Anda di halaman 1dari 21

5

BAB II VULKANOLOGI DAN Q-FACTOR 2.1 Profil Gunung Sinabung Gunung Sinabung terletak di kabupaten Tanah Karo Provinsi Sumatera Utara dan merupakan tipe strato Vulkano. Posisi geografisnya terletak pada 3o10LU dan 98o23,5 BT dengan ketinggian 2460 m di atas permukaan laut.

Gambar 2.1 Peta lokasi gunung Sinabung (Eureka,2010) Aktivitas terakhir dari gunung Sinabung adalah letusan tanggal 29 agustus 2010. Letusan tersebut langsung meningkatkan status gunung Sinabung
5

yang tadinya berupa gunungapi tipe B mejadi tipe A. Sampai saat ini masih diadakan penyelidikan pasca letusan di gunung Sinabung. Aktivitas gunung Sinabung ini merupakan satu rangkaian dengan gunungapi Sibayak dan celah danau Toba yang terkenal dengan erupsi besar. Gunung Sinabung memiliki 4 kawah, dengan aktivitas kegiatan diantaranya adalah: Kawah I, sepanjang kawah tua, terdiri dari leleran lava, terletak pada arah Selatan-Timur, sepanjang 50 m Kawah II dan III, merupakan kawah kembar (Twin crater) terletak di sebelah Selatannya, atau di Tengah-Selatan Kawah IV terletak di bagian Utara-Barat atau di bagian Tengah Barat Dilihat dari bentuk tubuhnya yang relatif lebih mulus, menunjukkan bahwa gunung Sinabung relatif lebih muda daripada gunung Sibayak yang terletak di sebelah Barat lautnya. Gunung Sinabung merupakan gunungapi Strato dengan kerucut bagus, secara morfologi dapat dibagi menjadi tiga satuan, yaitu: satuan morfologi puncak, satuan morfologi lereng dan satuan morfologi kaki. Secara geologi, satuan batuan gunung Sinabung terdiri dari lava piroklastik dan batuan sedimen, hal ini dapat dilihat dari peta geologi gunung Sinabung dibawah ini :

Gambar 2.2 Peta Geologi gunungapi Sinabung (Prambada,dkk.2010)

Stratigrafi gunungapi daerah pemetaan berturut-turut dari tua ke muda, dapat dirinci sebagai berikut: 1. Endapan Batu gamping (Pgp) 2. Endapan Aliran Piroklastik Toba (QTb) 3. Aliran Piroklastik Sinabung 1 (QsP1) 4. Aliran Lava Sinabung 1 (QsL1) 5. Aliran Lava Sinabung 2 (QsL2) 6. Endapan Lahar Sinabung (QsLh) 7. Aliran Piroklastik Sinabung 2 (QsP2) 8. Aliran Lava Sinabung 3 (QsL3)

9. Aliran Lava Sinabung 4 (QsL4) 10. Aliran Lava Sinabung 5 (QsL5) 11. Aliran Piroklastik Sinabung 3 (QsP3) 12. Aliran Lava Sinabung 6 (QsL6) 13. Aliran Lava Sinabung 7 (QsL7) 14. Aliran Lava Sinabung 8 (QsL8) 15. Aliran Lava Sinabung 9 (QsL9) 16. Aliran Piroklastik Sinabung 4 (QsP4) 17. Aliran Lava Sinabung 10 (QsL10) 18. Aliran Lava Sinabung 11 (QsL11) 19. Aliran Lava Sinabung 12 (QsL12) 20. Aliran Piroklastik Sinabung 5 (QsP5) 21. Aliran Lava Sinabung 13 (QsL13) 22. Aliran Lava Sinabung 14 (QsL14) 23. Aliran Piroklastik Sinabung 6 (QsP6) 24. Aliran Lava Sinabung 15 (QsL15) 25. Aliran Piroklastik Sinabung 7 (QsP7) 26. Aliran Lava Sinabung 16 (QsL16) 27. Aliran Lava Sinabung 17 (QsL17) 28. Aliran Piroklastik Sinabung 8 (QsP8) 29. Endapan Alluvium (Qa)

2.2 Jenis-Jenis Batuan Penyusun Gunungapi Secara bentang alam, gunungapi yang berbentuk kerucut dapat dibagi menjadi daerah puncak, lereng, kaki, dan dataran di sekelingnya. Pemahaman ini kemudian dikembangkan oleh William dan McBirney (1979) (dalam

