Anda di halaman 1dari 235

Balada Gimpul (Oleh : Langit Kresna Hariadi)

Materi diambil sepenuhnya dari blog : pitulikoer.blogspot.com , konversi ke format PDF oleh Ekho Pratama. Buku asli terbitan Balai Pustaka, Jakarta, 2001, ISBN 9796666669, 352 halaman, 18 cm.

1. NAMA BUNGLON ITU


Tugu Monas menjulang di sana, pucuknya yang seperti api terbuat dari emas. Aneh sekali, adakah orang yang kurang kerjaan sehingga emas dijadikan pucuk sebuah tugu. Itu emas? bertanya wanitanya. Ya. jawab si lelaki. Sekarang kau melihat sendiri bukan, betapa hebatnya Jakarta. Orang di sini kaya-kaya, sampai-sampai emas dijadikan puncak potlot raksasa. Padahal kau tahu, berapa berat emas di sana itu? Laki-laki dan dan wanita itu tak mengalihkan perhatiannya dari sana. Di kampung halamannya, emas satu gram sangat bernilai. Emas satu gram itu bisa berarti beberapa kilo beras, bisa pula dibentuk sebuah cincin yang digepleng amat tipis hingga kelihatan besar dan lebih berat dari yang sesungguhnya. Beratnya satu ton. Bayangkan, emas satu ton, hanya dijadikan pucuk sebuah tugu, apa tidak hebat? lanjut si laki-laki. Laki-laki dan wanita itu kemudian saling pandang dan saling senyum. Di sini di Jakarta ini. berkata si laki-laki. Kita harus ganti nama. Nama asli kita sudah tidak sesuai lagi. Kita harus menggunakan nama yang tidak kalah hebat dari nama orangorang Jakarta. Pakai nama yang paling dahsyat dan jauh lebih hebat dari orang Jakarta sendiri. Aku pakai nama Santiago Amoral. Bagus kan? Si wanita manggut-manggut dan tersenyum merekah. Namaku siapa?

Santiago Amoral, sebut saja nama lelaki itu seperti itu adanya, sama sekali tidak menyadari arti nama itu adalah Santiago tidak bermoral. Baginya nama itu sungguh amat bagus dan sesuai untuknya. Santiago diambilnya dari nama pemain telenovela dari Amerika latin, sedang Amoral adalah pelesetan dari Amaral. Di televisi ia pernah melihat ada orang Timor Timur bernama Amaral. Rasanya Amoral lebih enak kedengaran di telinga daripada Amaral. Karena kau adalah biniku. lanjut Santiago Amoral. Maka namamu harus sesuai denganku, sekarang kau adalah Bini Santiago Amoral.

***

2. MALING DAN KUITANSINYA

Dan hotel itu juga menjulang tinggi. Bini Santiago Amoral memandanginya dengan amat takjub. Banyak hal di Jakarta yang membuatnya takjub. Berbagai gedung yang menjulang mencakar langit menyimpan kemustahilan, mustahil orang bisa membuat bangunan setinggi itu. Juga jalan layang dan jalan kereta api layang menjadi wacana baru baginya, yang juga menyimpan kemustahilan. Mustahil orang membuat jalan seperti itu. Kemacetan dan jumlah mobil itu sendiri, setiap hari adalah karnaval yang tak berkesudahan, padahal orang Jakarta membacanya : macet!!. Semua membuatnya takjub. Apa yang kau lamunkan? bertanya Santiago Amoral. Bini Santiago Amoral tidak mengalihkan pandangnya. Tetap pada puncak hotel itu, pikirannya berada dalam salah satu kamar di sana. Kita sekarang kan kaya? berkata Bini Santiago Amoral Kita coba menginap di hotel itu. Kita pesan kamar yang paling atas? Dari atas kita bisa melihat ke mana-mana. Di atas kita paling dekat dengan langit, bagaimana? Itu gagasan yang bagus. Santiago Amoral yang merasa sebagai orang paling kaya, yang tidak kalah kaya dari orang-orang Jakarta merasa wajib merasakan bagaimana kehidupan orang kaya yang sesungguhnya. Namun seorang Satpam dengan wajah garang menghadangnya. Hei dilarang lewat. teriak Satpam itu. Mau apa kalian? Santiago Amoral dan isterinya saling pandang. Ternyata penjaga gedung menjulang itu tidak ramah kepadanya. Sebaliknya Satpam itu melihat sandalnya yang lusuh, juga kain dan selendang yang dikenakannya.

Pergi. teriak Satpam itu sekali lagi. Tetapi, ini hotel bukan? bertanya Santiago Amoral. Pertanyaan itu terasa aneh di telinga Satpam. Ya, kenapa? Kami akan menginap. jawab Santiago Amoral. Satpam itu memandang penuh selidik, mulai dari peci yang dikenakan, baju batik yang kumal, jenis kaca mata yang dipakai sampai sandal jepit yang lusuh dengan kakinya yang juga lusuh. Orang macam itu mau menginap di hotel berbintang lima? Mana dasinya? Satpam itu melambaikan tangannya dan memanggil salah seorang temannya. Mereka lalu berbisik-bisik sambil mata tetap penuh selidik. Orang macam gituan mau check in! berbisik Satpam pertama. Apa dia punya duit? balas Satpam yang ke dua. Orang macam gituan mana punya duit? Kayaknya sih orang dari udik berbisik yang pertama. Tanyai aja, punya duit kagak? Satpam yang ke dua bersikap agak ramah. Elu mau nginap di hotel berbintang lima, emangnya lu punya duit? Bini Santiago Amoral kebingungan. Bahasa orang itu kedengaran aneh di telinganya. Apa maksudnya itu kang? bisiknya. Santiago Amoral segera membuka kopor butut yang dibawanya. Ditunjukkannya gumpalan uang dalam kopor itu, yang menyebabkan Satpam itu seketika berubah sikapnya, biasa, rasa hormat memang selalu berbanding tegak lurus dengan uang. Dengan pelayanan kelas satu, Santiago Amoral dan Bini Santiago Amoral diantar menuju resepsionis, diantar menemui seorang wanita yang sungguh amat cantik. Wanita itu sebagaimana sikap Satpam sebelumnya, memandang aneh pada dua tamunya. Akan tetapi Satpam itu telah membisikinya, kira-kira kalimatnya jangan lihat penampilannya, orang ini banyak uang. yang menyebabkan sikap resepsionis itu total ramah.

Bapak dan Ibu mau menginap? tanya resepsionis itu. Santiago Amoral dan Bini Santiago Amoral menebar pandang menjelajahi segenap sudut di ruang itu, yang benar-benar mewah. Bini Santiago tak kalah takjub, kekagumannya masih tersita pada pintu kaca yang bisa menutup dan membuka sendiri. Mau menginap, pak? ulang resepsionis yang cantiknya luar biasa itu. Mmm, ya. jawab Santiago Amoral sedikit gugup. Namanya Pak? bertanya Resepsionis itu. Santiago Amoral nyaris menyebut namanya sendiri. Namun untunglah ia segera ingat pada nama baru yang digunakannya. Santiago Amoral. jawabnya dengan muka amat yakin. Resepsionis itu kebingungan. Sejenak nama itu memaksanya untuk termangu. Sejenak kemudian rangsangan untuk ketawa datang tiba-tiba. Namun tentu tak sopan untuk tertawa apalagi mentertawakan nama tamunya. Untuk membalik badan menyembunyikan senyum juga belum cukup. Permisi sebentar pak. resepsionis itu segera berlari ke toilet di sudut ruang itu. Ternyata bukan untuk tertawa sepuasnya, tetapi untuk kencing setuntasnya. Rupanya resepsionis itu punya kebiasaan aneh, jika geli atau ada rangsangan tertawa, ia tidak kuasa menahan kencingnya. Sejenak kemudian ia telah kembali. Mohon diulang namanya, pak. pinta resepsionis itu. Santiago Amoral tarik nafas lebih dulu. Ancang-ancang menyebut namanya. Saya Santiago Amoral dan ini isteri saya, Bini Santiago Amoral. suaranya tegas dan jelas. Beberapa gadis cantik yang punya tugas berbeda namun bisa mendengar pembicaraan itu cukup jelas, tidak bisa menutupi senyumnya. Hal itu ditangkap oleh Bini Santiago Amoral.

Apakah ada yang aneh dengan nama kita, kang? bertanya Bini. Kurasa tidak. bisik Santiago. Kenapa mereka tertawa mendengar nama kita? Gadis resepsionis itu memencet-mencet keyboard komputer untuk mengecek kamar yang masih tersedia. Ini daftar harganya pak, silahkan memilih akan menginap yang mana? resepsionis itu kemudian menyodorkan sebuah datar dalam map. Kami mau yang paling atas. Bini Santiago Amoral nyelonong. Gadis resepsionis itu terhenyak. Tidak disangkanya orang yang dandanannya aneh , udik dan bau keringat itu memilih penthouse, kamar super VIP sekelas presiden. Hanya tamu-tamu kaya-raya yang menggunakan kamar itu. Hanya turis-turis dari luar negeri serta para bisnisman lokal kelas kakap yang mau menggunakan penthouse. Berapa semalam di kamar paling atas? bertanya Santiago Amoral. Gadis resepsionis itu menjawab ramah dan amat profesional. Ruang yang di atas sendiri namanya penthouse pak, atau kelas penthouse. Semalam sepuluh juta rupiah. Kini giliran Santiago Amoral dan Bini Santiago Amoral yang kaget. Angka sepuluh juta untuk menginap semalam jelas mengagetkan mereka. Menginap di hotel itu maksudnya mau numpang tidur, lalu tidur yang macam apa sampai harus membayar sepuluh juta rupiah?. Santiago Amoral dan Bini Santiago Amoral saling pandang. Mahal sekali? ragu ragu sekali ucapan Bini Santiago itu. Merah padam wajah Santiago Amoral dan Bini Santiago Amoral ketika harus keluar dari ruang lobby hotel itu diiringi pandangan yang aneh dari semua orang. Tidak masuk akal untuk menginap dengan bayaran setinggi itu. Manakala akhirnya pasangan ini memperoleh hotel kelas lima puluh ribuan di dekat terminal Pulogadung, mereka masih takjub dan gelenggeleng kepala oleh harga yang mengerikan itu.

Menginap di hotel itu kan numpang tidur to? bertanya Bini Santiago Amoral. Ya. jawab Santiago. Kenapa begitu mahal? Menginap macam apa sampai harus membayar sebanyak itu, sepuluh juta semalam. Bayangkan. Bini Santiago Amoral mengajak membayangkan. Inilah Jakarta, Bin berkata Santiago. Mulai hari ini kita menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Jakarta. Mau ke mana saja ada taksi yang akan mengantar kita. Mau mencari hiburan, tinggal pilih Monas atau Lobang Buaya. Santiago Amoral dan Bini Santiago Amoral tak sadar sedang diamati orang Sebagai pendatang dari udik yang membawa uang banyak, baunya begitu mencolok menarik perhatian preman Jakarta. Di Jakarta, siapapun bisa jadi preman, itu tergantung situasi dan kebutuhan. Moral boleh jadi baik, tetapi kehidupan dan kebutuhan yang belum bersahabat menyebabkan seseorang bisa memutuskan untuk menjilma menjadi preman. Hal itulah yang dilakukan seorang room boy hotel kecil itu yang tahu tamu udik itu membawa uang banyak. Dengan keluguannya Santiago Amoral dan Bini Santiago Amoral keluar hotel untuk jalanjalan melihat Jakarta di waktu malam, melihat mobil yang bisa goyang sendiri di pantai Ancol, melihat keramaian Jalan Thamrin hingga Blok M, ketika kembali ke hotel keduanya melolong meraung-raung melihat koper bututnya sudah terbuka, uang sebesar hampir seratus lima puluh juta dalam koper itu lenyap tidak ada jejaknya. Di dalam koper butut itu tertinggal sebuah kuitansi dengan bunyi : telah kami terima uang sejumlah seratus empat puluh delapan juta rupiah, lain kali lagi ya. Pucat pias wajah Santiago Amoral, pucat pias juga wajah isterinya. Maka gegerlah hotel kecil itu ketika salah seorang tamunya berteriak-teriak mewartakan kehilangannya. Bini Santiago Amoral menangis sesenggukan, sebaliknya Santiago Amoral dengan wajah begitu sangar memaki-maki petugas penerima tamu hotel.

Akhirnya kasus pencurian di hotel itu dibawa ke kantor Polisi. Dengan kemarahan yang nyaris meledakkan isi dadanya Santiago Amoral melapor. Polisi yang dinas jaga malam itu, Brigadir Kepala Polisi Budi Setyo Pramono namanya melihat ada sesuatu yang tidak sewajarnya. Ke dua tamu hotel yang kemalingan itu mengaku kehilangan uang seratus lima puluh juta, tetapi benarkah orang dengan penampilan seperti itu punya uang begitu banyak. Nama siapa? Bripka Budi Setyo Pramono mulai membuat laporan. Di depannya sebuah komputer yang masih menggunakan sistem Wordstar siap menerima laporan itu. Nama saya Santiago Amoral pak, dan ini isteri saya Bini Santiago Amoral. jawab Santiago dengan tegas. Bripka Budi Setyo Pramono yang semula bermaksud mengetik di atas keyboard-nya terpaksa membatalkan niatnya dan dengan mata penuh selidik menatap wajah celingus di depannya. Wibawa polisi itu ternyata begitu besar. Tolong diulang nama anda? Bripka Budi Setyo Pramono meminta pengulangan. Santiago Amoral gugup. Tak disangkanya, nama bisa menjadi persoalan besar. Nama saya Santiago Amoral pak, dan ini isteri saya Bini Santiago Amoral. jawab Santiago, kali ini suaranya agak ragu. Kami bermaksud melapor kehilangan uang, jumlahnya seratus lima puluh juta, uang itu kami simpan di koper ini, kami tinggalkan di hotel. Kami jalan-jalan melihat Jakarta di malam hari, ketika kembali uang kami hilang. Bripka Budi Setyo Pramono manggut-manggut sambil memandang penuh selidik. Pelapor kehilangan uang seratus lima puluh juta ini kelihatannya tidak beres. Bisa jadi uang yang hilang itu omong kosong, atau bisa jadi ia peroleh uang itu dengan cara tidak wajar. Tanda pengenal, KTP atau SIM, silahkan. Santiago Amoral dan Bini Santiago Amoral saling pandang. Pandangan mata bripka Budi Setyo Pramono menyudutkan mereka seolah menjadi

tersangka. Tolong tanda pengenalnya, bisa KTP, bisa SIM, atau surat nikah.

***

3. TEMBANG MEGATRUH MBOK KAMPUN

Sisi lain dari Desa Tegaldlimo di samping kehidupan penduduknya yang makmur, menyatu bagai lumah dan murep daun sirih yang andaikata dikunyah sama rasanya, adalah kehidupan sebagian penduduknya yang kekurangan. Itu sebabnya desa itu marak dengan angan-angan yang diwakili penduduknya yang pergi menjadi tenaga kerja di tanah Arab atau Malaysia, yang jika pulang maka seketika rumahnya yang semula berdinding gedek berubah berdinding tembok. Kaya atau melarat apa ukurannya? Yang jelas tidak ada orang melarat yang takut kaya. Sebaliknya orang kaya pada umumnya takut melarat. Itu sebabnya Gunardi yang pekerjaan sehari-harinya sebagai penyuluh Keluarga Berencana masih harus nyambi berjualan di pasar krempyeng depan kantor Kecamatan memanfaatkan waktu sebelum jam dinas. Itu pula sebabnya di pertigaan depan masjid para pengojek riuh bercerita tentang kehidupan yang lebih enak di Jakarta, atau keberhasilan Sutinah anak pak Jiarto yang masih bekerja di Arab namun setiap bulannya selalu mengirim uang rata-rata dua juta. Dua juta sebulan? Ha? Gaji siapa sebesar itu untuk ukuran orang Tegaldlimo? Oo, dua juta itu kecil. Paling tidak itu kata Suparjoto yang tahu persis rahasia tetangganya, Sri Munik yang sebenarnya belum cerai dari suaminya yang bekerja sebagai sopir, namun tidak lagi serumah. Munik sudah lima bulan yang lalu minggat meninggalkan anak dan suaminya bekerja di Bali berjualan bakpao, dengan penghasilan lebih dari lima juta sebulan. Ahh, kok Suparjoto tahu Munik jualan bakpao? Tentu saja Suparjoto tahu karena Suparjoto pernah merasakan kelezatan bakpao Munik yang bergelimang peluh dan gincu. Suparjoto harus ngedumel karena Munik menjual bakpaonya terlampau mahal. Masak pada tetangga sendiri harus membayar dua ratus ribu rupiah? Dari situ Suparjoto bisa berhitung berapa penghasilan Munik sebulan. Itupun tidak perlu

jauh ke Arab Saudi dan menjadi babu di sana, cukup menyeberang selat Bali. Adalah Gimpul nama aslinya. Entah mengapa Pak Markun menamai anaknya yang sebenarnya tampan itu dengan nama yang begitu sederhana, Gimpul. Mungkin Pak Markun bukanlah orang yang terlampau njlimet dalam mencipta nama untuk anak laki-lakinya, padahal bukankah untuk mencipta sebuah nama orang tidak perlu membayar? Tetapi itulah Gimpul. Nama yang kemudian dibuang oleh pemakainya karena dianggap tidak pantas. Nama kok Gimpul, kan tidak seimbang dengan jambul dan tongkrongannya. Itu sebabnya Gimpul membuang nama itu jauh-jauh dan memakai namanya yang sekarang Iwan Marjuni. Setidak-tidaknya Iwan Marjuni tentu lebih keren ketimbang Gimpul. Namun tetap saja orang memanggilnya Pul Nama itu terlanjur populer, sudah terlanjur menjadi brand. Gimpul pernah dua tahun merantau entah ke mana dan begitu pulang gayanya berubah. Sedikit-sedikit ngomong bahasa Inggris yang berlepotan. Pernah pada suatu hari ada rombongan turis yang akan pergi ke Plengkung dan kebetulan butuh informasi arah di Tegaldlimo, Gimpul dengan penuh semangat mengajak turis-turis itu berbicara, membuat teman-temannya yang mangkal di pertigaan depan Masjid pada mlongo takjub, betapa hebatnya Gimpul. Mengenai bahasa Inggris, Gimpul sebenarnya hanya bisa sepatah dua patah, misalnya how are you, where are you going, no smoking, what your name dan what time. Yang paling dihafal adalah I love you. Khusus untuk I love you, Gimpul menguasai beberapa versi seperti Jepang, Cina, Belanda, Jerman, Perancis, Sunda, Jawa dan bahasa isyarat. Untuk bahasa isyarat, semisal Gimpul bermaksud mengutarakan cintanya kepada seorang gadis, ia menjejerkan dua jari telunjuknya kemudian digerakkan seperti dua orang melangkah bersama, yang kemudian diakhiri dengan jempol dijepit dengan jari telunjuk dan jari tengah. Isyarat itu pernah membuat seseorang marah dan melaporkan tindakan pelecehan itu ke

kantor polisi. Akibatnya Gimpul disel beberapa hari. Lebih dahsyat lagi ketika pada suatu hari Iwan Gimpul Marjuni kedatangan tamu, bukan sembarang tamu, tetapi bule. Konon namanya Miss Margaretha dan berasal dari Amerika. Tidak ada yang tahu bagaimana Gimpul bisa kenal dengan orang itu. Yang jelas, dengan bangganya Gimpul membawa Miss Margaretha itu keliling desanya. Dan tentu saja semua orang memberikan perhatiannya pada, bukan Gimpul, tetapi bulenya. Rambut jagung memang jarang lewat di Tegaldlimo. Para pengojek rata-rata takjub. Mereka tidak peduli turis itu kelihatan seperti ibu bagi Gimpul karena umurnya yang lebih tua. Yang penting turis. Yang lebih dahsyat lagi, Gimpul dengan turis itu ke mana-mana kelihatan mesra. Itu sebabnya para orang tua di desa Tegaldlimo pada umumnya kipa-kipa kalau anak gadisnya menjalin hubungan dengan Gimpul. Klesak-klesik menjalar di mana-mana, kata mereka Gimpul itu lonthe lanang yang mau melayani kebutuhan syahwat siapapun dengan bayaran. Dan mimpi buruk datang dalam tidur mbok Kampun. Tidak habis mengerti mbok Kampun mengapa salah seorang anak gadisnya bisa dirayu oleh Gimpul. "Maukah dikau menjadi isteri diriku?" bertanya Gimpul. Itulah pertanyaan pertama yang berbau todongan diberikan Gimpul kepada Jasmi, di sela riuhnya para penonton yang menyaksikan pagelaran gandrung yang dipentaskan di tanah kosong dekat Kantor Polisi. Jasmi tentu saja berdebar-debar oleh pertanyaan itu. Geremetan tangan Gimpul di jemari tangannya menyentak-nyentak degup jantungnya. Penari gandrung di sana meliuk gesit menghindari gerakan kurang ajar dari seorang paju gandrung yang berusaha menyenggolkan hidungnya. Penonton tentu gemuruh. Kluncing yang menjadi wasit menghentikan tarian sejenak dan menjatuhkan denda kepada pengibing yang kurang ajar itu. Denda itu masuk ke dalam kutang sang penari gandrung. Penonton riuh bersuit-suit. Dalam hati pemegang kluncing amat marah, tidak seorang penontonpun yang

tahu penari penari gandrung itu adalah isteri si pemegang kluncing. Kang Gimpul menginginkan aku menjadi isteri?" Jasmi menegas. Gimpul terdiam. Matanya tertuju pada lantunan tembang keok-keok, tetapi dengus nafasnya diarahkan ke telinga Jasmi. Gimpul lelaki yang punya pengalaman, baginya gadis gadis mungkin sekedar lalapan. Tetapi yang kali ini Gimpul mempunyai rencana yang lebih jauh lagi. Jasmi tidak sekedar dijadikan lalapan, namun pecel dengan sambal gaya osing, pedas. "Ya. Aku ingin mengajakmu hidup berumah tangga, jawab Gimpul. bersama-sama kita mengarungi bahtera hidup. Suka dan duka kita hadapi bersama. Bayangkan Jas, apakah kau tak akan merasa bahagia seandainya hal itu menjadi kenyataan?" Rayuan gombalnya benar-benar gawat. Namun wajah Gimpul nampak bersungguhsungguh, membuat Jasmi bimbang. Gimpul menengadah ke langit memandangi bintangbintang, lalu melemparkan tatapan matanya menyapu keramaian, lalu lagi-lagi tangannya geremetan. Sekali lagi kluncing menjatuhkan denda pada penari lelaki. Kali ini gawat. Dalam gerakan yang amat gesit, dada penari itu berhasil disenggolnya. Siulan suit-suit terdengar dari manamana. Penari gandrung ngambek, digantikan penari gandrung lainnya. Tembang Warudoyong mengumandang sementara pemegang kluncing sibuk mendenda pengibing yang kurang ajar itu. Ternyata pengibing itu tidak punya uang, menyebabkan keadaan sejenak geger. Siul-siul mencemooh pengibing yang tidak punya duit namun telah berani kurang ajar menyenggol dada lawan tarinya. Bukannya malu, penari yang diusir dari atas pentas itu malah mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Jari jempolnya dijepit oleh jari telunjuk dan jari tengah, sebuah isyarat yang sangat saru. Namun lihatlah, hal itu malah membuat suasana menjadi riuh rendah. Namun Gimpul tidak peduli apa yang terjadi di sana.

"Benarkah kau bersungguh-sungguh kang Gimpul? kau tidak sedang berkhayal?" Jasmi seperti mencari sesuatu di wajah Gimpul. Dengus nafas Gimpul semakin terasa, bahkan ujung hidungnya menyentuh daun telinganya. Jasmi hanya diam ketika Gimpul meremas jari dan jempolnya. Jasmi merasa sedikit mrinding, hatinya resah membuncah. "Khayalan saja, mana bisa terujut kalau tak diupayakan supaya menjadi kenyataan? Kau mau Jas, mau menjadi isteri diriku?" rayunya membelit. Ajakan kawin, yang berasal dari seorang pemuda, memang selalu bikin bingung gadis untuk menjawabnya. Jika wajah Jasmi bisa dilihat dengan jelas, maka akan terlihat salah tingkahnya. "Maksudnya, kau akan menemui orang tuaku?" kejar Jasmi. "Ya, Gimpul menjawab dengan tangkas Aku akan menemui bapak dan Simbokmu untuk melamarmu." Ada rasa senang di hati Jasmi yang seandainya dia itu ayam, maka Jasmi ayam yang sudah siap jadi babon, siap dikabruk jago, dan orang osing bilang, ayam yang ingin dikabruk itu namanya ayam memeti. Tetapi ada juga kekhawatiran karena hal yang lain. "Tetapi, bukankah kau sudah tahu bagaimana sikap simbokku padamu kang Gimpul?" balas Jasmi dengan segala gelisahnya. Gimpul termangu, "Simbokmu tidak begitu suka kepadaku karena aku masih menganggur, tidak punya pekerjaan, dan karena aku tampan sehingga banyak gadis-gadis yang naksir padaku. Tetapi, apakah itu salahku Jas? Bukan salahku kalau aku lahir sebagai lelaki yang amat tampan. Salahkan saja gadis-gadis itu, mereka yang tergila-gila kepadaku, bukan aku yang tergila-gila pada mereka." Gila, argumentasi Gimpul dahsyat sekali. Dan hebatnya Jasmi menelan alasan itu. Sulit dibedakan apakah sebenarnya Jasmi itu lugu atau bodoh, atau hidungnya sedang pilek

sehingga bau akal bulus yang menyengat itu tidak dirasa. Dengan sengaja Gimpul menghirup udara dan menghembuskannya dengan lembut pada telinga Jasmi. Desir itu mengkili-kili wajahnya, tetapi juga mengkili-kili hatinya. Gimpul melanjutkan, "Mengenai pekerjaan, masa akan nganggur terus? Suatu ketika aku pasti menemukan pekerjaan yang sesuai untukku. Kerja di kantoran. Dan kau boleh berbangga bersuamikan lelaki yang bekerja di kantoran" Gimpul agak merapatkan diri, Jasmi diam berfikir. Untuk menjadi isteri artinya jadi mempelai dulu. Untuk sementara artinya cukuplah itu. Menjadi isteri berarti hajatan dengan tanggapan hadrah kuntulan dari Rogojampi, atau mengundang Gandrung Sumilah dari Penataban. Dan dalam hajatan, undangan disebar, teman-teman dan sanak saudaranya berdatangan mengucapkan selamat sambil membawa kado. Seperti arisan saja, bukankah selama ini Jasmi banyak sekali mendatangi mantenan, ibaratnya nyelengi, menabung. Maka sekaranglah saatnya menarik kembali kado-kado yang dulu disumbangkan. Ya, seperti arisan itu. "Aku masih sangsi kang. Aku sangsi apakah bapak dan simbok akan menerima pinanganmu." Jasmi berkata dengan segala kegamangan hatinya. Gimpul terdiam, Gimpul merasa jaring telah ditebarnya dan ikan sudah berada dalam jeratan. Pertanyaan itu berarti, Jasmi sendiri sangat berminat. Gimpul tentu telah menyiapkan tantangan berikutnya. Sebenarnya ada cara lain, apa kau mau?" bisik lelaki itu. Pertanyaan itu membuat alis Jasmi mencuat. "Cara bagaimana?" "Kalau anak gadisnya sudah hamil, orang tua bisa berbuat apa?" Bangkit bulu tengkuk gadis itu. Merinding punggungnya, dingin pula seketika telapak tangannya. Edan. Ternyata ke situ to arahnya? Raut wajah Jasmi serentak panik mendengar jawaban

itu. Namun Gimpul yang kenyang asam garam perayuan justru membuang pandangan ke arah yang lain, maksudnya agar sikapnya terlihat amat wajar. Agar bila Jasmi menelusuri wajahnya tidak tampak gejolaknya. Jasmi yang selama ini berangan-angan dan membangun mimpi indah, mimpi itu adalah kemampuannya mempersembahkan kegadisannya di malam pertama hanya kepada sang suami siapapun suaminya nanti, dan tidak akan melakukan itu sebelum sah menjadi seorang isteri dan melewati gerbang ijab, mendadak merasakan ajakan itu sebagai sebuah mimpi buruk. Namun Jasmi membeku, ajakan itu memang menggodanya, setidak-tidaknya meski sesaat perlu ditimbangnya. "Apakah kau sependapat denganku?" desak Gimpul dengan berbisik, dengan wajah lurus ke depan, tidak menoleh. Jasmi merasa dadanya agak bergetar, mengombak kembang kempis. Sikut Gimpul menyentuh dadanya, layaknya seperti tidak disengaja. Beberapa kali Gimpul melakukan itu dan tetap saja layaknya tidak disengaja. "Aku kurang sependapat kang Gimpul." jawab Jasmi agak bergetar. "Yang kuinginkan, aku akan menyerahkan tubuhku seutuhnya pada suamiku, di malam pertama perkawinan. Itu angan-anganku." Gimpul manggut-manggut, senyumnya merekah. Ah, soal malam pertama itu nanti atau sekarang, pada dasarnya sama saja. Yang penting adalah, hanya dengan cara itu orang tuamu tidak akan bisa menolak keinginan kita yang ingin menyatu dan tak terpisahkan untuk hidup bersama berdua." Betapa bersungguh-sungguhnya Gimpul dengan ucapnya membuat Jasmi bimbang. Apalagi ketika Gimpul melanjutkan, "Mau ya Jas? Mari kita lakukan dengan niat itu." Jasmi terkaget-kaget

"Di sini?" bertanya Jasmi dengan keluguannya. Gimpul menyembunyikan rapat-rapat tertawanya. Wajahnya membeku dalam kesungguhan, tetapi di dalam hatinya melebihi riuh ombak laut yang menghantam tebing pantai Grajagan. Pertanyaan itu jelas menunjukkan indikasi tergoda. "Tentu saja tidak di sini, di rumahku." berkata Gimpul. Jasmi sangat bimbang. Di dalam dadanya terjadi perang dan peluh membasahi kening. Tetapi akal warasnya masih ada. "Jangan kang, aku tidak mau." tolaknya. Gimpul tahu jawaban itu yang bakal diterimanya. "Kenapa?" bertanya Gimpul. "Aku takut." jawab Jasmi. Gimpul memegang tangan Jasmi. Dituntunnya Jasmi menyelinap dari riuhnya penonton, yang segenap perhatiannya terpusat pada paju yang sedang memburu penari gandrung, seperti jago mengejar babon, meliuk-liuk dengan akal waras kehilangan sebagiannya, karena pengaruh minuman alkohol. Apalagi minuman itu ciu yang konon dikulak dari sebuah tempat bernama Mojolaban itu dicampur dengan abu rokok. Jago minum macam apapun akan klenger. Kang,...jangan. Jasmi menolak. Maka kenangan itu mana bisa terhapus dari benak Jasmi. Itulah saat pertama ia terperangkap dalam pusaran persoalan yang membuatnya pusing tujuh keliling. Semalaman Jasmi sesenggukan ketika segalanya telah berakhir. Namun yang terjadi bukanlah permukaan air yang tenang kembali setelah ditepuk. Jasmi merasa ada sesuatu pada dirinya yang telah robek dan tak mungkin kembali pada keadaannya semula. Jasmi bahkan cenderung merasa menjadi wanita yang menyandang nista. "Mbok.." Jasmi agak ragu saat akan mengadu esoknya.

Mbok Kampun memutar susur di mulutnya. Rasa-rasanya sudah jarang orang makan sirih memutar susur yang berlepotan gambir dan enjet. Ketika orang lain sudah menggunakan odol, mbok Kampun masih setia dengan wanci kinangannya. Jika kelak mbok Kampun mati, pasti tidak akan ada orang yang melanjutkan keprigelannya yang satu itu. Hanya orang yang gemar kinang yang mampu meludah memuncratkan air liur dengan kecepatan tinggi, hingga lalatpun sulit menghindar. Crottt. "Ada apa?" jawab mbok Kampun yang suaranya tidak begitu jelas. Liur kinangnya muncrat melewati pintu. Dubang itu membentuk bercak merah di sana, yang menyebabkan dua anak ayam terkaget-kaget dan sibuk melarikan diri me-minta perlindungan babonnya. Jasmi sangat ragu. Berani? Tidak? Namun Jasmi ingat semalam, ingat dirinya telah terenggut, dan Gimpul harus bertanggung-jawab. Maka segera dikumpulkannya semua keberanian yang dimilikinya. "Aku mau membicarakan sesuatu." ucap Jasmi. "Soal apa?" tanya mbok Kampun datar, melirikpun tidak. "Tetapi mbok, sebelumnya simbok jangan marah dulu." Jasmi menawar keadaan. Barulah mbok Kampun menoleh, tatapannya penuh selidik. "Ada apa to?" mbok Kampun heran. Ketika mbok Kampun mencuatkan alisnya. Jasmi gamang, amat ragu-ragu, dan serasa serak mengganjal lehernya. "Besok kang Gimpul akan datang kemari." Hah? mbok Kampun terkaget-kaget. Jasmi membutuhkan tenaga dan keberanian untuk mengungkapkan kata-kata itu. Begitu berat, namun lolos juga dari mulutnya. Mbok Kampun tidak begitu senang, susurnya diputar dengan sepenuh tenaga bahkan melewati wilayah

bibirnya. Andaikata warna merah itu gincu, maka itulah gincu yang keterlaluan. "Mau apa dia datang kemari?" tanya mbok Kampun Jasmi merasa ngeri. Mulutnya terkunci. "Mau apa dia kemari?" ulang mbok Kampun. "Maksudnya mau...mau melamarku." balas Jasmi dengan menunduk. Mbok Kampun terlonjak hingga susurnya mau jatuh. Perempuan tua itu segera turun dari amben serta mengambil jarak dari anak gadisnya sambil memandanginya dengan tatapan yang ganjil. Matanya mulai menteleng, bisa-bisa mecotot satu senti ke depan. "Kau menjalin hubungan dengan pemuda bejat itu?" serapah mbok Kampun. Jasmi tak punya pilihan lain kecuali membela diri. "Simbok jangan menilai kang Gimpul hanya luarnya saja." Mbok Kampun menggigil. Ingat Gimpul menyebabkan mbok Kampun ingat pada tetangganya yang tak jauh dari rumahnya, mbok Rikin. Entah apa yang diingatnya, tetapi sesuatu yang sanggup memaksa mbok Kampun mau muntah. "Dari luarnya saja sudah kelihatan. Gimpul itu bukan laki-laki yang baik. Ia lelaki bejat. Dan aku tidak ingin mempunyai mantu lelaki bejad." sergahnya dengan ganas, membuat Jasmi gelisah. Jasmi menjadi gamang, namun Jasmi ingat semalam, ingat dirinya telah terenggut, ingat dirinya telah tidak punya harga jual karena telah terenggut. Jasmi lebih membulatkan tekad lagi. Jasmi memaksa dirinya untuk tidak surut, harus maju terus apapun yang akan terjadi. "Tadi sudah kukatakan mbok, janganlah menilai orang itu hanya dari luarnya. Simbok jangan gampang mengambil kesimpulan." Jasmi membela diri. Mbok Kampun kian mendelik. "Simbok ini sudah tua Jasmi, sudah banyak makan asam garam. Kau belum lahir saja, simbok sudah kasinen isi dunia ini. Simbok tahu siapa si Gimpul itu. Ia memang pemuda

tampan, simbok tahu. Tetapi ia menggunakan ketampanannya itu untuk menjeratmu, juga menjerat gadis-gadis yang lain. Janda-janda juga mau. Bahkan perempuan yang sudah tua nenek-nenek juga dirayunya. Lelaki macam apa itu namanya? Tukang ngrusak pager ayu. Apa kamu tidak pernah mendengar bagaimana tingkahnya di luar sana?" Jasmi terpaksa menggugah keberaniannya, untuk digunakan mendebat simboknya. "Itu yang dikatakan orang, itu fitnah. Kang Gimpul sendiri mengatakan kepadaku kalau semuanya itu fitnah saja. Hanya ulah orang-orang yang tidak senang kepadanya, lalu mengarang cerita ra nggenah. Padahal kenyataannya tidak sama sekali. Orang-orang itu saja yang kedanan pada kang Gimpul karena kebetulan kang Gimpul orangnya tampan." Mbok Kampun seperti tersenggol setrum dan beranjak marah, nada suaranya bahkan meninggi. Jasmi tiba-tiba ingat kalau simboknya itu punya tekanan darah tinggi. "Kamu sendiri termasuk orang yang kedanan lanangan itu. Kamu sudah gatelen namanya. Kamu yang kesengsem karena itu Kamu tak memikirkan apapun?" sergap mbok Kampun seperti berondong jagung yang merledak meletup-letup. Jasmi cemas. ......Lalu bagaimana mbok?" desisnya. "Simbok tak mengijinkan kau kawin dengan lelaki itu." Tegas jawaban simboknya. Dan itu tidak mungkin ditawar lagi. Jasmi ngeri juga membayangkan kalau tekanan darah tinggi itu kumat, Simboknya sanggup marah tanpa kendali. Bahkan pak Lurah Brongot, orang nomor satu di desa Tegaldlimo itu pernah merasakan dampratnya. Segala sumpah serapah dan omongan yang paling kotor sanggup keluar dari mulut mbok Kampun gara-gara pak Lurah kelepasan omong jorok. "Lurah macam apa kamu itu? Omonganmu kok seperti itu?" demikian dampratnya kala itu. Jasmi juga ingat ketika televisi hitam putih satu-satunya yang mereka miliki pecah

berantakan dihantam bakiak gara-gara mbok Kampun tidak berkenan melihat Mike Tyson menghajar lawannya hingga babak belur. Mbok Kampun begitu emosi setiap melihat Mike Tyson, mbok Kampun yakin si leher beton itu lahir dari perselingkuhan seorang wanita dengan seekor badak, mungkin badak dari Ujung Kulon. Rupanya pembicaraan itu didengarkan dengan baik oleh pak Kampun yang sedang leyehleyeh di atas dingklik panjang yang baru saja dibuatnya. Pak Kampun bergegas masuk ke dalam rumah dan memandangi Jasmi dengan tatapan mata yang agak aneh. Belum lagi pak Kampun mengucapkan sesuatu, isterinya sudah mendahului, "Ini, anakmu wedok sudah gatelen lanangan." Kalimat itu dirasakan Jasmi agak kasar. Jasmi memprotes. "Ahhh, simbok kok ngomong begitu to?" Dengan gupuh perempuan ubanan itu meracik kinangan yang baru. Selembar daun sirih dibukanya, diberi enjet sedikit, secuil gambir, seujung kuku buah jambe. Dikremus-kremus seperti sesuatu yang amat lezat. Entah seperti apa sebenarnya rasa makan sirih dengan bumbu kapur seperti itu. Apalagi buah jambe yang direndam di dalam air sampai berhari-hari di mana jentik-jentik bibit nyamuk ikut berbiak di sana. Makan sirih tidak ubahnya merokok, membuat yang gemar menjadi ketagihan. Konon menurut mbok Kampun, tidak makan sirih seperti orang yang tidak bersikat gigi sekaligus membuat badannya lemas. Lebih baik tidak makan nasi daripada tidak makan sirih. Tidak makan sirih risih. Dengan wajah yang jelas tidak senang mbok Kampun melirik anak gadisnya. Jasmi yang bersirobok menundukkan wajah. "Anakmu wedok njaluk rabi." ucapnya agak tak jelas karena mulut yang terganjal tembakau. Pak Kampun memandang Jasmi.

"Rabi?" "Ya." jawab isterinya lugas berbau sengal. "Namanya juga sudah perawan, sudah saatnya untuk berumah tangga" ucap Pak Kampun agak bijak dan itu agak memberikan ketenangan pada anak gadisnya. Mbok Kampun kecoh, dubangnya muncrat menerjang pintu. Seperti cat merah yang meleleh terlalu encer. "Kamu mau mengambil Gimpul yang doyan main perempuan itu sebagai anak menantumu?" tanya mbok Kampun meledak seperti kompor nggebros, karena nggebros pula ludah merahnya. Pak Kampun njondil kaget. Nama Gimpul disebut, memang sanggup membuatnya miris. Pak Kampun menatap Jasmi dengan pandangan tidak percaya. Sulit percaya anak gadisnya bisa menjalin hubungan dengan lelaki yang pernah menggandeng sutris, eh, turis itu. "Gimpul?" pak Kampun masih terlalu sulit percaya. Jasmi menunduk. Jasmi menyesal karena telah terlanjur mengutarakan masalah itu. Seharusnya tak perlu disampaikan, seharusnya apa yang terjadi semalam tidak perlu mendorongnya nekad membicarakan masalah itu dengan bapak dan simboknya. Mbok Kampun memandang suaminya. Apa ada Gimpul yang lain?" tanya mbok Kampun. Pak Kampun mencuatkan alis. Takjub betul lelaki yang rambutnya sudah putih semua itu. Takjub yang sekaligus mewakili rasa cemas orang tua yang melihat anak gadisnya berada dalam bahaya, seperti kecemasan seorang bapak yang melihat bayinya merangkak sampai di bibir sumur. Sedikit saja, terperosok. "Betul lelaki itu Jas?" tanya pak Kampun. Jasmi mengangguk. Suaranya terbata, "Kang Gimpul akan datang untuk melamarku."

Sudah lama sebenarnya pak Kampun mengangankan kedatangan tamu untuk melamar anak gadisnya. Pak Kampun merasa risih melihat Jasmi sudah perawan tetapi belum kawin juga. Sementara anak pak Sumber yang umurnya baru lima belas tahun malah sudah ngemban bayi. Akan tetapi kalau Gimpul yang melamar anaknya? Mengapa harus Gimpul? Mengapa bukan pak Saadilah Sardi yang sudah jelas punya pekerjaan sebagai Guru SMP meski swasta. Atau mengapa bukan anak mbok Pawiro yang baru lulus dari Akmil, yang kalau pulang kampung bikin para orang tua gugup berebut ingin mengambil sebagai menantu. Mengapa Gimpul? Mengapa harus laki-laki itu? Pak Kampun bertanya dengan nada yang agak sareh, "Lha kok dadakan to Jas? Mengapa mendadak sekali? Selama ini kau tidak pernah bercerita apapun pada bapak, simbokmu juga tidak pernah rembukan. Tahu-tahu kamu mengatakan, besok akan ada tamu yang datang untuk melamarmu?" Jasmi yang menunduk menengadahkan wajah. Lagi-lagi Jasmi segera mengalihkan pandangan ketika bersirobok dengan simboknya. "Lha kang Gimpul menyampaikannya juga baru tadi." jawab Jasmi. Jawaban itu menyebabkan mbok Kampun meradang. Seperti ada bisul nongol di lobang hidung, sakitnya bikin pusing. "Pokoknya tidak boleh. mbok Kampun marah Aku tak mengijinkan Jasmi kawin dengan lelaki yang bisanya hanya adol bagus itu. Lelaki macam itu kalau jadi suamimu, hanya bikin hidupmu nanti seperti neraka." Pak Kampun sependapat. "Rasanya apa yang dikatakan simbokmu benar nduk. Orang berumah-tangga itu banyak godaannya. Orang berumah-tangga itu bukan untuk mainan. Orang rabi itu untuk selamanya. Sekali saja kamu gagal, maka sebutanmu sudah bukan perawan lagi, akan tetapi rondo. Janda. Itu memalukan sekali."

Jasmi gelisah. Jasmi ingat semalam. Jasmi menggigil ketika teringat tangan Gimpul menggerayangi tubuhnya, mencubitnya dan mencangkulinya. Jasmi merasa ludah di bibirnya terasa pahit. "Kang Gimpul mengajakku hidup berumah tangga bukan untuk mainan pak, tetapi bersungguh-sungguh." Jasmi menawar. Pak Kampun manggut-manggut. Orang tua mana yang tidak cemas melihat langkah anaknya akan melenceng. Anak gadisnya tengah bergaul dengan serigala, padahal Jasmi bukan jenis serigala. Jasmi hanya seekor anak kambing yang bisa diterkam. Kalau sudah diterkam bisa apa? Bapak bukan orang tua yang berfikir kuno Jas. Bapakmu tidak akan memaksa anak untuk kawin dengan lelaki yang dipilihnya. Terserah yang bersangkutan mau kawin dengan siapa. Biar anak cari sendiri siapa yang akan menjadi calon suaminya. Akan tetapi syaratnya lakilaki itu harus baik. Layak untuk menjadi suami. Kalau Gimpul itu?, dia bukan pemuda yang baik. Dia sudah menjadi buah bibir semua penduduk desa ini. Wis mati pasaranne." Jasmi menunduk. Seperti yang telah diduganya, bapaknya ternyata tidak setuju. Tak merestui. "Untuk urusan ini nampaknya bapak sependapat dengan simbokmu. Bapak tidak akan menghalangi kau akan kawin dengan siapapun, tetapi janganlah dengan lelaki itu. Gimpul bukan lelaki yang baik." ucap pak Kampun amat sabar. Mbok Kampun kecoh lagi, dubangnya melesat menyambar ekor ayam yang sedang nuthuli makanan di halaman. Dua ekor ayam itu terbirit-birit. Kalau ada orang gendeng mengadakan lomba jauh-jauhan meludah, mungkin mbok Kampun tentu tak akan tertandingi, kecuali oleh almarhumah mbok Keminah, yang juga jago nginang. Mbok Kampun senang karena suaminya membela. Biasanya untuk urusan anak, Pak Kampun sering tidak sepaham. "Nah, kau dengar sendiri itu? bapakmu saja tak setuju. Tidak ada ceritanya orang tua tidak

menginginkan anaknya hidup bahagia." tambah mbok Kampun. Jasmi amat ragu, apakah harus disampaikan apa yang terjadi semalam? "Tetapi mbok,...." desahnya teramat gamang. Mbok Kampun melotot. Tanda-tanda tekanan darah tingginya semakin menampak. "Bagaimana?" bentaknya. "Aku sudah hamil mbok." ucapnya lirih dengan kepala ditekuk. Gila. Akhirnya keluar juga kalimat itu. Jasmi merasakan dadanya tiba-tiba menjadi sesak, gemuruh. jawaban itu berarti petir yang meledak bagi mbok Kampun, yang kehadirannya tanpa kulonuwun, tanpa ada hujan atau mendung. Mbok Kampun terdiam tak bisa berbicara lagi. Akan halnya pak Kampun seperti merasa disengat oleh kelabang. Pak Kampun mengira, kisah gadis dinodai orang tidak akan terjadi pada keluarganya karena pendidikan telah ditabur dengan baik, karena pengawasan telah dijaga dengan ketat. Tetapi bukankah tak ada pengawasan yang tak mungkin kebobolan. Dalam kesebelasan sepakbola, penjaga gawang adalah palang terakhir yang bertanggung jawab agar bola tidak masuk. Tetapi gol demi gol telah menerjang dengan gemilang di jaring gawang. Jasmi ternyata bukan penjaga gawang yang baik. Di saat Gimpul menggiring bola, Jasmi malah mempersilahkannya. Beberapa detik mata mbok Kampun terbelalak. Bahkan Mbok Kampun sampai tersedak hingga sebagian susurnya tertelan, sebagian yang lain jatuh ke tanah. Perempuan tua itu menggigil, tanda-tanda tekanan darah tingginya akan datang semakin kelihatan. Tarikan nafasnya mulai mengombak, Jasmi menjadi amat cemas. "Ya Allah, Astaghfirullah aladzim, ...Jas" mbok Kampun melengking. Susur berlepotan di mulutnya terjatuh bersamaan dengan tangannya yang mendadak buyuten. "Kau ini bagaimana, Jas? Kamu kok sudah hamil? Begitu mudah kau melakukan nduk?

Kamu belum kawin. Apa yang kamu lakukan itu membuat malu bapak dan simbokmu, tidak sadarkah kau akan hal itu Jas? Bagaimana kamu ini?" Mbok Kampun menggapai puncak kecewa. Mbok Kampun nggloso di atas tanah. Slonjor seperti prawan sunti bermain sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo. Jasmi menunduk dan mencoba meminta maaf, "Aku minta maaf mbok. Aku mengaku salah, aku tak menjaga diri." Mbok Kampun masih larut di dalam kekecewaan yang luar biasa. Membayangkan anaknya telah hamil, dihamili oleh seorang lelaki bernama Gimpul, menjadi sebuah kengerian yang tiada tara, jauh lebih ngeri dari membayangkan kejatuhan seekor kerbau. Bayang bayang aib yang sangat besar seperti menari-nari, berjoget dengan iringan tetabuhan yang merusak gendang telinga. "Lha kok begini? Kok anak kita seperti itu?" mbok Kampun gemetar. Sebaliknya pak Kampun hanya bisa menghela tarikan nafas kecewa. Kekecewaan yang ditelan melebihi pahitnya butrowali. Butrowali memang bukan racun, tetapi pahitnya minta ampun. "Kau sudah hamil?" pak Kampun bagai tidak percaya. Jasmi menunduk. Jasmi tidak menjawab. "Sudah berapa bulan?" desak pak Kampun. "Sudah dua bulan." jawab Jasmi sambil menenggelamkan wajah. Pak Kampun memang layak kecewa. Beberapa bulan yang lalu dia mencibir ketika mendengar anak tetangga, kebetulan tetangga yang tidak begitu disenanginya hamil karena kecelakaan. Pak Kampun bersorak senang melihat kemalangan tetangga itu. Tetapi kini aib itu bahkan singgah pada anaknya, berlepotan sampai dua bulan pula. Tetangga yang dilanda aib itu tentu balas menyorakinya. Mbok Kampun merasakan dadanya semakin nyeri.

Pak Kampun menerawang pandang. "Kok begitu gampang kau melakukan Jasmi? Bukankah kau belum nikah? Atau, apakah semua ini memang disengaja oleh laki-laki itu agar kami merestui? Begitu?" Sebenarnya tepat benar apa yang diduga bapaknya, bahwa semuanya itu hanya akalakalan agar keinginannya kawin dengan Si Gimpul direstui. Ditodong dengan mengaku hamil memang akan menyebabkan pak Kampun dan isterinya merasa tidak punya pilihan lain kecuali merestui. Hanya itu cara yang bisa ditempuh agar ia diijinkan kawin dengan lelaki yang telah menjadi idaman hatinya. Jasmi membutuhkan keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya lebih jauh, ia membulatkan tekad. "Kami saling mencintai pak, restuilah kami untuk berumah-tangga." kata Jasmi. Kata-kata yang diucapkan Jasmi itu begitu lirih dan seperti pasrah bongkokan, mau diapakan terserah, mau dibunuh terserah. Hal itu justru membuat pak Kampun tersentuh. Jasmi itu anaknya, yang lahir dari tetesan darahnya. "Kau keluar sana dulu. Bapak akan membicarakan dengan simbokmu." kata pak Kampun setelah gejolak dadanya mereda. Jasmi meninggalkan ruangan itu menuju ke halaman. Salatun yang ternyata nguping dari luar memandangi kakak perempuannya dengan tatapan mata heran. Sangat heran. Yu Jasmi akan rabi dengan kang Gimpul?" tanya Salatun. Namun Jasmi diam tidak berminat menjawab. Ia ingat semalam Gimpul menggerayanginya. Sebenarnya semalam kesadarannya sempat menyelinap. Jasmi sempat memunculkan gagasan untuk melawan. Namun Gimpul seorang laki-laki yang sudah punya jam terbang cukup panjang untuk urusan seperti itu, hingga Jasmi dengan sukses berhasil digilasnya. Tangis riuh di belakang adalah penyesalan yang tiada guna. Di ruang tengah masih hening, mbok Kampun masih nggloso di lantai. Suaminya hanya

memandangi beberapa saat tanpa melakukan sesuatu. Juga tidak mengangkat tubuhnya agar duduk di kursi atau membopongnya ke bilik agar wanita tua itu terbebas dari lilitan tekanan darah tingginya. Kalau mbok Kampun sampai merobek-robek pakaian yang dikenakan maka itu pertanda denyut jantungnya meninggi dan pak Kampun harus waspada dan bersiap diri. Pak Kampun melirik wanci kinangan, diambilnya selembar daun sirih, diambilnya sedulit enjet secuil gambir secuil buah pinang, kemudian diserahkannya racikan itu pada isterinya. Perempuan tua yang klenger itu bereaksi. Baginya memang hanya kinangan yang bisa menenangkan dirinya, bukan suntikan dari dokter, bukan yang lain. Maka mbok Kampun dengan lahap mengunyah racikan sirih itu. Setelah beberapa saat berhenti, kecohnya kembali muncrat melesat cepat melewati pintu jatuh ke halaman. Mbok Kampun benar-benar jorok, karena di mana-mana senyampang berada di setiap sudut rumahnya, selalu ditemukan jejak-jejaknya. Barulah kemudian pak Kampun menuntunnya untuk berdiri dan duduk di kursi. Makan sirih memang mujarap, sejenak kemudian mbok Kampun sudah bisa menguasai diri. Bagaimana?" bertanya pak Kampun dengan segudang keprihatinan yang ada di rongga dadanya. Keadaan anakmu sudah seperti itu, apakah kita akan membiarkan begitu saja? Menurutmu apa yang harus dilakukan?" Digiring seperti itu mbok Kampun emosi. "Aku tidak mau ngurus, terserah keputusan apa yang akan kau ambil. Terserah," jawabnya dari dadanya yang sesak. "Jangan begitu. Keadaan ini masih bisa diselamatkan. Kehamilan Jasmi baru dua bulan. Kita masih punya waktu untuk mengawinkan mereka." "Terserah kalau kau akan mengawinkan, kawinkan saja. Tetapi aku tidak merestui. Aku tidak akan pernah merestui anakku kawin dengan lelaki yang gemar adol bagus itu." teriak mbok Kampun.

Pak Kampun berusaha tenang. "Tetapi Jasmi hamil. Berfikirlah yang jernih apa artinya itu? Artinya aib menimpa keluarga kita. Kalau Jasmi mbobot tanpa suami apa jadinya? Semua orang akan mencibir, menghina kita. Malu sekali." "Terserah kau, terserah apapun yang akan kau lakukan." balas mbok Kampun. Akhirnya mbok Kampun tak kuat lagi. Suaranya melengking meninggi. Cerita yang pernah didengarnya dari mbok Rikin serasa terngiang kembali dan membuatnya akan muntah. Oo, bukan akan, ternyata mbok Kampun malah muntah sungguhan. Pak Kampun gugup dan mencoba memperhatikan. Pak Kampun baru lega ketika melihat muntah berwarna merah itu bukan darah, tetapi dubang yang tercipta dari kombinasi susur dan sirih. Mbok Kampun mendelik-delik. Mbok Kampun berusaha menenangkan diri hingga apa yang diucapkannya terbata-bata, "Undang saja naib untuk mengesahkan mereka. Aku tidak ingin mantu besar-besaran. Kemudian aku tidak ingin rumah ini ketempatan Gimpul itu." Pak Kampun heran. "Jasmi bagaimana?" tanya pak Kampun. "Jasmi boleh saja tinggal di rumah ini akan tetapi tidak untuk laki-laki nggilani itu." sergah mbok Kampun melalui nafasnya yang tersengal deras. "Calon mantumu bernama Gimpul itu lelaki yang tidak waras. Apa kau ingin pada suatu malam ia nggremeti mertuanya sendiri?" Pak Kampun beranggapan pendapat isterinya itu terlampau berlebihan. Masak ada menantu tega nggremeti mertua? "Kok kau ngomong begitu?" tanya pak Kampun. "Aku ngomong itu ada dasarnya. Gimpul itu lelaki cluthak, thukmis. Kambing dibedaki dia juga mau. Sapi mulus putih dianggap perempuan. Kau tahu yu Rikin apa tidak?"

