْN ِْ X
ٍ ُُ ِ ِى َء7َُْْ ِ ا9َ َو
“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah
kepada orang yang mencemoohkan para rasul itu adzab atas apa yang selalu mereka
perolok-olokkan.” (Al-Anbiyaa’: 41)
2. Tidak bersyukur
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
َ _ن ا
نِإ
َ ُْ ُوMْUَ
َ س
ِ
'َ َ اwْ َأآ
ِMَس و
ٍ
' اKَ%َ X
ٍ ْrَ. ْ ُ?و
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi mayoritas
manusia tidak bersyukur.” (Al-Baqarah: 243)
Penutup
Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya
hukum mayoritas bukan dari syari’at Islam, sehingga ia tidak bisa dijadikan sebagai
tolak ukur suatu dakwah, manhaj dan perkataan. Tolak ukur yang hakiki adalah
kebenaran yang dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman As-
Salafus-Shalih.
Atas dasar ini maka sistem demokrasi yang menuhankan suara mayoritas adalah batil.
Demikian pula sikap mengukur benar atau tidaknya suatu dakwah, manhaj dan
perkataan dengan hukum mayoritas, merupakan perbuatan batil dan bukan dari
syari’at Islam.
Wallahu A’lam Bish Shawab.
Dalam demokrasi, orang mengenal istilah one man one vote. Dengan satu orang
satu suara, maka tak ada lagi istilah muslim atau kafir, ulama atau juhala, ahli
maksiat atau orang shalih, dan seterusnya. Semua suara bernilai sama di hadapan
‘hukum’. Walhasil, keputusan yang terbaik adalah keputusan yang diperoleh
dengan suara mayoritas. Lalu bagaimana dengan sistem Islam? Siapakah yang
patut didengar suaranya?
Dalam ketatanegaraan Islam, dikenal istilah 'ahli syura'. Posisinya yang sangat
penting membuat keberadaannya tidak mungkin dipisahkan dengan struktur
ketatanegaraan. Karena bagaimanapun bagusnya seorang pemimpin, ia tetap tidak
akan pernah lepas dari kelemahan, kelalaian, atau ketidaktahuan dalam beberapa
hal. Sampai-sampai Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam pun
diperintahkan untuk melakukan syura. Apalagi selain beliau tentunya. Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa'di rahimahullah mengatakan: "Jika Allah mengatakan kepada
Rasul-Nya -padahal beliau adalah orang yang paling sempurna akalnya, paling
banyak ilmunya, dan paling bagus idenya- 'Maka bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu', maka bagaimana dengan yang selain beliau?" (Taisir
Al-Karimirrahman, hal. 154)
Kata asy-syura (ُ;ْرَىU )اadalah ungkapan lain dari kata musyawarah (ٌَ َو َرةUُ) atau
masyurah (ٌُ;ْ َرةUَ) yang dalam bahasa kita juga dikenal dengan musyawarah,
sehingga ahli syura adalah orang-orang yang dipercaya untuk diajak
bermusyawarah.
Disyariatkannya Syura
Allah ta'ala berfirman:
ِ ْP َ ْ اFِ. ْIَُ ِورْهkَو
"Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." (Ali Imran: 159)
Juga Allah memuji kaum mukminin dengan firman-Nya:
ْ;ُ9ِDْ'ُ ْIُْ'َهNْ َوِ
َر َزIَُ'َْ ُ;ْرَىk ْIُن َوَأْ ُه
َ
"Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah dan mereka menafkahkan
sebagian yang kami rizkikan kepada mereka." (Asy-Syura: 38)
Kedua ayat yang mulia itu menunjukkan tentang disyariatkannya bermusyawarah.
Ditambah lagi dengan praktek Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang sering
melakukannya dengan para shahabatnya seperti dalam masalah tawanan perang
Badr, kepergian menuju Uhud untuk menghadapi kaum musyrikin, menanggapi
tuduhan orang-orang munafiq yang menuduh 'Aisyah berzina, dan lain-lain.
Demikian pula para shahabat beliau berjalan di atas jalan ini. (lihat Shahih Al-
Bukhari, 13/339 dengan Fathul Bari)
Ibnu Hajar berkata: "Para ulama berselisih dalam hukum wajibnya." (Fathul Bari,
13/341)
Pentingnya Syura
Syura teramat penting keberadaannya sehingga para ulama, di antaranya Al-
Qurthubi, mengatakan: "Syura adalah keberkahan." (Tafsir Al-Qurthubi, 4/251)
Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: "Tidaklah sebuah kaum bermusyawarah di
antara mereka kecuali Allah akan tunjuki mereka kepada yang paling utama dari
yang mereka ketahui saat itu." (Ibnu Hajar mengatakan: "Diriwayatkan oleh Al-
Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad dan Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang kuat."
Lihat Fathul Bari, 13/340)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa'di dalam Tafsir-nya menyebutkan faidah-faidah
musyawarah di antaranya:
1. Musyawarah termasuk ibadah yang mendekatkan kepada Allah.
2. Dengan musyawarah akan melegakan mereka (yang diajak bermusyawarah)
dan menghilangkan ganjalan hati yang muncul karena sebuah peristiwa. Berbeda
halnya dengan yang tidak melakukan musyawarah. Sehingga dikhawatirkan orang
tidak akan sungguh-sungguh mencintai dan tidak menaatinya. Seandainya menaati
pun, tidak dengan penuh ketaatan.
