Anda di halaman 1dari 13

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan

sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. al-Baqarah[2]: 267). Arti ayat di atas menjelaskan bahwa sebagian dari hasil usaha (harta) yang kita peroleh melalui pekerjaan-pekerjaan kita wajib kita nafkahkan (keluarkan zakatnya). Harta yang kita miliki, pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Allah-lah yang kemudian melimpahkan amanah kepada para pemilik harta, agar dari harta itu dikeluarkan zakatnya. Dengan demikian, harta dalam pandangan Islam adalah amanah Allah SWT. Di sinilah sikap amanah harus dipupuk, sebab seorang muslim dituntut menyampaikan amanah kepada ahlinya. Di dalam khazanah hukum Islam barang-barang yang wajib dikeluarkan zakatnya terbagi dua. Yaitu yang sudah terdapat kesepakatan ulama ( ijma) dan yang masih diperselisihkan (ikhtilaf). Yang pertama adalah barang-barang yang dijelaskan secara eksplisit di dalam teks hadits, seperti zakat pertanian, peternakan, emas dan perak, perdagangan dan harta temuan ( rikaz). Barang-barang itu sudah dijelaskan secara rinci, baik mengenai kadar nishab-nya maupun kadar zakatnya. Sedangkan yang kedua adalah yang tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam teks, yang merupakan perkembangan masyarakat, seperti zakat profesi dan jenis-jenis usaha baru yang menjanjikan[2]. Bagian yang kedua ini adalah merupakan wilayah ijtihad, sehingga wajar jika terjadi perbedaan di antara ulama. Untuk bagian yang kedua ini pada umumnya ulama mengambil dalil keumuman petunjuk Surat al Baqarah (2): 267 sebagaimana disebutkan diatas. Makalah ini akan mencermati bentuk yang kedua, yaitu barang yang masih diperselisih kan oleh ulama mengenai kewajiban zakatnya, khususnya zakat profesi. Sebagai salah satu rukun Islam, zakat mempunyai kedudukan yang sangat agung. Di samping sebagai bentuk ibadah kepada Allah, zakat merupakan sarana pemerataan ekonomi umat Islam, pengikat kasih sayang antara orang kaya dan fakir miskin, dan juga membantu terciptanya kemaslahatan umat Islam. Hal ini tercermin dalam aturan aturan zakat dan pengalokasiannya. Sudah sepatutnya bagi setiap muslim untuk mengetahui dan memahami permasalahan zakat. Sebab, masih ada sebagian umat Islam yang kurang memahami tentang hukum zakat dan permasalahan yang terkait dengannya. Hal ini tentu akan berpengaruh dalam praktek dan pelaksanaannya. Potensi zakat di Indonesia, berdasarkan hasil survey PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) mengatakan potensi dana zakat di Indonesia, yang populasinya sekitar 87 persen muslim, sangat besar hingga mencapai 9,09 triliun rupiah pada 2007. Potensi ini meningkat 4,64 triliun dibanding tahun 2004 yang potensinya hanya sebesar 4,45 triliun. Berbeda dengan PIRAC, Alfath mengatakan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 20 triliun per tahun. Namun dari jumlah itu, yang tergali baru Rp 500 miliar per tahun (berdasarkan asumsi tahun 2006). Sementara itu, untuk menumbuhkan dan menggalakkan kesadaran zakat di Indonesia, telah banyak terbit Peraturan Daerah (PERDA) Zakat di beberapa daerah Provinsi/Kabupaten/Kota. Tentunya hal ini adalah salah satu upaya mengoptimalkan pemungutan serta pendayagunaan zakat. Keberadaan Undang-undang No. 38 Thn