"Yu Rikin?" tanya pak Kampun heran. Ada apa dengan yu Rikin? Mbok Kampun tersengal. Ada sesuatu yang merangsangnya untuk muntah. Tetapi mbok Kampun masih berusaha menahan sekuat tenaganya. "Kau hitung, umurnya tua mana dengan aku?" tanya isterinya. "Lebih tua yu Rikin." jawab pak Kampun. Rasa herannya semakin meningkat. "Nah, yu Rikin yang sudah kempong perot jambul wanen itu saja laki-laki munyuk Gimpul mau dengan yu Rikin. Aku tidak omong kosong pakne. Yu Rikin yang janda tua tetapi masih gatelen itu cerita sendiri kalau ia pernah mengundang Gimpul datang ke rumahnya dan membayar. Lumrahnya yang dibayar itu lonthe perempuan, tetapi ini lonthe lanang. Apa orang seperti itu akan kau ambil sebagai menantu?" Pak Kampun tentu hanya bisa menghela nafas. Ternyata lelaki macam itu yang akan menjadi menantunya? Pak Kampun merasakan dadanya makin sesak dan perih. Akan halnya Jasmi, sebenarnya terlonjak kaget mendengar percakapan bapak dan Simboknya yang masih bisa diikuti meski ia berada di halaman. Apa benar seperti yang dikatakan simboknya, Gimpul doyan mbok Rikin yang sudah tua itu? Apa karena mbok Rikin bertubuh gemuk sehingga Gimpul mau? Padahal mbok Rikin itu sudah tua, kalau dijerang di atas api bahkan tubuhnya yang gemuk itu dagingnya tidak akan empuk. Alot. Tetapi lagi-lagi Jasmi ingat semalam. Ingat dirinya telah terenggut, dan Gimpul harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Apalagi kalau benih yang ditabur itu menjadi bibit. Gawat kalau ia punya anak tanpa bapak. Salatun yang diam akhirnya buka mulut. "Yu," Salatun bicara dengan tenang. Jasmi menoleh, dan rasanya tidak begitu suka diajak berbicara oleh adiknya. "Ada apa?" Jasmi balik bertanya dengan malas. "Kau akan kawin yu? Dengan kang Gimpul?"

"Ya." jawab Jasmi mantab. "Oooo," Salatun menggumam dengan mulut bulat. "Kenapa?" balas Jasmi datar. Simbok nampaknya tak merestui." balas Salatun. Suara Jasmi kemudian terdengar agak serak dan emosi. "Kalau simbok tidak mengijinkan, lebih baik aku minggat saja. Tidak tinggal di rumah ini juga tidak apa-apa. Tidak dianggap anak juga tak apa-apa." Salatun sampai terkaget-kaget oleh kesungguhan kakak perempuannya itu. Sudah diapakan Jasmi sehingga begitu ngotot? Tetapi rupanya Salatun sudah pernah mendengar kisah tentang mbok Rikin. Salatun cemas. Salatun merasa perlu mengingatkan kakaknya akan hal itu. "Semua orang, maksudku, banyak orang di Tegaldlimo ini yang membicarakan hubungan antara kang Gimpul dengan mbok Rikin. Mbok Rikin sendiri perempuan yang tidak tahu malu, di mana-mana ia mengumbar cerita itu. Mengapa kau justru mau kawin dengan lelaki macam itu yu?" Jasmi sebenarnya gelisah. Ia gugup dan tidak tahu harus mengatakan apa. Namun soal ini memang harus dituntaskan tanpa sisa. Jasmi merasa perlu membicarakan hal itu dengan Gimpul. Orang lain boleh bercerita macam-macam, tetapi ia baru akan percaya setelah mendengar sendiri bagaimana penjelasan Gimpul. Jasmi ragu, rasanya tak mungkin Gimpul mau dengan perempuan yang sudah sedemikian tua dan bahkan pantas disebut sebagai neneknya. Apa yang akan diperoleh dari nenek tua macam mbok Rikin itu. Hal itu pasti pekerjaan orang-orang yang tidak suka dengan Gimpul, pada kenyataannya memang banyak orang yang tidak suka lalu mengarang cerita macam-macam. Jasmi yang menunduk menoleh ke adiknya. "Jadi menurutmu, cerita mengenai kang Gimpul dengan mbok Rikin itu benar sehingga

aku harus mempercayainya?" Salatun memandangi kakaknya dengan tajam, sebenarnya bermuatan kecemasan kalau kakak perempuannya itu sampai tergelincir. "Tak mungkin ada asap kalau tak ada apinya." jawabnya. "Jadi kaupun percaya? Kang Gimpul adalah jenis lelaki macam itu? Kau tidak bisa berfikir Tun." jawab Jasmi. Salatun manggut-manggut. "Yu. Kupikir justru kaulah yang tidak bisa berfikir bening, Kalau boleh kukatakan, saat ini mata hatimu justru sedang tertutup. Kau sedang kasmaran kepada kang Gimpul, sehingga kau tidak bisa lagi melihat kejelekan dan kekurangan yang ada padanya. Yang terlihat hanyalah yang baik-baik saja. Coba kalau tidak, maka kau akan memikirkan apa yang tadi disampaikan simbok. Mungkin saja benar kang Gimpul pernah melakukan sesuatu seperti yang diceritakan mbok Rikin itu. Lagi pula untuk apa mbok Rikin mengobral cerita macam itu pada simbok? Jasmi nampaknya tak kuat diterjang argumentasi adiknya macam itu. Apalagi saat Salatun lebih memberikan tekanan, Mbok Rikin pernah menceritakan hal itu pada simbok. Malah mbok Rikin menawari simbok kalau mau melakukan. Coba, bagaimana itu yu?" tanya Salatun. "Ya Allah,..." Jasmi gemetar. Seluruh tubuh dan jiwanya bermetar. Salatun makin mendesak kakaknya. "Apakah kau benar-benar mencintai kang Gimpul yu? Yakinkah kau, atau... jangan-jangan karena hal lain?" Jasmi tidak menjawab. Kelopak matanya mulai berkaca-kaca. Ada juga penyesalan yang mengkoyak-koyak begitu kuat, mengapa semalam ia begitu lemah, begitu gampang menyerah. Mengapa ia menjadi kambing membiarkan diri diterkam serigala Gimpul itu. Jasmi bingung-ngung-bingung.

Salatun yang kritis semakin mendesak kakaknya. "Bagaimana yu?" Jasmi menahan sesak, dadanya mengombak. Ia butuh ruang untuk berteriak meneguhkan isi hatinya, bahwa ia tak punya pilihan lain, kecuali harus melewati jalan yang telah tersedia. Bibir gadis yang sudah tidak gadis itu bergetar. Jiwanya gemetar. "Sayang sekali aku tak mungkin surut." jawabnya. Sebuah jawaban yang lirih namun penuh muatan keyakinan. Salatun terus mengejar. "Artinya, yu Jasmi sudah dimakan olehnya?" tanya Salatun. Jasmi menunduk. Matanya memejam. "Ya. Aku telah menyerahkan kegadisanku kepadanya." jawab Jasmi. Jika sudah demikian keadaannya apa boleh buat, mau apa lagi? Ini sungguh merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi Salatun. Dengan demikian Salatun akan lebih berhatihati. Tetapi kalau hanya sekedar dinodai saja, apa salahnya disiasati. Dinodai tidak harus dilanjutkan dengan menuntut tanggung-jawab, apalagi dari lelaki macam Gimpul. Lagi pula, kejadian itu bisa dibungkus rapi sebagai sebuah rahasia yang hanya diketahui kalangan yang masih terbatas. Salatun bangkit dan kemudian duduk tepat di depan kakaknya itu. "Apa yang sudah terjadi tidak perlu disesali. Yu Jasmi akan mengalami kepahitan yang berkepanjangan kalau nekad menikah dengan kang Gimpul. Meski yu Jasmi sudah dinodai lebih baik hubungan itu tak usah dilanjutkan. Jangan kawin dengan lelaki macam itu." Wajah Jasmi memerah. Ingin dia meletupkan tangisnya, namun ia tahan letupan itu sekuat tenaga. "Aku sudah mbobot Tun. Aku hamil dua bulan. Jika sudah seperti ini keadaanku, apa aku harus mundur?" Salatun terlonjak kaget. Serentak Salatun memandang perut kakaknya. Rasanya tidak ada

perubahan pada tubuh kakaknya itu. Jasmi terlihat segar bugar, tidak seperti pada umumnya wanita yang hamil muda, yang tampil pucat dan bahkan gampang muntah. Selama ini Salatun tak pernah melihat gejala-gejala hamil muda itu pada kakaknya. "Apa iya kau sudah hamil dua bulan yu? Rasanya kau tidak seperti orang yang sedang hamil. Perutmu kecil saja, apakah benar kau hamil yu?" desak Salatun. Didesak macam itu menyebabkan Jasmi menjadi gugup. Jasmi cemas kalau sampai ketahuan dirinya tak hamil. Padahal hanya itu senjatanya untuk memaksa bapak dan Simboknya mengijinkan dia kawin dengan si kekasih pujaan hatinya, Iwan Gimpul Marjuni. Salatun mendekat membusai perut kakaknya. Jasmi menepis. "Tanda-tandanya bagaimana yu? kau sudah mual-mual begitu? Sudah ingin makan yang kecut-kecut seperti biasanya orang yang nyidam itu? Kok aku tak pernah mendengar kau muntah yu? Haa, kau bohong ya? kau pasti pura-pura hamil supaya bapak dan simbok mengawinkanmu dengan kang Gimpul?" berondong Salatun. Jasmi amat tidak senang dengan pertanyaan itu. Ia hanya memandangi adiknya. Jasmi cemas kalau sampai Salatun membongkar rahasia bahwa ia sebenarnya tidak hamil. Salatun sebenarnya sangat curiga kakaknya itu tidak sedang hamil. "Kalau kau mau mendengar saranku yu, kalau kau tidak benar-benar hamil, lebih baik batalkan saja. Kalau hanya dimakan saja, belum ada yang tahu apa yang menimpamu. Kau masih kelihatan seperti prawan. Renungkan dulu itu yu." Salatun menasehati. Bujukan itu sangat menggoda. Apalagi saat ingat cerita tentang mbok Rikin. Jas-mi bingung dan rikuh membayangkan saat di pelaminan nanti mbok Rikin datang, mungkin maksudnya untuk mbecek, atau sekedar bantu-bantu sibuk di dapur. Betapa risihnya. Apalagi apabila mbok Rikin nanti menyalaminya sambil melirik suaminya. Ya Tuhan. Akan tetapi lagi-lagi Jasmi ingat semalam. Baginya, jika ada seorang lelaki telah

merenggutnya, maka laki-laki itu harus bertanggung-jawab dan menjadi suaminya. Bagaimana seandainya yang melakukan seorang lelaki yang telah beristeri? Jasmi bahkan tidak sempat berfikir akan hal itu. Tak ada pilihan lain, maju terus pantang mundur. "Aku sudah melakukan hubungan suami isteri itu dengan kang Gimpul, apakah aku harus mundur? Tidak Tun. Orang itu telah merenggut kegadisanku, maka ia harus bertanggung jawab. Ia harus mengawiniku. Kalau selama ini ia memang benar seperti yang didesasdesuskan orang, apa boleh buat aku menerima kenyataan itu." jawab Jasmi pasrah. Nampaknya Jasmi hanya melihat satu pilihan. Pilihan yang lain yang bisa menjadi alternatif tidak diliriknya sama sekali. Ibarat cincing-cincing klebus, maka diseberanginya sekalian. Biar basah kuyup tidak apa. Apa boleh buat. Kenyataan yang dihadapi Jasmi ternyata terlampau pahit. Angan-angan selalu tidak sesuai dengan kenyataan. Maka demikianlah, Akhirnya Pak Kampun memang mengawinkan anaknya dengan si Iwan Gimpul Marjuni, tanpa dirayakan seperti pada umumnya tetangga yang lain, bahkan hajatan yang paling sederhana yang dihadirinya sebulan yang lalu saat Kemi dikawin Torong, hiburan-nya kaset dengan empat corong yang diarahkan ke empat penjuru, melantunkan dangdutan yang murah meriah. Hajatan yang paling sederhana seperti itu sama sekali tidak ada. Harapan Jasmi akan menarik arisan berupa kado-kado yang terkumpul dari para tamu tidak menjadi kenyataan. Sungguh sebuah upacara perkawinan menyedihkan. Bahkan para tetangga bertanya-tanya dalam hati, ada apa di balik perkawinan yang aneh itu. Mengapa pak Kampun tidak mengadakan upacara perkawinan besar-besaran, apalagi mengingat ini mantu yang pertama baginya. Lagi pula, bukankah pak Kampun baru saja panen kedelai yang hasilnya cukup bagus? Jasmi kawin dengan Gimpul hanya dengan selamatan yang sederhana ala kadarnya, itupun mbok Kampun selalu menekuk wajah. Dari pagi hingga sore mbok Kampun hanya

mencureng dengan wajah disaput mendung tebal. Mbok Kampun sungguh kecewa melihat anak gadisnya itu naik pelaminan dengan seorang pemuda yang kehadirannya merupakan sebuah aib. Mbok Kampun kumat jantungnya saat mbok Rikin yang ikut sibuk di dapur tertawa cekikikan, mungkin geli melihat Jasmi anak mbok Kampun akhirnya dikawin Gimpul. Padahal terakhir, sepekan yang lampau Gimpul menyelinap ke rumahnya, kali ini hanya dengan diiming-imingi selembar uang sepuluh ribuan untuk memijit tubuhnya dan selanjutnya. Jasmi seperti tercekik ketika akhirnya pak naib mengesahkan dirinya sebagai seorang isteri menyandang derajad "Bu Gimpul Baru saja upacara itu rampung mbok Rikin sudah nyelonong duluan menjadi orang pertama yang memberikan selamat kepada temanten berdua. "Selamat Jas, selamat Pul, selamat menempuh hidup baru." ucap mbok Rikin penuh semangat. Mbok Rikin benar-benar bikin malu dan merah wajah Jasmi, karena mengucapkan selamat itu sambil memberikan salam tempel berupa selembar uang lima ribu. Yang lebih tak sopan karena salam tempel itu tidak dibungkus amplop. Dan mbok Rikin adalah satu-satunya orang yang menyumbang pada pernikahan itu. Dengan merah padam Jasmi menyerahkan uang itu kepada Salatun. Sungguh sebuah suasana yang sangat muram. Lima orang tetangga yang diundang untuk menjadi saksi pernikahan itu seperti tak tega memakan berkat yang disuguhkan. Satu-satunya orang yang menganggap perkawinan itu harus dipestakan, hanyalah Tanjir, kakak tertuanya yang mengundang beberapa temannya untuk keplek. Saat di ruang depan pak Naib melantunkan nasehat dan doa, Tanjir dan teman-temannya membanting kartu menggilir kocokan. Yang kalah mengumpat, yang menang juga mengumpat. Udut klepas-klepus digilir dengan minuman keras cap Gembok Merah. Beberapa di antaranya sudah ada yang miring,

ngomong tidak jelas. Pengaruh minuman keras Cap Gembok dicampur abu rokok itu menambah suasana menjadi lebih muram. Sorenya. "Kamu kenapa mbokne?" bertanya pak Kampun pada isterinya yang duduk melamun di belakang. Mbok Kampun tidak mengalihkan pandang dari arah sumur. Mbok Kampun diam tidak menjawab. Selama sekian tahun lamanya ia berumah tangga hingga mempunyai empat anak, dua lelaki dan dua perempuan, tidak pernah pak Kampun melihat isterinya begitu sedih, begitu kecewa. Pak Kampun segera duduk di sebelahnya dan mencoba menghibur. Jangan melihat pilihan apa yang dijalani anakmu itu sebagai sebuah sebuah kekeliruan mbokne, karena lahir, kawin dan mati itu merupakan rahasia Gusti Allah. Mungkin sudah jodohnya, jadi harus diikhlaskan. Sudah takdir mau apa lagi? hiburnya. Sudah takdir? mbok Kampun meronta dan tidak begitu percaya. Apakah kalau sudah takdir tidak bisa disiasati? Lagi pula yang ngomong takdir itu biasanya untuk menghibur diri. Kalau terbentur sesuatu yang tidak dikehendaki selalu takdir yang dijadikan paran tutuhan, dijadikan kambing hitam. Bagi mbok Kampun masalahnya jelas bukan takdir. Kalau Jasmi mau, kalau Jasmi teguh, ia tak akan terjerembab ke kubangan nista. Apa yang diperoleh setelah menjadi isteri Gimpul kalau bukan nista? Bukan nista untuk Jasmi saja, juga untuk orang tuanya. Namun mbok Kampun menyimpan gejolak itu rapat-rapat. Matanya tidak berkedip memandang bibir sumur? Tergoda akan masuk sumurkah mbok Kampun? O, tentu saja tidak. Hanya kebetulan saja mbok Kampun duduk dengan pandangan lurus ke sumur. Mbok Kampun ingat beberapa bulan yang lalu, saat mbok Rikin datang dan tanpa risih memamerkan cupang yang carut-marut di lehernya. Tentu saja saat itu mbok Kampun heran

karena setahunya mbok Rikin itu sudah beberapa tahun menjanda, suaminya mati dalam kecelakaan di Bali, mati sia-sia karena diterjang truck yang melaju kencang dengan rem blong. Itupun suaminya mati saat berboncengan dengan wanita lain, entah siapa wanita lain itu sampai sekarang tidak diketahui jati-dirinya. Polisi tidak berhasil menguak jati-dirinya. Kala itu, "Dengan siapa kau melakukan yu Rikin ?" bertanya mbok Kampun sangat heran dan geli. Yu Rikin tua, tetapi tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi. Mbok Rikin tersenyum bangga. "Dengan Gimpul." jawabnya enteng. "Hah ? Dengan Gimpul ?" mbok Kampun kaget. Tentu saja mbok Kampun kaget karena Gimpul itu masih sangat muda, maksudnya, kalau dibanding dengan mbok Rikin Gimpul itu layak menjadi cucunya. Mbok Kampun terkikikkikik mendengar itu. Mbok Kampun tidak kuat menahan diri dan segera lari ke belakang rumah dan masuk ke jeding. Begitu berada di jeding isi perutnya tiba-tiba tumpah ruah seperti perempuan hamil muda. Soal itulah yang menyebabkan mbok Kampun selalu terangsang untuk muntah setiap mendengar nama Gimpul disebut. Dasar lagi apes, Gimpul itu sekarang malah jadi menantunya. Mbok Rikin kemudian bertutur dengan riang. Betapa hanya dengan uang lima puluh ribu yang dilambai-lambaikan ia berhasil mengundang kucing cluthak bernama Gimpul itu datang ke rumahnya. Tanpa selembar lima puluh ribu itu, jangan harap Gimpul mau mendekat. Bahkan seandainya diobral gratis sekalipun, siapa orangnya yang akan mendekat? Apalagi mbok Rikin punya obsesi, jika pada umumnya para hidung belang berkelamin jantan suka daun muda, mbok Rikin tidak mau kalah. Mbok Rikin merasa perlu mengacak menu hariannya dengan lalapan seorang pemuda yang perkasa. Mbok Rikin kemudian segera

menempatkan diri sebagai dendeng. Yang namanya kucing, dendeng basipun diterkam. Pada awalnya umpan itu lima puluh-ribuan, namun berikutnya dengan selembar dua puluh ribuanpun Gimpul mau menyelinap lewat pintu belakang rumahnya. Betapa dahsyatnya kucing itu menerkam, amit-amit, dengan tanpa risih mbok Rikin menceritakan dengan blak-blakan kepada mbok Kampun. Mbok Rikin tidak sadar jika cerita saru yang dipaparkannya itu sebenarnya membuat mbok Kampun yang mendengarkan mendadak sakit perut dan sekuat tenaga menahan diri supaya tidak muntah. Di ujung ceritanya mbok Rikin menutup dengan tawaran. "Bagaimana? Kamu mau mencoba?" Oleh pertanyaan itu mbok Kampun tentu terlonjak seperti ada seekor ular yang tiba-tiba muncul dan sudah dekat sekali dengan kakinya. Mbok Kampun masih tak percaya. Mbok Kampun gemetar ketika sekali lagi mbok Rikin mengulang tawarannya. "Kalau kau mau, aku yang akan mengatur. Kamu boleh melakukannya di tempatku. Kujamin aman dan tidak akan ada yang mengganggu." lanjut mbok Rikin. Mulut mbok Kampun benar-benar terkunci seperti dibelenggu sebuah gembok sebesar kepalan tangan. Dada perempuan tua itu mengombak, namun mbok Rikin sungguh tidak tanggap dengan apa yang berada di dalam dada mbok Kampun. Apakah kamu masih melakukan dengan suamimu?" bertanya mbok Rikin membuat membuat mbok Kampun kaget. Kenyataannya sudah lama sekali mbok Kampun tidak campur dengan suaminya, entah sejak kapan mbok Kampun lupa dan bahkan tidak memikirkan lagi kebutuhan yang satu itu. Biarlah yang muda-muda saja yang butuh, dirinya sudah tidak karena sudah warek , sudah tuwuk. "Aku sudah tua yu. Masa aku masih harus memikirkan hal seperti itu. Anak sudah empat besar semua, malu." jawab mbok Kampun.

"Suamimu sudah lama tidak menyentuhmu?" desak mbok Rikin makin tidak tahu diri. Risih sekali mbok Kampun. Wanita tua yang di masa mudanya tentu berwajah ayu karena mempunyai keturunan seperti Jasmi dan Salatun yang berwajah cantik itu, sebenarnya tidak ingin pembicaraan itu berkelanjutan. Namun pertanyaan mbok Rikin itu terpaksa harus dijawabnya meski dengan sebuah gelengan kepala. Mbok Rikin tersenyum. "Tidak ada salahnya kau mencoba Pun. Kalau suamimu sudah malas menyentuhmu, sebenarnya hidupmu sudah berakhir. Apa salahnya kalau kau mencoba. Gimpul itu hebat sekali, ia sanggup membuat aku menjadi seperti muda kembali dan bergairah. Untuk menjadi muda dan bergairah, omong kosong dengan segala macam jamu yang ditawarkan pabrikpabrik itu. Ya Gimpul itulah jamunya, jamu yang sangat mujarab untuk kita perempuan yang sudah tua ini Makan jamu lelaki muda? Memang pada sebagian orang ada anggapan seperti itu. Jika ada lelaki sudah beranak-pinak dan dibelakangnya berbaris sederet cucu dan bahkan mungkin buyut, lelaki itu masih mencari perawan, maka yang dilakukannya itu, harap maklum, hanya sekedar dijadikan jamu, supaya badan sehat perkasa, hidup menjadi bergairah. Kalaupun karena sudah tua penampilan menjadi jelek dan tentu saja mana ada gadis cantik yang mau menanggapinya, maka ada kios-kios tertentu yang melayani penjualan jamu seperti itu, bahkan lengkap dengan bumbu-bumbunya : shipilis dan gonorrhea, bahkan siapa tahu bumbu impor yang bernama Aids itu sudah didatangkan pula ke kios-kios seperti itu. Tidak jauh dari Tegaldlimo ke arah Muncar, ada kios ilegal macam itu yang biasanya menjadi jujugan para pengojek iseng. Tentu saja untuk merasakan jamu itu harus membayar. Akan tetapi untunglah yang datang ke tempat macam itu masih pada punya pikiran waras, setidak-tidaknya niatnya ke tempat itu bukan beli jamu, tetapi sekedar membuang limbah. Bukankah dalam tatanan kehidupan, sebenarnya harus ada katup-katup yang secara otomatis

terbentuk sebagai sarana pembuangan limbah? Tawaran mbok Rikin kepada mbok Kampun untuk mencoba lalapan lelaki muda itu sungguh membekas, menjadi sebuah bentuk kelainan jiwa yang diidapnya. Ingat Gimpul mbok Kampun langsung menggigil. Bertemu Gimpul mbok Kampun ingin muntah. Bisa dibayangkan betapa siang tadi saat mbok Kampun harus bertahan menyaksikan anaknya dinikahkan, sebenarnya dengan sekuat tenaga menahan diri untuk tidak muntah. "Aku tak ingin dia di sini. Suruh dia pergi." mbok Kampun yang diam itu akhirnya mau bicara. Pak Kampun tentu saja kaget. "Kau ini bagaimana?" tanya suaminya. Mbok Kampun kukuh pada pendiriannya membuat suaminya bingung dan hanya bisa mengelus dada. Dengan dada mengombak suara agak serak mbok Kampun melotot pada suaminya. "Kalau si Adol Bagus itu tidak pergi, maka aku yang akan pergi dari rumah ini." Gawat. Pak Kampun prihatin, karena mengusir Gimpul sama artinya dengan mengusir anak sendiri. Jasmi baru saja kawin, apa salahnya Gimpul berada di rumah itu. Bagaimanapun juga memang timbul sebuah pertanyaan, apa yang dilakukan Gimpul setelah dia mengawini anaknya? Apakah Gimpul akan memboyong isterinya pergi entah ke mana, atau malah Gimpul ikut numpang di Wisma Mertua Indah? Betapapun repotnya, namun pak Kampun memang harus menengahi keadaan itu. Pada sebuah kesempatan disampaikan kemauan isterinya itu kepada Jasmi. Jasmi tentu saja kaget. Namun Jasmi rupanya bisa berfikir tenang dan tidak menanggapi keadaan itu dengan emosi. Jasmipun segera berbicara dengan suaminya. Gimpul terpaksa tersenyum penuh rasa kecut. Pada awalnya ia sudah membayangkan

bahwa sebagian dari kesulitan akan teratasi dengan numpang tinggal di Wisma Mertua Indah, namun ternyata yang namanya mertua itu keberatan ketempatan Gimpul. Maka di saat akan maghrib Jasmi berkemas mengumpulkan pakaian yang akan dibawanya. Dalam hati Jasmi merasa sedih mengapa simboknya tega kepadanya, ikhlas melihat Jasmi pergi daripada Gimpul ikut tinggal di rumah itu. Salatunpun ikut bersedih-hati. Dengan mata berkaca-kaca Salatun membantu mbakyunya mengatur benda-benda miliknya dengan memasuk-masukkan ke dalam tas dan koper tua. Namun Pak Kampun tetap saja seorang ayah yang tidak tega melihat anaknya pergi dalam keadaan seperti itu. Pak Kampun merasa dadanya sesak seperti seorang lelaki yang kapedhotan sih, cemas memikirkan bagaimana nasib Jasmi nantinya. Maka tanpa setahu isterinya, Pak Kampun menyelipkan sebuah amplop yang berisi uang. Dalam suasana yang muram suram Jasmi meninggalkan rumah itu. Dan pak Kampun merasa ada sesuatu yang hilang. Jasmi baginya anak yang paling dikasihi daripada anak-anak yang lain, hanya karena nyawa Jasmi itu nyawa saringan. Dulu waktu masih bocah Jasmi pernah sakit keras terkena penyakit typhus nyaris mati. Pontang-panting pak Kampun berusaha menyelamatkan anaknya itu. Kini Jasmi telah pergi. Rasanya rumah menjadi makin suram setiap pak Kampun melihat dua anak lelakinya yang agak keblinger. Tanjir anak lelaki tertuanya, yang digadhanggadhang bakal menjadi cagak rumah itu mempunyai kegemaran yang berlebihan terhadap judi. Sabung ayam atau domino dan remi menjadi santapannya. Pak Kampun sudah tidak bisa mengingatkan lagi karena Tanjir bisa marah kalau dilarang. Kalau sudah marah, Tanjir sanggup melakukan apapun. Sebagaimana kalau Tanjir minta uang tidak diberi, maka ancamannya, rumah akan dibakar. Sebaliknya dengan Jayus anak lelakinya yang kedua. Bulan yang lalu Jayus jadi paran tutuhan, dicari orang karena menghamili gadis. Untung saja Jayus bisa berkelit karena yang

melakukan dengan gadis itu bukan hanya dirinya tetapi beramai-ramai dengan temantemannya. Pak Kampun sungguh pusing tujuh keliling memikirkan dua anak lelakinya itu yang ternyata perkembangannya jauh dari apa yang diharapkan orang tua. Anak gadisnya yang tinggal hanya Salatun. Setelah anak-anaknya yang lain ternyata gagal, pak Kampun hanya tinggal berharap kepada Salatun. Moga-moga saja Salatun bisa menyelesaikan sekolahnya dengan lancar dan kemudian melanjutkan sekolahnya lebih tinggi di IKIP PGRI. Bukan main, mempunyai anak kuliah di IKIP PGRI betapa bangganya. Apalagi jika nanti anak perempuannya itu sudah menjadi guru dan menyandang gelar sarjana. Hari-hari berlalu. Jasmi telah menjadi Bu Gimpul. Disebut Bu Gimpul boleh, Nyonya Gimpul juga boleh, atau mbok Gimpul boleh. Keinginannya berumah tangga telah terpenuhi. Sekarang ia seorang isteri. Sekarang Jasmi punya suami dan dengan demikian sah-sah saja ia melakukan apapun dengan suaminya. Untuk kebutuhan nafsu tidak perlu lagi melakukan zinah, segalanya telah berubah menjadi halal. Hampir sebulan sudah, Jasmi melewati hidup sebagai seorang isteri di sebuah rumah milik keponakan Gimpul di Tegaldlimo Kidul yang tak terpakai karena pemiliknya sibuk mencari uang dengan menjadi TKI di Taiwan. Namun tetap saja Jasmi tersentak, karena angan-angannya tentang rumah-tangga tidak sesuai dengan kenyataan. Suami-suami yang lain setiap hari berangkat bekerja dan sore harinya pulang menyerahkan hasil memeras keringat pada isterinya. Uang itu kemudian dibelanjakan berbagai keperluan rumah tangga. Meski serba kekurangan namun dengan kebahagiaan dan rasa syukur biasanya berapapun penghasilan yang diperoleh sang suami, akan diatur sedemikian rupa oleh sang isteri. Dijereng-jereng ngalor ngidul seperti permen karet, agar cukup untuk semua kebutuhan rumah tangga. Itulah, Si Jasmi yang dulu pernah berfikir, setelah menjadi isteri maka semuanya akan berjalan sebagaimana mestinya. Jasmi tidak mengira kalau ia akan dihadang oleh berbagai

persoalan. Uang pemberian ayahnya mengucur dengan deras karena Gimpul sering minta cukup banyak yang katanya untuk modal, entah modal apa, namun besoknya semua uang itu ludes. Gimpul pulang dengan wajah kuyu kurang tidur, dan Jasmi akhir-nya tahu, Gimpul membakar uang itu dalam perjudian. Jasmi melihat kecemasan yang pernah diutarakan Salatun dulu ternyata benar adanya. Kecemasan simboknya juga benar. Jasmi hanya bisa mengelus dada. Perkawinannya dengan laki-laki yang menjadi pilihan sendiri ternyata harus dihadapkan pada kenyataan yang tidak terduga. Manakala akhirnya uang habis, maka Jasmi hanya bisa sambat kepada bapaknya. Dengan kearifan seorang bapak yang sangat mencintai anaknya, pak Kampun memberi lagi uang untuk anak perempuannya yang baru jadi temanten itu. Lama-lama Jasmi jengkel dan risih karena dengan tidak merasa sungkan Gimpul bahkan mengambil uang di dompet tanpa memberitahu dan sembunyi-sembunyi. Biasanya jumlahnya cukup besar, untuk kemudian tidak bersisa sama sekali di esok harinya. Padahal uang itu pemberian pak Kampun untuk biaya hidup sebulan, bisa hangus tanpa sisa hanya dalam waktu dua atau tiga hari. Laki-laki itu sungguh kebangeten. Lumuhnya setengah mati. Sudah berulang kali Jasmi mendorongnya agar bekerja sebagaimana layaknya suami yang harus menghidupi keluarganya, bekerja apapun asal halal, akan tetapi Gimpul mempunyai gengsi yang sangat tinggi. Angan-angan Gimpul tentang kerja tidak seperti orang lain yang menggunakan prinsip kerja keras mumpung masih muda. Angan-angan Gimpul terlampau muluk, kerja enak di belakang meja duduk di kursi empuk dengan gaji banyak. Daripada tidak bekerja seperti yang diangankan, ya lebih baik menganggur saja sekalian, bukankah setelah ada isteri hidupnya sekarang agak lumayan? Ada yang mencucikan pakaian, ada yang memasak menyiapkan makan, ada mertua yang memasok uang kebutuhan hidup setiap hari dan ada yang ditiduri. Kan sudah lumayan daripada sebelum kawin dulu?

Didorong oleh isterinya, Gimpul mencoba-coba pergi ke kecamatan dan sowan ke pak Camat. Gimpul mengajukan permohonan bisa mengabdi bekerja di kantor itu. Maksud Gimpul ingin bekerja yang berkaitan dengan tulis menulis padahal sebenarnya Gimpul bisa mengukur diri, bahwa ia yang hanya lulusan SMP tidak punya kemampuan terhadap jenis pekerjaan yang sangat diminatinya itu. Namun Gimpul punya anggapan bahwa semuanya bisa dipelajari, orang-orang di kantor kecamatan itu pasti akan membimbingnya sampai dia bisa. Kalau masih juga tidak bisa, toh pekerjaan itu nantinya bisa dilimpahkan kepada yang bisa. Apalagi kalau punya anak buah, kan bisa tinggal perintah pada anak buah. berkata Gimpul pada diri sendiri sambil tersenyum. Gimpul barulah terpukul hatinya ketika Pak Camat mau menerima lamarannya bukan sebagai pegawai kantor yang duduk di belakang meja, tetapi sebagai tukang kebun dan pesuruh. Gimpul mencak-mencak dan pak Camat segera mengusirnya. Bekerja apa yang bisa mengasilkan banyak uang? Ahaaa, bekerja di bank. Gimpul ingat saat ada urusan ke kantor kelurahan sempat melongok BRI Kecamatan yang gedungnya menjadi satu dengan kantor kelurahan itu, betapa banyak uang di tempat itu, bertumpuktumpuk. Dengan sangat prigel pegawai kantor itu menghitung segebok uang dua puluhan ribu dengan lima jari telunjuknya. Dulu Gimpul merasa heran dan dibuat takjub, kok bisa ya menghitung uang dengan begitu cepat hanya dengan menggunakan lima jari. Sesampai di rumah Gimpul mencoba pada sebuah buku. Pada mulanya agak sulit namun semakin lama bisa. Bahkan kemudian hari ia cukup prigel menghitung lembaran kertas dengan cara itu. Kemampuan itu sering pula ia pamerkan kepada kawannya yang lain. Suatu hari Gimpul punya lima puluh ribu yang terdiri dari seratusan semua hingga menjadi tebal. Dengan gesit Gimpul menghitung menggunakan jari, seperti sulap saja layaknya, membuat teman yang lain mlongo terheran-heran.

"Kok kamu bisa menghitung dengan cara seperti itu?" tanya Sukarjito heran. "Aku dulu kan pegawai bank" jawab Gimpul dengan bangga tanpa menyebut di bank mana dulu ia pernah bekerja. Sukarjito yang pernah melihat cara menghitung seperti itu dilakukan kasir bank, pikirnya, hanya orang yang pernah berkecimpung di bank yang bisa melakukan ketrampilan itu. Sukarjito percaya pada bualan Gimpul. Untuk percaya pada sebuah bualan memang tidak perlu berfikir keras. Biar saja Gimpul membual. Dengan modal kemampuan menghitung uang itulah, Gimpul pergi ke kantor BRI dan langsung menemui boss di sana minta pekerjaan. Gimpul telah menyiapkan uang dua puluh lima ribu yang dipinjamnya dari Jasmi untuk didemonstrasikan ke kepala BRI. Orang nomor satu di BRI Kecamatan itu memang terkagum-kagum dengan kemampuan Gimpul itu. Kekagumannya bisa diukur dari seberapa keras ia menggeleng-gelengkan kepala. Ketika lamarannya tidak ditanggapi, Gimpul langsung pergi entah ke mana sampai sore belum kembali. Jasmi gelisah. Padahal tadi pagi Gimpul telah pinjam uang padanya untuk demonstrasi di kantor BRI. Sampai hari menjadi gelap begini kok belum pulang? Ke mana Gimpul? Ke mana lagi kalau bukan pergi ngeplek kartu? Judi adalah saudara sekandung dengan pelacuran. Konon kabarnya, umurnya sudah setua bumi ini. Jika dipikir-pikir kasihan Jasmi yang telah salah pilih. Suami yang dicintainya, yang dipilih dengan pengorbanan berat itu ternyata bukan jenis lelaki yang bisa sembada dan nyembadani. Jasmi ngeres hatinya menyaksikan kenyataan yang ternyata amat pahit untuk ditelan. Jasmi menunggu sampai malam Gimpul belum pulang juga, Jasmi yang sudah mendapatkan informasi suaminya berada di mana, bergegas menyusul. Gimpul yang sedang

asyik tentu saja tak senang. Gimpul meninggalkan teman-temannya yang melanjutkan mengocok kartu. "Kenapa kau menyusul kemari?" tanya Gimpul. "Pulanglah kang." ucap Jasmi serak. Matanya kemerahan. Gimpul tidak senang disuruh pulang. Ia sudah terlampau asyik dengan perjudian yang berlangsung, lebih dari itu ia sudah kalah banyak. Tiba-tiba isterinya datang menyusul, tentu saja membuat Gimpul jengkel. "Kau membuat nasibku sial saja Jas. Aku sudah kalah banyak sekali. Aku harus menebus kekalahanku, kau malah menyusul. Disusul perempuan di saat main judi itu bisa menjadi pertanda sial, tahu?" kata Gimpul yang jengkel. Jasmi menunduk, matanya mengambang basah. Gimpul memandangi isterinya dengan tak berkedip. "Kau bawa uang?" tanya Gimpul. Ditanya seperti itu Jasmi merasa dadanya tambah sesak. Kebetulan sebenarnya bagi Gimpul, pada saat ia butuh tambahan modal isterinya datang. Bahkan bukankah kalung yang dipakai Jasmi sebenarnya juga bisa dijadikan tambahan modal. "Kang Gimpul, pulanglah." Gimpul menyeringai. "Tidak Jas, permainan belum selesai. Aku kalah banyak. Aku harus menebus kekalahan itu. Berikan kalungmu itu untuk tambahan modal. Nanti kalau menang akan kubelikan yang lebih besar, sebesar rantai sepeda." Jasmi kecewa sekali. Pelahan Jasmi menggeleng. Matanya basah. "Kau akan semakin kalah kang, tidak menang tetapi malah semakin kalah. Percayalah." Gimpul makin tidak telaten. Di ruang tengah perjudian berhenti sejenak menunggu Gimpul. Gimpulpun gelisah. Rasa-rasanya ia ingin membetot saja kalung kecil yang dipakai

Jasmi itu. Kalau dijual kalung itu bisa laku dua ratus ribu. Lumayan. "Aku kalah banyak Jas. Terasa menyakitkan sekali jika berhenti hanya sampai di sini. Aku harus menebus kekalahan. Jika kau punya uang, berikan padaku. Kalau tak bawa uang, lepas kalung yang kau pakai itu Jasmi menunduk. Dengan tatapan mata yang agak aneh ia memandang wajah suaminya. "Kang. ucap Jasmi terbata-bata. Baru saja ada orang yang datang menyusul ke rumah memberitahu kalau simbok meninggal."

***

4. BARATAYUDA
Gimpul sedikit terlonjak tetapi tidak terlampau kaget. Mbok Kampun meninggal dunia? Sejenak Gimpul seperti berusaha keras untuk berfikir, apakah yang dimaksud meninggal itu? Mengapa mbok Kampun meninggal, atau kalau sudah meninggal bagaimana? Gimpul memejamkan mata, isi kepalanya masih terkunci karena masih tersita perhatiannya oleh kartu-kartu remi atau kekalahan yang dideritanya. Akan tetapi segera saja Gimpul mendapatkan jawaban, seperti ada celah di dalam rongga otaknya yang bisa dilewati. Soal meninggal dunia atau mati, bukankah setiap orang pasti akan mengalami jika saatnya sudah tiba. Semua orang yang berlari dalam perjuangan mempertahankan hidup akan sampai di tujuan. Akan mati, jadi apa anehnya apabila mbok Kampun mati? Orang sedang duduk santai saja bisa tamat. Bahkan kematian itu sebenarnya juga sangat bermanfaat. Coba kalau tidak ada orang yang mati sementara kelahiran terus berlangsung, bakal penuh sesak bumi ini. Jadi di mana letak keanehan berita kematian mbok Kampun itu? Mata Gimpul agak berkunang-kunang saat memandangi Jasmi. "Simbokmu?" tanya Gimpul. "Ya. Gusti sudah mundhut simbok." jawab Jasmi dengan suara amat serak. Gimpul manggut-manggut. "Lha terus? Mau apa?" tanya Gimpul datar. Pertanyaan Gimpul terasa aneh di telinga isterinya. Jasmi memandang suaminya dengan tatapan mata bingung. Jasmi sendiri yang kaget saat berita kematian itu ternyata tidak terlampau mengagetkan suaminya. Padahal yang mati itu mbok Kampun, mertuanya sendiri. "Tega kau berkata begitu." suara Jasmi terdengar amat parau. Namun Gimpul memang punya latar belakang mengapa ia tak begitu kaget dengan kematian mertuanya. Gimpul tidak perlu merasa sedih, bahkan jika perlu warta kematian

mbok Kampun itu harus disyukuri. Mbok Kampun mertua yang sama sekali tidak menghargai keberadaan menantunya. Mertua macam itu mati? Syukurlah, dengan demikian tidak perlu lagi berurusan dengan orang itu. "Bagiku apa artinya? Bagaimana sikap simbokmu selama ini padaku? kau melihat sendiri bukan?" enteng sekali Gimpul berkata. Jasmi kaget oleh argumentasi yang nyleneh itu. "Tetapi ia simbokku kang Gimpul. Ia Ibuku. Mertuamu. Ia sudah dipundut Gusti Allah." serak suara Jasmi. Gimpul memandang isterinya dengan tidak senang. "Lha terus mau apa?" tanya Gimpul. Jasmi terpaksa menahan sesak nafas. Haruskah keadaan itu dimaklumi hanya dengan sebuah alasan : dari mulut suaminya menyembur bau minuman keras? Jasmi menggeleng. "Kita disusul kang, kita harus pulang. Apa kata orang kalau kita tidak datang?" Sebenarnya sih, di sela-sela otaknya yang tumpul karena pengaruh judi dan minumannya, Gimpul mampu sedikit berfikir, memang aneh kalau dia tidak datang pada upacara kematian mertuanya. Kalau ada orang punya gawe meski tak diundang Gimpul tanpa malu-malu pasti datang, sebaliknya apakah dalam kematian harus memerlukan undangan? Apalagi itu mertua sendiri? Gimpul gelisah memandang kalung yang dipakai isterinya, Gimpul juga gelisah karena di dalam teman-temannya menunggu. "Kau pulang saja duluan Jas, nanti aku akan menyusulmu. Aku harus menyelesaikan permainan itu. O ya, tinggalkan kalungmu itu untuk tambahan modalku. Nanti kalau menang akan kubelikan kalung yang lebih mahal dan lebih besar, sebesar rantai kapal laut. Sumpah, percayalah."

Jasmi kecewa sekali. Begitu kecewanya Jasmi hingga ia tidak bereaksi apapun ketika Gimpul melepas kalung yang dipakainya. Jasmi menunduk untuk memberi kesempatan airmatanya runtuh di bumi. Gimpul sama sekali tidak peduli ketika dengan langkah gontai Jasmi meninggalkan tempat itu. Jika Jasmi nantinya sampai di rumah, maka orang akan menduga tangisnya adalah tangis seorang anak yang kehilangan orang tua, padahal sebagian tangisnya karena perilaku Gimpul. Gimpul telah kembali berkumpul dengan teman-temannya. Senyumnya merekah karena Gimpul telah memegang seuntai kalung. Dengan tambahan modal itu ia akan menuntaskan permainan, kekalahan harus ditebus kembali. "Kenapa isterimu menyusul?" bertanya Supoyo, pemilik rumah yang menyediakan tempat untuk berjudi itu. "Simboknya mati." jawab Gimpul enteng. Semua yang berada di ruangan itu tersentak. "Kita bubar. kata Mulyadi. Mulyadi sebenarnya sedang mencari alasan agar permainan itu diakhiri saja karena dia sudah menang banyak. Kalau permainan itu dilanjutkan, boleh jadi nasib akan berubah. Ia yang sudah menang bisa saja kalah. Mendengar usulan yang tidak menyenangkan itu Gimpul meradang. "Tidak bisa. Aku kalah banyak enak saja kau mengusulkan permainan dihentikan. Tidak bisa. Kalau bubar, bisa kubunuh kau." Gimpul sangat emosi. Mulyadi dan Supoyo saling pandang. Bagi orang yang larut dalam judi, jatuhnya bom nuklir mungkin hanya sebuah gangguan kecil, yang tidak perlu menjadi sebab dihentikannya permainan itu, apalagi hanya sekedar matinya mbok Kampun, mertua yang amat dibencinya. Namun Supoyo, meski gemar berjudi tetapi masih punya hati nurani. Setidak-tidaknya

untuk mengingatkan Gimpul, bahwa tak patut dia bersikap seperti itu. "Yang meninggal itu mertuamu Pul, kau tetap melanjutkan permainan ini?." desak Supoyo. Jawaban Gimpul membuat segenap orang yang ada di dalam lingkaran perjudian itu miris, "Aku tak peduli siapapun yang mati. Jangankan mbok Kampun yang hanya mertua tidak tahu diri itu, seandainya orang tuaku sendiri yang mati, aku tak peduli." Seandainya orang tua sendiri yang mati itu memang tidak akan pernah terjadi karena mereka sekian tahun yang lalu telah mati ngenes memikirkan perilaku anaknya. Cep klakep, tidak ada lagi yang menjawab. Mulyadi yang baru menang segera mengocok kartu. Setan burik seperti memanaskan keadaan, karena setelah mendapatkan kabar kematian mertuanya, nasib Gimpul justru menjadi baik. Giliran Gimpul yang menang, Gimpul mulai tersenyum. Pada kocokan kedua lagi-lagi seperti terjadi keajaiban seolah nasib baik berpindah tempat berpihak pada Gimpul. Permainan tambah panas, dan nampaknya sampai pagi sekalipun perjudian itu tidak akan selesai. Gimpul tersenyum dan tersenyum, minuman keras di gelas kembali ditenggaknya. Gimpul glegeken. Hoiiiiik. Kematian mbok Kampun memang layak ditangisi. Salatun tak henti-hentinya menangis. Salatun si anak ragil itu benar-benar terguncang jiwanya ditinggalkan Ibu terkasihnya. Pak Kampun yang sekian lamanya mendampingi dan didampingi oleh isteri tercinta itu seperti tidak percaya isterinya pergi dengan tiba-tiba. Tanjir dan Jayus dengan mendadak disentakkan oleh keadaan yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan. Ketika simboknya pergi, dengan tiba-tiba mereka merasa berdosa karena selama ini mereka banyak mengecewakan simboknya. Akan tetapi yang paling terpukul adalah Jasmi. Jasmi punya penilaian sendiri mengapa simboknya mati. Jasmi merasa dirinya penyebab kematian mbok Kampun. Mbok Kampun

terlampau sedih karena Jasmi kawin dengan lelaki yang amat tidak disukainya, perkawinan yang harus ditebus dengan harga yang sangat mahal. Jasmi menggigil mengenang kematian simboknya yang jelas akibat dari perbuatannya. Seandainya Jasmi tidak ngotot kawin dengan Gimpul, mungkin simboknya masih berumur panjang. Dalam hidupnya mbok Kampun wanita yang ramah, mudah bergaul dengan siapa saja. Jika ada tetangga punya hajat mantu, mbok Kampun pasti datang meski tidak menerima ulem. Jika ada kerabat desa yang meninggal, maka mbok Kampun pasti berada di antara para pelayat. Kini mbok Kampun memetik hasilnya. Tiba gilirannya mbok Kampun ajal, para pelayat yang berdatangan memberikan penghormatan tumplek blek memenuhi halaman. Namun tak tercegah pula kasak-kusuk di antara mereka, karena belum lama berselang mbok Kampun mantu, kini beberapa hari kemudian mbok Kampun meninggal. Terdapat sebuah kepercayaan yang masih berlaku di masyarakat etnis Jawa tentang nagadina, di mana perkawinan Jasmi dan Gimpul sebenarnya tidak pas jika ditinjau dengan hitungan nagadina itu. Jasmi pihak wanita tinggal di arah utara, Gimpul pihak laki-laki tinggal di selatan, maka perkawinan yang terjadi pada mereka harus ditebus dengan kematian, lihat saja dalam waktu dekat pasti ada yang mati. Dan ternyata benar, mbok Kampunlah yang mati. Namun ada pula yang kasak-kusuk dengan riuh karena tidak melihat Gimpul. Maka wajar jika lahir pertanyaan ada apa dengan Gimpul atau di mana Gimpul kok tidak kelihatan batang hidungnya? Tidak begitu lama kemudian kasak-kusuk dengan tanda tanya yang besar itu ada yang bisa menjawab, Gimpul sedang berjudi. Para pelayat banyak yang ikut bersedih mendengar kisah itu. Setiap kali Jasmi terlihat melintas, kasak-kusuk bagai terpancing. Seisi rumah pak Kampun tersaput mendung, dan kebetulan layaknya, mendung yang sebenarnya sedang lewat. Burung gagak yang biasanya jarang muncul terdengar berkaok-

kaok keras di sebelah selatan. Lagi-lagi di antara para takziah ada yang mencoba menghubungkan suara burung gagak itu dengan kematian yang baru terjadi itu. Jasmi terus menangis. Namun nasi telah menjadi bubur. Jasmi tidak mengira begitu mahal harga yang harus ditebusnya untuk kawin dengan lelaki yang ternyata berasal dari golongan keblinger yang jelas menjadi penyebab kematian simboknya. Setelah layon disemayamkan di kuburan Kampung Limo, siang hari segera disusul oleh datangnya petang. Ternyata Gimpul belum juga muncul diri. Pak Kampun hanya bisa mengelus dada melihat nasib anaknya yang begitu buruk. Menantu yang satu ini benar-benar tidak ngajeni wong tuwa. Pada sebuah kesempatan setelah tahlil dipanggilnya Jasmi. "Ada apa pak?" tanya Jasmi. Di hadapan bapaknya Jasmi selalu merasa mendapatkan keteduhan pengayoman. "Bagaimana dengan keluargamu?" tanya pak Kampun dengan tenang. Jasmi hanya bisa menunduk. Jasmi merasa bukan pertanyaan itu yang seharusnya ditanyakan bapaknya, tetapi Mengapa suamimu belum muncul diri? Mana dia? "Baik pak." jawab Jasmi berusaha tenang, namun tetap tidak kuasa menahan diri, terlihat dari suaranya yang serak dan bergetar. "Tampaknya perutmu belum isi?" lagi-lagi pertanyaan pak Kampun mengagetkan. Jasmi yang semula menunduk itu menengadahkan diri dan memandangi bapak-nya. "Aku minta maaf pak. Dulu aku berbohong" ucap Jasmi serasa pasrah, penuh muatan penyesalan. Namun penyelasan itu artinya? Nasi telah menjadi bubur. Segalanya telah terlanjur. Dan apa yang terlanjur itu selalu tidak bisa diulang kembali, apa lagi jika apa yang terlanjur itu berkait dengan kematian, dengan noda atau penyesalan. Pepatah mengatakan, sesal kemudian tak berguna.

"Dari semula aku memang sudah menduga kalau kau belum hamil. Tetapi tak apa , hal itu tak perlu dipersoalkan lagi. Yang penting sekarang, keadaan yang harus diperbaiki. Suamimu sudah dapat pekerjaan apa belum?" tanya pak Kampun. Jasmi menggeleng. Satu-satunya pekerjaan yang dikuasai suaminya hanyalah berjudi dan membual. Jika sudah berjudi Gimpul ternyata betah melek sampai dua hari dua malam, dan sebagai tebusannya juga betah tidur ngedhur dua hari dua malam, seperti membayar lunas melekan yang dilakukannya. Juga dalam hal membual Gimpullah jagonya. Siapapun orangnya yang belum kenal Gimpul, tentu percaya dengan bualan Gimpul. Pernah Gimpul membual yang agak keterlaluan, kepada kenalan barunya dia mengaku petugas intel. "Kunci keluarga itu adalah adanya penghasilan. Suamimu harus kau buka matanya agar mau bekerja. Kalau sebuah rumah tangga tidak didukung oleh hal itu, maka rumah tangga itu akan gampang ambruk, akan mudah muncul godaan." Pak Kampun memberikan wejangannya. Tepat. Benar apa yang dikatakan pak Kampun. Jasmi sungguh merasakan kebenaran yang terkandung dalam ucapan bapaknya itu. Sampai jeleh Jasmi memberikan dorongan kepada Gimpul untuk mengubah nasib, bahkan dengan berjualan kecil-kecilan, namun tetap saja Gimpul bergeming. Maunya Gimpul adalah pekerjaan yang terhormat. Saat melihat acara televisi di rumah tetangga, sebenarnya telah mengusik keinginan Gimpul , betapa senangnya seandainya ia bisa seperti bintang dalam sinetron yang ditontonnya itu. Memakai dasi, bersepatu dan punya mobil. Pada suatu hari Gimpul pinjam dasi pada pak Solekan Guru SMP yang setiap Jum' at dan Sabtu nyambi ngojek di Kalipahit. Dasi itu dikenakan sambil mematut diri di depan kaca. Oleh pertanyaan bapaknya itu Jasmi tak tahan, meski sebenarnya ia tidak ingin mengungkapkan, namun akhirnya dikeluarkan juga isi hatinya.

"Bekerja apa to pak? Keinginannya bekerja hanya di kantoran, seperti temannya yang menjadi pegawai di kecamatan itu. Kalau mau mendirikan pracangan, ia malu." "Pilih malu atau kelaparan?" bertanya pak Kampun. Jasmi hanya bisa menghela desah. "Begini saja Jas, simbokmu sudah tidak ada. Salatun masih kaget karena ditinggal pergi simboknya. Maka sebaiknya kau pulang saja. Kau tempati kamar yang di depan itu bersama suamimu." Sebuah usul yang sungguh simpatik dan menyejukkan. "Kami....pulang?" tanya Jasmi seperti tidak percaya, "Ya. Sambil aku akan mengajari suamimu bagaimana cara berdagang. Dagang sapi, atau dagang kambing atau nebas sawah. Suamimu mungkin perlu dituntun agar bisa bekerja." lanjut pak Kampun. Atas ijin dari bapaknya itu maka sepekan kemudian setelah kematian simboknya, Jasmi dan Gimpul pulang dan menempati kamar depan. Tanjir yang mendapat laporan dari Jayus mencak-mencak seperti munyuk terkena tulup. Dengan clurit di tangan kanan Tanjir berteriak. Gimpul gugup sekali. "Jas, ke sini kamu." teriak Tanjir pada adiknya. Jasmi datang mendekat dengan perasaan was-was. "Ada apa?" tanya Jasmi. Tanjir melotot, membuat Jasmi amat ngeri. Apalagi Tanjir memegang clurit. "Siapa yang mengijinkan kau menempati kamar depan?" keras suara Tanjir. Tanjir malang kerik, matanya yang melotot seperti akan terlepas dari embanannya. Gimpul yang melihat adegan itu benar-benar rontok nyalinya. Gimpul tak menyangka, kakak iparnya ternyata amat mengerikan. "Memang kenapa kang Tanjir?" tanya Jasmi dengan heran.