3. Dengan bermusyawarah, akan menyinari pemikiran karena menggunakan pada
tempatnya.
4. Musyawarah akan menghasilkan pendapat yang benar, karena hampir-hampir
seorang yang bermusyawarah tidak akan salah dalam perbuatannya. Kalaupun
salah atau belum sempurna sesuatu yang ia cari, maka ia tidak tercela. (Taisir Al-
Karimirrahman, hal. 154)
Pendapat terakhir inilah yang dianggap paling kuat oleh Al-Jashshash dengan
alasan-alasan yang disebut dalam buku beliau. Lalu beliau juga berkata: "Dan
pasti musyawarah Nabi pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya dari
Allah. Di mana tidak boleh bagi beliau melakukan musyawarah pada hal-hal yang
telah ada ketentuannya dari Allah. Dan ketika Allah tidak mengkhususkan urusan
agama dari urusan dunia ketika memerintahkan Nabi-Nya untuk musyawarah,
maka pastilah perintah untuk musyawarah itu pada semua urusan. Dan nampaknya
pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari
(13/340) setelah menyebutkan pendapat-pendapat di atas. Juga oleh Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa'di dalam Tafsir-nya (hal. 154) seperti yang terpahami dari
ucapan beliau. Jadi tidak semua perkara dimusyawarahkan sampai-sampai sesuatu
yang telah ditentukan syariat pun dimusyawarahkan, tapi bagian tertentu saja
seperti yang dijelaskan di atas.
Yang mendukung hal ini adalah bacaannya Abdullah bin 'Abbas:
ِ ْP َ ْ| ا
ِ ْ2َ ْFِ. ْIَُ ِورْهkَو
"Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam sebagian urusan itu." (Tafsir Al-
Qurthubi, 4/250)
Semua hal di atas kaitannya dengan musyawarah yang dilakukan oleh Nabi. Maka
yang boleh dimusyawarahkan oleh umatnya perkaranya semakin jelas, yaitu pada
hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya baik dari Allah atau Rasul-Nya.
Artinya, jika telah ada ketentuannya dari syariat, maka tidak boleh melampauinya.
Dan mereka harus mengikuti ketentuan syariat tersebut. Allah ta'ala berfirman:
ٌIِْ%َ ٌzَِْ _
َ نا
_ ِإ
َ ُ; ا9
ِ وَاBِْ;ُ_ َو َر
ِ َ َيِ ا
َ َْ َ <ُ;ْا9ُ
َ }َ'ُ;ْا
َ ْ?ِ
َ اGَ َأ
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-
Nya dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar
dan Maha Mengetahui." (Al-Hujurat: 1)
Al-Imam Al-Bukhari mengatakan: "Maka Abu Bakar tidak memilih musyawarah
jika beliau memiliki hukum dari Rasulullah…" [Shahih Al-Bukhari, 13/339-340
dengan Fathul Bari]
Dan sebaliknya. Jika sudah ada ketentuannya dalam syariat namun mereka tidak
mengetahuinya, atau lupa, atau lalai, maka boleh bermusyawarah untuk
mengetahui ketentuan syariat dalam perkara tersebut, bukan untuk menentukan
sesuatu yang berbeda dengan ketentuan syariat. Al-Imam Asy-syafi'i mengatakan:
"Seorang hakim/ pemimpin diperintahkan untuk bermusyawarah karena seorang
penasehat akan mengingatkan dalil-dalil yang dia lalaikan dan menunjuki dalil-
dalil yang tidak dia ingat, bukan untuk bertaqlid kepada penasehat tersebut pada
apa yang dia katakan. Karena sesungguhnya Allah tidak menjadikan kedudukan
yang demikian (diikuti dalam segala hal) itu bagi siapapun setelah Nabi (Fathul
Bari, 13/342). Al-Bukhari mengatakan: "Dan para imam setelah wafatnya Nabi,
bermusyawarah pada hal-hal yang mubah dengan para ulama yang amanah untuk
mengambil yang paling mudah. Dan jika jelas bagi mereka Al Qur'an maupun As
Sunnah, maka mereka tidak melampauinya untuk (kemudian) mengambil
selainnya. Hal itu dalam rangka meneladani Nabi…" (Shahih Al-Bukhari, 13/339-
340 dengan Fathul Bari. Lihat pula hal. 342 baris 18)
Ibnu Taimiyyah mengatakan: "Dan jika seorang (pemimpin) bermusyawarah
dengan mereka (ahli syura) kemudian sebagian mereka menjelaskan kepadanya
sesuatu yang wajib dia ikuti baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya atau
ijma' kaum muslimin, maka dia wajib mengikutinya dan tiada ketaatan kepada
siapapun pada hal-hal yang menyelisihinya. Adapun jika pada hal-hal yang
dipersilisihkan kaum muslimin, maka mestinya dia meminta pendapat dari
masing-masing mereka beserta alasannya, lalu pendapat yang paling mirip dengan
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya itulah yang ia amalkan." (Siyasah Syar'iyyah
karya Ibnu Taimiyyah, hal. 133-134 dinukil dari Fiqh Siyasah Syar'iyyah, hal. 58)
Al-Qurthubi mengatakan: "Syura terjadi karena perbedaan pendapat. Maka
seseorang yang bermusyawarah hendaknya melihat perbedaan tersebut kemudian
melihat kepada pendapat yang paling dekat kepada Al Qur'an dan As sunnah jika
ia mampu. Lalu jika Allah membimbingnya kepada yang Allah kehendaki, maka
hendaknya ia ber-'azam/ bertekad untuk kemudian melakukannya dengan
bertawakkal kepada Allah. Di mana inilah ujung dari ijtihad yang diminta dan
dengan inilah Allah perintahkan Nabi-Nya dalam ayat ini (Ali 'Imran: 159)."
