Anda di halaman 1dari 114

BARANG PUBLIK (PUBLIC GOODS) BAB I PENDAHULUAN Barang publik memiliki sifat unik dan menarik karena hampir

mustahil untuk menyediakan suatu barang publik murni (pure public good) melalui mekanisme pasar. Untuk barang-barang lainnya, pasar telah mendominasi dalam menentukan alokasi dan distribusi, dan semakin lama ketergantungannya menjadi semakin besar. Pada awal millenium ketiga, pasar telah dianggap sebagai cara yang paling efisien untuk mengalokasikan sumber daya, bahkan sekarang pasar bebas telah muncul sebagai ideologi yang lazim dunia. Bahkan Partai Komunis China, yang pernah menganggap dirinya sebagai penjaga paling murni Marxisme, telah merubah sistem ekonomi negaranya melalui mekanisme pasar di bawah rubrik "market socialism" atau sosialisme pasar. Melintasi waktu dan budaya, barang publik hampir seluruhnya disediakan oleh pemerintah. Bahkan Adam Smith, pendiri ekonomi klasik yang pertama kali mengembangkan argumen yang mendukung pasar bebas, berpendapat bahwa untuk penyediaan barang publik dilakukan oleh pemerintah, bukan oleh pasar. Smith berpendapat bahwa dua fungsi utama pemerintah adalah untuk menyediakan dua barang publik, yaitu pertahanan nasional dan sistem hukum. Ia menyarankan bahwa keduanya harus dibayar dari kas negara. Kecenderungan masyarakat untuk menyediakan barang publik dengan menggunakan kas negara telah terjadi secara konsisten dari tahun ke tahun. Dwight Waldo, salah satu penemu ilmu administrasi publik (public administration), telah melakukan survei sejarah administrasi pemerintahan dan mengidentifikasikan tiga fungsi inti pemerintah yaitu: pertahanan, pengadilan, dan sistem perpajakan yang mutlak dibutuhkan untuk membayar mereka. Barang publik, seperti pertahanan nasional, harus dibeli melalui kas negara karena mereka sulit disediakan oleh pasar. Tanpa adanya campur tangan pemerintah, ketersediaan barang publik mungkin akan undersupplied, atau bahkan tidak tersedia sama sekali. Dengan menyediakan barang publik, pemerintah menjadi kontributor penting untuk efisiensi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. BAB II LANDASAN TEORI A. DEFINISI BARANG PUBLIK Konsep barang publik muncul dalam berbagai istilah dalam literatur akademis, termasuk barang publik murni (pure public goods), barang konsumsi kolektif (collective consumption goods), dan barang sosial (social goods). Namun, barang publik (public goods) adalah istilah yang paling umum digunakan.
1

1. Origin of the Term "Public" berasal dari istilah Latin publicus, yang berarti dewasa, yang dalam konteks ini berarti gagasan yang berkaitan dengan orang-orang. Dalam bahasa Inggris, "public" berarti milik bangsa, negara, atau masyarakat pada umumnya atau dipelihara oleh atau digunakan oleh orang atau masyarakat secara keseluruhan. Jadi kata publik menyampaikan gagasan bahwa hal-hal yang publik tersedia untuk semua. "Good," sebagai kata sifat, berasal dari bahasa Anglo-Saxon god, yang menyenangkan atau menyesuaikan. Ketika kata tersebut digunakan sebagai kata benda, akan mengacu pada komoditas dan properti pribadi. Kata "good" memiliki konotasi positif dan menyampaikan gagasan tentang manfaat. Ketika kita menaruh kata public dan goods bersama-sama, "public goods" menyampaikan gagasan manfaat yang tersedia untuk semua orang atau kepada masyarakat secara keseluruhan. Sebenarnya, belum ada kata baku yang paling tepat untuk menggambarkan jenis barang ini. Namun, dalam sebagian besar buku literatur tentang konsep barang publik, frase public goods adalah frase yang paling sering digunakan dan lawan katanya adalah private goods. Istilah lain yang juga sering digunakan selain public goods adalah "collective goods" atau barang kolektif dan "social goods" atau barang sosial. Istilah "barang kolektif" dan "barang sosial" sebenarnya memiliki keunggulan karena mereka menambahkan konotasi penggunaan bersama (joint cost) dan menggambarkan barang yang digunakan secara bersamaan. Namun demikian, meskipun masing-masing istilah tersebut memberikan gambaran yang sedikit berbeda, namun semua menyampaikan gagasan yang sama, yaitu manfaat yang tersedia untuk masyarakat secara keseluruhan. 2. Casual Definition of Public Goods Pada definisi kasual, barang publik dinyatakan sebagai barang atau layanan yang diberikan melalui sektor publik. Penyediaan barang publik tidak selalu berarti diproduksi oleh pemerintah. Sebagai contoh, perusahaan swasta biasanya memproduksi pesawat tempur, tapi pesawat tersebut selanjutnya dibeli dengan menggunakan dana dari kas negara. Definisi kasual, dapat dibenarkan, namun tidak sepenuhnya akurat, karena pemerintah juga dapat menyediakan barang-barang privat. Sebuah contoh barang privat yang disediakan oleh sektor publik adalah perumahan publik (public housing). Hal lain yang juga menarik adalah bahwa ketika pemerintah menyediakan barang publik, mereka sering bertindak seperti perusahaan swasta yaitu mengenakan biaya untuk layanan yang diberikan. Misalnya, pengenaan biaya sewa untuk penggunaan perumahan publik,
2

universitas negeri mengenakan iuran kepada mahasiswanya, dan kantor pos publik mengenakan biaya pengiriman. Oleh karena itu, ketentuan pemerintah harus menyediakan barang-barang publik hampir selalu benar, namun, tidak semua barang yang disediakan oleh pemerintah merupakan barang publik. Pengecualian lain muncul untuk definisi kasual ketika sebuah barang publik disediakan oleh pihak swasta meskipun hal tersebut jarang terjadi untuk barang publik murni. Yang seringkali terjadi adalah penyediaan barang publik yang digabungkan dengan kepentingan swasta. Sebagai contoh, sebuah perusahaan swasta dapat mensponsori pertunjukan kembang api. Pertunjukan kembang api adalah contoh umum barang publik, namun dalam pertunjukan tersebut dapat diselipkan unsur iklan yang merupakan kepentingan pribadi/barang privat. Jadi, pertunjukan kembang api tersebut menjadi contoh tidak murni barang publik, dimana pihak swasta bersedia membayar pertunjukan tersebut karena nilai iklan yang akan mereka terima dari acara tersebut. 3. Abstract Definition of Public Goods Definisi abstrak menyatakan bahwa "barang publik" adalah barang dan jasa yang bersifat nonrival in consumption dan non-excludable. Meskipun definisi ini tepat, namun perlu dipahami terlebih dahulu dua konsep penting, rivalry dan excludability, dalam memahami definisi abstrak seutuhnya. a. Rivalry/Persaingan Sebuah barang bersifat rivalry in consumption adalah ketika tindakan seseorang yang sedang mengkonsumsi barang tersebut dapat menghalangi orang lain untuk menikmati barang yang sama. Sepasang kaus kaki adalah contoh a rival good, karena ketika seseorang memakai kaos kaki tersebut, orang lain tidak dapat menggunakannya diwaktu yang sama. Sedangkan nonrival goods adalah barang yang dapat dinikmati secara bersamaan oleh banyak orang. Misalnya, beberapa orang secara bersamaan dapat menikmati kembang api. Kemampuan kita untuk menikmati kembang api sama sekali tidak berkurang apabila terdapat tambahan beberapa orang yang mengamati kembang api tersebut. Sekali Anda menghasilkan barang nonrival untuk seseorang, barang tersebut juga tersedia untuk semua orang. Barang publik adalah nonrival in consumption. Istilah "nonrival" sebenarnya tidak universal. Beberapa konsep lain menyebutnya sebagai collective consumption dan joint consumption. Meskipun istilah collective consumption dan joint consumption kurang umum, mereka memiliki keuntungan karena lebih menggambarkan barang yang dinikmati oleh kelompok atau komunitas.

b. Excludability Suatu barang dikatakan excludable ketika barang tersebut mampu mengecualikan pihak-pihak lain untuk menikmati barang tersebut kecuali bagi mereka yang membayarnya. Sekaleng softdrink adalah contoh sebuah excludable good, dimana mesin penjual otomatis dapat dengan mudah mencegah orang yang tidak membayar untuk mendapatkan softdrink. Sebuah barang dikatakan nonexcludable ketika barang tersebut tidak mampu mengecualikan pihak lain yang tidak membayar untuk menikmati barang tersebut. 4. Public Goods Can Be Differentiated from Alternative Categories Barang publik adalah barang yang memiliki sifat nonrival dan nonexcludable. Konsep rivalry dan excludability disamping dapat memperjelas definisi dari barang publik, mereka juga dapat dijadikan dasar untuk membedakan barang publik dengan barang lainnya. Para ekonom menjadikan rivalry dan excludability sebagai variabel dikotomi. Sebuah barang dapat bersifat rival atau nonrival dan juga bisa bersifat excludable atau nonexcludable. Kedua variabel dikotomi tersebut dapat menciptakan empat kemungkinan kombinasi, yang dapat disajikan dalam tabel taksonomi empat kuadran berikut ini: Figure 1: Taxonomy of Goods Rival in Consumption No Yes Excludable Toll Goods (Kuadran I) Private Goods (Kuadran II) Examples: toll road, cable TV, movie Examples: chewing gum, can of soda, pair of theater, college course. stockings Nonexcludable Public Goods (Kuadran III) Common Goods (Kuadran IV) Examples: National Defense, lighthouse, Examples: fish in the sea, common pastures, fireworks display clean air, clean water.

Toll Goods (Kuadran I), adalah barang-barang yang bersifat nonrival in consumption tapi excludable. Istilah lainnya adalah natural monopolies. Yang termasuk jenis dari Toll Goods adalah jalan tol; jembatan tol; film bioskop, dan TV kabel. Barang-barang tersebut bersifat nonrival. Sebagai contoh, program TV kabel yang sedang ditonton oleh seseorang tidak menghalangi jutaan pihak lain dari berbagai negara untuk menikmati program yang sama. Namun, barang-barang tersebut excludable. Sebagai contoh, sistem TV kabel dapat menghalangi mereka yang tidak membayar untuk
4

melihat program-program tertentu. Sifat excludable ini menciptakan timbulnya iuran bagi pemirsa yang menikmati program TV kabel tersebut. Dengan pembayaran iuran tersebut, memungkinkan penyedia program TV kabel untuk membayar tenaga kerja mereka. Private Goods (Kuadran II) adalah kebalikan dari barang publik, yang mana bersifat rival in consumption dan excludable. Contohnya adalah makanan dan pakaian. Sekaleng softdrink adalah contoh yang bagus untuk menggambarkan barang privat. Seseorang yang sedang meminum softdrink akan menghalangi orang lain untuk menikmati softdrink tersebut dalam waktu yang sama. Sekaleng softdrink juga bersifat excludable, dimana mesin penjual otomatis dapat dengan mudah mencegah orang yang tidak membayar untuk mendapatkan softdrink. Pada umumnya, barang yang diperoleh melalui pasar merupakan barang publik. Sifat excludability menjamin produsen untuk mendapatkan pembayaran sesuai dengan usaha mereka, dan sifat rivalry in consumption mengurangi kemungkinan konsumen untuk mencoba menikmati barang orang lain daripada membelinya. Public Goods (Kuadran III) memiliki sifat nonrival dan nonexcludable. Contoh barang publik termasuk pertunjukan kembang api, pertahanan nasional, sistem keadilan, peraturan lalu lintas, perlindungan lingkungan, dan bahkan sinyal radio. Barang publik juga dapat disebut "barang kolektif dimana barang-barang tersebut dapat digunakan oleh banyak orang secara bersamaan. Barang publik tidak mampu mengecualikan pihakpihak yang tidak membayar untuk menikmati barang publik. Hal inilah yang menjadikan pihak swasta kurang bersedia untuk menyediakan barang publik karena mereka akan sulit mendapatkan penggantian dari biaya yang telah dikeluarkan. Common Goods (Kuadran IV) adalah barang-barang yang bersifat rivalry in consumption namun nonexcludable. Istilah common goods tidaklah universal. Barang tersebut biasa disebut juga sebagai common pool resourses atau common resources. Contohnya termasuk cadangan air dan minyak bumi, lingkungan, dan ikan di laut. Barangbarang tersebut tersedia dalam jumlah besar dan dapat diakses dari berbagai lokasi sehingga bersifat nonexcludable. Namun, Barang umum berbeda dengan barang publik karena mereka bersifat rivalry in consumption. Misalnya, ikan di laut bersifat rivalry in consumption karena ikan yang telah ditangkap oleh seseorang tidak akan tersedia untuk digunakan oleh orang lain. Penggunaan barang umum oleh seseorang dapat mencegah orang lain untuk menggunakannya. B. PURE PUBLIC GOODS Barang publik murni adalah suatu anomali yang langka di dunia karena kebanyakan barang memiliki sifat sebagian rivalry dan sebagian excludable. Barang publik murni adalah barang-barang dan jasa yang tidak ada persaingan sama sekali dalam melakukan konsumsi
5

dan pengecualiannya mustahil. Barang publik di mana karakteristik nonrivalry atau nonexcludability-nya dapat dikompromikan beberapa derajat disebut barang publik tidak murni (impure public goods). Contoh-contoh kemurnian barang publik dapat bermanfaat bagi kita untuk membayangkan secara jelas dinamika penyediaan barang publik. 1. Degrees of Rivalry and Excludability Pengklasifikasian barang akan menjadi lebih sederhana apabila kita memperlakukan rivalry dan excludability sebagai dikotomi/pemisah dalam menentukan jenis barang. Sifat rivalry maupun excludability jarang ada yang mutlak, yang ada hanya masalah perbedaan tingkatan/level (degree). Beberapa ekonom memvisualisasikan karakteristik seperti rivalry dan excludability sebagai kontinum, dengan berbagai derajat. Jika persaingan dan dikecualikan berada di continua, taksonomi jenis barang akan diganti dengan grafik dua dimensi, yang dapat menampung berbagai tingkat persaingan/rivalry dan excludability. Figure II: Revised Taxonomi of Goods with Degrees of Rivalry and Excludability

a. Degrees of Rivalry Dalam dunia nyata, sedikit sekali barang-barang yang memiliki sifat rivalry dan nonrivalry sepenuhnya. Sebagian besar sifat barang terletak diantara dua kondisi ektrim tersebut. Barang yang memiliki sifat nonrivalry sepenuhnya (0%) adalah pertahanan nasional. Setiap warga dapat menerima keseluruhan manfaat dari pertahanan nasional tanpa memperhatikan jumlah penduduknya. Sebagai konsekuensinya, tidak ada biaya tambahan dalam memberikan tingkat perlindungan yang sama persis apabila ada tambahan penduduk. Lawan dari tanpa persaingan sepenuhnya (totally nonrival) adalah persaingan sepenuhnya (totally rival). Topi memiliki sifat persaingan sepenuhnya (100%) karena hanya dapat dipakai oleh satu orang pada satu waktu. Sebagai Akibatnya, ada
6

biaya tambahan untuk menyediakan topi untuk setiap tambahan orang yang ingin memakainya. Tingkat rivalry in consumption yang terletak diantaranya (0% 100%) timbul karena adanya eksternalitas. Eksternalitas timbul jika tindakan dari seseorang dapat menimbulkan biaya atau memberikan manfaat bagi orang lain. Eksternalitas positif terjadi ketika tindakan seseorang memberikan manfaat bagi orang lain. Eksternalitas negatif terjadi ketika tindakan seseorang menimbulkan beban/biaya bagi orang lain. Sebuah jalan umum yang besar, pada suatu waktu bisa dikategorikan sebagai barang nonrival. Sebuah jalan dapat dianggap mendekati nonrival sepenuhnya pada jam tiga pagi pada saat tidak ada mobil lain yang melintasi jalan. Namun di pagi hari, persaingan mulai muncul karena ada tambahan mobil yang melintasi jalan. Sebuah jalan berbeda secara fundamental jika dibandingkan dengan barang nonrival murni seperti pertahanan nasional. Dengan pertahanan nasional, semua warga berbagi posisi/manfaat yang sama dari serangan pihak luar. Berbeda halnya dengan jalan dimana dapat memunculkan persaingan pada tingkat tertentu sehingga mencegah setiap orang berbagi posisi yang sama persis. Dua mobil tidak dapat berbagi ruang yang sama di jalan, dan setiap usaha untuk melanggar prinsip ini akan menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Selama jam sibuk, tingkat persaingan meningkat ke level baru. Setiap tambahan mobil akan memperlambat perjalanan, meningkatkan waktu perjalanan, dan membebani biaya pada pengemudi yang lain. Jadi, meskipun jalan umum masih bersifat nonexcludable, tingkat persaingan dalam konsumsi akan semakin bertambah seiring bertambahnya mobil baru. Pada kondisi tertentu, sebuah jalan mungkin tidak dapat dilewati sepenuhnya, sebuah kondisi yang mendekati sifat rivalry penuh. Namun, kejadian tersebut jarang terjadi, karena kebanyakan pengemudi akan tetep dapat melewati jalan meskipun sedikit-sedikit sehingga tidak sepenuhnya rival in consumption. Eksternalitas juga dapat memodifikasi persaingan dari suatu barang yang secara teoritis bersaing (rivalry in consumption). Sebagai contoh, vaksin untuk penyakit menular adalah bersifat rivalry jika hanya satu orang dapat menerima itu. Jika hanya satu orang yang divaksinasi, penerima vaksin akan menikmati semua manfaat inokulasi. Namun, jika sebagian besar penduduk yang divaksinasi, orang lain yang tidak divaksinasi juga akan menikmati manfaat dalam bentuk penurunan risiko terkena suatu menular penyakit. Jika semua orang divaksinasi, mungkin akan memberantas penyakit itu sama sekali. Sebagai contoh, program vaksinasi cacar internasional mampu menghilangkan penyakit tersebut. Dalam hal ini, tidak hanya penerima yang menerima manfaat kekebalan dari penyakit ini, tetapi semua generasi masa depan juga akan menerima barang publik berupa pemberantasan penyakit ini.
7

Sedikit sekali barang yang murni rival atau murni nonrival yang mungkin ada, sebagian besar dari mereka menimbulkan beberapa eksternalitas yang membuat mereka tidak sepenuhnya murni rival maupun nonrival. b. Degree of Excludability Seperti halnya rivalry, excludability juga jarang bersifat mutlak. Sangat sedikit barang yang bersifat excludable sepenuhnya atau nonexcludable sepenuhnya. Sebuah contoh barang yang seutuhnya nonexcludable adalah pertahanan nasional, karena pertahanan nasional tidak hanya melindungi warga yang membayar jasa tersebut tetapi juga melindungi warga yang tidak membayarnya. Sebaliknya, satu kaleng soda dapat menjadi barang excludable jika kita meletakkannya ke dalam mesin otomatis penjual softdrink. Kebanyakan barang berada dalam posisi antara excludability dan nonexcludability. Jalan kota mungkin dikategorikan sebagai barang nonexcludable karena banyak pintu masuk dari berbagai kota lain kejalan tersebut dan tidak mungkin untuk menempatkan pintu tol ditiap jalan masuk tersebut sehingga biaya yang dikeluarkan akan lebih besar daripada pendapatan yang diterima. Pada jalan tol, dipintu masuk dan pintu keluarnya ditempatkan pintu karcis sehingga memudahkan dalam menarik biaya tol dan juga untuk mencegah orang yang tidak membayar karcis untuk masuk sehingga lebih efisien.