"Kamar itu akan kutempati. Aku yang akan pakai. Kau boleh minggat ke mana kau suka, kau tidak berhak lagi tinggal di rumah ini. meledak Tanjir. Jasmi kebingungan dan tidak tahu harus berkata apa. Gimpul yang merasa ngeri hanya memandang dari kejauhan tidak berani menengahi. Bahkan seandainya Tanjir itu menghajar isterinya, Gimpul mungkin lari terbirit-birit. Namun Jasmi yang telah merasa mendapat ijin dari bapaknya, apalagi kamar yang akan ditempati itu dulu adalah kamarnya, tidak mau mengalah begitu saja. "Kau ini mendem atau bagaimana? bapak yang menyuruh aku menggunakan kamar itu. Aku salah seorang anaknya, aku berhak untuk tinggal di rumah ini." Namun rupanya Tanjir punya alasan sendiri untuk tidak suka dengan kepulangan adiknya itu. Kematian mbok Kampun mewariskan kebenciannya terhadap Gimpul. Tanjir berpendapat, simboknya mati akibat lonthe lanang itu. Dulu mbok Kampun yang benci setengah mati kepada Gimpul. Dengan kematian mbok Kampun persoalan benci itu ternyata tidak selesai dengan kepergian orangnya, kebencian itu ternyata disuarakan Tanjir, bahkan dengan teriakan yang lebih lantang. Tanjir semakin meninggikan malang keriknya. Suaranya kasar dan keras. Ujung hidungnya mekar. "Setelah apa yang kau lakukan, kau merasa pantas untuk tetap tinggal di rumah ini Jasmi? Apalagi dengan membawa lonthe lanang itu?" Jasmi kaget, "Kang,.." Jasmi merasa tercekik lehernya. "Malam nanti kamar itu akan aku pakai." berkata Tanjir tegas, tidak memberikan kesempatan untuk tawar menawar. "Lha aku menggunakan kamar sebelah mana?" desak Jasmi. "Mau tidur di emperan atau di mana, terserah." Retak hati Jasmi. Ia semakin merasa terbuang. Seolah memang tidak ada tempat baginya.

Sayang sekali Jasmi menghadapi Tanjir hanya sendirian. Kalau saja ada bapaknya, setidaktidaknya ada yang akan membela. Jasmi melihat Jayus juga bersikap serupa. Sebagaimana Tanjir, Jayus melihat Jasmi dan suaminya yang menjadi penyebab kematian Ibunya. Namun Jasmi tidak mau mengalah begitu saja. Jasmi masih mencoba melawan. "Tak bisa kang Tanjir. Aku tak mau kau atur seperti itu. Aku juga anak pak Kampun, bapak sendiri sudah menyuruhku memakai kamar depan itu. Jangan main perintah seenak wudelmu sendiri." Namun sikap Tanjir benar-benar kaku. Biasanya Tanjir memang tidak segan-segan menggampar adiknya itu kalau Jasmi melakukan sesuatu yang tidak disenanginya. "Kamu dengar Jas? Kamu boleh pulang tetapi hanya kamu, tidak untuk suamimu. Kalau dengan suamimu, kau boleh tinggal di manapun tetapi tidak di rumah ini." benar-benar keras dan kasar suara Tanjir. Jasmi merasakan dadanya makin perih. Perihal Gimpul yang menjadi penyebab kematian simboknya, itu bukan hanya pendapat Tanjir, bahkan suara hatinya sendiri dengan jujur mengakui, gara-gara Jasmi kawin dengan Gimpul itulah mbok Kampun jatuh sakit dan kemudian mati. Betapapun pahitnya, memang itulah kenyataannya. Apa boleh buat, dengan hati yang perih Jasmi dan Gimpul boyongan lagi. Semua barang yang dibawa dinaikkan lagi ke atas dokar. Jasmi begitu larut hingga air matanya jatuh menitik. Gimpul mungkin jengkel karena ia sudah capek usung-usung, namun harus pergi lagi, apalagi di bawah tatapan mata aneh para tetangga. Di sudut hatinya Gimpul menyimpan sakit hati karena disebut lonthe lanang. Jika Gimpul punya keberanian, pasti akan disobeknya mulut lancang yang berani memaki lonthe lanang itu. Para tetangga kiri kanan yang sebelumnya ikut membantu mengemas barang-barang saat Jasmi memutuskan pulang, mereka kaget melihat Jasmi kembali dengan tangis tersedu-sedu. Apa yang dirasakan Jasmi barangkali bisa diibaratkan orang akan naik haji yang sudah

terlanjur pamit tetangga kiri kanan namun tidak jadi berangkat karena berada dalam daftar tunggu. Malu sekali. Esoknya, masih pagi-pagi sekali pak Kampun datang. Jasmi tidak kuasa menahan tangisnya. "Aku sudah memarahi Tanjir. Dia tidak akan berani lagi mengusirmu." berkata pak Kampun. Sesak tarikan nafas yang dirasakan Jasmi. Dengan mata memerah sisa kesedihan, Jasmi menggeleng. Jasmi yang terlanjur patah arang, menolak permintaan bapaknya itu. "Pulanglah." desak pak Kampun. "Rumah menjadi kacau balau dengan kepergian simbokmu. Tak ada yang memasak dan ngurusi yang lain-lain. Salatun masih larut dengan kesedihannya. Kau sangat dibutuhkan di rumah Jasmi memandang bapaknya dengan tatapan mata tak berkedip. Tiba-tiba saja Jasmi merasa, bapaknya demikian cepat menua. Baru beberapa hari ditinggal pergi simboknya, rasa-rasanya rambut bapaknya berubah memutih semuanya, tulang pipinya cekung. "Tidak pak. Kang Tanjir tidak menghendaki aku berada dirumah, biar saja aku ikut suami. Lagi pula sudah menjadi kewajiban seorang isteri untuk ikut suami, ke neraka sekalipun." berkata Jasmi. Pak Kampun berusaha menelan kata-kata anaknya itu. Apabila Gimpul menantu yang sembada, pak Kampun tak akan terlampau gelisah. Tetapi malangnya Gimpul bukan lelaki yang sembada, suami yang bisa ngayomi isteri apapun yang terjadi. Pak Kampun hanya bisa menghela resah. Sejak kematian isterinya memang banyak hal yang berubah di dalam rumah. Setidak-tidaknya segala sesuatu seperti tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Untuk kebutuhan makan sehari-hari, terpaksa meminta bantuan tetangga untuk memasak. Salatun masih larut dalam kesedihan. Salatun benar-benar merasa kehilangan dengan

kepergian simboknya. Si anak ragil itu berubah menjadi pemurung. Jasmi juga melihat hal itu. Bapak harus mencari batur." ucap Jasmi. Pak Kampun memandang Jasmi. Namun pak Kampun tak berkomentar apapun. Jasmi melanjutkan, "Kang Tanjir tidak menghendaki aku pulang. Jika Salatun masih larut dalam kesedihannya, sebaiknya bapak ngingu batur, untuk memasak mencuci dan sebagainya." Sebuah gagasan yang memang masuk di akal. Maka demikianlah, pak Kampun menganggap menggaji seorang bedinde memang merupakan jalan pemecahan yang sebaikbaiknya. Atau mungkin kawin lagi? Dengan kawin lagi bukankah pemecahan masalah juga selesai? Dengan punya isteri lagi berarti ada orang yang akan menggantikan kedudukan mbok Kampun? Ahh, terlampau dini untuk kawin lagi. Isterinya mati belum genap empat puluh hari, sungguh tidak patut kalau terlintas pikiran macam itu. Beberapa hari kemudian, hari masih pagi ketika sebuah dokar berhenti di depan rumah, mengagetkan Jasmi yang melamun. Pandangan Jasmi pada adiknya sekaligus menjadi sebuah pertanyaan. Salatun tidak menunggu terlalu lama untuk segera menerangkan apa yang terjadi. "Di rumah sekarang sudah ada batur. Batur yang cantik sekali." Salatun membuka cerita. Jasmi kaget. "O ya? Batur cantik? Siapa?" tanya Jasmi. Cah Rogojami, namanya Salehak. Tadi malam kang Tanjir dan kang Jayus perang baratayuda gara-gara batur itu." jelas Salatun. Jasmi kaget. Batur sampai menyebabkan dua kakaknya berkelahi, apa persoalannya? Jasmi yang mengusulkan kepada bapaknya agar mempekerjakan batur, maksudnya batur yang lumrah saja. Batur yang tidak lumrah itu ya seperti yang ada di sinetron atau film,

contohnya Inem pelayan seksi itu. Artinya jika batur itu cantik, malah bisa menjadi sumber masalah. Sudah banyak cerita tentang perselingkuhan antara majikan dengan babu. Juga sudah banyak cerita tentang babu cantik yang menjadi penyebab ketidak-tenteraman. "Kenapa?" desak Jasmi. Salatun membuang pandang ke kejauhan, seperti membuang sesuatu yang menggelisahkan hatinya. "Karena baturnya cantik dan nggregetke. Sing rumangsa dadi lanang mbingungi" jawab Salatun. Jasmi lebih kaget lagi. "Terus?" "Aku tidak kerasan di rumah yu. Aku ikut kamu saja. Mana suamimu?" Jasmipun gelisah. Ayahnya telah menggaji seorang batur sebagaimana saran yang diberikannya. Akan tetapi batur itu menyebabkan dua saudaranya bertengkar. Kalau Tanjir yang brangasan, berkelahi dengan Jayus yang juga brangasan, akan seperti apa keadaan di rumah? Rumah yang berubah suram itu akan menjadi sebuah neraka yang panasnya mampu mengilas siapapun yang tinggal dalam rumah itu. "Yu Jasmi, aku boleh ikut kamu di sini?." Salatun mendesak. "Kamu ini bagaimana? bapak tidak ada temannya malah Kamu tinggal pergi. Kalau aku dan kang Gimpul, sudah terlanjur basah kuyup maka biarlah kami seberangi sekalian. Sebaliknya kami tidak mungkin pulang dan tinggal di rumah karena kang Tanjir sikapnya seperti itu. Kami di sini hidup sengsara Tun, suamiku tak bekerja. Yang bekerja membanting tulang aku. Kau lihat di depan itu, aku jualan." Salatun memandang ke arah yang ditunjuk. Di atas meja memang ada beberapa barang dagangan yang tak seberapa nilainya. Beberapa buah toples berisi permen, beberapa mainan murahan yang digantung-gantung. Juga karet gelang yang diikat-ikat.

Salatun agak heran, Kang Gimpul mengijinkan?" tanyanya. Jasmi mengangguk mendahului jawabnya. Ya, akhirnya mengijinkan. Habis mau makan apa kalau tak bekerja?, mau makan lungka?" Namun Salatun memandang dagangan itu dengan tatapan bergairah. Bisa membantu jualan mbakyunya bagi Salatun tidak ubahnya mendapatkan sebuah mainan yang menyenangkan. Aku ikut kau yu, aku akan membantumu jualan." berkata Salatun dengan penuh semangat. Salatun membayangkan, jualannya nanti akan laris dan semakin laris, kemudian akan berubah menjadi sebuah toko yang besar, dan akhirnya semakin besar seperti swalayan yang ada di Banyuwangi kota. Jasmi menggeleng. Jangan Tun aku keberatan. Lebih baik kau tinggal di rumah. Setidak-tidaknya kau akan bisa menjadi air penyejuk rumah itu sepeninggal simbok. Kasihan bapak kalau kau tinggal di sini." berkata Jasmi dalam keprihatinan yang berharga amat mutlak. Aku merasa ngeri melihat kang Tanjir dan kang Jayus penthelengan saling berebut perhatian Salehak batur genit itu." berkata Salatun. Sebenarnya Jasmi heran. Seperti apakah ujut lahiriah batur itu sampai-sampai dua kakaknya sanggup bermusuhan bahkan saling ancam akan bacok-bacokan? Apakah dia cantik?" tanya Jasmi penasaran. Ya." jawab Salatun. "Sangat cantik. Aku dan yu Jasmi saja kalah cantik, Mmm, anu, wajahnya sepeti siapa ya? Mmmm, o ya, seperti bintang pilem yang membintangi iklan samphoo yang rambutnya digeraikan begini itu lho. Jasmi gelisah. Seberapa parah sebenarnya persoalan yang berkembang di rumah, apakah

kehadiran pembantu rumah tangga itu telah menjadi api di dalam sekam yang siap berkobar setiap saat? Siap membakar hangus siapapun, menjadi provokator yang mendorong kakak beradik Tanjir dan Jayus untuk memulai perang baratayudha? Nampaknya memang demikian. Kehadiran pembantu bernama Salehak yang ujut lahiriahnya memang cantik itu membuat gerah seisi rumah. Pada suatu saat Tanjir baru saja dari sumur. Salehak sedang menjemur setumpuk pakaian setelah mencucinya di sungai. Salehak sendiri dalam keadaan basah kuyup mencetak lekuk-lekuk tubuhnya dengan sempurna. Itulah sebabnya pikiran Tanjir menjadi ngeres, gelisah dan serba salah. Begini salah, begitu salah. Laki-laki yang banyak memiliki kukul di wajahnya itu kebingungan sendiri. Tanjir merasa akan menjadi gila kalau tidak mendapat kesempatan menyalurkan hasratnya pada pembantu rumah tangga itu. Namun bukan hanya Tanjir yang kalang kabut. Jayus tidak kalah ngeres gara-gara melihat keadaan Salehak pada saat mengepel lantai. Lantai yang meski dari tegel namun jarang dipel itu menjadi bersih dengan kedatangan Salehak. Sebagaimana kakaknya, maka Jayus telah sampai pada pilihan yang tak bisa ditawar, entah bagaimana caranya Jayus harus bisa memiliki pembantu rumah-tangga itu. Bagaimana dengan Salehak? Prawan osing itu sungguh bikin gemes siapapun. Sulit untuk dimengerti mengapa gadis yang secantik Salehak, pantat berbentuk bulat, kalau berjalan menimbulkan gempa di sekujur tubuhnya, tatapan mata yang sayu sejuk dan cara bicara yang lembut seperti putri Solo, mengapa gadis secantik itu mau jadi babu? Salehak meski cantik bernasib sungguh malang. Belum lama berselang bapak-ibunya mati susul-menyusul. Sang bapak mati karena tertimpa pohon kelapa saat berteduh dari hujan. Sang isteri mungkin karena rasa cintanya menyusul kepergian suaminya, dengan meninggalkan Salehak hidup sendiri di dunia ini. Apa boleh buat, karena waktu terus berjalan, segala hal terus berputar, perjalanan hidup

selalu dikawal oleh berbagai kebutuhan, maka Salehak tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus bekerja, bekerja apapun bahkan sebagai babu sekalipun. Pilihan telah jatuh. Tawaran untuk bekerja sebagai babu di rumah pak Kampun itu diterimanya dengan senang hati. Dengan bekerja membabu setidak-tidaknya bisa makan setiap hari. Syukurlah jika nanti anak majikan ada yang kesengsem kepadanya dan kemudian memungutnya, menaikkan pangkat dari babu menjadi isteri. Sebenarnya ada beberapa lelaki yang ingin mengawini Salehak. Namun kalau sudah berbicara soal lelaki, Salehak yang lembut sejuk bisa berubah menjadi judes. Salah seorang lelaki yang ingin mengawininya itu bernama Sutrimo, orang Penataban yang bekerja sebagai tukang patri kemasan dan mangkalnya di Pasar kota Banyuwangi. Sayang Sutrimo lelaki yang nggratil, tangannya gemar ketrampilan diimbangi pula dengan mulut yang suka omong jorok. Omongan jorok itu dibalas dengan dampratan dan segala jenis sumpah serapah oleh Salehak. Trimo terpaksa mundur sambil membalas menyumpah-serapahi dengan segala macam kutukan. Sumpah serapah khas osing, Aja payu rabi sira ya. Muga byain pilih-pilih tebu, sing entuk pucuke entuka bongkote." Apakah serapah macam itu bisa bermuatan kutukan? Mungkin saja tidak. Namun akan menjadi lain soalnya jika berbicara dengan orang osing yang kebetulan punya jiwa bengkak seperti Trimo itu. Kalau dendam tidak segan-segan menabur tembang kemenyan, kalau cinta ditolak, tidak segan menabur tembang jaran goyang. Dan kalau tembang jaran goyang bermuatan jampi-jampi japa mantra itu cukup manjur, maka boleh jadi orang yang menjadi sasaran tembang jaran goyang itu akan berbalik tergila-gila kepada orang yang semula ditolaknya, atau bisa lebih parah malah menjadi gila, menyusur jalan menyanyikan tembang kalong embat-embat, sambil menarik tali yang pada ujungnya terikat beberapa biji kaleng kosong, menimbulkan suara riuh di sepanjang jalan yang dilewatinya.

Dengan keadaan seperti itulah Salehak memilih pergi meninggalkan Rogojampi dan ikhlas menjadi babu di rumah pak Kampun. Hari-hari belum genap pada hitungan jari ke dua belah tangan, akan tetapi kehadiran Salehak itu mampu membuat suasana rumah pak Kampun tegang. Tanjir yang mengetahui Jayus naksir berat pada babu cantik itu telah mengasah pedang. Jayuspun tidak mau surut. Untuk hal yang lain boleh saja Jayus menepi, namun untuk bisa mendapatkan babu cantik bernama Salehak itu Jayus rela berkalang tanah dan mempertaruhkan selembar nyawa yang dimilikinya. Itu sebabnya sebuah celurit diasahnya. Celurit madura melawan caluk osing, siapa yang akan mendahului membenamkan benda tajam itu ke dalam perut pesaingnya? Jayus ataukah Tanjir? Siapa yang bakal memenangkan persaingan perebutan piala cantik dengan jabatan babu bernama Salehak itu? Pada sebuah saat, di mana pak Kampun sedang tidak berada di rumah, Tanjir dan adiknya telah saling berhadapan. Tanjir memandang Jayus yang memegang celurit di tangan kanannya. Celurit itu diasah mengkilap. Tanjir bisa mengukur, kalau saja ayunan celurit itu menyambar kepalanya hanya dengan sekali tebas saja, maka kepala itu akan berpisah dan mengucapkan selamat tinggal kepada gembungnya. Tanjir ngeri membayangkan hal itu akan terjadi pada dirinya. Namun sebaliknya Jayus juga sadar, bahwa caluk panjang di tangan kakaknya itu sangat tajam. Caluk yang terbuat dari per prahoto itu telah diasah mengkilap. Jayus pernah mengintip saat Tanjir melakukan tes terhadap caluk kebanggaannya. Sekali ayun pohon pisang sebesar pelukan, langsung putus. Kalau caluk itu diayun menyambar perutnya, maka isi ususnya akan terburai keluar. Jayus pernah mendengar kisah tentang Haryo Penangsang yang mati dengan usus terburai dibabat tombak oleh Sutowijoyo. Jayus tentu tidak menginginkan hal itu terjadi pada dirinya.

Karena Tanjir melakukan tes caluk, maka Jayus mengadakan tes clurit pula, pohon pisang yang berada di sebelahnya dibabat putus dengan sekali tebas pula. Jika hanya ada dua pilihan yang tidak bisa dihindarinya, dibunuh atau membunuh, maka apa boleh buat, lebih baik membunuh daripada dibunuh. Seperti prinsip tentara itu, lebih baik mendahului membunuh musuh daripada kedahuluan mati konyol diberondong peluru musuh. Asu," Tanjir mengumpat kasar. Kamu yang asu." Balas Jayus tidak mau kalah. Bajingan kowe." Tanjir tidak mampu menahan emosinya. Jancuk Tanjir sangat marah melihat Jayus itu menjadi pesaingnya. Tanjir agak kecewa melihat kenyataan, Salehak yang dibidiknya itu lebih dekat dan akrab dengan Jayus. Dari segi tongkrongan Jayus memang lebih tampan darinya. Diumpat amat kasar macam itu tentu saja Jayus tidak bisa menerima. Kowe yang bajingan.... Ayo, kamu mau apa?" begitu ganas Jayus menjawab umpatan kakaknya itu. Dengan amat waspada tangan kanannya menggenggam gagang celurit. Kalau Tanjir sampai mengayunkan pedangnya, maka Jayus akan menghindar sambil balas menyerang. Jayus yakin, ayunan celuritnya pasti akan mampu merobek perut saudaranya itu. Akan tetapi sebagaimana Jayus yang memilih menunggu, maka Tanjir sebenarnya juga ragu. Ada rasa ngeri dan takut kalau perkelahian berebut babu itu sampai terjadi. Rupanya di balik kegarangannya, baik Tanjir maupun Jayus masih menyimpan secuil sikap pengecut, jirih wedi getih. Pedang ataupun celurit buatan Madura dengan ujung lancip itu hanya sebagai alat untuk menggertak. Namun jika harus menggunakan, nanti dulu. Jangan kau dekati dia." ancam Tanjir. Jayus meremehkan ancaman itu. Justru kau yang jangan dekati dia."

Tak bacok kowe." ancam Tanjir. Jayus bergeming di tempatnya. Bacoken, kalau ingin kubabat endhasmu, ha?" Mendengar suara kedua kakaknya bertengkar dan masing-masing telah menggenggam pedang membuat Salatun ketakutan dan sebisa-bisa berusaha melerai mereka. Berhenti." teriak Salatun. Teriakan Salatun itu menjadi semacam tombol yang secara otomatis menghentikan mereka. Baik Tanjir maupun Jayus yang sebenarnya tidak berani menanggung resiko mampus dalam perkelahian, segera saja memanfaatkan kesempatan itu untuk ngeloyor pergi. Untung ada Salatun yang memisahkan mereka, kalau tidak, betapa sulitnya mencari alasan untuk menghindar dari perkelahian itu tanpa kehilangan muka. Keadaan rumah macam itulah yang menyebabkan Salatun merasa tidak betah dan pergi ke rumah kakaknya. Rupanya Tanjir sadar sepenuhnya, bahwa segala sesuatunya tergantung pada Salehak sendiri. Kalau ia berhasil menghadang Jayus, apalah artinya itu kalau ternyata Salehak tidak mau kepadanya. Itulah sebabnya Tanjir berusaha menanamkan pengaruh pada prawan osing bernama Salehak yang punya tahi lalat di dagu itu. Hmmm,.." Tanjir berdehem mengejutkan Salehak. Salehak menabur senyum, membuat Tanjir kalang kabut. Ohhh, kang Tanjir? Ada apa kang?" tanya Salehak ramah. Tanjir membalas senyum itu. Kau sedang apa? Okey" Tanjir membuka percakapan dengan pertanyaan yang sangat wagu. Mestinya Tanjir tidak perlu bertanya, karena Tanjir tahu apa yang dikerjakan Salehak. Lagi pula kenapa harus menggunakan kata Okey?

Aku menghangatkan makanan, kang." jawab Salatun. Tanjir memandang babu Salehak dari ujung kepala hingga kaki dengan lahap. Salehak terpaksa menundukkan wajah. Aku dhemen padamu Hak. Bagaimana? Okey" Ditanya seperti itu Salehak mendongak. Cara Tanjir mengungkapkan isi hatinya terlampau kasar dan langsung tanpa diberi awalan terlebih dulu. Seolah juga bermuatan ancaman "Awas kamu kalau tidak mau." Apakah kau mau dhemenan dengan aku Hak? Kita saling dhemen. Bagaimana? Apakah kau bersedia? Okey?" Kata okey saat itu sedang populer di ruang pergaulan Tanjir. Itulah sebabnya sedikitsedikit Tanjir menggunakan kata-kata itu. Mesti adakalanya tidak pada tempatnya, seperti misalnya pada kalimat, Kau okay mau ke mana ha okay?. Sekali waktu sempat juga muncul kata-kata Mek, maksudnya Mac. Maka sedikit-sedikit Hai mek, jangan dong mek, bahkan ketika bahasa gaul anak-anak muda Jakarta begitu populer, sedikit-sedikit dong dan deh. Ahhh, jangan begitu dong deh! atau Gilo le, lagi enak-enak tidur di bangunan. Maksudnya : Gila lu, lagi enak-enak tidur dibangunin. Cemas kalau tidak berhasil Tanjir lebih memberikan tekanan. Salehak menunduk. Salehak tiba-tiba ingat Sutrimo yang juga pernah menyampaikan minatnya untuk dhemenan. Namun Sutrimo suka misuh dan kasar. Salehak melihat sosok macam itu pada diri Tanjir. Sebenarnya kalau boleh memilih, Salehak tentu akan menjatuhkan pilihannya pada Jayus yang lebih tampan dan halus perangainya daripada Tanjir. Aku masih bocah kang, aku belum tahu apa-apa." Salehak menjawab. Tanjir merasa ada sebuah penolakan. Tanjir cemas. Jangan khawatir, Nanti akhirnya kau akan tahu apa-apa. Mau ya? kau jadi kepunyaanku mau ya?" Tanjir memberondongkan peluru rayuannya. Rayuan yang terasa wagu.

Salehak menunduk, bingung dia. Tanjir menjulurkan tangan maksudnya akan mengelus pipi, Salehak surut selangkah. Biasanya kalau diperlakukan seperti itu, Salehak bisa berubah menjadi prawan beringas, akan tetapi kali ini Salehak terpaksa harus berfikir dua kali. Salehak tentu tidak mau kehilangan pekerjaan karena, misalnya sampai diusir dari rumah itu. Aku hanya batur kang." Salehak berbicara sambil menghindar. Kalau hanya itu alasannya, Tanjir jelas tidak peduli batur. Bukankah batur itu bukan species alien yang harus dihindari. Batur bukan jenis penyakit menular yang harus diusir? Batur itu manusia juga. Apalagi batur cantik seperti Salehak, batur secantik itu harus dilestarikan. Tidak apa-apa. ucap Tanjir. Sekarang kau jadi batur. Namun nanti kalau kamu sudah jadi kepunyaan diriku, kamsudku eh maksudku menjadi isteriku, derajadmu akan naik tidak batur lagi tetapi Bu Tanjir. Mau ya jadi dhemenanku? Ingat, kalau Jayus kunyuk itu mencoba merayumu, kau jangan mau. Kau harus menjadi dhemenanku. Kau dengar itu?" Salehak tidak menjawab, ia diam. Salehak agak takut karena dari mulut Tanjir ada bau nafas yang aneh. Bau alkohol? rasanya bukan. Siapapun yang akan mencoba mengusikmu, akan kubunuh. Okey?" Tanjir melanjutkan. Bagaimanapun ancaman itu mengerikan. Tentu saja Salehak ketakutan. Dulu di Srono pernah terjadi dua orang pemuda saling berbunuh hanya karena berebut perhatian seorang wanita. Apakah hal itu harus terulang kembali dengan dirinya sebagai obyek yang diperebutkan? Lebih jauh Salehak merasa ngeri kalau ingat kejadian setahun yang lalu. Seseorang dibunuh beramai-ramai karena dituduh dukun santet. Hanya karena suka membual punya kemampuan supranatural, bisa nyantet, bisa membuat dagangan jadi laris, maka dibantailah orang itu oleh tetangganya yang sesama dukun yang merasa iri melihat kelarisan praktek dukun pesaingnya. Padahal menurut Salehak yang amat mengenal orang itu, dia membuka praktek menjadi dukun karena ada pasarnya, karena banyak yang membutuhkan, karena

banyak orang goblok yang percaya dukun, dan terakhir karena duitnya. Apakah dia benarbenar bisa memasukkan bongkahan kaca, jarum, serpih kain ke perut orang, itu sih omong kosong. Kebetulan juga Salehak menyimpan pengalaman mengerikan di benaknya. Salehak melihat dengan mata dan kepalanya sendiri seseorang dibakar massa karena kepergok mengambil mangga milik tetangga. Celakanya mengambilnya tanpa permisi alias menyolong. Celakanya lagi beberapa hari sebelumnya di Lemahbang, tempat kejadian itu , banyak terjadi maling dan kecurian yang menyebabkan setan burik dengan gampang menempatkan diri sebagai provokator mengipasi keadaan.

Pencuri mangga yang malang itu, Sukarjo namanya, ia digebuki massa yang sedang beringas marah dan membutuhkan penyaluran. Sukarjo dijotosi, ditonyo, dijejaki hingga benar-benar bengep dan babak belur, yang terakhir, entah siapa yang punya gagasan, cukup hanya dengan satu liter bensin yang disiramkan ke tubuhnya dan hanya sejresan korek api, menghantarkannya melongok gerbang kematian. Salehak ikut menyumbang menangis melolong-lolong, meratapi kematian absurd dan siasia itu, karena Salehak sangat mengenal Sukarjo yang adalah pakliknya sendiri, satu-satunya kerabat yang dimilikinya yang masih tersisa. Sukarjo terpaksa mencuri mangga muda karena memenuhi permintaan isterinya yang hamil muda. Sayang sekali isterinya tidak mau mangga yang bisa dibeli di pasar, mangga itu harus diambil langsung dari pohon, mengambilnya harus nyolong. Itu ngidam yang benar-benar membunuh suami. Itulah kenangan yang mengerikan bagi Salehak, yang menyebabkan jantungnya bisa rontok melihat orang berkelahi.

Namun Tanjir hanya bisa menggeram menahan marah yang serasa akan meledak di ubunubun melihat giliran saudaranya juga mendapat kesempatan merayu Salehak, si batur cantik itu. Dari balik pintu, Tanjir ingin mengetahui bagaimana Jayus merayu Salehak. Salehak..." tiba-tiba saja Jayus muncul mengagetkan. Nada sapanya seperti intro sebuah lagu. Khhh, ada apa kang Jayus?" Salehak kaget. Tanjir tadi omong apa?" tanya Jayus. Kang Tanjir tidak omong apa-apa. Ada apa to?" jawab Salehak. Salehak memulas senyumnya dengan ikhlas. Tanjir yang bersembunyi di balik pintu dan memperhatikan apa yang terjadi serasa retak dadanya. Rasa cemburu memang bisa membuat dada sesak. Ia tadi mengajak kau dhemenan ya?" desak Jayus setengah berbisik. Dengar Hak, kau jangan mau. Kau tidak pantas jadi dhemenannya. Pantasnya kau jadi dhemenan-ku. Kau mau ya Hak, mau jadi milikku ya?" Sehari dua cinta, pilihan yang manakah yang harus diambil? Merasa beruntungkah Salehak yang hanya seorang batur atau babu, ditaksir habis-habisan oleh dua laki-laki anak majikannya? Beruntung atau malah buntung? Aku hanya batur kang Jayus." suara Salehak terdengar lembut. Alasan yang sama digunakan Salehak untuk menghadapi Jayus. Namun tentu saja Jayus pantang mundur. Jayus merasa tak ada artinya hidup di dunia ini tanpa Salehak. Lebih baik mati daripada cinta ditolak. Pokoknya, kau jangan mau dirayu Tanjir. Tanjir itu laki-laki yang tidak bertanggung jawab, suka main perempuan dan banyak penyakitnya. Jika kau mau tahu, burungnya nanahen. Dia kena penyakit. Kalau kau dengannya, kau akan ketularan." Tanjir yang bersembunyi di balik pintu tersentak kaget, dan seketika saja marahnya telah

sampai di ubun-ubun. Tanjir mengumbar pisuhan yang keras dan kasar. Bajingan, apa kau bilang?" serapah Tanjir. Manukmu nanahen." jawab Jayus enteng. Asu kau, Bajingan kau." Tanjir benar-benar emosi. Tangan kanannya telah memegang caluk. Salehak ngeri. Kalau sampai terjadi perang di antara kedua laki-laki itu, dan Salehak menempatkan diri sebagai penyebab, waaah, itu mengerikan sekali bagi Salehak. Jayus tidak peduli meski Tanjir mencabut caluk, ia segera mengeluarkan celuritnya. Jayus sadar Tanjir tak akan berani menggunakan caluk itu sebagaimana dirinya juga tidak akan berani mengadu nyawa. Darah mereka tak dialiri watak orang Madura pada umumnya yang punya budaya carok untuk membela ghirah. Bukankah benar yang kukatakan? Burungmu nanahen karena kau suka pergi kelonan dengan wereng? kau mau apa?" Tanjir mengayun caluk melemaskan tangan, siap untuk bertempur. Jangan kang, jangan berkelahi" Salehak sangat gugup. Namun Tanjir benar-benar marah karena rahasianya diobral adiknya sendiri. Kali ini Tanjir sudah tidak punya pertimbangan apapun. Apa boleh buat kalau memang harus membantai adiknya, ia akan lakukan itu. Jayus kaget oleh kesungguhan kakaknya. Jayus tidak mengira Tanjir benar-benar sangat marah. Jayus agak gugup, dan dengan segera mengayun-ayunkan celuritnya. Salehak yang amat ketakutan ndeprok di sudut ruang tak bisa berbuat apa-apa. Dua pejantan telah siap bertarung. Jayus melangkah berkisar menyusur ruangan itu sambil tangannya menggenggam erat celuritnya. Jayus kaget ketika melihat Tanjir benar-benar mengayunkan caluknya ke arah lehernya. Dengan amat gugup Jayus mengimbangi ayunan itu dengan sabetan celuritnya. Untungnya

kedua senjata itu saling bentur. Tanjir segera mempersiapkan diri. Jayus yang tidak mau mati konyol di tangan kakaknya sendiri segera mempersiapkan diri pula. Gila... ucap Jayus pada diri sendiri karena tidak mengira kakaknya benar-benar marah. Pada saat itulah terdengar suara batuk pak Kampun yang baru pulang dari menengok tanaman tembakaunya. Suara pak Kampun itu begitu besar pengaruhnya dan sekaligus menyadarkan Tanjir yang sudah waringuten untuk menyisakan pikiran bening, layakkah dia berbantai dengan adiknya berebut batur? Jayus yang semula merasa dadanya sesak, memperoleh kesempatan untuk mengisi paru-parunya. Gila. Kang Tanjir ternyata bisa nekad. desis Jayus gugup. Keringat mengembun di keningnya. Tanjir ngeloyor begitu saja. Di halaman depan ia berpapasan dengan bapaknya. Untuk apa caluk itu Njir?" tanya pak Kampun. Mbabati pisang." jawab Tanjir sekenanya. Pak Kampun memandangi Tanjir dengan tatapan mata heran, namun segera ditelannya rasa heran itu setelah Tanjir terlihat benar-benar pergi ke kebun. Sementara itu Jayus juga ngeloyor begitu saja, meninggalkan ruang tengah melalui pintu belakang. Pak Kampun mandi di sumur. Setelah beberapa hari menjadi duda emosinya yang sempat guncang mulai stabil. Pak Kampun bahkan mulai bisa menanggapi guyonan tetangga yang menganjurkan dia untuk kawin lagi. Kawin lagi? Ada-ada saja. Manakala pak Kampun membaringkan diri, tetap saja ada yang terasa ganjil. Ada sesuatu yang hilang entah ke mana. Biasanya jika penat begitu, pak Kampun selalu memanggil isterinya. Meski malas dan ngedumel namun mbok Kampun pasti akan memijiti tubuh suaminya itu. Capek sekali. Apa salahnya kalau menyuruh Salehak memijat. Dengan agak tergopoh

Salehak masuk ke kamar pak Kampun. Pak Kampun nimbali kula? tanya Salehak yang berdiri di tengah pintu. Ya." jawab pak Kampun pendek. Ngersaaken menapa pak?" Salehak ternyata mampu berbahasa Jawa halus. Tubuhku capek semua Hak. Sekujur tubuhku, rasanya pegal semua. Kau bisa memijat?" Saget jawab Salehak. Baiklah, pijatlah aku." berkata pak Kampun. "Dengan kerokan juga?" bertanya Salehak. Pak Kampun memandang Salehak sambil agak mengantuk. Aku tidak sedang masuk angin. Aku hanya merasa tubuhku lungkrah semuanya. Aku ingin kau pijat tubuhku." jawab pak Kampun sambil menguap. Silahkan pak Kampun berbaring, saya akan memijat." Salehak gadis yang lugu itu dengan senang hati melaksanakan perintah yang baru saja diberikan majikannya. Namun yang namanya pijat, yang mampu nyerempet ke hal-hal yang "greng", menyebabkan pak Kampun tiba-tiba berkeinginan lain. Lelaki tua yang semula dipijat dengan tubuh telungkup itu kemudian telentang. Salehak batur yang lugu itu terus memijit tubuhnya. Pak Kampun merem melek. "Pijatanmu enak sekali." pak Kampun membuka percakapan. Salehak menunduk. "Apa benar pak?" bertanya Salehak dengan nada lugu. "Ya, pijatan tanganmu enak. Kau dapatkan dari mana ilmu memijat itu Salehak?" tanya pak Kampun. Ahhh, yang benar saja. Apa ya mungkin bagi Salehak kursus memijat segala untuk menjadi seorang babu. Pertanyaan pak Kampun yang seperti sekedar bertanya itu tidak

dijawabnya. Salehak terus melaksanakan tugasnya dengan baik, memijat menyusur betis. Pak Kampun makin salah tingkah. Pikiran pak Kampun mulai ngeres. Ingat isterinya, ingat kehangatan. Ingat betapa sepinya malam-malam setelah hidup menduda. Pak Kampun merasa sisa hidupnya seperti hampa, tak ada cahaya atau api, tidak ada kehangatan yang jika dibutuhkan setiap saat, akan hadir pula setiap saat. "Umurmu sekarang berapa?" bertanya pak Kampun. "Saya?" Salehak membalas dengan pertanyaan. "Ya." kata pak Kampun tenang. Salehak rupanya punya kebiasaan, setiap kali ia ditanya selalu balas bertanya. "Umurmu sekarang berapa?" Saya delapan belas tahun." Pak Kampun tua itu lantas manggut-manggut. Seolah-olah pak Kampun tengah merenungkan usia yang baru delapan belas tahun itu. Namun yang riuh di benaknya justru persoalan lain. Bukan hanya sejak isterinya meninggal dunia pak Kampun tidak pernah menggunakan aji Dewo Rengku. Namun malah sudah jauh sebelum itu, yaitu ketika pada sebuah fase di mana seorang wanita sudah tidak mau atau tidak sanggup lagi melayani suaminya, dan bahkan mempersilahkan untuk jajan saja di luar saja daripada harus ngladeni gituan, sebuah fase di mana di mata isteri, seorang suami telah berubah menjijikkan bagai monster. Pasalnya, Ajian dewa rengku yang dimilikinya selalu membuat gelisah. Bagaikan piaraan jin yang tiap hari Kamis malam Jum'at harus diberi sajian makanan kembang setaman dan kemelun bau kemenyan. Atau seperti ajian Candhabirawa milik Salya yang harus diasapi bau bandeng bakar di malam Rebo legi, karena kalau tidak aji dewa rengku akan menyulitkan diri sendiri. Swalayan? Alamak, orang macam pak Kampun mana tahu caranya?

Mau tahu apa arti Dewo Rengku itu? Kalau Dewo Rengkak itu gedhe dawa ireng mangkak. Dewo Rengku itu gedhe dawa ireng kaku. "Delapan belas tahun. Usiamu ternyata tidak seperti ujutmu. Delapan belas tahun adalah usia perawan yang sudah matang. Tetapi orang mungkin akan mengira kau baru berumur enam belas tahun atau bahkan empat belas tahun. Ternyata kau sudah delapan belas tahun. Apakah kau sudah pernah dhemenan?" Salehak menunduk, dengan rajin tangannya terus menggerayangi dada dan pundak melalui pijatan pijatan lunak nyaris bisa dikatakan tak bertenaga. "Saya?" kembali Salehak menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Pak Kampun menyeringai, maksudnya tersenyum. "Ya, kamu." "Sudah pak." jawabnya pelan tak bertenaga. "Kau sudah pernah disentuh oleh dhemenanmu itu?" "Saya?" "Ya, kamu. jawab pak Kampun. Bukankah aku tidak sedang berbicara dengan siapasiapa kecuali hanya dengan kamu?" "Sudah." jawab Salehak dengan tenang. Pak Kampun terlonjak. Tidak disangkanya Salehak yang lugu itu ternyata sudah tidak gadis. "Oo, jadi kau sudah tidak prawan lagi?" Justru Salehak yang merasa kaget oleh tuduhan itu. Salehak merasa bulu kuduknya bangkit. "Saya masih perawan ting-ting kok pak" gadis itu menjawab agak kurang berkenan. Wajahnya memerah sejenak. "Kamu tadi bilang, kau sudah pernah disentuh pacarmu?" bertanya pak Kampun. Salehak tersenyum. Ternyata bukan hanya Tanjir dan Jayus, di mata pak Kampun

senyuman itu terasa nggregetke. "Tangan saya dipegang, lalu jabat tangan,...." "Oooooo?" Semakin nikmat pak Kampun merasakan pijatan tangan lentik prawan osing bernama Salehak yang derajadnya hanya seorang batur itu. Pak Kampun entah mengapa, nafasnya mulai tersengal. Matanya berkunang-kunang dan bintang-bintang serasa bertaburan di manamana. "Sampun pak?" tanya Salehak yang kemudian merasa kecapekan. Namun untuk kenikmatan macam itu, mana mau pak Kampun buru-buru. "Belum, belum Salehak." jawab pak Kampun. "Sekarang silahkan tengkurap, saya akan memijit punggung" Akan tetapi pak Kampun menggeleng. Pak Kampun kemudian malah tersenyum, yang lagi-lagi diterjemahkan oleh Salehak sebagai sebuah seringai. Sebenarnya kasihan pak Kampun. Pada orang-orang tertentu, senyum bisa terbaca jelas sebagai sebuah senyuman. Namun kalau pak Kampun yang tersenyum orang membacanya sebagai sebuah seringai. Agak berbeda dengan Tanjir yang punya wajah mrengut. Ceria macam apapun anak pak Kampun itu, akan selalu terlihat mrengut. "Tak perlu tengkurap Salehak, pijatlah sebelah sini, di sini....." pak Kampun berbicara agak terbata. Wajah Salehak mendadak beku, rautnya merah padam. Namun apalah daya bagi Salehak yang hanya seorang batur, sementara yang menghendaki pijatan macam itu adalah majikannya. Salehak melaksanakan dengan tatapan mata jengah, bahkan kemudian dengan memejamkan diri. "Nuwun sewu," Permintaan permisi Salehak terdengar terbata. Pak Kampun memerlukan memejamkan mata beberapa saat lamanya.

"Enak sekali Hak. Isteriku di masa hidupnya tak pernah memanjakan aku dengan pijatan tangan seperti ini. Setiap malam, aku akan memintamu untuk memijat tubuhku, apa kau keberatan?" bertanya pak Kampun. "Saya?" balas batur itu. Ya, apakah kau keberatan?" "Tidak" Salehak memberi jawaban penuh ragu. Pak Kampun merasa kunang-kunang yang beterbangan mengelilingi benaknya semakin banyak, kunang-kunang itu kemudian berubah menjadi kupu-kupu, bahkan ada pula yang berubah menjadi burung yang beterbangan ke sana ke mari. Angan-angan pak Kampun makin melebar seperti melihat kelelawar bergelantungan di mana-mana. Salehak..." kata pak Kampun agak ragu. Saya pak?" Lepaslah bajumu." akhirnya pak Kampun mengutarakan isi hatinya. Salehak terlonjak oleh permintaan yang aneh itu. Saya?" tanya gadis itu. "Ya, kamu, lepaslah bajumu. Aku ingin melihat tubuhmu seperti apa." Salehak gadis malang, Salehak tak punya siapa siapa lagi di dunia ini setelah kematian ke dua orang tuanya. Menjadi sempurnakah kemalangannya setelah apa yang diperbuat pak Kampun kepadanya. Salehak mengusap air matanya sambil membenahi diri. Pak Kampun merasa puas, sangat puas merasakan gadis itu memang benar benar perawan. "Bukan main,....Waah, bukan main." Pak Kampun masih larut dengan kekaguman terhadap apa yang baru dikerjakannya. "Apakah saya sudah diperkenankan meninggalkan tempat ini pak?" tanya Salehak dengan

suara nyaris berbisik. "Tidak perlu Salehak, tidak perlu." jawab pak Kampun. Pak Kampun memandang babu Salehak dengan tidak berkedip. Sebuah gagasan mletik di benaknya. Kepergian isterinya seharusnya memang tidak perlu membuat dunia ini menjadi sepi. "Saya? Saya harus di sini terus?" bertanya gadis itu kebingungan. "Malam ini kau kuijinkan tidur di sini. Kau menemani aku tidur dan untuk selanjutnya, untuk selamanya, kau akan menghiasi tempat tidur ini." Salehak mencuatkan alis mengerinyitkan dahi. Gadis itu bingung. "Aku akan mengambilmu sebagai isteriku Salehak. Kau mau bukan? Kau mau menjadi isteri pak Kampun, bagaimana?" Salehak termangu, tidak tahu harus dengan cara bagaimana ia mencerna keinginan pak Kampun itu. Pak Kampun mengambilnya sebagai isteri? Mengangkat derajadnya yang semula hanya batur menjadi isteri dan dengan demikian juga menjadi Ibu bagi empat anak tirinya yang sudah dewasa dan bahkan berusia lebih tua dari dirinya? Gawat. Tentu saja yang gempar adalah Tanjir dan Jayus. Kedua lelaki anak pak Kampun itu kaget seperti disambar petir. Mula-mula Tanjirlah yang kaget karena tidak menemukan Salehak di kamarnya. Tanjir berprasangka buruk pada Jayus. Pintu yang dibanting keras membuat Jayus terlonjak. "Gila, mau apa kau? Mengapa kau membanting pintu?" tanya Jayus. Jayus langsung menyerapahinya. Akan tetapi Jayus terheran-heran melihat Tanjir membelalak kepadanya. Tanjir menggenggam caluk, Jayus segera melompat mengambil celurit yang memang telah disiapkan di bawah tempat tidur. "Apa yang kau lakukan?" Tanjir memberondongkan kemarahan.

Tentu Jayus terheran-heran. "Kau membicarakan apa? Apa maksudmu?" tanya Jayus. Jayus masih tetap tak mengerti mengapa kakaknya waringuten seperti itu. Dengan celurit digenggam erat di tangan kanan Jayus melangkah berkisar mencari tempat yang sabaikbaiknya seandainya perkelahian tidak mungkin dihindari. Tanjir yang dibakar cemburu merasa dadanya nyeri. "Mana dia?" tanya Tanjir sambil mengintip kolong tempat tidur. Tanjir berfikir mungkin saja Salehak disembunyikan di bawah tempat tidur? Diselempitkan seperti melipat barang? Jayus yang belum sadar apa yang terjadi ikut melongok bawah tempat tidur dan sekalian membalikkan kasur. Tidak ada Salehak bersembunyi di sana. Jayus menyeringai sebagai ekspresi rasa herannya. Akan tetapi Tanjir menangkap hal itu sebagai ejekan. Tanjir benar-benar marah, kali ini Tanjir sungguh tidak peduli. Kalau sampai ia kedahuluan, apa boleh buat, caluk yang berbicara. Jika sampai terjadi perkelahian berdarah yang mengakibatkan kematian, apa boleh buat. "Mana dia? kau sembunyikan di mana dia?" Tanjir berteriak. "Dia siapa?" balas Jayus dengan tidak kalah keras. Jayus ikut-ikutan melotot. "Salehak. Kau apakan dia ha? teriak Tanjir. Mana Salehak? Sudah aku katakan jangan ganggu dia tetapi kau tetap nekad saja. Mana Salehak?" Jayus kebingungan. Salehak? Jadi Salehak yang hilang? Salehak yang menyebabkan Tanjir marah dan menuduh dirinya menyembunyikan gadis itu. Kalau tuduhan itu betul dan kalau Jayus memang menyembunyikan Salehak, maka dengan senang hati dan penuh kebanggaan Jayus akan melayani apapun kehendak kakaknya. Namun Jayus tidak merasa menyembunyikan Salehak. Jadi ke mana Salehak? Ada apa

dengannya? Jayus beringsut. Tangan kanannya masih memegang celurit, dengan celurit itu pula Jayus menuding kakaknya. "Kau menuduh sesuatu yang membuatku bingung. Aku tak melakukan apapun." Tanjir menganggap jawaban itu sebagai upaya untuk menghindar dari kemarahannya. Tanjir sudah larut dalam prasangka, hilangnya Salehak jelas karena ulah adiknya itu. Tanjir kembali melongok kolong. Memang tidak ada Salehak di kamar itu. Jadi ke mana dia? Namun tetap saja sakit bagi Tanjir manakala membayangkan Salehak itu telah digremeti lebih dulu. Padahal Tanjir sudah bersumpah dalam hati, entah bagaimana caranya harus bisa memilliki batur yang cantik itu. Bahkan seandainya harus memperkosanya sekalipun. Rawerawe rantas malang-malang putung. Tanjir memelototi Jayus, matanya melotot setengah senti. Jayus membalas, matanya melotot satu senti. "Salehak tidak ada di kamarnya. Kau pasti sudah nggremeti dia. Kau ingin kubunuh atau bagaimana?" bertanya Tanjir. Yang dituduh padahal tidak merasa melakukan tentu saja ia tidak mau menerima. Namun Jayus kaget oleh keterangan itu. Jayus manggut-manggut. Dengan awas Jayus melirik kakaknya, kalau sampai caluk itu terayun, maka sepersekian detik Jayus harus bereaksi dengan mengayunkan celuritnya. Mungkin tangan kiri Jayus akan putus karena harus menangkis ayunan pedang, namun setidak-tidaknya ayunan celuritnya akan membabat leher. Nah, kalau tubuh Tanjir tidak berkepala bisa apa lagi dia, atau sebaliknya kalau kepala itu pisah dari tubuhnya, bisa apa pula dia? "Aku sama sekali tidak menyembunyikan Salehak" jawabnya pendek. "Jangan sembarangan kau menuduh"

Tanjir tetap tidak percaya. Jawaban Jayus itu berbau kebohongan. Ketika Tanjir mengayunkan caluk untuk melemaskan tangan, Jayus melakukan hal sama. Dua pejantan itu benar-benar sudah siap menyelesaikan persoalan rebutan batur itu melalui senjata tajam. Pada saat yang demikian itulah tiba-tiba pintu terbuka. Salatun muncul mewartakan kehadirannya dengan berdehem dan menyunggingkan senyum berbau sinis melihat kedua kakaknya siap bertarung berebut pepesan kosong. Sambil saling menjaga diri jangan sampai kecolongan, kakak beradik itu melirik Salatun. "Kalian bertengkar mempersoalkan apa? Bingung karena kehilangan Salehak?" tanya Salatun enteng. "Mana dia?" Tanjir tidak sabar. Matanya tetap tertuju pada Jayus. Tanjir cemas kalau pada saat ia lengah Jayus mengambil kesempatan dengan mendahului menyerang. Salatun merekahkan sebuah senyumnya, dengan lugas mentertawakan kedua saudaranya menyebabkan Tanjir dan Jayus penasaran. "Kau pasti bermaksud nggremeti Salehak, tetapi kau tidak menemukan dia di kamar belakang bukan?" tanya Salatun ringan sekali. Senyum Salatun memang membuat penasaran. Tanjir mendekat. "Lalu di mana Salehak?" "Intip saja di kamar bapak," jawab Salatun pendek.

***

5. LAYU KEMBANG MELATI

Jawaban yang pendek itu serasa sebuah gemuruh yang menghantam dada Tanjir dan Jayus. Seperti petir yang meledak ing mangsa ketiga, ketika langit begitu bersih tak ada selembar mendungpun, mengagetkan seperti tidak ada suara kencing kok tiba-tiba terdengar tai jatuh, menyebabkan kakak beradik itu njondil senjondil-njondilnya. Tanjir termangu karena membutuhkan waktu beberapa saat lamanya untuk mencerna apa yang dikatakan adiknya itu. Manakala Tanjir akhirnya menyadari apa yang kira kira terjadi, seketika wajahnya merah padam. Tanjir segera bergegas menuju kamar Bapaknya yang terpisah di bagian belakang, disusul kemudian oleh Jayus dan Salatun. Dari celah sebuah lubang Tanjir mengintip. Dan apa yang disaksikan membuat tubuhnya lemas. Lemas sekali, serasa tulang belulangnya melorot tidak mau lagi menyangga berat badannya. Dengan langkah lunglai pula Tanjir melangkah meninggalkan tempat itu menuju halaman. Jayus yang penasaran ganti mengintip melalui lobang kunci dan menyaksikan pemandangan yang benar-benar menyakitkan hati. Di dalam sana, Salehak yang telah membuatnya tergilagila sedang kelonan dengan bapaknya. Gemuruh amarah seketika menggelegak. Jayus berancang-ancang akan menerjang pintu itu. Akan tetapi sapuan angin dingin dan secuil kesadaran menahannya untuk tidak melakukan itu. Dengan gontai tanpa tenaga pula Jayus melangkah ke halaman menyusul Tanjir. Salatun mengekor di belakang. Di langit dengan cahaya bulan yang bulat sempurna tidak ada mendung sama sekali. Suara jangkrik dan lonte pemakan daun pisang saling bersahut-sahutan beradu irama dengan cenggeret. Di kejauhan sekali entah siapa yang nembang, terdengar suara yang memelas.

Gerigis, udyan gerigis, geluduke jepretan, aja sira nangis, sedela maning, arep panenan. Bajingan. umpat Tanjir di halaman. Sungguh serapah yang sempurna. "Bapak ternyata bajingan." Tanjir mengutuk. Tanjir merasa dadanya benar-benar bengkah. Untuk mengatur nafasnya yang tersengal susul-menyusul, Tanjir mengalami kesulitan. Namun di sela kepahitannya, Jayus mampu memandang kejadian itu dengan sudut yang berbeda dari kakaknya. Meskipun pahit Jayus merasa geli. Dua kakak beradik nyaris saling berbunuh, ternyata Salehak kelonan dengan bapaknya. Yang berebut nyaris toh pati, yang diperebutkan tenang-tenang saja bahkan larut dalam paduan kasih dengan bapaknya yang sudah bau tanah. Jayus tertawa bergelak-gelak. Tawanya terasa ringan memenuhi sudut pekarangan. Dengan sepenuh tenaga Jayus mengayunkan celuritnya. Tanjir kaget dan siap siaga. Tetapi rupanya celurit itu melesat menerobos kebun dan entah jatuh di mana. Jayus ndeprok sambil menutup wajah. Rasa gelinya tak terurai. Tanjir kemudian melihat, nasib Jayus memang tidak lebih sama dengan dirinya. Jadi untuk apa memusuhi Jayus? Bapak-nyalah yang harus dimusuhi. Tanjir menoleh ke arah di mana bapak dan babunya tengah kelonan. Serapahnya kembali muncrat dan semburat. Bapak bangsat, Tanjir berteriak. Sudah tua tidak tahu diri. Gaplek pringkilan, wis tuwek pethakilan. Dengan bersusah payah Tanjir berusaha berdamai dengan diri sendiri. Akhirnya Tanjir makin mereda. Tanjir kemudian merasa telah salah sangka. Tidak membutuhkan waktu terlalu lama bagi Tanjir untuk merasa senasib sepenanggungan dengan adiknya itu. Dua lelaki yang semula berseteru itu kemudian duduk berdampingan. Sama-sama memandang

bulan, sama-sama bertanya mengapa bisa demikian. Nun jauh di sana, seperti ada bayangan mbok Kampun melambaikan tangan. Apabila Tanjir dan Jayus hanya sekedar berangan-angan atau membangun mimpi yang digantung tinggi, tidak demikian dengan apa yang dilakukan pak Kampun. Keesokan harinya, bahkan ketika hari masih terasa pagi, pak Kampun pergi dengan mengajak Salehak. Dari kejauhan Tanjir dan Jayus memandang dengan rasa sakit luar biasa. "Ke mana mereka?" tanya Tanjir pada Salatun. "Tidak tahu" jawab Salatun pendek. Salatun memang tidak tahu ke mana bapak dan babunya itu pergi. Salatun menduga Salehak tentu diajak ke pasar Banyuwangi untuk belanja macam-macam sebagai imbalan atas layanan yang diberikannya semalam. Mungkin beli giwang atau kalung. Salatun merasa getir. Namun ia hanya menyimpan kegetirannya itu sendiri, tanpa bisa menyampaikan pada siapapun. Salatun ingat simboknya. Salatun kecewa karena belum genap empat puluh hari simboknya itu pergi, bapaknya sudah macam-macam. Jawaban atas ke mana perginya pak Kampun dan babunya pagi-pagi itu terjawab ketika matahari memanjat sampai di atas. Sarkem tetangganya datang tergopoh. "Tadi aku berjumpa dengan bapakmu" kata Sarkem. Jayus yang tidak begitu suka pada Sarkem hanya melirik. Namun rasa ingin tahunya tidak bisa dibendung. "Di mana?" tanya Jayus. "Di KUA jawab Sarkem. KUA? Itu singkatan dari Kantor Urusan Agama. Tempat orang-orang berurusan dengan soal perkawinan dan perceraian. Pak Kampun pergi ke sana dengan Salehak. Untuk apa? Di petang berikutnya beberapa tetangga diundang dalam sebuah acara selamatan alakadarnya, sekaligus sebagai sebuah pengumuman kepada para tetangga bahwa pak Kampun sekarang

tidak sendiri lagi, bahwa sudah ada mbok Kampun yang baru, yang menggantikan tugas mbok Kampun lama yang sudah kembali ke pangkuan Illahi. Para tetangga itu senang-senang saja karena di dalam bungkusan makanan yang dibagikan pada mereka terselip masingmasing sepuluh ribu rupiah. Salatun benar-benar salah tingkah ketika babu itu sekarang menjadi Ibu tirinya. Untuk mengubah panggilan Salehak menjadi Ibu, susahnya setengah mati. Sebagaimana mengubah image yang sudah terlanjur terbentuk, semula babu lalu sekarang menjadi simbok, sulitnya amit-amit. Salatun hampir tersedak saat di sebuah kesempatan sempat mendengar bapaknya itu memanggil Salehak Mama, dan meminta Salehak memanggil bapaknya Papa Tanjir dan Jayus jangan ditanya. Wajah kakak beradik itu benar-benar merah padam ketika pak Kampun memberikan pengumuman pengangkatan Salehak, yang karena dianggap sangat berprestasi, dinaikkan derajadnya yang semula hanya seorang emban itu menjadi ndara putri, Ndara Putri Kampun, atau garwa prameswari Kampun. Namun dalam bahasa tetangga, pengumuman itu bisa berarti kere munggah bale, yang bisa saja bermakna gelandangan naik tempat tidur, atau pengemis naik tempat tidur. Pokoknya semacam itu. Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari yang berjalan dengan timpang dan serba salah. Anakanak pak Kampun itu merasa begini salah dan begitu juga salah. Adalah Jasmi yang kaget manakala di sebuah pagi Tanjir dan Jayus muncul di rumahnya. Jasmi tentu tak bisa melupakan bagaimana sikap Tanjir, yang saat itu mengusirnya seperti seekor anjing yang tidak pantas berada di rumah itu lagi. Jasmi mencuatkan alis. "Mau apa kau ke sini?" Jasmi tidak bisa untuk tidak ketus. Namun Tanjir cuek. Tanjir seperti tidak ingat pernah mengusir adiknya itu. Tanjir menebarkan pandang.