(Tafsir Al-Qurthubi, 4/252)
Apakah dengan kita tidak berpartisipasi dalam pemilu atau tidak mendukung
partai politik (partai berlabel Islam) sama saja kita membiarkan partai atau orang-
orang sekuler mengatur dan memimpin negara ini, yang tentunya menyebabkan
mereka menerapkan undang-undang sekuler dan menolak dengan tegas syariat
Islam?
Ada anggapan bahwa dengan masuk ke partai kita bisa mengubah sistem dan
peraturan kenegaraan dari sistem jahiliyah ke sistem syar’iyyah secara bertahap,
yakni dengan mengalihkan undang-undang sekuler ke undang-undang Islam.
Bagaimanakah seharusnya sikap dan tindakan kita?
Apakah dengan alasan darurat demi membendung gerak langkah musuh-musuh
Islam, kita boleh masuk ke partai dan parlemen?
Abu Lukman, Wonosobo
Umat Islam belumlah lupa, beberapa waktu silam pascareformasi, kala hendak
memilih pemimpin negeri ini, sebuah fatwa diteguhkan oleh sejumlah partai politik
(parpol) Islam, ”haram memilih pemimpin wanita”. Namun beberapa waktu
kemudian, ”fatwa” itu dimentahkan kembali. Bak bola salju, perkara ini terus
menggelinding dan membesar. Hingga pada pemilihan kepala daerah (pilkada), tak
cuma soal wanita, sejumlah parpol Islam bahkan sudah tidak malu mendukung
kepala/wakil kepala daerah non-muslim.
Itulah sebuah ironi bernama politik yang dipertontonkan kepada umat. Politik nyata-
nyata tak hanya mengubah lawan menjadi kawan atau sebaliknya, tapi terbukti bisa
membongkar pasang syariat sekehendak hati. Dewan syuro partai bukan mengawal
syariat namun justru menjadi stempel untuk melegalisasi penyimpangan syariat.
Loyalitas tidak lagi dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah namun oleh fatwa
Dewan Syuro, AD/ART parpol, bahkan sekadar ucapan tokoh sentralnya.
Makanya menjadi ”maklum” jika ada fenomena caleg non-muslim, koalisi dengan
parpol non-muslim ataupun sekuler, dsb, karena kamus politik memang
menghalalkannya. Juga tak perlu heran jika ada pengurus partai yang kelabakan,
ketika partainya dituding anti yasinan, tahlilan, barzanji, dsb. Minder disebut partai
Islam yang eksklusif, kemudian tergopoh-gopoh menyatakan bahwa partainya plural,
inklusif, bahkan menampilkan kesan nasionalis. Lebih takut kehilangan suara
daripada menampakkan al-haq, lebih khawatir simpatisan lari ketimbang mendapat
murka Allah l. Na’udzubillah.
Lagi-lagi sebuah ironi. Di panggung politik, mereka bisa mesra dengan kalangan
orang kafir, para preman dan ahli maksiat, para penyembah kubur, dll, namun di balik
itu mereka justru menebar kebencian kepada dakwah yang mengajak kepada
kemurnian Islam. Islam yang diusung sebagaimana yang diajarkan Rasulullah n
kepada para sahabatnya justru dianggap memecah-belah umat. Sementara mereka
sendiri tidak mau berkaca diri bahwa dengan partai mereka telah membuat umat
terkotak-kotak, membuat umat berloyalitas kepada partai bukan kepada Islam.
Alhasil, fenomena saling aniaya dan membunuh hanya karena beda partai, tak pernah
dianggap memecah-belah umat.
Yang memilukan kemudian, umat malah disodori ”fatwa” haram golput. Ini sama saja
orang yang tidak memilih karena paham akan kemungkaran-kemungkaran demokrasi
divonis ”berdosa”. Na’udzubillah. Di saat umat dilingkupi pemahaman agama yang
jauh dari Islam yang murni, umat justru disuguhi politikus-politikus bodoh yang
hanya pandai bertutur dan nampak santun tapi lancang mengaduk-aduk agama untuk
kepentingan politik praktis. Konyolnya lagi, ada yang malah menganggap
berdemokrasi sebagai bagian dari jihad. Begitu mudahnya menggunakan istilah jihad,
sama mudahnya saat mereka menggelari tokoh ideologis mereka dengan asy-syahid.