1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No. 32 Thn 2004 tentang Otonomi daerah cukup menyulutkan kehadiran PERDA ini di beberapa daerah. Menurut Institut Manajemen zakat (IMZ) sedikitnya ada 24 daerah yang telah memiliki PERDA Zakat[3]. Kita bisa menyebut contoh , seperti di Lombok Timur, Kutai Kartanegara Kalimantan Timur, Tangerang, dan Cilegon. Hal ini merupakan keberhasilan yang harus diapresiasi mengingat kesadaran berzakat di Indonesia masih sangat rendah. 1. Pengertian Zakat Profesi Zakat profesi dikenal dengan istilah zakah rawatib al-muwazhaffin (zakat gaji pegawai) atau zakah kasb al-amal wa al-mihan al-hurrah (zakat hasil pekerjaan dan profesi swasta)[4]. Zakat profesi didefinisikan sebagai zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang atau lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab.[5] Zakat profesi merupakan perkembangan kontemporer, yaitu disebabkan adanya profesi-profesi modern yang sangat mudah menghasilkan uang. Misalnya profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek, dan sebagainya. Kenyataan membuktikan bahwa pada akhir-akhir ini banyak orang yang karena profesinya, dalam waktu yang relatif singkat, dapat menghasilkan uang yang begitu banyak. Kalau persoalan ini dikaitkan dengan pelaksanaan zakat yang berjalan di masyarakat maka terlihat adanya kesenjangan atau ketidakadilan antara petani yang memiliki penghasilan kecil dan mencurahkan tenaga yang banyak dengan para profesional misalnya dokter, akuntan, konsultan, notaris, dan insinyur yang hanya dalam waktu relatif pendek memiliki hasil yang cukup besar tanpa harus mencurahkan tenaga yang banyak. Adapun pekerjaan atau keahlian profesional tersebut bisa dalam bentuk usaha fisik, seperti pegawai atau buruh, usaha pikiran dan ketrampilan seperti konsultan, insinyur, notaris dan dokter, usaha kedudukan seperti komisi dan tunjangan jabatan, dan usaha lain seperti investasi. Hasil usaha profesi juga bisa bervariasi, misalnya hasil yang teratur dan pasti setiap bulan, minggu atau hari seperti upah pekerja dan pegawai atau hasil yang tidak tetap dan tidak dapat diperkirakan secara pasti, seperti kontraktor dan royalti pengarang. C. Pendapat Ulama tentang Zakat Profesi Ulama berbeda pendapat mengenai hukum zakat penghasilan atau profesi. Mayoritas ulama madzhab empat tidak mewajibkan zakat penghasilan pada saat menerima kecuali sudah mencapainishab dan sudah sampai setahun (haul), namun para ulama mutaakhirin seperti Yusuf Al Qaradhawi dan Wahbah Az-Zuhaili, menegaskan bahwa zakat penghasilan itu hukumnya wajib pada saat memperolehnya, meskipun belum mencapai satu tahun[6]. Hal ini mengacu pada pendapat sebagian sahabat yaitu Ibnu Abbas, Ibnu Masud dan Muawiyah, Tabiin Az-Zuhri, Al-Hasan Al-Bashri, dan Makhul juga pendapat Umar bin Abdul Aziz dan beberapa ulama fiqh lainnya[7]. Adapun kewajiban zakatnya adalah 2,5%, berdasarkan keumuman nas yang mewajibkan zakat uang, baik sudah mencapai satu haul atau ketika menerimanya. Jika sudah dikeluarkan zakatnya pada saat menerimanya, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat

lagi pada akhir tahun. [8] Dengan demikian ada kesamaan antara pegawai yang menerima gaji secara rutin dengan petani yang wajib mengeluarkan zakat pada saat panen, tanpa ada perhitungan haul. Menurut al-Qaradhawi nishab zakat profesi senilai 85 gram emas dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5%. Landasan fikih (at-takyif al-fiqhi) zakat profesi ini menurut Al-Qaradhawi adalah perbuatan sahabat yang mengeluarkan zakat untuk al-maal al-mustafaad (harta perolehan). Al-maal almustafaad adalah setiap harta baru yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerjaan, dan yang semisalnya. Al-Qaradhawi mengambil pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Masud) dan sebagian tabiin (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan Makhul) yang mengeluarkan zakat dari al-maal al-mustafaad pada saat menerimanya, tanpa mensyaratkan haul (dimiliki selama satu tahun qamariyah). Bahkan al-Qaradhawi melemahkan hadis yang mewajibkan haul bagi harta zakat, yaitu hadis Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Nabi SAW bersabdaTidak ada zakat pada harta hingga berlalu atasnya haul. (HR Abu Dawud).[9] D. Cara Mengeluarkan Zakat Profesi Jika kita mengikuti pendapat ulama yang mewajibkan zakat penghasilan, lalu bagaimana cara mengeluarkannya? Dikeluarkan penghasilan kotor (bruto) atau penghasilan bersih (neto)? Ada tiga wacana tentang bruto atau neto seperti berikut ini. Dalam buku Fiqh Zakat karya DR Yusuf Qaradlawi. bab zakat profesi dan penghasilan, dijelaskan tentang cara mengeluarkan zakat penghasilan. Kalau kita klasifikasi ada tiga wacana: 1. Pengeluaran bruto, yaitu mengeluarkan zakat penghasilan kotor. Artinya, zakat penghasilan yang mencapai nishab 85 gr emas dalam jumlah setahun, dikeluarkan 2,5 % langsung ketika menerima sebelum dikurangi apapun. Jadi kalau dapat gaji atau honor dan penghasilan lainnya dalam sebulan mencapai 2 juta rupiah x 12 bulan = 24 juta, berarti dikeluarkan langsung 2,5 dari 2 juta tiap bulan = 50 ribu atau dibayar di akhir tahun = 600 ribu. Hal ini juga berdasarkan pendapat Az-Zuhri dan Auzai, beliau menjelaskan: Bila seorang memperoleh penghasilan dan ingin membelanjakannya sebelum bulan wajib zakat datang, maka hendaknya ia segera mengeluarkan zakat itu terlebih dahulu dari membelanjakannya (Ibnu Abi Syaibah, Al-mushannif, 4/30). Dan juga menqiyaskan dengan beberapa harta zakat yang langsung dikeluarkan tanpa dikurangi apapun, seperti zakat ternak, emas perak, madzan dan rikaz. 2. Dipotong oprasional kerja, yaitu setelah menerima penghasilan gaji atau honor yang mencapai nishab, maka dipotong dahulu dengan biaya oprasional kerja. Contohnya, seorang yang mendapat gaji 2 juta rupiah sebulan, dikurangi biaya transport dan konsumsi harian di tempat kerja sebanyak 500 ribu, sisanya 1.500.000. maka zakatnya dikeluarkan 2,5 dari 1.500.000= 37.500,Hal ini dianalogikan dengan zakat hasil bumi dan kurma serta sejenisnya. Bahwa biaya dikeluarkan lebih dahulu baru zakat dikeluarkan dari sisanya. Itu adalah pendapat Imam Atho dan lain-lain. Dari zakat hasil bumi ada perbedaan prosentase zakat antara yang diairi dengan hujan yaitu 10% dan melalui irigasi 5%.