Jayus memperhatikan barang dagangan yang ditata di atas meja seperti mainan pasaran. Tanpa permisi Jayus membuka toples mengambil beberapa biji permen. "Ternyata di sini rumahmu Jas?" Tanjir bertanya sambil menyeringai. Jasmi kebingungan menghadapi sikap kakaknya itu. Tanjir ternyata rai gedhek, tidak merasa walau Jasmi sudah bersikap judes dan amat tak bersahabat. Bahkan Jasmi tidak mempersilahkan ke dua kakaknya itu untuk duduk. Jasmi terpaksa memberikan jawaban. "Ya. Kami tinggal di sini." Tanjir manggut-manggut dan kemudian melakukan inspeksi ke semua ruang. Jayus hanya senyum-senyum. "Di sini enak, hawanya sejuk. kata Jayus. "Ya, karena rumah kami di ujung sawah." Jasmi memberikan jawaban. "Ke Mana suamimu?" Tanjir yang telah melakukan inspeksi ke semua kamar bertanya. Ada apa Tanjir bertanya suaminya? Apa Tanjir belum merasa puas dengan mengusirnya dan sekarang bahkan bermaksud membuat perhitungan dengan suaminya? "Aku tidak melihat suamimu." Tanjir kembali bertanya. "Sedang kulakan ke pasar" Jasmi melihat kedatangan ke dua kakaknya itu membawa persoalan penting. "Kenapa to?" Jasmi balas bertanya. "Ada perlu dengan suamiku? "Aku kemari untuk memberitahu kamu. Sekarang bapak kawin lagi." ucap Tanjir lugas. Jasmi terlonjak kaget. Seketika pantatnya kaku. Beberapa hari yang lalu Salatun datang bercerita tentang batur yang bikin geger seisi rumah, menyebabkan Tanjir dan Jayus bengkerengan siap mengadu nyawa. Ternyata bukan salah satu di antara mereka yang berhasil memperoleh piala batur yang bernama Salehak itu, tetapi ayahnya.

Bukan main. "Kau tidak kaget Jas?" tanya Jayus. Jasmi terpaksa tertawa, seperti ada sesuatu yang patut ditertawakan. "Jadi bapak kawin lagi?" tanya Bu Gimpul itu. "Ya. Bapak kita kawin lagi. Sekarang kita punya simbok baru. Nama simbok kita itu Salehak. Bekas batur." jawab Jayus. Tetapi tetap saja Jasmi sulit menerima. Masalahnya baru beberapa hari yang lalu ibunya meninggal. Bahkan masih sulit untuk menghapus wajah mbok Kampun dari kenangan. Tanah kuburan yang digali itu masih merah, pak Kampun sudah kawin lagi. "Bagus itu." Jasmi menggumam. "Aku sudah tahu kalau di rumah ada batur yang cantik yang bikin geger. Gara-gara batur itu kang Tanjir dan kang Jayus nyaris bacokan, nyaris saling berbantai." Jasmi tidak kuat menahan gelinya. "Ternyata yang dapat bapak Bagi Tanjir dan Jayus hal itu terasa sebagai kenyataan yang amat pahit untuk ditelan. Bukan racun tetapi sama pahitnya. Setiap kali Tanjir ingat ulah bapaknya, kemarahannya gampang terpancing, sumpah serapahnya begitu murah diobral ke mana-mana. "Dasar bajingan." Tanjir mengumpat. Jasmi kaget. "Siapa yang bajingan?" Jasmi bertanya. Bapak. Wis tuwa ra nyebut. Kalau sudah tua itu mestinya hanya mikir dalan padang. Kalau sudah tua ke mana perginya kalau tidak mati. Mbok mikir akhirat. Malah ngedan." Jasmi tertawa. Tanjir melanjutkan kata-katanya, "Padahal aku sudah terlanjur kesengsem pada Salehak. Batur itu benar benar membuatku edan. Kalau berjalan, gempa bumi di sekujur tubuhnya, Ia cantik sekali. Aku ingin sekali

menjadikannya sebagai isteriku." Begitu gampang Tanjir berbicara. Seingatnya, setiap-kali melihat perempuan cantik Tanjir selalu berkata begitu. Jangan kata perempuan cantik, sapi diberi bedakpun Tanjir bisa kasmaran. Bahkan pada saat mabuk minuman keras, kambing dikeloninya. Jasmi tidak tahan untuk tidak melecehkan, "Sebagai isteri apa kendaraan?" tanya Jasmi. "Isteri." jawab Tanjir. "Isteri apa tumpakan?" kali ini Jayus nimbrung bertanya, Tanjir melotot. "Mingkemma cangkemmu." Tanjir tersinggung. Namun bukan Jayus kalau tidak tertawa ngakak, mentertawakan semua kepahitan itu. "Bayangkan Jas. berkata Jayus. Kami berdua bersaing keras. Kami bahkan nyaris bacokbacokan dengan caluk dan celurit. Hampir saja di rumah kita akan ada layatan lagi setelah beberapa pekan yang lalu simbok meninggalkan kita. Eeeee, bapak yang memenangkan perlombaan. Glendam-glendem begitu ternyata masih ada kemauannya. Yang aku heran Salehak kok mau dengan lelaki tua seperti itu." Tanjir menambahi dan memberikan tekanan. "Kok lelaki tua yang sudah mau modar dipilih." Meski konyol seperti itu, namun Jasmi tidak ikhlas kalau bapaknya diumpati dengan kasar. Hanya anak yang tidak tahu diri dan kurang ajar yang sanggup misuhi orang tuanya. "Jangan kasar seperti itu kang Tanjir. Bagaimanapun juga dia bapak kita." Namun Tanjir terus nerocos. "Kalau aku tak ingat ia bapakku, kalau tak ingat melawan bapak itu dosa, sudah kubunuh dia." Seperti sepakat saja, Tanjir dan Jayus tertawa bersama.

Kang Tanjir dan kang Jayus datang ke sini mau apa?" Jasmi segera membelokkan persoalan agar tidak terjebak pada kutukan dan berbagai sumpah serapah kepada orang tua. Apapun kesalahan yang diperbuat pak Kampun rasanya sangat tak sopan kalau menyumpahinya. "Kau dan suamimu, harus pulang ke rumah." jawab Tanjir. Tentu Jasmi kaget. Tanjir bahkan sampai mengulang ucapannya untuk meyakinkan Jasmi agar pulang. Namun Jasmi tetap saja sulit percaya, apalagi bila ia ingat bagaimana dulu diusir seperti seekor anjing. "Setelah kami pikir sebaiknya kau pulang, kita hadapi bapak bersama-sama." Akhirnya Tanjir mengutarakan keperluannya, mengajak melawan bapaknya bersamasama? bapaknya harus dilawan? Dilawan karena apanya? Karena mengawini Salehak? Perkawinan harus dibatalkan untuk memberikan kesempatan kepada Tanjir serta Jayus ikut mencicipi kecantikan mantan batur itu? Jasmi menggeleng. Menghadapi bapak? Kenapa bapak harus dihadapi bersama-sama? Untuk membatalkan perkawinannya agar kalian bisa saling berebut batur itu lagi? Semuanya sudah terjadi, babu itu sudah menjadi isteri bapak, kalau bapak meninggal atau menceraikannya , maka status babu itu jandanya bapak, lalu apa ya patut ada anak mengawini Ibu tirinya? Jasmi memandang kedua kakaknya dengan tatapan sangat sinis. Jasmi berfikir, Tanjir dan Jayus itu memang seperti belut saja. Kalau ada perlunya tak segan menjilat ludah sendiri. Lihatlah bagaimana Tanjir sekarang ngompori dirinya supaya pulang dan bersama-sama menghadapi bapak, padahal, lagi-lagi Jasmi merasa nyeri dadanya setiap ingat bagaimana dulu ia diusir dari rumah. Namun Tanjir tidak tahu apa yang tengah berkecamuk di dalam dada adiknya itu. "Namanya juga lelaki kalau lagi kesengsem dengan perempuan, apalagi seperti Bapak itu, ia

akan lupa pada kita anak-anaknya. Oleh sebab itu, kau pulanglah Jas, tak ada gunanya kau tinggal di sini. Apalagi apa betah kau tinggal di rumah yang seperti ini?" Tanjir mengurai bujukan. "Huh." Jasmi melenguhkan senyum sinis. "Bagaimana?" "Apa kang Tanjir dan kang Jayus tak ingat saat mengusirku seperti binatang itu?" Mata Jasmi berkaca-kaca ketika akhirnya berhasil melepaskan kalimat itu. Tanjir dan Jayus saling pandang. "Ahhh, itu kan sudah berlalu. Yang sudah lalu kan harus dilupakan. Sesama saudara dendam itu kan tidak baik." Enak dan enteng saja Tanjir berkata seperti itu. Padahal Jasmi dulu sangat terluka hatinya, itupun belum sembuh hingga sekarang. Enak saja Tanjir menganggapnya tidak pernah ada. Jasmi justru meluap. "Begitu gampang kang Tanjir serta kang Jayus malik ilat. Kau tidak mikir betapa sakit hati aku diusir dari rumah itu. Aku ini juga anaknya pak Kampun." Tanjir tersenyum penuh arif, seolah dari senyumnya Tanjir mengaku salah dan minta maaf. Tangan Jasmi segera diraih dan ditepuk-tepuk untuk meredakan amarahnya. "Sudahlah Jas aku khilaf saat itu. berkata Tanjir. Aku datang untuk minta maaf. Sekarang kau harus memikirkan hal lain yang lebih penting. Kau harus pulang dan bersamasama menghadapi bapak." Bapak telah menjadi musuh atau bagaimana sehingga harus dihadapi dengan beramairamai?" Jayus menggeser duduknya dan kemudian berhadap-hadapan dengan adik perempuannya itu. Bapak sedang kesengsem dengan isteri baru. Bapak tidak akan ngurusi kita lagi. Kita

harus bersatu padu untuk meminta warisan." Jasmi terlonjak. Jadi soal warisan? Kedatangan Tanjir dan Jayus itu ternyata untuk membicarakan harta warisan. Jasmi memandang ke dua kakaknya dan kemudian manggut-manggut seperti merenungkan sesuatu. Samar-samar Jasmi bisa membayangkan ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi setelah bapaknya punya mainan baru itu. Benar kata Jayus, pak Kampun mungkin akan larut dan lebih tertarik pada mainan barunya dari pada anak-anaknya. Bisa jadi subsidi untuk keluarganya dicabut juga. "Apa sebelumnya kau tak pernah membayangkan soal itu Jas? Bisa saja to sawah pekarangan akan dijual oleh bapak, dan uangnya tidak dibagikan pada kita anak-anaknya, tetapi justru isteri barunya itu yang mendapatkan. Kalau semua harta sawah dan pekarangan itu dijual untuk nglulu Salehak bagaimana? "Kita akan dapat apa?" Tanjir memberikan tekanan. Benar juga apa yang dikatakan kedua kakaknya itu. Kalau sampai pak Kampun lupa diri dan isterinya adalah isteri yang suka ngeret, bisa-bisa anak-anaknya tidak akan dapat apa-apa. "Bagaimana menurutmu?" Tanjir mendesak. "Aku belum memikirkan apa-apa." jawab Jasmi datar. "Apa kau tidak tahu bagaimana sikap dan perilaku bapak kalau lagi senang pada seseorang, apapun akan diberikan." Jayus menambahkan. "Jadi?" pertanyaan Jasmi menjadi gambaran kegelisahannya. "Jangan terlampau lama mempertimbangkan. Pulang, dan kita bersama-sama me-nuntut bapak. Warisan harus segera dibagi." Genderang perang telah dipukul. Ditabuh oleh anak-anak pak Kampun untuk bersamasama berperang melawan ayahnya sendiri.

Tanjir dan Jayus berada di rumah Jasmi tidak terlampau lama. Jasmilah yang kemudian merasa suaminya terlampau lama berbelanja. Jasmi gelisah. Jasmi curiga Gimpul pasti tidak pergi kulakan. tetapi menggunakan uang yang nilainya tak seberapa itu untuk membanting kartu. Apa yang diduga Jasmi ternyata benar. Dengan cengar-cengir Gimpul pulang menjelang senja tanpa membawa apapun. Duit yang mestinya digunakan kulakan rokok, sabun dan gula itu ludes. Jasmi merasa ulu hatinya nyeri sekali. Perjalanan rumah tangganya telah berjalan beberapa bulan, Jasmi semakin melihat kenyataan yang pahit. Benar apa yang dicemaskan almarhumah simboknya, Gimpul bukan seorang suami yang baik, suami yang sembada dan nyembadani. Rupanya dulu Gimpul berharap dengan menikahi Jasmi, ia akan bisa numpang hidup di wisma Mertua Indah, dengan demikian beban hidupnya akan sedikit ringan. Namun ternyata Gimpul ditampik di wisma mertua indah itu, bahkan diusir seperti anjing. Itu sebabnya adakalanya Gimpul berbuat seenak sendiri untuk menyalurkan kejengkelannya. Tidak peduli uang siapa atau uang dari mana, jika uang sudah terpegang di tangan, Gimpul melarutkan diri ke dalam perjudian. Perkara bagaimana dengan besok, itu urusan besok. Bagaimana dengan lusa itu juga urusan lusa. Yang penting sekarang dulu, kalau perlu maling harta tetangga. Jasmi mengelus dada. "Kok baru pulang kang Gimpul?" Jasmi tidak bisa menyembunyikan kekecewaan. "Mana belanjanya?" Duitnya habis Jas. kata Gimpul enteng. Jasmi amat kecewa. Matanya menerawang dan memandang berbagai dagangan sederhana yang ditata di atas meja. Jasmi merasa tidak ada gunanya ia melakukan apa-pun. Percuma jualan. Meski Jasmi berusaha menahan namun pertahanannya ambrol juga, air matanya menitik bergulir di pipi.

"Maafkan aku Jas Gimpul mengucapkan rasa bersalahnya. Dengan mata memerah Jasmi memandang suaminya. "Kau kebangeten kang Gimpul. Kau ini suami macam apa? kau benar benar kebangeten. Sebagai suami mestinya kau nguripi isterimu. Tetapi ini terbalik, aku yang justru menghidupimu." Sebenarnya Gimpul tak menginginkan kehidupan seperti ini. Mestinya hidup itu tidak perlu sengsara. Bukankah Tuhan memberi kesempatan kepada umatnya untuk hidup sebahagia mungkin. Mau kaya boleh, tidak ada larangan untuk kaya. Namun mengapa hidup yang dijalani harus sengsara? Seperti seorang tertuduh Gimpul duduk menunduk. "Sudahlah Jas. Aku mengaku bersalah. Soal duit habis gampang. Toh waktu untuk hidup masih cukup panjang. Duit bisa dicari lagi. Jadi untuk apa disesali?" Sebuah jawaban yang membuat Jasmi makin kecewa. "Masalahnya, duit itu pemberian bapak. Dengan duit itu kita bertahan hidup hingga bulan berikutnya. Sekarang uang itu sudah kau ludeskan dengan berjudi. Bagaimana dengan besok?" Jika pikiran jernih, Gimpul bisa berfikir jernih pula. Jeleknya kalau ditekan Gimpul bisa ngawur, menggunakan pikiran ngawur pula. Minta lagi pada bapakmu. Bukankah bapakmu kaya?" Kalau sudah mendapatkan jawaban yang seenaknya seperti itu Jasmi merasa dadanya tambah nyeri. Adakalanya timbul pikiran yang jelek dalam hatinya. Mengapa tidak cerai saja. Bersuami lelaki seperti itu untuk apa? Bercerai? Waah malunya itu. Mau diletakkan di mana wajahnya kalau sampai bercerai. Perkawinannya dengan Gimpul seperti perjudian itu sendiri. Jasmi memilihnya sebagai sebuah taruhan yang berat. Akibat dari perkawinan itu simboknya tidak kuat dan kemudian

mati. Benar-benar sebuah harga yang mahal. Cerai tidak mungkin, tidak cerai Gimpul kebangeten. Seperti pepatah jawa ngukur gatel neng silit, tidak digaruk rasanya gatal, kalau digaruk kok tempatnya di silit. Jasmi yang jengkel segera menutup warung kecilnya. Sebuah warung yang merana karena orang yang datang berbelanja bisa dihitung dengan jari. Dalam pelukan udara dingin dan musim bediding, Jasmi masuk kamar dan memeluk bantal. Jasmi meneruskan tangisnya tanpa suara, membentuk pulau-pulau di bantal yang kusam itu. Gimpul mondar-mandir di ruang tengah. Rasanya saat itu Gimpul ingin sekali memegang uang dalam jumlah banyak dan kemudian kembali menemui teman-temannya untuk melanjutkan membanting kartu. Gimpul masih tidak ikhlas pada kekalahannya. Gimpul memperhatikan semua sudut ruang sambil mencari gagasan, apakah kira-kira barang-barang yang bisa dengan segera dijadikan uang. He, bangun." Gimpul membangunkan isterinya dengan agak kasar. Jasmi kaget. "Mau apa?" tanya Jasmi ketus. "Ayo, kau mengaku. Tadi ada laki laki ke sini ya?" Gimpul marah karena ada jejak lelaki lain datang ke rumahnya. Tidak ada." Jasmi mengelak. "Tidak ada bagaimana? kau pasti berbohong. Selama aku tidak ada di rumah kau pasti telah berbuat macam-macam. Kau pasti telah memasukkan laki-laki ke dalam rumah. Ini buktinya. Kau masih akan selak kalau telah memasukkan lelaki ke rumah?" Jasmi hanya melirik, sinis senyumnya. "Ayo mengaku. Siapa lelaki yang kau masukkan ke dalam rumah ini. Perempuan murahan." Gimpul memberikan dampratan. Jasmi terlonjak. Seperti ulat singgat Jasmi bangkit dari tidurnya dan memandang

suaminya dengan tatapan marah. Jasmi tak mengira Gimpul tega menganggap dirinya perempuan murahan. "Astaghfirullah Aladzim, kang, tega kau menuduhku begitu?" Ada banyak puntung rokok di sini. Ini rokok yang berbeda dengan rokok kegemaranku. Apa artinya kalau tidak ada laki-laki yang telah masuk ke rumah ini? Kalau kau lakukan itu, apa itu bukan perempuan murahan namanya?" Jasmi benar-benar tersinggung. Diajak kasar, Jasmi juga bisa. "Ngaca raimu di depan cermin kang Gimpul. Kau sendiri lelaki macam apa? Apa kau pikir aku bisa sempurna menutup mata mendengarkan cerita ngeres tentang hubunganmu dengan mbok Rikin tua itu? Juga perempuan-perempuan yang lain?" Gimpul merasa paling tak senang nama mbok Rikin disebut-sebut. "Jangan coba coba membelokkan persoalan. Ayo katakan, siapa lelaki yang datang kemari?" desak Gimpul sambil bertolak pinggang. Jasmi tak gentar, "Kau mau apa kalau kukatakan?" "Akan kubunuh dia." Gimpul mengumbar ancaman. Sangar. Gimpul benar-benar marah. "Kau berani melakukan?" desak Jasmi. "Kenapa tidak? kau mengira aku tidak akan berani menghadapi lelaki yang berani merusak ketenangan rumah tanggaku?" Hebat juga Gimpul. Seharusnya suami di manapun memang begitu, marah dan tersinggung bila ada lelaki lain berani mengganggu isterinya. Baik. Orang yang tadi datang adalah kang Tanjir dan kang Jayus, masing-masing dengan caluk dan celuritnya. Kau berani menghadapinya?" Gimpul tersentak. Menggigil dia.

Mendengar dua nama itu disebut seketika membuat Gimpul lemes dan bahkan cemas. Beberapa saat lamanya mulut Gimpul beku, Jasmi tersenyum sinis. Jas, kau jangan bikin deg-degan hatiku. Kau berbohong." berubah suara Gimpul. Jasmi menatap wajah suaminya. Nama Tanjir dan Jayus telah berubah menjadi jaminan nama yang amat menakutkan bagi Gimpul. "Aku tidak bohong, aku mengatakan yang sebenarnya. Kang Tanjir dan kang Jayus yang datang kemari." tekan Jasmi. "Gila, mau apa mereka Jas?" bertanya Gimpul. "Tak tahu. Mungkin mereka masih sakit hati, atau masih merasa tak puas sebelum menghajarmu." berkata Jasmi dengan ringan. Memperoleh keterangan seperti itu, Gimpul segera menggigilkan diri. Gimpul masih trauma setiap ingat Tanjir dengan caluk panjangnya. "Kau berani bersumpah?" seperti anak kecil saja Gimpul meminta isterinya bersumpah. "Aku bersumpah demi Allah. jawab Jasmi. Kalau kau masih tak percaya kang Tanjir dan kang Jayus yang tadi datang, tanyakan saja kepada tetangga. Lik Saekan tadi malah sempat berkenalan dengan kang Tanjir. Tanya saja pada Lik Saekan, siapa yang datang tadi." "Mau apa mereka?" Gimpul bertanya lengkap dengan kegugupannya. "Tanyakan saja pada mereka yang nanti akan datang lagi. Sekarang aku mau tidur." kata Jasmi cuek. Gimpul makin gelisah. "He. Katakan," Gimpul mendesak. "Apa yang harus kukatakan? Dan mengapa sekarang kau ketakutan? Katanya siapapun akan kau hadapi?" gertak isterinya. Cepatlah Jas, katakan ada apa mereka datang ke sini?" Gimpul menghiba. Jasmi malas ngomong. Jasmi malas berdebat atau ngladeni suaminya yang dirasa semakin

menyebalkan itu. Kalau tidak segera diberi jawaban Gimpul akan mengejar terus dengan pertanyaan yang lain. Bapak kawin lagi" jawab Jasmi pendek. Gimpul tergaget-kaget. Pak Kampun kawin lagi? pak Kampun yang isterinya mati belum genap empat puluh hari itu sudah kawin lagi? Bukan main. Bagi Gimpul berita tentang pak Kampun kawin lagi itu merupakan berita yang amat menggemparkan hatinya. "Ayahmu kawin lagi? Gila, isterinya mati belum genap empat puluh tahun, ehhhh empat puluh hari, sudah kawin lagi? Bukan main, tua-tua keladi namanya." Tua-tua keladi makin tua makin menjadi. Sindiran macam itu memang tepat untuk pak Kampun yang sudah tua bau tanah ternyata masih sanggup mengedepankan nafsu birahi, tidak mau kalah dengan yang muda-muda. Gimpul benar benar geli mendengar bapak mertuanya itu kawin lagi. Berita itu mempunyai bobot kelucuan melebihi dagelan Srimulat. "Di rumah ada seorang batur, namanya Salehak. Batur itu berasal dari Rogojampi. bapak mengawininya." Jasmi melengkapi ceritanya hingga lebih gamblang. Apa yang dikatakan Jasmi itu lebih menggelikan. Bahwa pak Kampun kawin lagi padahal isterinya belum genap empat puluh hari pergi meninggal dunia itu, hal itu saja sudah sangat lucu. Lebih lucu lagi karena pak Kampun ternyata mengawini batur. Babu yang semula pelayan yang tugasnya disuruh ini dan itu, bahkan anak-anak pak Kampun juga mempunyai hak memerintah mengerjakan ini dan mengerjakan itu, termasuk mencuci celana dalam. Babu itu naik pangkat menjadi ibu. Gimpul tambah geli membayangkan bagaimana para saudara iparnya harus memanggil ibu pada babu itu. Gimpul ingin tertawa terpingkal namun rasa geli itu harus ditahannya agar Jasmi tidak tersinggung. "Jadi sekarang kau punya ibu tiri baru yang berasal dari seorang batur naik pangkat menjadi simbokmu? Ibarat kere munggah bale. Gelandangan naik tempat tidur?"

Gimpul tertawa. Ini benar-benar, atau kau sedang guyonan Jas?" lanjut Gimpul. Jasmi tidak menjawab, mulutnya terkunci. Tetapi ekspresi wajahnya itu telah menjadi jawaban. "Kakakmu itu aneh sekali. Mereka dulu mengusir kita seperti anjing gudigen, sekarang datang memberitahu kau kalau ayahmu kawin lagi. Ada yang tak wajar. Mestinya kalau mengingat mereka telah berbuat sangat kasar pada kita seperti itu, mereka tidak mungkin datang ke sini." Pertanyaan Gimpul itu menggiring Jasmi bercerita mengenai warisan. Mengenai kemungkinan bapaknya akan lupa diri, lupa kalau punya anak dan kemudian mewariskan semua harta yang ada pada Salehak. Tetapi apakah ada manfaatnya Jasmi bercerita hal itu? Jasmi menghela resah, kepalanya digelut rasa pusing. Jasmi memang pusing memikirkan apapun. Mendengar bapaknya kawin lagi membuat Jasmi bertambah pusing. Menghadapi ulah suami yang tak tahu diri Jasmi juga pusing. Menghadapi bagaimana dengan besok, Jasmi lebih pusing lagi. Celakanya dokter yang pintar macam apapun tidak ada yang sanggup menyembuhkan pusing yang seperti itu. "Aku tidak mau memikirkan apapun. Kepalaku pusing. Pusing oleh ulah mereka, pusing oleh ulah ayahku, pusing oleh suamiku yang ternyata bukan laki-laki." Gimpul kaget. Kakinya seperti digerayangi kelabang. Kok kamu ngomong begitu?" "Tadi aku berfikir kang, mungkin memalukan sekali karena baru saja kita kawin. Tetapi tidak ada salahnya kalau kita pisahan saja. Aku tidak kuat menghadapi kebiasaanmu." Sebenarnya Jasmi mengucapkan hal itu hanya sekedar sebagai sebuah pancingan untuk mengetahui bagaimana reaksi suaminya, dan akibatnya ternyata luar biasa.

"Lho lho lho, lha kok ngomong begitu. Ngomong apa kau ini?" Gimpul terperanjat oleh tantangan cerai itu. Kalau tantangan cerai itu dikabulkan, maka Gimpul benar-benar rugi. Rugi kehilangan seseorang yang bisa menjadi tempat pembuangan limbahnya, yang bisa dianggap sebagai bedinde yang tanpa harus dibayar mau mencuci pakaiannya, memasak untuknya. Dan yang lebih penting dari semua itu, kiriman uang dari orang tuanya. "Ternyata aku tidak bisa tegar. Belum genap tiga bulan perkawinan kita aku sudah mengalami hal-hal yang menyakitkan perasaanku. Kau melakukan sesuatu yang menyakiti perasaanku akan tetapi kau menganggapnya sebagai hal yang biasa. Semestinya suami itu ngayani wong wedok, memberi nafkah. Tetapi ini terbalik. Kau habiskan uangku untuk judi. Kita pisahan saja." Tantangan Jasmi itu terasa amat tegas. Seperti ada setan burik yang ikut ngipasi suasana. Sudah, cerai saja Jas, untuk apa nglabuhi suami seperti itu. Kau cantik, masih banyak lelaki lain Yang akan mau mengawinimu. Masih banyak jejaka yang akan ngantri seperti orang antre di depan loket stasiun kereta api itu. Diancam cerai, Gimpul kelabakan. "Aduuh Jas, aku minta maaf Jas, jangan begitu Jas" rengeknya. Sebenarnya dalam hati Jasmi sempat muncul keinginan untuk bercerai. Namun sayangnya yang dihadapi Jasmi adalah Gimpul, seorang lelaki yang sangat berpengalaman menghadapi berbagai jenis perempuan. Yang masih perawan belum tahu apa-apa atau yang bersuami tetapi gampangan, bahkan yang sudah tua semacam mbok Rikin sekalipun. Dengan gampang mereka dibuat jatuh bertekuk lutut di kaki Gimpul. Gimpul segera memeluk isterinya, tangannya merayap kesana-kemari. Dan Jasmi adalah seorang perempuan yang sedang bergairah, apalagi ia temanten baru dan sedang gemar-

gemarnya bermain cinta, maka apa yang dilakukan suaminya itupun segera mendapatkan tanggapan. Hingga kemudian, "Bagaimana Jas? tanya Gimpul. Apa kau masih ngotot akan pulang meninggalkan aku? Kalau itu terjadi kau nanti akan kesepian. Tidak ada aku yang memberi nafkah batin kepadamu." Di zaman emansipasi seperti sekarang ini, harusnya akan banyak orang yang tersinggung dengan ucapan Gimpul itu. Ucapan yang mewakili kaum yang menamakan diri lelaki pada umumnya. Banyak lelaki yang selama ini beranggapan, hasratnya dalam seks terhadap isteri adalah memberi nafkah batin. Gila, memang kaum wanita kelaparan dan sangat perlu didulang seks hingga harus disebut nafkah batin segala? Apakah bukan sebaliknya kaum wanita yang memberi nafkah batin kepada para lelaki, menampung tumpahan nafsunya, yang kalau meluber karena berlebihan tak peduli bukan muhrimnya disikat saja. Enak saja bilang memberi nafkah batin, mbok bilang sama-sama butuh kenapa sih? Tetapi dasar Jasmi, seks baginya benar-benar dianggap sebagai nafkah batin, di mana hanya suami yang bisa memberi. Mendapatkan nafkah batin dari donatur lain, amit amit, Jasmi tidak sanggup membayangkan. Padahal di belakangnya Gimpul mengobral nafkah batinnya itu di mana-mana, bahkan pulangnya membawa oleh-oleh untuk isterinya: nanah, hiiiiii. Gimpul menggelitik pinggangnya, Jasmi menggeliat. Pada kenyataannya Jasmi memang merasa tidak mungkin pisahan dengan suaminya. "Kau kebangeten kang." ucapan Jasmi terasa datar. "Sudahlah Jas, aku minta maaf. Memalukan sekali kalau baru saja kita kawin tiba-tiba pisahan. Kalau hal itu terjadi, maka semua orang dari ujung ke ujung akan membicarakan kita berdua. Sekarang ceritakan, apa keperluan ke dua kakakmu itu"

Sudah menjadi watak Jasmi selalu jujur dan tidak menyimpan rahasia, Jasmi segera bertutur apa keperluan Tanjir dan Jayus datang menemuinya. Kang Tanjir dan kang Jayus sangat kecewa karena bapak kawin lagi. Mengawini perempuan yang mereka perebutkan. Kang Tanjir dan kang Jayus memintaku untuk bersamasama menghadapi bapak. Kalau tak segera dibagi warisan itu bisa-bisa jatuh ke tangan isteri barunya itu "Maksudmu, kang Tanjir dan Jayus juga ikut berebut batur itu, Jas?" Gimpul bertanya, Jasmi mengangguk. Wah, itu lebih lucu lagi. Gimpul ingin tertawa terbahak. dengan sekuat tenaga energi untuk tertawa itu ditekannya didalam perut dan dibuang melalui pintu yang lain. Gimpul manggut-manggut dan kemudian diam sejenak. Jasmi yang sudah mengenal kebiasaan suaminya tahu ia sedang berfikir. Setelah tenang sejenak, eeee, Gimpul manggut-manggut lagi. Jasmi menanam curiga. "Jadi kakakmu memintamu kembali untuk bersatu-padu menghadapi bapakmu terutama agar warisan segera dibagi?" Gimpul bertanya. "Ya." Jasmi menjawab pendek. "Kukira kang Tanjir dan kang Jayus orang-orang bodoh yang tak bisa menggunakan otak, ternyata kepalanya ada isinya. Aku rasa pendapat mereka benar adanya. Amat mungkin dan masuk akal apabila ayahmu yang sedang kasmaran itu memanjakan mainan barunya dengan berlebihan. Kalau sudah demikian, anak-anaknya dapat apa?" Dengan manis sistematis dan terencana, Gimpul mengipasi isterinya. Kalau Jasmi mendapatkan harta warisan, bukankah Gimpul juga mendapat keuntungan? Bukankah semua rencana bisa terwujut jika ada uang di tangan, semua angan-angan bisa nyata bila ada uang di genggaman?

"Jadi pendapat kang Gimpul bagaimana?" "Tidak ada salahnya kalau terima gagasan itu. Paling tidak, kalau kau sudah menerima warisan, kau bisa berbuat banyak untuk dirimu sendiri. Kau akan punya rumah, kau bisa membesarkan warungmu menjadi toko dengan berjualan macam-macam, dengan demikian kau akan banyak langganan." Jasmi tersenyum. Hidung Jasmi menangkap bau tikus. "Atau ada kemungkinan yang lain." kata Jasmi. "Kemungkinan yang lain apa?" Gimpul bertanya. "Bisa saja uangnya kau habiskan." Jasmi menyindir. Gimpul bergegas meraih isterinya, memeluk memberikan keyakinan, bahwa kecemasan semacam itu tidak perlu terjadi. Yang penting sekarang warisan dulu. Perkara nanti mau diacak-acak, itu urusan nanti. "Jangan berprasangka Jas. Salah besar kalau kau berpendapat seperti itu. Aku berjudi selama ini adalah karena aku tidak sabar ingin memiliki duit banyak untuk modal hidup. Kalau dengan cara mengumpulkan sedikit demi sedikit, bisa sampai tua baru kaya. Aku tidak telaten. Aku ingin segera kaya, dan itu cara yang menjanjikan peluang. Jika aku berjudi itu jangan kau lihat judinya, tetapi lihatlah itu sebagai upaya jalan pintas untuk kaya." Gila. Itu alasan yang dahsyat sekali. Prekk. Jasmi hanya melirik alasan itu. Yang diyakini Jasmi, tidak pernah ada orang kaya karena judi. Kalau judi akan menghantarkan orang menjadi kaya dan ada jaminan pasti bisa kaya, semua orang akan berjudi. "Lebih baik aku tidak usah tergoda bujukan kang Tanjir dan kang Jayus itu." Jasmi berkata datar dan kemudian tengkurap. Gimpul memaksa membalik tubuhnya.

"Goblok kau kalau kau tidak ikut. Kau sama-sama anak pak Kampun. Kau berhak mendapatkannya. Percayalah, setelah kau punya uang hidupmu akan berubah. Tidak akan menderita seperti ini. Kita memiliki modal untuk mendirikan bengkel Mendirikan bengkel apa, lha wong cara memasang busi saja nggak bisa kok mau mendirikan bengkel. Gimpul benar-benar cemas jika Jasmi tidak ikut ambil bagian. Tubuh Jasmi diguncangnya. "Jadi? aku harus pulang?" tanya Jasmi ragu, mewakili keraguannya sendiri. "Kita pulang. Persoalan bagaimana sikap kedua kakakmu itu, harus kita lupakan. Dulu mereka mencaci-maki dan mengusir kita adalah karena mereka sedang mabuk atau tak bisa berfikir. Mereka sekarang bisa berfikir jernih "Kau tidak malu?" tanya Jasmi sekenanya. "Malu itu di mana tempatnya Jas?" Ahhh, Gimpul mana punya malu? Jasmi sebenarnya amat curiga pada suaminya. Pasti suaminya menyimpan maksud tertentu. Indera penciumannya menangkap aroma tengik kencing tikus clurut dengan tajamnya. Namun lagi-lagi malam itu Gimpul sanggup memerankan sosok yang seolah bukan dirinya dengan amat baik. Jasmi merasa seperti dimanja dan dinina-bobokkan. Apalagi nafkah batin yang diberikan malam itu sampai tiga kali. Jasmi yang temanten baru amat gampang larut dalam olah asmara, apalagi Jasmi berfikir, bahwa sifat buruk suaminya bisa berubah. Jadi apa salahnya kalau Jasmi pulang, menggalang kekuatan bersama Tanjir dan Jayus menghadapi bapaknya? Maka demikianlah, di esok harinya Jasmi mendahului pulang. Salatun yang sedang menjemur pakaian terlonjak melihat ojek berhenti di halaman. Salatun bergegas menyongongnya.

"Kau yu?" Salatun menyongsong. "Mana suamimu?" "Kang Gimpul tidak ikut. Jasmi menebarkan pandangannya ke segenap sudut rumah dan pekarangan. Rumah yang ditinggalkannya tidak berubah tetap seperti dulu. Hanya rumput-rumput tumbuh agak liar, maklum tidak ada yang berkesempatan mengurus. Tanjir dan Jayus tentu larut dengan kecewanya hingga tidak peduli dengan rumput. Jasmi mendadak menekan dada meredakan rasa nyeri karena bayangan simboknya tibatiba muncul. Jasmi merasa amat berdosa karena beranggapan kematian simboknya adalah karena memaksa kawin dengan Gimpul, lelaki yang jelas tidak disukai mbok Kampun. Bapak ada?" Jasmi bertanya. "Ada." Salatun menjawab pendek. Bapak tidak sedang pergi, apa tidak ke pasar sapi? Jasmi agak heran karena Salatun menggeleng. "Sejak punya isteri bapak ada di rumah terus. Malah sering di kamar terus." Rupanya pak Kampun sedang asyik berbulan madu, atau tepatnya lebih mementingkan bulan madu daripada pergi ke pasar sapi. "Kau ya omong-omongan dengan Ibumu?" Jasmi memancing. Salatun seperti orang yang menahan geli. "Ibu apa?" jawabnya ketus. Kehadiran ibu baru memang tidak mungkin menghapus ibu yang lama, yang sudah amat lekat bau susur dan dubangnya. Yang sudah dihafal bau kecut ketiaknya, yang sudah dihafal warna omelannya, yang sudah jelas kasih dan sayangnya. Kehadiran ibu baru itu bagi Salatun hanya sesuatu yang terasa risih, seperti rasa gatal di dubur, tidak digaruk rasanya gatal, mau digaruk tempatnya di situ. Ora sudi. Aku tidak pernah menganggapnya sebagai Ibuku. Aku tidak berbicara dengan

perempuan itu." Salatun menambah. Jawaban itu membuat Jasmi merasa senang. Menurut Jasmi, memang seharusnya begitu. "Bagus sekali Tun. Kita jangan sampai menganggap perempuan murahan itu sebagai pengganti simbok. Simbok kita hanya satu, dan sudah meninggalkan kita. Jadi tidak ada simbok lagi." Laki-laki kawin lagi setelah ditinggal isteri, rasanya itu hal yang biasa. Pada mulanya Jasmi ingin menganggap perkawinan bapaknya yang kedua ini juga sebagai sebuah hal yang biasa, yang tidak ada anehnya. Akan tetapi hubungan emosional yang telah terjalin menyebabkan Jasmi tergiring untuk mewakili kecemburuan ibunya yang telah tiada. Meski ibunya tiada, tidak seharusnya dianggap tidak ada. "Matamu mbendul Tun?" Jasmi melihat ada bekas tangis di wajah adik bungsunya. Semalam aku ingat simbok. jawab Salatun. Rasanya sulit dipercaya simbok sudah pergi meninggalkan kita. Rasanya seperti sedang pergi entah kemana, tetapi tidak pernah kembali." Jasmi tidak ingin membicarakan hal itu lebih lanjut. Segera diraihnya Salatun dan dipeluknya. Sebenarnyalah kesedihan Salatun adalah kesedihan yang juga dirasakannya. Air mata Salatun menjadi air matanya pula. Aku akan menemui bapak." kata Jasmi. "Kau akan bertengkar dengan bapak karena bapak kawin lagi?" "Kau lihat saja nanti. Apakah aku akan bertengkar atau tidak." jawab Jasmi. Jasmi beranjak menuju rumah dan sejenak kemudian telah berada di ruang tamu. Namun demi Tuhan, Jasmi merasa amat asing, seperti berada di rumah orang lain. Jasmi merasa amat canggung. Dinding maupun tembok seperti tidak lagi ramah, tanah tempatnya berpijak serasa bergoyang. Tiba-tiba saja pintu tengah terbuka. Salehak yang bermaksud masuk ke ruangan itu tertegun. Jasmi memandanginya dengan seksama bahkan penuh selidik. Pantas Tanjir dan

Jayus nyaris bacokan memperebutkannya. Pantas pula pak Kampun lupa diri, ternyata batur yang bernama Salehak itu memang cantik. Salehak tersenyum di antara ramah dan canggung, dan kemudian menutup pintu kembali. Jasmi layak merasa curiga. Ada apa wanita yang secantik itu memilih pak Kampun daripada salah seorang dari kedua anaknya. Apa bukan karena harta? Curiganya menjadi-jadi. Sejenak kemudian pak Kampun muncul. "Kamu Jas? Naik apa?" pak Kampun membuka percakapan. "Naik Ojek." Jasmi menjawab pendek. "Sudah menerima titipan uang dari bapak untuk rumah tanggamu?" "Sudah." jawab Jasmi pendek pula. Tetapi Jasmi tak bermaksud bercerita tentang uang yang telah habis dibakar Gimpul di meja judi. Jasmi memandang pak Kampun dengan pandangan yang aneh. "Kau kenapa?" tanya pak Kampun. Bapak kawin lagi?" Jasmi tidak kuasa menahan lebih lama, langsung berbicara ke persoalan utama. Pak Kampun manggut-manggut dan tersenyum. Bapak belum sempat memberitahu kamu. Maksud bapak nanti saat selamatan bapak memintamu pulang." Jasmi ingin mendapat jawaban yang lebih tegas. "Belum genap empat puluh hari kematian simbok, bapak sudah kawin lagi?" Alasan apa yang akan dipergunakan pak Kampun menghadapi gugatan anak perempuannya itu? Bapak kesepian setelah meninggalnya simbokmu, jadi bapak kawin lagi. Sekarang bapak sudah tidak kesepian lagi. malah ada yang mengurus, dan segala sesuatunya akan berjalan

dengan baik. Apakah menurutmu ada hal yang tidak benar jika bapak kawin lagi? Jasmi tak puas dengan jawaban itu. Bapak sudah menghitung segala sesuatunya?" desaknya. "Tentu saja sudah Jas." "Dan bapak sudah menghitung baru berapa hari yang lampau simbok meninggal?" Pak Kampun tahu ke arah mana protes anaknya itu. Kalau dipikir memang tidak patut. Isteri belum lama pergi pak Kampun sudah kebelet kawin lagi. Seolah kematian isterinya memang diharapkan. "Memang belum genap empat puluh hari." Dada Jasmi mengombak, emosinya sedikit terpancing. "Apa pantas itu pak? Dan apa pantas bapak kawin lagi. Bapak sudah tua." Pak Kampun telah berusia sekitar enam puluhan tahun. Tepatnya tidak ada yang tahu karena jika ditanya kapan tanggal kelahirannya, pak Kampun tidak bisa menjawab. Akan tetapi kabarnya kelahiran pak Kampun bersamaan dengan meletusnya Gunung Kelud dekat Kediri. Dari sana sebenarnya bisa dilacak berapa usia pak Kampun. Yang jelas, usia enam puluh tahun itu sudah tergolong kakek-kakek. Banyak orang seumur itu dipanggil Embah kakung oleh cucunya. Apakah pantas kakek-kakek seperti itu kawin lagi? Apalagi berebut isteri dengan anaknya. "Memang tidak pantas Jas. Soal belum empat puluh hari simbokmu, bapak sudah minta ijin pada simbokmu. Bapak telah pergi ke kuburan untuk nyekar. Simbokmu sangat maklum kalau aku merasa amat kehilangan dengan kepergiannya. Simbokmu tidak keberatan bapak kawin lagi." Wah, alasan apa itu? Antik banget? Sudah minta ijin ke kuburan? Bagaimana mbok Kampun bisa tahu dan maklum? Jasmi melenguh sinis.

Lantas, soal pantas dan tidak bapak kawin lagi. Namanya bapak ini juga seorang lelaki. Dan lelaki itu kepanggonan nafsu birahi. Lalu ke mana bapak harus menyalurkan Jas?" Untuk pertanyaan itu Jasmi memang tidak punya jawabnya. Apa kalau sudah kakek-kakek tak punya nafsu. Kalau kakek-kakek tak boleh membuang limbah, lantas akan diapakan limbahnya itu? Apa swalayan? Pak Kampun itu orang yang lugu. Swalayan untuk urusan itu bagaimana caranya, pak Kampun tidak tahu. Namun ada hal yang membuat Jasmi risih. Apa bapak tidak merasa malu jadi omongan orang se desa? Semua orang di Tegaldlimo dari ujung ke ujung membicarakan bapak." Rupanya pak Kampun benar-benar tengah bergairah, tubuh boleh tua, namun jiwa harus muda. Jawabnya, "Mereka yang berbicara riuh itu sedang iri Jas. Yang muda-muda iri karena kalah bersaing denganku. Pak Kampun yang sudah tua ini, ternyata masih bisa kawin dengan gadis yang masih muda dan cantik kinyis-kinyis. Yang tua-tua juga iri karena aku kalau butuh pijit sewaktu-waktu tidak perlu bingung. Dengan setia Salehak akan memijiti tubuhku yang sudah renta ini. Bapak sudah tua Jas. Bapak tidak menghendaki apa-apa. Tetapi bahwa ada yang mau kepada bapak, merawat bapak yang mulai sakit-sakitan ini, Bapak sudah matur nuwun." Ucapan pak Kampun seperti sebuah sindiran yang menyentuh hatinya. Pak Kampun memang sudah tua, dan pada galibnya orang kalau sudah tua itu membutuhkan perlindungan pada yang muda-muda. Anak-anaknya? Mereka sibuk dengan urusannya sendiri. Jadi apa salah kalau pak Kampun mencari orang yang bisa memberikan perhatian kepadanya. Menemani menghabiskan sisa sisa umurnya di saat senja. Seharusnya anak-anaknya berterimakasih kepada Salehak yang mau berkorban melakukan itu. "Tetapi cerita yang beredar ngisin-isini pak, memalukan." kata Jasmi.

"Kenapa?" tanya pak Kampun. Bapak berebut batur dengan anak-anaknya." Pak Kampun terdiam. "Apa kata bapak perihal itu? Banyak orang ngrasani dengan amat riuh, bapak, kang Tanjir dan kang Jayus berebut seorang batur. Dan bapak yang memenangkan perebutan itu. Bapak tidak malu dengan gunjingan itu?" Ternyata makhluk bernama malu itu telah terbang entah ke mana. Yang jelas jawaban pak Kampun tidak kalah slebornya. "Untuk apa bapak malu? Soal kedua kakakmu itu seperti tidak ada perempuan lain saja" enteng jawabnya. Jasmi terperangah mendengar jawaban itu. Tidak disangkanya pak Kampun akan menyediakan jawaban macam itu, sekaligus indikasi yang membenarkan terjadinya perebutan trophy bernama Salehak. Juga indikasi bapaknya lupa diri. Bapak bisa saja mengatakan demikian. Tetapi kang Tanjir dan kang Jayus mengatakan bapak tidak tahu malu. Belum lagi entah bagaimana lagi kata para tetangga Jasmi menatap bapaknya seperti berusaha mengorek isi kalbunya. "Sudahlah Jasmi. Bapak hanya meminta jangan ada yang salah paham terhadap perkawinan bapak ini. Bapak kawin bukan karena bapak tidak tahu malu tetapi justru karena bapak ini sudah tua. Coba kau pikir, siapa yang ngurusi bapak setelah simbokmu pergi? Siapa yang ngladeni bapak untuk makan dan keperluan yang lain? Jadi apa salahnya kalau bapak kawin? kau malu bapak kawin lagi Jas?" Jasmi menyimak. Ada rasa tidak senang terhadap jawaban itu. "Lagi pula siapa bilang aku telah melupakan simbokmu? kau hanya mengukur dengan waktu yang hanya empat puluh hari itu? Simbokmu telah memberikan empat orang anak

kepadaku. Jadi Bagaimana mungkin bapakmu melupakan. Bapakmu tidak mungkin melupakannya Jas. Kalau sekarang bapak kawin lagi, kebetulan ada yang mau dengan Bapak. Kalau bapak menunda, bisa mrucut Jas." "Aku justru merasa curiga." Jasmi mulai meningkatkan pembicaraan, lebih mengarah pada persoalan yang dibawanya. "Apa yang kau curigai?" selidik pak Kampun. "Kok ada gadis yang mau kawin dengan lelaki tua seperti bapak. Tidak mungkin kalau tidak ada maunya. Pasti gadis itu punya pamrih. Tak mungkin tidak." Pak Kampun mencuatkan alis. "Salehak punya pamrih?" Jasmi siap memberikan tekanan yang lebih tajam. "Pasti dia menyembunyikan sesuatu atau pasti punya maksud tertentu. Kalau ia perempuan waras, ia tidak mungkin mau kawin dengan lelaki yang pantas disebut sebagai kakeknya. Ia cantik seperti itu." Pak Kampun yang merasa mengenal Salehak luar dan dalam tentu saja tidak bisa menerima tuduhan itu. Lagi pula pak Kampun pernah berjanji pada Salehak, akan menjadi orang pertama yang memberikan pengayoman apabila ada pihak yang tidak senang dengan perkawinan mereka. Pendek kata, rawe rawe rantas, malang malang putung. "Salehak tidak punya pamrih apa-apa kecuali hanya menitipkan awak. Ia anak kesrakat, hidupnya nelangsa karena sudah tak punya bapak dan Ibu lagi, bahkan sanak dan kadangnya tidak ada yang peduli. Jadi ia menitipkan diri mencari perlindungan, sebaliknya aku juga menitipkan diriku kepadanya. Dengan mengawininya berarti ada yang mengurusku. Jangan kau mencurigai yang tidak betul." Ada rasa geli bercampur jengkel. Apa yang diucapkan pak Kampun itu bagi Jasmi hanya abang-abang lambe, daripada tidak ada yang diomongkan. Bagi Jasmi, Salehak yang secantik

itu hidupnya kesrakat omong kosong. Salehak dengan mental rendahan seperti itu, hanya dengan jual diri bisa jadi uang. Maka alasan bapaknya itu hanya gombal saja. "Aku tidak melarang kalau bapak kawin lagi, tetapi ia begitu muda. Ia bahkan pantas kusebut sebagai adikku. Bagaimana aku bisa menyebutnya sebagai simbok? Bapak tidak memikir hal itu?" desaknya. "Ya jangan dipikir." jawab pak Kampun dengan tenang. Bapak kebangeten." Jasmi meletup. Pak Kampun tersenyum. "Agaknya ada hal lainnya yang membuatmu merasa cemas berlebihan seperti itu Jas. Aku merasa masih ada yang kau sembunyikan, kau tidak mengatakannya dengan blak-blakan. Ada apa? kau mau bicara soal warisan bukan?" Jasmi kaget dan tertegun. Begitu tajamnyakah panggraita yang dimiliki pak Kampun hingga bisa membaca isi hati orang. Jasmi belum mengucapkan, namun pak Kampun telah mendahului menyebut. "Ya. Kami mau bicara soal warisan." jawab Jasmi tegas. Rupanya pembicaraan yang terjadi antara pak Kampun dengan Jasmi ada yang menguping dari luar pintu. Tanpa kulonuwun pintu dibuka, Tanjir dan Jayus langsung nimbrung pada pembicaraan yang berlangsung. Suasana makin hening saja. Anak-anak pak Kampun itu seperti mengadili ayahnya. "Jadi soal warisan. Benar begitu Njir?" Ya. Kami mau membicarakan soal warisan." langsung saja Tanjir menuju ke persoalan utama. Pandangan matanya menyiratkan rasa tak begitu senang kepada pak Kampun. Jayus tak kalah sangar. Kakak beradik yang semula bengkerengan seperti anjing dan kucing itu ternyata bisa akur menghadapi bapaknya.

"Maunya bagaimana?" tanya pak Kampun kurang begitu senang. "Sudah waktunya bapak membagi warisan. Aku butuh modal bekerja, demikian juga dengan Jayus." Pak Kampun kurang begitu berkenan pada cara Tanjir meminta warisan itu. "Simbokmu belum empat puluh hari kalian sudah mulai bertengkar soal warisan." Bicara soal simboknya yang belum genap empat puluh hari meninggal, tentu saja menjadi bumerang yang menerjang pak Kampun sendiri. Mbok ngaca di depan cermin. Belum empat puluh hari bapak kawin lagi." Serang Jayus. Pak Kampun glagepan. "Waaaah, itu soal lain." pak Kampun dengan alasannya. "Pokoknya kami ingin, agar warisan segera diserahkan pada kami." Pada kondisi yang lumrah, orang tua dengan senang hati serta penuh kebahagiaan akan memberikan bekal kepada anak-anaknya berupa warisan yang mungkin berujut tanah pekarangan atau sawah, juga ilmu. Dengan bekal yang diberikan itu diharapkan bisa dijadikan modal atau bekal hidup sang anak dalam mengarungi kehidupan yang masih panjang dan penuh tantangan. Pada sebuah kondisi, orang tua akan sampai pada tahapan di mana orang tua seperti tidak peduli lagi dengan diri sendiri, yang penting bagaimana dengan anak. Kesedihan anak adalah kesedihan orang tuanya. Akan tetapi pada pak Kampun, ada faktor siluman yang ikut berbicara. Sebagai orang tua yang merasa berhak dihormati anak-anaknya, pak Kampun kurang begitu senang pada cara Tanjir dan Jayus meminta warisan. Lebih dari itu ada rasa cemas di hati pak Kampun pada tanggung-jawab anak-anaknya terhadap warisan yang dibagi-bagi itu. Bisa-bisa ludes untuk banting kartu. Utamanya Tanjir dan Jayus yang bisa lupa diri dan betah melek dua hari dua malam saat membanting kartu. Uang jutaan bisa hanya bernilai kertas belaka. Situasi yang sulit itu menyudutkan pak Kampun.