Yang disayangkan tentu, masih saja ada kaum muslimin yang bisa dibodohi
sedemikian rupa. Padahal orang-orang yang fanatik partai itu hanya menggunakan
jaring laba-laba sebagai pijakan. ”Dalil”-nya, itupun kalau bisa disebut dalil, sangat
lemah dan klasik. ”Kita sudah berada dalam sistem yang mau tidak mau kita harus
ikut. Kalau kita tidak memilih partai Islam, maka kekuasaan akan berada di tangan
orang-orang kafir.”
”Si parpol” ini bisa jadi memang tak mau berkaca. Bagaimana mungkin mereka
berkoar-koar mau memenangkan Islam sementara mereka justru mengangkat caleg
non-muslim, mengusung pasangan kepala daerah yang salah satunya non-muslim,
berkoalisi dengan parpol non-Islam, dan seabrek pelanggaran syariat lainnya.
Bagaimana pula jika pemerintah yang berkuasa atau parlemen dikuasai muslim tapi
bukan dari kader partainya atau hasil "tarbiyah" mereka, atau taruhlah pemerintah
yang berkuasa telah menegakkan sebagian dari syariat Islam, apakah mereka mau
berhenti? Jawabnya, tentu saja tidak.
Makanya jangan pernah tertipu mereka yang bergelut dengan parpol, dianggap telah
berbuat sesuatu untuk umat sementara yang berkiprah di luar itu tak memberikan
kontribusi apapun bagi umat. Padahal kesibukan mereka dalam ingar-bingar politik
justru menjadikan mereka melalaikan perbaikan umat. Bahkan perbaikan diri-diri
mereka sendiri. Adanya petinggi parpol ”Islam” yang percaya angka hoki serta
banyaknya politikus muslim yang terlibat skandal amoral serta jauh dari akhlak Islam
adalah contoh nyata.
Oleh karena itu, jangan pernah terselip asa, melalui sistem demokrasi, umat Islam bisa
meraih kejayaannya. Melalui sistem politik kotor hasil adopsi filsafat Yunani,
kemuliaan Islam dan muslimin bisa kita tegakkan. Tak bakal ada kebaikan yang
dibangun di atas kemungkaran. Yang ada hanyalah pertanyaan, ”Mau kemana partai
Islam?”
Memaknai Politik Syar’i
Oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi
Makna Politik
Politik, dalam bahasa arab disebut dengan siyasah. Dalam kamus Lisanul Arab karya
Ibnu Manzhur (juz 6 hal. 429) disebutkan bahwa kata siyasah bermakna mengurus
sesuatu dengan kiat-kiat yang membuatnya baik.
Politik itu sendiri, menurut Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu terbagi menjadi
dua macam:
1. Politik yang diwarnai kezaliman. Maka ini diharamkan dalam syariat Islam.
2. Politik yang diwarnai keadilan. Maka ini bagian dari syariat Islam. (Lihat Ath-
Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal. 4)
Politik, bila dilihat dari sisinya yang buruk (politik yang diwarnai kezaliman) semata,
akan melahirkan trauma politik pada seseorang. Ujung-ujungnya berkesimpulan
bahwa politik itu kejam dan politikus tak lain hanyalah ahli tipu muslihat yang kental
dengan sifat makar, dusta, dan licik. Sebenarnya bila dilihat dari segala sisinya, ada
pula politik yang syar’i (politik yang diwarnai keadilan). Bahkan ia merupakan salah
satu cabang dan pintu dari syariat Islam yang mulia ini, sebagaimana dikatakan Al-
Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya yang monumental I’lamul
Muwaqqi’in, juz 4 hal. 452. Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, politik yang syar’i
disebut dengan as-siyasah asy-syar’iyyah.
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, lantas apakah
keterangan di atas merupakan legitimasi bagi politik praktis yang ‘diimani’ partai
politik (parpol) Islam sekarang ini? Untuk mengetahui jawabannya simaklah
penjelasan berikut ini.
1 Pembahasan tentang demokrasi menurut kacamata Islam, bisa pembaca lihat pada
majalah kita ini, Vol. I/No. 06/ Maret 2004/ 1425 H
2 Lihat pula penjelasan Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menerangkan ayat
ke-55 dari surah An-Nur, dalam artikel Kajian Utama berjudul Demi Suara, Apapun
Dilakukan.
Demokrasi Adalah Liberalisasi
Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
Telah masyhur bahwa pemahaman demokrasi berasal dari masyarakat Yunani Kuno.
Athena, sebagai pusat pemerintahan masyarakat Yunani Kuno, telah membumikan
pemahaman demokrasi pada masyarakatnya. Masyarakat telah dilibatkan langsung
dalam menentukan pemerintahnya melalui penggunaan hak dipilih dan memilih.
Meskipun hak politik ini masih tidak diberlakukan kepada kaum wanita, budak, atau
yang berstatus warga asing. Athena menjadi benih masyarakat yang liberal (yang
memiliki kebebasan) bagi rakyatnya untuk menentukan sendiri pemerintahannya.
Inilah yang diistilahkan dewasa ini dengan masyarakat yang demokratis. Masyarakat
yang warganya memiliki kebebasan untuk menentukan masa depan kehidupan
bangsanya.