3. Pengeluaran neto atau zakat bersih, yaitu mengeluarkan zakat dari harta yang masih mencapai nishab setelah dikurangi untuk kebutuhan pokok sehari-hari, baik pangan, papan, hutang dan kebutuhan pokok lainnya untuk keperluan dirinya, keluarga dan yang menjadi tanggungannya. Jika penghasilan setelah dikurangi kebutuhan pokok masih mencapai nisab, maka wajib zakat, akan tetapi kalau tidak mencapai nisab tidak wajib zakat, karena dia bukan termasuk muzakki (orang yang wajib zakat) bahkan menjadi mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) karena sudah menjadi miskin dengan tidak cukupnya penghasilan terhadap kebutuhan pokok sehari-hari. Hal ini berdasarkan hadits riwayat imam Al-Bukhari dari Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah SAW bersabda: . dan paling baiknya zakat itu dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan.[10] Kesimpulan, seorang yang mendapatkan penghasilan halal dan mencapai nishab (85 gr emas) wajib mengeluarkan zakat 2,5 %, boleh dikeluarkan setiap bulan atau di akhir tahun. Sebaiknya zakat dikeluarkan dari penghasilan kotor sebelum dikurangi kebutuhan yang lain. Ini lebih afdlal (utama) karena khawatir ada harta yang wajib zakat tapi tidak dizakati, tentu akan mendapatkan adzab Allah baik di dunia dan di akhirat. Juga penjelasan Ibnu Rusd bahwa zakat itu tabbudi (pengabdian kepada Allah SWT) bukan hanya sekedar hak mustahiq.[11] Tapi ada juga sebagian pendapat ulama membolehkan sebelum dikeluarkan zakat dikurangi dahulu biaya oprasional kerja atau kebutuhan pokok sehari-hari. 1. E. Pendapat Lembaga Ulama Indonesia tentang Zakat Profesi Di Indonesia, ada beberapa lembaga keulamaan yang mempunyai kewenangan dan kemampuan untuk mengeluarkan fatwa tentang persoalan kontemporer yang dihadapi umat Islam, diantaranya yang pernah mengemuka adalah tentang zakat profesi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa No.3 Tahun 2003, menegaskan bahwa semua bentuk penghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram. Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan penghasilan adalah adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. Adapun dasar hukum yang dijadikan alasan menetapkan hukum tersebut adalah: Hai orang yang beriman! Nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu (QS. alBaqarah[2]: 267). Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka (QS. al-Taubah [9]:103). Hadits-hadits Nabi SAW antara lain: Diriwayatkan secara marfu hadits ibn Umar, dari Nabi Saw, beliau bersabda: Tidak ada zakat pada harta sampai berputar satu tahun .

Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw. bersabda: Tidak ada zakat atas orang muslim terhadap hamba sahaya dan kudanya. (HR. Muslim). Imam Nawawi berkata: Hadis ini adalah dalil bahwa harta qinayah (harta yang digunakan untuk keperluan pemakaian, bukan untuk dikembangkan) tidak dikenakan zakat. Dari Hakim bin Hizam r.a., dari Nabi Saw beliau bersabda: Tangan atas lebih baik daripada tangan bawah. Mulailah (dalam membelanjakan harta) dengan orang yang menjadi tanggung jawabmu. Sedekah paling baik adalah yang dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan. Barangsiapa berusaha menjaga diri (dari keburukan), Allah akan menjaganya. Barangsiapa berusaha mecukupi diri, Allah akan memberinya kecukupan (HR. Bukhari).

Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda: Sedekah hanyalah dikeluarkan dari kelebihan/ kebutuhan.Tangan atas lebih baik daripada tangan bawah. Mulailah (dalam membelanjakan harta) dengan orang yang menjadi tanggung jawabmu(HR. Ahmad). Sedangkan Dewan Syariah PKS dengan dalil dan argumen sebagaimana disebutkan di dalam Fatwa Dewan Syariah Pusat Partai Keadilan Sejahtera Nomor 03/F/K/DSPKS/1427 sebagai berikut : 1. Perintah untuk mengeluarkan infaq dari kasab yang dikaruniakan oleh Allah kepada manusia sebagaimana Allah berfirman QS. Al Baqarah : 267: 2. Peringatan Allah terhadap orang yang menumpuk emas dan perak dan tidak membelanjakannya di jalan Allah. Allah berfirman : dan orang -orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (QS. At Taubah : 34). 3. Hadits tentang orang yang wajib dipungut zakatnya: Rasulullah saw bersabda kepada Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman : Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab. Jika kamu datang kepada mereka, maka ajaklah mereka untuk mengucapkan syahadatain. Jika mereka taat kepadamu, sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka sholat lima waktu sehari semalam. Jika mereka menuruti perintahmu, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan ke atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir di kalangan mereka. Jika mereka menuruti perintahmu, maka hati-hatilah kamu dari harta mereka yang berharga, dan hindarkanlah doa dari orang yang terdzalimi, karena tidak ada hijab antara dia dengan Allah. (HR Bukhari) 3. Prinsip keadilan dalam Islam. Sungguh dirasakan tidak adil dan bertentangan dengan prinsip keadilan Islam bila petani dan pedagang kecil yang penghasilannya kecil diwajibkan membayar zakat, sementara seorang eksekutif, konsultan, dan profesional lain yang gajinya dapat mencapai puluhan juta tidak diwajibkan membayar zakat.

Berdasarkan dalil-dalil diatas disimpulkan bahwa : 1. zakat profesi hukumnya wajib berdasarkan keumuman ayat 267 surat al Baqarah. 2. zakat profesi memiliki kemiripan dengan zakat pertanian dari aspek waktu penerimaan gaji dan dengan naqdain (emas dan perak) dari aspek harta yang diterima. 3. Nishab zakat pertanian adalah 5 wasaq yaitu setara dengan 652, 8 kg beras atau senilai Rp 3.265.000 (dengan standar harga beras Rp.5000/kg). 4. Nishab naqdain adalah 20 dinar setara dengan 85 gr atau senilai Rp 17.000.000 (dengan standar harga emas Rp 200.000/gr) 5. Untuk menentukan nishab dan miqdar zakat profesi ditetapkan berdasarkan qiyas. f. terdapat pilihan qiyas di antara 3 (tiga) jenis qiyas, yaitu: qiyas llah, qiyas dilalah dan qiyas syabah. 6. Qiyas llah tidak dapat diterapkan karena llah zakat profesi tidak dinyatakan dengan nash. 7. Memilih qiyas dilalah relatif lebih mudah dipahami dibanding dengan qiyas syabah tetapi qiyas syabah pun diakui sebagai rujukan dalam istinbath di kalangan ulama ada yang menggunakan qiyas sabah.. Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah zakat profesi adalah wajib. Dasar hukum yang digunakan adalah keumuman ayat 267 surat al-Baqarah. Dalam surat al-Baqarah ayat 267 di atas merupakan bentuk kata perintah ( amr), sehingga kata tersebut berfaedah wajib. Selanjutnya mengandung hukum kully yang mencakup semua hasil usaha manusia termasuk profesi di dalamnya. Sedangkan menurut Dewan Hisbah Persis hukum zakat profesi adalah tidak wajib dan hanya memutuskan bahwa harta yang tidak terkena kewajiban zakat termasuk hasil profesi, dikenai kewajiban infaq yang besarannya tergantung kebutuhan Islam terhadap harta tersebut. Pimpinan jamiyyah bisa menetapkan besarnya infaq. Semoga dengan zakat, harta menjadi bersih, berkemabang, berkah, bermanfaat dan meneyelamatkan pemiliknya dari siksa Allah SWT. Amiin ya mujibas sa`ilin.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, profesi merupakan bentuk usaha-usaha yang relatif baru yang tidak dikenal pada masa pensyari^atan dan penetapan hukum Islam. Karena itu, sangat wajar bila kita tidak menjumpai ketentuan hukumnya secara jelas (tersurat) baik dalam al-Quran maupun dalam al-Sunnah. Menurut ilmu ushul fiqh (metodologi hukum Islam), untuk menyelesaikan kasus-kasus yang tidak diatur oleh nash (al-Quran dan al-Sunnah) secara jelas ini, dapat diselesaikan dengan jalan mengembalikan persoalan tersebut kepada al-Quran dan sunnah itu sendiri. Pengembalian kepada dua sumber hukum itu dapat dilakukan dengan dua cara, yakni dengan perluasan makna lafaz dan dengan jalan qias (analogi). Khusus mengenai zakat profesi ini dapat ditetapkan hukumnya berdasarkan Perluasan cakupan makna lafaz yang terdapat dalam Firman Allah, Q.S. 2; 267, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang telah Kami keluarkan dari bumi untuk kamu (apa saja yang kamu usahakan) dalam ayat di atas pada dasarnya bersifat umum, namun ulama kemudian membatasi pengertiannya terhadap beberapa jenis usaha atau harta yang wajib dizakatkan, yakni harta perdagangan, emas dan perak, hasil pertanian dan peternakan. Pengkhususan terhadap beberapa bentuk usaha dan harta ini tentu saja membatasi cakupan lafaz umum pada ayat tersebut sehingga tidak mencapai selain yang disebutkan tersebut. Untuk menetapkan hukum zakat profesi, lafaz umum tersebut mestilah dikembalikan kepada keumumannya sehingga cakupannya meluas meliputi segala usaha yang halal yang menghasilkan uang atau kekayaan bagi setiap muslim. Dengan demikian zakat profesi dapat ditetapkan hukumnya wajib berdasarkan keumuman ayat di atas. Dasar hukum kedua mengenai zakat profesi ini adalah qias atau menyamakan zakat proesi dengan zakat-zakat yang lain seperti zakat hasil pertanian dan zakat emas dan perak. Allah telah mewajibkan untuk mengeluarkan zakat dari hasil pertaniannya bila mencapai nishab 5 wasaq (750 kg beras) sejumlah 5 atau 10 %. Logikanya bila untuk hasil pertanian saja sudah wajib zakat, tentu untuk profesi-profesi tertentu yang menghasilkan uang jauh melebihi pendapatan petani, juga wajib dikeluarkan zakatnya. Di samping qias kepada pertanian, secara khusus juga dapat dikiaskan terhadap sewaan. Yusuf al-Qardhawi mengemukakan bahwa ulama kontemporer, seperti A. Rahman Hasan, Abu Zahrah, abdul Wahab Khalaf, menemukan adanya persamaan dari zakat profesi dengan zakat penyewaan yang dibicarakan Imam Ahmad Ibn Hanbal. Ahmad diketahui berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan sewa yang cukup banyak. Orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerima sewa tersebut. Menurut Qardawi, persamaan antara keduanya adalah dari segi kekayaan penghasilan, yaitu kekayaan yang diperoleh seorang muslim melalui bentuk usaha yang menghasilkan kekayaan. Karena profesi merupakan bentuk usaha yang menghasilkan kekayaan, sama dengan menyewakan sesuatu, wajib pula zakatnya sebagaimana wajibnya zakat hasil sewaan tersebut.