Bapak tak mungkin ingkar. Bapak mencari kekayaan, mengumpulkan sawah dari membeli di sana-sini itu untuk bekal kalian semua. Tetapi, bapak merasa saat ini waktunya kurang tepat." Pak Kampun siap mengurai alasan, Jayus lebih dulu membrondongnya, "Kenapa waktunya kurang tepat? Menunggu bapak semakin terlena pada isteri bapak itu, dan kami hanya akan mengais sisa-sisanya?" Pak Kampun merasa gerah dan kurang senang. Pak Kampun berusaha menyabarkan diri. Masalahnya bapak masih mencemaskan kebiasaanmu gemar berjudi itu. Kalau warisan kuberikan sekarang, akan habis dipermainan gembrek dan sebagainya itu." "Itu hanya alasan yang dicari-cari." Tanjir menyergap. "Pokoknya harus diselesaikan sekarang. Kalau bapak mati sewaktu-waktu tidak akan menimbulkan persoalan" tambah Jayus. Jasmi tersentak, pak Kampun juga kaget. Astaghfirullahaladzim, tega nian Jayus mengucapkan semuanya itu. Kalimat yang kasar untuk diucapkan anak kepada orang tuanya. Sangat tak patut dan berbobot kuwalat. Pak Kampun terdiam. Namun meski jantungnya gronjalan pak Kampun harus mengakui, apa yang dikatakan Tanjir itu ada benarnya. Kematian bisa datang sewaktu-waktu dan menimpa siapapun, apalagi pak Kampun sudah tua. Semakin tua tentu semakin dekat dengan garis finish kematian. Kalau kematian mendadak menjemput padahal masih ada urusan duniawi yang harus diselesaikan, waaaaah. Pokoknya aku menghendaki, warisan segera dibagi." ucapan Jayus selanjutnya terasa lebih brangasan. Tanjir rupanya benar-benar sakit hati melihat pak Kampun merenggut mimpinya mengawini Salehak. "Warisan dibagikan, Lha bapak sendiri?" tanya pak Kampun.

Jayus muncrat sinisnya. "Nah benar kan? bapak akhirnya bertanya begitu, artinya bapak juga bertanya bagaimana dengan Salehak? Secuilpun harta tak boleh ada yang diberikan kepada Salehak." Pak Kampun yang barangkali telah menjanjikan sesuatu kepada isteri barunya itu, tentu tidak bisa menerima rambu-rambu yang dibuat Jayus. Sebagai isteri, Salehak tentu berhak atas sebagian warisan. "Ya tidak bisa. Salehak itu isteriku. Ia berhak mendapat warisan dari suaminya. Bahkan jika kalian mau menang-menangan, semisal bapak akan mewariskan semuanya kepada Salehak kalian mau apa?" Gawat. Pak Kampun tak membaca tingkat emosi yang memanas pada anak mbarepnya. "Apa?" Tanjir dan Jayus terlonjak bersamaan. Bapak akan mewariskan semua harta kepada Salehak semua? Begitu mau bapak? Kalau kubunuh Salehak itu bapak akan dapat apa? bapak akan ngeloni bangkainya?" kata Tanjir kasar sekali. Pak Kampun sedih melihat anak-anaknya sudah deksura, berani kurang ajar kepada orangtua. Pak Kampun merasa ulu hatinya nyeri dan serasa teriris sembilu. Jasmi menunduk, rasa iba kepada ayahnya mekar. "Yang bapak ucapkan tadi hanya perumpamaan bahwa bapak harus bertindak adil , bertindak adil jangan sampai ada yang dirugikan termasuk juga Salehak. Karena semuanya mempunyai hak. Kalian berempat mempunyai hak karena kalian adalah anak-anakku. Salehak juga punya hak karena isteriku." "Kalau Salehak ikut-ikutan terima warisan, dia akan kubunuh." Tanjir mengobral ancaman yang nggegirisi. Ancaman Tanjir itu rupanya bukan ancaman kosong. Tanjir keluar dari ruangan itu disusul Jayus. Suasana menjadi sangat hening.

Pak Kampun kemudian berubah menjadi patung batu duduk termangu tidak punya kekuatan untuk berbicara lagi. Juga ketika Jasmi berpamitan pulang pak Kampun hanya melirik. Anggukan kepalanya lunglai sekali. "Aku pulang Tun" Jasmi pamitan pada Salatun. "Aku ikut yu" kata Salatun yang tak betah berada di rumah. "Jangan Tun. Kau harus berkorban. Kaulah penyejuk rumah ini. Kalau kau pergi, kasihan bapak. "Apa benar aku sebagai penyejuk hati bapak?" Salatun merasa tidak yakin. "Bukankah ada Salehak yang menyita perhatiannya?" Sepanjang perjalanan pulang naik ojek Jasmi banyak berfikir. Segala macam kekisruhan yang terjadi pada awalnya berasal dari dirinya. Kalau saja Jasmi tidak ngotot kawin dengan Iwan Gimpul Marjuni, maka barangkali simboknya akan berumur panjang, dan dengan demikian tidak perlu hadir sumber kekisruhan, pihak lain yang bernama Salehak itu. Jasmi lupa, bahwa di belakang semua itu ada dalang yang mengatur jalannya kehidupan, siapa lagi kalau bukan Sang Maha Dalang. Jujur Jasmi mengakui, Jasmilah pemicu dari segala kekisruhan yang terjadi. Pengakuan itu membuat dadanya terasa nyeri oleh penyesalan. Namun apa bisa dikata, nasi telah menjadi bubur. Sesampai di rumah kontrakannya yang amat sederhana Jasmi dibuat heran oleh perubahan suaminya. "Kau kecapekan Jas?" tanya Gimpul. "Bukan hanya badanku yang pegel semua kang, tetapi juga isi dadaku. Jiwaku letih." jawab Jasmi sambil menjatuhkan diri di kursi. "Soal apa yang terjadi di rumah itu nanti saja Jas, Ceritanya nanti saja, Sekarang mari aku pijiti awakmu. Bagian mana yang pegal?"

Tentu saja Jasmi gembira melihat suaminya begitu sayang dan penuh perhatian seperti itu. Apalagi ketika Jasmi menebarkan pandang ke segenap sudut dan ruang. "Waaaah, rumah jadi bersih kang?" mata Jasmi berbinar-binar. "Soalnya dari tadi aku resik-resik. Biar sedap dipandang." Jasmi tentu saja senang. Tetapi siapa tahu Gimpul melakukan semua itu karena ada maunya. "O ya, kau mau makan?" "Makan?" Jasmi kaget. Gimpul memberi senyum sumringah. "Aku sudah mengira kalau kau akan pulang sore, jadi aku masak sore. Sekarang baru saja matang. Kita makan ya Jas? Kali ini, biarlah aku yang ngladeni kamu." "Boleh," Jasmi senang dimanjakan seperti itu. Gimpul memanjakan isterinya membuat Jasmi merasa heran namun juga bahagia. Dalam pandangan mata Jasmi suaminya telah berubah sikapnya. Bahkan Jasmi belum bercerita apaapa ketika Gimpul kemudian menyeretnya ke kamar. Seolah cerita apapun tidak penting dibandingkan kebutuhan mereka akan olah asmara. Gimpul rupanya dengan sepenuh hati menggiring isterinya agar mau bercerita hasil rembukan soal warisan tanpa harus memancingnya. "Kau tidak ingin dengar cerita yang kubawa pulang dari rumah kang?" Justru Jasmi yang terpancing ingin bercerita. "Tidak usah. Aku tak ingin mendengar apapun." jawab Gimpul. "Aku yang justru ingin bercerita, dengarkan." "Baik, bagaimana?" Gimpul menempatkan diri dengan baik. Tentu saja Gimpul tak ingin ada sekalimatpun dari cerita isterinya yang lolos dari telinganya.

Bapak tidak punya pilihan, akhirnya harus menyetujui tuntutan anak-anaknya bahwa warisan harus segera dibagi. Mungkin aku akan mendapatkan petak tanah sebelah kiri, juga seperempat bagian dari seluruh sawah." Sebenarnya belum ada pembicaraan seperti itu. Akan tetapi Jasmi telah memperkirakan bapaknya nanti memang dengan terpaksa akan membagikan semua kekayaan. Dan Jasmi membayangkan pekarangan yang sebelah mana yang akan didapat, atau sawah sebelah mana yang akan diberikan kepada dirinya. Angan-angan macam itulah yang didulangkan kepada suaminya. "Dibagi berupa tanah?" Gimpul heran terhadap cara pembagian yang seperti itu. "Ya." Jasmi menjawab. Waaah, mana bisa adil itu Jas?" Jasmi yang kemudian merasa heran. "Kalau begitu caranya, nanti akan timbul kisruh lagi. Akan geger lagi." "Kok bisa?" desak Jasmi. "Nilai tanah berlainan. Tanah yang letaknya di tepi jalan tentu harganya lebih mahal jika dibanding dengan tanah yang letaknya agak ke dalam, jauh dari jalan." Jasmi manggut-manggut, bisa menerima alasan itu. "Kalau menurut kang Gimpul, bagaimana cara membagi yang seadil-adilnya?" "Kalaupun dibagi berupa tanah, harus dinilai dengan adil, berapa harga tanah yang jauh dari jalan dan berapa harga tanah yang dekat dengan jalan. Sama-sama seluas satu hektar, kalau di tepi jalan, harganya bisa dua kali lipat harga yang jauh dari jalan." Benar juga, pikir Jasmi. "Kalau menurutku, ada cara yang lebih adil." Gimpul melanjutkan, "Bagaimana?" tanya Jasmi. "Semua warisan itu diuangkan, kalau sudah berupa uang, baru dibagi. Semua mendapat

bagian yang sama. Jika dibagi berupa tanah, repot Jas. Usulkan saja supaya semuanya dijual dan dibagi berupa uang. Dengan uang, kau bisa membeli tanah lagi yang harganya lebih murah. Dengan sendirinya kau mungkin akan mempunyai tanah pekarangan atau mungkin sawah yang lebih luas." Sebuah saran yang menarik. Jasmi diam merenungkan hal itu. "Pendapatku masuk akal apa tidak?" desak Gimpul. "Masuk akal." jawab Jasmi. "Sampaikan itu pada kang Tanjir dan Jayus, atau sampaikan kepada ayahmu." Namun Jasmi ragu. "Apa gagasan macam ini akan bisa diterima?" tanyanya. "Kalau berupa tanah Jas, kau bakal diakali oleh kedua kakakmu yang nampaknya serakah itu. Tetapi kalau sudah berupa uang dan uangnya kamu pegang, mereka bisa apa?" "Uang bisa hilang." bantah Jasmi. "Siapa bilang uang bisa hilang. Itu kalau kau menyimpan duit itu di bawah kasur. Bodoh sekali kalau mempunyai duit banyak disimpan di rumah. Ketahuan maling bisa dicuri, ketahuan rampok bisa digarong. Duit banyak itu supaya aman disimpan di bank. Masuk akal apa tidak?" "Ya." "Nah, menurut hematku, perlu kau sampaikan gagasan itu kepada pak Kampun. Atau lebih bagus lagi kalau kau sampaikan pada Tanjir dan Jayus. Mereka tentu senang kalau tanah warisan itu dibagi berupa uang. Uang itu luwes Jas, dibentuk apa saja bisa. "Dibuang dalam sekejab di meja judi juga bisa." Jasmi memberi gong. "Orang yang menghabiskan uang sebanyak itu di meja judi tentu orang yang bodoh. Ingat Jasmi, jangan sampaikan pada siapapun gagasan cerdas itu datangnya dari diriku, nanti bisa salah paham semua.

Banyak hal yang kemudian terjadi. Akhirnya Gagasan cerdas itu oleh Jasmi disampaikan pada Tanjir dan Jayus. Kakak beradik itu menelan mentah-mentah tanpa pertimbangan lagi. Uang memang luwes digunakan apapun. Ditekuk macam apapun gampang, dijadikan motor atau beras juga gampang. Beberapa hari kemudian, Jasmi dan Gimpul boyongan. Kali ini mereka lakukan karena sudah mendapat jaminan tidak akan diusir oleh Tanjir dan Jayus lagi. Beberapa tetangga menjadikan kepulangan Jasmi dan suaminya sebagai santapan empuk untuk bergunjing sebagaimana mereka riuh ngrumpi manakala pak Kampun yang tua itu menggaet babunya sendiri. Sebenarnya pak Kampun akan membagi warisan itu berujud tanah apa adanya. Sawah dipecah-pecah dan didaftarkan ke Notaris, bagian mana yang punya Tanjir, bagian mana yang punya Jayus, Jasmi maupun Salatun. Namun Tanjir dan Jayus yang adakalanya harus dengan menggertak dan mengancam, bersikukuh supaya semua dijual. Pembagian warisan harus berujut uang. Tetapi menjual sawah tentu saja tidak seperti menjual tempe tahu atau mur-baut sepeda. Tidak seketika laku. Butuh beberapa hari dan bahkan bulan untuk menawarkannya ke manamana, pada orang-orang yang punya duit dan bermaksud beli sawah. Keluarga pak Kampun itupun menjadi keluarga yang janggal. Salehak jarang keluar dari kamar karena takut pada Tanjir dan Jayus. Akan halnya Jasmi kalau berpapasan dengannya lebih suka menghindar atau membuang pandang. Berbicara cukup seperlunya saja. Untuk menyebut isteri bapaknya dengan panggilan simbok, amat canggung. Jadi tidak pernah memanggil atau menyebut nama. Akan halnya Salatun, gadis itu senang Mbakyunya kembali. Salatun menganggap Jasmi itu sebagai figur yang menggantikan simboknya yang telah tidak ada. Meninggalnya mbok Kampun menyebabkan Salatun tidak mau sekolah lagi. Bagi Salatun sekolah tidak ada guna

dan manfaatnya lagi. Namun bila ditelusuri, Salatun telah kehilangan semangatnya, gairahnya lenyap bersamaan dengan kepergian simboknya. Dengan demikian cita-cita pak Kampun mempunyai anak sarjana, setidaknya lulusan IKIP seperti yang diangankan, keinginan itu tidak akan menjadi kenyataan. Di sebuah sore. "Mau ke mana Tun?" tanya Jasmi. "Aku akan menjenguk simbok yu." jawab adiknya. Tentu saja yang dimaksud Salatun adalah pergi ke kuburan, di mana mbok Kampun disemayamkan. Untuk hal tersebut Salatun telah menyiapkan kembang kenanga, mawar dan melati yang dimasukkan ke dalam toples kaca diisi air. Disiram dengan air dan kembang seperti itu, simboknya tentu akan senang. "Tidak ikut yu? aku membawa bunga cukup banyak." pinta Salatun. "Badanku kotor semua Tun. Kau berangkat saja sendiri." Salatun memang melihat tubuh Jasmi kotor. Seharian Jasmi seperti orang yang gila bekerja dengan membersihkan halaman rumah dari rumput. Naifnya, Gimpul hanya memandang saja apa yang dikerjakan isterinya dari kejauhan. Gimpul gundah karena hobinya mengocok kartu tidak mendapat penyaluran. "Baik yu." Salatun berangkat sendiri. Entah apa sebenarnya yang ada dalam benak Gimpul, ada sesuatu yang mekar di kepalanya setiap melihat adik iparnya. Bagaimana rasanya kalau adik ipar itu dicicipi? Itulah pikiran ngeres yang ada di dalam kepalanya yang berisi segala macam biang kebejadan. "Ke mana adikmu itu?" tanya Gimpul. "Ke kuburan, kangen pada simbok." Jasmi menjawab tanpa prasangka. Gimpul manggut-manggut. "Aku perlu mengingatkan kamu Jas sebaiknya kau juga ke kuburan. Doakan simbokmu,

sekaligus minta pada simbokmu, supaya jalan hidupmu lancar dan murah rejeki. Minta pada simbokmu supaya dilindungi dan cepat kaya." Jasmi tersenyum. "Mendoakan orang yang sudah mati itu memang benar kang. Apalagi anak mendoakan orang tuanya, itu wajib hukumnya. Tetapi kalau minta doa justru kepada orang sudah mati, musrik namanya." Waah, pendapat apa pula ini? Gimpul membutuhkan waktu beberapa kejab untuk merenungkan. Gimpul yang agamanya cethek tentu saja bingung mencernanya. "Orang mati tidak bisa memberi apa-apa kang." Jasmi menerangkan. Setelah menangkap apa maksudnya Gimpul manggut-manggut. "Apapun pendapatmu itu, tidak ada salahnya kalau kau ke kuburan." "Besok sore saja, sekarang aku sedang sibuk Jasmi menjawab sambil mengibaskan pakaiannya yang berlepotan tanah. Keningnya penuh keringat menambah kecantikannya. "Besok aku temani. Aku pinjam bendonya itu Jas." "Untuk apa?" "Aku mau cari bambu, kandang ayam itu nampaknya perlu diperbaiki." Jasmi tersenyum senang. Bahwa Gimpul mulai belajar menyesuaikan diri dengan keluarga pak Kampun itu membuat Jasmi merasa senang. "Apa kau bisa? Cara pegang bendo yang benar saja kau tidak bisa kok mau membetulkan kandang." ledek Jasmi. "Ahh lihat saja nanti. Tak ada salahnya kan kalau mencoba?" Dengan bendo di tangan Gimpul memang pergi ke pekarangan. Jasmi memandangi suaminya yang benar-benar memotong bambu. Namun sejenak kemudian tidak ada seorangpun yang melihat Gimpul menyelinap entah pergi ke mana. Yang jelas pada saat Salatun sampai di kuburan, Salatun kaget melihat seseorang berada

di sana. "Kok kau berada di sini kang Gimpul?" tanya Salatun dengan nada senang. Gimpul pura-pura masih kaget. "Kau sendiri? kau kok juga berada di sini Tun?" Gimpul mengumbar ekspresi keheranan. "Aku mau nyekar simbok. Kang Gimpul sendiri mau apa?" Gimpul menyeringai. Seringai kakak ipar pada adik ipar. "Sama, tetapi sejak tadi aku kebingungan, sebelah mana kuburannya." "Kang Gimpul akan nyekar simbok?" Jasmi kaget. "Ya. Apa ada yang salah?" jawab Gimpul. "Apa yang mendorong kang Gimpul nyekar simbok?" Gimbul duduk di atas salah satu kuburan. Sayang sekali Gimpul tidak tahu tata-cara berada di kuburan. Bahwa yang mati dan dikubur di tempat itu adalah manusia, harusnya juga dihormati. Mentang-mentang sudah mati lalu diduduki seenaknya. Kalau kesambet tahu rasa. "Perkawinanku dengan mbakyumu belum mendapat restu dari simbok. Lagi pula, aku menganggap simbokmu seperti orang tuaku sendiri. Jadi apa salahnya Tun?" Sebuah jawaban yang menyenangkan. Tidak disangka oleh Salatun di kuburan itu ia bertemu dengan Gimpul yang bermaksud kirim doa. "Bawa kembang setaman kang?" tanya Salatun. Gimpul tentu tidak membawa kembang. "Yang penting itu kan niatnya, bukan kembangnya Tun. Sebelah mana kuburan simbok?" Salatun bertambah senang hatinya karena Gimpul menyebut simbok bukan Simbokmu. Jika simbokmu berarti masih belum menjadi simboknya Gimpul, masih menjadi orang lain. "Itu, kuburan simbok yang sebelah sana." jawabnya. "Ayo." ajak Gimpul sambil mengulurkan tangan. Salatun tersadar, ada yang tidak patut dilakukan kakak iparnya itu.

"Jangan pegang tanganku kang," Gimpul tersenyum. "Kau adikku, apa salahnya aku tuntun?" Gimpul tidak melepaskan genggaman tangannya. Pada akhirnya Salatun tak mempersoalkan lagi genggaman tangan itu. "Sebelah mana kuburan simbok?" "Itu yang di sana." Tiba-tiba saja Gimpul berhenti melangkah. Pandangannya tertuju pada sebuah arah. "Ada ular." bisiknya. Salatun kaget. Tangannya berpegangan lebih kencang. Dan tentu saja Gimpul memanfaatkan kesempatan itu untuk memeluk pinggang. "Mana ularnya?" desis Salatun yang amat cemas. "Kau lihat itu, melingkar itu apa bukan ular?" Memang benar ular yang cukup besar, melingkar melilit salah satu batu nisan. "Ya Allah, kang." Salatun makin cemas. Namun sebenarnya ular itu hanya diam. Mungkin sedang tidur. "Jangan khawatir Tun, aku akan melindungimu." Gimpul berbisik dekat sekali dengan telinga. Dengan adanya ular itu Gimpul memang untung besar. Salatun yang takut diam saja dipeluknya. Salatun bahkan tidak sadar disaat dicium keningnya. Salatun mengira, barangkali semua yang dilakukan Gimpul itu masih dalam rangka melindunginya dari ular. Gimpul menyeringaikan diri. Mungkin ular itu telah disogoknya atau Gimpul adalah penjilmaan dari ular itu sendiri. Ya siapa yang tahu. "Ular itu, tidak akan mengganggu kita kang?" "Tidak. Ular itu kekenyangan. Ia tidak akan mengganggu kecuali kalau diganggu. Baginya manusia itu seperti saudara tuanya, kalau berpapasan dengan manusia, ular lebih senang pergi

daripada mengganggu. Tenang saja." "Untung aku bertemu dengan kang Gimpul." Gimpul menjawab dengan senyum. Untung ada ular berkata Gimpul dalam hati. "Sekarang berdoalah." "Jaga aku ya kang." "Jangan khawatir, kau kujaga." Dengan khusuk Salatun berdoa. Salatun yang merasa sangat kehilangan dengan kepergian simboknya itu bahkan sampai menitikkan air mata. Gimpul dengan penuh kesabaran menunggu. Namun Salatun semakin larut, membuat Gimpul bagai tidak sabar. Waktu terlalu lama lewat. Kalau dibiarkan Salatun bisa tertidur dan bangun esok paginya. Manakala Gimpul menyentuh pundaknya Salatun terkejut dan tersadar. Matanya berkacakaca, basah air mata. "Hari makin sore Tun, kita harus segera pulang." Salatun memandangi kuburan simboknya. "Kasihan simbok." katanya nyaris berbisik. "Simbokmu justru telah berbebas dari segala keruwetan duniawi Tun. Simbokmu sudah berada di alam langgeng, di sana tenang dan damai. Justru karena itu jangan kau menangis lagi. Tangismu hanya akan menyebabkan perjalanan simbokmu seperti tersendat, ibarat langkah kaki yang kesrimpet." Nasehat yang menyejukkan. Salatun bisa menerima nasehat itu. Memang tak seharusnya menangisi orang yang telah pergi menghadap Illahi. Perjalanannya bisa tersendat karena masih digondeli oleh kerabat yang tertinggal. "Rasanya seperti baru kemarin, rasanya simbok masih hidup. Tetapi sebenarnya simbok sudah tidak ada. Bagaikan mimpi saja kang Gimpul." isak gadis itu.

"Kau harus mengikhlaskan simbokmu Tun. Ayo," Mbok, aku pulang ya mbok." Salatun mohon diri. "Ya" jawab Gimpul sambil menggandeng lengan Salatun. Dasar Gimpul play boy. Gimpul tidak sekedar menuntun namun juga mengusap lembut tangan adik iparnya itu. Gawatnya, Salatun hanya diam. Gimpul mengartikan hal itu sebagai pertanda tertentu. Sebagai seorang lelaki yang berpengalaman Gimpul sangat tahu, kalau dilanjutkan Salatun tak akan menolak. Gawat. "Mengapa berhenti?" bertanya Salatun saat mereka akan keluar dari wilayah kuburan yang penuh dengan bau wangi bunga semboja. Bunga khas kuburan. "Ular tadi sudah pergi Tun." jawab Gimpul sambil memperhatikan di mana tadi ular besar itu berada. "Aku tak melihatnya lagi. Ke mana dia kang?" Ular yang semula melilit batu nisan itu sudah tidak ada. Mungkin karena tugasnya membantu gimpul sudah selesai dia pergi. "Ada yang bilang, bertemu dengan ular atau burung gagak, katanya merupakan perlambang yang kurang bagus. Apakah menurutmu juga benar begitu kang?" tanya Salatun. "Siapa yang bilang?" Gimpul membalas. "Orang-orang tua percaya hal seperti itu." "Aku tak percaya." jawab Gimpul pendek. "Tempat ini sepi ya?" "Namanya juga kuburan." kata Salatun. Kalau saja tempat yang sepi itu bisa dimanfaatkan. "Kalau malam, tempat ini berubah menjadi tempat yang menakutkan. Ehhhh, tanganmu halus sekali Tun." Kalimat yang tiba-tiba berubah arah itu membuat Salatun bingung. Apa maunya? "Aku mengatakan yang sebenarnya Tun. Kulitmu memang halus. Aku tidak bermaksud

memuji tetapi mengatakan keadaan yang sesungguhnya. Kau pandai merawat diri Tun. Tetapi kalau kau sering turun ke sawah dan ikut bercocok-tanam, maka tanganmu akan menjadi gelap. Seperti tanganku ini misalnya. Boleh aku mencium jemarimu Tun?" Salatun kian bingung. Laki-laki yang di depannya itu Gimpul, kakak iparnya. Apa pantas ia mengijinkan. Sayang sekali Salatun tidak ingat mbok Rikin. Kalau saja bayangan mbok Rikin muncul selintas saja, Salatun pasti akan menepis tangan kurang ajar itu. "Boleh bukan? aku sama sekali tak menyimpan maksud kasar atau nakal. Aku hanya penasaran dengan tanganmu yang begini halus. Boleh aku mencium tanganmu?" Kurang ajar. Gimpul benar-benar tahu kalau telapak tangan merupakan anggauta badan yang peka. Salatun mrinding ketika Gimpul menciumnya. Salatun hanya bisa gemetar ketika Gimpul tidak sekedar mencium tangannya tetapi juga mencium pipinya. Salatun terkejut dan hanya bisa terkunci otaknya ketika Gimpul kemudian mencium bibirnya. Itu pengalaman pertama bagi Salatun. Pengalaman yang tidak akan terlupakan. Salatun hanya menunduk. Begitu rapi Gimpul menyembunyikan senyumnya, senyum lelaki yang merasa berhasil mempedaya seorang gadis, menempatkan dalam genggaman. Salatun menunduk, malu sekali. Malu karena tadi telah melayani ciuman itu, membalasnya dengan amat bergairah. "Kau belum pernah dicium lelaki Tun?" tanya Gimpul. Salatun tak menjawab, namun kemudian menggeleng. "Betul?" desak Gimpul. "Belum." jawabnya seperti berbisik. "Jadi, aku orang pertama yang menciummu?" desak Gimpul. "Ya." Gimpul tersenyum senang. Salatun kembali diraih dan dipeluk dengan lekat. Barangkali saja arwah mbok Kampun terbelalak menyaksikan adegan itu. Dulu Jasmi, apa sekarang giliran adiknya yang akan menjadi korban?

Kurang-ajarnya lagi hal itu dilakukan di kuburan. Alamak. "Terimakasih. Ini merupakan kebanggaan bagiku. Kebanggaan yang tak terkira." "Aku takut," Salatun tak bisa menutupi rasa cemasnya. "Jangan takut Tun, kita harus menyimpan rapat-rapat rahasia ini. Kita menyimpannya sebagai rahasia kita berdua. Jangan sampai bocor." Salatun mengangguk. Bagaimanapun, apa yang dilakukan Gimpul kepadanya, meski hanya sebuah ciuman meninggalkan gemuruh yang luar biasa di dada Salatun yang seumur-umur belum pernah mengalami hal itu kecuali hanya membayangkan saja di saat tergolek sendiri di tempat tidur atau di saat melamun. Gadis anak bungsu pak Kampun itu gelisah dan kebingungan. Salatun tidak banyak bicara ketika sampai di rumah. Salatun langsung masuk ke dalam kamar dan mengunci diri. Akan halnya Iwan Gimpul Marjuni, serigala berbulu domba itu mulai menyusun rencana dengan rapi. Di depannya ada seekor kelinci kecil yang siap untuk disantap. Hanya dengan sedikit ketelatenan, Salatun pasti bakal menjadi korbannya yang ke sekian kalinya. Malam turun dengan mendung sangat tebal, suara petir beberapa kali terdengar. Bulan lenyap entah ke mana. Dingin musim bediding serasa mulai menusuk tulang. Setiap pagi minyak klentik selalu membeku oleh bediding itu. "Apa yang kau lamunkan Jas?" Gimpul merasa heran melihat isterinya melamun. Jasmi resah. "Sedang memikir apa?" desak Gimpul. "Suasana rumah ini sudah seperti neraka." "Kenapa?" tanya Gimpul. "Apakah kau menganggap keadaan ini tidak seperti berada di neraka kang?" Memang seperti berada di neraka. Gimpul mengetahui itu. Akan tetapi demi sebuah

rencana yang sangat penting dan tidak boleh gagal, Gimpul bertahan sekuat-kuatnya. Panas neraka macam apapun harus dihadapi. "Aku masih menganggapnya sebagai keadaan yang wajar. Kalau kau menganggapnya sebagai berada di neraka, pendapat orang memang berbeda. Rambut kepala sama hitamnya, tetapi isi kepala tak pernah sama." Bapak mendiamkan aku." Jasmi berkata datar. Gimpul kaget. "Kenapa?" tanya Gimpul heran. Tadi siang pak Kampun masih mau berbincang dengan Jasmi, sekarang sudah tidak mau lagi. Ada apa? Bapak marah karena tadi aku nylathu isterinya. Gara-garanya aku lihat kalung milik simbok dipakainya. Karena hal itu bapak tidak mau berbicara kepadaku. Dengan kang Tanjir dan kang Jayus bapak juga tak mau bicara. Seisi rumah ini semuanya neng-nengan. Tidak saling berbicara. Pada bisu semuanya. Dulu ketika simbok masih ada, suasana seperti ini sama sekali tak pernah terjadi. Ini gara-gara perempuan itu." Gimpul merasa ada yang janggal, mengapa isteri pak Kampun yang harus disalahkan, dijadikan paran tutuhan. Harusnya Jasmi menyalahkan bapaknya yang tak tahu diri. "Kau sendiri menurutku salah." "Kok bisa?" "Apa salahnya kalau kau menerima kehadiran Ibu tirimu? Toh pada kenyataannya bapakmu telah mengambilnya sebagai isteri. Mau apa lagi?" "Aku tidak mungkin menerima hal itu kang." "Itu salahmu. Kalau kau bisa menerima kehadiran Salehak itu sebagai simbokmu, mau mengajaknya berbicara meski sekedar basa-basi. Bapakmu pasti senang hatinya. Mengalah sedikit apa salahnya? berkata Gimpul. Berbaik-baik dengan Ibu tirinya? Bahkan menganggapnya sebagai Ibu tiri saja Jasmi tak

sudi. Bahwa Salehak itu memakai kalung milik simboknya benar-benar membuat sakit perasaannya. Kok ya tega-teganya pak Kampun melukai hati anaknya dengan memberikan kalung milik almarhumah mbok Kampun kepada isteri barunya itu. Petir meletup menggelegar. Jasmi kaget. "Rupanya mau hujan Jas." "Para petani pasti senang. Gluduk terdengar, artinya hujan akan segera turun dan sawah bisa ditanami lagi. Aku capek resik-resik dari tadi, rasanya ngantuk sekali." "Tidurlah Jas. Jangan pikirkan apapun." "Mau memijiti aku kang?" pinta Jasmi dengan manja. "Boleh. Namun kalau kau nanti sudah tidur aku pergi." Jasmi kaget. "Pergi ke mana?" "Aku tadi sudah janjian dengan Sumarto dan Pardi Kitin akan jagongan di gardu." jawab Gimpul sambil mulai memijit. "Jagongan apa?" desak Jasmi yang cemas kalau hobi suaminya kumat. "Hanya jagongan saja." "Pasti mau main." desak Jasmi. "Aku tidak akan main lagi Jas. Kau sendiri melihat dalam beberapa hari ini apakah aku main kartu? Lagi pula uang yang mana akan kupergunakan main?" Jasmi memang senang melihat perubahan suaminya. "Tetapi mau hujan kang." "Tidak apa-apa. Tidurlah." "Punggungku." "Ya." Jasmi memang kecapekan dan dengan gampangnya ia pulas ke dalam mimpi. Gimpul tersenyum melihat isterinya sudah mendengkur halus. Sebuah rencana telah mengeram di

dalam benaknya, rencana jahat dan keji. Apa yang dikatakan kepada isterinya bahwa ia akan menemui Sumarto dan Pardi adalah omong kosong. Hujan kemudian turun deras. Dengan mengendap-endap lewat tritisan Gimpul mendekati jendela adik iparnya. Gimpul yang melewati kamar pak Kampun menyempatkan mengintip. Terlihat dengan jelas pak Kampun tidur pulas, namun Gimpul tidak melihat Salehak. Dengan pelan dan hati-hati Gimpul mengetuk jendela. Salatun yang tengah beranganangan kaget dibuatnya. Salatun mempertajam telinga. "Tun, buka jendelanya, ini aku, Gimpul." Salatun mendengar kalimat itu dengan jelas. Salatun amat gelisah. Apa sebenarnya yang dimaui kakak iparnya itu. "Tun, buka, ini aku Barangkali karena pertimbangan akal warasnya sedang tidak jalan, Salatun membuka jendela. "Ada apa?" Salatun bertanya cemas. Hujan turun semakin deras, petir meledak dengan keras. Cahayanya muncrat menerangi wajah Gimpul. "Kang Gimpul mau apa?" Salatun kian resah. "Aku akan masuk. Aku akan menemanimu." jawab Gimpul sekenanya. Salatun kaget. "Kang Gimpul, jangan," Terlambat bagi Salatun untuk menyadari apa yang terjadi karena Iwan Gimpul Marjuni kemudian telah masuk ke kamarnya melalui jendela itu. Gimpul bergegas menutup jendela dan mematikan lampu. Suasana kemudian menjadi gelap gulita. Benar-benar gawat. Gimpul rupanya tidak puas hanya dengan isterinya yang sudah cantik itu. Gimpul masih ingin mencicipi iparnya. Hujan deras benar-benar membantu niat jahatnya. Salatun hanya bingung ketika Gimpul meraih tubuhnya dan mendekapnya.

"Mengapa kau masuk ke dalam kamarku?" tanya Salatun agak kurang senang. "Di luar hujan deras sekali Tun." bisik Gimpul. "Mengapa karena hujan kau ke sini?" "Aku ingin menemani kamu. Atau tepatnya aku ingin kau temani aku. Kita lewati malam ini bersama-sama, tentu menyenangkan sekali." jawab Gimpul. Salatun mrinding. Melewati malam bersama seorang lelaki, hal yang selama ini belum pernah dilakukan. "Kalau yu Jasmi tahu kau masuk ke kamarku bagaimana?" Bodoh sekali Salatun. Seharusnya Salatun mengusir kakak iparnya itu agar keluar, bukan soal bagaimana kalau Jasmi sampai tahu suaminya masuk ke kamarnya. "Mbakyumu tidak akan menduga aku masuk ke kamarmu Tun. Jasmi mengira aku sedang berada di gardu dengan kang Pardi Kitin. Jasmi sekarang sedang tidur pulas apalagi sedang hujan deras. Jangan khawatir dan tenang saja. Yang penting sekarang kau enak dan aku juga kepenak. Kita lanjutkan kembali apa yang tadi telah kita lakukan di kuburan simbokmu." Salatun kian mrinding. Kuburan simboknya disebut membuat Salatun merasa sangat bersalah. "Kalau yu Jasmi tiba-tiba mengetuk pintu?" gelisahnya. "Tenang saja, aku bisa bersembunyi di kolong tempat tidur." "Kalau diintip?" Salatun terus mendesak. "Aku akan keluar melalui jendela. Sudah, jangan cemas." "Tetapi aku takut kang Gimpul." "Apanya yang harus ditakutkan? Keadaan di luar sangat berpihak pada kita. Hujan amat deras, udara dingin, mbakyumu bablas tidur pulas. Tanjir dan Jayus juga tidak ada, mereka sedang sibuk main kartu di rumah orang yang sedang mantu, dan pak Kampun tentu sedang sibuk dengan mainan barunya. Salehak tentu menyebabkan telinganya kurang jelas

menangkap apa yang terjadi di kamar belakang ini. Ayo." Salatun kaget. "Ayo apa?" "Peluk aku. Aku peluk kau." Bulu kuduk Salatun bangkit semua. Gadis itu makin takut. "Jangan kang, nanti aku hamil." "Kalau hanya dipeluk saja tidak akan menyebabkan hamil. Kalau hanya diam, justru akan membuatmu hamil." Gimpul ngeyel. "Keluarlah kang, jangan ganggu aku." pinta Salatun memelas. "Waaaah, aku sudah berada di sini. Rugi kalau aku keluar begitu saja. Ingat, tadi aku telah mengajarimu saat di kuburan?" "Tetapi aku takut kang, takut sekali." Hanya saja, Gimpul adalah lelaki yang sangat berpengalaman, ia tahu bagaimana cara menenangkan korbannya hingga tidak sadar akan masuk ke dalam jebakan yang telah disiapkan. Apalagi kelinci dan serigala itu sudah berada dalam satu kandang. "Kau cantik Tun. Aku selalu gelisah memikirkanmu. Rasanya aku tidak akan tenang seumur hidupku." puisinya mulai keluar. "Mengapa?" pertanyaan yang lugu sekali dari Salatun. "Karena kau cantik." jawab Gimpul. "Bohong. Yu Jasmi jauh lebih cantik dariku. Siapapun tahu hal itu." bantah Salatun yang memang sadar atas kecantikan yang dimiliki kakaknya. "Jasmi memang cantik, aku merasa sangat beruntung menjadi suaminya." Gimpul menjawab. Jawaban yang membuat Salatun heran. "Mengapa kau masih menghendaki aku?" desak salatun. "Karena, seperti jangan tempe dan jangan terong itu." Salatun tambah penasaran. Apa hubungannya dengan jangan tempe dan jangan terong?

"Kenapa dengan jangan tempe dan jangan terong?" kejarnya. "Aku memang suka dengan jangan tempe. Rasanya enak dan membuat perut menjadi lega. Tetapi makan jangan tempe terus setiap hari ya bosanlah, sekali waktu ingin makan jangan terong." Gila, Salatun dianggapnya jangan terong. Jasmi yang meskipun cantik, tetapi karena hanya ia menu hariannya setiap hari, dianggapnya dia jangan tempe, menu yang harus disantap setiap hari, jadi membosankan, gawat. Diibaratkan seperti itu semestinya Salatun marah. Ee, ternyata tidak. Betapa malangnya Jasmi. Jasmi telah kecolongan, suaminya selingkuh justru dengan adik kandungnya sendiri. Jasmi yang cantik, Jasmi yang bentuk bibirnya bikin cedut-cenut lelaki. Wajahnya yang ayu tercetak dalam mimpi setiap lelaki yang punya degup syahwat cukup tinggi. Di saat di bilik yang lain gairah suaminya menggebu terhadap adiknya sendiri, Jasmi justru sedang mimpi kebanjiran. Tentu saja Jasmi mimpi banjir, karena kamarnya trocoh, hujan yang deras menerobos genting yang pecah, bocor itu menetes mengenai tubuhnya. Tetes-tetes lainnya bahkan mengenai keningnya. Namun Jasmi tidak ingin bangun. Ia larut dalam mimpi banjirnya. Barangkali mimpi itu perlambang atas apa yang berlangsung. Gimpul terus men-desak. Salatun penjaga gawang yang terus bertahan. "Jangan kang Gimpul aku tidak mau. Cukup sampai di sini saja, jangan diteruskan lagi." Sesaat setelah ikut larut, rupanya Salatun masih punya kesadaran untuk bertahan. Bukan hanya melawan Gimpul namun melawan nafsunya sendiri. "Lawanlah perasaanmu yang mengganjal itu. Lawan, serta ikuti saja keinginanmu." Gimpul jengkel dan tidak telaten. "Itu bujukan setan, bagaimana aku bisa mengikuti bujukan setan?"

Akhirnya Salatun menemukan ketegarannya. Ketika bayangan simboknya muncul, Salatun makin bisa bersikap tegar dan tegas. Yang rasanya enak-enak kok mesti bujukan setan, pendapat apa itu?" Gimpul berargumentasi ngawur. "Keluarlah kang Gimpul, atau aku akan berteriak." "Tidak ada yang akan mendengar teriakanmu. Ayolah sayang, Ayolah wong ayu, turutilah brantaningtyas ingsun." Walah-walah, brantaningtyas ingsun? "Aku tidak mau" jawab Salatun tegas sambil membenahi diri. Akhirnya Gimpul melihat, rayuan apapun yang digunakan tidak akan mempan. Kali ini terpaksa gagal. Mungkin lain kali berhasil. Kalau mundur, tidak apalah, mundur untuk menang. "Baiklah Tun" kata Gimpul kecewa."Bagaimana kalau lain kali. Saat ini aku tahu kau sedang gugup dan sama sekali tidak siap. Lain kali kau mau bukan?" "Lain kali aku mau, kang Gimpul." "Janjimu kuanggap hutang dan pasti kutagih kalau tiba saatnya." kata Gimpul. Salatun merasa bulu kuduk di punggungnya bangkit serentak. Gimpul agak kecewa, namun Gimpul menganggap itu wajar. Pertama tidak mau, lamalama nanti akan mau juga. Sabar dulu, tidak perlu grusa-grusu. Yang penting bukankah hatinya telah berhasil digerogoti. Bagi Gimpul, yang penting, bukankah tadi Salatun sudah diciumnya? Itu sebuah awal yang baik. "Bukan main, lumayan. Aku telah mendapat kesempatan mencium adik ipar. Bahkan Salatun tadi mengimbangiku penuh gairah. Aku rasa perempuan di mana saja sama. Pertama tidak mau tetapi lama-lama nanti malah menuntut dan minta tambah. Yang biasanya ketagihan itu wanita, bukan kaum lelaki." Wong edan. Gimpul kranjingan, punya pendapat kok seperti itu. Kaum wanita layak tersinggung.

"Sekarang Salatun telah berada di dalam genggamanku, hanya tinggal menunggu waktu saja untuk memetik. Tidak perlu dipaksa untuk disembelih, kelak ia akan menyodorkan diri disembelih. Setelah itu, sasaranku berikutnya adalah mertuaku yang cantik itu." Ha? Mertua yang cantik? Kalau benar memang itu rencana Gimpul selanjutnya, tentulah Salehak yang dimaksud, isteri pak Kampun yang semula memiliki jabatan babu itu. Apa sih maunya Gimpul itu sebenarnya? Sekedar menjelajah dari ruang ke ruang? Bahkan kalau almarhumah mbok Kampun masih hidup akan dihinggapinya pula? Gimpul masuk ke dalam rumah yang memang tidak dikunci. Kalau ada maling masuk ke rumah, sama sekali tidak akan mengalami kesulitan. Tetapi apa yang akan dicuri di rumah yang tidak ada apa-apanya itu. TV bertenaga aki (karena listrik belum masuk di rumah terpencil di ujung sawah itu) tidak ada karena sudah diangkuti oleh Tanjir dijadikan uang. Bahkan kursi penjalin satu setel yang berada di ruang tamu, ujung-ujungnya diangkut Jayus yang takut didahului kakaknya. Gimpul tertegun ketika melintasi kamar belakang. Gila, di sana kedua mertuanya tidur. Apa Gimpul mencoba peruntungan dengan menggerayangi mertuanya pula? Oo tidak, ternyata tidak. Gimpul masuk ke dalam kamarnya sendiri. Gimpul yang kepalanya sedang pusing itu tertegun melihat isterinya tidur dengan sembarangan. Basah lagi. Gimpul memandang langit-langit kamar menelusuri dari arah mana air yang bocor dan menetes tepat di paha isterinya itu berasal. "Kasur sudah kumal bocor semuanya. Sudah begitu isteriku masih bisa tidur nyenyak tidak terganggu. Bahkan masih sempat-sempatnya tersenyum. Mimpi apa dia?" Jasmi yang dibangunkan terkejut. Kaget karena merasa tubuhnya basah kuyup. "Trocoh Jas, gentingnya bocor" Jasmi memandang ke atas. "Aku kira kebanjiran, rupanya trocoh "Yang kebangeten itu kamu, sudah trocoh seperti itu kok tidak mau bangun

Kalau sudah larut dalam tidur memang bisa apa? Rumah terbakarpun bisa tidak tahu. Tahu-tahu ketika api sudah mengepung rapat. "Lepas pakaianmu Jas, ganti yang kering" kata Gimpul. Jasmi menurut. Jasmi melucuti diri sendiri. "Tunggu" tiba-tiba Gimpul mencegah. "Ada apa?" tanya isterinya. "Jangan dulu. jawab suaminya. Wong edan. Akan tetapi itulah Gimpul, yang dengan rapi menyembunyikan bau selingkuhnya di punggung isteri, dengan rapi membungkusnya hingga tidak kelihatan. Dengan beringas Gimpul mengerjakan tugasnya, akan tetapi itupun sudah selingkuh, karena yang dibayangkan bukan wajah Jasmi tetapi wajah adiknya, atau bahkan wajah bintang film. Selingkuh memang banyak ragamnya. Hanya dengan membayangkan wajah orang lainpun sudah termasuk selingkuh. "Malam ini kau lain sekali." puji Jasmi pada suaminya. Gimpul yang rebah merasa punggungnya basah. Mau digeser ke mana lagi kasur itu kalau segenap sudut ruang bocor semua. "Tidak tahulah, mungkin karena pengaruh udara yang sejuk karena hujan turun, mungkin juga karena obat yang kuminum tadi, pengaruhnya seperti ini." Jasmi kaget. Obat? "Yang kau minum obat apa?" Jasmi bertanya. "Di meja tadi ada pil, Pil Tuntas." Pil tuntas? Lhadalah, itu namanya keladuk kebat kliwat. Pil tuntas itu untuk wanita, bukan untuk Gimpul. Tentu saja jawaban itu membuat Jasmi terperangah. "Itu pil untuk wanita, kau minum?" tanya Jasmi, Gimpul yang heran. "Pil Tuntas, untuk menuntaskan segala sesuatu bukan?" tanya Gimpul.

Jasmi termangu karena merasa tidak tahu jawabnya. Sang waktu terus bergerak laju sebagaimana tugasnya menapaki ruang, menjadikan hari ini menjadi kemarin, menjadikan kemarin menjadi lusa yang lalu, menjadikan segala peristiwa menjadi sejarah. Menjadikan malam berlalu mendekati arah pagi. Gimpul yang mengidap insomnia matanya kancilen tidak bisa tidur. Pada umumnya orang yang banyak masalah memang dekat dengan penyakit itu. Tak bisa tidur meski mengantuk. Sebaliknya dengan Jasmi yang blek-sek, begitu mencium bantal langsung lelap. Gimpul membiarkan pikirannya melayang ke mana-mana. "Masalahnya barang baru." berkata Gimpul pada diri sendiri di dalam hati. "Masalahnya aku menginginkan sekali barang baru. Aku tidak pernah puas. Aku harus mendapatkannya. Aku tidak peduli bahwa Salatun adalah adik iparku. Entah mengapa meski ia kalah cantik dari Jasmi, bayangannya selalu membangkitkan gairahku lebih dahsyat dan lebih parah. Ohhh Salatun pujaan hatiku, Engkaulah bintang gemerlapan harapanku, kaulah kekasihku hingga sundul langit. Kelak kau harus menjadi milikku. Harus." Gimpul berpuisi segala. Dasar lelaki. Lelaki seperti Gimpul sebaiknya memang dikubur hidup-hidup. Biar mampus saja dia. Ia telah menyengsarakan banyak orang. Gadis-gadis bahkan para janda menjadi tidak aman kalau berdekatan dengannya. Berbahaya. Pagi berikutnya adalah pagi yang cerah. Jasmi membiarkan suaminya tidur. Ketika matahari baru terbit, Gimpul yang bersusah payah memejamkan mata baru berhasil menerobos menjelajahi mimpi. Di halaman Salatun termangu. "Pagi ini sikapmu kok nganeh-anehi, ada apa? Kamu sakit ya Tun?" tanya Jasmi pada adiknya yang lesu. Tentu saja Salatun lesu ingat adegan horor yang dialaminya semalam. Bagaimana

sebaiknya, apakah disampaikan kepada Jasmi perbuatan Gimpul itu? Kalau ia melaporkan, lantas apa yang bakal terjadi? Apakah tak akan menyebabkan terjadinya perang baratayudha antara Jasmi dengan suaminya? Bisa geger dan akan menjadi santapan tetangga. Salatun harus menimbang kembali sebelum mengambil keputusan. "Ada apa Tun? Sejak kau ke kuburan kemarin, kau kelihatan murung. Ayo Tun, bicaralah. Kita di rumah ini memang seperti hidup di dalam neraka. Justru karena itu kita harus saling berbagi cerita. Kalau kau punya masalah, ceritakan kepadaku, sebaliknya ka-lau aku ada masalah, aku juga akan berbagi denganmu." Kalau perbuatan Gimpul itu diceritakan pada isterinya, dijamin akan geger. Seperti orang yang makan buah simalakama, mau begini salah, mau melakukan itu salah. Dimakan sakit mata, tak dimakan sakit perut. Pilih yang mana? "Aku tidak apa-apa yu." jawab Salatun datar. Rupanya Salatun memilih merahasiakan kejadian semalam. "Ingat pada simbok?" desak Jasmi. "Ya." jawab Salatun sambil mengangguk. "Simbok sudah tak ada Tun. Aku tahu kau sangat kehilangan. Tetapi, kalau waktu terus berlalu, kita harus melihat kenyataan simbok memang telah pergi meninggalkan kita selamanya. Jadi tidak ada pilihan lain kecuali harus ikhlas. Mau ikut aku ke tegalan Tun?" "Mau apa?" Salatun sangat tidak bersemangat. "Cari daun sembukan. Untuk bikin bothok." "Malas yu. Aku akan ke kuburan simbok lagi saja." "Tun," Jasmi iba sekali pada adiknya itu. "Di sana aku merasa tenang. Di sana aku dekat dengan simbok." "Baiklah, nanti kita berdua. Setelah aku selesai masak. Atau kau ingin berangkat lebih dulu, nanti kususul. Kembangnya biar aku yang bawa."

"Jangan yu, kita berdua berangkat bersama. Aku menunggu yu Jasmi selesai." "Kalau begitu, ikut saja ke tegalan ya?" Salatun menggeleng. Malas. "Tidak yu. Aku tidak ikut kau ke tegalan. Aku menunggu saja di sini saja." Jasmi memandangi adiknya. "Kau ingin hari ini aku masak apa?" "Terserah yu Jasmi." "Bagaimana kalau jangan bung? aku akan menyuruh suamiku untuk mencarikan rebung. Bukankah jangan bung kesukaanmu?" Bung itu singkatan rebung, bambu muda yang bisa dimasak. Banyak orang yang bilang jangan suka makan jangan bung karena akan rai gedek. Bambu kalau dianyam kan jadi gedek? Tetapi bung juga jadi sandangan nama, Bung Karno, Bung Hatta, atau Ada apa bung? Terserah yu Jasmi." Salatun amat tidak bergairah. "Baiklah." jawab Jasmi yang langsung ngeloyor pergi. Salatun ingat semalam. Tanpa dipancing dadanya mengombak gelisah. Salatun merasa risih. Apa yang dilakukan Gimpul padanya benar-benar tidak patut. Salatun yang larut mengimbangi permainan itu juga merasa tidak patut. Pada ujungnya Salatun seperti jijik pada diri sendiri. "Apa yang harus kulakukan?" Salatun gelisah. "Apakah aku harus diam membiarkan perbuatan kang Gimpul yang kurang ajar itu? Atau apakah sebaiknya kulaporkan saja pada isterinya? Apakah yang terjadi kalau kulaporkan pada yu Jasmi?, yu Jasmi dan kang Gimpul pasti bertengkar. Suasana di rumah ini akan menjadi semakin kisruh dan semakin usrek. Ah, jadi serba salah aku jadinya. Mau begini salah, mau begitu juga salah. Bagaimana sebaiknya?"

Beban yang sungguh sangat berat. Salatun mendekap wajah. Kalau sudah demikian, Salatun ingat simboknya. Mata Salatun berkaca-kaca. "Simbok, apakah yang harus kulakukan menghadapi keadaan yang membingungkan ini? Simbok, tolonglah aku mbok. Bagaimana caranya aku menghindari keadaan ini? Bagaimana caranya mbok?" mata gadis itu mengaca. Matahari memanjat agak tinggi ketika Tanjir serta Jayus yang telah berubah menjadi kalong, pulang. Anak lelaki pak Kampun itu makin tidak peduli dengan apapun, kecuali mengumbar kegemaran di tempat-tempat orang punya hajat. Gandrung yang pentas di Rogojampi sekalipun pasti didatangi. Kalau sudah turun menari Tanjir bisa lupa diri sebagaimana Jayus jika larut dengan kartu remi atau domino. Semalaman Tanjir dan Jayus tidak pulang, biasanya dibayar dengan tidur ngedhur sehari suntuk untuk kemudian pergi lagi di malam berikutnya. Pak Kampunlah yang kemudian sering mengelus dada karena jika dua anak lelakinya itu minta uang selalu seketika dan tidak bisa ditunda. Tanjir berjalan melintas tidak peduli pada Salatun yang tengah duduk melamun di atas dingklik kayu yang telah lapuk. Namun sejenak kemudian, Jayus yang justru mendekatinya. "Tun" kata Jayus pelan. Salatun mendongak. "Apa?" tanya Salatun agak ketus. "Kamu punya uang?" tanya Jayus. Salatun hanya menoleh. Wajahnya beku. "Ehhh, kamu punya uang apa tidak?" Jayus mendesak. "Tidak." jawab Salatun tegas. Jayus memandang Salatun, bukan ke tubuhnya atau ke mukanya tetapi pada anting-anting dan kalung yang dikenakannya. Jika anting-anting itu harganya paling hanya tujuh puluh puluh ribu rupiah. Tetapi kalau kalungnya, bisa tiga ratus ribu rupiah atau lebih, paling tidak

ada enam sampai sepuluh gram. Jika diuangkan lumayan. Bisa untuk tambahan modal. "Kalau begitu bagaimana dengan kalung itu?" Salatun mencuatkan alis. "Kenapa dengan kalungku?" Aku butuh uang. Aku pinjam." "Enak saja pinjam kalung. Tidak bisa." Salatun ketus. "Aku butuh sekali Tun." desak Jayus. "Kalau pinjam, kau tidak pernah mengembalikan." "Tun, aku sangat butuh uang untuk modal. Besok pasti kukembalikan. Atau, kau minta aku kembalikan dua kali lipat, kalung yang lebih besar dan gelang kroncong sekalian?" Jayus merayu. "Dikembalikan kalau imitasi apa gunanya?" Salatun membuang muka dan kemudian beranjak pergi. Namun dengan cekatan Jayus memegang lengannya. Salatun menepis. "Kalungmu aku pinjam." kali ini Jayus berkata agak sangar. "Kalung dipinjam itu kan maunya kang Jayus" kata Salatun ketus. "Mauku tidak boleh." Jayus jengkel. "Gelang yang dulu kau pinjam saja belum kau kembalikan. Ayo, mana gelangku?" Jayus menyeringai. Matanya tak beranjak dari kalung yang dipakai adiknya. Ingin rasanya Jayus membetot saja kalung itu, seperti yang beberapa malam lalu pernah ia lakukan terhadap seorang pejalan yang lewat sebelah bendungan Dam Limo. Pada saat itu maghrib baru saja berlalu. Jayus duduk-duduk di pagar jembatan. Lalu ada seorang wanita berjalan dari arah timur sendirian. Jayus segera menutup wajah dengan sarung seperti film ninja. Dengan cekatan dia menghadang, menodongkan pisau dan membetot kalung yang dipakai orang itu, kemudian lari ke arah utara untuk kemudian melenyapkan diri di selokan. Wanita yang dijambretnya itu sebenarnya masih tetangga sendiri, yang langsung melolong-lolong minta tolong dan bahkan lapor Polisi segala.