Figure: Road on two dimensional continuum of rivalry and excludability Jika kita perhatikan sifat rivalry dan excludability dari jalan umum di atas, jelas terlihat bahwa jalan umum tidak hanya menempati satu titik pada kontinum tetapi beberapa titik yang membentuk kurva luas yang membentang dari satu sudut ke sudut lain yang
8

berlawanan. Karakteristik ini dapat berubah dan tidak mutlak. Sebagai contoh, excludability dapat diubah dengan menggunakan teknologi dimana pembebanan biaya jalan tol mungkin dapat dikenakan secara elektronik tanpa mengharuskan mobil tersebut berhenti di pabean/pintu masuk. Di masa depan, mungkin pengenaan biaya tol dapat diterapkan di semua tipe jalan, termasuk jalanan kota. Kebijakan ini dapat mengurangi kemacetan jalan karena para pengendara mobil akan berusaha melakukan perjalanan saat off-peak hours, ketika tarif toll yang dikenakan masih lebih murah. 2. Differentiating Pure Public Goods from Alternative Categories Sejak lama para ekonom telah berusaha untuk membuat suatu ketentuan yang dapat membedakan suatu barang. Wilayah abu-abu antara barang publik murni dengan barang privat murni telah tumbuh baik dalam ukuran maupun kepentingan.

Figure 4: Two-dimensional continuum of rivalry and excludability Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa letak dari barang publik murni dan barang privat murni berada di sudut yang berlawanan dimana barang publik murni memiliki tingkat rivalry dan excludability sebesar 0% sedangkan barang privat murni memiliki tingkat rivalry dan excludability sebesar 100%. Pada faktanya, hampir tidak ada barang yang masuk dalam kategori barang publik murni maupun barang privat murni. Sebagian besar dari mereka terletak di antara keduanya dan belum dapat didefinisikan seutuhnya. Oleh karenanya, pemahaman akan barang publik akan dimulai dari pemahaman atas pure public goods sebagai istilah yang sudah umum.
9

a. Pure Public Goods Istilah barang publik murni jarang digunakan apabila dibandingkan dengan istilah barang publik.Barang publik murni adalah barang yang benar-benar memiliki sifat nonrival dan non excludable. Karena sifatnya yang nonrivalry, maka tidak ada biaya tambahan yang dikenakan apabila ada tambahan pengguna baru dan tidak ada pembebanan biaya bagi pengguna yang sudah ada atas tambahan pengguna baru tersebut. Demikian pula, karena sifatnya yang nonexcludable, maka tidak mungkin untuk mencegah orang yang tidak membayar barang tersebut untuk menikmatinya. 1) Barang Publik Internasional Barang publik murni dengan cakupan geografis yang paling universal adalah barang publik internasional, Karena tidak ada penghuni planet ini yang dikecualikan. Barang publik internasional termasuk keamanan internasional, pengetahuan, lingkungan, dan stabilitas ekonomi. Barang publik internasional otomatis menguntungkan semua orang, di manapun di bumi, tanpa harga. 2) Barang Publik Nasional Barang publik nasional adalah barang publik murni yang tidak bisa dipisahkan, tetapi hanya dalam batas-batas suatu negara. Barang publik nasional meliputi pertahanan nasional, sistem hukum, dan kadang-kadang bahkan pemerintah yang efisien. Barang-barang ini tanpa pesaing dan tidak eksklusif dalam suatu negara. Barang publik nasional secara otomatis menguntungkan semua orang di dalam suatu negara, tanpa harga. 3) Barang Publik Lokal Barang publik lokal adalah barang publik murni karena mereka tanpa pesaing dan tidak ada yang dikecualikan untuk tidak membayar. Tapi keuntungan mereka terbatas pada wilayah geografis yang kecil. Banyak contoh klasik dari barang publik, seperti mercusuar dan kembang api, tidak bisa dipisahkan karena kita tidak harus membayar untuk menikmati mereka, tapi untuk menikmati barang-barang ini kita akan harus pergi mendekatinya. Biaya transportasi sering membuat ekonomi tidak rasional bagi kita untuk menikmati manfaat dari barang publik lokal di tempat yang jauh. Barang publik lokal yang tersedia untuk semua orang tanpa harga, tetapi orang harus datang mendekat untuk menikmatinya. Internasional, nasional, dan barang-barang publik lokal adalah barang publik murni, karena tidak mungkin untuk mengecualikan orang-orang yang tidak membayar. Masalah geografis dapat membuat keterbatasan praktis pada kemampuan kita untuk mengambil keuntungan dari barang-barang.
10

b. Barang Swasta Murni Barang swasta murni merupakan musuh utama konsumsi dan untuk menyisihkan orang yang tidak membayar. Contoh barang swasta murni termasuk permen karet, sekaleng soda, sepasang kaos kaki, dan anting-anting. Barang swasta hanya tersedia bagi mereka yang bersedia membayar. Sebagian besar ekonom berpendapat bahwa barang swasta murni tidak memiliki eksternalitas. Eksternalitas terjadi ketika transaksi antara dua pihak membebankan biaya atau memberi manfaat pada pihak ketiga. Kebalikan dari barang swasta, yaitu barang publik, dapat dipandang sebagai kasus ekstrim eksternalitas. c. Barang Publik Tidak Murni Barang publik tidak murni berada diantara barang publik murni dan barang swasta murni. Ada barang publik yang tidak murni dan barang pribadi murni. Konsep barang publik murni lebih umum, sehingga merupakan tempat yang logis untuk memulai. 1) Barang Publik yang dikecualikan Barang Publik yang dikecualikan adalah barang publik yang dapat dibuat terpisah. Sebuah sinyal siaran televisi adalah barang publik lokal, tidak ada saingan dan tidak eksklusif, setidaknya untuk televisi dalam waktu sekitar 50 mil dari pemancar televisi. Tapi program yang sama dapat dibuat terpisah dengan menempatkan program pada kabel. Karakteristik yang membedakan antara barang publik lokal dan barang klub adalah bahwa barang publik lokal terbuka bagi siapa saja yang ingin menikmatinya, sedangkan upaya sadar dibuat untuk membatasi akses ke barang-barang klub untuk anggota yang membayar untuk mendukung proyek tersebut. Aturan cepat praktis untuk membedakan barang klub dari barang publik lokal adalah bahwa barang publik lokal yang tersedia untuk semua, bahkan turis. Barang klub, bagaimanapun, adalah hanya tersedia untuk anggota. 2) Barang Publik Congestible Barang publik congestible adalah barang publik yang nonrival dalam penggunaan biasa tetapi menjadi penuh dalam penggunaan yang terus menerus atau jam sibuk. Setiap pengguna tambahan membebankan biaya pada pengguna lainnya. Barang
11

publik yang padat kadang-kadang juga disebut barang publik ambien. Jalan raya adalah contoh yang baik dari barang publik congestible. Selama jam nonpeak menyerupai barang publik, tetapi dapat menjadi penuh pada jam sibuk. 3) Publik Barang Campuran Barang publik juga dapat dicampur dengan barang jenis lain, yang mengakibatkan barang tidak murni. Sebuah contoh umum adalah pencampuran program radio dan iklan radio. Program radio adalah barang publik, karena mereka tanpa pesaing dan tidak eksklusif. Dari perspektif pendengar radio, program radio tanpa pesaing, seperti sejumlah orang dapat mendengarkan tanpa mengganggu pendengar yang ada. Mereka juga tanpa pengecualian, seperti orang dengan radio dapat mendengarkan secara gratis. Iklan radio secara jelas barang-barang swasta karena mereka berdua saingan dan dikecualikan. 4) Barang Swasta tidak murni Kategori ini adalah yang paling umum digunakan. Beberapa ekonom menganggap barang-barang yang tidak umum atau swasta murni sebagai barang publik murni. Tapi barang swasta tidak murni memiliki lebih banyak kesamaan dengan barang swasta murni. Barang pribadi murni keduanya benar-benar saingan dalam konsumsi dan benar-benar terpisah. a) Barang Swasta dengan Eksternalitas Eksternalitas terjadi setiap kali ada transaksi oleh dua pihak baik dengan membebankan biaya atau memberikan manfaat pada pihak ketiga yang bukan bagian dalam transaksi asli. Dalam kasus eksternalitas positif, kebocoran manfaat kepada pihak ketiga melanggar asumsi persaingan lengkap dari yang baik swasta murni. Dalam kasus eksternalitas negatif, biaya yang dikenakan pada pihak ketiga, yang bukan merupakan pihak dalam transaksi sebenarnya. Dengan demikian pihak dalam transaksi tidak membayar biaya penuh, melanggar asumsi barang pribadi murni yang dikecualikan. Eksternalitas negatif adalah pembenaran bagi intervensi pemerintah, baik untuk mengendalikan dampak negatif dari
12

eksternalitas pada pihak terluka atau kompensasi untuk cedera mereka. Oleh karena itu transaksi dengan eksternalitas tidak lagi murni swasta. b) Barang Swasta Campuran Barang swasta Campuran serupa dengan barang publik campuran, kecuali mereka mulai keluar sebagai barang swasta. Mereka mungkin berbeda dari barang-barang pribadi dengan eksternalitas saat eksternalitas merupakan bagian dari barang yang dimaksudkan. Misalnya, kampanye internasional untuk memberantas cacar terdiri dari memvaksinasi banyak individu, yang merupakan barang swasta karena setiap dosis vaksin adalah persaingan dan dikecualikan. Tapi hasil penting dari vaksinasi universal pemberantasan penyakit, yang merupakan barang publik seperti yang tanpa pesaing dan tidak eksklusif. dan dikelola universal di seluruh dunia. c) Barang Swasta yang disediakan untuk publik Dalam kasus yang langka, pemerintah menyediakan barang-barang yang pada dasarnya barang swasta untuk warga negara mereka (Stiglitz, 2000, hal 136). Perumahan adalah contohnya, perumahan adalah barang swasta dan dalam kebanyakan kasus adalah barang swasta murni. Sementara perumahan jelas barang swasta, beberapa komunitas menyediakan perumahan publik dengan sewa bersubsidi kepada mereka yang tidak dapat membeli rumah.

Keterlibatan publik dalam barang swasta seperti perumahan adalah dilakukan di bawah premis bahwa masyarakat juga memperoleh beberapa nilai atau manfaat dari mengetahui bahwa beruntung warganya memiliki kebutuhan dasar. Cara alternatif untuk memenuhi kebutuhan yang sama bagi pemerintah untuk mensubsidi sewa perumahan swasta bagi mereka yang dinyatakan tidak mampu membeli rumah. Seperti yang kita lihat, barang murni menjadi tidak murni karena mereka memiliki karakteristik lebih dari satu jenis yang barang. Beberapa barangbarang murni mungkin mirip dengan lebih dari satu jenis barang murni. Kami membedakan barang publik murni dari kategori ini dengan tidak murni
13

sehingga kita dapat menggunakan contoh murni ketika berpikir tentang tantangan penyediaan barang publik dalam ekonomi pasar.

C. TANTANGAN PENYEDIAAN BARANG PUBLIK Meskipun barang publik diperlukan dalam ekonomi pasar, penyediaan barang-barang publik tersebutlah yang menyajikan tantangan sulit untuk pasar tersebut. Pasar sangat efisien dalam memproduksi barang swasta karena barang tersebut baik persaingan dalam konsumsi dan pengecualian. Pasar menghadapi kesulitan besar mengalokasikan sumber daya untuk produksi barang publik karena kurangnya barang publik kualitas kedua. Salah satu cara untuk memahami pasar menghadapi kesulitan dalam memproduksi barang publik murni adalah untuk mengidentifikasi mekanisme yang memungkinkan pasar untuk secara efektif menghasilkan barang swasta murni dan untuk mengidentifikasi bagaimana perbedaan antara barang publik murni dan swasta murni. 1. Pasar menggunakan Persaingan dan Pengecualian untuk Mengalokasikan Barang Persaingan dan pengecualian sangat penting untuk penyediaan barang di pasar untuk beberapa alasan. Persaingan memungkinkan produsen untuk secara akurat mengukur permintaan produk mereka, dan pengecualian memungkinkan produsen untuk mendapatkan bayaran untuk barang-barang mereka. Fitur-fitur ini, bersama dengan asumsi kepentingan sepihak, menyebabkan keefisienan dan mungkin alokasi yang optimal atas sumber daya yang ada. Adam Smith, dalam buku klasiknya, The Wealth of Nations (1776), menunjukkan bahwa pasar bertindak sebagai invisible hands untuk mengkoordinasikan tindakan-tindakan individu, masing-masing bertindak secara sukarela demi kepentingannya sendiri, untuk melayani kepentingan bersama. Namun kita tidak bergantung pada kebaikan dari tukang daging atau tukang roti untuk menyediakan makanan untuk meja kita, tetapi atas kepentingan diri sendiri (Smith, 1991, hal 20). Seorang tukang roti, ingin mencari nafkah sendiri, akan memanggang barang yang orang inginkan.

14

2. Kesulitan yang dihadapi dalam menyediakan Barang Publik melalui Pasar. Karena Barang publik dan barang privat merupakan dua hal yang saling bertolak belakang maka alasan mengapa pasar sangat efektif dalam menyediakan barang privat adalah sama dengan alasan mengapa pasar tidak efektif dalam menyediakan barang publik. a. Nonrivalry menciptakan suatu insentif bagi setiap orang untuk menyembunyikan kesukaan mereka yang sebenarnya Orang-orang dapat menikmati barang nonrival yang diproduksi untuk tetangga mereka. Oleh karenanya, orang-orang lebih memilih untuk tidak bersuara untuk memberikan apresiasi atas barang nonrival tersebut karena takut dimintai kontribusi atas barang tersebut. Jadi, permintaan atas barang publik mungkin tersembunyi sehingga pasar tidak mencoba untuk menawarkan barang publik yang mereka anggap sebagai tidak diinginkan. b. Non-excludable menciptakan suatu insentif bagi setiap orang bahwa mereka tidak perlu berkontribusi untuk menikmati barang publik tersebut. Karakteristik dari barang publik yang nonexcludable membuat orang -orang dapat menikmati mereka tanpa harus membayar. Ini dapat menciptakan seseorang dapat menjadi free rider. 1) Free Rider sebagai suatu kekurangan dalam sifat dasar manusia Fenomena free rider dapat dianggap sebagai suatu kekurangan dari sifat manusia. Setiap manusia berusaha untuk menghindarkan diri dari masalah dan biaya dan lebih suka untuk membebankannya/berpangku tangan kepada orang lain. 2) Free Rider sebagai peningkat kegunaan rasional (Rational Utility Maximizer) Asumsikan hanya ada dua barang, yaitu makanan dan pertahanan. Makanan adalah barang privat dan pertahanan adalah barang publik. Setiap individu memiliki dua pilihan, menghabiskan sebagian besar dari pendapatan mereka pada makanan atau menghabiskannya pada pertahanan. Jika seseorang memberikan kontribusi paling besar untuk kepentingan publik, pertahanan nasional, maka kesejahteraan keluarga akan mengalami penurunan yang nyata sedangkan dalam tingkat pertahanan tidak terlihat. Namun, jika individu yang sama menghabiskan mayoritas penghasilannya pada makanan, belanja pangan yang lebih tinggi akan
15

membuat perbaikan yang nyata dalam kesejahteraan keluarga tapipengurangan belanja publik tidak terlihat pengaruhnya dalam keamanan nasional. Pada tingkat individu, akan muncul pemikiran untuk berkontribusi lebih sedikit untuk pertahanan nasional. Setiap individu akhirnya menghadapi godaan untuk menjadi free rider dan bergantung pada kontribusi orang lain untuk barang publik seperti pertahanan nasional. Pada tingkat kolektif, jutaan orang yang memilih untuk menjadi free rider dapat menimbulkan masalah yang serius pada penyediaan barang publik. 3) Free Rider menghalangi timbulnya pareto efficiency karena kurang tersedianya barang publik Pareto efficiency tidak akan tercapai dengan pendanaan sukarela atas barang publik karena barang publik akan kurang didanai sekalipun mereka akan disediakan. Masyarakat secara keseluruhan mungkin lebih suka untuk menukarkan beberapa barang privatnya untuk level barang publik yang lebih besar, tetapi tidak ada individu yang mempunyai keinginan untuk melakukannya. Karena tidak ada individu yang dapat melakukan, dan mereka berperilaku sendiri-sendiri di dalam pasar, mengakibatkan timbulnya keinginan secara terstruktur ke semua warga lainnya untuk menjadi free rider. Oleh karenanya, upaya untuk menyediakan barang publik melalui mekanisme pasar merupakan kegagalan struktural yang disebabkan oleh sifat nonrivalry dan nonexcludability atas barang publik.

BAB III PENYEDIAAN BARANG PUBLIK DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA A. Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang Publik dan Jasa Publik di Indonesia Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik adalah unsur penunjang yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Bappenas melalui Sekretaris Utama. Lembaga ini dipimpin oleh seorang kepala. Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik mempunyai tugas mengkaji, menyiapkan perumusan kebijakan, perencanaan kebijakan pengadaan barang/jasa nasional, serta melaksanakan sosialisasi, pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya.
16

Dalam melaksanakan tugasnya, Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik menyelenggarakan fungsi:

penyiapan dan perumusan kebijakan dan sistem pengadaan nasional penyiapan dan perumusan kebijakan pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia di bidang pengadaan pelayanan bimbingan teknis, pemberian pendapat dan rekomendasi, serta koordinasi penyelesaian masalah di bidang pengadaan pengembangan sistem informasi nasional di bidang pengadaan pengawasan pelaksanaan pelayanan pengadaan barang/jasa dengan teknologi informasi melaksanakan sosialisasi, pemantauan, dan penilaian pelaksanaan kebijakan dan sistem pengadaan nasional

B. Permasalahan dalam Penyediaan Barang Publik 1. Kebocoran dan Penyimpangan atas penyediaan barang publik sehingga tidak mampu memberikan utilitas yang optimal Terjadinya begitu banyak kebocoran dan penyimpangan, misalnya sebagai akibat adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta rendahnya profesionalisme aparat pemerintah dalam mengelola anggaran publik. Korupsi menjadi sindrom klasik yang senantiasa menggerogoti negara-negara yang ditandai oleh superioritas pemerintah salah satunya Indonesia. Kendati sulit dibuktikan, kebocoran anggaran publik terus berlanjut dan merugikan negara. Berdasarkan data ICW (September 2010) adalah besarnya kebocoran APBN mencapai 30%. Kebocoran anggaran itu mengakibatkan proyek infrastruktur yang dibangun dengan anggaran pemerintah lebih cepat rusak dibandingkan dengan umur rencananya. Masalah efektifitas dan efesiensi penggunaan anggaran juga masih sering dipertanyakan. Rendahnya efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan pemerintah akibat maraknya irasionalitas pembiayaan kegiatan negara. Kondisi ini disertai oleh rendahnya akuntabilitas para pejabat pemerintah dalam mengelola keuangan publik. Hal ini menyebabkan beberapa masalah dalam penyediaan barang publik, yaitu: a. Banyak dalam merencanakan kebutuhan tidak sesuai dengan barang yang dibutuhkan oleh masyarakat karena memang tidak ada ada partisipasi atau melibatkan masyarakat, karena hanya beberapa tokoh, itupun untuk kepentingan partai atau golongan tertentu.
17

b. Tidak merencanakan biayaperawatan/pemeliharaan yang semakin hari akan membebani APBN/APBD. c. Barang yang masih layak operasional sudah diusulkan untuk dihapuskan atau diremajakan 2. Kurangnya Kesadaran atas Pembayaran Pajak Barang publik tidak dapat disediakan tanpa adanya partisipasi dari rakyat dalam penyediaan dana. Ukuran partisipasi rakyat secara kasar bisa dihitung dengan membandingkan tax ratio negara Indonesia dengan negara lainnya sehingga bisa diperkirakan pula seberapa banyak free rider atas barang publik yang ada di Indonesia. Berdasarkan data tax ratio tahun 1989 2010 diperoleh data sebagai berikut:

Tax Ratio negara-negara berkembang yang selevel dengan Indonesia sudah mampu mencapai tax ratio sebesar 20%. Dari tabel diatas bisa kita simpulkan bahwa selama kurun waktu 21 tahun indonesia hanya mampu menaikkan tax rationya sebesar 5.11% yang bisa kita hitung dari tax ratio 2010 sebesar 13.30 % dikurangi tax ratio 21 tahun yang lalu yaitu pada akhir pelita 1 tahun 1989 sebesar 8.19 %. Dan dengan data diatas juga kita bisa mengatahui bahwa untuk meningkatkan tax ratio indonesia sebesar 1% rata-rata indonesia membutuhkan waktu 4,1 tahun (diperoleh dari 21 tahun dibagi 5,11 %), sementara untuk bisa setara dengan tax ratio negara-negara tetangga yang sedang berkembang yang sudah mencapai sekitar 20% bisa anda hitung sendiri. 3. Sistem hukum yang bisa dibeli menyebabkan rakyat kecil terkecualikan dalam mendapatkan keadilan Korupsi menyebabkan keadilan di negeri ini menjadi hal yang langka yang seharusnya bisa dinikmati oleh semua orang. Aparat hukum di negara ini yang masih bisa dibeli
18

menyebabkan banyak masyarakat miskin yang tersingkirkan dan keadilan itu sendiri menjadi barang privat yang mungkin bukan dalam artian keadilan yang sesungguhnya. 4. Negara belum mampu sepenuhnya menyediakan sistem pendidikan yang dapat dinikmati oleh seluruh penduduk di Indonesia khususnya rakyat miskin. Ketentuan yang menyatakan bahwa sekolah tingkat SD dan SMP menjadi kewajiban pemerintah belum dapat dilaksanakan. Terlihat jelas dengan tingginya biaya sekolah yang semakin lama semakin mahal menjadikan pendidikan menjadi barang yang sulit/excludable. Kondisi ini memang bukan sepenuhnya salah pemerintah, melainkan semua pihak yang secara terstruktur mengakibatkan sistem pendidikan di Indonesia belum dapat dinikmati oleh seluruh penduduk di Indonesia. BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Barang publik merupakan barang yang nonrival dan tidak terpisahkan. Salah satu contoh dari barang publik adalah pertahanan dan keamanan. Sekali barang publik tersebut dinikmati oleh satu orang maka sangat sulit atau mustahil untuk mencegah orang lain untuk menikmati barang publik tersebut walaupun orang tersebut tidak memberikan suatu kontribusi atas barang publik itu. Nonrivalry dan nonexcludability menciptakan beberapa kesulitan dalam usaha-usaha untuk menyediakan barang publik secara sukarela melalui transaksi pasar. Orang menghadapi godaan untuk bebas menggunakan dan menikmati barang yang dibayar oleh orang lain. Oleh karena itu hampir semua masyarakat, bahkan ekonomi pasar, memilih untuk penyediaan layanan atau barang publik melalui pendapatan pajak. B. SARAN Penyediaan barang publik di Indonesia masih belum dapat dilakukan secara optimal. Oleh karenanya, perlu dilakukan beberapa perbaikan sebagai berikut: 1. Penegakan hukum di Indonesia (law enforcement) dalam rangka melindungi semua hak dan kewajiban seluruh penduduk di Indonesia 2. Meningkatkan kesadaran pentingnya pajak dalam penyediaan barang publik di Indonesia 3. Penyediaan barang publik yang tepat sasaran dalam memperoleh utilitas yang maksimal.

19

KEBIJAKAN MAKRO EKONOMI

MENGAPA KITA MEMPELAJARI KEUANGAN PUBLIK? Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai kebijakan makro ekonomi, ada baiknya jika kita mengetahui mengapa kita mempelajari keuangan publik terlebih dahulu. Jika kita berbicara keuangan publik dipandang dari sisi belanja maka pertanyaan yang sering muncul misalnya adalah: Jenis jasa yang bagaimana dan apa yang harus diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat? Kenapa pemerintah membelanjakan anggarannya untuk bantuan sosial pendidikan dan asuransi kesehatan kepada mereka yang tidak mampu? Kenapa pemerintah menjadi penyedia utama barang dan jasa seperti: Jalan, pendidikan, dan kesehatan, di lain pihak kegiatan pengadaan barang dan jasa seperti: usaha garmen, bisnis hiburan, dan asuransi untuk properti lebih banyak didominasi oleh sektor swasta? Sementara itu, dari sisi pendapatan publik, pertanyaan yang sering muncul misalnya adalah: Bagaimana pemerintah menetapkan tarif pajak untuk masyarakatnya, dan bagaimana nilai pajak tersebut saling terkait satu sama lain dengan keadaan ekonomi para wajib pajak? Kegiatan apa yang seharusnya dikenakan pajak ataupun tidak pada masa-masa krisis? Apakah pengaruh pajak terhadap keberlangsungan perekonomian? A. Empat Pertanyaan Terkait dengan Keuangan Publik Singkatnya, keuangan publik adalah suatu studi terkait dengan peran pemerintah dalam perekonomian. Mengenai hal ini, maka keuangan publik akan menjawab empat pertanyaan: 1. Kapan seharusnya pemerintah mengintervensi perekonomian? Prinsip dasar dari mikroekonomi adalah keseimbangan kompetitif pasar akan menimbulkan efisiensi dan memaksimalkan manfaat yang akan diterima oleh masyarakat. Intinya dari prinsip ini adalah, biarkan pasar yang menentukan nilai/harga dari barang/jasa yang diperdagangan melalui keseimbangan permintaan dan penawaran, maka akan terciptalah perdagangan-yang-efisien. Namun kondisi ideal tersebut tidak selalu terjadi dalam kenyataan, pemerintah dalam beberapa hal tertentu masih harus melakukan intervensi dengan alasan: 1) Kegagalan pasar
20

Suatu keadaan yang menyebabkan sistem ekonomi pasar tidak mampu memberikan manfaat yang maksimal dalam hal efisiensi, disebut kegagalan pasar. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan kegagalan pasar, semisal ekternalitas negatif, dimana keputusan yang diambil oleh satu pihak akan mempengaruhi pengeluaran biaya pihak lainnya. Jika ternyata keseimbangan kompetitif pasar tidak mampu menciptakan suatu manfaat berupa pemaksimalan efisiensi, maka ada kemungkinan dengan intervensi pemerintah hal tersebut dapat diperoleh. 2) Pemerataan sumber daya Pemerataan sumber daya adalah pendistribusian sumber daya dari kelompok yang memiliki sumber daya lebih kepada kelompok lainnya yang masih kurang sehingga kedua kelompok tersebut dapat memiliki sumber daya tersebut dalam proporsi yang sama. Dikarenakan adanya kemungkinan penyebaran sumber daya yang tidak merata, dimana salah satu kelompok berlebih sedangkan kelompok lainnya kurang, maka diperlukan peran/intervensi pemerintah untuk dapat mendistribusikan sumber daya tersebut sehingga tercapai keseimbangan pada setiap kelompok. 2. Bagaimana seharusnya pemerintah melakukan intervensi? Setelah menentukan apakah pemerintah perlu melakukan intervensi ataupun tidak, langkah berikutnya adalah menentukan bagaimana seharusnya pemerintah melaksanakannya. Terdapat beberapa pendekatan umum yang dapat dilakukan oleh pemerintah: 1) Mengenakan pajak atau memberikan subsidi Salah satu cara bagi pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar adalah dengan menggunakan mekanisme harga, dimana kebijakan pemerintah digunakan untuk mempengaruhi harga barang tertentu, yaitu melalui pajak (untuk barang-barang yang produksinya berlebih) ataupun subsidi (untuk barang-barang yang produksinya kurang). 2) Melarang atau mewajibkan Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan untuk melarang penjualan/pembelian barang yang produksinya berlebih, ataupun memerintahkan/mewajibkan agar masyarakat melakukan penjualan/pembelian barang yang secara produksi kurang.
21

3) Penyediaan layanan publik Langkah lainnya dari pemerintah untuk menghadapi kegagalan pasar adalah dengan menyediakan/memproduksi barang/jasa publik yang memiliki potensi untuk

meningkatkan konsumsi masyarakat yang akhirnya hal ini akan membawa pengaruh pada kesejahteraan sosial secara keseluruhan. 4) Penyediaan layanan yang dibiayai oleh keuangan publik Pemerintah mungkin saja ingin mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat namun tanpa intensi untuk terlibat langsung. Oleh karena itu, pemerintah dapat membiayai suatu perusahaan swasta agar menyediakan suatu layanan tertentu kepada masyarakat. Dari hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa ada banyak pilihan kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah. Ketika akan memutuskan kebijakan apa yang akan diambil, setiap pembuat keputusan haruslah mempertimbangkan dengan matang dan mengevaluasi setiap alternatif pilihan yang ada. Proses mengevaluasi pilihan ini akan membawa kita pada pertanyaan ketiga. 3. Apakah intervensi yang dilakukan oleh pemerintah akan memberikan manfaat ekonomi? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini haruslah pembuat kebijakan memahami setiap implikasi yang akan ditimbulkan oleh masing-masing alternatif. Dalam menilai pengaruh yang timbulkan dari intervensi pemerintah, pembuat kebijakan haruslah menyadari bahwa setiap kebijakan memliki pengaruh langsung dan tidak langsung. 1) Pengaruh langsung Pengaruh langsung adalah efek/pengaruh yang dapat diperkirakan jika masing-masing individu yang ada di dalamnya tidak melakukan perubahan tingkah laku atas intervensi yang dilakukan oleh pemerintah. 2) Pengaruh tidak langsung Pengaruh tidak langsung terjadi ketika masing-masing individu yang ada di dalamnya melakukan perubahan tingkah laku sebagai respon terhadap intervensi pemerintah. 4. Apakah alasan dari pemerintah untuk menggunakan suatu cara/kebijakan dalam melakukan intervensi? Haruslah disadari bahwa intervensi yang dilakukan pemerintah tidaklah selalu berkaitan dengan penyelesaian atas masalah kegagalan pasar atau memastikan terdistribusikannya
22

sumber-sumber

daya

secara

merata.

Pada

praktiknya,

pemerintah

menghadapi

permasalahan yang cukup pelik, pemerintah berusaha menggabungkan keinginan jutaan warganya menjadi suatu kumpulan kebijakan yang saling terkait satu sama lain. Hal ini akan membawa kita pada pertanyaan keempat, mengapa seakan pemerintah membuat kebijakan seenaknya? Nyatanya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidaklah semata dipandang dari sudut pandang ekonomi saja, namun ada banyak pertimbangan yang diambil, misalnya terkait dengan politik. Sebagaimana kegagalan pasar mempengaruhi pemaksimalan manfaat di ekonomi pasar, begitupun dengan kegagalan pemerintah dapat menyebabkan ketidaktepatan intervensi pemerintah. Oleh karena itu, para politisi harus

mempertimbangkan berbagai kemungkinan terkait dengan cara pandang dan tekanan dari luar, kedua hal inilah yang mampu mendorong dibentuknya suatu bentuk kebijakan yang dapat memaksimalkan efisiensi ekonomi dan pemerataan sumber daya dalam cara-cara yang dapat diterima. Untuk dapat merekomendasikan apakah diperlukannya intervensi dari pemerintah (kembali ke pertanyaan pertama), perlulah dipertimbangkan beberapa hal; apakah dengan adanya intervensi dari pemerintah ini akan mengurangi/mengatasi masalah? Atau malah akan membuat masalah itu semakin buruk dengan adanya kegagalan pemerintah? B. Mengapa Mempelajari Keuangan Publik? Menilik Dari Fakta-Fakta Yang Ada Di Pemerintahan Yang menjadikan keuangan publik menarik adalah, adanya peran dominan dari pemerintahan di kehidupan sehari-hari kita. Terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk dapat merinci peran pemerintah dalam kehidupan kita, yaitu: 1. Pertumbuhan ekonomi 2. Desentralisasi 3. Pengeluaran, pajak, defisit, dan hutang 4. Distribusi pengeluaran 5. Distribusi sumber-sumber pendapatan 6. Tata peraturan pemerintah
23

Pemerintahan baik dalam skala nasional maupun lokal memiliki cakupan yang luas dan akan terus berkembang seiring perubahan zaman. Ciri khas pemerintah dalam hal belanja dan pendapatan juga akan terus berubah, misalnya dari awalnya penyedia barang publik tradisional (keamanan) menjadi penyedia asuransi sosial (asuransi kesehatan). Melalui tata peraturan perundang-undangannya, pemerintah juga telah memberikan pengaruh pada kehidupan sehari-hari kita.

KEBIJAKAN MAKROEKONOMI Pengertian Makroekonomi Ilmu Ekonomi Makro atau Makroekonomi merupakan bagian dari ilmu ekonomi yang mengkhususkan mempelajari mekanisme bekerjanya perekonomian secara keseluruhan termasuk pertumbuhan dalam pendapatan, perubahan dalam harga, dan tingkat pengangguran. Sedangkan tujuan dari macroekonomi adalah untuk memahami peristiwa ekonomi dan untuk memperbaiki kebijakan ekonomi. Dalam perekonomian mengenal teori makroekonomi. Teori ini lebih memperhatikan aspek-aspek yang menyeluruh dari kegiatan ekonomi. Apabila yang dibicarakan mengenai produsen, maka yang diperhatikan adalah kegiatan produsen dalam keseluruhan ekonomi. Begitu pula, apabila yang diperhatikan adalah tingkah laku konsumen, maka yang dianalisis adalah tingkah laku keseluruhan konsumen dalam menggunakan pendapatannya untuk membeli barang dan jasa yang dihasilkan dalam perekonomian. Dalam analisis makro ekonomi juga diperhatikan peranan pemerintahan dalam mengatur kegiatan sesuatu perekonomian. Ruang Lingkup Analisis Makroekonomi Ilmu Ekonomi dibedakan menjadi:

Ekonomi deskriptif, Mengumpulkan keterangan-keterangan faktual yang relevan mengenai sesuatu masalah ekonomi.

Teori ekonomi, Teori ekonomi tugas utamanya menyusun model analisis ekonomi untuk menerangkan secara umum perilaku sistem ekonomi.

Ekonomi terapan,
24

Menggunakan hasil-hasil pemikiran yang terkumpul dalam teori ekonomi untuk menerangkan keterangan-keterangan yang dikumpulkan oleh ekonomi deskriptif. Teori ekonomi dipecah menjadi :

Teori ekonomi Mikro. Analisis-analisis dalam teori ekonomi mikro pada umumnya meliputi bagian-bagian kecil dari keseluruhan kegiatan perekonomian, seperti kegiatan seorang konsumen, suatu perusahaan atau suatu pasar.

Teori Ekonomi Makro. Analisis-analisis dalam teori ekonomi makro lebih global atau lebih menyeluruh sifatnya. Dalam ekonomi makro yang diperhatikan adalah tindakan konsumen secara keseluruhan, kegiatan-kegiatan keseluruhan pengusaha dan perubahan-perubahan keseluruhan kegiatan ekonomi.

Perbedaan dalam ruang lingkup dan titikberat (fokus)

Mikro ekonomi lebih menitikberatkan pada analisis membuat pilihan untuk (1) mewujudkan efisiensi dalam penggunaan sumber-sumber daya (2) mencapai kepuasan maksimum

Makro ekonomi menerangkan (1) bagaimana segi permintan dan penwaran menentukan tingkat kegaitan dalam perekonomian (2) Masalah utama yang selalu dihadapi setiap perekonomian (3) Peranan kebijakan dan campur tangan pemerintah untuk mentasai masalah ekonomi yang dihadapi

Menggunakan Mikroekonomi dalam Makroekonomi

Mikroekonomi adalah studi bagaimana rumah tangga dan Perusahaan membuat keputusan dan bagaimana pembuat keputusan ini berinteraksi dalam pasar. Dalam mikroekonomi, individu memilih memaksimalkan tingkat kepuasan (utility) dengan batasan anggaran.

Peristiwa-peristiwa makroekonomi muncul dari interaksi banyak individu yang mencoba memaksimalkan kemakmurannya. Karena variabel agregat adalah jumlah variabelvariabel yang mendeskripsikan keputusan-keputusan individu, studi makroekonomi didasarkan pada landasan-landasan mikroekonomi.
25

Isu-Isu Utama dalam analisis Makroekonomi Makroekonomi membahas isu- isu penting yang selalu dihadapi dalam suatu perekonomian. Analisis ini berusaha memberikan jawaban kepada pertanyaan- pertanyaan yang dikemukakan yaitu : 1. 2. 3. 4. Faktor- faktor apakah yang menentukan tingkat kegiatan suatu perekonomian ? Mengapa pertumbuhan ekonomi tidak selalu teguh ? Mengapa kegiatan ekonomi tidak berkembang dengan stabil ? Mengapa pengangguran dan kenaikan harga- harga selalu berlaku ?

Analisis mengenai penentuan tingkat kegiatan dalam perekonomian perlu dibedakan kepada tiga bentuk abstraksi, yaitu:

Analisis penentuan kegiatan perekonomian yang memisalkan bahwa harga tetap dan suku bunga tetap.

Analisis penentuan kegiatan perekonomian yang memisalkan harga mengalami perubahan.

Analisis penentuan kegiatan perekonomian yang memisalkan harga dan suku bunga mengalami perubahan.

Masalah dan Kebijakan Makroekonomi Salah satu aspek penting dari ciri kegiatan perekonomian yang menjadi titik tolak analisis dalam teori makroekonomi adalah pandangan bahwa sistem pasar bebas tidak selalu dapat mewujudkan: 1. 2. 3. penggunaan tenaga kerja penuh. kestabilan harga- harga. pertumbuhan ekonomi yang teguh (konsisten).

Masalah-masalah ini mengakibatkan dampak buruk bagi masyarakat dan harus dihindari atau dapat dikurangi. Aspek-aspek penting yang dapat dipelajari dalam

makroekonomi adalah kebijakan fiscal (kebijakan pemerintah dalam perpajakan dan penggunaannya), kebijakan moneter (kebijakan pemerintah dalam mengatur penawaran uang dan suku bunga), dan kebijakan ekonomi terbuka.
26

Masalah Utama Dalam Perekonomian Dari uraian secara ringkas di atas diterangkan masalah makroekonomi utama yang selalu dihadapi oleh suatu negara dapat dirincikan sebagai berikut : 1. Masalah Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai : perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor- faktor produksi akan selalu mengalami pertambahan dalam jumlah dan kualitasnya. Investasi akan menambah jumlah barang modal, teknologi yang digunakan, tenaga kerja bertambah akibat perkembangan penduduk dan perkembangan tingkat pendidikan. 2. Masalah ketidakstabilan kegiatan ekonomi. Perekonomian tidak selalu berkembang secara teratur dari satu periode ke periode lainnya, karena selalu mengalami masa naik turun. Pergerakan naik turun kegiatan perusahaan- perusahaan di dalam jangka panjang dinamakan konjungtor atau siklus kegiatan perusahaan. Kemunduran sedangkan yang serius akan menimbulkan terlalu masalah akan

pengangguran,

perkembangan

ekonomi

yang

pesat

menimbulkan kenaikan harga- harga atau inflasi. Ahli- ahli ekonomi berkeyakinan bahwa dalam suatu perekonomian yang sepenuhnya diatur oleh mekanisme pasar, siklus kegiatan ekonomi sangat labil, siklus kegiatan ekonomi seperti ini dapat menyebabkan akibat buruk kepada perekonomian dan masyarakat. 3. Masalah pengangguran. Pengangguran adalah suatu keadaan dimana seorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Faktor utama yang menimbulkan pengangguran adalah kekurangan pengeluaran agregat. Selain itu terdapat faktor-faktor lain yang menimbulkan pengangguran, antara lain : Menganggur karena ingin mencari kerja lain yang lebih baik. Pengusaha menggunakan peralatan produksi modern yang mengurangi penggunaan tenaga kerja.
27

Ketidaksesuaian di antara ketrampilan pekerja yang sebenarnya dengan ketrampilan yang diperlukan dalam industri- industri. Akibat buruk pengangguran Tingkat pendapatan merupakan faktor penting yang menentukan kemakmuran suatu masyarakat. Pendapatan masyarakat mencapai maksimum apabila tingkat penggunaan tenaga kerja penuh dapat diwujudkan. Pengangguran mengurangi pendapatan masyarakat sehingga mengurangi tingkat kemakmuran yang mereka capai. 4. Masalah kenaikan harga-harga (inflasi). Inflasi dapat didefisikan sebagai suatu proses kenaikan harga- harga yang berlaku dalam perekonomian. Faktor- faktor penyebab Inflasi : Tingkat pengeluaran agregat yang melebihi kemampuan perusahaan- perusahaan untuk menghasilkan barang dan jasa. Pekerja- pekerja di berbagai kegiatan ekonomi menuntut kenaikan upah.