Dasar hukum yang lain adalah dengan melihat kepada tujuan disyari^atkanya zakat, seperti untuk membersihkan dan mengembangkan harta, serta menolong para mustahiq (orang-orang yang berhak menerima zakat). Juga sebagai cerminan rasa keadilan yang merupakan ciri utama ajaran Islam, yaitu kewajiban zakat pada semua penghasilan dan pendapatan. Minimal dengan tiga alasan di atas, penulis cenderung untuk mengatakan bahwa zakat profesi sama hukumnya dengan zakat-zakat bidang usaha lain, seperti perdagangan, emas dan perak, tanaman, dan binatang ternak, yaitu wajib. C. Nisab Zakat Profesi dan Cara Perhitungannya. Nisab merupakan batas minimal atau jumlah minimal harta yang dikenai kewajiban zakat. Karena zakat profesi ini tergolong baru, nisabnya pun mesti dikembalikan (dikiaskan) kepada nishab zakat-zakat yang lain, yang sudah ada ketentuan hukumnya. Ada dua kemungkinan yang dapat dikemukakan untuk ukuran nishab zakat profesi ini. 1. Disamakan dengan nishab zakat emas dan perak, yaitu dengan mengkiaskannya kepada emas dan perak sebagai standar nilai uang yang wajib dikeluarkan zakatnya, yakni 20 dinar atau 93,6 gram emas. Berdasarkan Hadis Riwayat Daud: ( Tidak ada suatu kewajiban bagimu-dari emas (yang engkau miliki)hingga mencapai jumlah 20 dinar) 2. Disamakan dengan zakat hasil pertanian yaitu 5 wasq ( sekitar 750 kg beras). Zakatnya dikeluarkan pada saat diterimanya penghasilan dari profesi tersebut sejumlah 5 atau 10 %, sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Karena profesi itu sendiri bermacam-macam bentuk, jenis dan perolehan uangnya, penulis cenderung untuk tetap memakai kedua macam standar nisab zakat tersebut dalam menentukan nishab zakat profesi, dengan perimbangan sebagai berikut. Pertama, Untuk jenis-jenis profesi berupa bayaran atas keahlian, seperti dokter spesialis, akuntan, advokat, kontraktor, arsitek, dan profesi-profesi yang sejenis dengan itu, termasuk juga pejabat tinggi negara, guru besar, dan yang sejajar dengannya, nishab zakatnya disamakan dengan zakat hasil pertanian, yakni senilai kurang lebih 750 kg beras (5 wasaq). Meskipun kelihatannya pekerjaan tersebut bukan usaha yang memakai modal, namun ia sebenarnya tetap memakai modal, yaitu untuk peralatan kerja, transportasi, sarana kominikasi seperti telephon, rekening listrik, dan lain-lain, zakatnya dikiaskan atau disamakan dengan zakat hasil pertanian yang memakai modal, yakni 5 %, dan dikeluarkan ketika menerima bayaran tersebut. Ini sama dengan zakat pertanian yang yang menggunakan biaya irigasi (bukan tadah hujan). Dengan demikian, jika harga beras 1 kg Rp. 3200, sedangkan nisab (batas minimal wajib zakat) tanaman adalah 750 kg, maka untuk penghasilan yang mencapai Rp. 3.200 x 750 = Rp. 2.400.000., wajib mengeluarkan zakatnya sebanyak 5% nya yakni Rp. 120.000.Pendapat semacam ini sesuai dengan pendapat Muhammad Ghazali, sebagaimana yang dikutip Yusuf Qardawi, bahwa dasar dan ukuran zakat penghasilan tanpa melihat modalnya, dapat disamakan dengan zakat pertanian yaitu 5 atau 10 persen. Kata Ghazali, siapa yang memiliki pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang petani, terkena kewajiban zakat. Maka gologan