Peristiwa penjambretan yang baru untuk pertama kali terjadi di Tegaldlimo yang semula aman-aman saja itu langsung membuat geger, bikin gempar. Segenap penduduk dari Jatirejo sampai Kalipait memperbincangkan. Maklum, peristiwa kecil apapun untuk desa seukuran Tegaldlimo akan menjalar ke mana-mana seiring dengan tiupan angin. Kalung hasil jambretan itu esok harinya dijual ke toko emas. Hasil penjualan kalung itu bisa dijadikan modal untuk duduk bersila membanting kartu, minum ciu dan rokok, sisanya untuk pil koplo. Mula-mula Jayus menang banyak. Jayus tentu tidak lupa sebagian dari uang itu dipergunakan menyalurkan hobby beratnya, kelonan. Namanya juga uang diperoleh dari cara yang tidak betul, ketika duduk bersila lagi di hari berikutnya nasibnya apes, uangnya ludes tak menyisakan sepeserpun kecuali hanya segala macam sumpah serapah dan berbagai gagasan untuk segera mendapatkan uang lagi dengan cara singkat dan cepat. Apapun caranya. Namun, ketika beberapa hari kemudian, setelah masa inkubasi sekitar tiga empat hari berlangsung, Jayus mulai bernanah. Bercak nanah begitu meriah membentuk gambar pulaupulau di celananya, diiringi rasa nyeri dan perih. Jayus tidak punya sepeserpun uang untuk berobat kecuali segumpal sumpah serapah kepada pelacur yang telah menularinya. Kali ini kalung yang dikenakan Salatun amat menggodanya. Entah bagaimana caranya, kalung adiknya itu harus bisa jadi miliknya dan dengan segera dijadikan uang. Dengan uang itu Jayus bisa pergi berobat, kalau ada sisanya untuk duduk bersila, atau bisa juga dibalik, uang itu untuk duduk bersila dulu dan hasilnya untuk beli obat. Kalau ternyata ludes? O ya, pernah ada saran dari temannya untuk minum sari tumbukan laos dicampur enjet. Menurut temannya, ramuan dengan komposisi seperti itu diyakini bisa menyembuhkan Jayus dari gonorrheanya. Jayus muntah-muntah sampai tercekik ketika minum ramuan itu, tentu saja, kapur kok di buat jamu.

Setelah sehari berlalu, sakitnya malah menjadi-jadi, "Berikan kalungmu." ancam Jayus dengan sangar. Gila. Kali ini bukan pinjam malah memaksa, dengan mata yang melotot segala. "Cepat, lepas kalungmu" disusul dengan bentakan. Salatun malas melayani kakaknya yang kumat itu. Salatun bermaksud ngeloyor menyelamatkan diri dari perampokan itu. Tetapi dengan kasar Jayus menangkap tangannya dan membetot kalungnya. Kalung itupun putus. Salatun tidak bisa menguasai diri. Gadis bernasib malang itu menangis. Salatun menangis bukan menangisi kalungnya tetapi oleh perbuatan kakaknya yang tega terhadap dirinya. Kalau kalung itu sih sebenarnya, imitasi. Jayus tak peduli Salatun, Jayus ngeloyor masuk rumah. Siangnya Jayus merah padam manakala sudah capek-capek bersepeda sampai di Purwoharjo, nafasnya krenggosan karena mengayuh menempuh jarak dua-puluhan kilometer yang adakalanya harus dengan pringisan karena sakitnya, sesampai di tempat tujuan harus merasakan malu luar biasa, wajahnya menebal melebihi tebal dinding, di saat pemilik toko menolak kalung itu karena imitasi. Jayus marah sekali, tetapi mau marah kepada siapa? Marah kepada Salatun yang tidak mau jujur soal kalung yang ternyata hanya rongsokan itu? "Bangsat" umpat Jayus kasar. Setiap kali kayuhan pedalnya sakitnya luar biasa. Untuk setiap jarak seratus meter, Jayus pasti menyempatkan mengumpat sekali. Dancuk. serapahnya kasar. Dengan demikian bisalah dihitung entah berapa kali Jayus mengumpat di sepanjang perjalanan pulang ke Tegaldlimo dengan kondisi jalan yang gronjalan. "Kalungmu mana?" tanya Jasmi yang melihat adiknya tidak memakai kalung lagi. "Dibetot Jayus." jawab Salatun.

Jasmi kaget. "Kapan?" tanya Jasmi. "Tadi " jawab adiknya. Jasmi hanya bisa menelan getir. Sudah seperti itukah keadaan rumah di mana saudara telah menjadi perampok atas sedulur sendiri. "Berapa gram kalungmu?" tanya Jasmi selanjutnya. "Imitasi" jawab Salatun. "Ha? Imitasi?" Jasmi kaget. Jasmi tertegun sejenak dan kemudian tidak kuasa menahan geli. Seketika tawanya berderai. Salatun yang semula mbesengut ikut tersenyum, bahkan ikut larut dengan tawanya yang berderai. Jasmi sibuk membayangkan betapa akan merah padam wajah kakaknya itu di saat menjual kalung yang ternyata imitasi itu. "Tadi aku lihat kang Jayus nggenjot sepeda." kata Jasmi. "Ke Purwoharjo." jawab adiknya. "Untuk menjual kalung itu?" Jasmi geli. "Ada urusan apa lagi kalau bukan itu. Makin hari kang Jayus makin ketagihan saja. Dulu gelangku diminta. Bahkan aku curiga penjambretan yang menimpa yu Siti Sumilah di bendungan Dam Limo pelakunya kang Jayus juga." Tentu Jasmi amat kaget. Peristiwa penjambretan yang terjadi malam itu memang menggegerkan. Jasmi juga ikut nanggap yu Sumilah yang menjadi korban penjambretan itu. Siapa mengira pelakunya adalah kakaknya sendiri. "Apa benar kang Jayus Tun?" desaknya. "Malam itu aku lihat kang Jayus berlepotan lumpur. Coba Kamu pikir, habis melakukan apa dia. Menurut yu Sumilah saat itu penjambretnya lari ke utara dan lenyap di sawah. Kemudian aku melihat kang Jayus pulang lewat sawah di belakang itu dengan berlepotan

lumpur. Apa hubungannya? "Astaghfirullah Aladzim." Jasmi mendesis. Kalau dipikir, kepulangan Jasmi menuruti kehendak Tanjir dan Jayus ternyata merupakan langkah keliru. Suasana di rumahnya, rumah yang semula ditempatinya di Tegaldlimo kidul jauh lebih sejuk dari suasana sekarang yang penuh dengan berbagai masalah. Semua penghuni rumah tidak punya tatanan lagi, semuanya berbuat semaunya sendiri. Akan halnya pak Kampun yang makin jengkel, tidak peduli lagi dengan apapun yang terjadi, tidak peduli bagaimana dengan anak-anaknya. Jasmi yang kemudian merasa seperti sapi perah karena harus ngladeni kedua kakaknya yang keblinger itu. Pernah pada suatu hari Jasmi memasak seadanya, maksudnya hanya untuk dirinya dan suaminya. Namun nasi belum matang sudah dibuat jungkir balik oleh Tanjir dan Jayus yang dokoh lekoh sekali dalam mengisi perut. Sayur bening yang tak seberapa ludes tanpa sisa. Situasi tambah menyebalkan karena Tanjir dan Jayus dan bahkan juga suaminya menganggap siang hari adalah waktu untuk tidur. Bangun hanyalah untuk mengisi perut. Begitu seterusnya. Seperti pada siang itu, Jayus yang marah-marah karena tertipu oleh kalung imitasi mbarang-amuk dengan mengobrak-abrik dapur. Mana Jasmi tahan menghadapi keadaan yang seperti itu. Bagaimana dengan pak Kampun? Pak Kampun yang sebal di rumah adakalanya memilih mengajak isterinya untuk menginap di losmen yang ada di kota Jajag. Di sana pak Kampun merasa tenang dan tidak terganggu. Aneh juga dengan pak Kampun, seumur-umur orang yang lugu seperti pak Kampun itu belum pernah berurusan dengan hotel, sekarang sebentarsebentar check in ke Jajag atau malah pantai Grajagan. Malam berikutnya adalah malam ketika pak Kampun dan Salehak tidak ada. Sejak siang

pak Kampun serimbit telah pergi ke Grajagan, di sana ada hotel kelas dua puluh lima ribuan yang bisa dipergunakan berasyik-masuk sambil menikmati debur gemuruh ombak laut selatan. Sejak sore pula Gimpul pamit pergi. Jasmi mengijinkan karena Gimpul pamit menemui pak Ngadimin untuk meminta pekerjaan di perusahaan tegel miliknya. Kalau Gimpul mau bekerja di perusahaan tegel itu meski hanya sebagai tenaga kasar, itu sudah perkembangan bagus, dari pada nganggur. Namun sebenarnya, ke mana Gimpul? Salatun telah berketetapan hati tidak akan membuka jendela kalau Gimpul mengetuknya. Salatun berketetapan tak akan mengulangi kesalahan yang telah diperbuatnya. Peristiwa di malam sebelumnya tak boleh terulang lagi. Itulah sebabnya jendela dikuncinya dengan rapat, bahkan diikat dengan kawat. Pintu dikunci dan masih ditambah dengan palang kayu yang kuat. Pendek kata Gimpul tidak akan bisa masuk ke kamar itu. Akan tetapi betapa terperanjatnya Salatun melihat Gimpul nongol dari kolong tempat tidurnya. "Sssssst Gimpul menempelkan telunjuk ke bibir, isyarat agar Salatun tidak bersuara. Rupanya Gimpul yang berpamitan ke rumah pak Ngadimin itu sekedar alasan belaka. Gimpul menyelinap melalui pintu samping dan beberapa saat lamanya bertahan bersembunyi di kolong tempat tidur iparnya. Baru nongol saat merasa semua aman. Di luar langit digerayangi mendung tebal. Seperti kemarin, petir mulai berlaga. Kilat muncrat memuntahkan cahaya gemerlap, menjadi saksi atas semua peristiwa yang bakal terjadi. "Kau, bersembunyi di bawah tempat tidurku?" Salatun benar-benar tercekat. Salatun panik. Namun dengan segera Gimpul meraih dan memeluknya agar Salatun tenang dan tidak panik. Malam itu barangkali akan menjadi malam yang tidak bisa dilupakan Salatun. Seperti

malam sebelumnya, hujan deras turun lagi. Gimpul sungguh merasa terbantu oleh keadaan itu. "Kau mau apa?" Salatun gugup. "Jasmi lelap. Aku gunakan kesempatan ini untuk menemanimu lagi. Kemarin hujan deras, sekarang hujan deras. Keadaan benar-benar bersahabat dengan kita. Aku temani kau untuk menagih janjimu." Ha? Menagih janji? Salatun gemetar. Salatun pucat. Harusnya Salatun berteriak, tetapi Salatun bodoh sekali. Ia tak melakukan itu. Keadaan serba salah yang dihadapinya menuntunnya mengambil pilihan yang salah pula. "Jangan kang. Aku takut." Salatun amat cemas. "Kalau yu Jasmi sampai tahu, bisa geger. Gimpul hanya tertawa. Gimpul mana peduli. Bapak dan Ibu tirimu tidak ada. Tanjir dan Jayus sudah minggat entah ke mana, dan mbakyumu pulas karena pengaruh obat." "Obat?" Salatun kaget. Gimpul tak perlu bercerita tentang obat apa yang diminum oleh Jasmi. Kebetulan tadi Jasmi mengeluh sakit kepala, Gimpul memberinya pil koplo seperempat tablet. Tentu saja Jasmi jadi koplo. Dari mana Gimpul dapat pil koplo? Ahhh gampang, Pil Koplo kan sudah tersebar di mana-mana. Terus, kau mau apa?" Salatun masih dengan kecemasannya. Melanjutkan yang kita lakukan semalam." pendek saja kata Gimpul. Salatun tambah panik menjadi-jadi. "Aku mencintaimu Tun." Gimpul mulai menyerang dengan jurus rayuan maut. Untuk hal yang demikian itu, Gimpul telah mengoleksi berbagai jurus maut. Tinggal comot sesuai kebutuhan. "Sekarang tahulah aku, bahwa sebenarnya kaulah yang aku cintai Tun, bukan kakakmu."

yang ini jurus gombal. "Jangan kang." Salatun mencoba mencegah. "Aku menginginkan kamu Tun, Ayolah. Aku akan mengajarimu." Walah-walaah, Gimpul menganggap hal itu sebagai sebuah pelajaran? Pelajaran apa? Di sekolah manapun ilmu macam itu rasanya tidak pernah diajarkan. Suasana tambah gawat. Salatun bingung. "Jangan kang Gimpul. Kalau aku sampai hamil bagaimana.?" Hamil di luar pernikahan memang layak dicemaskan. Namun Gimpul menganggap enteng hal itu. "Aku bertanggung jawab." Enak saja Gimpul dengan jawaban itu. Bertanggung-jawab maksudnya kalau ada apaapanya bertanggung-menjawab. Bertanggung-menjawab dan tanggung jawab jelas berbeda arti. "Bertanggung-jawab bagaimana? kau kan suami yu Jasmi." Salatun mendesak. "Kalau sampai kau hamil, maka aku akan ceraikan kakakmu dan aku mengawinimu. Aku akan mengentaskanmu dari lubang penderitaan ini Tun, atau kita bisa minggat sejauhjauhnya, minggat ke tempat yang tidak akan bisa dijangkau orang lain, di mana di tempat itu kita bisa hidup amat bahagia. Mau kan?" Sayang, Salatun seperti orang yang kekurangan waktu untuk mencerna kalimat itu. Kalau saja Salatun mau merenung sejenak saja, betapa akan kelihatan jelas gombalnya. "Aku tidak mau merusak kebahagiaan rumah tangga kakakku." Salatun kemudian duduk di pembaringan. Gimpul memeluknya, sama sekali tidak terlintas bayangan Jasmi di benaknya. "Aku hanya menagih janjimu Tun. Aku tidak akan menagih kalau kau tidak berjanji." desak Gimpul.

"Hanya berciuman. Jangan lebih ya kang," Namun ciuman adalah awal dari segalanya. Ciuman menggiring nafsu untuk menjamah tahapan berikutnya. Sehingga Salatun sendiri yang kemudian menghendaki. Apalah artinya Salatun, seorang gadis ingusan yang tidak tahu apa-apa di hadapan Gimpul, laki-laki yang telah banyak mengenyam asam garam. Semuanya kemudian berakhir dengan senyum puas di sudut bibirnya, senyum yang agak ditelan. Salatun yang kemudian digulung sesal. Salatun menangis. Sayang hujan deras menutupi tangis gadis itu.

***

6. BARA TANAH WARISAN

Gimpul amat gugup. Sebisa-bisanya Gimpul berusaha menenangkan Salatun yang sesenggukan. Namun air mata yang mengalir bukan sungai yang bisa dibendung. Salatun menangis sejadi-jadinya. "Sudahlah jangan menangis. Tidak ada yang perlu ditangisi. Semuanya sudah terjadi." saat apa yang diinginkan telah diperoleh, begitu gampangnya Gimpul berkata seperti itu. "Mengapa kau lakukan itu padaku kang Gimpul? Mengapa?" Nasi telah menjadi bubur. Salatun mengutuk dirinya, namun segalanya telah terlanjur. "Kau tega kang Gimpul." Salatun terguguk. Gimpul membelai rambutnya. "Karena kita saling menghendaki Tun dan karena kita saling mencintai, juga karena memang sudah menjadi takdir kita." Alasan apa pula itu, Gimpul beranggapan apa yang terjadi itu karena takdir? Karena sudah dikehendaki oleh garis hidup? "Kau harus mengawiniku kang Gimpul. Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu." Gimpul bingung, namun segera disediakannya sebuah jawaban. "Oo, tentu Tun, aku tentu akan mengawinimu. Aku pasti bertanggung-jawab." Gimpul akan bertanggung jawab padahal ia telah punya isteri, dan isteri Gimpul itu adalah kakak Salatun. Bagaimana model dari tanggung jawab itu? Menceraikan Jasmi agar bisa mengawini Salatun? Apakah hal itu mungkin? Atau tanggung jawab dalam bentuk lain, yaitu kalau sampai Salatun hamil Gimpul bertanggung-jawab untuk menggugurkan bayinya. Begitu?

"Kita harus membicarakan sekarang kang. Kau harus menyampaikan kepada yu Jasmi sekarang juga. Bapak juga harus diberitahu." Gimpul benar-benar membaca situasi gawat, situasi yang berbahaya. Kalau sampai Salatun melapor pada Mbakyunya, waaaah, benar-benar akan terjadi perang. Hal itu harus dicegah. Tidak boleh terjadi. Enak yang dirasa hanya beberapa menit, apakah Gimpul harus menanggung beban yang seberat Gunung Raung? Jangan ngangsi. "Jangan sekarang," Gimpul berbisik. "Ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan itu. Kita tunggu saja, apakah kau hamil atau tidak, kalau tidak hamil, tak perlu harus ada tanggung-jawab to? Kalau kau hamil, barulah kita bicarakan." Nah kan? Itulah Gimpul, sejenis lelaki berkarakter bajing loncat, yang dengan seenak sendiri dan tanpa pertimbangan, serta tidak menggunakan moral jenis apapun, dengan sangat tega menodai adik ipar yang mestinya harus dianggap adik sendiri. Ketika Salatun menuntutnya untuk bertanggung jawab, Gimpul berusaha mengelak menghindarinya. Yang enak-enak Gimpul mau, yang tidak enak tunggu dulu. Sayangnya Gimpul terlahir dengan membawa jenis kelamin lelaki, coba kalau perempuan, Gimpul tentu hamil kleleran. "Sudah, jangan menangis. Aku akan kembali ke kamarku." Sesudah kebutuhannya terpenuhi, enteng Gimpul berpamitan. "Jangan menangis. Nanti kedengaran Mbakyumu." Apa yang terjadi itu memang harus menyebabkan Salatun membulatkan tekadnya minta tanggung-jawab. Enak saja Gimpul menyengat seperti tawon, setelah ngentup terbang begitu saja. Lha kalau yang disengat lalu bengkak bagaimana? Apalagi ini bukan tawon, ini soal Gimpul yang sudah ngentup dirinya. "Pokoknya kau harus bertanggung jawab kang Gimpul Salatun terus mendesak. Gimpul

yang akan pergi itu digondelinya. "Aku tentu akan mengawinimu Tun. Seperti yang kujanjikan, kita akan menjadi suami isteri. Tetapi kita tidak boleh bodoh. Jika mempersoalkan hal ini sekarang, jelas sangat bodoh. Bisa geger nantinya. Kita harus menunggu saat yang tepat Tun." Gimpul tidak sabar lagi, rasanya ingin segera meninggalkan tempat itu, semakin cepat makin baik. Akan tetapi Salatun tetap memegangi tangannya. Salatun tidak membiarkan Gimpul pergi. Kok enak. Salatun yang menangis itu menyebabkan Gimpul cemas. Kalau sampai suara tangis itu kedengaran Jasmi, kan gawat. Malang tidak bisa ditolak, untung tidak bisa diraih. Rupanya pil koplo yang diminumkan kepada Jasmi tidak berpengaruh sama sekali. Jasmi entah mengapa merasa perutnya mendadak amat mual dan muntah-muntah. Dengan sendirinya pil koplo yang baru saja hancur di lambung ikut terbuang keluar. Hanya sebagian kecil yang sempat masuk ke usus dan membuat kepalanya pusing. Jasmi yang kebelet pipis merangkak keluar, bermaksud ke jeding di belakang. Biasanya Jasmi berani pergi ke jeding sendiri. Namun karena hujan dan suasana gelap, Jasmi bermaksud minta kepada Salatun mengantarnya. Pada saat itulah Jasmi mendengar lamatlamat suara Salatun menangis, di sela suara gemuruh hujan yang terus diguyurkan dari langit yang robek. "Salatun, buka pintunya. Kau menangis ada apa?" bertanya Jasmi. Salatun kaget dan seketika pucat. Demikian juga dengan Gimpul bagaikan disengat kalajengking, menjadi bingung. Gimpul bergegas berusaha membuka jendela, tetapi malang, karena gugupnya, Gimpul yang bermaksud meloloskan diri itu malah terjerembab. Suara itu terdengar oleh Jasmi di luar. "Tun, ada apa kamu menangis? Suara apa itu?"

Salatun gugup, Gimpul tambah gugup. "Mati aku, bagaimana ini?" Gimpul berpanik-panik. Namun bukan Gimpul namanya kalau tak melihat peluang. Gimpul segera merangkak dan melenyapkan diri di kolong tempat tidur. Salatun kebingungan, bahkan untuk menata degup jantungnya sendiri Salatun seperti tidak tahu bagaimana caranya. "Tun, buka pintunya." suara Jasmi kembali terdengar. Salatun membuka pintu. Tangisnya dihapus dengan lengannya. Jasmi yang memegang lampu teplok memandangi wajah adik dan kemudian melongok ke dalam kamar. Dengan cahaya lampu teplok itu Jasmi melakukan pemeriksaan. Sayang sekali Jasmi agak pusing, sayang sekali Jasmi tidak melongok ke kolong. "Kau ingat simbok lagi?" Jasmi bertanya. Salatun menunduk tidak menjawab. Jasmi menepuk-nepuk pundak adiknya. "Sudahlah, jangan terlalu diingat, kasihan simbok yang perjalanannya ke alam baqa malah tersendat." hiburnya. "Aku,...." suara Salatun terdengar serak. Salatun sudah berketetapan untuk menceritakan apa yang terjadi pada kakaknya itu. "Sudah, jangan bersedih. Kepergian simbok sudah menjadi kehendak dari Tuhan Yang Mahaesa. Kita harus ikhlas menerima kenyataan itu." Salatun mendongak, memandang kakaknya dengan tatapan mata yang berkaca-kaca. Salatun ingin sekali berteriak keras, meneriakkan perbuatan Gimpul yang telah mengurangajari dirinya. Namun suara yang mestinya akan terlontar lantang itu tertelan, terasa kaku di tenggorokan. Seperti gumpalan bakso yang terjebak di lorong itu, membuat leher seperti tercekik.

"Aku mau ke jeding Tun, temani aku." pinta Jasmi pada adiknya. Jasmi lupa. Mestinya Jasmi menanyakan suara apa yang kedengaran gaduh tadi. Kalau saja Jasmi menanyakan itu, mungkin akan menjadi kunci yang membuka katub-katub emosi adiknya yang macet. Dengan masih bingung, Salatun mengantar kakaknya ke jeding yang letaknya terpisah di belakang. Harus menggunakan payung untuk sampai ke jeding itu. Namun karena tidak ada payung, Jasmi yang sudah tidak betah langsung jongkok di depan pintu. Kesempatan yang ada itu dimanfaatkan oleh Gimpul untuk menyelinap keluar dari kamar yang tiba-tiba penuh dengan aroma ketegangan itu. Merasa berhasil meloloskan diri Gimpulpun lega. Tetapi belumlah lega sepenuhnya karena Gimpul cemas seandainya Salatun menceritakan apa yang terjadi. Jasmi kembali ke kamarnya membaringkan diri. Sejenak kemudian terdengar pintu yang diketuk dan panggilan suaminya. Jasmi segera membuka pintu dan menyambut kepulangan suaminya dengan sebuah pelukan. Akan halnya Salatun, malangnya gadis itu. Dengan mata berkaca-kaca, Salatun sibuk memperhatikan bercak-bercak yang ada di sepreinya. Salatun tidak kuat menahan diri. Gadis itu meringkuk di sudut pembaringan sambil mendekap wajah. Dari sela-sela jemarinya tetestetes air matanya runtuh ikut menodai seprei. Namun naifnya Salatun, manakala apa yang terjadi itu terulang kembali keesokan harinya. Jika malam pertama diwarnai dengan tangis, maka tak ada tangis lagi untuk malam kedua, ke tiga dan seterusnya. Hari itu setangkai kembang melati telah layu. Kumbang kurang ajar telah menyengat dan meninggalkan entupnya. Di setiap kesempatan dalam kesempitan Gimpul selalu menyelinap serta membagikan tumpahan nafsunya pada Salatun. Sungguh perbuatan yang ceroboh, karena apa yang mereka lakukan tanpa perlindungan, hal yang mungkin saja menyebabkan seseorang menjadi hamil.

Pada sebuah malam yang lain, Gimpul kembali menyelinap ke kamar adik iparnya. "Kupikir kau tak menemuiku kang." Nah lihatlah, telah ada perubahan bukan? Salatun malam ini berbeda sekali dengan Salatun beberapa malam yang lalu. Salatun bukan lagi Salatun yang lugu. Salatun yang sekarang sudah bisa berfikir bengkok. Betapa besar andil yang diberikan Gimpul untuk membentuk Salatun yang baru. "Kalau aku sudah berjanji aku akan menyelinap, aku pasti menyelinap. Masalahnya, aku harus menunggu mbakyumu pulas dulu." Gimpul berusaha memberikan alasan. Salatun merajuk. "Rasanya hati ini sakit." Sakit? Kenapa? Soal apa lagi yang tumbuh dan berkembang di dada Salatun itu? Biasanya, sebuah situasi selalu membutuhkan solusi. Salatun punya masalah, menuntut Gimpul untuk memberikan jalan keluarnya. Kalau solusi belum didapat atau karena satu dan lain hal tak mungkin didapat, akan menyebabkan isi dada terasa nyeri seperti yang dialami Salatun saat itu. "Sakit kenapa?" bisik Gimpul. "Telah kuserahkan segala yang kumiliki kepada kang Gimpul. Tetapi kau suami kakakku. Ini menyakitkan sekali." Rupanya dengan kondisinya yang sekarang, Salatun tak ingin mendapat jatah hanya di saat Gimpul punya waktu. Salatun menginginkan semuanya. Ingin menjadi isteri sepenuhnya, dengan demikian tak perlu kucing-kucingan lagi, tidak perlu sembunyi-sembunyi. Gimpul terpaksa harus meredam. "Percayalah Tun, kelak akan tiba saatnya, kita akan hidup bersama. Kelak aku pasti akan menyingkirkan kakakmu, dan menggantikannya dengan menempatkan kau di sebelahku. Sebuah tempat yang amat terhormat." Semakin tidak keruan saja pikiran Gimpul itu. Kecemasan yang pernah disampaikan mbok

Kampun dulu ternyata benar adanya. Kehadiran Gimpul ke dalam rumah itu akan menjadi sumber kekacauan. Akan rusak semua. Pikiran Salatun semakin bengkok pula. "Kapan itu kang?" Salatun benar-benar telah teracuni. Gagasan Gimpul yang bermaksud menggusur Jasmi dan menempatkan dirinya menduduki jabatan isteri, benar-benar berubah menjadi obsesi. Apa salahnya kalau impian diubah menjadi kenyataan? Namun di samping mengobral janji Gimpul juga pintar mengulurnya. Dijereng-jereng seperti permen karet yang bisa molor ke sana molor ke sini, sesuai kebutuhan. "Tak mungkin sekarang Tun. Kita harus mencari waktu yang tepat dan sebaik-baiknya. Kita tidak boleh sembarangan. Kita harus menunggu saat yang pas, dengan perhitungan yang cermat." "Lantas rencana kang Gimpul?" "Rencana kita nanti adalah kita minggat. Minggat sejauh-jauhnya, ke tempat yang tidak mungkin didatangi keluargamu. Di sana kita akan bahagia untuk selamanya. Tanpa ada yang mengusik dan mengganggu kita." Itulah angan-angan yang ditaburkan dengan begitu indah. Seolah angan-angan itu bila bisa diujutkan, maka selesai segalanya. Padahal, untuk semua itu butuh biaya bukan? "Tidak adakah cara lain yang lebih baik dari cara itu kang Gimpul?" Salatun rupanya cemas membayangkan minggat, yang artinya harus berpisah dari orang tua dan saudarasaudaranya. "Cara apa?" tanya Gimpul. Memang tidak ada cara lain selain minggat. Meminta pada Jasmi agar mengikhlaskan suaminya mengawini adiknya merupakan hal yang mustahil. Bagi Gimpul sih, andaikata kakak beradik itu bersedia dimadu, sungguh amat indah dan bagus. Tinggal menggilir dan

membuat jadwal. "Kalau saja aku tidak perlu minggat meninggalkan keluargaku, dan aku tidak perlu bermusuhan dengan yu Jasmi." Salatun berandai-andai. Tidak mungkin Tun. Kita tidak mungkin bisa bersatu dengan cara itu. Satu-satunya cara hanyalah Kita pergi sejauh-jauhnya. Mungkin ke Sabang atau Merauke. Di sana kita bisa berkata lantang peduli setan dengan kakak-kakakmu, bahkan peduli setan dengan Jasmi dan bahkan ayahmu. Di tempat yang baru nanti, kita hidup kecukupan dan kaya-raya, apa tidak enak?" Gimpul menerawang mengikuti angan-angannya, Salatun mengekor di belakangnya. "Mengenai kakakmu? Perempuan mana yang ikhlas suaminya direbut perempuan lain meski perempuan itu adalah adiknya." lanjut Gimpul. "Untuk bisa kaya butuh kerja keras kang." kata Salatun. Ini dia. Memang ke sana sebenarnya Gimpul bermaksud menggiring persoalan. Jika Salatun berada dalam pengaruh dan genggamannya, mengapa tidak dimanfaatkan. Gimpul berbisik, "Bukankah bapakmu akan menjual sawah? Bukankah kau nanti akan mendapatkan hakmu? Semuanya itu, bisa kita gunakan sebagai modal Tun." Salatun yang lugu, benar benar telah jatuh ke dalam pengaruh Gimpul. Salatun benarbenar tidak mampu menangkap bau busuk di balik kalimat yang dirangkai begitu indah itu. "Segala sesuatu memang butuh pengorbanan. Kau percaya kan?" Gimpul semakin mempertajam, menanam pengaruh. "Ya." jawab Salatun. "Seperti kalau kita ingin hidup bersama, kita ingin kaya, juga butuh pengorbanan. Kau sependapat?" Gimpul terus menggiring, seperti layaknya pemain bola yang berusaha membobol gawang

lawan. Soal gawang, Salatun beberapa kali kebobolan. Terlalu gampang menggiring bola itu bagi Gimpul. "Kau sependapat dengan yang kukatakan?" "Ya." jawab Salatun. "Pada saat yang tepat nanti, kita minggat." berkata Gimpul. "Kapan itu kang?" tanya Salatun. "Pada saat tanah sawah yang dijual itu laku dan telah menjadi duit. Saat itu kita minggat." Ada desir serasa merambati permukaan hati anak bungsu pak Kampun itu. Butuh sejenak waktu untuk menghapusnya. "Dengan membawa lari uang itu?" "Bagaimana kalau ya?" Sebuah pemecahan yang menarik. Soal bagaimana dengan Tanjir dan Jayus, Salatun selama ini sudah amat sebel dengan kedua kakak lelakinya itu. Jadi apa salahnya kalau dibalas. Peduli setan dengan kang Tanjir dan kang Jayus, ora dulur-duluran. Kalau sawah nanti sudah laku, uang hasil penjualan itu dicuri, kemudian minggat sejauh-jauhnya. Bisa apa Tanjir dan Jayus. Lantas bagaimana dengan pak Kampun? Ahhh, persetan pula dengan pak Kampun yang egois dan tidak tahu diri itu. Bukankah pak Kampun terlampau larut dengan mainan barunya yang cantik jelita itu. Pada kenyataannya pak Kampun tidak memikirkan anak bungsunya, jadi untuk apa Salatun peduli? Dengan amat sukses Gimpul membentuk pola pikir yang demikian itu. "Aku sedang memikirkannya. Tetapi berjanjilah kepadaku kang dengan disaksikan yang berada di atas." Nampaknya Salatun masih menyimpan secuil keraguan. "Aku harus berjanji apa Tun?" "Kau tak akan meninggalkan aku. Kau akan mengawiniku, mengajakku kemana-pun kau nantinya pergi."

"Tentu Tun. Tentu. Sumpah demi Allah" Gimpul tidak perlu berfikir terlampau lama untuk bersumpah atau berjanji. Sumpah atau berjanji itu mudah, soal menepati adalah soal lain. Ada banyak orang yang sebenarnya konyol karena berfikir janji harus ditepati. Janji boleh-boleh saja ditepati, tetapi pada suatu kondisi nanti, janji itu untuk diingkari. Percayalah. Gimpul dan Salatun yang kelonan itu tiba-tiba diam karena lamat-lamat terdengar suara pintu yang dibuka di kejauhan. "Ada yang membuka pintu. Nampaknya dari kamarmu. Jangan jangan yu Jasmi tahu kalau kau berada di sini?" Salatun cemas. "Tidak, ia tidak tahu kalau aku menyelinap ke sini." jawab Gimpul. "Cepat keluar kang." Salatun gelisah. "Aku akan bersembunyi di bawah amben." "Jangan, nanti kalau yu Jasmi melongok bagaimana?" Kemudian terdengar suara langkah yang diseret. "Tun... Salatun." Salatun gugup. Apa yang terjadi itu seperti pengulangan apa yang dulu pernah terjadi. "Kang, keluarlah. Berbahaya kalau sampai yu Jasmi tahu kau berada di sini." "Tun, buka pintunya Tun." Salatun tak segera membuka pintu untuk memberi kesempatan kepada Gimpul keluar dari jendela. Salatun membuka pintu dengan perasaan tegang. Jasmi langsung nyelonong masuk. "Ada apa yu?" Salatun gugup. "Aku mau tidur denganmu saja." "Lho, kenapa?" "Suamiku belum kembali entah ke mana. Tadi aku mimpi buruk dan rasanya ngeri sekali. Temani aku ya Tun."

"Baik." jawab Salatun agak gugup. "Tempat tidurmu kok acak-acakan sekali?" "Iya." jawab Salatun pendek. Jasmi tertawa. "Mengapa saja kamu?" "Aku tidak melakukan apa-apa kok yu. Sungguh, sumpah." Salatun menjadi gugup dan merasa harus mengeluarkan sumpah untuk meyakinkan kakaknya. Justru pakai sumpah-sumpah segala itu seharusnya Jasmi merasa curiga. "Aku ingat simbok. Hanya itu." kata Salatun selanjutnya. "Baunya agak aneh." Gawat. Jasmi ternyata punya hidung yang peka. Sebuah bau yang amat khas, bau yang amat dikenalinya. Tetapi bau apa ya? "Sudah beberapa hari ini aku tidak menjemur kasur, baunya ya seperti itu. Wangi ya?" bisa juga Salatun bercanda. "Agak pesing," Jasmi menimpali sambil tertawa. "Kemarin aku ngompol yu, tadi siang mau menjemur kasur mendung terus. Aku matikan lampu ya yu." Salatun yang cemas Jasmi banyak melihat kejanggalan di kamar itu segera meniup lampu ublik yang melekat di dinding. Jasmi yang tidak terbiasa tidur di kegelapan seketika kebingungan. "Lho Tun, jangan dimatikan." cegah Jasmi tetapi terlambat. "Supaya bisa tidur. Jika ada nyala lampu, mataku ikut ikutan menyala. Kalau gelap baru bisa tidur." "Aku malah tak bisa tidur. Rasanya tidak bisa bernafas. Nyalakan lagi Tun." "Ahhhh, kau ini ngrusuhi saja. Kalau mau terang ya tidur di kamarmu sana saja." Salatun ngotot tidak mau menyalakan lagi lampu ubliknya. Terpaksa Jasmi yang

mengalah. Jasmi terpaksa harus keluar dari kamar adiknya itu. Baru di tengah pintu tiba-tiba Jasmi merasakan mual yang akhir-akhir ini dialaminya mengganggu lagi. "Huuukkkk." Jasmi mau muntah. Salatun kaget. "Yu, kau kenapa?" Salatun bertanya. "Masuk angin yu?" Jasmi berpegangan daun pintu. Salatun segera membantunya memapah ke kamarnya. "Kau kenapa yu, sakit?" tanya Salatun. "Aku hamil." bisik Jasmi. Salatun terlonjak. Jawaban itu membuat Salatun menggigil. Jasmi hamil? Seketika keringat dingin membasahi punggung dan telapak tangannya. Salatun tegang dengan perasaan campur aduk. Ada rasa bersalah dan gelisah di hatinya karena telah tega berkhianat terhadap kakaknya sendiri. Jasmi hamil, di belakang Jasmi Salatun sibuk berbagi birahi dengan kakak iparnya. Apakah tidak keterlaluan namanya, jika Salatun dan Gimpul meneruskan rencana minggat meninggalkan Jasmi yang sedang hamil? Salatun duduk di bibir pembaringan. Dengan lembut Salatun memijiti lengan kakaknya. Untunglah lampu ublik di kamar itu menyala redup saja. Kalau lampu itu menyala terang, akan terlihat betapa aneh ekspresi wajah Salatun itu. "Sudah berapa bulan yu?" tanya Salatun. "Dua bulan." jawab Salatun pendek. "Kang Gimpul sudah kau beritahu?" "Belum." jawab Jasmi. "Kenapa yu?" desak Salatun. "Entahlah bagaimana sebenarnya perasaanku ini Tun. Aku tidak tahu apakah aku sedang merasa bahagia atau cemas." berkata Jasmi, nadanya datar.

Salatun heran. Jasmi melanjutkan, "Kalau aku punya anak, pada kenyataannya kang Gimpul seperti itu. Kang Gimpul belum punya pekerjaan." Jasmi menatap langit-langit ruang dengan tatapan kosong, seperti tidak bergairah. Salatun termangu. Salatun kemudian menunduk. Rasa bersalahnya kian membuncah. Jika Salatun tetap melanjutkan rencananya dengan Gimpul, dosa macam apa yang bakal dipikulnya. Jasmi terangsang untuk muntah lagi. Salatun memijiti lehernya lengkap dengan segala kepanikan. Rasanya Salatun tidak tahan dan ingin berteriak sekeras-kerasnya untuk membongkar segala beban yang ada, namun mulutnya terkunci. Lehernya serasa kelu. Setelah Jasmi tertidur Salatun kembali ke kamarnya. Gimpul kembali menyelinap ke sana. Dengan segera Gimpul melihat perubahan sikap yang terjadi pada Salatun. "Ada apa?" tanya Gimpul. "Yu Jasmi hamil." jawab Salatun pendek. Gimpul kaget. "Apa kau bilang?" bisiknya. "Yu Jasmi hamil." Gimpul menggigil. Jasmi hamil, ternyata itu bukan berita yang membuatnya senang tetapi malah ketakutan. Hamil itu apa artinya? Hamil itu persiapan seorang wanita untuk menjadi Ibu, Hamil itu persiapan seorang lelaki untuk menjadi ayah. Harus siap menyongsong kehadiran makhluk baru bernama bayi. Padahal pada makhluk bernama bayi, Gimpul ngeri sekali. Takut pada tanggung jawab untuk membesarkannya, takut disebut bapak dan sebagainya. Gimpul tidak habis mengerti, mengapa banyak sekali suami yang mengaku bahagia saat mendengar isteri membisikkan untuk pertama kali warta kehamilannya. Agak lama Gimpul memandangi Salatun. "Yu Jasmi tadi mual-mual. Yu Jasmi mengatakan kalau itu pertanda kehamilannya yang sudah dua bulan." berkata Salatun.

"Jasmi tidak pernah bilang kalau hamil." lirih sekali suara Gimpul. "Semua angan-angan gombal itu dibubarkan saja kang." tiba-tiba saja Salatun melontarkan isi hatinya yang tidak terduga. Salatun tak bisa menguasai diri. Matanya membasah. Tiba-tiba saja datangnya kesadaran itu. Apa yang dijanjikan Gimpul selama ini, semuanya omong kosong belaka. Tiba-tiba pula datangnya kesadaran, betapa selama ini dirinya telah dikupluki Gimpul. Salatun bahkan harus kehilangan harta yang paling berharga dan dimilikinya, kehormatannya. Kehormatan itu telah direnggut oleh lelaki yang tidak berhak sama sekali. Alasan apakah sebenarnya yang harus dipergunakan Salatun untuk mau meladeni kakak iparnya, atau alasan apa yang dipergunakan Gimpul untuk menjamahnya? Semakin menyadari semua itu, Salatun menggigil. Gimpul merayap mendekat, menyentuh pundaknya. Namun dengan kasar Salatun menepis. "Pergi." Kali ini Salatun membentak, dengan volume suara yang sangat keras membuat Gimpul benar-benar ciut nyali dan dengan terbirit-birit keluar dari ruangan itu. Gimpul tahu, kalau diladeni bisa jadi Salatun akan berteriak-teriak lepas kendali dan membangunkan Jasmi. Hingga kemudian terbongkarlah semuanya. Kalau Tanjir dan Jayus tidak terima dan kemudian membantainya, nyali yang mana yang akan digunakan menghadapi keadaan itu? Gimpul lari terbirit-birit sambil terkencing-kencing dari kamar Salatun, tidak melewati pintu yang telah terbuka, tetapi melewati jendela. Demikian gugupnya Gimpul itu sehingga lagilagi terjerembab di luar jendela. Tubuhnya terguling-guling menerjang pohon salak. Padahal salak ada durinya. Hari-hari berikutnya banyak dihiasi oleh suara muntah muntah. Gimpul berubah pula perangainya. Apabila semula Gimpul banyak omong melayani isterinya, maka kali ini Gimpul lebih banyak diam.

Gimpul sama sekali tidak senang melihat isterinya hamil. Padahal di saat yang demikian Jasmi justru banyak membutuhkan perhatian suaminya. Salatun berubah total. Salatun tidak mau lagi diajak bicara oleh Gimpul. Salatun juga tak mau diajak bicara oleh Tanjir dan Jayus, juga bapaknya didiamkan. Salatun benar-benar berubah menjadi gadis pemurung dan beringas yang tak peduli apapun dan siapapun. Yang paling prihatin terhadap perubahan Salatun adalah Jasmi. Namun Salatun tidak mau membagi beban pikirannya pada Jasmi. Pak Kampun? Pak Kampun akhir-akhir ini banyak pergi. Pak Kampun bahkan menjadi pelanggan tetap sebuah losmen yang terletak di tepi laut di kawasan wisata Grajagan. Kalau sore hari sulit mencari pak Kampun, maka di hotel itu pasti ditemukan. Kalau pak Kampun tetap mengambil jalan seperti itu, setiap hari menginap di hotel, maka kebangkrutan jelas berada di gerbang matanya. Pada sebuah hari setelah lama ditunggu, orang yang tertarik pada sawah yang ditawartawarkan itu datang. Sawah milik pak Kampun yang ada beberapa hektar itu mestinya bisa laku dua ratus juta. Namun pak Mudjikan itu hanya menawar seratus lima puluh juta. Pak Kampun yang tahu sawahnya bisa laku pada harga lebih dari harga tersebut bertahan tak menyetujui tawaran. Namun Tanjir dan Jayus yang misuh-misuh membuang segala macam sumpah serapah, membuat pak Kampun bertambah risih dan kehilangan perhitungan bisnis. Akhirnya diputuskan oleh pak Kampun, seratus lima puluh juta itu disetujui. Namun pak Mudjikan meminta waktu beberapa hari lagi untuk melakukan pembayaran. Hukum alam rupanya masih nimbrung. Salatun mula-mula tidak punya prasangka apa-apa atas dirinya. Namun kemudian, kecemasan yang luar biasa menggelutnya, meringkus tubuhnya dengan lekat. Apa masalahnya? Ternyata akhir-akhir ini juga Salatun mual-mual. Salatun menghitung waktu, ternyata sepekan lamanya tamu bulanan yang mestinya hadir mengunjunginya itu tidak datang, ditunggu-tunggu tidak kunjung datang.

"Kau kenapa, Tun?" desak Jasmi yang tidak menyimpan prasangka. "Masuk angin ya?" Salatun diam, juga ketika Jasmi mengambil uang logam seratus rupiah dan lepek dengan minyak kelapa. Kerokan itu sedikit meredakan keinginan untuk muntah. "Bagaimana sekarang?" tanya Jasmi. "Agak kepenak." jawab Salatun yang gegernya sekarang loreng-loreng seperti kulit macan karena kerokan itu. Salatun yang kalut kembali membaringkan diri serta meminta kakaknya untuk meninggalkan sendiri di kamar itu. Manakala sendiri, Salatun kembali digelut gelisah. Kalau benar dirinya hamil, apalagi dengan tanda-tanda yang begitu jelas lantas bagaimana cara mengatasinya. Perutnya makin lama akan semakin membesar. Dengan cara bagaimana menyembunyikan perut yang abuh akibat dientup Gimpul itu. Gimpul harus bertanggung jawab. Apa boleh buat, Gimpul harus bertanggung jawab. Tidak peduli Gimpul adalah suami dari mbakyunya, tidak peduli mbakyunya tengah hamil. Namun layaknya orang yang berani menghamili maka orang tersebut harus berani pula bertanggung jawab. Pada sebuah kesempatan. "Apa?" Gimpul kaget. "Aku hamil." Salatun mempertegas. Hal itu membuat Gimpul pias. Bibirnya bergetar-getar panik. Bahwa Jasmi hamil telah membuatnya tidak senang. Sekarang Salatun melapor hamil pula. Bagaimana ini? "Aku menuntut tanggung jawab." kata Salatun tanpa nada mesra sama sekali. Semua ucapannya penuh dengan tekanan dan tegas tanpa memberi kesempatan kepada Gimpul untuk mengelak. Gimpul menunduk, Gimpul segera berfikir. Langkah apa lagi yang harus dilakukan untuk menghindari keadaan ini? "Kau harus mengawiniku." Gimpul gugup.

"Waduh Tun, bagaimana mungkin?" Gimpul mencoba mengelak dari tanggung jawab. "Aku tidak peduli entah bagaimana caranya. Pokoknya aku tidak mau hamil seperti ini. Aku harus punya suami." serang iparnya. Gimpul menata diri, degup jantungnya masih berlarian. "Tun," kata Gimpul. "Bukannya aku akan lari dari tanggung jawab, sama sekali tidak. Akan tetapi marilah kita berfikir bagaimana caranya aku mengawinimu? Apakah aku harus melamarmu kepada pak Kampun? Jasmi juga sedang hamil." Salatun benar-benar tidak senang dengan jawaban itu. Tatapan matanya amat sirik tertuju kakak iparnya. Enak saja dulu ia methingkring memanjat tubuhnya seperti memanjat pohon kelapa. Sekarang setelah hamil, Gimpul akan coba-coba mengelak. "Kau mau mengawini aku apa tidak?" tanya Salatun tegas. "Kita harus memecahkan masalah ini Tun. Tenanglah. Mari kita cari jalan pemecahan yang paling enak." "Mengawini aku apa tidak? Kalau kau tidak mau mengawini aku, aku akan berteriak sekarang juga. Aku akan beritahu kang Tanjir kang Jayus dan yu Jasmi." Salatun mengancam. Benar-benar sebuah ancaman yang mengerikan kalau sampai hal itu terjadi. Ada juga penyesalan di dalam hati Gimpul mengapa dulu melakukan semuanya itu. Sekarang Gimpul harus memetik buah dari perbuatannya. Enak hanya sejenak tidak enaknya sundul telak. Andai saja dulu ia tidak tergoda Salatun, tak mungkin akan seperti ini. Gimpul malah menyalahkan Salatun meski dalam hatinya. Harusnya waktu itu ia menolak. Ia mau, sekarang setelah akibatnya seperti ini, menuntut tanggung-jawab. Kok enak? Gimpul amat gugup bergegas meraih Salatun. "Kita bicarakan semua ini dengan tenang Salatun. Berbicaranya juga jangan keras-keras nanti kedengaran mbakyumu."

Salatun agak tenang. "Bagaimana kalau kita lanjutkan rencana kita yang dulu, kita minggat sejauh-jauhnya ke suatu tempat di mana tidak akan ada orang yang mengusik kita. Kita minggat ke Surabaya atau ke Jakarta. Di Surabaya atau di Jakarta kita bisa hidup tenang. Pak Kampun tidak akan mungkin menemukan kita. Bagaimana?" Salatun yang amat pusing memikirkan perutnya yang telah berisi bakal bayi terpaku pada pemecahan yang harus diambil untuk mengatasi keadaan yang sangat darurat itu karena sang waktu terus berjalan. Kalau saja sang waktu bisa diajak kompromi untuk berhenti. Atau apabila seperti komputer bisa di-undo. "Maukah kau melakukan sesuatu sebagi modal cinta kita?" bisik Gimpul. Melihat Salatun hanya diam, Gimpul kembali menanamkan pengaruh. "Apa?" tanya Salatun. Nada suaranya mulai melunak. "Beberapa hari lagi kalau sawah yang dijual itu sudah jadi uang, kau harus bisa mencurinya. Dengan uang itu kita minggat. Kita tak perlu peduli dengan siapapun. Bagaimana?" Benar-benar sebuah gagasan gila. Salatun melihat hanya itu pemecahan yang sebaikbaiknya. Untuk menutup aib itu memang harus berani minggat. Konsekwensi dari minggat adalah harus tega dan persetan dengan orang lain. Persetan dengan Jasmi, persetan dengan Tanjir dan Jayus, persetan dengan pak Kampun yang makin lekat dengan Salehak, di mana ada pak Kampun di sana ada Salehak, keduanya nempel terus, melekat seperti perangko. Persetan semuanya juga berarti harus bisa mencuri semua uang hasil penjualan sawah. Untuk minggat itu butuh modal sebagaimana untuk hidup sehari-hari butuh makan. Lalu apa sebenarnya gagasan yang bersembunyi di dalam lipatan hati Gimpul itu? Jurus apakah yang harus diambil untuk menghadapi Jasmi dan Salatun yang sama-sama hamil? Bagaimana kalau upaya Salatun menguasai uang penjualan sawah itu tidak berhasil? Tidak

ada jurus lain kecuali melarikan diri. Gimpul terlalu takut menghadapi gegeran manakala rahasia kehamilan Salatun terbongkar. Apabila Tanjir dan Jayus menggoroknya, Gimpul ngeri membayangkan itu. Melihat kasar dan beringasnya, tidak mungkin Tanjir dan Jayus tidak menggoroknya. Ndugal macam apapun mereka, bila melihat adiknya dinistakan seperti itu tentu tidak akan terima. Itu artinya, bisa pothol ndhasnya Gimpul. Gimpul membelai rambut Salatun dengan lembut. Salatun yang merasa beban di dadanya amat sesak berjejal-jejal itu tidak bisa menguasai diri dan segera menjatuhkan diri ke dalam pelukan kakak iparnya itu. Tangisnya terurai, akan tetapi Salatun bersedia meredam isak tangis itu atas permintaan Gimpul. "Kau bisa melakukan itu? Hanya uang itu yang bisa menyelamatkan kebersamaan kita. Untuk minggat kita butuh ongkos. Sesampai di tempat tujuan kita butuh uang untuk membangun rumah, beli mobil dan biaya hidup sehari-hari. Bagaimana?" Dalam situasi yang sangat sulit semacam itu masih sempat-sempatnya Gimpul beranganangan soal mobil. Tetapi sebenarnya angan-angan itu logis. Sebab, jika uang penjualan sawah itu bisa dikuasai, jelas bisa menyisihkan sebagian untuk beli mobil yang murahan, yang harganya sekitar sepuluh juta. Mobil apa seharga itu? Yang penting mobil. Kalau perlu nyicil, mula-mula mur dan bautnya, lalu ban, lalu stir, lalu kaca spion. Salatun mencerna alasan itu, mengunyah-kunyah, dirasakan memang benar semua. Alasan yang dikatakan Gimpul itu benar semuanya. Memang tidak ada pilihan lain kecuali harus mencuri uang itu. Rencana itu tidak boleh tertunda, semakin hari perutnya akan semakin membesar. Tentunya hanya soal waktu belaka, pada saatnya nanti rahasia tentang perutnya yang telah berisi jabang bayi itu akan terbongkar, bau busuk itu akan menyebar. Salatun tidak bisa membayangkan bagaimana harus menghadapi mbakyunya. Salatun juga

tidak bisa membayangkan, bagaimana cara menyembunyikan wajahnya. "Aku harus mencuri uang itu?" tanya Salatun lirih. Melihat kegamangan Salatun itu, Gimpul merasa perlu mengobral janji. "Aku akan membawamu ke Surabaya. Atau ke Jakarta. Jakarta kota yang sangat besar. Di tempat macam itu peluang untuk kita akan terbuka amat lebar, asal ada modal. Di samping itu di Jakarta ada tugu Monas, pucuknya terbuat dari emas. Bayangkan Tun, di Jakarta emas hanya dianggap remeh seperti itu. Di sini?" Benar-benar sebuah bujukan yang sangat menggemparkan dan canggih. Salatun kian larut. "Jadi bagaimana? kau sanggup?" "Untukmu, aku akan melakukan apapun kang Gimpul." Nah. Benar kan? Rayuan Gimpul menjerat sasaran. Untuk Gimpul, Salatun sanggup melakukan apapun. Padahal rayuan yang digunakan suami Jasmi itu rayuan yang murahan saja. "Terimakasih Tun, Ai laf yu." Gimpul berbahasa Inggris. "Mi tu." Balas Salatun sambil berbisik. Maksudnya Me too. "Terima ini dan simpan. Kelak pada saatnya kau bisa menggunakan untuk memperlancar operasi." "Apa ini kang?" Salatun penasaran. "Pil koplo." jawab Gimpul. "Jika diminum, akan menyebabkan siapa yang meminumnya akan mengantuk luar biasa, atau istilah tepatnya teler. Jika pak Kampun dan Bu Salehak teler, maka dengan mudah kau bisa mengambil uang itu." "Apa yang harus aku lakukan dengan obat ini?" tanya Salatun yang masih belum paham. "Ingat Tun, kalau sawah itu sudah jadi uang, entah bagaimana caranya, bapak dan Ibu tirimu harus meminumnya. Itu kesempatanmu mengambil uang itu. Perkara Tanjir, Jayus dan Jasmi, mereka menjadi bagianku."