Dalam perkembangannya, pemahaman demokrasi diusung oleh beberapa tokoh
pemikir dan filosof. John Locke dalam bukunya Two Treatises of Government (1690)
menyatakan bahwa pemerintah bertugas menjamin hak-hak dasar rakyat, yaitu hak
untuk hidup, hak memiliki, hak berbicara, beragama dan hak kebebasan membuat
opini. Jika pemerintah tak mampu menjaga hak-hak tersebut, rakyat memiliki hak
melakukan revolusi. Di Perancis, sejak tahun 1700-an, tiga filosof terkenal, yaitu
Montesquieu, Rousseau, dan Voltaire juga melontarkan ide-ide kebebasan. Dalam
buku The Spirit of the Laws (1748), Montesquieu membagi kekuasaan negara
menjadi tiga, atau yang dikenal dengan Trias Politika. Yaitu kekuasaan eksekutif,
yudikatif, dan legislatif. Adapun Rousseau dalam buku The Social Contract (1762)
mengungkapkan bahwa pemerintahan merupakan cermin dari kepercayaan rakyatnya.
Sedangkan Voltaire memberikan kecaman terhadap pemerintah yang mengekang
kebebasan rakyatnya. Dari ide-ide dan pemikiran-pemikiran tiga filosof tersebut,
rakyat Perancis melakukan gerakan revolusi. Tahun 1789, Revolusi Perancis meletus
dengan mengusung jargon: liberty (kebebasan), fraternity (persaudaraan), dan equality
(persamaan). Tiga prinsip ini dijadikan kalangan Yahudi sebagai prinsip
Freemasonry, organisasi bawah tanah Yahudi yang mengendalikan lobi Yahudi di
Amerika Serikat. (A New Encyclopedia of Freemasonry, New York, Wing Books,
1996 - Syamsuddin Ramadhan, www.syariahpublications.com)
Setelah usai Perang Dunia I, ide demokrasi laris dianut berbagai negara termasuk
Indonesia. Tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan yang telah mengenyam pendidikan
barat, melansir ide-ide demokrasi tersebut. Ide-ide tersebut dibungkus dengan bahasa
nasionalisme.
Pemahaman demokrasi mulai menggeliat hebat setelah Perang Dunia II. Negara-
negara jajahan banyak yang mendapatkan kemerdekaan, maka model bentuk negara
banyak yang merujuk ke pemikiran para filosof yang mengusung ide-ide demokrasi.
Kemudian pemahaman demokrasi ini tak terbatas pada ranah (bidang) politik, tapi
merambah ke berbagai bidang lainnya. Demokrasi, yang salah satu prinsipnya adalah
liberty (kebebasan), lantas merambah pada bidang ekonomi, sosial, budaya, dan
kewanitaan. Maka, berkembanglah tuntutan untuk memberikan kebebasan kepada
kaum wanita dalam menentukan hak politiknya. Tak mengherankan bila kemudian
wanita beramai-ramai naik ke panggung politik. Tak lagi terikat aturan agama, karena
mereka memiliki kebebasan yang diatur undang-undang. Dengan bahasa lain,
kebebasan yang dilegalkan atas nama negara.
Dalam ranah agama di Indonesia, gagasan-gagasan liberalisasi (yang merupakan salah
satu sendi demokrasi) diusung secara terbuka oleh Nurcholis Madjid pada periode
tahun 1970-an. Yang sebelumnya, bibit-bibit gagasan tersebut disemai oleh Djohan
Effendi dan Ahmad Wahib. Bisa pula dimasukkan nama lain, yaitu Harun Nasution.
Disusul kemudian Abdurrahman Wahid, Syafi’i Ma’arif, Dawam Rahardjo,
Komarudin Hidayat, Ulil Abshar, dan sebagainya. Tendensi mereka secara nyata
menarik gagasan-gagasan demokratisasi diterapkan di Indonesia, di semua wilayah
publik dan semua bidang kehidupan, tak terkecuali dalam bidang agama.
Saat terjadi polemik tentang Ahmadiyah, maka wajah-wajah para pembela dan
penjaja liberalisme secara nyata muncul ke permukaan. Kini, dalam ranah politik,
partai-partai politik dari kalangan berbasis massa Islam, sadar atau tidak telah pula
mengusung gagasan liberalisme. Meskipun dalam bahasa mereka digunakan slogan
“demokratisasi”. Namun, inti ajarannya tetap sama. Demokratisasi adalah liberalisasi.
Wallahu a’lam.
1 Lihat kitab Bahjatu Qulubil Abrar karya Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu, hal.
150-151.
2 Riwayat Ibnu Sa’d dalam kitab Thabaqat Al-Kubra (4/335). Dalam sanadnya Abu
Hilal Ar-Rasibi dan dia –walaupun haditsnya tidak sangat dibuang– tapi juga
didukung dalam riwayat ini oleh Ayyub As-Sikhtiyani sebagaimana dalam kitab As-
Siyar karya Adz-Dzahabi (2/612). Dengan itu, riwayat ini menjadi shahih.
“Pucuk di cinta ulam tiba”, begitulah sebuah ungkapan yang terucap dari seorang
yang merasa senang dan bahagia, atas tercapainya suatu dambaan yang selama ini
dicari dan dicitakan, bahkan melebihi dari apa yang diduga dan dikira.