Bronto,2006) untuk membagi sebuah kerucut gunungapi komposit menjadi 3 zone, yakni Central zone, Proximal zone, dan Distal zone. Central zone disetarakan

dengan daerah puncak kerucut gunungapi, dan Distal Zone sama dengan daerah kaki serta dataran sekeliling gunungapi. Namun di dalam uraiannya kedua penulis tersebut sering menyebut zone dengan fasies, sehingga menjadi Central fasies,Proximal fasies, dan Distal fasies. Pembagian fasies gunungapi tersebut kemudian dikembangkan oleh Vesel dan Darvies (1981) serta Bogie dan Mackenzie (1988) menjadi empat kelompok, yaitu Central/Vent Fasies/Proximal Fasies, dan Distal Fasies (Bronto,2006).

Gambar 2.3 Pembagian fasies gunungapi menjadi fasies sentral,fasies proximal, fasies medial, dan fasies distal beserta komposisi batuanpenyusunnya (Bronto,2006) 2.3 Gempa Bumi Vulkanik 2.3.1 Definisi gempa bumi Vulkanik Gempa bumi vulkanik (gunungapi), yaitu gempa bumi yang disebabkan oleh kegiatan magma dekat permukaan bumi atau disebabkan oleh letusan gunung berapi. Gempa vulkanik biasanya mempunyai intensitas lemah dan terjadi pada sekitar gunung meletus. Gempa-gempa vulkanik dengan

10

frekuensi rendah memiliki frekuensi antara 1 sampai 5 Hz, sedangkan gempa vulkanik yang berfrekunsi tinggi memiliki frekuensi dominan pada rentang 5-15 Hz. 2.3.2 jenis-jenis gempa vulkanik Berikut ini klasifikasi gempa vulkanik berdasarkan klasifikasi T.Minakami: a. Gempa Vulkanik Dalam (tipe A) Sumber dari tipe gempa ini terletak di bawah gunungapi pada kedalaman 1 sampai 20 km, bisaanya muncul pada gunungapi yang aktif. Gempa tipe A dapat disebabkan adanya tekanan dari bawah atau ke atas sebelum terjadi letusan dan adanya penurunan tekanan sesudah letusan berlangsung. Untuk membedakan gempa tie A dengan jenis gempa lain dapat diketahui ciri-ciri lainnya, yaitu : selisih waktu tiba gelombang Primer (P) dan Sekunder (S) sampai 5 detik, kedalaman sumbernya 1-20 km di bawah kerucut gunungapi.

Gambar 2.4 Contoh rekaman seismik gempa tipe A (PVMBG,2010)

b. Gempa Vulkanik Dangkal (tipe B) Gempa Vulkanik tipe B, yaitu gempa yang dapat terjadi pada gunungapi yang mempunyai tipe letusan vulkano. Gempa tipe B memiliki cirri-ciri lain yaitu : gelombang P tidak tegas sedangkan gelombang S sulit dikenal atau tidak

11

muncul sehingga ilai S-P sulit ditentukan, kedalaman sumbernya tidak lebih dari 1 km.

Gambar 2.5 Contoh rekaman seismik gempa vulkanik tipe B (PVMBG,2010)

c. Gempa Letusan Gempa Letusan yaitu gempa yang berasosiasi atau terjadi karena letusan/erupsi gunungapi yang umumnya berlangsung di kawah.

Gambar 2.6 Contoh rekaman seismik gempa Letusan (PVMBG,2010) d. Tremor Gunungapi Tremor Gunungapi adalah getaran menerus di sekitar gunungapi, dapat dibedakan dalam 2 jenis, yaitu getaran yang menerus dengan frekuensi kuasi harmonik (tremor harmonic) dan tremor yang terbentuk karena gempa gunungapi yang saling bertumpukan (tremor spasmodic).