Akibat buruk Inflasi Inflasi menimbulkan beberapa akibat buruk bagi individu masyarakat dan kegiatan perekonomian secara keseluruhan. Inflasi cenderung menurunkan taraf kemakmuran segolongan besar masyarakat. Bila tidak dikendalikan inflasi akan bertambah serius dan cenderung untuk mengurangi investasi yang produktif, mengurangi ekspor dan menaikkan impor. Sehingga akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. 5. Masalah neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Istilah perekonomian terbuka berarti suatu perekonomian dengan menjalankan kegiatan ekspor dan import dengan negara- negara lain. Ketidakseimbangan diantara ekspor dan impor dalam aliran keluar/ masuk modal dapat menimbulkan masalah serius dalam kestabilan suatu perekonomian. Alat Pengamat Prestasi Kegiatan Ekonomi Beberapa jenis data makroekonomi dapat digunakan untuk menilai prestasi kegiatan perekonomian pada suatu tahun tertentu dan perubahannya dari suatu periode ke periode lainnya. Alat pengamat prestasi perekonomian atau indikator makroekonomi yang utama adalah:
28

1.

Pendapatan nasional, pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita. Pendapatan Nasional adalah istilah yang menerangkan tentang nilai barang dan jasa yang diproduksikan suatu negara dalam suatu tahun tertentu. Produk Nasional Bruto (PNB) produk nasional yang diwujudkan oleh faktor- faktor produksi milik warga negara. Produk Domestik Bruto (PDB) diwujudkan oleh faktor- faktor produksi dalam negeri. PNB dan PDB merupakan ukuran mengenai besarnya kemampuan sesuatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa dalam suatu tahun tertentu. Data produk nasional dapat digunakan untuk menilai prestasi pertumbuhan ekonomi dan bisa untuk menentukan tingkat kemakmuran masyarakat dan perkembangannya.

2.

Penggunaan tenaga kerja dan pengangguran. Pengangguran dalam suatu negara adalah perbedaan di antara angkatan kerja dengan penggunaan tenaga kerja yang sebenarnya. Angkatan kerja adalah jumlah tenaga kerja yang terdapat dalam suatu perekonomian pada suatu waktu tertentu. Tingkat partisipasi angkatan kerja dapat dihitung menggunakan cara:
Jumlah angkatan kerja : jumlah penduduk usia kerja x 100 %

3.

Tingkat perubahan harga- harga atau inflasi Untuk mengukur tingkat inflasi, indeks harga yang selalu digunakan adalah indeks harga konsumen/ Consumer Price Indeks (CPI) yaitu indeks harga dari barang- barang yang selalu digunakan para konsumen.

4.

Kedudukan neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Neraca pembayaran merupakan data yang memberi gambaran tentang lalu lintas perdagangan dan dana dari satu negara ke berbagai negara lain dalam satu tahun tertentu. Dua komponen penting dari neraca pembayaran yang perlu diperhatikan adalah neraca perdagangan dan neraca keseluruhan (overall balance).

5.

Kestabilan nilai mata uang domestik. Perbandingan antara nilai suatu mata uang asing dengan nilai mata uang domestik disebut kurs valuta asing. Kurs ini akan menunjukkan banyaknya uang dalam negeri yang diperlukan untuk membeli satu unit valuta asing tertentu.

29

Kebijakan Makroekonomi. Kebijakan- kebijakan makroekonomi yang akan dilakukan suatu negara tergantung kepada tujuan- tujuan yang ingin dicapai, tujuan-tujuan kebijakan makroekonomi dapat dibedakan kepada lima aspek berikut : 1. Menstabilkan kegiatan ekonomi Pengertian kestabilan ekonomi meliputi kewujudan dari 3 hal berikut ini : Tingkat penggunaan tenaga kerja adalah tinggi. Tingkat harga- harga tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Terdapat keseimbangan di antara ekspor dan impor dan lalu lintas modal dari atau ke luar negeri. Tujuan menstabilkan ekonomi berarti pula keinginan untuk menghindari fluktuasi yang tajam dalam kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu. 2. Mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja (kesempatan kerja) penuh tanpa inflasi. 3. Menghindari masalah inflasi. 4. Menciptakan pertumbuhan yang teguh. Ada 2 alasan yang menyebabkan suatu negara harus berusaha mencapai pertumbuhan ekonomi yang teguh dalam jangka panjang, yaitu: Untuk menyediakan kesempatan kerja kepada tenaga kerja yang selalu bertambah. Untuk menaikkan tingkat kemakmuran masyarakat. 5. Mewujudkan kekukuhan neraca pembayaran dan kurs valuta asing. Bentuk-bentuk Kebijakan Ekonomi Makro Untuk mencapai tujuan dari ekonomi makro diperlukan beberapa bentuk kebijakan yang harus dijalankan oleh suatu negara dalam sistem perekonomiannya di antaranya sebagai berikut : a. Kebijakan Fiskal Kebijakan Fiskal meliputi langkah-langkah pemerintah untuk membuat perubahan dalam pendapatan dan pengeluaran negara dengan maksud untuk mempengaruhi pengeluaran agregat dalam perekonomian atau mempengaruhi jalannya perekonomian. Kebijakan ini diambil untuk menstabilkan ekonomi, memperluas kesempatan kerja, mempertinggi pertumbuhan ekonomi, dan keadilan dalam pemerataan pendapatan.
30

Seperti dijelaskan di atas bahwa kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah dilakukan melalui perubahan di dalam pendapatan dalam hal ini pajak dan dalam pengeluaran pemerintah dalam hal ini APBN. Instrumen kebijakan fiskal yang berkaitan erat dengan pendapatan adalah sektor perpajakan. Pengaruh dari sisi perpajakan akan nampak sangat jelas pada perekonomian. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat sehingga industri dapat meningkatkan jumlah produksi. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan produksi industri secara umum. Instrumen kebijakan fiskal lainnya bisa melalui kebijakan anggaran yang terdiri dari : Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Anggaran surplus biasanya dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. Anggaran Berimbang (Balanced Budget) Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin. b. Kebijakan Moneter Kebijakan moneter meliputi langkah-langkah pemerintahan yang dijalankan oleh bank sentral (Bank Indonesia) untuk memengaruhi atau mengubah penawaran uang dalam masyarakat atau mengubah tingkat bunga untuk memengaruhi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
31

Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy yaitu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar.

Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy yaitu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).

Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain : Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation). Operasi pasar terbuka merupakan salah satu cara mengendalikan uang yang

beredar dengan menjual ataupun membeli kembali surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah. Pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah apabila ingin menambah jumlah uang yang beredar. Dan sebaliknya jika pemerintah meninginkan jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Fasilitas Diskonto (Discount Rate). Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan cara merubah tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Bila pemerintah akan meningkatkan jumlah uang yang beredar, pemerintah akan menurunkan tingkat bunga bank sentral. Dan sebaliknya menaikkan tingkat bunga untuk mengurangi jumlah uang yang beredar. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio). Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Pemerintah akan menurunkan rasio cadangan wajib apabila menginginkan jumlah uang yang beredar meningkat. Sedangkan untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio cadangan wajib. Himbauan Moral (Moral Persuasion). Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi himbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti
32

menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian. c. Kebijakan Segi Penawaran Kebijakan fiskal dan moneter merupakan kebijakan dari segi permintaan, di samping melalui permintaan, kegiatan perekonomian juga dapat dipengaruhi dari segi penawaran. Kebijakan segi penawaran bertujuan untuk mempertinggi efisiensi kegiatan perusahaan sehingga dapat menawarkan barang dengan harga yang lebih murah atau dengan mutu yang lebih baik. Kebijakan segi penawaran lebih menekankan pada peningkatan semangat tenaga kerja untuk bekerja dengan jalan mengurangi pajak pendapatan rumah tangga dan meningkatkan usaha para pengusaha untuk mempertinggi efisiensi kegiatan produksi. Cara ini dilakukan pemerintah dengan memberi insentif kepada perusahaan yang melakukan inovasi, menggunakan teknologi yang canggih, dan pengembangan mutu barang yang diproduksikan. Selain itu kebijakan segi penawaran dapat dijalankan dengan cara mengembangkan infrastruktur dan peningkatan pelayanan pemerintah dalam mengembangkan kegiatan usaha sektor swasta. MASALAH DAN KEBIJAKAN MAKRO EKONOMI INDONESIA 2013 Permasalahan yang dihadapi dalam ekonomi makro adalah sebagai berikut : 1. Masalah Kemiskinan dan Pemerataan Pada akhir tahun 1996 jumlah penduduk miskin Indonesia sebesar 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,4% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Namun, sebagai akibat dari krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak pertengahan tahun 1997, jumlah penduduk miskin pada akhir tahun itu melonjak menjadi sebesar 47 juta jiwa atau sekitar 23,5% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Pada akhir tahun 2000, jumlah penduduk miskin turun sedikit menjadi sebesar 37,3 juta jiwa atau sekitar 19% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Dari segi distribusi pendapatan nasional, penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan. Sebagian besar kekayaan banyak dimiliki kelompok berpenghasilan besar atau kelompok kaya Indonesia.
33

2. Krisis Nilai Tukar Krisis mata uang yang telah mengguncang Negara-negara Asia pada awal tahun 1997, akhirnya menerpa perekonomian Indonesia. Nilai tukar rupiah yang semula dikaitkan dengan dolar AS secara tetap mulai diguncang spekulan yang menyebabkan keguncangan pada perekonomian yang juga sangat tergantung pada pinjaman luar negeri sector swasta. Pemerintah menghadapi krisis nilai tukar ini dengan melakukan intervensi di pasar untuk menyelamatkan cadangan devisayang semakin menyusut. Pemerintah menerapkan kebijakan nilai tukar yang mengambang bebas sebagai pengganti kebijakan nilai tukar yang mengambang terkendali. 3. Masalah Utang Luar Negeri Kebijakan nilai tukar yang mengambang terkendali pada saat sebelum krisis ternyata menyimpan kekhawatiran. Depresiasi penurunan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama dolar ASyang relative tetap dari tahun ke tahun menyebabkan sebagian besar utang luar negeri tidak dilindungi dengan fasilitas lindung nilai ( hedging) sehingga pada saat krisis nilai tukar terjadi dalam sekejap nilai utang tersebut membengkak. Pada tahun1997, besarnya utang luar negeri tercatat 63% dari PDB dan pada tahun 1998 melambung menjadi 152% dari PDB. Untuk mengatasi ini, pemerintah melakukan penjadwalan ulang utang luar negeri dengan pihak peminjam. Pemerintah juga menggandeng lembaga-lembaga keuangan internasional untuk membantu menyelesaikan masalah ini. 4. Masalah Perbankan dan Kredit Macet Besarnya utang luar negeri mengakibatkan permasalahan selanjutnya pada system perbankan. Banyak usaha yang macet karena meningkatnya beban utang mengakibatkan semakin banyaknya kredit yang macet sehingga beberapa bank mengalami kesulitan likuiditas. Kesulitan likuiditas makin parah ketika sebagian masyarakat kehilangan kepercayaannya terhadap sejumlah bank sehingga terjadi penarikan dana oleh masyarakat secarabesar-besaran (rush). Goncangan yang terjadi pada system perbankan menimbulkan goncangan yang lebih besar pada system perbankan secara keseluruhan, sehingga perekonomian juga akan terseret ke
34

jurang kehancuran. Alasan-alasan di atas menyebabkan pemerintah memutuskan untuk menyelamatkan bank-bankyang mengalami masalah likuiditas tersebut dengan memberikan bantuan likuiditas. Namun untuk mengendalikan laju inflasi, bank sentral harus menarik kembali uang tersebut melalui operasi pasar terbuka. Hal ini dilakukan dengan meningkatnya suku bunga SBI. Kebijakan ini kemudian menimbulkan dilema karena peningkatan suku bunga menyebabkan beban bagi para peminjam (debitor). Akibatnya tingkat kredit macet di system perbankan meningkat dengan pesat. Dilema semakin kompleks di saat system perbankan mencoba mempertahankan likuiditasyang mereka miliki dengan meningkatkan suku bungan simpanan melebihi suku bunga pinjaman sehingga mereka mengalami kerugian yang berakibat pengikisan modal yang mereka miliki. 5. Masalah Inflasi Masalah inflasi yang terjadi di Indonesia tidak terlepas kaitannya dengan masalah krisis nilai tukar rupiah dan krisis perbankan yang selama ini terjadi. Pada tahun 2004 tingkat inflasi Indonesia pernah mencapai angka 10,5%. Ini terjadi karena harga barang-barang terus naik sebagai akibat dari dorongan permintaan yang tinggi. Tingginya laju inflasi tersebut jelas melebihi sasaran inflasi BI sehingga BI perlu melakukan pengetatan di bidang moneter. Pengetatan moneter tidak dapat dilakukan secara drastic dan berlebihan karena akan mengancam kelangsungan proses penyehatan perbankan dan program restrukturisasi perusahaan. 6. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran Menurunnya kualitas pertumbuhan ekonomi tahun 2005-2006 tercermin dari anjloknya daya serap pertumbuhan ekonomi terhadap angkatan kerja. Bila di masa lalu setiap 1% pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan lapangan kerja hingga 240 ribu maka pada 2005-2006 setiap pertumbuhan ekonomi hanya mampu menghasilkan 40-50 ribu lapangan kerja. Berkurangnya daya serap lapangan kerja berarti meningkatnya penduduk miskin dan tingkat pengangguran. Untuk menekan angka pengangguran dan kemiskinan, pemerintah perlu menyelamatkan industry-industri padat karya dan perbaikan irigasi bagi pertan

35

Perekonomian Indonesia saat ini berada dalam critical point. Faktor melemahnya nilai tukar rupiah, inflasi yang terus naik bahkan mencapai puncak tertinggi sejak Global Financial Crisis, disertai peningkatan defisit transaksi berjalan dan semakin tergerusnya cadangan devisa akibat capital outflow serta besarnya utang luar negeri swasta jangka pendek yang jatuh tempo membuat instabilitas perekonomian Indonesia meningkat. Memburuknya indikator-indikator makro ekonomi Indonesia sudah berlangsung lebih dari satu tahun terakhir ini. Selain itu, tekanan yang dihadapi ekonomi nasional disebabkan juga oleh semakin memburuknya ekonomi emerging economies serta kondisi ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian. Hal ini harus diwaspadai karena bisa berlanjut ke tahapan yang lebih buruk dan menyebabkan Indonesia masuk ke dalam lubang krisis. Dalam rangka merespon meningkatnya instabilitas ekonomi makro karena merosotnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, pemerintah

mengeluarkan empat paket kebijakan. 1. Paket Pertama Paket yang dibuat terkait dengan upaya memperbaiki neraca transaksi berjalan dan menjaga nilai tukar rupiah a. Pemerintah akan melakukan langkah mendorong ekspor dengan memberikan deduction tax pada sektor ekspor minimal 30% dari produksi. b. Menurunkan impor migas. Dengan meningkatkan porsi penggunaan biodiesel dalam porsi solar sehingga akan mengurangi konsumsi solar yang berasal dari impor. Kebijakan ini akan menurunkan impor migas secara signifikan. c. Menetapkan pengenaan pajak Bea Masuk yang berasal dari barang impor seperti mobil CBU, barang bermerek yang sekarang 75% akan menjadi 125% sampai 150%. d. Melakukan langkah memperbaiki ekspor mineral dengan memberikan relaksasi prosedur terkait kuota. 2. Paket Kedua Paket ini bertujuan menjaga pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat. Pemerintah akan memberikan insentif dengan tetap memastikan bahwa defisit fiskal berada pada kisaran 2,38%. Dengan menjaga defisit pada batas aman ini pemerintah
36

memastikan pembiayaan APBNP 2013 dalam kondisi aman. Adapun insentif yang diberikan terkait dengan: a. Tax deduction pada industri padat karya b. Relaksasi fasilitas kawasan berikat c. Penghapusan PPN Buku d. Penghapusan PPN dasar yang sudah tak tergolong barang mewah. e. Pentingnya menjaga menjaga UMP untuk mencegah terjadi PHK dengan skema kenaikan UMP yang mengacu pada KHL produktifitas dan pertumbuhan ekonomi. Dengan membedakan kenaikan upah minimum industri, UMK, industri padat karya, dan industri padat modal. f. Insentif dalam jangka menengah addition deduction untuk litbang g. Mengoptimalkan penggunaan tax allowance untuk insentif investasi 3. Paket Ketiga Paket ketiga ini tujuannya untuk menjaga daya beli masyarakat dan inflasi. Pemerintah akan berkoordinasi dengan BI. Dari sisi pemerintah untuk mengatasi inflasi atau harga yang bergejolak atau volatile food, pemerintah akan ubah tata niaga daging sapi dan hortikultura dari pembatasan sistem kuota menjadi mekanisme yang andalkan harga. 4. Paket Keempat Paket keempat ini terkait dengan mempercepat investasi. Pemerintah akan mengambil langkah: a. Menyederhanakan perizinan dengan mengefektifkan fungsi pelayanan satu pintu dan menyederhanakan jenis perizinan yang menyangkut kegiatan investasi. Sebagai contoh saat ini sudah ada perizinan investasi hulu migas dari 69 jenis menjadi hanya 8 perizinan. b. Mempercepat dan saat ini sudah dirampungkan adalah revisi PP tentang DNI (Daftar Negatif Investasi) yang lebih ramah bagi investor. c. Mempercepat program investasi berbasis agro, CPO, kakao, rotan, mineral, logam, bauksit, nikel dan tembaga dengan memberikan insentif berupa tax holiday dan tax allowance serta percepatan renegosiasi kontrak karya dan PKP2B.
37