Adalah kesempatan emas, yang disenangi oleh banyak manusia, khususnya bagi para
pengembara kursi (jabatan), tahta, dan dunia, tatkala dihadapkan pada sebuah
tawaran, untuk duduk di atas kursi (jabatan).
Bisa jadi seseorang akan menanggapi dan berkata: “Ini namanya kejatuhan rezeki,
susah dicari, dan untuk mendapatkannya sulit sekali. Belum tentu seumur hidup bisa
ketemu sekali. Mengapa ditolak?” Atau mungkin…
“Betul, di dalamnya banyak penyimpangan dan pelanggaran. Akan tetapi, kalau
bukan kita yang mengubah, lantas siapa lagi?”
“Kalau kursi jabatan diduduki oleh orang luar, siapa yang akan melakukan perubahan,
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mewujudkan syariat Islam dan sistem
kenegaraan yang bernuansa Islam?”
“Segala sesuatu itu apabila sudah dikuasai dan dipegang kepalanya, yang lain akan
mudah dikendalikan dan dikuasai.”
Faedah
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dalam tafsirnya: “Sebagian ulama
berkata, pada ayat ini terdapat dalil tentang diperbolehkannya bagi orang yang baik
(shalih), bekerja untuk orang yang buruk (fajir) atau penguasa yang kafir. Dengan
syarat, orang tersebut tahu, bahwa segala pekerjaan/tugas diserahkan kepadanya
(diberi kekuasaan penuh untuk mengaturnya), dan bukan diatur oleh (orang-orang
yang fajir atau penguasa yang kafir tersebut, pen.). Sehingga, ia akan mengatur sesuai
dengan apa yang dia kehendaki (untuk hal yang baik dan bermanfaat). Adapun kalau
pekerjaan tersebut harus berdasarkan pada kemauan dan kehendak orang yang fajir
atau (penguasa yang kafir), menuruti hawa nafsu dan kekufurannya (di bawah aturan
mereka), hal yang demikian ini tidak diperbolehkan.
Sebagian mereka berpendapat, perihal ini (bekerja untuk orang buruk/ penguasa yang
kafir) khusus hanya untuk Nabi Yusuf ‘alaihissalam saja. Adapun sekarang tidak
diperbolehkan. Pendapat yang pertama lebih kuat (boleh dan bukan kekhususan),
dengan syarat yang telah disebutkan tadi.
Al-Mawardi rahimahullahu berkata: “Apabila yang berkuasa adalah orang yang zalim,
para ulama berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya, seorang untuk bekerja
dengannya.
Pendapat pertama, membolehkan. Apabila seorang bekerja dengan baik dan benar
(memenuhi hak), pada perkara yang telah diserahkan penuh kepadanya (untuk
mengaturnya). Karena dalam ayat ini, Nabi Yusuf ‘alaihissalam bekerja (menerima
pekerjaan) dari raja (Fir’aun)1. Pertimbangan ini berdasarkan pekerjaan (kemampuan)
beliau dan bukan pada orang lain.
Pendapat kedua, tidak membolehkan. Hal ini berdasarkan adanya bentuk/unsur
menolong atas kezaliman yang mereka lakukan. Memuji mereka, dengan meniru
(melakukan) perbuatannya.
Para ulama yang berpendapat membolehkan bekerja dengan orang yang zalim,
menjawab perihal yang terjadi pada Nabi Yusuf ketika menerima pekerjaan dari
Fir’aun, dengan dua jawaban:
Pertama, Fir’aun (raja)-nya Nabi Yusuf waktu itu seorang yang shalih (muslim).
Adapun Fir’aun yang membangkang (kafir), adalah Fir’aun (raja)-nya Nabi Musa
‘alaihissalam.
Kedua, hal ini melihat pada kekuasaan dan bukan pada pekerjaannya.”
Al-Mawardi berkata: “Yang benar dalam hal ini adalah merinci masalah menjadi tiga
kesimpulan:
1. Boleh bagi orang yang memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukannya.
Dengan catatan, tidak ada unsur berijtihad (berpendapat) dalam melaksanakan
tugasnya seperti menyalurkan shadaqah dan zakat.
Boleh seseorang menerima pekerjaan dan tugas dari orang yang zalim. Karena,
adanya nash/dalil yang menerangkan kepada siapa shadaqah dan zakat itu disalurkan
telah mencukupi, sehingga tidak memerlukan lagi adanya ijtihad. (Maka kebebasan
bertindak dalam hal ini, telah menjadi cukup baginya [terbebaskan] dari mengikuti
perintah [peraturan orang zalim tersebut, pen.]).
2. Keadaan di mana seseorang tidak diperbolehkan untuk bertindak sendiri, adanya
keharusan untuk berijtihad (berpendapat, berinisiatif) dalam mengatur urusan, seperti
menangani harta rampasan.
Keadaan seperti ini tidak boleh bagi seseorang untuk menerima penugasan dari orang
yang zalim. Hal ini dikarenakan ia telah melakukan tindakan yang tidak benar dan
berijtihad (berpendapat, mengatur) pada perkara yang tidak berhak untuk
melakukannya.