Gimpul beranggapan salah satu masalah telah diatasi untuk sementara waktu. Namun itu belum berarti Gimpul merasa tenang dan menang. Karena lamat-lamat Gimpul membayangkan malapetaka menghadang. Masalahnya bagaimana Gimpul harus bisa menyiasatinya. Jika tidak ada yang luar biasa maka rencananya mungkin akan berjalan dengan baik. Tetapi bagaimana jika pak Kampun menyimpan uang itu tidak di bawah bantal, tetapi di bank? Gimpul resah membayangkan kemungkinan itu. Gimpul memandang Salatun dengan tatapan mata mesra. Sayang sekali Salatun tak tahu apa yang ada di benak Gimpul tak sama dengan yang tersirat di wajah. Jika Gimpul merasa sebel pada Jasmi yang hamil, maka sebenarnya Gimpul juga sebel terhadap Salatun yang hamil. Malam itu, setelah Gimpul memberikan kehangatan, Salatun bisa tidur dengan tenang. Setidak-tidaknya, gelisah yang menghantuinya telah memperoleh jalan pemecahan. Mungkin karena janji-janji yang ditabur Gimpul merupakan obat yang mujarab, Salatun tidak mualmual lagi. Namun bukan hanya Salatun yang membutuhkan kehangatan. "Kang Gimpul," kata Jasmi mesra. Jasmi yang hamil muda sebagaimana para isteri yang hamil muda, ingin dimanja suaminya. "Apa?" tanya Gimpul datar saja. "Aku ingin makan bata merah." kata Jasmi. Gimpul terlonjak. "Apa?" Gimpul dengan wajah bingungnya. "Aku ingin makan bata merah." Gila. Apa-apaan ini? Jasmi ingin makan bata merah? Bukannya Gimpul tidak bisa memenuhi keinginan isterinya. Bata merah toh berserakan di

mana-mana. Tetapi makan bata merah? Gimpul menggigil. Gimpul tahu keanehan macam itu adalah bagian kehamilan isterinya. Orang hamil memang suka ngidam yang aneh-aneh. Tetapi makan bata merah? Apa tidak keterlaluan? Gimpul bingung seperti orang tolol. Gimpul melongok bawah tempat tidur dan segera meraih bata merah. Gimpul ngeri membayangkan Jasmi akan mbrakoti bata merah itu , Gimpul menyodorkan benda itu pada isterinya. "Bukan yang ini." kata Jasmi dengan kerling mata manja. "Kau benar-benar ingin makan bata?" tanya Gimpul. "Bukan aku, anak kita." jawab Jasmi. Gimpul menggigil. Baru di dalam perut sudah berulah seperti itu, minta makan bata merah. Lalu bagaimana nanti kalau sudah lahir, apa tidak menjadi monster yang menakutkan? Gimpul tidak tahu semua itu bisa jadi hanya perlambang saja. Mungkin saja to anaknya nanti lahir laki-laki. Bata merah itu menjadi perlambang kelak anaknya akan jadi tukang batu. Ahli jiwa mengatakan, bakat manusia bisa dideteksi sejak dini, misalnya kalau Ibu hamil ngidam menciumi roda sepeda anaknya akan menjadi tukang becak, atau kalau ngidam mencuci pakaian, kelak anaknya akan menjadi babu. "Anakmu, ingin makan bata?" desak Gimpul semakin penasaran. "Ya." jawab Jasmi. "Tetapi bukan batu bata yang itu." Gimpul mencuatkan alis. "Lalu?" Gimpul masih penasaran. "Batu bata di rumah kita yang dulu, di Tegaldlimo Kidul." Gimpul manggut-manggut. Itulah rupanya yang menjadi salah satu sebab mengapa Gimpul tidak suka pada perempuan hamil. Perut yang membesar ke depan seperti genderang merupakan pemandangan yang tak begitu sedap. Itu menurut Gimpul.

"Besok aku akan ke sana." jawab Gimpul sambil merebahkan diri. "Sekarang." kata Jasmi. Gimpul kaget. Sekarang? Malam-malam seperti ini minta dicarikan bata merah, bukan sembarang bata merah karena harus diambil dari rumah yang dulu ditempatinya di Tegaldlimo Kidul? Jasmi mendorong suaminya yang sudah berbaring. "Sekarang." desaknya. Gimpul tambah bingung. "Aku harus mengambil bata merah ke ke sana sekarang?" desaknya. "Ini bukan kemauanku kang Gimpul. Ini keinginan anak kita. Dia ingin makan bata merah." jawab Jasmi. Amit-amit. Kalau Jasmi ngidam ingin makan mangga muda itu lumrah. Yang ini ngidam bata merah. Bata merah itu harus diambil di rumah Tegaldlimo Kidul. Padahal jarak yang harus ditempuh dengan jalan kaki lumayan jauh, apalagi harus lewat sawah. Jarak yang sanggup meretakkan tulang. "Tunggu apa lagi kang Gimpul? Cepatlah." "Ya. Ya." jawab Gimpul agak panik. Gimpul bergegas keluar dari kamar sambil mengumpati calon anaknya. Baru di dalam perut saja sudah bikin ulah. Bagaimana nanti jika sudah lahir? Apakah benar-benar akan menyantap bata merah sebagai menu hariannya? Gimpul tentu saja tidak pergi ke Tegaldlimo Kidul. Ia hanya mondar-mandir di halaman sekedar membuang waktu, seolah-olah benar-benar pergi menuruti keinginan isterinya. Dua jam kemudian Gimpul kembali. Jasmi yang memang menunggunya menyambut kedatangan bata merah itu dengan penuh gairah. Bata merah yang dibungkus tas kresek itu disambutnya seperti menyambut bayi yang montok lucu serta menggemaskan. Gimpul

mencuatkan alis melihat betapa mesra Jasmi memperlakukan bata merah itu. Namun Jasmi tersentak, Gimpul lebih tersentak. "Kau bohong." kata Jasmi sambil melotot. "Bohong apa?" Gimpul heran. "Kau tidak pergi ke sana. Ini bukan bata yang diinginkan anakmu." Alamak, Gimpul benar-benar kaget dan menjadi penasaran. Bagaimana caranya Jasmi bisa tahu dirinya telah berbohong. Bagaimana Jasmi bisa tahu bata merah itu diambil dari halaman. "Pergi." kata Jasmi tegas. Gimpul pusing kepalanya. "Aku? Harus pergi ke mana?" "Ambil bata merah." Gimpul tidak punya pilihan lain kecuali harus menuruti keinginan Jasmi itu. Kalau tak dituruti Gimpul cemas, soal yang sepele itu bisa menjadi besar. Maka dengan terpaksa Gimpul membangunkan Sugino anak mbokde Kisruh untuk mengantar ke Tegaldlimo Kidul. Menjelang pagi Gimpul menyerahkan bata merah itu. Kali ini entah dengan penciuman atau barangkali menggunakan indera ke enamnya, Jasmi percaya dan yakin bata merah yang berada dalam genggamannya berasal dari Tegaldlimo Kidul. Bata merah itu diciumi dengan mesra, dilela-lela seperti menina-bobokkan bayi. Bata merah itu diperlakukan dengan lembut. Melihat keanehan itu Gimpul merasa 'neg dan memilih tidur di lantai menggelar tikar. Ketika bangun pada esok harinya Gimpul kaget melihat bata merah itu tinggal separuh. Jadi, benarkah Jasmi makan bata merah itu atas nama anak yang masih berada di dalam kandungan? Gimpul benar-benar ngeri. Kalau Gimpul disuruh ngrikiti bata merah itu, bukan batanya yang rompal, tetapi giginya.

"Kau benar-benar makan bata marah itu?" tanya Gimpul pada Jasmi yang tengah menyedu secangkir kopi. Gimpul menjulurkan tangan akan menerima kopi itu. "Eeh, ini bukan punyamu." tepis Jasmi. "Setelah puas makan bata merah, anakmu ingin minum kopi hangat. Kalau kau mau, bikin saja sendiri." Gimpul hanya bisa mengelus dada. Pusing kepalanya berubah menjadi migrain yang nggandoli separuh dari kepalanya. Terpaksa Gimpul bikin kopi sendiri. Salatun yang baru saja dari jeding memberikan kerling mata padanya. Siang harinya, pak Kampun kedatangan tamu, pak Mudjikan. Rupanya persoalan jual beli sawah telah sampai pada tahap akhir. Gimpul yang merasa berkepentingan dengan hal itu sangat gelisah. Namun dengan cermat Gimpul memperhatikan perkembangan. Gimpul berharap Salatun bisa bekerja sesuai dengan rencana. Pendek kata entah bagaimana caranya, hasil penjualan sawah itu harus jatuh ke tangannya. Tanjir yang paling tidak sabar. Demikian pak Mudjikan pulang, Tanjir segera mengorek keterangan dari pak Kampun. "Bagaimana pak? Sudah laku sawahnya?" "Sudah." jawab pak Kampun. "Sudah dibayar?" Tanjir mendesak. "Sudah." jawab pak Kampun lagi. "Kalau begitu, tunggu apa lagi? Dibagi saja sekarang." Pak Kampun merasa perih ulu hatinya. Membagi uang penjualan sawah seharusnya dengan cara yang sakral. Sawah yang dijual itu bagaimanapun juga merupakan harta pusaka yang turun temurun, diwariskan oleh generasi terdahulu. Dahulu kala pak Kampun dan mbok Kampun menggunakan sawah itu untuk modal yang kemudian berkembang. Sawah yang semula hanya satu hektar telah beranak pinak menjadi

beberapa hektar. Naifnya pak Kampun sekarang harus menjualnya dan membagikan seperti membagi barang tak berharga, seperti ngedum kacang. "Dibagi bagaimana kalau uangnya masih berupa cek seperti ini? Cek ini masih harus ditukarkan ke bank. Banknya di Banyuwangi. Setelah cek ini diuangkan baru bisa dibagi rata." Dibagi rata? Tanjir rupanya tak senang dengan cara pembagian seperti itu. "Dibagi rata?" "Lha bagaimana?" pak Kampun yang kemudian merasa gumun. "Hak anak lelaki itu tak bisa disamakan dengan anak perempuan. Jasmi dan Salatun itu nantinya akan ikut suaminya, mereka menjadi tanggungan suaminya." Pak Kampun makin prihatin. Di samping serakah, Tanjir rupanya mau menang sendiri. Tentu saja pak Kampun tidak bisa membeda-bedakan semua anaknya. Semua harus mendapat pembagian sama. Tak ada yang boleh lebih dari lainnya. Pak Kampun memandang Tanjir. "Itu namanya kau mau menang sendiri Njir. Bapak tidak bisa bertindak tidak adil seperti itu. Kamu, Jayus, Jasmi dan Salatun harus mendapatkan jumlah yang sama. Bapak tidak bisa emban cindhe emban siladan." "Tidak bisa. Pokoknya pembagian harus menggunakan caraku." Tanjir tak bisa menerima. Tanjir merasa pendapatnyalah yang paling benar. Kok enak Jasmi dan Salatun mendapatkan jumlah yang sama. Wanita itu nantinya akan bersuami. Menjadi tanggung jawab suaminyalah Jasmi dan Salatun. "Aku kira aku sependapat dengan kang Tanjir. Memang harus begitu cara membagi." Jayus yang ikut nimbrung, memberi pukulan gong besar. "Apa Jasmi dan Salatun akan menerima cara itu? Apakah perlu dibuat geger dulu di pengadilan supaya pembagiannya jelas dan adil?" Pak Kampun jengkel. "Ke pengadilan?" Jayus merasa aneh.

Mengapa hal yang demikian harus dibawa ke Pengadilan? "Ya." jawab pak Kampun tegas. "Soal ini dibawa ke pengadilan saja, biar pengadilan yang memutuskan, kau akan mendapat berapa, Jayus akan mendapat berapa, Jasmi berapa dan Salatun berapa, termasuk Salehak, ia juga harus mendapatkan. Bapak tidak akan menguangkan cek ini kalau belum ada kesepakatan lebih dulu." Bahwa Jasmi dan Salatun akan mendapat jumlah yang sama membuat Tanjir marah, apalagi nama Salehak juga disebut sebagai salah seorang yang akan menerima warisan, membuat Tanjir seperti kebakaran jenggot. Tanjir menggebrak meja. "Aku sudah mengatakan berulang kali. Perempuan murahan itu hanya babu di rumah ini. Meski bapak telah mengambilnya sebagai isteri, aku tidak pernah menganggapnya sebagai ibu. Ia tak boleh mendapatkan sepeserpun. Kalau sampai itu terjadi, aku akan beli bensin dan akan kubakar dia." Sebuah ancaman mengerikan. Salehak yang menyimak pembicaraan itu dari kejauhan tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Namun entah mengapa pak Kampun kali ini tidak suka diancam, pak Kampun tidak suka digertak seperti itu. Anak mestinya berbakti pada orang tua, bukan memusuhi dan mendampratnya. Tanpa ada orang tua, mana ada anak? Jadi memang tidak sepatutnya Tanjir melotot kepadanya, tak sepatutnya Tanjir menggebrak meja. "Ooo begitu?" jawab pak Kampun tambah tidak senang. "Kau akan melakukan ancaman itu le? Boleh saja kau lakukan itu, dan aku memutuskan tidak ada pembagian warisan sama sekali. Biar kau jadi gembel kere seperti di pinggir jalan itu, aku tidak peduli." Pak Kampun yang mulai bangkit kemarahannya itu menatap Tanjir dan Jayus dengan pandangan garang. Nafasnya tersengal. Apabila pak Kampun terkena serangan tekanan darah tinggi, gawat.

Sayang Tanjir tidak bisa membaca suasana. Tanjir tambah emosi. Tanjir tak pe-duli lagi pada kuwalat, atau pada dosa karena berani pada orang tua. "Jangan memancing kemarahanku. Aku bersungguh-sungguh dengan ancaman itu. Akan kubakar isterimu itu kalau dia kau beri warisan. Secuil sekalipun." Tanjir kemudian meninggalkan pak Kampun yang sibuk menata degup jantung. Jayus yang agak cemas pak Kampun akan terserang bludrek segera menyusul Tanjir meninggalkan pak Kampun sendiri. Jasmi yang menyimak pembicaraan itu dari balik pintu sibuk mendamaikan diri pula. Akan tetapi Jasmi tetap saja nggregeli. "Apa yang terjadi Jas?" Gimpul bertanya. "Sawah itu sudah laku kang. Pak Mudjikan yang membeli dan dibayar kontan, namun masih berupa surat cek yang masih harus ditukarkan dulu di bank. Tetapi,.." Jasmi resah. Gimpul gelisah. "Tetapi bagaimana?" desak Gimpul. "Kang Tanjir dan kang Jayus mau menangnya sendiri. Kang Tanjir dan kang Jayus berpendapat, anak perempuan tidak perlu mendapatkan warisan." Gimpul kaget. "Alasannya?" "Karena anak perempuan menjadi tanggungan suaminya. Karena aku akan menjadi tanggunganmu." berkata Jasmi. Gimpul manggut-manggut. Kok indah sekali alasan itu, pikir Gimpul. Karena perempuan akan menjadi tanggungan suaminya? Gimpul tersenyum. "Akhirnya ketahuan juga belangnya. berkata Gimpul. Ketika dahulu kedua kakakmu itu ngrimuk dirimu supaya mau pulang dan bersama-sama menghadapi bapakmu, tujuannya memang agar warisan segera dibagi. Namun setelah tanah warisan itu laku, mereka mau mengangkangi sendiri. Kau yang semula dijadikan teman untuk menghadapi bapakmu, sekarang berbalik akan dijadikan musuh."

Jasmi membenarkan pendapat suaminya. Pada kenyataannya keadaan memang seperti itu. "Dan karena kita dianggap musuh, sementara keperluan mereka sudah terpenuhi, bisa saja kita diusir, disuruh minggat dari rumah ini. Kita terpaksa usung-usung lagi. Ditonton para tetangga lagi." "Jadi bagaimana?" Jasmi resah. "Tergantung pada sikap pak Kampun. Apakah bapakmu akan menuruti kehendak kedua anak lelakinya itu. Kalau pak Kampun takut pada ancaman Tanjir dan Jayus dan kemudian menuruti permintaan mereka, maka kau tidak akan mendapat apa-apa." Jasmi kian gelisah. "Beri aku saran kang Gimpul, apa yang harus aku lakukan, aku harus bagaimana?" "Aku ini hanya menantu Jas, kalau aku ikut campur, nanti disalahkan, karena urusan ini adalah urusan keluargamu." balas Gimpul. "Kau suamiku kang. Kau harus membantuku, berilah aku pendapat apa yang harus kukerjakan?" Jasmi gelisah. Gimpul berfikir mencoba mencarikan pemecahan yang sebaik-baiknya. Untuk lebih meyakinkan, Gimpul meletakkan ujung telunjuknya ke kening. "Kamu bicarakan dengan bapakmu. Jangan memusuhinya. Juga jangan memusuhi isterinya. Hanya itulah kuncinya. Yang penting sekarang bapakmu. Kalau bapakmu mengatakan merah, maka jadilah merah. Kalau pak Kampun mengatakan hitam, jadilah hitam." Jasmi memerlukan waktu beberapa kejap untuk mencernakan pendapat suaminya itu. "Kang Gimpul benar. Sebaiknya aku memang harus berbicara dengan bapak." Gimpul gembira karena sarannya diterima. Dengan demikian Gimpul akan memperoleh informasi yang akurat mengenai gerak uang itu nantinya. Syukur seandainya pak Kampun membawa pulang uang itu semua, dan tidak perlu menyimpannya di bank. Untuk apa sih

uang disimpan di bank, supaya aman? Ah, itu kan akal-akalannya pihak bank yang ingin cadangan uangnya banyak. Harusnya uang itu disimpan di bawah bantal saja, supaya gampang mencurinya. "Jangan kamu tunda. Sekarang juga kau bicarakan dengan bapakmu. Ingat Jas, jangan memusuhinya dan jangan memusuhi isterinya. Hanya itulah kuncinya." Gimpul menambahkan petunjuk. "Ya." Jasmi menjawab. Jasmi memang tidak menunda-nunda lagi. Jasmi bergegas menemui bapaknya. Ketika Jasmi mengetuk pintu, Salehak yang membukanya. Jelas sekali betapa Salehak gugup, sebagaimana Jasmi merasa serba salah harus berbicara dengan Ibu tirinya itu. "Ada apa?" tanya Salehak dengan volume lirih saja. "Maaf. Aku mau bicara dengan bapak." Jasmi mengutarakan keperluannya dengan sikap yang agak serba salah. Salehak bingung. Pak Kampun telah berbaring. Pak Kampun tadi berpesan untuk jangan dibangunkan siapapun yang ingin bertemu. Pak Kampun yang tadi emosi menghadapi Tanjir dan Jayus ingin meredakan diri dengan tidur. Bapak sudah tidur, apakah harus aku bangunkan?" Salehak bertanya. "Ya, bangunkan saja." jawab Jasmi. Pak Kampun yang sebenarnya sulit tidur menerima Jasmi di kamarnya. Jasmi memandang tempat tidur, ada kembang kantil dan melati ditebarkan di atas tempat tidur, barangkali maksudnya supaya tempat tidur itu berbau wangi. Atau boleh jadi Salehak yang merasa suaminya yang sudah tua itu bau sekali hingga diperlukan bunga kantil dan melati untuk meredam. "Ada apa Jas?" pak Kampun langsung pada persoalan. "Langsung saja pak. berkata Jasmi. Apa bapak akan membagikan warisan itu

menggunakan cara yang diusulkan kang Tanjir dan kang Jayus, yang mau mengabaikan aku dan Salatun?" Pak Kampun manggut-manggut. Resahnya tambah membuncah. "Apa Tanjir dan Jayus menyampaikan hal itu padamu?" "Aku mendengar pembicaraan bapak dengan mereka." jawab Jasmi. "Sesama saudara seharusnya rukun. Kalau ada sesuatu yang menimpa, siapa lagi yang dimintai tolong kalau bukan saudara sendiri. Karena warisan, kakak dan adik bisa jadi musuh." Pak Kampun prihatin, kisah macam itu tidak seharusnya menimpa keluarganya. Dahulu Pak Kampun berharap setelah dewasa empat anaknya akan selalu rukun, bahu membahu dalam menghadapi kesulitan hidup macam apapun. Namun mrucut saka embanan, kenyataan yang ada tidak seperti yang diharapkan. Perpecahan terjadi karena masing-masing berebut harta. "Aku tidak tanya soal itu pak. Aku ingin tahu dengan cara bagaimana bapak akan membagi?" Jasmi mengulang. Pak Kampun menekan dadanya yang masih nyeri. Bapak kecewa sekali Jas. Kau ternyata tidak ubahnya kakakmu, yang hanya memikirkan warisan itu." "Masalahnya aku mendengar dengan telingaku sendiri. Kang Tanjir dan kang Jayus mau menang sendiri" Jasmi membela diri. Bapak akan bertindak seadil-adilnya, semuanya dapat. Sudah, hanya itu yang bisa kukatakan." berbicara pak Kampun. Tidak ada pembicaraan lagi antara pak Kampun dengan Jasmi. Salehak menuntun pak Kampun yang tersengal kembali naik ke pembaringan. Salehak dan Jasmi sempat beradu pandang. Bersamaan keduanya segera mengalihkan tatapan mata yang bersirobok itu.

Di luar pintu, Jasmi yang penasaran menempelkan telinga ke dinding. Jasmi ingin tahu apa yang akan dibicarakan Salehak dengan pak Kampun. "Ruwet anak-anakku Hak. Mereka semuanya sudah sulap pada harta sampai tak menghormati orang tua lagi." Salehak menunduk dan kemudian memandang pak Kampun. Dari celah lobang Jasmi bisa memperhatikan adegan yang berlangsung itu. "Akulah yang menjadi penyebab semua ini pak." ucap Salehak dengan nada serak. Jasmi terlonjak. "Jangan kau berpendapat seperti itu. Anak-anakku yang salah, bukan kamu." "Sebaiknya pak Kampun jangan bersikeras untuk memberiku warisan. Mereka semua akan makin membenciku. Dikiranya aku mau menjadi isterimu karena menginginkan hartamu. Bagikan saja secara adil uang itu pada mereka semua, kalau perlu diadakan acara selamatan atau syukuran supaya uang dari warisan itu membawa berkah. Membawa manfaat bagi mereka semua." Jasmi bagai dililit pesona yang tak diketahui dari mana asalnya. Jasmi tidak mengira Salehak mempunyai hati yang begitu bersih dan luhur. Jasmi agak terpukul. Bahwa selama ini ia berprasangka begitu buruk pada Salehak, ternyata prasangka itu salah. "Aku justru heran mengapa orang sebaik kau justru dimusuhi Hak." pak Kampun mengeluh. Jasmi di luar merasa tersindir. Di dalam Salehak terlihat sedih. "Sudah, jangan kau pikirkan mereka. Perkara hasil penjualan warisan itu, besok aku akan berbuat seadil-adilnya." "Aku tak perlu mendapatkan apapun pak." "Tidak bisa. Kau isteriku, kau juga harus mendapatkan." pak Kampun tetap bersikukuh. Namun Salehak merasa ngeri kalau Tanjir mewujutkan ancamannya. Kalau Tanjir

menyiram tubuhnya dan kemudian membakarnya, itu hal yang menakutkan sekali. "Aku tak akan menerima pak Kampun. Sudahlah, bagikan saja kepada mereka semua. Aku ikhlas. Aku berkesempatan menjadi isteri pak Kampun, bagiku sudah merupakan anugerah. Aku hidup sebatangkara di dunia ini, lalu ada yang berkenan memungutku, hal itu sudah alhamdulillaah. Apa aku masih menginginkan yang lain? Tidak pak Kampun. Aku mohon pak Kampun membagikan harta warisan itu untuk mereka semua, aku tidak usah." Jasmi terharu. Pembicaraan pak Kampun dan isteri mudanya itu mengharu-biru dan memporak-porandakan keangkuhan serta prasangkanya. Jasmi sama sekali tidak mengira, Salehak berhati amat mulia, begitu bersih bagaikan hati malaikat atau bidadari. Suara Salehak yang tersendat seperti orang yang menahan tangis bagai merontokkan isi dadanya. Ternyata, berprasangka buruk pada isteri muda pak Kampun itu merupakan kekeliruan yang amat besar. "Kau ikhlas?" desak pak Kampun. "Aku ikhlas." jawab Salehak. "Baiklah, mungkin ada benarnya apa yang kau katakan. Uang itu aku bagikan saja semua pada mereka. Untukmu aku akan mencarikan sendiri. Namun jika ingat kehendak Tanjir, pak Kampun resah. "Moga-moga Tanjir dan Jayus tidak menang-menangan. Mau menang sendiri." "Kenapa?" tanya Salehak sambil mengusap air mata. "Tanjir dan Jayus memiliki pendapat berbeda. Menurut mereka, anak perempuan tidak bisa menerima hak yang sama dengan anakku yang lelaki." Salehak termangu. "Kalau begitu caranya, kasihan Jasmi dan Salatun." kata Salehak. "Jasmi dan Salatun anak-anakku juga. Bahkan maksudku, aku justru ingin memberikan sedikit lebih kepada Salatun anakku yang bungsu itu, Salatun sangat kehilangan dengan

kepergian simboknya. Mungkin warisan itu akan sedikit menghiburnya. O ya, kau masih didiamkan oleh Salatun?" "Aku berusaha ramah kepadanya, mengajaknya bicara, tetapi Salatun hanya menjawab seperlunya. Padahal aku ingin akrab. Tidak sebagai Ibu dan anak, tetapi seperti saudara, atau teman." Jasmi yang terus menguping nyaris tersedak. Jasmi benar-benar tidak menyangka Salehak memiliki hati yang demikian bersih, jiwa yang begitu mulia. Rasa bersalah itu kian membuncah, membeset wajahnya. "Bagaimana dengan Jasmi? Jasmi masih judes?" tanya pak Kampun. "Sudah tidak lagi." Salehak menjawab. "Kami hanya masih canggung." Jasmi merasa perlu mencernakan keadaan itu. "Kau bersabarlah. Ketelatenanmu akan meluluhkan hatinya. Mereka akan menerima kehadiranmu bukan sebagai orang yang perlu dicurigai." pak Kampun berbicara sambil membelai rambut isterinya. Pak Kampun mengelusnya dengan penuh kasih sayang. Salehak segera menjatuhkan diri ke pelukan suaminya. Andaikata pak Kampun masih muda, pak Kampun tidak perlu terhuyung-huyung seperti itu. Baru beberapa saat dijadikan sandaran pak Kampun sudah tersengal. "Kecuali dengan Tanjir dan Jayus. Aku melarang kamu akrab dengan mereka, karena sangat mungkin mereka akan melahapmu. Aku cemburu sayangku." Lhadalah, pak Kampun punya rasa cemburu? Adegan selanjutnya? Jasmi risih mengintip, apalagi punya bapaknya. Jasmi bergegas meninggalkan pintu kamar itu. Dengan gontai Jasmi melangkah ke halaman. Pikirannya terus terpusat pada sosok Salehak yang ternyata tidak seperti yang selama ini dibayangkan. Salehak mau dikawini

lelaki tua itu bukan karena hartanya, namun sekedar menitipkan awak. Demikian juga dengan pak Kampun, dengan mengawini Salehak pak Kampun juga menitipkan diri. Jadi mengapa harus risih karena pak Kampun yang sudah tua, mencoba mencari tempat untuk saling berbagi masalah, tempat untuk berbagi gelisah, sebuah hal yang ti-dak mungkin dilakukan sejak mbok Kampun tiada. Mengapa malah tidak bersyukur? Risih karena kebetulan pilihan itu jatuh kepada Salehak, si babu yang jelita itu? Jasmi atau orang pada umumnya hanya melihat pak Kampun yang sudah tua. Jika sudah tua dengan sendirinya tidak pantas melakukan ini tak pantas melakukan itu. Pendek kata banyak hal yang tidak pantas dilakukan oleh orang tua dan hanya pantas dikerjakan orang-orang yang muda saja. Jika orang tua tidak tahu diri yang muda dengan enteng berkata, gaplek pringkilan wis tuwek pethakilan. Mereka pada umumnya lupa, bahwa orang yang sudah tua sekalipun, tidak ada yang bisa melepaskan diri dari kemauan, kehendak dan keinginan. Dan pak Kampun itu hanya manusia yang tak bisa melepaskan diri dari jeratan kemauan. Kalau pak Kampun sudah tidak mau apa-apa, Saat itu pak Kampun sudah mati. "Salahkah bapakku kawin lagi?" bisik Jasmi kepada diri sendiri. Akhirnya Jasmi juga harus berfikir, kalau bapaknya tidak kawin lagi lantas ke mana harus membuang nafsu birahinya karena pada kenyataannya pak Kampun masih memiliki kemampuan untuk itu. Ke pelacuran? Tentu hal yang tak dibenarkan. Bahkan sebenarnya lebih memalukan punya bapak yang gemar keluyuran ke pelacuran. Entah apa kata orang jika pak Kampun itu gemar memanjakan diri dari pelukan pelacur satu ke pelacur yang lain. Jadi apa salahnya menerima kehadiran Salehak? "Ternyata Salehak tidak sejahat yang kusangka. Mungkin ada benarnya. Yang dia butuhkan bukanlah kedudukan sebagai isteri pak Kampun, tetapi orang yang bisa melindunginya. Salehak hanyalah seorang wanita yang tidak punya sanak dan kadang. Tidak punya siapapun di dunia ini. Tidak ada jeleknya kalau aku ikhlas menerima kehadirannya."

Jasmi terus merenung dan berfikir, mengikuti kemanapun angannya. "Rupanya bapak benar, dengan adanya Salehak, ada yang mengurusi bapak. ber-harap dari anak-anaknya hal itu tak mungkin." Sepercik kesadaran bagai menyelinap di dalam hatinya. Semakin dipikir semakin membuat Jasmi merasa amat bersalah. Dan tiba-tiba saja Jasmi merasa berkewajiban untuk mengubah keadaan itu. Bukan hanya dirinya, namun juga Tanjir dan Jayus serta Salatun semua salah dalam menilai keberadaan Salehak itu. Seharusnya, dengan adanya Salehak yang mau berkorban menjadi isteri pak Kampun, mereka berterimakasih. Salatun perlu diberitahu lebih dulu. Jasmi yang hamil muda itu menuju kamar adiknya. Pintu diketuk, agak lama barulah Salatun membukanya. "Ada apa, yu?" bertanya Salatun, Sambil menghadang di depan pintu, menghalang-halangi kakaknya yang bermaksud masuk. "Kau tahu suamiku?" "Apa aku menyembunyikan suamimu?" balas Salatun. Jawaban berupa pertanyaan seperti itu sebenarnya merupakan indikasi adanya sesuatu yang tidak pada tempatnya. Sayang Jasmi tidak peka. Jasmi sedang pilek berat, sehingga tidak bisa menangkap adanya bau busuk. "Maksudku, kau tahu ke mana perginya?" tanya Jasmi. "Tidak tahu yu. Aku ngantuk. Jangan ganggu aku, aku mau tidur." "Ehhh, Tun." bisik Jasmi. "Sawah sudah laku, tetapi kang Tanjir dan kang Jayus punya pendapat yang nyleneh, kita berdua tidak akan mendapat bagian sama dengan kang Tanjir dan kang Jayus, alasannya karena kita perempuan. Menurut mereka, perempuan tak boleh menerima warisan. Rupanya berita itu tidak mengagetkan Salatun.

"Aku sudah tahu hal itu. Kang Tanjir dan kang Jayus memang mau menang sendiri." "Karena itu Tun, kita harus bersatu. Kalau kang Tanjir dan kang Jayus berpendapat seperti itu, maka kita berdua harus menentangnya. Kau mengerti Tun?" "Ya." jawab Salatun sambil menguap lebar, memamerkan kantuknya. "Ahhh, sudah sana tidur kamu." Jasmi jengkel. Salatun segera menutup pintu. Jasmi yang bermaksud membicarakan Salehak lupa pada tujuan semula. Rasa mual kembali menyergapnya. Dengan tergesa-gesa Jasmi pergi ke jeding untuk meredakan diri. Di kamar Salatun membuka almari. Gimpul yang meringkuk segera keluar. Hampir saja Gimpul kehabisan nafas. "Yu Jasmi mencarimu." kata Salatun. "Biar saja." bisik Gimpul. "Sebaiknya kau jangan lama-lama berada di sini. Seperlunya saja." "Aku akan keluar. Tetapi ingat Tun, hanya uang penjualan sawah itu yang bisa menyelamatkan kita. Kau harus berhasil. Jangan sampai gagal." Rupanya waktu mendekati saat kritis. Gimpul dan Salatun yang telah menyusun rencana merasa perlu mematangkan kembali rencana itu. Segala sesuatu dievaluasi lagi agar semua berjalan lancar tanpa hambatan. Pendek kata, semua uang hasil penjualan sawah nantinya harus bisa dikuasai untuk biaya. Salatun yang hamil tak punya pilihan lain. Kalau rencana itu sampai gagal, sebuah bencana siap mengintai. Namun salah besar kalau beranggapan yang punya rencana itu hanya Gimpul dan Salatun. Di pihak yang lain, Jayus juga menggunakan ilmu kucing mengintai tikus mencari saat yang tepat untuk pada saatnya menerkam. "Peduli setan dengan semuanya. Kalau cek yang dipegang bapak itu sudah jadi uang maka aku harus bisa menguasai uang itu. Aku tinggal mencari kesempatan untuk mengambil serta mengucapkan selamat tinggal semuanya. Aku akan pergi sejauh-jauhnya dan tidak perlu

pulang kembali ke sini. Besok seisi rumah ini akan gempar. Geger semuanya. Bapak hanya bisa mencak-mencak, Tanjir hanya bisa melolong seperti anjing, Jasmi dan Salatun hanya bisa menangis. Tetapi persetan semuanya." Itu sebabnya, seharian Jayus tidak pergi ke mana-mana. Jayus sibuk mondar-mandir mempelajari suasana dan jika saatnya tepat, segera mengambil tindakan. Waktu merambat tidak tercegah oleh apapun atau siapapun. Tanjir yang merasa sudah dekat dengan saat pembagian harta warisan sibuk menghubungi teman-temannya. Sepeda motor milik Sukarjiman yang tidak dijual ditawar. Tanjir juga menawar burung kacer milik pak Ragum. Pak Ragum juga tidak bermaksud menjual, namun karena Tanjir kasmaran berat pada burung kacer itu, maka harga empat ratus ribu hanya untuk harga seekor kacer disepakati. Gimpul meski tegang namun masih mampu menutupinya dengan sikap yang wajar. Sebagaimana Jayus, Gimpul tak pergi ke mana-mana. Dengan cermat Gimpul memperhatikan suasana, karena itu Gimpul bisa menangkap keadaan yang tidak wajar pada Jayus. Bahwa Jayus tidak pergi ke mana-mana, justru membuatnya curiga. Salatun diam-diam juga mempersiapkan diri. Beberapa lembar pakaian yang akan dibawa telah disiapkan. Benda-benda berharga yang ia miliki telah dikemas dan dimasukkan ke dalam kopor butut. Pendek kata Salatun siap untuk minggat setiap saat. Jasmi sama sekali tidak berprasangka. Pada saat Gimpul berbaring di sampingnya , Jasmi memandangi wajahnya berlama-lama. Kini Jasmi tengah hamil. Beberapa bulan lagi Jasmi akan melahirkan. Jasmi berharap, jika sudah punya anak kebiasaan buruk suaminya akan berubah. Sore beranjak malam dan esok paginya datang. Pagi beranjak siang. "Hmmm," Gimpul berdehem. Jasmi kaget.

"Kau kang Gimpul. Bikin kaget saja." "Kau ini menyapu sambil melamun atau benar-benar tidak tahu kalau ada aku di sini, atau sebenarnya tahu tetapi hanya diam saja?" tanya Gimpul. Jasmi menyeringai. "Kamu melamun memikirkan apa?" tanya Gimpul. Bapak, sudah siang begini kok belum pulang. Aku gelisah, jangan-jangan terjadi sesuatu pada bapak. Padahal bapak hari ini menukarkan cek itu ke bank." "Apanya yang kau cemaskan?" tanya Gimpul. "Sudah sering aku dengar cerita di kota-kota besar itu. Banyak sekali kejadian orang yang baru saja mengambil uang di bank kena begal." "Jangan membayangkan hal mengerikan seperti itu Jas." kata Gimpul menenteramkan hatinya. "Semoga saja bapak tidak bodoh." jawab Jasmi dengan nada datar, memancing Gimpul untuk mencuatkan alis. "Tidak bodoh bagaimana?" tanya Gimpul. "Kupikir uang sebanyak itu kalau dibawa pulang utuh tidak aman. Ehh, Apa berlebihan kalau aku mencurigai kemungkinan uang itu nanti dicuri?" "Siapa yang akan mencuri?" Gimpul tiba-tiba gelisah. "Mungkin saja kang Tanjir atau kang Jayus. Keduanya patut dicurigai. Bisa saja mereka berbuat nekad dan membawa minggat uang itu. Jika sampai hal itu terjadi, aku dan Salatun akan dapat apa?" Gimpul merasa dadanya seperti dirambati desir. Namun bukan Gimpul kalau tidak bisa segera menghapus kesan itu dari wajahnya. "Moga-moga saja hal itu tidak perlu terjadi. Tetapi kau tadi berharap semoga Bapak tidak bodoh, apa maksudmu?"

"Aku berharap bapak melakukan saranku dengan menyimpan uang itu di bank. Tadi aku berpesan seperti itu." ucap Jasmi. "Mati aku." desis Gimpul dalam hati. Bisa-bisa rencana yang telah disusun dengan baik itu meleset. Kalau pak Kampun menyimpan semua uang itu di bank, langkah apa yang harus diambil? Gimpul pusing tujuh keliling memikirkan kemungkinan yang paling buruk. Gimpul sudah marang dengan rencananya, apabila Salatun tidak berhasil mencuri uang itu, maka ia akan minggat sejauhjauhnya, tak peduli pada Salatun yang hamil, tak peduli pula pada Jasmi yang hamil. "Kau menyarankan seperti itu?" ada nada kecewa dalam hati Gimpul. "Bagaimana menurut kang Gimpul?" tanya isterinya. Siapa bilang membawa uang dalam jumlah banyak tidak aman? Ahhh, itu kan hanya pendapat yang terlalu berlebihan. Tentu saja pihak bank yang menggembar-gemborkan agar menyimpan uang di bank, maksudnya memang untuk menghimpun uang sebanyakbanyaknya. Untuk hal itu pihak akan bank memberikan bunga yang sebenarnya tidak ada nilainya. Coba di pasaran gelap asal punya modal dan bisa tega mau jadi rentenir membungakan uang, dengan bunga sepuluh persen banyak yang berebut. Bahkan dua puluh persen sebulan banyak yang menubruk. Gimpul sangat jengkel dengan pendapat itu, jengkel kepada Jasmi yang begitu cengoh telah menyarankan kepada pak Kampun untuk menyimpan di bank. Jasmi benar-benar bodoh. "Menyimpan uang di bank itu memang aman dan baik, tetapi mengenai kecurigaanmu bahwa kedua kakakmu akan bertindak curang rasanya itu agak berlebihan." berkata Gimpul. "Aku amat curiga. Jika bukan kang Tanjir pasti kang Jayus yang akan melakukan." Jasmi resah. "Sudahlah, mereka tidak akan melakukan hal itu Jas." Gimpul menenteramkan. Di dalam hatinya Gimpul berkata, bukan Tanjir atau Jayus yang layak dicurigai, tetapi Gimpul juga.

Tentu saja Gimpul gelisah. Gimpul terlanjur membayangkan setumpuk uang ada di benaknya, namun rencana itu bisa bubar kalau benar pak Kampun mengambil langkah seperti yang disarankan Jasmi. Waktu bergeser, siang terlampaui dan sorepun datang, pak Kampun ternyata masih belum pulang. Hal itu memancing kegelisahan yang baru. Ada apa dengan pak Kampun? mengapa belum pulang juga? Sebagai orang yang merasa berkepentingan, Gimpul merasa jengkel pada pak Kampun yang belum pulang juga. Atas nama kepentingan yang sebenarnya bukan haknya itu Gimpul mengumbar curiga, jangan-jangan pak Kampun sendiri sedang memainkan kartu trufnya. Kenapa tidak? bukankah pak Kampun sekarang memiliki mainan yang menyenangkan bernama Salehak itu? Kurang ajar pak Kampun. bisik Gimpul dalam hatinya. Bukan hanya Gimpul dan Jasmi yang resah, di halaman depan Tanjir dan Jayus juga kelihatan resah dan berbisik-bisik berdua. Entah apa yang tengah mereka perbincangkan, namun aroma rencana jahat itu begitu kental terlihat di rona wajah mereka. Baunya amat menyengat. "Jas." kata Gimpul, yang amat curiga pada manuver tidak terduga yang mungkin diambil pak Kampun. "Ada apa kang?" balas Jasmi. "Rupanya yang perlu kau curigai justru bukan kakakmu." berkata Gimpul. Jasmi memandang wajah suaminya yang beku, seperti mencari sesuatu di wajah itu. Namun Gimpul pintar menyembunyikannya di balik beberapa buah jerawat dan lapisan wajah topengnya. Gimpul yang harus menjaga supaya gerak-geriknya jangan sampai kentara membuang wajah memandang halaman dan pepohonan. "Siapa?" Jasmi terpancing. "Bagaimana kalau pak Kampun tidak akan pulang?" bertanya Gimpul dengan wajah tetap

ditekuk. Butuh waktu lebih lama bagi Jasmi untuk mencerna kecurigaan yang aneh itu. Jasmi menempatkan diri di depan Gimpul, tetapi lagi-lagi Gimpul memandang jauh sambil berusaha keras membuang kesan dari wajahnya. Bapakku, tidak pulang?" Jasmi mencuatkan alis. Tetap saja Jasmi masih belum paham ke mana arah pembicaraan Gimpul. "Pak Kampun tidak akan pulang sampai besok, dan bahkan besoknya lagi. Atau sampai kapanpun pak Kampun tidak pulang." berkata Gimpul. Gimpul menyuburkan prasangka itu, membuat Jasmi semakin gelisah dan tidak mampu lagi berfikir jernih. Curiga macam apa saja dengan mudah ditelannya. "Mengapa bapak tidak pulang?" bertanya Jasmi. "Bukankah pak Kampun punya isteri baru? Namanya orang juga lagi kasmaran dan tidak perlu mengurus anak karena sudah pada besar semuanya. Kalau Salehak mempengaruhinya apa yang tidak mungkin. Mungkin Salehak bilang pada pak Kampun, Ayo minggat sejauhjauhnya, ke tempat yang aman di mana di tempat itu tidak akan diganggu oleh anak-anakmu." Gimpul menjelaskan sebuah kemungkinan. Padahal kalimat itulah yang ia pergunakan merayu Salatun minggat sejauh-jauhnya, ke tempat yang tidak akan diganggu siapapun. Jasmi cemas. Jika pak Kampun sampai tega berbuat seperti itu, benar benar keterlaluan. "Bagaimana? Kemungkinan itu ada bukan?" desak Gimpul. Jasmi ingat kemarin saat menguping pembicaraan pak Kampun dengan Salehak. Rasanya tak mungkin pak Kampun akan setega itu. Jasmi juga ingat bagaimana sikap Salehak yang mengalah, memilih tidak menerima apapun. Namun kalau sudah berhadapan dengan uang, apalagi yang jumlahnya begitu banyak, bisa saja segalanya berubah. "Kang Gimpul benar." Jasmi goyah. "Tetapi, apa mungkin bapak akan sanggup melakukan itu? Apakah mungkin bapak akan sanggup memutuskan hubungannya dengan

anak?" Gimpul menabur racun. Untuk urusan macam itu Gimpul memang jagonya, urusan merayu, memfitnah dan provokator, Gimpul jagonya. Pernah pada sebuah malam ada pentas gandrung yang riuh oleh jejalan penonton. Pentas itu bubrah karena Gimpul berhasil memancing di air keruh. Tanpa alasan yang jelas, Gimpul njotos seseorang, yang dijotos tentu tidak terima, namun saat mau membalas, Gimpul sudah lenyap. Maka yang terjadi kemudian terjadilah tawur yang tidak jelas apa sebabnya. "Apa yang tidak mungkin dengan dugaan itu, apalagi pak Kampun merasa dihadapkan dengan anak-anak yang tidak menghargainya lagi seperti kang Tanjir dan kang Jayus itu? Pak Kampun beberapa hari ini sebel pada anak-anaknya yang semua memusuhinya, hal itu memudahkan pak Kampun untuk mengambil keputusan minggat. Toh anak sudah besar semuanya, cepat atau lembat mereka akan bisa mandiri. Barangkali seperti itu pikiran bengkok yang ada di benak bapakmu. Nah, mengapa sampai petang begini bapakmu belum pulang. Lagi pula pak Kampun pergi dengan siapa?" Jasmi merasa isi dadanya rontok, cemas membayangkan kemungkinan yang sangat buruk itu. Apa yang dikatakan suaminya benar semua. Bahkan Jasmi nyaris meyakini itulah jawabannya. Pak Kampun belum pulang juga karena Pak Kampun minggat, sayonara semua anak-anaknya. Jasmi tidak melihat betapa geram wajah Gimpul yang kecewa itu. Betapa bodohnya pak Kampun. berkata Gimpul dalam hati. Minggat meninggalkan kami semua adalah tindakan yang bodoh. Ke manapun akan aku kejar. Itulah Gimpul, entah bagaimana caranya ia begitu pintar mengadopsi kemarahan yang mestinya bukan haknya menjadi kemarahannya sendiri. Menurut Gimpul tindakan orang lain yang tidak sesuai dengannya adalah tindakan salah, konyol dan bahkan goblok. "Kalau begitu, harus dicari." Jasmi melempar gagasan.

"Mencarinya ke mana? Ke kamar mayat?" balas Gimpul sekenanya. Senyumnya sinis sekali. Jasmi gelisah, Jasmi berjalan mondar-mandir ke depan balik ke belakang lagi, ke depan lagi lalu balik ke belakang lagi. Bila Jasmi diberi kabel dan dihubungkan ke colokan listrik di tembok, jadilah seterika. "Jadi bagaimana kang?" Jasmi tambah gelisah. Gimpul tertawa getir. Cemas membayangkan angan-angannya akan kandas. Soalnya Gimpul sadar benar, jika sampai ia gagal menguasai uang itu, ia akan dihadapkan kesulitan yang luar biasa. Kehamilan Salatun tidak akan bisa disembunyikan, pengadilan yang paling mengerikan harus dihadapi. Bisa jadi Tanjir dan Jayus akan mengambil langkah paling anarki seperti yang baru-baru ini membudaya, dengan menyiram bensin dan membakarnya. Mati dengan cara seperti itu, Gimpul ngeri sekali. "Kita hanya bisa berharap semoga dugaan itu salah. Namun bersiaplah menghadapi kemungkinan itu." berkata Gimpul semakin memanasi. Jasmi menyeka keringat dinginnya yang mengembun di kening. Belum lama Jasmi kehilangan simboknya, haruskah Jasmi kehilangan pak Kampun dengan cara yang sangat tragis seperti itu? "Lalu bagaimana dengan kami anak-anaknya?" suara Jasmi terdengar amat serak. Kembali Gimpul tertawa, nadanya amat tak enak di telinga. Kalau saja pak Kampun mendengar bagaimana Gimpul tega memfitnahnya, pasti akan dikepruknya kepala lelaki itu dengan alu. "Kau sudah besar dan sudah bersuami. Dengan sendirinya kau menjadi tanggungan suamimu. Bagaimana dengan Salatun? Salatun juga sudah gadis, jadi tidak perlu ada yang dipikir lagi. Maka minggatlah pak Kampun dengan tanpa meninggalkan beban. Enteng saja beliau minggat meninggalkan kita." Gimpul menyiramkan bensin.

Emosi sekali Gimpul. Bisa-bisanya Gimpul emosi. Gimpul kan hanya anak menantu yang tak punya hak untuk itu. Gimpul sungguh jengkel. Cemas jika rencananya sampai gagal. Gimpul dan Jasmi yang berbincang sambil berbisik seketika diam ketika mendengar ada suara langkah dari ruang tengah, Rupanya Jayus yang datang. Dengan penuh curiga Jayus memandangi suami isteri yang saling berbisik itu. Rasa curiga memang sedang jadi lakon, Jasmi curiga kepada kakak-kakaknya, Jasmi kemudian curiga juga kepada bapaknya, demikian pula dengan Tanjir dan Jayus, ia curiga kalau dicurigai. Itu sebabnya melihat Jasmi dan Gimpul saling berbisik, ia curiga. Dari mana saja kang?" tanya Jasmi seperti hanya sekedar bertanya, daripada tidak ada yang ditanyakan. "Siapa yang dari mana saja? aku berada di rumah sejak tadi. balas Jayus. Pertanyaan sederhana itu saja sudah mampu memancing rasa curiga di hati Jayus, sebaliknya jawaban Jayus yang seperti itu tak tercegah mengundang kecurigaan Jasmi dan Gimpul. Dan percayalah, betapa tidak menyenangkan hidup di lingkungan yang saling curiga dan mencurigai. Dengan alasan yang tidak jelas curiga bisa menjadi kompor yang membakar. Hanya curiga saja, belum ada bukti, sudah menjadi pembantaian dukun santet dan sebagainya. Bapak belum pulang?" Ternyata tidak hanya Gimpul dan Jasmi yang resah. Jayus juga gelisah. Dari itu saja Jasmi dan Gimpul sudah curiga. "Belum." Jasmi menjawab pendek saja. "Ke mana saja orang itu? Sudah petang begini masih belum pulang." Gimpul yakin, Jayus memiliki rencana seperti dirinya. Dari gelagatnya atau dari gelisahnya tampak betapa Jayus menyembunyikan sesuatu. Hal itu menambah kadar

keresahan Gimpul. Ibarat sebuah pertandingan siapa yang mampu bermain dengan baik dan cermat, mampu bersiasat dengan jitu dan jika perlu harus tega menjegal, maka orang itulah yang akan memenangkan pertandingan. "Kita lihat saja nanti, siapa yang akan menang." bisik Gimpul pada diri sendiri. Mana aku tahu? jawab Jasmi. Perginya saja dengan isterinya. Pergi di saat pegang uang banyak. Apa kang Jayus tidak mempunyai prasangka bapak tidak akan pulang?" Pertanyaan Jasmi itu jelas mengadopsi pendapat Gimpul. Dengan demikian terlihat berapa suksesnya Gimpul sebagai provokator. Padahal seharusnya, Jasmi mencantumkan dengan lengkap dari mana pendapat itu berasal. Jika kelak undang-undangnya sudah dibuat, Jasmi atau siapapun tidak boleh sembarangan bertanya dengan menyembunyikan siapa pemilik pertanyaan dan atau yang mempunyai pendapat seperti itu. Nah, seketika sebuah tanda tanya menggoda Jayus. "Ada apa? Menurutmu ada apa, kenapa bapak tidak pulang?" "Apa kau tidak merasa curiga, mengapa sampai petang begini bapak belum pulang? Padahal sedang ada urusan uang begitu banyak. Bagaimana kalau bapak tidak pulang?" bertanya Jasmi. Jayus heran. Bukannya Jayus telmi, itu istilah dari singkatan telat mikir, akan tetapi Jayus belum mendengar alasannya. Sebagaimana Jasmi sebelumnya, Jayus berpendapat tak mungkin bapaknya akan minggat. "Tidak pulang kenapa?" ulang Jayus. "Kalau malam ini tidak pulang, besokpun tidak pulang, bahkan sampai kapanpun tidak pulang bagaimana? kau akan mendapatkan apa? kita semua akan mendapat apa?" Jayus menatap wajah adiknya dengan tidak berkedip. Jayus juga memandang Gimpul yang buru-buru melempar tatapan matanya ke arah lain. Jayus lebih mendekat untuk mendapatkan penjelasan yang lebih rinci.

Bapak tidak akan pulang, katamu?" Jayus menekan. "Mungkin bapak tidak akan pulang. Minggat sejauh-jauhnya. Bukankah bapak punya isteri baru yang cantik. Tentunya menyenangkan menghabiskan uang itu dengan isterinya daripada membagikan pada kita." Jasmi menjelaskan lebih gamblang lagi. Jayus termangu mencerna hal itu, masuk akal juga. "Gila." Jayus terlonjak. Terlonjaknya terlambat bila dihitung dari sejak kagetnya. Penjelasan Jasmi itu bisa dirasa seperti seekor ular yang mematuk kaki. Atau petir yang meledak di siang bolong, pada saat langit bersih tidak ada mendung, artinya Jayus memang tidak siap menghadapi rasa kaget yang datangnya mendadak. "Bagaimana? Mengapa sampai petang begini, bapak belum pulang?" Jasmi menekan. Bisa jadi bapak akan melupakan kita. Bukan hal yang harus membutuhkan pertimbangan yang terlampau rumit bagi bapak untuk memutuskan, apalagi jika mengingat tidak ada lagi yang perlu ditimbang. Anak-anaknya tidak ada yang berbakti, bahkan mengancam akan membakar isterinya. Kang Jayus dan kang Tanjir membentak-bentak bapak seenaknya tanpa menghargai perasaannya, jadi untuk apa pulang? Pertanyaan Jasmi itu semakin memancing resah. Jayus mengepalkan tangan seperti orang yang menahan marah, atau segumpal kejengkelan. Jayus cemas rencana yang disusunnya tak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Apabila pak Kampun minggat demi memanjakan isteri barunya itu, gawat. Benar-benar gawat. "Jika yang kau bilang itu benar, Ini bukan soal yang remeh lagi." Jayus menggeram. "Akan kukejar sampai di manapun kalau bapak benar-benar minggat. Orang tua tidak tahu diri. Sudah tua akan mati begitu yang dipikir hanya nafsu syahwatnya saja. Akan kucari mereka, akan kubunuh perempuan sundal itu." Pintu butulan terbuka Salatun muncul dengan wajah cemas. "Ada apa to kok ribut-ribut?" tanya Salatun.