KEBIJAKAN FISKAL A. PENDAHULUAN Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter saling berpengaruh satu sama lain dalam kegiatan perekonomian suatu negara. Jika kebijakan moneter dipengaruhi beberapa variabel utama antara lain suku bunga, pertumbuhan ekonomi (Gross Domestic Product/GDP), inflasi, dan kurs valuta asing, maka dalam kebijakan fiskal dipengaruhi oleh dua variabel utama, yaitu pajak (tax) dan pengeluaran pemerintah (goverment expenditure). Membahas mengenai kebijakan fiskal dan kebijakan moneter tentu berkaitan erat dengan kegiatan perekonomian empat sektor. Keempat sektor ini memiliki hubungan interaksi masing-masing dalam menciptakan pendapatan dan pengeluaran. Keempat sektor tersebut adalah (1) sektor rumah tangga; (2) sektor perusahaan; (3) sektor pemerintah dan (4) sektor

internasional/luar negeri. B. PENGERTIAN KEBIJAKAN FISKAL Terdapat beberapa pengertian tentang kebijakan fiskal yang dapat kita temui. Definisi yang paling populer menyebutkan bahwa kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana dan kebijakan yang ditempuh oleh

pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Singkatnya, kebijakan fiskal adalah kebjakan pemerintah yang terkait dengan penerimaan atau pengeluaran negara. Samuel dan Nordhaus mendefinisikan kebijakan fiskal sebagai proses pembentukan perpajakan dan pengeluaran masyarakat dalam upaya menekan fluktuasi siklus bisnis, dan ikut berperan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi, penggunaan tenaga kerja yang tinggi, bebas dari laju inflasi yang tinggi dan berubah-ubah. Sementara menurut Tulus TH Tambunan, kebijakan fiskal memiliki dua prioritas, priotitas pertama adalah mengatasi defisit anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) dan masalah-masalah APBN lainnya defisit APBN terjadi apabila penerimaan pemerintah lebih kecil dari pengeluarannya serta prioritas kedua untuk mengatasi stabilitas ekonomi
38

makro, yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, kesempatan kerja dan neraca pembayaran. Sedangkan menurut Nopirin, kebijakan fiskal terdiri dari perubahan pengeluaran pemerintah atau perpajakan dengan tujuan untuk mempengaruhi besar serta susunan permintaan agregat. Indikator yang biasa dipakai adalah budget defisit yakni selisih antara pengeluaran pemerintah (dan juga pembayaran transfer) dengan penerimaan terutama dari pajak. Pengertian lainnya menyatakan bahwa kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum. Berdasarkan dari beberapa teori dan pendapat ahli di atas dapat kita simpulkan bahwa kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara untuk mengarahkan kondisi perekonomian menjadi lebih baik yang terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN. Tentu di luar beberapa pendapat di atas masih dapat kita temui berbagai definisi lain tentang kebijakan fiskal, namun demikian konsep yang harus kita pahami adalah bahwa kebijakan fiskal meliputi suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik melalui penerimaan dan pengeluaran pemerintah. C. TUJUAN KEBIJAKAN FISKAL Secara umum, tujuan yang ingin dicapai melalui kebijakan fiskal adalah stabilitas ekonomi yang lebih mantap. Artinya secara nasional laju pertumbuhan ekonomi yang layak tetap dapat dipertahankan tanpa adanya angka pengangguran yang signifikan serta tetap menjaga stabilitas harga.
39

Kebijakan ini bertujuan untuk memperbaiki keadaan ekonomi, mengusahakan kesempatan kerja (mengurangi pengangguran), dan menjaga kestabilan harga-harga secara umum. Hal ini dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran konsumsi pemerintah (G), jumlah transfer pemerintah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional (Y) serta tingkat kesempatan kerja (N). Kebijakan fiskal juga merupakan salah satu paket tindakan pemerintah di bidang pengeluaran dan penerimaan keuangan negara. Dengan kata lain kebijakan fiskal mengusahakan peningkatan penerimaan pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara menyesuaikan pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Pencegahan timbulnya pengangguran merupakan tujuan yang paling utama dari kebijakan fiskal karena perekonomian suatu negara dapat mencapai laju pertumbuhan yang dikehendaki melalui tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (full employment). Full employment dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang menunjukkan seluruh angkatan kerja memperoleh pekerjaan. Kondisi ini dapat terwujud bila pemerintah mampu menambah lapangan kerja melalui berbagai kebijakan sehingga dapat menampung seluruh tenaga kerja yang tersedia. Kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mencapai kondisi full employment antara lain dengan mengundang investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Dari dalam negeri, pemerintah menambah pengeluaran untuk membuka lapangan kerja padat karya melalui proyek-proyek pembangunan infrastruktur fisik. Sementara di bidang moneter, bank sentral dapat menerbitkan regulasi yang memudahkan pengajuan kredit usaha dan penentuan suku bunga yang kondusif bagi dunia usaha. D. DEFLASI vs INFLASI Kondisi penurunan yang tajam dari harga-harga umum (deflasi) dalam jangka panjang dapat memicu timbulnya pengangguran karena sektor usaha swasta akan kehilangan potensi untuk mendapat keuntungan. Sebaliknya, kondisi harga-harga umum yang meningkat terus (inflasi) juga mempunyai akibat yang tidak baik bagi perekonomian. Karena penghasilan yang diterima oleh masyarakat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang harganya terus naik. Inflasi yang berkepanjangan akan melemahkan perekonomian karena
40

para memilik modal akan beralih dari investasi produktif ke investasi dalam bentuk barangbarang tahan lama seperti rumah, tanah, dan gedung karena hal ini lebih menguntungkan daripada investasi produktif. Kedua kondisi tersebut tidak baik bagi iklim makroekonomi suatu negara, oleh karenanya untuk mengatasi kondisi deflasi maupun inflasi dilaksanakan kebijakan fiskal sebagai berikut: a) Mengubah Pengeluaran Pemerintah. Dalam kondisi inflasi, uang yang beredar melebihi dari yang diperlukan dalam perekonomian. Untuk itu pemerintah mengurangi pengeluaran sehingga mengakibatkan tabungan (pendapatan lebih besar daripada pengeluaran). b) Mengubah Tingkat Pajak. Menaikkan tarif pajak pendapatan masyarakat sehingga mengakibatkan turunnya tingkat konsumsi masyarakat. c) Pinjaman Paksa. Pemerintah memotong gaji pegawai negeri sebagai pinjaman pemerintah untuk mengurangi jumlah uang yang beredar. E. INSTRUMEN KEBIJAKAN FISKAL Instrumen kebijakan fiskal yang paling utama adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Pajak merupakan komponen penting dalam menentukan kondisi

makroekonomi suatu negara. Mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi, jika pajak diturunkan maka kemampuan/daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Sebaliknya kenaikan tarif pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum. Diantara beberapa pilihan instrumen kebijakan fiskal yang lazim dilakukan pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi makro antara lain: a) Menaikkan atau menurunkan pajak rumah tangga b) Mengatur pengeluaran pemerintah untuk pengusaha tertentu c) Memberikan rangsangan fiskal (insentif atau subsidi) pada pengusaha tertentu

41

F.

HUBUNGAN ANTARA KEBIJAKAN FISKAL DAN APBN Dalam pengertian umum disebutkan bahwa kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilaksanakan lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Benarkah kebijakan di bidang perpajakan sebagai sumber utama pendapatan negara yang tercantum di dalam APBN ? Pada bagian selanjutnya kita akan meneliti apakah pengaruh dari suatu kebijaksanaan fiskal yang dicerminkan oleh suatu struktur APBN tertentu terhadap perekonomian. Pengaruh kebijaksanaan fiskal terhadap perekonomian dapat dianalisis dalam dua tahap yang berurutan yaitu bagaimana suatu kebijaksanaan fiskal diterjemahkan ke dalam APBN serta bagaimana APBN tersebut dapat mempengaruhi perekonomian. Menerjemahkan kebijakan fiskal ke dalam APBN artinya dalam mengelola sumber pendapatan terutama pajak dan bea pemerintah menyatakan kemampuan mengumpulkan pendapatan untuk digunakan mengelola pemerintahan dalam anggaran pendapatan serta janji/komitmen pemerintah menjalankan pemerintahan dan

pembangunan dalam anggaran belanja. APBN mempunyai dua sisi, sisi yang mencatat pengeluaran dan sisi yang mencatat penerimaan. Sisi pengeluaran mencatat semua kegiatan pemerintah yang memerlukan uang untuk pelaksanaannya. Dalam prakteknya, pos-pos yang tercantum sangat beraneka ragam dan mencerminkan apa yang ingin dilaksanakan pemerintah dalam programnya. Sebagai contoh program pemerintah dapat berupa kegiatan yang mengakibatkan adanya pengeluaran untuk belanja pegawai, belanja barang/jasa, belanja modal maupun transfer serta berbagai pengeluaran lainnya. Semua pos pada sisi pengeluaran tersebut memerlukan dana untuk melaksanakannya. Sehingga diperlukan suatu objek untuk memperoleh penerimaan negara guna melakukan pembayaran pengeluaran tersebut. Sisi penerimaan menunjukkan dari mana dana yang diperlukan tersebut diperoleh. Ada empat sumber utama untuk memperoleh dana yaitu dari pajak, pinjaman bank sentral, pinjaman dalam negeri serta pinjaman luar negeri. G. JENIS PEMBIAYAAN DALAM KEBIJAKAN FISKAL Banyak kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi kelesuan ekonomi negara. Dewasa ini pemerintah mengadakan deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang
42

dengan tujuan memperbaiki keadaan ekonomi agar tercapai tingkat pertumbuhan yang tinggi. Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi merupakan bagian dari kebijakan fiskal pemerintah. Secara umum kebijakan fiskal dapat ditempuh dengan empat jenis pembiayaan, yaitu sebagai berikut: 1. Pembiayaan Fungsional (functional finance) Kebijakan anggaran pembiayaan fungsional (functional finance), adalah kebijakan yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat berbagai akibat tidak langsung terhadap pendapatan nasional dan bertujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja. Pembiayaan pengeuaran pemerintah ditentukan sedemikian rupa sehingga tidak berpengaruh langsung terhadap pendapatan nasional. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesempatan kerja (employement). Penerimaan pemerintah dari sektor pajak bukan ditujukan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah tetapi bertujuan untuk mengatur pengeluaran pihak swasta. Oleh karena itu dalam hal terjadi pengangguran, penerimaan pajak tidak terlalu diperlukan. Sedangkan untuk menekan inflasi diatasi dengan kebijakan pinjaman. Jika sektor pajak dan pinjaman tidak berhasil, tindakan lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah mencetak uang. Jadi dalam hal ini sektor pajak dengan pengeluaran pemerintah menjadi satu hal yang terpisah. 2. Pengelolaan Anggaran (the finance budget approach) Kebijakan pengelolaan anggaran (the finance budget approach), adalah kebijakan untuk mengatur pengeluaran pemerintah, perpajakan, dan pinjaman untuk mencapai stabilitas ekonomi yang mantap. Penerimaan dan pengeluaran pemerintah dari perpajakan dan pinjaman adalah satu paket yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka menciptakan kestabilan ekonomi. Kemudian dalam pengelolaan anggaran dibutuhkan anggaran berimbang dengan perumusan jika terjadi depresi, maka ditempuh anggaran defisit. Jika terjadi inflasi maka ditempuh anggaran surplus. 3. Stabilisasi Anggaran Otomatis (the stabilizing budget) Kebijakan stabilisasi anggaran otomatis (the stabilizing budget), adalah kebijakan yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat besarnya biaya dan manfaat dari berbagai program. Tujuan kebijakan ini adalah agar terjadi penghematan dalam pengeluaran pemerintah. Dalam stabilisasi anggaran ini, diharapkan terdapat
43

keeimbangan antara penerimaan dan pengeluaran tanpa campur tangan pemerintah yang disengaja. Dengan stabilisasi anggaran ini, pengeluaran pemerintah lebih ditekan pada asas manfaat dan biaya relatif dari berbagi program. Pajak ditetapkan sedemikian rupa sehingga terdapat anggaran belanja surplus dalam kesempatan kerja penuh. 4. Anggaran Belanja Seimbang Cara yang diberlakukan dalam hal ini adalah anggaran yang disesuaikan dengan keadaan (managed budget). Tujuannya adalah tercapainya anggaran berimbang dalam jangka panjang. Dalam keadaan terpaksa, seperti ketika terjadi ketidakstabilan ekonomi, ditempuh anggaran defisit. Sedangkan pada masa inflasi ditempuh anggaran surplus. Kebijakan/Politik Anggaran Kebijakan anggaran atau biasa disebut politik anggaran lazim digunakan pemerintah suatu negara dalam menjalankan kebijakan fiskal. Kebijakan masing-masing negara bisa berbeda tergantung pada keadaan dan arahyang akan dicapai dalam jangka pendek maupun jangka panjangnya. Berikut adalah macam-macam anggaran yang biasa ditempuh beberapa negara dalam mencapai manfaat tertinggi dalam mengelola anggaran, antara lain: Anggaran Berimbang (Balanced Budget) Anggaran berimbang terjadi bilamana pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin anggaran karena pengeluaran tidak boleh dilaksanakan melebihi penerimaan. Pada anggaran berimbang, diusahakan agar pengeluaran (belanja) dan pendapatan atau penerimaan sama. Keadaan seperti ini dapat menstabilkan ekonomi dan anggaran. Dalam hal ini, pengeluaran disesuaikan dengan kemampuan keuangan suatu negara. Fokus kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Jadi topik utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak serta pengeluaran pemerintah dapat memengaruhi hal-hal seperti permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi, pola
44

persebaran sumber daya serta distribusi pendapatan. Kebijakan ini kurang lebih serupa dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal menekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif Pada anggaran surplus, tidak semua penerimaan dibelanjakan, sehingga terdapat tabungan pemerintah. Asas ini tepat digunakan jika keadaan ekonomi sedang mengalami inflasi. Pendekatan dalam anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukan lebih besar daripada pengeluarannya. Politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang dalam kondisi resesi. Pada anggaran defisit, anggaran disusun sedemikian rupa sehingga pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. Anggaran defisit dapat memicu inflasi karena untuk menutup defisit harus dilakukan dengan mengajukan pinjaman/ utang LN atau mencetak uang. H. JENIS KEBIJAKAN FISKAL 1. Kebijakan Fiskal yang Disengaja (discretionary) Kebijakan fiskal yang disengaja adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi tingkat naik turunnya kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu (gelombang konjungtur), dengan memanipulasi anggaran belanja secara sengaja, baik melalui pengubahan perpajkaan atau pengubahan pengeluaran pemerintah. Dengan usaha ini dapat terlihat seberapa jauh peranan pemerintah dalam melakukan campur tangannya dalam pengaturan jalannya roda perekonomian. 2. Kebijakan Fiskal Pasif (automatic stabilizers atau built-in stabilizer) Kebijakan pasif adalah kebijakan yang erat kaitannya dengan penerapan berbagai pajak. Dalam realitaya sebagian besar dari pajak-pajak yang dikenakan pada masyarakat, baik langsung maupun tak langsung, berhubungan erat dengan tingginya
45

arus pendapatan nasional. Semakin tingi arus pendapatan nasional, semakin tinggi pula penerimanan yang diperoleh dari sektor pajak, baik langsung maupun tak langsung. Pajak pendapatan, pajak perseroan, pajak kekayaan dan sebagainya adalah pajak langsung yang jelas sekali berhubungandengan tingkat pendapatan negara. Dari sudut ekonomi makro, kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu kebijakan fiskal ekspansif dan kebijakan fiskal kontraktif. 1) Kebijakan fiskal ekspansif, adalah kebijakan menaikkan belanja negara dan menurunkan tingkat pajak netto. Kebijakan ini untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan fiskal ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami resesi/depresi dan pengangguran yang tinggi 2) Kebijakan fiskal kontraktif, adalah kebijakan untuk menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi. I. PRAKTIK KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA Dalam mengatur perekonomian, pemerintah membuat suatu daftar anggaran yang disebut APBN, yang memuat sumber penerimaan dan jenis-jenis pengeluaran negara untuk pembayaran. Agar terjadi keseimbangan antara jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran, pemerintah melaksanakan kebijakan fiskal, yaitu kebijakan pemerintah dalam memengaruhi perekonomian melalui perubahan pengeluaran dan penerimaan dalam APBN. Penerimaan dan pengeluaran pemerintah merupakan faktor yang memengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Perlu diketahui dalam banyak hal bahwa rumah tangga negara tidak sama dengan rumah tangga keluarga. Pada rumah tangga keluarga, jika penerimaan semakin menurun maka tindakan yang akan dilakukan adalah menekan pengeluaran. Tindakan demikian dapat menyelamatkan kemunduran ekonomi rumah tangga keluarga. Sebaliknya dalam rumah tangga negara, penurunan penerimaan tidak dapat selalu diatasi dengan penurunan pengeluaran. Jika pengeluaran yang ditekan, maka kegiatan ekonomi akan menjadi lesu karena rumah tangga negara berkaitan dengan hajat hidup orang
46

banyak. Salah satu dampak kelesuan ekonomi yaitu akan terjadinya pengangguran yang kemudian akan mengakibatkan tingkat penerimaan negara menjadi menurun. Adapun tindakan yang akan diambil oleh pemerintah adalah mengatur pengeluaran agar pengeluaran tersebut berdampak positif pada perbaikan ekonomi. Tindakan

memperbaiki ekonomi juga dapat ditempuh dengan usaha menaikkan pendapatan. Pemerintah merupakan faktor determinan (yang menentukan) dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah memiliki perangkat-perangkat kebijakan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tindakan-tindakan dalam mengatur pengeluaran dan penerimaan negara disebut sebagai tindakan fiskal. Sehingga kebijakan fiskal dapat disebut sebagai kebijakan penyesuaian di bidang pengeluaran dan penerimaan pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Praktik yang umum dalam penerapan kebijakan fiskal adalah ketika perekonomian nasional mengalami inflasi, pemerintah mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara menekan pembelanjaan (consumption) melalui peningkatan tarif pajak dan bea agar tercipta kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran Contoh : Pemberitaan di media massa mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sudah sering terjadi. Harga BBM dari waktu ke waktu senantiasa naik. Apa pengaruh kenaikan harga BBM ini terhadap keuangan negara? Apakah diuntungkan atau dirugikan? Sebagai negara penghasil minyak bumi tentu akan diuntungkan dengan adanya kenaikan harga minyak bumi di dunia. Namun, kenyataannya negara tetap dirugikan dengan adanya kenaikan harga tersebut. Mengapa? Karena jumlah konsumsi minyak dalam negeri lebih besar daripada jumlah yang diproduksi sehingga negara harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Di satu sisi, harga BBM di dalam negeri lebih rendah dibanding harga di pasar internasional. Ini karena adanya subsidi BBM. Subsidi merupakan pengeluaran pemerintah. Sehingga kenaikan harga minyak bumi justru akan meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM. Tingginya subsidi yang harus dibayarkan akan membebani APBN. Kemudian, apa yang dilakukan pemerintah untuk menekan pengeluaran subsidi tersebut, agar keuangan negara (APBN) tetap aman?
47