3. Keadaan yang boleh melimpahkan tugas kepada orang yang ahli dan boleh baginya
berijtihad, seperti menangani hukum dan pidana. Apabila terjadi kesepakatan dari
kedua belah pihak dan tidak ada yang dipaksa, (maka boleh baginya bekerja untuk
orang yang zalim, pen.). Namun apabila terjadi pemaksaan, tidak diperbolehkan.
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu dalam Taisir Al-Lathiful Mannan, berkata
setelah menyebutkan ayat di atas: “Pada ayat ini terdapat keutamaan ilmu, ilmu syar’i
dan hukum, ilmu ta’bir mimpi, ilmu mengatur dan mengurusi negara, serta ilmu
kepemerintahannya. Yang menjadi salah satu sebab Nabi Yusuf ‘alaihissalam
memperoleh kedudukan yang tinggi di dunia dan di akhirat kelak, yaitu adanya ilmu
yang beragam dan banyak (mengetahui berbagai macam ilmu). Hal ini juga
menunjukkan bahwa ilmu ta’bir mimpi termasuk bagian dari fatwa. Maka tidak boleh
bagi siapapun untuk mena’birkan suatu mimpi dan memastikannya, sebelum
mengetahui secara pasti. Sebagaimana halnya (dalam hukum/perkara), tidak boleh
bagi siapapun berfatwa dalam hal apapun tanpa ilmu. Karena dalam surat Yusuf ini,
Allah Subhanahu wa Ta’ala menamai kemampuan mena’birkan mimpi, dengan nama
ilmu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
~
ِ ِ اََْدX
ِ ِ ِْ َْو+
َ ُ<%َ2ُ َو+
َ G َر+
َ َِْRَ +
َ ِ?َ ََوآ
“Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi nabi) dan diajarkan-Nya
kepadamu sebagian dari ta’bir mimpi-mimpi.” (Yusuf: 6)
Ayat ini juga menerangkan, tidak mengapa seseorang memberitakan tentang dirinya,
berupa sifat-sifat yang baik dan sempurna, berilmu pengetahuan dan yang lainnya.
Hal ini boleh dilakukan selama membawa maslahat, selamat dari berdusta, dan tidak
bermaksud untuk memperlihatkan diri (riya’). Seperti yang tersebut dalam ayat:
Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Catatan: Beberapa rujukan yang tersebut di atas, keumumannya dinukil dari Al-
Maktabah Asy-Syamilah. Mengingat keterbatasan rujukan yang ada pada kami.
Wallahu a’lam bish-shawab, wal ‘ilmu ‘indallah.
ل
َ َN ِBِ َْ َأ،<َْ ِري,َْ ا+
ٍ َِ ِ ْ H
ِ ْ2َ آ
ِ ْ ا
ِ َ:I% وB% _ اK%L _
ِ لا
ُ ;ُل َر
َ َN: Fِ. `
َ ِْن ُأر
ِ َ2ِYَZ ن
ِ َْYَ ِذ
ِBِ'ِِ ف
ِ َ
Uل وَا
ِ َْ اKَ%َ ص اَْْ ِء
ِ ِْ ِْ ََ َ َْ.َِ Iٍ َ'َ*
Dari Ka’b bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah sekawanan
kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena
ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 2482) melalui jalan Suwaid bin Nashr,
dari Abdullah bin Al-Mubarak, dari Zakariya bin Abi Zaidah, dari Muhammad bin
Abdirrahman, dari Ibn Ka’b bin Malik, dari ayahnya, dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullahu berkata, ”Hadits ini diriwayatkan melalui jalan
lain dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya dari hadits Ibnu ‘Umar,
Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Usamah bin Zaid, Abu Sa’id, dan ‘Ashim bin ‘Adi Al-
Anshari g.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu (3/456).
Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam Ash-Shahihul Musnad
(2/178) dan Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ (no. 5620).
Al-Qadhi rahimahullahu menerangkan, hadits ini shahih dan sangat masyhur. Kami
memperoleh hadits ini lebih dari satu jalur periwayatan. Secara umum, pada lafadz
hadits terdapat perbedaan kata namun bermakna sama.
Makna Hadits
Makna hadits ini, kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala lapar yang
dibiarkan bebas di antara sekawanan kambing masih belum seberapa apabila
dibandingkan kerusakan yang muncul karena ambisi seseorang untuk mendapatkan
kekayaan dan kedudukan. Karena, ambisi untuk mendapatkan harta dan kedudukan
akan mendorong seseorang untuk mengorbankan agamanya. Adapun harta, dikatakan
merusak karena ia memiliki potensi untuk mendorongnya terjatuh dalam syahwat
serta mendorongnya untuk berlebihan dalam bersenang-senang dengan hal-hal
mubah. Sehingga akan menjadi kebiasaannya. Terkadang ia terikat dengan harta lalu
tidak dapat mencari dengan cara yang halal, akhirnya ia terjatuh dalam perkara
syubhat. Ditambah lagi, harta akan melalaikan seseorang dari zikrullah. Hal-hal
seperti ini tidak akan terlepas dari siapapun.