profesionalis wajib mengeluarkan zakatnya sebesar zakat petani tersebut, tanpa mempertimbangkan keadaan modal dan persyaratan lainnya. Seperti ini pula yang ditetapkan oleh Kamar Dagang dan Industri kerajaan Arab Saudi, bahwa penghasilan profesi yang bukan bersifat perdagangan, dikiaskan nisab zakatnya kepada zakat hasil tanam-tanaman dan buah-buahan dengan kadar zakat ssebesar 5%. Tawaran seperti ini lebih kecil dari yang diusulkan oleh M. Amin Rais, dalam bukunya Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta. Menurutnya profesi yang mendatangkan rizki dengan gampang dan cukup melimpah, setidaknya jika dibandingkan dengan penghasilan rata-rata penduduk, sebaiknya zakatnya ditingkatkan menjadi 10 persen (?usyur) atau 20 persen (khumus). Lebih jauh Amin mempersoalkan masih layakkah, profesi-profesi moderen seperti dokter spesialis, komisaris perusahaan, bankir, konsultan, analis, broker, pemborong berbagai konstruksi, eksportir, inportir, notaris, artis, dan berbagai penjual jasa serta macam-macam profesi kantoran (white collar)lainnya, hanya mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen, dan lebih kecil dari petani kecil yang zakat penghasilannya berkisar sekitar 5 sampai 10 persen. Padahal kerja tani jelas merupakan pekerjaan yang setidak-tidaknya secara fisik. Cukupkah atau sesuaikan dengan spirit keadilan Islam jika zakat terhadap berbagai profesi moderen yang bersifat making-money tetap 2,5 persen? Layakkah presentasi sekecil itu dikenakan terhadap profesi-profesi yang pada zaman Nabi memang belum ada. Hemat penulis, pendapat Amin Rais di atas sebenarnya cukup logis dan cukup argumentatif, namun membandingkan profesi dengan rikaz (barang temuan) agaknya kurang tepat. Rikaz diperoleh dengan tanpa usaha sama sekali, sementara profesi membutuhkan usaha dan keahlian serta biaya yang kadang-kadang cukup tinggi. Karena itu penulis cenderung untuk menyamakanya dengan zakat pertanian yang memakai biaya irigasi, yakni 5 persen. Kedua, Bagi kalangan profesional yang bekerja untuk pemerintah misalnya, atau badan-badan swasta yang gajinya tidak mencapai nishab pertanian sebagaimana yang dikemukakan di atas, sebutlah guru misalnya, atau dokter yang bekerja di rumah sakit, atau orang-orang yang bekerja untuk suatu perusahaan angkutan. Zakatnya disamakan dengan zakat emas dan perak yakni 93,6 gram ( sekitar Rp. 8.424.000 , jika diperkirakan harga pergram emas sekarang 90.000,) maka nilai nishab emas adalah Rp. Rp. 8.424.000, dengan kadar zakat 2,5 %. Jika pada akhir tahun jumlah mencapai satu nisab, dikeluarkan zakatnya 2,5 persen, setelah dikeluarkan biaya pokok dari yang bersangkutan dan keluarganya. Misalnya seorang dosen golongan III/c dengan masa kerja 6 tahun yang keluarganya terdiri dari seorang isteri dan tiga orang anak, a.menerima gaji Rp. 1.500.000,b.honorium dari beberapa PTS, Rp. 500.000,Jumlah Rp. 2.000.000,dengan pengeluaran: a. Keperluan hidup pokok Rp. 500.000,b. Angsuran kredit perumahan Rp. 500.000,Jumlah Rp. 1.000.000.-