Pemerintah perlu mengubah pengeluaran dan penerimaan dalam APBN untuk menyesuaikan dengan kondisi pada waktu itu. Kebijakan yang dilakukan dengan cara mengubah pengeluaran dan penerimaan negara yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas ekonomi, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, serta keadilan dalam distribusi pendapatan yang kita kenal dengan kebijakan fiskal atau politik fiskal. Isu selanjutnya yang sedang marak adalah BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) atau BLT (Bantuan Langsung Tunai). Banyak orang melihat BLSM/BLT hanya bantuan pemberian uang tunai kepada orang yang kurang mampu. sebenarnya di balik itu ada tujuan khusus dari pemerintah secara makroekonomi. BLT diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat secara agregat. Dengan adanya peningkatan pendapatan masyarakat, daya beli masyarakat juga

meningkat. Dengan demikian maka permintaan dari masyarakat juga meningkat. Sehingga dampak selanjutnya adalah meningkatnya permintaan dari masyarakat yang mendorong produksi sehingga pada akhirnya diharapkan akan dapat memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia. Contoh lain dari kebijakan fiskal adalah proyek-proyek yang diadakan oleh pemerintah. Katakanlah pemerintah mengadakan proyek membangun jalan raya. Dalam proyek ini pemerintah membutuhkan buruh dan pekerja lain untuk menyelesaikannya. dengan kata lain proyek ini menyerap SDM sebagai tenaga kerja. hal ini membuat pendapatan orang yang bekerja di situ bertambah. dengan bertambahnya pendapatan mereka akan terjadi efek yang sama dengan BLT tadi. Kebijakan fiskal juga dapat berupa kustomisasi APBN oleh pemerintah. Misalnya melalui deficit financing. Deficit financing atau anggaran defisit adalah anggaran yang menetapkan pengeluaran lebih besar dibandingkan penerimaan. Deficit Financing dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dulunya Orde Lama pernah menerapkannya dengan cara memperbanyak utang dengan meminjam dari Bank Indonesia. Dampak lanjutan yang terjadi kemudian adalah inflasi besar-besaran (hyper inflation) karena uang yang beredar di masyarakat sangat banyak. Sehingga untuk menutup anggaran yang defisit dipinjamlah uang dari rakyat. Sayangnya, rakyat tidak mempunyai cukup
48

uang untuk memberi pinjaman pada pemerintah. akhirnya, pemerintah terpaksa meminjam uang dari luar negeri. J. STUDI KASUS : KEBIJAKAN FISKAL RRC MENDUKUNG INDUSTRI LOKAL Menurut Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Indonesia harus mencontoh China dalam perlindungan dan keberpihakan terhadap pengusahanya. Tidak mengherankan jika China bisa menguasai pertumbuhan ekonomi dunia terutama tekstil. China yang sukses membangun industri dalam negerinya dengan menerapkan konsep China Incorporated. Dalam konsep tersebut, pemerintah dan pengusaha memiliki tindakan yang sama untuk mengembangkan pertumbuhan ekonominya. Ini berarti, setiap kebijakan yang dikeluarkan seiring dengan keinginan dan kebutuhan para pengusaha. Pemerintah China mengeluarkan kebijakan yang membantu pengusaha menekan biaya produksinya agar barang-barang mereka bisa bersaing di pasar internasional. Saat ini pemerintah China memberlakukan kebijakan fiskal berupa pengembalian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 13,5 persen dari nilai ekspor yang dilakukan pengusaha. Kondisi sebaliknya justru terjadi di Indonesia. Pengusaha justru diperberat dengan banyak aturan dan pajak. Berdasarkan kenyataan ini maka tidak heran jika barang-barang China sekarang bisa menguasai dunia. Untuk produk tekstil dan produk tekstil (TPT) saja saat ini nilai ekspor China sudah mencapai US$300 miliar per tahun dengan market share mencapai 38 persen. Jumlah tersebut tentu tidak sebanding dengan nilai ekspor TPT Indonesia yang hanya mencapai US$ 13 miliar. K. STUDI KASUS: KEBIJAKAN FISKAL DI ERA KRISIS EKONOMI 1998 Pemerintah RI pernah menghadapi krisis moneter yang selanjutnya merembet ke krisis ekonomi dan politik pada tahun 1997-1998. Kebijakan yang diambil pemerintah sebagaimana disarikan dari paparan Menko Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Ekuin) yang menjabat saat itu yaitu Ginandjar Kartasasmita dapat diperoleh gambaran mengenai langkah yang diambil pemerintah periode tersebut dalam mengatasi krisis sbb: Kebijaksanaan ekonomi makro dalam upaya menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing adalah melalui kebijaksanaan moneter yang ketat disertai anggaran berimbang, dengan membatasi defisit anggaran sampai pada tingkat yang dapat diimbangi dengan tambahan dana dari luar negeri.
49

Kebijaksanaan moneter yang ketat dengan tingkat bunga yang tinggi selain dimaksudkan untuk menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, dengan menahan naiknya permintaan agregat, juga untuk mendorong masyarakat meningkatkan tabungan di sektor perbankan. Meskipun demikian pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa tingkat bunga tinggi dapat menjadi salah satu faktor terpenting yang akan berdampak negatif terhadap kegiatan ekonomi atau bersifat kontraktif terhadap perkembangan PDB. Oleh karena itu tingkat bunga yang tinggi tidak akan selamanya dipertahankan, tetapi secara bertahap akan diturunkan pada tingkat yang wajar seiring dengan menurunnya laju inflasi menyehatkan sistem perbankan dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga perbankan; merestrukturisasi hutang luar negeri; mereformasi struktural di sektor riil; dan mendorong ekspor. Kebijaksanaan ekonomi mikro yang ditempuh pemerintah, ditujukan untuk mengurangi dampak negatif dari krisis ekonomi terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah, untuk menekan pengangguran dan menjaga keberlangsungan ekonomi sbb: Jaring Pengaman Sosial, meliputi program penyediaan kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, mempertahankan tingkat pelayanan pendidikan dan kesehatan pada tingkat sebelum krisis serta penanganan pengangguran Penyehatan Sistem Perbankan program peningkatan permodalan, penyempurnaan peraturan perundang-undangan, antara lain, mencakup: a) perizinan bank yang semula merupakan wewenang Departemen Keuangan dialihkan kepada Bank Indonesia. b) investor asing diberikan kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pemegang saham bank. c) rahasia bank yang semula mencakup sisi aktiva dan pasiva diubah menjadi hanya mencakup nasabah penyimpan dan simpanannya d) penyempurnaan dan penegakkan ketentuan kehati-hatian e) Bank-bank diwajibkan untuk menyediakan modal minimum (Capital Adequacy Ratio) sebesar 4% pada akhir tahun 1998, 8% pada akhir tahun 1999, dan 10% pada akhir tahun 2000, sebagaimana telah diumumkan pemerintah pada bulan Juni 1998.
50

KEBIJAKAN MONETER BAB I TEORI KEBIJAKAN MONETER A. Kerangka umum kebijakan moneter Kerangka yang umum dipergunakan dalam membahas kebijakan moneter meliputi target, indikator, dan instrumen kebijakan moneter. 1. Target akhir (ultimate target) kebijakan moneter Pada dasarnya kebijakan moneter adalah bagian tak terpisahkan dari kebijakan makro ekonomi suatu Negara, dimana bersama-sama dengan kebijakan fiskal diarahkan untuk

mencapai target akhir yaitu stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan keseimbangan neraca pembayaran. Target akhir kebijakan moneter ini merupakan variabel-variabel yang ingin dicapai oleh otoritas moneter sebagai sarana pendukung untuk tercapainya sasaran akhir dari kebijakan ekonomi, yaitu kesejahteraan masyarakat. Idealnya, semua target kebijakan moneter tersebut dapat dicapai secara serempak dan optimal. Namun berhubung sasaran-sasaran tersebut satu sama lain mengandung unsur-unsur yang bersifat kontradiktif, maka bias dikatakan untuk mencapai semua sasaran secara optimal dan serempak adalah tidak mungkin. Sebagai contoh, apabila bank sentral melakukan ekspansi moneter untuk mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja, tindakan tersebut mempunyai dampak yang tidak menguntungkan terhadap kestabilan harga dan keseimbangan neraca pembayaran. Ekspansi moneter yang berlebihan cenderung mendorong laju inflasi, yang pada gilirannya akan memengaruhi kegiatan ekspor dan impor. Sebaliknya, kebijakan moneter yang ketat dapat menunjang tercapainya kestabilan harga dan keseimbangan neraca pembayaran. Namun, kebijakan tersebut akan mendorong kenaikan suku bunga yang pada gilirannya akan menghambat investasi dan produksi, yang akan mengakibatkan rendahnya pertumbuhan ekonomi dan meluasnya tingkat pengangguran. Dalam teori ekonomi dikenal adanya trade-off antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, dalam menetapkan kebijakan moneter, bank sentral dihadapkan kepada dua pilihan.Pilihan pertama, bank sentral dapat memilih salah satu sasaran untuk
51

dicapai secara optimal dan mengabaikan sasaran lainnya.Misalnya, memilih tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengabaikan tingkat inflasi.Pilihan kedua, bank sentral memilih pencapaian semua sasaran secara serempak, tetapi tidak ada satu pun yang dicapai dengan optimal.Misalnya menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tidak begitu tinggi demi tetap terpeliharanya tingkat inflasi yang masih dapat ditoleransi. 2. Indikator kebijakan moneter Indikator kebijakan moneter adalah variabel-variabel yang ingin dikontrol oleh bank sentral agar target akhir dapat dicapai. Indikator juga disebut sebagai target menengah atau intermediate target dalam usaha mencapai target akhir dari kebijakan moneter. Indikator penting sekali peranannya karena berfungsi sebagai indikasi apakah arah suatu kebijakan moneter tetap tertuju kepada sasaran yang ingin dicapai atau tidak, sekaligus sebagai pengukur sejauh mana pencapaian hasil dari kebijakan moneter.lbarat sebuah kompas, indikator merupakan pembimbing kebijakan moneter menuju pencapaian sasaran yang diinginkan. Indikator atau intermediate target tersebut merupakan variabel-variabel ekonomi yang memengaruhi keseimbangan pasar uang.Karena indikator sering bergejolak sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada kekuatan-kekuatan yang bergerak di pasar uang, yaitu permintaan dan penawaran uang, indikator yang dipilih harus dapat dikendalikan dengan baik untuk kemudian diarahkan agar perkembangannya menunjang usaha pencapaian target yang telah ditetapkan. Terdapat dua pilihan variabel yang dapat digunakan, yaitu tingkat suku bunga ( interest rate) dan jumlah uang beredar (monetary aggregate). a. Pilihan suku bunga Untuk memperjelas bagaimana tingkat suku bunga dapat berfungsi sebagai indikator, berikut ini diberikan suatu ilustrasi. Misalnya, bank sentral menetapkan bahwa suku bunga sebesar x% per tahun adalah tingkat suku bunga yang ideal untuk mendorong kegiatan investasi yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat tertentu. Untuk mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi tersebut tentunya dibutuhkan waktu yang cukup panjang. Apabila dalam perjalanan waktu ternyata suku bunga menunjukkan kenaikan sehingga melampaui angka yang ditetapkan, bank sentral akan segera melakukan ekspansi moneter
52

dengan harapan suku bunga turun sampai pada tingkat tersebut. Sebaliknya, apabila suku bunga menurun, bank sentral akan melakukan kontraksi moneter. Dari ilustrasi tersebut terlihat bahwa dengan kebijakan moneter, suku bunga akan dipengaruhi sedemikian rupa sehingga tetap stabil, sementara itu, jumlah uang beredar (monetary aggregate) akan bergejolak naik dan turun demi mempertahankan suku bunga tetap pada tingkat yang diinginkan. Bergejolaknya monetary aggregate ini dapat mengakibatkan terganggunya kestabilan harga. b. Pilihan Uang Beredar Lain halnya dengan suku bunga, jumlah uang beredar sebagai indikator akan memberikan dampak positif, yaitu tingkat harga yang stabil karena apabila jumlah uang beredar bergejolak, bank sentral akan melakukan tindakan kontraksi atau ekspansi moneter sehingga jumlah uang beredar akan relatif konstan pada suatu jumlah yang ditetapkan. Namun demikian, kebijakan ini akan mengakibatkan suku bunga bergejolak karena gejolak permintaan akan uang tidak diimbangi oleh penawaran akan uang. 3. Instrumen kebijakan moneter Sementara itu instrumen kebijakan moneter, sesuai dengan istilahnya, adalah seperangkat variabel yang dimiliki dan sepenuhnya dapat digunakan oleh bank sentral untuk mengontrol indikator sedemikian rupa sehingga target yang ditetapkan dapat dicapai. Untuk dapat mengontrol indikator, baik tingkat suku bunga maupun uang beredar, bank sentral perlu melakukan intervensi dengan menggunakan instrumen-instrumen yang dimiliki.Secara umum, instrumen yang biasa digunakan dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni instrumen langsung dan instrumen tidak langsung. a. Instrumen langsung Disebut sebagai instrumen langsung karena otoritas moneter dapat secara langsung menggunakan instrumen tersebut ketika dibutuhkan.Berikut ini merupakan instrument langsung yang dapat digunakan oleh bank sentral. 1) Penetapan suku bunga Penetapan suku bunga merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan bank sentral dalam rangka kebijakan moneter. Teknisnya, bank sentral menetapkan tingkat suku bunga, baik suku bunga simpanan maupun suku bunga pinjaman.Dengan penetapan tingkat suku bunga ini,
53

bank sentral dapat melakukan ekspansi dan kontraksi moneter sesuai kebutuhan.Akan tetapi, dengan makin mengglobalnya perekonomian dunia, penetapan suku bunga makin hari makin tidak efektif. 2) Pagu kredit Selain menetapkan suku bunga, bank sentral juga dapat menjaga likuiditas di pasar dengan menetapkan besaran maksimum kredit perbankan yang dapat disalurkan, yang lazim disebut sebagai pagu kredit (credit ceilings).Berapa maksimum bank menyalurkan kreditnya diatur oleh otoritas moneter.Dengan pembatasan kredit ini, jumlah uang beredar dapat dikendalikan.Pagu kredit inilah yang dinaikturunkan sesuai kebutuhan. 3) Rasio likuiditas Kadang untuk keperluan tertentu bank sentral dapat mewajibkan bank-bank untuk, selain memelihara cadangan tertentu, juga memelihara surat berharga tertentu atau valuta asing tertentu dengan proporsi yang ditetapkan. Biasanya langkah ini dilakukan untuk membiayai anggaran pemerintah melalui surat berharga. Dengan rasio likuiditas tersebut secara otomatis bank-bank wajib menyimpan surat berharga sebagai cadangan. 4) Kredit langsung Pada era prakrisis kita mengenal apa yang disebut dengan kredit likuiditas di mana Bank Indonesia memberikan kredit untuk keperluan prioritas tertentu. Misalnya terkait dengan program atau proyek tertentu yang tengah digalakkan oleh pemerintah.Kredit langsung ini merupakan salah satu bentuk instrumen langsung yang dapat dikendalikan bank sentral.Namun, kini instrumen langsung ini tidak lagi digunakan karena dianggap tidak efektif dan sangat mahal. 5) Kuota penjualan kembali surat berharga Bank sentral dapat menetapkan kuota untuk penjualan kembali surat berharga yang belum jatuh tempo. Biasanya ditransaksikan dengan tingkat bunga di bawah tingkat bunga pasar uang antar bank. Sebenarnya, instrumen langsung ini tidak ubahnya pemberian kredit oleh bank sentral secara langsung, hanya saja dijamin dengan surat berharga pasar uang. Kuota biasanya diberikan sebagai insentif kepada sektor tertentu. b. Instrumen tidak langsung Disebut instrumen tidak langsung karena instrumen ini tidak secara langsung memengaruhi uang beredar.Akan tetapi, melalui instrumen inilah, pada akhirnya jumlah uang
54

beredar dapat dikendalikan. Seperti juga instrumen langsung, terdapat banyak jenis instrumen tidak langsung yang pada umumnya terdiri dari cadangan wajib minimun, fasilitas diskonto dan rediskonto, operasi pasar terbuka, fasilitas simpanan bank sentral, intervensi valuta asing, fasilitas overdraft, simpanan sektor pemerintah, lelang kredit, moral suasion, serta berbagai instrumen dengan pola syariah. 1) Cadangan wajib minimun Cadangan wajib minimum atau reserve requirement adalah ketentuan bank sentral yang mewajibkan bank-bank untuk memelihara sejumlah alat-alat likuid (reserve) sebesar persentase tertentu dari kewajiban lancarnya. Semakin kecil persentase tersebut semakin besar kemampuan bank memanfaatkan reserve-nya untuk memberikan pinjaman dalam jumlah yang lebih besar.Sebaliknya semakin besar persentase semakin berkurang kemampuan bank untuk memberikan pinjaman. Cadangan ini bisa dijaga dalam bentuk kas atau dalam bentuk rekening giro di bank sentral.Biasanya cadangan dibedakan dalam dua bentuk, yakni cadangan primer dan cadangan sekunder. 2) Fasilitas diskonto Fasilitas diskonto atau discount rate policy adalah kebijakan moneter dalam memengaruhi jumlah uang beredar melalui pengaturan suku bunga pemberian kredit bank sentral kepada bank-bank. Apabila bank sentral menetapkan tingkat diskonto lebih tinggi, bankbank yang pada gilirannya mengurangi permintaan kredit dari bank sentral akan mengurangi kemampuan bank-bank memberikan pinjaman sehingga jumlah uang beredar menurun. Sebaliknya, apabila bank sentral menetapkan diskonto lebih rendah bank-bank akan

meningkatkan permintaan kredit ke bank sentral untuk disalurkan lebih lanjut berupa pemberian pinjaman, sehingga jumlah uang beredar meningkat. 3) Operasi pasar terbuka Operasi Pasar Terbuka (OPT) merupakan instrumen yang paling banyak digunakan oleh otoritas moneter dalam melaksanakan kebijakan moneter mengingat instrumen ini lebih berorientasi pasar, keterlibatan peserta tidak mengikat, arah kebijakannya mudah ditangkap pekan pasar, dan tidak membebankan pajak pada bank.
55

Operasi pasar terbuka adalah kegiatan bank sentral melakukan jual beli surat-surat berharga jangka pendek dalam rangka mengatur jumIah uang beredar atau suku bunga jangka pendek. Apabila bank sentral bermaksud mengurangi jumlah uang beredar, bank sentral akan menjual surat-surat berharga kepada bank-bank agar reserve bank-bank berkurang sehingga kemampuan bank-bank memberikan pinjaman menurun. Tindakan ini disebut kontraksi moneter. Sebaliknya, untuk menambah jumlah uang beredar, bank sentral akan membeli suratsurat berharga untuk meningkatkan kemampuan bank-bank memberikan pinjaman sehingga jumlah uang beredar meningkat. Pembelian atau penjualan surat-surat berharga tersebut dapat pula dilakukan oleh bank sentral dari/kepada masyarakat agar langsung dapat

menambah/mengurangi jumlah uang beredar. Sama halnya dengan reserve requirement, kontraksi moneter sebagai akibat operasi pasar terbuka akan meningkatkan suku bunga, dan sebaliknya ekspansi moneter akan menurunkan suku bunga. 4) Fasilitas simpanan bank sentral Simpanan bank sentral merupakan simpanan bank-bank pada bank sentral untuk jangka waktu yang sangat pendek.Simpanan ini bersifat sangat pendek, misaInya satu hari, untuk menampung kelebihan likuiditas pada hari itu.Atas simpanan itu, bank menerima bunga yang biasanya di bawah tingkat bunga pasar. Bank Indonesia telah menggunakan fasilitas ini sejak krisis tahun 1997/98, yang dinamakan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI). 5) Intervensi valuta asing Intervensi valuta asing memiliki pola hampir sama dengan operasi pasar terbuka. Bank sentral melakukan jual beli valuta asing dengan mata uang sendiri.Cara ini ditempuh untuk memengaruhi jumlah uang beredar.Dalam praktiknya, intervensi valuta asing ini banyak dilakukan untuk upaya stabilisasi atau smoothing pergerakan nilai tukar mata uang sendiri.Dalam sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate system), intervensi jual valuta asing dimaksudkan untuk memperkuat mata uang sendiri, sementara intervensi beli valuta asing adalah untuk mengurangi kecenderungan menguatnya mata uang sendiri. 6) Fasilitas overdraft Bank sentral juga dapat memberikan pinjaman jangka pendek kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas jangka sangat pendek dalam bentuk fasilitas overdraft. Kesulitan
56

likuiditas jangka pendek terjadi karena pada saat kliring bank akan terjadi "menang" atau "kalah". Menang berarti kewajibannya lebih kecil daripada tagihannya kepada bank-bank, sedangkan kalah berarti kewajibannya lebih besar daripada tagihannya.Dalam kondisi kalah, bank harus menyediakan likuiditas untuk menutupi kewajibannya itu. Dalam kondisi inilah bank dapat meminjam melalui fasilitas overdraft. Pinjaman ini memiliki tingkat bunga di atas bunga pasar. 7) Simpanan sektor pemerintah Simpanan sektor pemerintah dapat menjadi instrumen tidak langsung yang kerap digunakan di banyak negara.Simpanan sektor pemerintah dapat dipindahkan, misalnya dari bank umum ke bank sentral atau sebaliknya. Langkah itu secara tidak langsung akan berdampak kepada uang beredar. Ketika uang beredar terlalu banyak, akan dilakukan realokasi simpanan pemerintah dari bank umum ke bank sentral. Demikian sebaliknya.Apabila terjadi kondisi uang beredar yang sangat kurang, simpanan pemerintah dari bank sentral dapat direalokasi ke bank umum atau bank pelaksana. 8) Lelang kredit Dalam kondisi pasar keuangan belum berkembang dan suku bunga patokan antar bank belum terbentuk, bank sentral memerlukan instrumen sementara untuk mengubah sistem pemberian kredit langsung ke alokasi pasar.Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah melakukan lelang kredit. 9) Moral suasion Moral suasion atau imbauan juga dapat menjadi instrumen tidak langsung dalam kebijakan moneter.Bank sentral atau otoritas moneter memberi imbauan kepada perbankan untuk melakukan langkah tertentu yang dibutuhkan.Namun, efektivitas imbauan ini sangat tergantung pada kredibilitas bank sentral. c. Instrumen Lain Dalam sejarah perkembangan moneter di berbagai negara termasuk di Indonesia, tercatat pernah ditempuh kebijakan moneter yang dilakukan dengan cara pengguntingan uang. Cara ini ditempuh untuk mengurangi uang beredar. Indonesia pernah melakukannya pada tahun 1950 yang dikenal dengan nama "Gunting Sjafruddin". Dengan langkah ini, uang beredar akan
57