12

(a)

(b)

Gambar 2.7 Contoh rekaman seismik gempa tremor Harmonik (a) dan tremor Spasmodik (b) ( PVMBG,2010) 2.3.3 Jenis Gelombang Seismik 2.3.3.1. Gelombang body Gelombang body yaitu gelombang yang menjalar di dalam bumi, gelombang ini dibagi 2 : a. Gelombang Primer (P) Merupakan gelombang body yang memiliki kecepatan paling tinggi dari pada gelombang S. Gelombang ini merupakan gelombang longitudinal partikel yang merambat bolak balik dengan arah rambatnya. Gelombang ini terjadi karena adanya tekanan. Karena memiliki kecepatan tinggi gelombang ini memiliki waktu tiba terlebih dahulu dari pada gelombang S. Kecepatan gelombang P (VP) adalah 5 7 km/s di kerak bumi, > 8 km/s di dalam mantel dan inti bumi, 1,5 km/s di dalam air, dan 0,3 km/s di udara. Di udara gelombang P merupakan gelombang bunyi.

13

b. Gelombang Sekunder (S) Adalah salah satu gelombang body yang memiliki gerak partikel tegak lurus terhadap arah rambatnya serta waktu tibanya setelah gelombang P. Gelombang ini tidak dapat merambat pada fluida sehingga pada inti bumi bagian luar tidak dapat terdeteksi sedangkan pada inti bumi bagian dalam mampu dilewati. Kecepatan gelombang S (VS) adalah 3 4 km/s di kerak bumi, > 4,5 km/s di dalam mantel bumi, dan 2,5 3,0 km/s di dalam inti bumi. 2.3.3.2. Gelombang Permukaan (surface wave) a. Gelombang Love Gelombang ini merupakan gelombang permukaan. Arah rambatnya partikelnya bergetar melintang terhadap arah penjalarannya. Gelombang Love merupakan gelombang transversal, kecepatan gelombang ini di permukaan bumi (VL) adalah 2,0 4,4 km/s. c. Gelombang Reyleigh Merupakan jenis gelombang permukaan yang lain, memiliki kecepatan (VR) adalah 2,0 4,2 km/s di dalam bumi. Arah rambatnya bergerak tegak lurus terhadap arah rambat dan searah bidang datar 2.3.4 Parameter Fisis gelombang gempa bumi Adapun parameter fisis gelombang gempa bumi, yaitu sebagai berikut :

14

Gambar 2.8 Parameter fisis gelombang gempa bumi (Andrayana,2009)

a. (S-P) yaitu beda waktu antara gelombang Primer (P) dan Sekunder (S) pada seismograf yang dinyatakan dalam detik. b. Amplitudo maksimum yaitu simpangan terbesar pada suatu getaran gempa (A) c. Durasi gempa, yaitu waktu yang diperlukan oleh suatu kejadian gempa dari saat mulai bergetar sampai berhenti sama sekali yang dinyatakan dalam detik. d. Waktu terjadinya gempa (to) adalah waktu tiba gelombang P pada seismograf dikuragi hasi perhitungan waktu yang diperlukan oleh getaran untuk mencapai seismograf dari sumber 2.4 Atenuasi Gelombang Seismik dan Q-factor (Q-Factor) Dalam perambatannya, gelombang seismik mengalami refleksi, refraksi, transmisi, serta atenuasi atau peredaman oleh medium batuan yang dilewatinya. Atenuasi atau pengurangan energi gelombang diakibatkan oleh penyerapan dan penyebaran energi. Pengaruh atenuasi terhadap sinyal seismik dapat dilihat pada penurunan amplitudo dan melebarnya sinyal (panjang

15

gelombang). Hal ini menunjukkan bahwa atenuasi merupakan gabungan antara pengurangan energi dan penyerapan frekuensi secara simultan, karena medium yang dilewati gelombang seismik memiliki tingkat redaman berbeda-beda maka penyerapan frekuensi oleh medium tersebut tidak sama.Di dalam kajian ilmu tekhnik, atenuasi biasanya diukur dalam satuan desibel per satuan panjang medium (dB/cm atau dB/km). Sifat elastik suatu batuan dapat diterangkan dari modulus elastiknya dan juga kecepatan gelombang P dan S merambat di dalamnya. Dalam hal ini, terdapat pula suatu pelemahan (atenuasi) sinyal/amplitudo yang disebabkan oleh adanya penyerapan energi oleh medium, yang bergantung pula pada sifat elastiknya sehingga kedua parameter ini dapat dihubungkan untuk

menggambarkan pelemahan sinyal yang terjadi. Atenuasi yang terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut : ...(2.1)

Dengan merupakan koefisisen atenuasi dan didefinisikan sebagai :


ln

..(2.2)

Atenuasi dapat juga dilambangkan sebagai Q, dimana 1/Q adalah fraksi dari energi gelombang yang hilang setiap siklus saat gelombang tersebut merambat. Sehingga bila Q rendah, berarti gelombang telah banyak teratenuasi, dan jika Q tinggi, maka gelombang sedikit teratenuasi.