Jayus butuh penyaluran, kebetulan Salatun jadi katupnya. "Diam kamu. bentaknya Kamu anak kecil tahu apa. Salatun tentu saja kaget dibentak seperti itu. Apalagi Jayus melototkan mata. "Apa salahku?" tanya Salatun dengan mimik heran. Jasmi segera merengkuh adiknya. "Kamu tidak bersalah apa-apa Tun. Jasmi menarik Salatun untuk duduk di sebelahnya. Salatun menatap Jayus yang wajahnya bagai kepiting direbus. Wajah Jayus yang jelek itu menjadi lebih jelek lagi di saat marah seperti itu. "Akan kucari mereka." Jayus masih kesal. "Sebaiknya bersabar dulu kang Jayus. Dugaan itu belum tentu benar." kali ini si Gimpul nimbrung, memberikan sumbang saran. "Belum tentu benar bagaimana?" Jayus sangat jengkel. "Sudah jelas sampai petang begini bapak belum pulang, ia tentu minggat dengan sundel itu. Aku harus mencarinya." Jayus mondar-mandir sambil sesekali mengepalkan tangannya. Matanya kemerahan menahan kemarahan. Kedua mata itu adakalanya melotot, seperti mau lepas dari kelopaknya. "Terus mencarinya ke mana?" tanya Gimpul. "Mencarinya ke mana ya?" Jayus malah bingung. "Kalau kang Jayus mau mendengar pendapatku, sebaiknya janganlah berprasangka buruk dulu. Ditunggu saja, siapa tahu nanti pulang." Gimpul menenangkan. Nah itulah sisi lain dari sosok Gimpul. Tadi kepada Jasmi ia menempatkan diri sebagai provokator yang dengan culas mengipas. Giliran di depan Jayus, Gimpul bersikap sebaliknya. Di depan Jasmi membakar, di depan Jayus membujuk. "Benar kang. Ditunggu saja." Jasmi menenteramkan. Jayus sangat gelisah. Mulutnya ndremimil. Jayus berbicara kepada diri sendiri. Jayus lupa kalau di sekitarnya ada orang lain. "Aku menjadi sangat curiga, boleh jadi memang benar

bapak minggat. Gila, ternyata bapak lebih cerdik." Jasmi kaget mendengar ucapan itu. Seketika alisnya mencuat njengat ke atas. Jasmi dan Gimpul saling melirik. "Kenapa kang?" Jasmi tidak kuasa menahan penasaran. "Oh, ti..tidak." Jayus merasa kelepasan omong. Agak gugup Jayus menjawab pertanyaan itu. "Yu, bapak kenapa?" Salatun membutuhkan jawaban dengan segera. Salatun merasa ngeri membayangkan bakal kehilangan untuk yang kedua kalinya. Dulu ia sudah kehilangan simbok, haruskah kini ia kehilangan bapaknya? Jasmi yang bisa membaca gejolak perasaan di dada adiknya segera merengkuh tubuh Salatun, dipeluknya. "Ini hanya sebuah dugaan Tun, masih belum tentu benar. Memang ada kemungkinan bapak minggat bersama isteri barunya itu, tetapi belum tentu benar." Jasmi menjelaskan. "Bapak minggat?" Salatun kaget. Wajahnya pucat. Jasmi hanya mengangguk. "Kita tidak punya bapak yu?" bertanya Salatun dengan mimik wajah aneh. Mendengar pertanyaan itu Jasmi amat tersentuh. Jasmi segera meraih pundak adiknya. Di mata Jasmi, Salatun tentu gelisah. Baru beberapa waktu yang lampau mbok Kampun pergi, haruskah kini juga kehilangan bapak? "Kalau benar, kita memang tidak punya bapak lagi." dengan serak dan seperti sangat terpaksa, Jasmi menjawab. "Kok perkembangannya menjadi seperti ini to yu?" tanya Salatun menahan sesak di dada. "Akan kukejar ke manapun mereka pergi. Ke liang semut sekalipun." suara Jayus terdengar sarat letupan amarah. Suasana kemudian menjadi hening. Jam amat tua yang menempel di dinding menjadi tempat mereka memperhatikan gerak waktu. Jam itu tetap berada di sana karena tak laku

dijual. Apabila laku sepuluh ribu rupiah saja, pasti Tanjir atau Jayus berebut dulu untuk melegonya. Jayus membawa sumpah serapahnya ke halaman, di sana ada Tanjir dengan perapiannya. Dari jendela Jasmi mengintip. Jayus berbicara berdua dengan Tanjir, tidak jelas apa yang mereka perbincangkan. Suasana resah kian membuncah, hati yang gelisah semakin menjadi. Jam dinding tua terus mengayunkan lengan detiknya, merambati waktu dari menit ke menit. Gimpul pusing sekali. Uang sekian puluh juta di depan mata, bisa jadi akan lepas begitu saja dari tangannya. Padahal kalau uang itu bisa berada di tangannya, Gimpul akan melenyapkan diri seperti di telan bumi, hilang ke ujung dunia yang tidak akan bisa dilacak siapun. Dengan uang itu Gimpul akan berfoya-foya, mencicipi dan merasakan ba-gaimana nikmatnya menjadi orang kaya. Dengan uang itu Gimpul akan memuasi diri dengan wanitawanita yang paling cantik yang bisa dibelinya. Kini ada kemungkinan, keinginan dan mimpinya itu akan terganjal. Betapa kecewanya kalau sampai hal itu terjadi. Pada saat yang amat resah membuncah demikian itulah, tiba-tiba saja terdengar sebuah mobil masuk ke halaman. Jasmi dan Gimpul tersentak. Dengan bergegas mereka berlarian menuju jendela untuk melihat siapa yang datang. Tanjir dan Jayus yang dari mula sudah berada di halaman gemetar ketika melihat ada polisi yang turun dari kendaraan itu. Untung mereka segera menyelinap dan bersembunyi di balik kandang. Polisi? Mengapa ada polisi? Jasmi dan Gimpul segera riuh dengan prasangka. Pintu belakang mobil itupun terbuka, pak Kampun turun sambil menggandeng Salehak. "Ada apa bapak pulang dengan membawa polisi?" bisik Jayus cemas. Jayus ingat beberapa hari yang lalu ia menjambret yu Sumilah di dekat bendungan air Dam Limo. Akan halnya Tanjir ingat, entah sudah berapa kali ia keluar masuk rumah orang

tanpa permisi alias maling. Pernah juga Tanjir dan Jayus duet, sukses membawa tape rekorder dan Tivi yang kemudian dijualnya di Genteng. Tanjir dan Jayus ingat pula saat maling di toko Babah Jing yang ada di sudut pertigaan jalan. Saat maling itu apa yang dilakukan Tanjir sungguh keterlaluan. Menurut ilmu yang diyakini para maling, agar tak tertangkap harus buang hajat di rumah yang dijarahnya. Padahal saat itu Tanjir mencret. "Siapa dari antara kita berdua yang akan ditangkap?" berbisik Tanjir. Jika demikian, apakah kedatangan para polisi itu akan menangkapnya? Boleh jadi karena polisi sekarang pintar-pintar. Mungkin polisi sudah tahu kalau yang mencuri di toko Babah Jing juga beberapa rumah yang lain itu sebenarnya Tanjir dan Jayus. Pak Kampun dan Salehak mempersilahkan kedua Polisi itu duduk di ruang tamu. Saat di halaman, mereka tidak melihat Tanjir dan Jayus yang dengan cepat bersembunyi di balik kandang. Mereka hanya melihat perapian yang digunakan menghangatkan tubuh di musim bediding itu. "Apa yang dilakukan bapak itu?" Jayus gelisah. "Tampaknya bapak sedang berusaha melindungi kita." bisik Tanjir. "Apakah kita harus lari saja? Daripada disel?" "Jangan dulu dan kita lihat perkembangannya. Kalau jelas kedua Polisi itu memang bermaksud menangkap kita, kita bisa bersembunyi." berkata Tanjir. Tanjir dan Jayus benar-benar gelisah. Mereka tidak menyangka perbuatan jahat yang pernah mereka lakukan telah diendus polisi. Untuk beberapa saat pak Kampun berbincang dengan ke dua orang polisi itu. Sesekali dari ruang tamu itu terdengar suara tertawa yang berderai. Suasana perbincangan yang terasa akrab itu justru membuat Jasmi dan Gimpul heran. Meski dari balik dinding mereka mencoba menyimak pembicaraan yang sedang terjadi, akan tetapi mereka tidak berhasil mengetahui

apa isi pembicaraan pak Kampun dengan para tamunya. Polisi-polisi itu tidak berlama-lama, sejenak kemudian mereka telah berpamitan. Jasmi bergegas menemui bapaknya. "Dua polisi tadi mau apa? Siapa yang mau ditangkap?" Jasmi tidak kuasa menahan rasa penasaran. Pak Kampun yang kemudian malah merasa heran. "Menangkap siapa?" Jasmi diam. Hanya alisnya yang kemudian mencuat. "Mana Tanjir dan Jayus?" tanya pak Kampun. Jasmi dan Salatun saling pandang. "Jadi ke dua polisi itu mencari kang Tanjir dan kang Jayus?" tanya Salatun. Pak Kampun bertambah heran. Tentu saja polisi itu tidak bermaksud menangkap Tanjir dan Jayus. Kedatangannya untuk mengawal pak Kampun yang membawa uang dalam jumlah banyak. Maklum sekarang perampokan terhadap nasabah bank sedang merajalela. Semula pak Kampun akan menerima uang cash dari mencairkan cek, tiba-tiba pak Mudjikan berubah pikiran. Pagi itu pak Mudjikan mengajak pak Kampun ke Jember untuk menengok orang sakit sekalian mencairkan cek itu di Genteng. Pak Mudjikan yang membutuhkan pengawalan polisi karena mengambil uang kontan cukup banyak untuk membayar para nelayan yang telah setor ikan laut kepadanya. Pak Mudjikan kemudian meminta kepada para Polisi itu untuk mengantar pak Kampun pulang. Demikianlah kejadiannya. "Mengapa kau mengira polisi itu akan menangkap Tanjir dan Jayus?" tanya pak Kampun. Jasmi dan Salatun saling pandang. Salatun mengangkat bahu. "Kang Tanjir dan kang Jayus ketakutan, mereka bersembunyi. Mereka yang maling di toko Babah Jing beberapa hari yang lalu." Salatun menjelaskan.

Pak Kampun kaget. "Dari mana kau tahu itu?" desak pak Kampun. "Mereka sendiri yang bilang seperti itu." jawab Jasmi. "Maksudku, aku mendengar pembicaraan mereka." Yang mbegal yu Siti Sumilah di bendungan Dam Limo itu juga. Salatun menambahkan. Kang Jayus yang melakukan. Pak Kampun menekan dadanya yang tiba-tiba amat nyeri. Pak Kampun memang sudah mendengar cerita seram yang menimpa Babah Jing. Maling yang kurang ajar itu bukan hanya menguras isi tokonya, namun meninggalkan kotoran manusia di sana. Dan yang melakukan semua itu ternyata anaknya sendiri. Pak Kampun juga sudah mendengar cerita tentang yu Sumilah yang dicegat perampok di bendungan, siapa mengira yang melakukan itu anakanaknya. "Astagfirullah Aladzim, Tanjir dan Jayus melakukan perbuatan seperti itu?" tanya pak Kampun dengan nada suara bergetar. Pak Kampun sama sekali tak menyangka punya anak maling. "Jadi benarkah pak? Polisi tadi sedang mencari kang Tanjir dan kang Jayus?" Jasmi mendesak. "Mana ke dua kakakmu itu, panggil dia kesini." perintah pak Kampun. Jasmi atau Salatun tidak perlu beranjak memanggil, karena Tanjir dan Jayus nyelonong masuk. Semua perhatian memang tertuju pada sebuah tas besar yang tergeletak di atas meja. Cek sudah diuangkan, dan uangnya satu tas penuh. Siapa yang tak tergoda melihat uang yang sebanyak itu. Dengan sekuat tenaga Gimpul menghapus kesan apapun dari wajahnya. Namun dengan cermat Gimpul membaca suasana. Dengan teliti pula Gimpul membaca gelagat aneh di wajah Tanjir dan Jayus. Jelas Jayus merencanakan sesuatu yang mungkin tidak akan terduga. Itu

sebabnya Gimpul dengan seksama dan penuh perhitungan memperhatikan perkembangan keadaan. Pak Kampun memandang Tanjir dan Jayus dengan kecewa. Kecewa sekali. Sebagai seorang bapak pak Kampun tidak pernah membayangkan di antara anaknya akan ada yang berprofesi maling. "Kau tahu dua orang polisi yang datang ke sini tadi?" bertanya pak Kampun pada Tanjir dan Jayus. Tanjir tak menjawab. Jayus memandang Tanjir. Kedatangan Polisi tadi masih menyisakan degup jantung. "Mereka mau apa?" Jayus yang bertanya. Pak Kampun benar-benar merasakan dadanya sesak. Kecewa sekali. "Pertanyaanmu itu sebenarnya sudah kamu ketahui jawabnya. Kamu sebenarnya sudah tahu apa keperluan mereka." Jayus maupun Tanjir bertambah gugup. Salatun menggamit Jasmi. Jasmi menggamit tangan Gimpul. Gimpul memandangi Jayus. Mata Jayus melirik Tanjir, mata Tanjir melirik tas. "Mereka mau apa?" Tanjir cemas. "Polisi itu datang kemari, karena ada hubungannya dengan pencurian di toko Babah Jing." jawab pak Kampun. Pak Kampun ingin mendapat keyakinan, bahwa memang benar Tanjir dan Jayus-lah pelaku pencurian yang menghebohkan itu. Seketika wajah Tanjir dan Jayus menjadi pucat. Situasi yang mereka hadapi tambah gawat. Dari wajah yang berubah itu, pak Kampun bisa mendapatkan kesimpulannya. "Maling, di toko Babah Jing?" Tanjir pura-pura kaget. "Aku tidak mengira dua orang anakku telah menjadi maling, pencuri. Memalukan. Apa

salahku sehingga aku mempunyai anak yang perbuatannya seperti itu? Kalian mengaku apa tidak?" bertanya pak Kampun dengan amat berwibawanya. Tanjir yang biasa membentak bapaknya itu kini terbungkam. "Sebenarnya polisi tadi mau apa?" tanya Jayus. "Mereka mencari kalian. Pertanyaan peristiwa di toko Babah Jing dan penjambretan yang menimpa Sumilah di bendungan, jawabannya ada di rumah ini. jawab pak Kampun singkat dan tegas. Gugup di wajah dua anak lelaki pak Kampun itu dengan jelas terbaca. Namun mana ada maling yang mau mengaku. Kalau semua maling mengaku, maka gedung tahanan tentu akan penuh sesak. "Kami tidak melakukan apa-apa. Polisi itu salah alamat." "O ya? Apakah kau merasa yakin? Kalau kau merasa yakin bapak akan mengantarmu ke kantor polisi. Katakan bantahanmu itu pada polisi itu." "Waaaah, jangan." jawab Tanjir. "Kalau tak merasa bersalah mengapa kau takut?" desak pak Kampun. "Mengaku saja." tambah Jasmi. Pada dasarnya Tanjir gampang gugup. Ditekan seperti itu, keluar pengakuannya. "Iya, kami memang melakukan." jawab Tanjir tersendat. Jayus tentu saja jengkel pada Tanjir. Jayus ingin tetap bersikukuh pada penolakannya, sebaliknya Tanjir dengan begitu cepat mengaku. Dengan kasar Jayus menyikut Tanjir, sejenak kakak dan adik ini beradu melotot. "Itu perbuatan gila. Pak Kampun mempunyai anak jadi maling, mau diletakkan di mana wajah bapakmu ini?" suara pak Kampun terdengar amat serak. Suasana rumah pak Kampun seketika menjadi hening. Senyap sekali. Pak Kampun kembali cemas. Jika seperti itu keadaan kedua anak lelakinya, lantas akan jadi apakah jika

uang penjualan sawah itu dibagi. Uang itu tentu akan ludes tanpa tanggung jawab. Pak Kampun menebar pandang, dadanya kian nyeri. "Hasil penjualan sawah batal aku bagikan." kata pak Kampun. Tanjir dan Jayus kaget. "Kenapa?" tanya Tanjir. "Apa jadinya dengan uang ini kalau aku bagikan sekarang? aku tidak keberatan kalau warisan kalian minta sebagai modal untuk berdagang atau untuk bekal hidup. Sebaliknya aku tidak ikhlas kalau uang itu hanya untuk foya-foya, kau habiskan di meja judi." Tanjir tidak bisa menerima itu. "Tidak bisa." Tanjir mulai galak. "Aku membutuhkan uang itu." "Aku juga." desak Jayus. "Baiklah. Aku ingin mendengar, menurut rencanamu uang itu akan kau pergunakan untuk apa atau bagaimana?" "Aku akan pergi jauh." jawab Tanjir. Pak Kampun tersenyum sinis. "Karena kamu takut pada polisi itu? Jadi uang itu hanya untuk ongkos minggat? Haruskah aku membagikan warisan dengan alasan semacam itu? Tak adakah alasan yang lain yang enak di dengar dan menyejukkan telinga?" "Aku tidak peduli. Pokoknya aku minta warisan." Tanjir ngotot. "Aku juga." kata Jayus. "Dan aku tetap pada pendirianku. Cara membagi warisan itu dengan aturan yang betul. Anak perempuan tidak bisa menerima jumlah yang sama dengan anak lelaki. Karena anak perempuan itu akan menjadi tanggungan suaminya." tambah Tanjir. Gimpul yang menunduk itu mendongak sedikit dan melirik pada Tanjir. Gimpul bermaksud menyunggingkan senyum sinis, namun tidak berani. Kalau senyum sinisnya sampai ketahuan, bisa-bisa celurit yang berbicara.

"Kalau mau ngotot begitu, biar pengadilan nanti yang memutuskan." jawab pak Kampun enteng. "Menunggu pengadilan?" tanya Jayus. "Ya." jawab pak Kampun seperti sekenanya. "Kurasa jika pengadilan yang memutuskan pasti adil. Apapun keputusan pengadilan itu akan kulaksanakan dengan sebaik-baiknya." Jasmi manggut-manggut sependapat dengan pendapat bapaknya. Tanjir dan Jayus terpaksa mengumpat di dalam hati. Keduanya resah memikirkan waktu yang akan berlarut dan terlampau lama. Apalagi polisi sudah membaui perbuatan mereka. Artinya, secepat-cepatnya mereka harus segera pergi jauh meninggalkan Tegaldlimo. Pak Kampun tidak memerlukan jawaban lagi. Pak Kampun beranjak berdiri sambil membawa tas yang diduga berisi uang itu. Pak Kampun masuk ke kamar diikuti oleh isterinya. "Pak, tunggu dulu." teriak Tanjir. "Aku letih, besok pembicaraan ini dilanjutkan." jawab pak Kampun. Jayus maupun Tanjir bermaksud memaksakan pembicaraan itu, namun pak Kampun sudah keburu menutup pintu dan menguncinya. Jasmi memandang penuh cemas. Khawatir kalau Jayus dan Tanjir akan kehilangan kendali. Namun dugaan Jasmi ternyata salah, Tanjir maupun Jayus tidak menggedor pintu. Mereka ngeloyor pergi ke halaman dan melanjutkan duduk berdua menghangatkan diri di depan api. Sebenarnyalah keadaan rumah pak Kampun malam itu bagaikan dilingkupi udara yang gerah. Sampai larut Jasmi tidak bisa memejamkan mata. Perilaku Tanjir dan Jayus sungguh mencurigakan. Itu sebabnya Jasmi mondar-mandir seperti seterika. "Kau tidak tidur Jas? Ini sudah agak malam." tanya suaminya. "Aku tidak akan tidur malam ini kang, sekalian tirakatan. Aku curiga kang Tanjir dan

kang Jayus akan melakukan sesuatu. Aku harus berjaga-jaga. Kau juga kang, kita melekan semalam suntuk." berkata Jasmi. Gimpul mengangguk. "Kau benar. Aku akan menemanimu." balas Gimpul. "Aku punya usul. Kau sebaiknya berjaga di luar saja. Bagaimana?" Sebenarnya itu gagasan yang sangat bagus. Pucuk dicinta ulam tiba. Bukankah dengan demikian peluang Gimpul untuk beraksi semakin luas? "Kenapa aku berjaga di luar?" tanya Gimpul. "Siapa tahu kang Tanjir atau kang Jayus akan masuk kamar bapak melalui jendela." Jasmi mengemukakan alasannya. "Tetapi bagaimana kalau mereka bertanya mengapa aku berada di luar?" "Jawab saja sedang menikmati udara malam. Kalau mereka meminta kang Gimpul masuk ke rumah, hal itu justru harus dicurigai." jawab Jasmi. Dengan senang hati Gimpul beranjak memenuhi kehendak isterinya. Dari arah kamar Salatun terdengar muntah-muntah. Jasmi mencuatkan alisnya. Beberapa hari ini Jasmi merasa mendengar suara muntah-muntah, hal yang sebelumnya kurang mendapat perhatiannya. "Kenapa Salatun itu?" tanya Jasmi. "Mungkin masuk angin." jawab Gimpul yakin. "Kok tahu?" desak Jasmi. "Bukankah tadi ia mengatakan kepadamu, masuk angin?" "Apakah tadi Salatun bilang begitu ?" bertanya Jasmi. Gimpul tertawa, mentertawakan Jasmi yang pelupa. "Tadi kau dimintai bantuan kerokan, tetapi kau mengacuhkannya." "Oooo, iya to?" "Sudah, aku mau berada di luar." jawab Gimpul. Malampun agak menukik. Ketika Gimpul mengintip ke halaman rumah, tidak ada lagi

Tanjir dan Jayus di sana. Gimpul curiga. Nalurinya mengatakan ada sesuatu yang tidak benar. Dengan gesit Gimpul menyelinap ke halaman samping dan melakukan pengintaian. Ternyata benar dugaanku. Mereka akan melakukan sesuatu. Apa yang mereka kerjakan itu?" bertanya Gimpul dalam hati. Gimpul memperhatikan dengan penuh cermat. Tanjir dan Jayus tak menyadari. Rupanya Tanjir dan Jayus tengah mengintip kamar bapaknya melalui celah di cendela. "Bagaimana?" bisik Tanjir. "Aku tidak melihat tas itu." bisik Jayus. "Pasti disimpan di almari." bisik Tanjir. "Tengah malam nanti mereka pasti pulas. Aku akan menggunakan aji sirep untuk menidurkan mereka. Japa mantra dari Mbah Surip itu pasti mandi. Begitu aji sirep dirapal, mereka pasti ketiduran. berkata Jayus. Gawat, untuk rencana yang disusun matang itu, Jayus agaknya melibatkan dukun segala. Dari Mbah Surip dukun yang tinggal di Sumberberas, Jayus memperoleh aji sirep dengan harga dua puluh lima ribu rupiah. Dalam dunia permalingan, aji sirep mutlak diperlukan agar siapa yang menjadi sasaran akan pulas tertidur dibelit rasa kantuk yang luar biasa. Kini aji sirep itu akan digunakan untuk melawan bapaknya sendiri. Gimpul melihat Tanjir dan Jayus itu kemudian mengendap-endap dan kembali lagi ke halaman. Gimpul tersenyum. Rupanya Tanjir dan Jayus akan menggunakan cara primitif, jadi pencuri di rumah sendiri. Cara yang tentu saja kurang canggih. Ganti Gimpul yang menyelinap. Beberapa ketukan pada jendela segera mendapat sambutan. Jendela terbuka, Gimpul masuk tanpa meninggalkan suara. "Kau tadi muntah-muntah ?" tanya Gimpul. "Aku tak bisa menahan diri." bisik Salatun

"Untung tadi mbakyumu bisa kuyakinkan kalau kau hanya masuk angin." Gimpul memandangi Salatun. Salatun benar-benar sudah siap minggat bersamanya. Gimpul bisa membayangkan, betapa gemparnya besok. Pak Kampun tentu mencak-mencak. Tanjir dan Jayus ikut mencak-mencak. Dan yang paling tragis Jasmi yang tidak menyangka seperti itu perbuatan suaminya. Apalagi Gimpul minggat membawa Salatun. Sebenarnya Gimpul merasa bersalah pada Jasmi, tetapi mau bagaimana lagi, Salatun hamil. Kalau perut Salatun dan Jasmi balapan besar-besaran, akan bagaimana nanti? Salah satu harus mengalah. Gimpul memilih Jasmi yang harus mengalah untuk memberikan kesempatan pada Salatun. "Bagaimana dengan petunjuk yang kuberikan kepadamu, apa sudah kau laksanakan?" tanya Gimpul. "Sudah." Salatun mengangguk mantab. "Namun untuk mengambil uang itu aku tidak yakin bisa kang. Selain pintunya dikunci, jantungku playonan." Yang dimaksud adalah, Salatun sudah memasukkan pil koplo ke dalam minuman pak Kampun. Mengenai apakah pak Kampun masuk ke dalam jebakan atau tidak, itu masih tanda tanya. "Bagus. Selanjutnya untuk mengambil uang kita lihat saja nanti. Apakah aku yang harus melakukan, atau terpaksa kau yang harus melakukan. Ingat, jika rencana ini sampai gagal, kita benar-benar berada dalam bahaya. "Aku bagaimana?" desak Salatun. Yang kulakukan sekarang? "Kau jangan tidur. Kalau aku berhasil aku akan mengetuk jendela. Gimpul memandang dan kemudian memeluk. "Baik." bisik Salatun penuh yakin. "Aku akan berada di luar. Jangan tidur dan tunggu ketukan pintu." ulang Gimpul.

Salatun mengangguk sebagai jawaban. Gimpul membuka jendela dan memperhatikan suasana di luar. Merasa aman, Gimpul segera menyelinap keluar. Salatun menutup rapat jendela itu. Di antara rasa mual yang harus ditahannya, Salatun merasakan jantungnya berlarian seperti tidak terkendali. Di ruangan tengah, Jasmi duduk-duduk. Kelihatannya sekedar duduk-duduk, tetapi sebenarnya sedang mengawasi Tanjir maupun Jayus. Tanjir dan Jayus tentu saja jengkel. "Apa yang kau lakukan itu?" tanya Jayus. Jayus tak senang melihat Jasmi menjadi Satpam. "Aku hanya duduk-duduk. Kenapa?" balas Jasmi. "Ini sudah malam. Tidurlah." kata Jayus. "Aku ingin melekan sampai pagi. Aku sedang tirakatan." jawab adiknya. "Tirakatan?" Tentu Jayus tidak senang. Jayus kurang begitu pintar menyembunyikan ketidaksenangannya itu. Terlihat perubahan yang mencolok di wajahnya. Sebenarnyalah, di luar pengetahuan Tanjir, Jayus bahkan telah memegang kunci cadangan yang akan digunakan masuk ke kamar bapaknya. Rencananya jika Jayus berhasil mengambil uang itu, untuk apa harus berbagi dengan Tanjir. Jayus ingin menguasainya sendiri. Tetapi apalah arti kunci cadangan itu jika Jasmi menjaga pintu kamar bapaknya dengan ketat. Jasmi bahkan tiduran di depan pintu kamar itu. "Tirakatan apa kau ini?" desak Jayus. "Hari ini peringatan geblaknya simbok." jawab Jasmi sekenanya. Padahal jawaban itu sebenarnya tidak betul. Anak kedua pak Kampun itu mondar-mandir seperti seterika. Melihat Jasmi duduk seperti anjing herder menjaga pintu kamar bapaknya, Jayus semakin jengkel. Jayus ingin sekali mencekik leher Jasmi, tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan.

Jayus menemui Tanjir. "Bagaimana?" tanya Tanjir. Jayus menebar pandang ke gelap malam. "Jasmi tampaknya sudah tahu rencana kita." jawab Jayus. Tanjir kaget. "Dia sekarang menjadi anjing herder, menjaga pintu kamar bapak." Jayus menambah. "Diancuk. Anak itu kurang kerjaan." umpat Tanjir. "Bagaimana?" desak Jayus. Masuk melalui jendela tidak mungkin. Satu-satunya cara untuk masuk hanyalah melalui pintu itu. Dengan mengungkit sedikit kurasa bisa masuk. Gunakan ilmu sirepmu itu berkata Tanjir. Baiklah. kata Jayus. Akan kuulang aji sirepku. Jayus berkomat-kamit membaca rapal japa mantra, aji sirep yang dibelinya dari dukun mbah Surip. Jayus yang amat percaya dukun, agar menang cap ji kia minta petunjuk dukun, agar bisa menarik perhatian cewek juga minta bantuan dukun. Dengan rapalnya Jayus merasa yakin udara membawa partikel-partikel rasa kantuk seiring dengan rapal japa mantra yang telah dilepasnya itu. Selama Jayus merapal sirep, Tanjir memperhatikan Jasmi. Bagaimana? bertanya Jayus. Masih belum tidur. jawab Tanjir. Jasmi malah main dakon. Jayus mencuatkan alisnya. Dakon dengan siapa? tanyanya. Sendirian. jawab Tanjir. Dasar anak dhemit. umpat Jayus yang lupa, jika bapaknya demit berarti dia sendiri juga dhemit. Waktu terus beranjak, menawarkan kegelisahan yang sangat sempurna pada anak-anak

pak Kampun itu. Jasmi benar-benar memenuhi kesungguhan hatinya, untuk tidak akan tidur apapun yang terjadi. Padahal, untuk masuk ke dalam kamar pak Kampun selain lewat jendela hanya melalui pintu itu. Untuk membuka jendela tanpa terdengar kegaduhan, sulit. Sebudek apapun pak Kampun, pasti bisa mendengar. Jayus dan Tanjir benar-benar dibuat jengkel. Jasmi telah berubah menjadi seekor anjing herder yang menyulitkan. Jayus dan Tanjir makin jengkel ketika melihat Jasmi menggelar tikar tepat di depan pintu kamar itu, tidur melungker. "Setan alas." umpat Jayus di halaman. "Bagaimana?" tanya Tanjir. "Agaknya kita harus ikhlas menerima pembagian itu sesuai keinginan bapak. Tidak mungkin mencuri uang itu kalau Jasmi seperti itu." Waktu terus merayap, lengan detik jam dinding tua terus bergerak tidak akan berhenti. Salatun sangat gelisah karena ketukan jendela yang ditunggu belum datang juga. Salatun mondar-mandir di dalam kamarnya. Jasmi akhirnya tertidur di depan pintu mendekati saat fajar. Semburat langit belahan timur kemerahan. "Mengapa kang Gimpul lama sekali belum memberi isyarat kepadaku? Apa kang Gimpul belum berhasil mengambil uang itu?" bertanya Salatun dalam gelisahnya. Salatun resah. Salatun membuka jendela dan mengintip ke luar, tidak ada siapa-siapa di sana. Langit sebelah timur terbakar. Sebentar lagi srengenge akan menerangi jagad raya setelah semalaman dipeluk gelap malam. Harapan Salatun pupus ketika fajarpun kemudian datang. Agaknya Gimpul tidak berhasil dan terpaksa menunggu kesempatan berikutnya. Salatun berbaring menghitung usuk.

Jasmi yang sempat tidur sejenak bergegas ke halaman. Hari memang sudah terang tanah. Jayus dan Tanjir bergelimpangan tidur di emper rumah. Jasmi mencari Gimpul, tetapi Gimpul tidak ada. "Kang Gimpul, kang." Jasmi memanggil suaminya. Tidak ada jawaban. Jasmi menuju ke kamar, Gimpul tidak ada di sana. Di mana Gimpul? "Kang Gimpul." panggil Jasmi sekali lagi. Begitu pulasnya Tanjir dan Jayus yang tidur di emperan, tak terganggu oleh kecemasan Jasmi yang mulai merasa curiga. Pintu terbuka, pak Kampun nongol. "Ada apa?" tanya pak Kampun di antara batuk tuanya. "Aku mencari suamiku. kang Gimpul tidak ada." "Lha memang ke mana? Semalam tidak tidur di rumah?" "Tidak pergi ke mana-mana. Aku akan mencarinya dulu pak, mungkin ketiduran di gardu." berkata Jasmi. "Mbok sudah tidak usah dicari, nanti kan kembali." kata pak Kampun. "Kalau ketiduran di gardu tidak ada yang membangunkan, apa tidak memalukan?" "Ya sudah sana." jawab pak Kampun. Namun bukan hanya Jasmi yang merasa heran karena tidak menemukan suaminya. Pak Kampun sedikit merasa aneh ketika menengok ke jeding yang terpisah di belakang, tidak menemukan isterinya. Ke mana Salehak? Pak Kampun ke halaman samping, bahkan ke halaman belakang, namun isteri terkasih yang semalam dengan begitu bergairah melayaninya tidak ada. Pergi ke mana Salehak? Pak Kampun memandangi Jasmi dengan tatapan agak aneh. "Bagaimana dengan suamimu?" tanya pak Kampun. "Di gardu tidak ada. Bapak sendiri bingung, ada apa?" tanya Jasmi. "Ke mana Salehak?" tanya pak Kampun.

Jasmi kaget. "Lha ke mana?" tanya Jasmi. Kucari ke belakang ia tidak ada. Di dapur juga tidak ada. Masih pagi, pergi ke mana dia?" Tiba-tiba saja prasangka buruk itu tumbuh dengan begitu meriahnya. Jasmi memandang pak Kampun dengan cemas yang sempurna. Pak...." Jasmi gelisah. "Bagaimana?" tanya pak Kampun. "Coba diperiksa uang penjualan sawah itu masih ada apa tidak?" Jasmi makin tidak sabar. Kegelisahan yang segera beranak-pinak berasal dari rasa curiga itu memenuhi segenap lorong di dadanya. "Kenapa?" pak Kampun mulai ketularan rasa cemas. "Diperiksa dulu. Diperiksa dulu uang hasil penjualan sawah itu." desak Jasmi dengan gugup. Dengan tertatih pak Kampun bergegas masuk diikuti dari belakang oleh Jasmi. Salatun yang mendengar ribut-ribut dari ruang tengah itu keluar dan ikut masuk ke kamar bapaknya. Pak Kampun memeriksa almari. Almari itu masih tertutup terkunci rapat. Desir tajam bagaikan pedang yang menyobek dada dirasakan oleh pak Kampun saat mana almari itu dibuka, tas besar itu sudah lenyap. Pak Kampun menggigil, mulutnya ndremimil. Betapa gugupnya pak Kampun. "Bagaimana ini? Ooooo, bagaimana ini? Mana uang itu? Tidak ada? Mana?" Jasmi ikut pucat. Salatun merasa lambungnya nyeri, bukan hanya lambung, perutnya juga terasa amat nyeri. "Ya Allah. Astaghfirullah Aladzim." bisik Jasmi. "Uang itu kuletakkan di sini, bagaimana bisa tidak ada? Jas, bagaimana Jas? Siapa yang

mengambil? Siapa?" gugup pak Kampun mendaki. Pak Kampun benar-benar berubah menjadi kakek buyutan. Isi almari diaduk, namun tas besar tempat menyimpan uang itu tak ada. Kolong tempat tidur juga diperiksa, tidak ada. Kecemasan itu makin menjadi ketika Jasmi memeriksa jendela, jendela tak terkunci. "Siapa yang telah mengambil uang itu?" pak Kampun berteriak. Pintu terbuka, semua menoleh. "Ada apa?" Tanjir bertanya dengan alis yang njengat. Pak Kampun bertambah gugup. Pak Kampun kebingungan bagaimana harus menjelaskan lenyapnya uang itu. "Njir, duwite ilang, uangnya hilang." pak Kampun suaranya bergetar. Tanjir dan Jayus tersentak, keduanya saling berpandangan. Bersamaan pula mata mereka melotot seperti mau lepas. "Kok bisa hilang bagaimana? Siapa yang mengambil?" Jayus tidak kuasa menahan diri, suaranya melengking. Tanjir melangkah mendekat. Hampir saja leher pak Kampun yang tua itu dicengkeramnya. Jasmi sibuk memapah Salatun yang tiba-tiba terhuyung. Jayus yang amat kecewa mengumbar perbendaharaan sumpah serapahnya. Ambrol derajad pak Kampun itu yang tidak ada nilai sama sekali di mata anaknya. "Uang itu kusimpan di sini, sekarang kok bisa hilang ya?" pak Kampun kelihatan seperti orang bodoh. "Siapa yang mengambil?" Jayus bertanya. Kasar dan sangar. Tidak ada yang menjawab. Jasmi diam tidak berani berbicara. Salatun semakin lemas. Pandangan matanya kabur dan semakin kabur. "Siapa yang mengambil?" Tanjir berteriak dan membutuhkan jawaban dengan segera, "Mungkin..." Jasmi ragu akan menjawab.

"Mungkin siapa? Cepat katakan." "Ada yang tidak berada di rumah saat ini, Salehak dan kang Gimpul. Mereka tidak ada." tambah Jasmi, Salatun merasa matanya mulai berkunang-kunang. Bintang-bintangpun bertaburan. Rasa pusing luar biasa akibat darah yang tidak cukup mensuplai otak menyebabkan Salatun terhuyung-huyung dan kemudian jatuh. Pingsan. Tanjir melotot pada Jasmi, Jayus melotot pada pak Kampun. Setelah pendakian yang cukup lama, pak Kampun berhasil menggapai puncak gunung kegelisahannya. Rumah pak Kampun bagai terbakar. Tanjir dan Jayus memenuhi sepanjang hari dan esok hari berikutnya dengan segala sumpah serapah. Sebagai orang tua pak Kampun merasa amat tak berharga di hadapan anak-anaknya. Sedang Jasmi merasa dunia ini telah kiamat. Jasmi yang hamil tidak menyangka kehidupan rumah tangganya yang dikayuh bersama Iwan Gimpul Marjuni akan terpuruk ke dalam lakon yang sedemikian nista. Terbukti benar peringatan yang dulu pernah diberikan oleh almarhumah ibunya, bahwa Gimpul itu buaya. Sayang sekali Jasmi tidak mau peduli pada peringatan itu. Dan Salatun, gadis itu kehilangan cahaya.

***

7. GIMPUL DAN SODOMI

Santiago Amoral gugup. Sebodoh-bodohnya Santiago, ia masih bisa menghitung, betapa bahaya kini mengancamnya. Pertanyaan polisi itu, yang mau atau tidak mau, suka atau tidak suka harus dijawabnya, akan membongkar rahasia yang disimpannya dengan rapat, membongkar semua petualangannya. Membelejeti kejahatannya. Bripka Budi Setyo Pramono memandang tajam. Punya kartu pengenal tidak? suaranya terdengar tegas. Pu, punya pak. jawab Santiago Amoral gugup. Di sebelahnya wajah Bini Santiago Amoral memias. Bripka Budi Setyo Pramono memeriksa KTP lusuh itu. Wajah dalam KTP itu sama dengan orang di depannya, tetapi nama yang tercantum dalam KTP itu tidak sama. Seketika wajah bripka Budi Setyo Pramono berubah galak. Pencoleng macam apapun merasa ngeri menghadapi wajah yang berubah sangar itu. Biasanya bila sudah berhadapan dengan wajah galak seperti itu, pencoleng yang bermaksud menyembunyikan sesuatu, akan kandas terbentur wajah mengerikan itu, terpaksa harus mengakui semua tindak kejahatannya. Polisi berwajah galak itu manggut-manggut, memandangi wajah Santiago Amoral dan isterinya dengan amat tajam, nyaris melotot. Saya paling tidak suka dengan orang yang bermaksud membuat laporan palsu, yang bisabisa bila tidak benar akan mempermalukan polisi. ucap bripka Budi. Dalam KTP ini, anda bernama Gimpul, berasal dari desa Tegaldlimo, kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Pekerjaan petani. Bukan main. Saya pernah berdinas di Banyuwangi selama dua tahun, jadi saya tahu bila mustahil seorang petani punya uang seratus lima puluh juta kecuali melalui cara yang tidak beres. Lagi pula, kenapa anda mengaku bernama Santiago Amoral? Maksud

anda apa? Pucat pias Santiago Gimpul Amoral diberondong dengan pertanyaan yang tidak terduga, sepucat itu pula wajah Bini Santiago Salehak Amoral yang membayangkan nasib amat buruk akan menghadangnya. Naluri polisi yang dimiliki bripka Budi Setyo Pramono memang tajam. Hidungnya membaui aroma tak beres. Bripka Budi Setyo Pramono bergegas menuju ruang pribadinya dan mengangkat gagang telepon dan melakukan kontak dengan polsek Tegaldlimo. Sebagai aparat polisi yang pernah dinas di Banyuwangi cukup lama, Bripka Budi Setyo Pramono seperti sedang kangen-kangenan dengan sahabat lamanya. Kau membutuhkan keterangan mengenai orang bernama Gimpul? terdengar suara dari seberang. Ya. jawab Bripka Budi Setyo. Jadi dia ada di Jakarta? suara agak penasaran terdengar dari seberang. Dia dan isterinya melapor kehilangan uang seratus lima puluh juta di hotel. Saya membutuhkan keterangan terkait dengan orang ini. Berita itu diterima dengan antusias oleh suara di seberang. Tangkap orang itu berdasar laporan yang sudah masuk di sini. Kejahatan yang dilakukannya adalah, mencuri uang mertuanya sebanyak seratus lima puluh juta rupiah. Ia menghamili adik iparnya dan meninggalkannya begitu saja sementara isterinya sendiri sedang hamil. Perempuan yang bersamanya kemungkinan bernama Salehak, mertuanya sendiri yang berkomplot dengannya. Tahan dia dan segera paketkan ke sini. Beres. jawab Bripka Budi Setyo Pramono. Bripka Budi Setyo Pramono tersenyum. Orang yang menerima telepon di seberang adalah bekas teman sekantornya yang sangat akrab dengannya. Bersama-sama mereka sering melakukan tugas memburu maling, bahkan menggagalkan perampokan. Melalui telepon itu

Bripka Budi Setyo Pramono memperoleh keterangan yang dibutuhkan dengan sangat rinci. Gemetar dan pucat pias Santiago Gimpul Amoral yang cemas kedoknya terbuka. Dalam hati ia mengutuk dan menyumpah-serapahi sekaligus menyesali kebodohannya mengapa kehilangan uang itu harus dilaporkan ke polisi. Saudara Gimpul. berkata Bripka Budi tegas. Saya pak pol. gugup Gimpul. Dijawab pak pol, Bripka Budi tersinggung. Apa kau bilang? Tambah gugup Gimpul. Saya pak polisi. ulangnya. Anda berdua, saudara Gimpul bersama-sama dengan saudari Salehak, yang ternyata bukan suami isteri, telah berkomplot mencuri uang seseorang bernama pak Kampun sebanyak seratus lima puluh juta. Sebagai seorang menantu saudara telah bertindak tak bermoral dan itu sesuai dengan nama palsu anda Santiago Amoral, karena telah minggat membawa mertua, meninggalkan isteri yang hamil dan menghamili adik ipar sendiri. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatan binatang itu, terpaksa anda harus menginap di sini, sambil menunggu anda akan saya paketkan ke kampung halaman untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan anda. Pucat pias Gimpul menggapai puncak ketakutannya. Bibirnya bergetar seiring dengan tangannya yang juga gemetar. Basah tidak tercegah mengalir membasahi celananya, baunya amat pesing dan tentu saja menyebabkan bripka Budi Setyo Pramono marah bukan kepalang, dengan ketakutan yang luar biasa, Gimpul terpaksa mengepel lantai itu. Pucat pias pula Salehak menghadapi perkembangan yang tidak terduga itu. Sele-hak menyesal setengah mati, menyesal mengapa sampai tergoda oleh bujuk rayu Gimpul. Salehak hanya bisa melolong ketika seorang polisi kemudian memerintahkannya masuk ke dalam sel khusus wanita. Secara pribadi, bripka Budi Setyo Pramono paling benci dengan tindakan kejahatan yang

berhubungan dengan pelecehan seksual, pemerkosaan dan pelacuran. Melihat wajah Gimpul, Bripka Budi Setyo Pramono seolah membayangkan adiknya sendiri yang mendapat perlakuan tidak bermoral itu, membayangkan seolah adiknya dilecehkan, dinodai, dihamili dan ditinggalkan begitu saja. Itulah sebabnya Bripka Budi Setyo Pramono menggelandang Gimpul, menempatkannya ke dalam sebuah sel, yang dihuni tahanan khusus. Tahanan itu bertubuh tinggi dan gempal seperti Mike Tyson, dengan hiasan tatto di sekujur tubuhnya. Di kalangan para penjahat ia mendapat julukan, si Robot Gedek dari Cakung. Kejahatan yang dilakukannya adalah melakukan sodomi terhadap anak-anak kecil. Bripka Budi Setyo Pramono tidak peduli ketika sejenak kemudian dari arah sel itu terdengar jeritan yang menyayat, sebuah pembalasan yang puitis untuk semua perbuatan yang dilakukan Gimpul. Itulah untuk pertama kalinya Gimpul mengenal kosa kata yang asing baginya, sodomi. Di kantin, Bripka Budi Setyo Pramono yang telah bekerja keras memesan sotomi.

Banyuwangi, 24-02-2000

GLOSARIUM

Berikut ini terjemahan kata-kata yang berasal dari bahasa pendukung, kosa kata berbahasa Jawa dan Osing ditulis menggunakan ejaan yang berlaku dalam bahasa Jawa.

A Abang-abang lambe, Jawa, manis di bibir Abuh, Jawa, bengkak Adol bagus, Jawa, mengandalkan wajah tampan Aja payu rabi sira, muga byain pilih-pilih tebu, sing entuk pucuke, entuka bongkote, Osing, jangan laku kawin kau, semoga pilih-pilih tebu, tidak mendapat pucuknya, mendapat pangkalnya. Asu, Jawa, anjing

B Babon, Jawa, ayam betina Batur, Jawa, pembantu rumah tangga Bediding, Jawa, musim dingin Bedinde, Belanda, pembantu rumah tangga Begal, Jawa, perampok Bendo, Jawa, semacam pedang Bengkak, Osing, tidak punya malu Bengep, Jawa, babak belur

Bengkerengan, Jawa, bertengkar Berkat, Jawa, suguhan makanan dalam kenduri yang dipersilahkan untuk dibawa pulang. Bothok, Jawa, masakan jawa berbahan baku kelapa muda dan Lamtoro Brangasan, Jawa, berangasan, kasar Brantaningtyas ingsun, Jawa halus, hasrat hatiku Butrowali, Jawa, bahan jamu yang rasanya sangat pahit

C Cagak, Jawa, tiang saka Caluk osing, Osing, sejenis pedang dengan ujung melengkung Cedhut cenut, Jawa, pusing menahan syahwat Cengar-cengir, Jawa, senyum-senyum Cengoh, Osing, bodoh Cep klakep, Jawa, serentak terbungkam mulutnya Cethek, Jawa, dangkal Cincing-cincing klebus, Jawa, terlanjur basah Cluthak, Jawa, makan apapun mau Cupang, Jawa, bekas ciuman (gigitan) di leher atau dada

D Deksura, Jawa, durhaka Digepleng, Jawa, ditipiskan

Dhemen, Osing, suka, cinta Dhemenan, Osing, bercinta Digadhang-gadhang, Jawa, diharapkan Digremeti, Jawa, dirayapi, dirambati Dijejaki, Jawa, ditendang Dijereng-jereng ngalor ngidu, Jawa, diatur sedemikian rupa Dijotosi, Jawa, dipukuli Dikupluki, Jawa, dibohongi, dibodohi Dilela-lela, Jawa, dininabobokkan Dingklik, Jawa, kursi Ditonyo, Jawa, dipukuli Dokoh lekoh, Jawa, lahap sekali Dubang, Jawa, ludah merah karena makan sirih, singkatan dari idu abang Duwite ilang, Jawa, uangnya lenyap

E Emban, Jawa, istilah pembantu dalam keraton, abdi dalem Istana Emban cindhe emban siladan, Jawa, pilih kasih Endhas, Jawa, kepala Enjet, Jawa, kapur, salah satu bumbu pelengkap makan sirih

G Gambir, Jawa, salah satu bumbu pelengkap makan sirih

Gandrung, Osing, jenis kesenian mirip tayup di Banyuwangi Gaplek pringkilan, wis tuwek pethakilan, Jawa, sudah tua tidak tahu diri Gatelen, Jawa, kebelet birahi Geblak, Jawa, peringatan hari meninggalnya seseorang Gedek, Jawa, dinding anyaman bambu Gembung, Jawa, tubuh tanpa kepala Gendeng, Jawa, gila Gerigis, udyan gerigis, geluduke jepretan, aja sira nangis, sedela maning, arep panenan. Osing, gerimis, hujan gerimis, petirnya bersahutan, jangan kau menangis, sebentar lagi akan panen. Ghirah, Madura, Harga diri Glagepan, Jawa, gugup Glegeken, Jawa, bersendawa Glendam-glendem, Jawa, tidak ada potongan Gronjalan, Jawa, tidak rata, berdegup kencang Grusa-grusu, Jawa, tergesa

H Hadrah Kuntulan, Osing, kesenian rebana yang amat enerjik I Ing mangsa ketiga, Jawa, di musim kemarau J Jancuk, Jawa, umpatan

Jangan tempe, Jawa, sayur tempe Jangan terong, Jawa, sayur terong Jeding, Jawa, kamar mandi Jeleh, Jawa, bosan Jirih wedi getih, Jawa, penakut

K Kadang, Jawa, famili Kancilen, Jawa, tidak bisa tidur, insomnia Kasinen, Jawa, kenyang makan asam garam isi dunia Kebangeten, Jawa, keterlaluan Keblinger, Jawa, keterlaluan, amat salah arah Kecoh, Jawa, meludah Kedanan, Jawa, tergila-gila Keladuk kebat kliwat, Jawa, kelewatan, keterlaluan Kemelun, Jawa kuna, berasap Kempong perot jambul wanen, Jawa, sudah tua rambutnya penuh uban Kepanggonan, Jawa, ketempatan Kapedhotan sih, Jawa, terputus hubungan kasih sayang Kepenak, Jawa, enak, nyaman Keplek, Jawa, main kartu Kere munggah bale, Jawa, gelandangan naik ke tempat tidur Kesambet, Jawa, kesurupan, in trance

Kesengsem, Jawa, kasmaran Kesrakat, Jawa, menderita Kesrimpet, Jawa, tersendat, tersandung, terjerat Kinang, Jawa, Osing, makan sirih Kinyis-kinyis, Jawa, masih baru, luar biasa Kipa-kipa, Jawa, (berharap) jangan sampai terjadi, jijik, tidak mau Kleleran, Jawa, telantar Klenger, Jawa, mabuk berat, kehilangan tenaga Klentik, Jawa, minyak kelapa Klesak-klesik, Jawa, rumor, isu Kluncing -1, Osing, alat musik berupa besi sebesar jari tangan panjangnya kurang lebih 70 cm dibentuk segitiga. Kluncing - 2, Osing, penabuh alat musik kluncing Kowe, Jawa, kamu Kranjingan, Jawa, keterlaluan, kurang ajar Krenggosan, Jawa, tersengal Kucing cluthak, Jawa, kucing yang doyan apapun Kukul, Jawa, jerawat Kunyuk, Jawa, monyet Kulonuwun, Jawa, permisi Kuwalat, Jawa, kutukan, terkutuk

Langgeng, Jawa, abadi Layon, Jawa, mayat Lonthe, Jawa, pelacur, binatang pemakan daun pisang Lonthe lanang, Jawa, gigolo Lumah dan murep, Jawa, bolak-balik Lumuh, Jawa, pemalas Lungka, Jawa, bongkahan tanah

M Malang kerik, Jawa, bertolak pinggang Malik ilat, Jawa, memutar lidah Mandi, Jawa, mujarab Manukmu, Jawa, burungmu Mbabati, Jawa, menebang Mbarep, Jawa, anak pertama Mbecek, Osing, mendatangi kondangan Mbegal, Jawa, merampok Mbendul, Jawa, bengkak Mbesengut, Jawa, merengut Mbobot, Jawa, hamil Mbrakoti, Jawa, memakan/mengerikiti Melekan, Jawa, begadang Memeti, Jawa, birahi, akan bertelor

Mencureng, Jawa, wajah suram Mendem, Jawa, mabuk, keracunan Merem melek, Jawa, membuka menutup mata Methingkring, Jawa, menaiki, memanjat Mikir dalan padang, Jawa, memikirkan akherat Mingkema cangkemmu, Jawa, tutup mulutmu Misuh, Jawa, mengumpat Mletik, Jawa, muncul (gagasan) Mlongo, Jawa, mulutnya terbuka lebar, ternganga Modar, Jawa, mati, mampus Mrengut, Jawa, suram Mrinding, Jawa, bangun semua bulu kuduk Mrucut, Jawa, terlepas Mrucut saka embanan, Jawa, lepas dari harapan, meleset Mundhut, Jawa, mengambil, memanggil

N Nanahen, Jawa, bernanah Ndara putri, Jawa, tuan putri Ndeprok, Jawa, terduduk Ndremimil, Jawa, mengoceh Ndugal, Jawa, nakal sekali Nebas, Jawa, memborong (biasanya berhubungan dengan tengkulak)

Nelangsa, Jawa, sedih Neng-nengan, Jawa, saling mendiamkan Ngaca, Jawa, berkaca Ngaca raimu, Jawa, berkacalah wajahmu Ngajeni wong tuwa, Jawa, menghormati orang tua Nganeh-anehi, Jawa, tidak seperti biasanya Ngangsi, Jawa, sampai Ngayani wong wedok, Jawa, menafkahi perempuan Ngayomi, Jawa, melindungi Ngedan, Jawa, sengaja gila Ngedhur, Jawa, tidak bangun-bangun Ngedum, Jawa, membagi Ngemban, Jawa, menggendong Ngenes, Jawa, menyedihkan Ngentup, Jawa, menyengat Ngeplek kartu, Jawa, membanting kartu, berjudi Ngeret, Jawa, memoroti Ngersaaken menapa, Jawa, menghendaki apa Ngeyel, Jawa, ngotot Nggandoli, Jawa, mengganduli, menggayuti Nggebros, Jawa, menyemburkan (api) Nggegirisi, Jawa, mengerikan Nggenjot, Jawa, menekan, mengayuh

Nggilani, Jawa, menjijikkan Nggloso, Jawa, duduk dalam keadaan lemas Nggregetke, sing rumangsa dadi lanang mbingungi, Jawa, menggemaskan, yang merasa sebagai laki-laki kebingungan Nggratil, Jawa, usil Nggregeli, Jawa, gemetar Ngingu, Jawa, memelihara Nglabuhi, Jawa, membela mati-matian Ngladeni, Jawa, melayani Nglulu, Jawa, memanjakan Ngompori, Jawa, memanas-manasi, memprovokasi Ngrasani, Jawa, membicarakan, ngerumpi Ngrusak pager ayu, Jawa, merusak kehormatan Ngrikiti, Jawa, memakan sedikit demi sedikit Ngrimuk, Jawa, membujuk Ngrusuhi, Jawa, mengganggu Ngukur gatel neng silit, Jawa, menggaruk gatal di dubur Nguping, Jawa, mencuri dengar Nguripi, Jawa, menghidupi Nimbali kula, Jawa, memanggil saya Njaluk rabi, Jawa, minta kawin Njengat, Jawa, mencuat ke atas, kaku Njlemet, Jawa, rumit

Njondil, Jawa, kaget Njondil senjondil-njondilnya, Jawa, amat kaget Njotos, Jawa, memukul Nuthuli, Jawa, sedang makan (untuk ayam ayam atau burung) Nuwun Sewu, Jawa, permisi Nyambi, Jawa, kerja sambilan Nylathu, Jawa, mendamprat, memarahi Nyekar, Jawa, ke kuburan menabur bunga Nyembadani, Jawa, melindungi dan selalu memenuhi Nyleneh, Jawa, aneh, tidak wajar

O Ora dulur-duluran, Jawa, tidak usah bersaudara Osing, Osing, nama salah satu suku asli di Banyuwangi.

P Paju Gandrung, Osing, pengibing, atau penonton yang ikut menari gandrung Paklik, Jawa, paman Panggraita, Jawa, indera perasaan, menduga Paran tutuhan, Jawa, kambing hitam, orang yang dicurigai Pasrah bongkokan, Jawa, berserah diri, apapun yang akan dialami tidak akan mengelak Patri kemasan, Jawa, perajin perhiasan

Penthelengan, Jawa, saling melotot Playonan, Jawa, berlarian Pothol ndhas, Jawa, terpotong leher Pracangan, Jawa, warung kecil Pringisan, Jawa, menyeringai menahan sakit, meringis

R Ragil, Jawa, anak bungsu Rai gedek, Jawa, tidak tahu malu, berwajah seperti dinding Ra nggenah, Jawa, ngawur, tidak keruan Rawe-rawe rantas, malang-malang putung, Jawa, apapun yang menghadang akan disingkirkan. Resik-resik, Jawa, membersihkan, berbenah

S Saget, Jawa, bisa Sampun, Jawa, sudah Sanak, Jawa, saudara Sareh, Jawa, sabar Saru, Jawa, tidak pantas, tidak sopan Selak, Jawa, ingkar Sembada, Jawa, bertanggung-jawab Serimbit, Jawa, sekalian, bersama isteri atau pasangan

Silit, Jawa, dubur Slonjor, Jawa, dalam posisi duduk meluruskan kaki Sluku sluku bathok, bathoke ela elo, Jawa, tembang Jawa Sodomi, Inggris, hubungan seks melalui dubur Sowan, Jawa, menghadap Srengenge, Jawa, matahari Sulap, Jawa, silau Sumringah, Jawa, menarik hati Susur, Jawa, tembakau pelengkap orang makan sirih

T Tak bacok kowe, Jawa, kusabet pedang kau Thukmis, Jawa, dengan siapapun mau, singkatan dari asal bathuk klimis Tirakatan, Jawa, berprihatin Toh pati, Jawa, beradu nyawa Trocoh, Jawa, genting bocor Tulup, Jawa, sejenis anak panah Tumplek blek, Jawa, tumpah ruah U Udut klepas klepus, Jawa, merokok tanpa henti

Ulem, Jawa, undangan Undo, Inggris/istilah komputer, menanggalkan Usrek, Jawa, ribut Usuk, Jawa, kayu-kayu tumpuan genting Usung-usung, Jawa, mengusung bolak-balik

W Wanci kinangan, Osing, wadah bumbu-bumbu makan sirih Wagu, Jawa, janggal, tidak pada tempatnya Warek, Jawa, kenyang Waringuten, Jawa, lupa diri, tidak ingat apapun Wereng, Jawa, hama tanaman, pelacur Wis mati pasaranne, Jawa, tidak laku Wis tuwa ra nyebut, Jawa, sudah tua tidak tahu diri Wong edan, Jawa, orang gila Wudel, Jawa, pusar

Anda mungkin juga menyukai