Adapun kedudukan, cukuplah sebagai bukti kerusakannya bahwa harta dikorbankan
untuk meraih kedudukan. Sementara kedudukan tidak mungkin dikorbankan hanya
untuk mendapatkan harta. Inilah yang dimaksud dengan syirik khafi (syirik yang
tersamar). Dia tenggelam di dalam sikap oportunis, merelakan prinsipnya hilang,
kenifakan, dan seluruh akhlak tercela. Maka, ambisi terhadap kedudukan lebih
merusak dan lebih merusak. (Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi)
Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu berkata, “Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam (di dalam hadits ini) mengabarkan bahwa ambisi untuk
memperoleh kedudukan dapat merusak agama seseorang. Kerusakannya tidak kurang
dari kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala terhadap sekawanan kambing.
Agama seorang hamba tidak akan selamat bila ia memiliki ambisi untuk memperoleh
harta dan kedudukan, hanya sedikit yang dapat selamat. Perumpamaan yang teramat
agung ini memberikan pesan untuk benar-benar waspada dari keburukan ambisi untuk
memperoleh harta dan kedudukan di dunia.”
Beliau rahimahullahu juga berkata, “Ambisi seseorang terhadap kedudukan tentu
lebih berbahaya dibandingkan ambisinya terhadap harta. Karena usaha untuk
mendapatkan kedudukan duniawi, derajat tinggi, kekuasaan atas orang lain, dan
kepemimpinan di atas muka bumi, lebih besar mudaratnya dibandingkan usaha
mencari harta. Sungguh besar mudaratnya. Bersikap zuhud dalam hal ini begitu sulit.”
(Syarh Ibnu Rajab)
Ambisi Untuk Meraih Kekuasaan Akan Merusak Realisasi Cinta Kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala
Seringkali syahwat khafiyyah (tersembunyi) yang masuk pada diri seseorang dapat
merusak realisasi cinta seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Merusak
pula penghambaan dan keikhlasan di dalam beragama. Sebagaimana pernyataan
Syaddad bin Aus rahimahullahu, ”Wahai sekalian sisa-sisa orang Arab.
Sesungguhnya yang paling aku cemaskan bila menimpa kalian adalah riya’ dan
syahwat khafiyyah.”
Ketika ditanya tentang makna syahwat khafiyyah, Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani
rahimahullahu menjawab, “Syahwat khafiyyah adalah ambisi terhadap kekuasaan.”
Hadits ini menjelaskan bahwa keyakinan yang benar tentu tidak akan membawa
dirinya untuk berambisi semacam ini. Karena bila hati telah merasakan manisnya
beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, merasakan manisnya mahabbah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentu tidak ada lagi yang lebih ia cintai selain itu
sampai ia menemui-Nya. Dengan sebab inilah, keburukan dan kekejian akan
dijauhkan dari orang yang benar-benar ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
َ َِ%ْcَُْ ا,ُ ِْ َِ ِدB
,َ َء ِإUْ=َDْ; َء وَاGُ اBْ'َ ف
َ ِ َْ'ِ +
َ ِ?َ َآ
“Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian.
Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)
[Al-'Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu]
Termasuk Golongan Manakah Kita?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa ambisi seorang hamba
untuk memperoleh harta dan kekuasaan akan merusak agamanya. Seperti halnya atau
bahkan lebih parah dibandingkan dua ekor serigala yang dibiarkan bebas di tengah-
tengah kawanan kambing. Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan
keadaan orang yang mendapatkan catatan amal dengan tangan kirinya. Dia
menyatakan:
ْBََِ F<'َ Kَ'ْ*َ َأ. ْBَِ,َ ْ%ُ F<'َ + َ َ%َه
“Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan
dariku.” (Al-Haqqah: 28-29)
Akhir kehidupan seseorang yang haus akan kekuasaan hanyalah seperti Fir’aun.
Adapun para penumpuk harta, akhir kehidupannya hanyalah seperti Qarun. Padahal
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan keadaan Fir’aun dan Qarun di dalam
kitab-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ض
ِ ْرP َ ْ اFِ. َرًاJ}َُ
; ًة وN ْIُْ'ِ
َkْ َأIُُ;ا ه,َْ آIِِ%َْN ِْ ُ;ا,َ آ َ ْ?ِ
َِ)ُ اNَ ن
َ َ آ1 َ َُُْوا آdْ'ََ. ض
ِ ْرP
َ ْ اFِ. ْ ًَِْواIََأ َو
ق
ٍ _ ِْ وَا ِ ا َ ِ ْIَُ ن
َ َْ َوَ آIِِ ْ;ُ,?ُ ِ _
ُ اIُ َُ َ?ه8ََ.
“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memerhatikan
betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu adalah lebih hebat
kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi,
maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak
mempunyai seorang pelindung dari azab Allah.” (Ghafir: 21)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
ِNَ2ََْدًا وَا. َض َو
ِ ْ اَْرFِ. اQ;ُ%ُ ن َ َ ُُِو َ ِ?
%ِ َُ%َ2ْRَ, ِ َ ُة8aْ ا
ا ُر ا+ َ ْ%ِ
َ ِ9
ُْ%ِ ُ)َ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang
baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 83)
Weblink : http://www.asysyariah.com
http://salafiyunpad.wordpress.com