16

.(2.3)

Dimana E adalah energi tegangan (strain) maksimum dalam volum dan E adalah energi yang hilang disetiap siklus karena ketidaksempurnaan elastisitas material (medium). Untuk medium yang memiliki hubungan tegangan-regangan yang linier, Amplitudo gelombang A sebanding dengan E1/2. (sebagai contoh, A akan merepresentasikan kecepatan maksimum partikel, atau sebagai komponen tegangan dalam gelombang. Kita juga mengaumsikan Q>> 1, sehingga secara berturut-turut, memiliki puncak yang hampir sama dengan energi regangan.) sehingga :
1

..(2.4)

Sehingga kita bisa memperoleh fluktuasi amplitudo berkaitan dengan atenuasi. Jika A=A(t), A mula-mula = A0 dan A berkurang sebesar /Q secara berturut-turut pada rentag 2/, 4/,., 2n/ 1

untuk t=2n/

Gunakan definisi exp lim 1 , 1


.(2.5)

17

Untuk atenuasi sepanjang sumbu x, A=(dA/dx), dimana adalah panjang gelombang yang diberikan dalam dan kecepatan fase. =2c/. Sehingga persamaan 2.4 menjadi :

...(2.6)

Sehingga, solusi peluruhan eksponensialnya :

.(2.7)

Rumusan yang dipakai dalan penentuan nilai Q-factor (Q_Factor) adalah rumusan yang berhubungan langsung dengan proses peluruhan sinyal seismik, yaitu sebagai berikut :

.(2.8)

..(2.9)

........(2.10)

Dimana: = koefisien dari pangkat eksponensial suatu persamaan garis, dan v adalah kecepatan gelombang seismik primer dalam medium gunung Sinabung. f = frekuensi gelombang seismik (Hz) v = cepat rambat gelombang (km/s) Q = Q-factor

18

Dari persamaan 2.8 dapat diketahui bahwa peluruhan terjadi secara eksponensial, sehingga persamaan garis yang dipilih adalah persamaan garis eksponensial. Penentuan nilai Q-factor akan didasarkan pada analisa grafik hubungan antara pucak-puncak suatu event gempa dengan waktu kejadiannya (t). Berdasarkan persamaan 2.10, Q-factor dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara frekuensi dominan gelombang seismik terhadap koefisien atenuasinya, sehingga Q-factor bergantung terhadap faktor atenuasi medium. Jadi dapat disimpulkan bahwa Q-factor merupakan ukuran kemampuan medium untuk meloloskan gelombang yang melaluinya. Gempa periode panjang merupakan sinyal seismik paling penting yang berhubungan dengan system internal dari gunungapi. Sinyal ini diduga berasal dari system beresonansi dari cairan yang terjebak dalam padatan, misalnya saluran magma penuh dalam batuan vulkanik elastis. Semua fenomena seperti sinyal seismik, hamburan gelombang, peluruhan amplitudo dan lainnya memiliki parameter, yaitu Q (Q-factor) yang nilai keseluruhannya untuk peluruhan energi terhadap fungsi jarak. Q-factor mengasumsikan perbedaan nilai, bergantung pada fase gelombang yang dianalisis. Dan atau karakter geologi dari daerah yang diteliti. Secara umum, Q-factor akan meningkat seiring membesarnya densitas suatu material (batuan) dan juga kecepatan intrinsik batuan (cepat rambat sinyal seismik batuan) tersebut. Tabel 2.1 di bawah ini memberikan beberapa nilai Qfactor beberapa jenis batuan.