Jadi, penerimaan : Rp. 2.000.000,Pengeluaran : Rp. 1.000.000,Sisa : Rp. 1.000.000-setiap bulan; setahun = Rp. 1000.000, x 12 = 12.000.000,-, maka perhitungan zakatnya 2,5% x 12.000.000, = 480.000,Dengan perincian seperti itu, berarti ia mesti mengeluarkan zakatnya Rp.480.000 pertahun. Agar pembayaran zakat ini tidak memberatkan kepada muzakki (si wajib zakat), baik dari segi penghitungannya, maupun dari beban yang harus dikeluarkan pertahun sebagai zakat, hemat penulis lebih baik dibayarkan setiap bulan, ketika menerima gaji. Jadi si muzakki ini dapat mengeluarkan zakatnya Rp. 480.000 : 12 = Rp. 40.000 perbulan. PENUTUP Dari pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan 1. Bahwa zakat profesi itu hukumnya wajib, sama dengan zakat usaha dan penghasilan lainnya seperti pertanian, peternakan dan perdagangan. 2. Batas nisab harta kekayaan yang diperoleh dari usaha profesi dapat disamakan nisabnya dengan zakat hasil tanaman yaitu 5 wasaq (sekitar 750 kg beras), dengan kewajiban zakat 5 % atau 10 %, dan dibayarkan ketika mendapatkan perolehan imbalan atau upah dari profesi tersebut. 3. Bagi profesi-profesi yang tidak tergolong white collar seperti yang diistilahkan Amin Rais, yang penghasilannya tidak begitu besar, seperti dokter di rumah sakit, guru atau dosen yang hanya menerima gaji tetap dari instansi pemerintah tempat bekerjanya, disamakan nisabnya dengan nisab emas dan perak, yakni 93,6 gram, dengan kewajiban zakat 2,5 persen, yang dikeluarkan setiap satu tahun, dan setelah dikeluarkan biaya kebutuhan pokok. DAFTAR BACAAN Syauqi Ismail Syahhatih, Al-Thathbiq al-Ma^ashir li al-Zakat, Penerapan Zakat di Dunia Moderen,terjemahan : Ansari Umar Sitanggal, Jakarta : Pustaka Media dan Antar Kota, 1987. Ahmad Warson Al-Munawwir, Al-Munawwir Ibrahim Mustafa dkk, Mu^jam al-Wasit, Tehran : Al-Maktabah al-Ilmiyah, Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, Juz I , Beirut : Muassasah al-Risalah, 1994 Didin Hafiduddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infak, dan Sedekah, Jakarta : Gema Insani Press, 2001 M.Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung : Mizan, 1999

Zakat Profesi adalah sesuatu yang tidak ada dasarnya dalam Islam, sehingga termasuk katagori bidah. akan tetapi sebagian ulama yang menyariatkan zakat profesi ini memiliki alasan.