berkurang langsung sebesar persentase tertentu, sedangkan sisanya diganti dengan surat berharga. Instrumen lain yang juga pernah dikenal adalah pembersihan uang. Agak sedikit berbeda dengan pengguntingan uang, nilai uang diturunkan dengan persentase tertentu tanpa ada penggantian untuk jumlah yang diturunkan. Indonesia tercatat pernah menggunakan instrumen ini empat kali, yakni pada tahun 1959 (penurunan menjadi 10%), 1946 (penurunan menjadi 3% di mana satu rupiah Jepang menjadi satu tiga sen uang NICA), 1949 (penurunan menjadi 1%, di mana 100 rupiah Jepang menjadi satu rupiah ORI), dan 1965 (penurunan menjadi 0,1% di mana 1.000 rupiah menjadi 1 rupiah). Dengan Jangkah ini diharapkan terjadi penurunan jumlah uang beredar. Instrumen langsung lain yang dikenal adalah penetapan uang muka impor. Melalui kebijakan ini, importir yang akan melakukan transaksi pembelian dari luar negeri diwajibkan menyetor sejumlah persentasi tertentu sebagai uang muka untuk pembelian valuta asing. Dengan cara ini uang beredar dapat dikendalikan. B. Strategi kebijakan moneter Berikut ini akan dikemukakan tentang hal-hal yang biasanya menjadi bahan pertimbangan bank sentral dalam menentukan strategi kebijakan moneter untuk menghadapi gejolak perekonomian. Secara siklikal, perekonomian mengalami periode di mana kegiatan ekonomi menurun sampai titik balik terendah untuk kemudian diikuti oleh periode di mana kegiatan ekonomi meningkat sampai titik balik tertinggi.Titik balik terendah disebut sebagai masa resesi dan titik balik tertinggi disebut masa boom.Siklus masa resesi dan masa boom terjadi bergantian dan berlangsung dari waktu ke waktu sehingga dikenal dengan istilah bussiness cycle. Perekonomian yang sedang dilanda resesi terutama ditandai oleh tingkat pengangguran yang tinggi yang disebabkan oleh lesunya kegiatan ekonomi, sebaliknya pada masa boom akan ditandai oleh inflasi yang disebabkan oleh kenaikan ongkos-ongkos produksi sebagai akibat kegiatan ekonomi yang meningkat. Dilihat dari kacamata moneter, kegiatan ekonomi yang lesu akan mengakibatkan demand for money untuk keperluan transaksi menurun dan sebaliknya pada masa boom, demand for money untuk keperluan transaksi meningkat.
58

Dalam menghadapi gejolak perekonomian seperti tersebut di atas, terdapat dua pendapat yang berbeda di kalangan ahli-ahli moneter mengenai strategi kebijakan moneter yang dapat ditempuh oleh bank sentral. 1. Countercyclical monetary policy. Pihak pertama berpendapat bahwa bank sentral perlu secara aktif melakukan tindakan moneter untuk memperlunak konjungtur sedemikian rupa, sehingga gelombang siklus menjadi tidak terlalu tajam (gambar: dari C ke C1)
Output

C1

C waktu

Menurut

kelompok

pendukung

countercyclical

monetary

policy,

pada

saat

perekonomian akan mengalami resesi, bank sentral harus menempuh kebijakan moneter yang bersifat ekspansif, yaitu meningkatkan supply of money sehingga ekspansi moneter tersebut diharapkan dapat meningkatkan hasrat masyarakat berkonsumsi dan berproduksi. Selanjutnya kenaikan konsumsi dan produksi/investasi tersebut akan meningkatkan kegiatan perekonomian yang pada akhirnya dapat menghindarkan perekonomian darl cengkeraman resesi. Sebaliknya, dalam menghadapi masa boom, bank sentral harus melakukan kontraksi moneter yaitu dengan harapan dapat memperlambat kegiatan perekonomian sehingga perekonomian akan terhindar dari tekanan inflasi. 2. Accomodative monetary policy. Pihak kedua berpendapat seyogianya bank sentral melakukan kebijakan moneter secara pasif.Usaha-usaha untuk melunakkan fluktuasi perekonomian hendaknya dihindari dan kebijakan moneter diarahkan agar siklus bisnis berjalan secara wajar.
59

Kelompok yang menganut accomodative monetary policy berpendapat bahwa expectation effect dari kebijakan moneter adalah lebih dominan daripada substitution effect, interest rate effect, dan wealth effect. Dengan kata lain, tindakan ekspansi moneter dalam menghadapi resesi tidak akan mendorong konsumsi dan produksi/investasi, melainkan hanya meningkatkan harga karena masyarakat terlebih dahulu telah mengantisipasi tindakan moneter yang akan dilakukan oleh bank sentral. Selain itu, pengaruh tindakan moneter terhadap perekonomian tidak dapat terjadi, dengan segera, tetapi membutuhkan tenggat waktu (time lag).Dengan demikian, ekspansi moneter untuk menghadapi resesi ekonomi dampaknya tidak terjadi pada saat berlangsungnya resesi, tetapi pada saat perekonomian menghadapi boom yang justru pada saat itu diperlukan tindakan kontraksi moneter. Sebaliknya, dampak kontraksi moneter untuk menghadapi boom tidak terjadi pada saat berlangsungnya boom, tetapi pada saat ekonomi sedang menghadapi resesi yang justru diperlukan tindakan ekspansi moneter. Kebijakan moneter yang bersifat aktif tersebut justru akan mengakibatkan fluktuasi bussiness cycle menjadi lebih tajam (gambar: dari A ke A1).
Output

A1

Waktu

Dengan kedua alasan tersebut, kelompok pendukung accomodative monetary policy berpendapat bahwa sebaiknya kebijakan moneter diarahkan untuk mengatur uang beredar yang jumlahnya konsisten dengan pertumbuhan ekonomi dan membiarkan bussiness cycle berjalan secara wajar atau alamiah. Dengan kata lain, baik pada saat perekonomian berada dalam resesi maupun boom, pertambahan uang beredar hendaknya dipertahankan pada tingkat tertentu yang dapat menunjang sasaran jangka panjang, yaitu pertumbuhan ekonomi. Setiap tindakan moneter untuk melunakkan fluktuasi tidak akan berhasil, bahkan akan memperburuk situasi.
60

Pendapat kelompok pendukung accomodative monetary policy ahir-akhir ini mendapatkan perhatian yang cukup besar, baik di negara-negara industri maupun negaranegara yang sedang berkembang.Dalam memformulasikan kebijakan ini, terdapat dua hal yang menjadi perhatian. Pertama menentukan monetary aggregate mana yang akan dipilih. Apakah memilih base money/reserve money, narrow money, atau broad money.Yang kedua, menentukan besarnya monetary aggregate dengan mempertimbangkan berbagai variable seperti tingkat pendapatan, tingkat harga, dan tingkat bunga dimasa mendatang.

BAB II PERAN DAN MEKANISME KEBIJAKAN MONETER A. Peran Kebijakan Moneter Kebijakan moneter merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi suatu negara dan merupakan faktor yang dapat dikontrol oleh otoritas moneter sehingga dengan demikian dapat dipakai untuk mencapai sasaran pembangunan ekonomi. Ketika kondisi perekonomian suatu negara tidak berkembang sesuai dengan yang diharapkan atau direncanakan, maka serangkaian kebijakan ekonomi dapat diambil oleh pemerintah untuk mengarahkan kembali jalannya aktivitas. Implementasi kebijakan moneter tidak dapat dilakukan secara terpisah dari kebijakan ekonomi makro lainnya, seperti kebijakan fiskal, kebijakan sektoral, dan kebijakan lainnya.Semuanya mengarah pada pencapaian tujuan akhir yaitu kesejahteraan sosial masyarakat. Secara keseluruhan, kebijakan fiskal bersama-sama dengan kebijakan moneter mempengaruhi sisi permintaan (demand side) dalam perekonomian, sementara di sisi lain kebijakan sektoral seperti perdagangan, perindustrian, pertambangan, pertanian, dan lain-lain, mempengaruhi sisi penawaran (supply side) dari perekonomian. Kebijakan moneter dijalankan sebagai suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan.

61

B.

Saluran Transmisi Kebijakan Moneter Pada dasarnya transmisi kebijakan moneter merupakan interaksi antara otoritas

moneter dengan perbankan dan lembaga keuangan lainnya serta pelaku ekonomi di sektor riil.Pertama, interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan lembaga keuangan lainnya dalam berbagai transaksi keuangan yang terjadi di pasar keuangan. Kedua, interaksi yang berkaitan dengan fungsi intermediasi, yaitu interaksi antara perbankan dan lembaga keuangan lainnya dengan para pelaku ekonomi dalam berbagai aktivitas di sektor ekonomi riil. Selanjutnya mengenai saluran atau channels berikut ini. 1. Saluran Langsung Transmisi kebijakan moneter melalui saluran langsung atau saluran uang ( money channel) mengacu pada teori klasik mengenai peranan uang dalam perekonomian. Pada dasarnya teori ini menggambarkan kerangka yang jelas mengenai analisis hubungan langsung antara uang beredar dan harga. Mekanisme transmisi moneter melalui saluran uang merupakan konsekuensi langsung dari proses perputaran uang dalam perekonomian, yang terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama, bank sentral melakukan operasi moneter untuk pengendalian uang beredar di masyarakat. Tahap kedua, bank-bank mengelola likuiditasnya dalam bentuk cadangan yang dapat dipergunakan sewaktu-waktu sebagai muara kegiatan utama bank di bidang perkreditan dan pengerahan dana. 2. Saluran Suku Bunga Saluran suku bunga lebih menekankan pentingnya aspek harga di pasar keuangan terhadap berbagai aktivitas ekonomi di sector riil. Dalam kaitan ini, kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral akan berpengaruh terhadap perkembangan berbagai suku bunga di sector keuangan dan selanjutnya akan berpengaruh pad atingkat inflasi dan output riil. Bagaimana mekanismenya? Tahap pertama, operasi moneter bank sentral akan mempengaruhi suku bunga jangka pendek (SBI, suku bunga antar bank). Selanjutnya perubahan ini akan mempengaruhi suku bunga deposito yang ditawarkan bank pada masyarakat penabung dan suku bunga kredit yang dibebankan bank kepada para debiturnya. Pada tahap berikutnya, transmisi suku bunga dari sector keuangan ke sector riil akan tergantung pada pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi dan investasi.
62

mekanisme transmisi kebijakan moneter akan dijelaskan

3. Saluran Kredit Selain factor suku bunga, perilaku penawaran kredit perbankan dipengaruhi oleh persepsi bank terhadap prospek usaha debitur dan kondisi internal perbankan sendiri. Selain itu, tidak semua permintaan kredit debitur dapat dipenuhi oleh bank, khususnya oleh kondisi dan prospek keuangan debitur yang dinilai tidak layak, antara lain karena tingginya rasio utang terhadap modal, risiko kredit macet, dan sebagainya. Adanya informasi yang tidak simetris (asymmetric information) antara bank dan debitur dapat menyebabkan pasar kredit tidak selalu berada dalam keseimbangan. Pendekatan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran kredit didasarkan pada asumsi bahwa tidak semua simpanan masyarakat dalam bentuk uang disalurkan oleh perbankan ke masyarakat dalam bentuk kredit. Dengan kata lain, fungsi intermediasi perbankan tidak selalu berjalan sempurna, dalam arti bahwa kenaikan simpanan masyarakat tidak selalu diikuti dengan kenaikan secara proporsional kredit yang disalurkan ke masyarakat. 4. Saluran Nilai Tukar Pendekatan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran nilai tukar, menekankan pentingnya aspek perubahan harga aset financial terhadap berbagai aktivitas ekonomi. Dalam kaitan ini, pentingnya saluran nilai tukar dalam transmisi kebijakan moneter terletak pada pengaruh aset financial dalam valuta asing yang berasal dari hubungan kegiatan ekonomi suatu negara dengan negara lain. Selanjutnya, perubahan nilai tukar dan aliran dana dari dan ke luar negeri akan mempengaruhi kegiatan ekonomi riil di negara yang bersangkutan. Semakin terbuka perekonomian suatu Negara yang disertai dengan system nilai tukar mengambang dan system devisa bebas, semakin besar pula pengaruh nilai tukar dan aliran dana luar negeri terhadap perekonomian dalam negeri. Mengenai interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku ekonomi dalam proses pertukaran uang dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada tahap awal, operasi moneter oleh bank sentral akan mempengeruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan nilai tukar.Pengaruh langsung terjadi sehubungan dengan operasi melaui intervensi, jual beli valas dalam rangka stabilisasi nilai tukar. Sementara, pengaruh tidak langsung terjadi karena operasi moneter yang dilakukan bank
63

sentral mempengaruhi perkembangan suku bunga di pasar uang dalam negeri dan suku bunga luar negeri, yang selanjutnya akan mempengaruhi besarnya aliran dana dari dan ke luar negeri. Tahap berikutnya, perubahan nilai tukar berpengaruh, baik langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan harga barang dan jasa di dalam negeri.Pengaruh langsung terjadi karena perubahan nilai tukar mempengaruhi pola pembentukan harga oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi oleh masyarakat, khususnya terhadapa barang impor. Sementara, pengaruh tidak langsung terjadi karena perubahan nilai tukar mempengaruhi nilai ekspor dan impor, yang pada gilirannya berdampak pada output dan perkembangan harga barang dan jasa. 5. Saluran Harga Aset Perubahan harga aset, baik aset financial seperti obligasi dan saham maupun aset fisik seperti property dan emas banyak dipengaruhi secara langsung oleh kebijakan moneter. Transmisi ini terjadi karena penanaman dana oleh para investor dalam portofolio investasinya yang pada umumnya tidak saja berupa simpanan di bank dan instrument lain di pasar uang, tetapi juga dalam bentuk obligasi dan saham, serta aset fisik. Perubahan suku bunga dan nilai tukar akan berpengaruh pada volume transaksi obligasi, saham, dan aset fisik. Selanjutnya perubahan harga aset pada gilirannya akan berdampak pada berbagai aktivitas di sector riil. Selain itu, pengaruh harga aset terhadap sector riil juga terjadi pada permintaan investasi oleh dunia usaha. Hal ini berkaitan dengan perubahan harga aset tersebut yang memberikan dampak terhadap biaya modal yang harus dikeluarkan dalam berproduksi dan berinvestasi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi permintaan agregat, output, dan inflasi. 6. Saluran Ekspektasi Dengan semakin meningkatnya ketidakpastian dalam perekonomian, saluran ekspektasi semakin penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter ke sector riil. Para pelaku ekonomi, dalam mengambil langkah bisnisnya ke depan, akan mendasarkan pada prospek ekonomi ke depan. Ekspektasi para pelaku ekonomi dimaksud pada umumnya dipengaruhi oleh berbagai informasi mengenai perkembangan indicator ekonomi dan keuangn serta
64

antisipasinya terhadap langkah-langkah kebijakan ekonomi dan moneter yang ditempuh pemerintah dan bank sentral. Dalam konteks kebijakan moneter, yang paling diperhatikan adalah ekspektasi inflasi oleh masyarakat. Teori ekspektasi berpendapat bahwa apabila masyarakat cukup rasional, mereka akan mengambil tindakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya inflasi. Tindakan tersebut berupa pengurangan jumlah uang yang mereka pegang dengan membelanjakannya ke dalam bentuk barang riil sehingga risiko kerugian memegang uang karena inflasi dapat dihindari. Ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan harga pada gilirannya akan mendorong kenaikan suku bunga. Apabila suku bunga meningkat lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga, secara riil rate of return atas aset financial menurun dan penurunan tersebut akan mendorong orang mengalihkan kekayaannya dari bentuk aset financial ke bentuk aset riil. Jadi, apabila masyarakat, khususnya perusahaan-perusahaan besar, dapat memanfaatkan statistic atau data moneter dengan baik untuk memperkirakan tingkat inflasi yang akan terjadi, perusahaan-perusahaan akan menaikkan harga barang-barang yang diproduksi dan masyarakat akan meminta upah yang lebih tinggi mendahului kemungkinan inflasi yang mereka perkirakan terjadi. Mereka tidak perlu harus menunggu melakukan tindakan penyesuaian harga dan upah sampai setelah terjadi inflasi. Apabila tindakan tersebut dilakukan oleh seluruh atau sebagian besar anggota masyarakat, akan membawa dua implikasi moneter. Pertama, kebijakan moneter tidak efektif karena kebijakan moneter tidak dapat mengubah sector riil, yaitu konsumsi, produksi, investasi, dan kesempatan kerja, tetapi yang terjadi hanyalah perubahan tingkat harga. Kedua, ekspektasi masyarakat terhadap inflasi akan mengakibatkan inflasi, yang semula hanya dugaan, justru menjadi kenyataan. Bagaimana ekspektasi inflasi terbentuk? Ekspektasi inflasi dipengaruhi selain oleh perkembangan inflasi yang telah terjadi (inertia) juga oleh kebijakan moneter yang ditempuh oleh bank sentral yang tercermin pada perkembangan suku bunga dan nilai tukar. Semakin kredibel kebijakan moneter, yang antara lain ditunjukkan pada kemampuan bank sentral dalam mengendalikan suku bunga dan nilai tukar, semakin kuat pula dampaknya terhadap pembentukan ekspektasi inflasi oleh masyarakat. Dalam kondisi
65

demikian, ekspektasi inflasi masyarakat akan cenderung mendekati sasaran inflasi yang ditetapkan bank sentral dalam kebijakan moneternya. Dengan perkataan lain, semakin kredibel kebijakan moneter, semakin rendah deviasi ekspektasi masyarakat dari sasaran inflasi yang ditetapkan bank sentral. Oleh karena itu, semakin kecil pula distorsi yang dimbulkannya terhadap perkembangan output dan pencapaian sasaran inflasi.

C.