19

Tabel 2.1 Q-factor berbagai jenis batuan (Sheriff dan Geldart,1955 dalam Wahyudi P,1999) Jenis batuan Batuan Sedimen Batu Pasir Batu lempung Batu gamping Batu kapur Dolomite Batuan dan rongga 5-50 berisi gas Batuan metamorf Batuan beku 200-400 75-300 Q (/dB) 20-200 70-130 20-70 50-200 135 190

Dalam perambatannya, gelombang seismik dapat teratenuasi ataupun menurun amplitudonya karena disebabkan oleh ke-anelastisitasan atau deviasi dari elastisitas. Begitu pula dengan proses refleksi dan transmitansi dari gelombang dapat menurunkan amplitudo. Empat proses lain yang menjadi perhatian lebih dalam hal penurunan ampitudo gelombang seismik adalah geometric spreading, scattering, multipathing, dan juga kean-elastisitasan itu sendiri (Seith Stein,2003 dalam Andrayana K,2009).

20

2.5 Kecepatan Gelombang Seismik Dalam Batuan Cepat rambat gelombang di dalam bumi tidak bisa dijelaskan tanpa membuat pemodelan dari struktur dalam bumi. Untuk tinjauan seimologi, akan tepat sekali jika kita mendefinisikan bahwa bumi terdiri dari kerak,mantel, dan inti. Batas antara kerak-mantel dan mantel-inti memiliki perbedaan dalam cepat rambat gelombang serta dalam memantulkan/membisakan gelombang seismik. Batas Mantel-kerak yang dipisahkan oleh batuan di dasar kerak memiliki kecepatan gelombang kompresi sebesar 6,5 km/s, sedangkan batuan di bawahnya, yaitu batuan mantle memiliki kecepatan gelombang kompresi 8 km/s. ketebalan rata-rata dari kerak bumi adalah sekitar 25-40 km di bawah benua dan berkisar antara 60-70 km di bawah pegunungan/gunung (Kulhanek,1990). Banyak dari batuan api atau batuan gunungapi atau batuan beku dan juga batuan metamorf memiliki porositas yang kecil, atau bahkan tidak poros, dan kecepatan rambat dari gelombang seismik bergantung secara langsung dengan sifat elastik dari mineral itu sendiri. Batuan pasir dan berbagai jenis batuan gamping lainnya, pada satu sisi mempunyai struktur mikro yang lebih rumit, dimana jarak antara pori-pori diantara grainnya bisa saja tersisihkan oleh berbagai macam fluida. Dalam hal ini, untuk berbagai jenis batuan, kecepatan dipengaruhi oleh porositas dan juga material yang mengisi pori-pori itu sendiri. Secara umum, batuan beku memiliki variasi kecepatan gelombang dengan range yang lebih sempit daripada batuan sedimen ataupun batuan

21

metamorfik. Rata-rata kecepatan ini lebih besar bila dibandingkan dengan jenis batuan lainnya (Dobrin,hal 49,1976 dalam Andrayana kartika,2009). 2.6 Sistem Penerima Seismograf Untuk memperoleh data seismik instrumentasi yang digunakan adalah seismograf, dan untuk saat ini hampir seluruh Pos Gunungapi di Indonesia menggunakan seismograf yang bekerja dengan sistim RTS (Radio telemetry sistem) baik digital maupun analog, Data ditransmitkan ke Pos pengamatan

dengan teknik propagasi gelombang radio. Di Pos data diterima Receiver, didemodulasikan oleh diskriminator menjadi tegangan analog kembali, dan direkam ke seismogram dengan galvanometer, ini adalah prinsip RTS analog, untuk RTS Digital prinsipnya hampir sama, hanya pada trasmitter, data yang dimodulasikan sudah berupa data-data digital. Dengan mengubah data analog dari seismometer menjadi digital menggunakan ADC. Berbeda dengan seismograf analog yang amplitdo rekaman

gelombangnya dalam satuan millimeter (mm), amplitudo rekaman gelombang seismik digital tidak memiliki satuan. Namun untuk memperoleh satuan dari amplitdo rekaman seismik digital maka perlu dilakukan konversi terlebih dahulu. Konversi yang dilakukan bergantung spesifikasi alat yang di gunakan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam konversi amplitudo rekaman seismik digital adalah : 1. Sensitivitas alat

22

Setiap seismograf memiliki sensitivitas yang berbeda-beda, tergantung pada jenis dan tipenya. Contoh : LS-1 Ranger memiliki sensitivitas 345 V/(m/s) dan fre kuensi alami alat 1 Hz L4-C memiliki sensitivitas 300 V/(m/s) dan frekuensi alami alat 1 Hz L 22 memiliki sensitivitas 77 V/(m/s) dan frekuensi alami alat 2 Hz