Berbeda dengan sumber pendapatan dari pertanian, peternakan dan perdagangan, sumber pendapatan dari profesi ini tidak banyak dikenal dimasa generasi terdahulu. oleh karena itu pembahasan mengenai tipe zakat profesi tidak dapat dijumpai dengan tingkat kedetilan yang setara dengan tipe zakat yang lainnya. namun bukan berarti pendapatan dari hasil profesi terbebas dari zakat, karena zakat pada hakekatnya adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang memiliki kelebihan harta untuk diberikan kepada golongan yang membutuhkan. Referensi dari Al-quran mengenai hal ini dapat ditemui pada surat Al-Baqarah:267 Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidakmau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah maha kaya lagi maha terpuji Waktu Pengeluaran Zakat Berikut adalah beberapa perbedaan pendapat ulama mengenai waktu pengeluaran zakat profesi: 1. Pendapat Imam As-syafii dan Imam Ahmad menyaratkan haul (sudah cukup satu tahun) terhitung dari kekayaan itu didapat. 2. Pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Ulama Modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf menyaratkan haul tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu didapat, kemudian pada masa setahun tersebut harta itu dijumlahkan dan kalau dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat. 3. Pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Umar Bin Abdul Aziz dan Ulama Modern seperti Prof. Yusuf Qardhawi tidak menyaratkan haul tetapi langsung ketika mendapatkann harta tersebut. mereka mengkiaskan pada zakat pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen. Nisab Zakat Profesi Nisab zakat pendapatan/ Profesi mengambil rujukan kepada nisab tanaman dan buh-buahan yakni sebesar 5 wasaq atau 652,8 kg gabah setara dengan 520 kg beras, hal ini berarti bila harga beras adalah Rp. 4.000/ kg maka nisab zakat profesi adalah 5204000=2.080.000. namun mesti diperhatikan karena rujukannya dalah zakatnya pertanian yang haulnya adalah panen sekali dalam setahun, maka pendapatan yang dibandingkan dengan nisab tersebut adalah pendapatan selama setahun. Kadar Zakat Pengahasilan Profesi dari segi wujudnya berupa uang, dari sini ada perbedaan denan dengan tanaman, maka dianggap lebih dekat dengan emas dan perak, oleh karena itu zakat profesi lebih cendrung dikiyaskan denganzakat emas dan perak yakni 2,5% dari seluruh penghasilan kotor, berikut hadits yang menjelaskan kadar zakat emas dan perak: Bila engkau memiliki 20 dinar emas dan sudah mencapai satu tahun, maka zakatnya setengan dinar (2,5%) (HR. Ahmad, Abu Daud dan Al-Baihaqi) Perhitungan Zakat Menurut Yusuf Qardhawi zakat profesi debedakan menjadi dua: 1. secara Langsung, zakat dihitung dari 2,5% dari penghasilan kotor, baik dibayarkan bulanan atau tahunan, metode ini lebih tepat dan adil bagi mereka yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Contoh: seorang dengan penghasilan Rp. 3.000.000/ bulan, maka wajib membayar zakat sebesar 2,5% X 3.000.000 = Rp. 75.000/ bulan atau Rp. 900.000/ tahun. 2. Setelah dipotong kebutuhan pokok, zakat dihitung 2,5% dari gaji setelah dipotong kebutuhan pokok, metode ini lebih adil diterapkan oleh mereka yang penghasilannya pas-pasan. Contoh: seseorang dengan penghasilan Rp. 1.500.000 dengan pengeluaran kebutuhan pokok Rp.

1.000.000/ bulan, maka zakat yang harus dibayar adalah: 2,5% X (1.500.000-1.000.000)=Rp. 12.500/ bulan atau Rp. 150.000/ tahun. Zakat Hadiah dan Bonus Berikut adalah jenis zakat Hadiah/ Bonus/ Komisi yang erat hubungannya dengan zakat profesi: 1. Jika hadiah tersebut terkait dengan gaji maka ketentunnya sama dengan zakat profesi yakni 2,5%. 2. Jika komisi, terdiri dari dua bentuk: Pertama, Jika komisi diperoleh dari hasil prosentase keuntungan sebuah perusahaan kepada pegawai, maka zakat yang dikeluarkan sebesar 10% (sama dengan zakat tanaman) kedua, Jika komisi dari hasil profesi seperti makelar dll. maka zakatnya digolongkan seperti zakat profesi. 3. Jika Hibah, maka terdiri atas dua kreteria, Pertama, Jika sumber hibah tidak diduga-duga sama sekali sebelumnya, maka zakatnya yang dikeluarkan sebesar 20%, Kedua, Jika sumberhibah sudah diduga dan diharap, hibah tersebut digabungkan dengan kekayaan yang ada zakat yang dikeluarkan sebesar 2,5%. TULISAN INI MILIK SAHABATKU YG SUDAH PULANG KERAHMATULLAH, DENGAN HARAPAN JIKA ADA YNG MEMANFAATKANNYA DIA MENDAPATKAN ALIRAN FAHALA, AMI

[1] Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag adalah dosen Fakultas Syariah UIN Maliki, saat ini dipercaya menjadi dekan. [2] Ibn Rusyd. Bidyat al-Mujtaahid, jilid 1 (t.t. Mustafa babi halabi, 1379 H- 1960 M ), 252-253. [3] http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/06/myposting_13218.html diakses pada 11-6-2011. [4] Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, I/497; Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/865; Ali as-Salus, Mausuah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Muashirah, hal. 522; Al-Yazid Ar-Radhi,Zakah Rawatib Al-Muwazhaffin, hal. 17. [5] Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq, Sedekah, hal. 103; Zakat dalam Perekonomian Modern, hal. 95. [6] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/865, [7] Wahbah az-Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 2/866. [8] Ibid. [9] Yusuf Al-Qaradhawi, ibid., I/491-502; Wahbah az-Zuhaili, ibid., II/866. [10] Yusuf Al-Qaradlawi. Fiqh Zakat, 486, Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq, Sedekah, 104 [11] Ibn Rusyd. Bidyat al-Mujtaahid, jilid 1 (t.t. Mustafa babi halabi, 1379 H- 1960 M ), 252-253.

Anda mungkin juga menyukai