2. Perbesaran alat 3. Nilai digital dari rekaman data marak LS 7000 Pada data mark LS 7000, 1 digit = 2.4445 x 10-6 V m/s. Jadi, harga konversi amplitdo digital adalah : 1 2.4445 / 2.7 Fast Fourier Transform (FFT) Pada tahun 1822, Joseph Fourier, ahli matematika dai Prancis menemukan bahwa: setiap fungsi periodik (sinyal) dapat dibentuk dari penjumlahan gelombang-gelombang sinus/cosines. Apabila semua sinyal periodik dapat dinyatakan dalam penjumlahan fungsi-fungsi sinus-cosinus, maka frekuensi dominan dari sinyal-sinyal tersebut dapat ditentukan dengan cara menghitung nilai F(u) dari sinyal tersebut. Dari nilai F(u) kemuian dapat diperoleh kembali sinyal awal dengan menghitug f(x), menggunakan rumus : Rumus FFT kontinu 1 dimensi

..(2.11)

23

F (u ) = f ( x) =

f ( x) exp[2 jux]dx
.(2.12)

F (u ) exp[2 jux]du
....(2.13)

Persamaan Euler : exp[ 2 jux ] = cos 2ux j sin 2ux Rumus FFT diskret 1 dimensi
F (u ) = f ( x) = 1 N 1 N

N =0 N 1

F (u ) exp[2 jux / N ]

N 1

...(2.14)

N =o

F (u ) exp[2 jux / N ]

Contoh pengolahan data FFT Misalnya kita memiliki sinyal x(t) dengan rumus sebagai berikut :
x (t ) = cos( 2 5t ) + cos( 2 10t ) + cos( 2 20t ) + cos( 2 50t )

Sinyal ini memiliki 4 komponen frekuensi yaitu 5,10,20,50. Gambar dari sinyal 1 dimensi diatas adalah :

Gambar 2.9 Contoh sinyal gelombang 1 dimensi dengan 4 komponen Transformasi Fourier dari sinyal tersebut adalah : frekuensi(Zulkaryanto,2010)

Gambar 2.10 Contoh transformasi Fourier sinyal gelombang 1 dimensi dengan 4 komponen frekuensi (Zulkaryanto,2010)

24

Terlihat bahwa transformai fourier dapat menangkap frekuensi-frekuensi yang dominan dalam sinyal tersebut yaitu 5,10,20,50. 2.8 Penentuan Hiposenter Gempa Menentukan hiposenter dari gempa bumi adalah aspek yang paling dasar untuk menjelaskan mekanisme sumber terjadinya gempa. Metode yang digunakan dalam menentukan hiposenter gempa adalah metode Geiger. Metode ini menggunakan data waktu tiba gelombang P ataupun gelombang S yang pertama, dan disini media bumi tidak lagi harus diandaikan homogen, tetapi diandaikan terdiri dari perlapisan horizontal. Pada umumnya lapisan batuan di daerah gunungapi tidak teratur seperti di daerah sedimen sehingga sebagai pendekatannya dalam pehitungan digunakan tiga lapisan kecepatan . dalam setiap lapisan digunakan asumsi uniform half space atau homogen isotropik. Perhitungan hiposenter merupakan problem non-linear least square karena fungsi waktu tempuh T(x,y,z) tidak linier, sehingga pendekatan linier dilakukan melalui prosedur iteratif yang hanya melibatkan 4 persamaan linier. Sedangkan optimasi dilakukan dengan cara meminimumkan kesalahan antara waktu tiba gelombang P hasil pengamatan (tobs) dengan waktu tiba gelombang P hasil perhitungan (tcal) dari semua stasiun (Kristianto,2005)

25

Sb-Z

Si ( Xi,Yi,Zi,ti )

Di

Sb-Y Vp

Sb-X

Fi ( X,Y,Z, t) Gambar 2.11 Penjalaran gelombang seismik dari hiposenter F ke stasiun perekam gempa dalam koordinat kartesian (Kristianto,2005) (t cal ) i = t 0 + ( x f xi ) 2 + ( y i y 0 ) 2 + ( z i z 0 ) 2 Vp ...(2.15)

(t error ) = t obs t cal = t i (t cal ) i

...(2.16)

Anda mungkin juga menyukai