Jurnal The Channels of Monetary Transmission: Lessons for Monetary Policy (Frederic S. Mishkin) Dari gambaran mengenai mekanisme transmisi keuangan yang telah dijabarkan diatas, , menurut Mishkin dapat diperoleh pelajaran berikut ini. 1. Sangat berbahaya untuk selalu mengasosiasikan kebijakan moneter longgar atau ketat dengan naik atau turunnya tingkat bunga nominal jangka pendek. Pergerakan dalam tingkat bunga nominal tidak selalu berhubungan pada tingkat bunga riil. 2. Harga aset lain di samping yang berada pada instrumen hutang jangka pendek berisi informasi penting tentang pendirian dari kebijakan moneter karena merupakan saluran penting mekanisme transmisi kebijakan moneter. Pandangan bahwa harga aset lain seperti harga saham, nilai tukar uang asing, perumahan dan harga tanah adalah bagian penting dari mekanisme transmisi moneter. 3. Kebijakan moneter dapat menjadi sangat efektif dalam menghidupkan kembali ekonomi lesu bahkan ketika suku bunga jangka pendek telah mendekati nol Kebijakan moneter ekspansif untuk meningkatkan likuiditas dalam perekonomian dapat dilakukan dengan membuka pasar agar membeli yang tidak semata-mata dalam bentuk sekuritas pemerintah jangka pendek. Likuiditas yang meningkat membantu untuk menghidupkan kembali perekonomian dengan manaikkan level ekspektasi harga umum dan meningkatkan aktifitas harga aset lain yang mana akan menstimulasi permintaan agregat melalui saluran-saluran transmisi kebijakan moneter.
66

4. Pencegahan fluktuasi tingkat harga yang tidak terantisipasi adalah sebuah tujuan penting dari kebijakan keuangan, ini memberikan rasional untuk stabilitas harga sebagai tujuan jangka panjang utama untuk kebijakan moneter Beberapa alasan telah ditempatkan untuk tujuan ini, termasuk efek yang tidak diinginkan dari ketidakpastian mengenai tingkat harga masa mendatang pada keputusan bisnis dan produktivitas, distorsi yang dikaitkan dengan interaksi kontrak nominal dan sistem pajak dengan inflasi, dan naiknya konflik sosial karena inflasi. Pengetahuan mengenai mekanisme transmisi moneter membuat jelas bahwa tujuan stabilitas harga adalah yang diinginkan karena ini mengurangi ketidakpastian tingkat harga.

BAB III OPERASI MONETER BANK INDONESIA A. Proses Pengambilan Keputusan dalam Penetapan Kebijakan Moneter Proses pembahasan dan perumusan kebijakan tersebut dilakukan secara berjenjang di tingkat direktorat di Bank Indonesia, dan dilanjutkan pada pembahasan dalam forum Komite Evaluasi Kebijakan Moneter yang melibatkan satuan kerja di sektor moneter dan perbankan di Bank Indonesia. Asesmen tentang kondisi terkini dan prakiraan ekonomi tersebut selanjutkan disampaikan ke Dewan Gubernur dalam forum Komite Kebijakan Moneter (KKM).Forum tersebut merupakan forum diskusi antara anggota Dewan Gubernur dengan pimpinan satuan kerja di Bank Indonesia, yang ditujukan untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang perekonomian.Forum ini dilaksanakan sebelum pelaksanaan RDG dan tidak melibatkan pengambilan keputusan terkait stance kebijakan moneter. Proses pengambilan keputusan baru dilaksanakan pada RDG. Proses selanjutnya adalah Rapat Pra-Rapat Dewan Gubernur (Pra RDG). Di forum Pra-RG ini Dewan Gubernur dan pimpinan Direktur di bidang Moneter dan Perbankan membahas mengenai asesmen Bank Indonesia terhadap perekonomian makro dan sektor keuangan. Setelah Pra RDG, Rapat Dewan Gubernur (RDG) dilaksanakan. Dalam RDG, masing-masing anggota Dewan Gubernur memberikan pandangannya terhadap kondisi perekonomian makro dan sektor keuangan dan membahas pilihan-pilihan kebijakan yang akan diambil. RDG
67

mengambil keputusan kebijakan moneter dalam bentuk penentuan BI rate melalui konsensus. Sesuai dengan UU Bank Indonesia, Gubernur Bank Indonesia memiliki hak veto dalam Rapat tersebut. B. 1. Proses Operasi Moneter yang Dilakukan Bank Indonesia Kerangka Operasi Moneter Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter melalui pengendalian suku bunga (target suku bunga).Stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate).Dalam tataran operasional, BI Rate tercermin dari suku bunga pasar uang jangka pendek yang merupakan sasaran operasional kebijakan moneter.Sejak 9 Juni 2008, BI menggunakan suku bunga Pasar Uang Antara Bank (PUAB) overnight (o/n) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Agar pergerakan suku bunga PUAB o/n tidak terlalu melebar dari anchor-nya (BI Rate), Bank Indonesia selalu berusaha untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan secara seimbang sehingga terbentuk suku bunga yang wajar dan stabil melalui pelaksanaan operasi moneter (OM). Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui Operasi Pasar Terbuka dan Standing Facilities. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT merupakan kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia dalam rangka mengurangi (smoothing) volatilitas suku bunga PUAB o/n. Sementara instrumen Standing Facilities merupakan penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka membentuk koridor suku bunga di PUAB o/n. OPT dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia, sementara Standing Facilities dilakukan atas inisiatif bank. 2. a. Proses Operasi Moneter Instrumen Operasi Moneter Operasi Moneter dilakukan dengan Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing Facilities (SF) . 1) Operasi Moneter: Operasi Pasar Terbuka
68

Kegiatan Operasi Pasar Terbuka (OPT) meliputi:

i.

Absorpsi Likuiditas: Penerbitan SBI Term Deposit Reverse Repo Penerbitan SBIS

ii.

Injeksi Likuiditas: Transaksi Repo

Berikut ini adalah tabel jenis instrumen OPT dan dampaknya terhadap likuiditas serta karakteristiknya :

Keterangan: o VRT (Variable Rate Tender) o FRT (Fixed Rate Tender) o FX (foreign exchange) o SBI (Sertifikat Bank Indonesia) o SBIS (Sertifikat Bank Indonesia Syariah) o SUN (Surat Utang Negara) 2) Operasi Moneter : Standing Facilities Standing facilities meliputi: Penyediaan dana rupiah (lending facility) - Dilakukan dengan mekanisme repurchase agreement (repo) surat berharga Penempatan dana rupiah oleh bank di Bank Indonesia (deposit facility)- Dilakukan dengan menempatkan dana rupiah oleh bank secara berjangka di Bank Indonesia
69

Berikut adalah tabel jenis instrumen standing facilities dan dampaknya terhadap likuiditas serta karakteristiknya:

Keterangan : FASBIS (Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah) 3) Operasi Moneter : Syariah Operasi Moneter Syariah adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui kegiatan operasi pasar terbuka dan penyediaan standing facilities berdasarkan prinsip syariah. Tujuan dari Operasi Moneter Syariah adalah: i. Mencapai target operasional pengendalian operasi moneter syariah d.r. mendukung pencapaian akhir kebijakan moneter BI; ii. Target operasional berupa kecukupan likuiditas perbankan syariah atau variabel lain yang ditetapkan BI. Kegiatan Operasi Moneter Syariah (OMS) Dilakukan dalam bentuk antara lain: OPT Syariah; dan Standing Facilities Syariah. Sesuai dengan Pasal 26 UU Perbankan Syariah No.21 Tahun 2008 dan PBI tentang OMS Pasal 4 No.10/36/PBI/2008 : kegiatan-kegiatan tersebut harus memenuhi prinsip syariah yang dinyatakan dalam bentuk pemberian fatwa dan/atau opini syariah oleh otoritas fatwa (MUI DSN) yang berwenang. b. Proyeksi Likuiditas Untuk menentukan berapa jumlah likuiditas yang harus diserap (absorpsi) maupun
70

disediakan (injeksi) dalam rangka menjaga keseimbangan supply dan demand, Bank Indonesia melakukan estimasi kebutuhan likuiditas perbankan sehingga dapat ditetapkan target operasi moneter setiap harinya. Estimasi likuiditas perbankan dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor otonom (autonomous factor) seperti operasi keuangan Pemerintah dan mutasi uang kartal. Efektivitas operasi moneter berbasis suku bunga tidak terlepas dari adanya informasi yang handal dan sama kepada seluruh pelaku pasar, sehingga tercipta persepsi yang sama untuk mencapai tujuannya, yaitu terbentuknya suku bunga yang wajar. Oleh karena itu, sejak Oktober 2008 Bank Indonesia mulai mengumumkan kondisi likuiditas perbankan kepada pelaku pasar dan masyarakat sebanyak dua kali setiap harinya melalui website Bank Indonesia, BI-SSSS dan sarana lainnya. Dengan adanya informasi mengenai kondisi likuiditas, diharapkan dapat membantu treasury bank dalam mengelola kebutuhan likuiditasnya dan meningkatkan efektifitas pelaksanaan Operasi Moneter. Pengumuman proyeksi likuiditas meliputi 2 (dua) materi utama yaitu: i. Proyeksi Total Likuiditas Tersedia Proyeksi Total Likuiditas adalah perkiraan ketersediaan likuiditas rupiah di pasar dan merupakan hasil proyeksi dari net perubahan faktor otonomus yang berperan dalam menambah/mengurangi ketersediaan likuiditas rupiah. Ketersediaan likuiditas rupiah antara lain dipengaruhi oleh net aliran masuk/keluar uang kartal dari/ke sistem perbankan dan mutasi rekening pemerintah di Bank Indonesia, net instrumen Operasi Moneter jatuh waktu, dan net perubahan saldo giro perbankan di Bank Indonesia. ii. Proyeksi Excess Reserve Proyeksi Excess Reserve adalah perkiraan selisih antara saldo giro perbankan di Bank Indonesia dengan kewajiban pemeliharaan Giro Wajib Minimum (GWM). 3. Penyempurnaan Operasi Moneter Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan operasi moneter dan mendorong perkembangan pasar uang domestik, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan operasi moneter yang mulai dilakukan sejak Maret 2010.Penyempurnaan operasi moneter tersebut dilakukan melalui upaya penyerapan ekses likuiditas rupiah dengan lebih mengutamakan penggunaan instrumen Operasi Pasar Terbuka (OPT) tenor yang lebih panjang.
71

a.

Perpanjangan Profil Jatuh Waktu Sertifikat Bank Indonesia Dalam rangka menyempurnakan operasi moneter, Bank Indonesia memperpanjang

profil jatuh waktu Sertifikat Bank Indonesia (SBI).Perubahan tersebut dilakukan melalui perubahan pelaksanaan lelang SBI dari mingguan menjadi bulanan, dan melakukan penyerapan ekses likuiditas rupiah dengan lebih mengutamakan kepada SBI.dengan tenor yang lebih panjang. b. Paket Kebijakan Penguatan Manajemen Moneter dan Pengembangan Pasar Keuangan Paket kebijakan yang diambil secara umum berupa kebijakan untuk memperkuat operasi moneter dan menyempurnakan aspek prudential perbankan, terdiri dari penambahan instrumen dan penyempurnaan beberapa ketentuan baik di pasar uang rupiah maupun valas, yang terdiri dari: Pelebaran koridor suku bunga PUAB O/N; diimplementasikan mulai 17 Juni 2010. Penerapan minimum one month holding period Sertifikat Bank Indonesia (SBI); diimplementasikan mulai 7 Juli 2010. Penambahan instrumen moneter non-securities dalam bentuk term deposit; berlaku mulai 7 Juli 2010. Penyempurnaan ketentuan mengenai Posisi Devisa Neto (PDN); berlaku mulai 1 Juli 2010. Penerbitan SBI berjangka waktu 9 dan 12 bulan; yang diimplementasikan pada minggu ke-II Agustus 2010 (SBI 9 Bulan) Penerapan mekanisme triparty repurchase (repo) Surat Berharga Negara (SBN); Sebagai tindak lanjut dari beberapa penyempurnaan Operasi Moneter dimaksud, Bank Indonesia juga telah menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan ketentuan pelaksanaanya (Surat Edaran Bank Indonesia), yaitu PBI No. 12/11/PBI/2010 tanggal 2 Juli 2010 tentang Operasi Moneter dan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No. 12/16/DPM tanggal 6 Juli 2010 perihal Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter, SE BI No. 12/17/DPM tanggal 6 Juli 2010 perihal Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) dan SE BI No. 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka. 4. Bagaimana Bekerjanya Kebijakan Moneter? Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan
72

itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time lag). Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil.Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.

Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Ini semua akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin bergairah. Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank Indonesia merespon dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk mengerem aktifitas
73

perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi. Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini sering disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian. Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi. Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga. Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini bekerja memerlukan waktu ( time lag). Time lag masing-masing jalur bisa berbeda dengan yang lain. Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat. Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan tarnsmisi kebijakan moneter. Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respon perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat lambat. Juga, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspon dengan menaikkan penyaluran kredit.Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga belum tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian
74

sedang lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi sektor riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter. C. Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter Mengingat bahwa laju inflasi di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor permintaan (demand pull) namun juga faktor penawaran (cost push), maka agar pencapaian sasaran inflasi dapat dilakukan dengan efektif, diperlukan kerja sama dan koordinasi antara pemerintah dan BI melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi. Sehubungan dengan hal tersebut, di tingkat pengambil kebijakan, Bank Indonesia dan Pemerintah secara rutin menggelar Rapat Koordinasi untuk membahas perkembangan ekonomi terkini. Di sisi lain, Bank Indonesia juga kerap diundang dalam Rapat Kabinet yang dipimpin oleh Presiden RI untuk memberikan pandangan terhadap perkembangan makroekonomi dan moneter terkait dengan pencapaian sasaran inflasi. Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter juga dilakukan dalam penyusunan bersama Asumsi Makro di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dibahas bersama di DPR.Selain itu, Pemerintah juga berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam melakukan pengelolaan Utang Negara. Di tataran teknis, koordinasi antara Pemerintah dan BI telah diwujudkan dengan membentuk Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat sejak tahun 2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan departmen teknis terkait di Pemerintah seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Bidang Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Menyadari pentingnya koordinasi tersebut, sejak tahun 2008 pembentukan TPI diperluas hingga ke level daerah. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah sehingga dapat terwujud inflasi yang rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan berkelanjutan. D. Perkembangan Kebijakan Moneter di Indonesia Dalam buku The Indonesian Economy Entering New Era, Ascarya menulis sebuah artikel berjudul the dynamics of monetary policy yang menguraikan kebijakan moneter yang diambil oleh Bank Indonesia untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang ada dari periode 1953 hingga
75

2009. Uraian kondisi ekonomi dan kebijakan moneter yang diungkapkan oleh Ascarya terdapat pada tabel berikut : No Kondisi Ekonomi Kebijakan Moneter

I. Periode 1953-1968 ( Tahun tahun awal dibentuknya Bank Indonesia) Program Revitalisasi dan Stabilisasi - Banyaknya mata uang yang berbeda - Ditetapkanya rupiah sebagai mata uang beda yang dicetak dan diedarkan di resmi Republik Indonesia berbagai daerah - Reevaluasi mata uang dari Rp 1.000 menjadi - Peredaran uang yang sangat banyak Rp.1 (Sanering) - Hiperinflasi hingga 653,3% - Kebijakan uang ketat; meningkatkan bunga - Jumlah simpanan merosot deposit hingga 72% - Meningkatkan kredit langsung untuk aktivitas ekonomi - Menerbitkan UU Perbankan Nomor 14 tahun 1967 II. Periode 1968-1973 - Inflasi mengalami penurunan - Simpanan masyarakat meningkat - Kebijakan moneter dan fiscal yang terkoordinasi namun kurang terdapat prinsip prudensial dan mekanisme cek and balance atas kebijakan ekonomi III. Periode 1974- 1978 - Krisis moneter internasional - Invlasi mengalami peningkatan drastic pada 1974 - Meningkatnya peredaran uang dari keuntungan perdagangan minyak dan kredit likuiditas dari Bank Indonesia - Kebijakan moneter terbuka sejak 1974; batas kredit; batas bunga dan kredit yang lebih selektif - Kebijakan uang terbuka - Menurunkan persyaratan cadangan pada 1978 - Kredit langsung kepada Bulog - Kredit likuiditas untuk KIK dan KMKP Fokus kepada menstabilkan harga Meningkatkan koodinasi fiscal-moneter Mengontrol peredaran uang Menciptakan gerakan menabung nasional Menurunkan bunga tabungan secara gradual - Bunga pinjaman investasi yang rendah

IV.Periode 1979-1983
76

Resesi global sejak 1979 - Mengontrol peredaran uang Inflasi lebih tinggi dibandingkan - Fasilitas kredit ekspor bagi sektor non migas dengan Negara rekan perdagangan - Harga komoditas yang tidak kompetitif - Peredaran uang yang berlebih V. Periode 1983-1988 - Resesi global masih berlanjut - Menghilangkan batas kredit dan bunga - Harga minyak dunia mengalami - Kebijakan Operasi Pasar Terbuka penurunan dari US$ 35 menjdadi US$ - Kredit likuiditas ditujukan kepada sektor 10 per barel yang menjadi prioritas utama - Perlambatan ekonomi - KElemahan structural - Peredaran mata uang kembali berlebih sejak 1987 VI Periode 1988-1997 Berkembangnya berbagai instrument - Kebijakan uang ketat keuangan - Meningkatkan cadangan wajib dari 2% - Meningkatnya permintaan kredit menjadi 3% diiringi kenaikan tingkat bunga pinjaman - Pemisahan sektor riil dan keuangan - Peredaran uang berlbeih pada tahun 1990 dan 1994 - Tingkat bunga rendah pada tahun 1994 VII Periode 1997-1999 Ekonomi mengalami overheating Kelemahan structural Hutang luar negeri yang tidak dilindung nilai Krisis moneter yang diawali dari Thailand Perbankan mengalami kejatuhan; kredit macet meningkat; ROA dan CAR minus Kebijakan uang ketat Melikuidasi 16 bank pada 16 November 1997 Menandatangani Letter of Intent dengan International Monetary Fund yang mempersyaratkan adanya kebijakan blanket guarantee dan bailout atas perbankan lain yang mengalami kesulitan modal Menerbitkan UU Perbankan pada tahun
77

1998 dan UU Bank Sentral pada tahun 1999 VIII Periode 2000-2004 Recovery Bank sentral yang lebih independen Tekanan inflasi dan tingkat bunga yang tinggi Restrukturisasi perbankan dengan BLBI Kebijakan uang ketat melalui Operasi Pasar terbuka dengan menerbitkan SBI serta melalui intervensi terhadap nilai tukar mata uang rupiah Kebijakan moneter yang lebih akomodatif pada tahun 2003 Kembali menerapkan kebijakan uang ketat pada tahun 2004

IX Periode 2005-2007 Pemulihan perekonomian makin cerah - Terdapat tekanan dari eksternal berupa ketidakseimbangan global - Kenaikan harga minyak dan suku bunga The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) - Inflasi tinggi mencapai 17,1% pada tahun 2005 X Periode 2007-2009 - Krisis keuangan global sejak Juli 2007 - IHSG mengalami penurunan sejak maret 2008 ; Harga minyak naik sangat drastic hingga sempat menyentuh angka $ 147/barell - Sistem perbankan mengalami mengalami pelemahan - Tekanan inflasi berkuran - Banyak bank sentral menurunkan kebijakan tingkat bunganya E. Full Fledged Inflation Targeting (FFIT) Pada tahun 2005, Bank Indonesia mulai mengenalkan suatu framework dalam mengambil kebijakan moneter yang dikenal dengan Full Fledged Iflation Targeting(FFIT). Dengan FFIT,
78

Kebijakan Uang ketat dengan meningkatkan BI Rate menjadi 12,75% pada Desember 2005 dan Meningkatkan cadangan wajib Kebijakan moneter akomodatif pada 20062007

Meningkatkan suku bunga BI sejak mei 2008 Menurunkan cadangan wajib dan Rasio Kecukupan Modal Bailout kepada bank century Kebijakan moneter akomodatif secara agresif sejak bulan 2008 hingga awal 2010

kerangka kerja kebijakan moneter dilakukan secara transparan dan konsisten dalam rangka mencapai sasaran inflasi beberapa tahun ke depan yang ditetapkan dan diumumkan secara eksplisit. Guna mendukung optimalisasi pencapaian sasaran inflasi tersebut, Bank Indonesia menetapkan policy rate (BI-Rate) yang diumumkan secara periodik kepada publik sebagai sinyal kebijakan moneter untuk jangka waktu tertentu.Perubahan BI-Rate mencerminkan respon bank sentral terhadap perkembangan kondisi makroekonomi. Pelaksanaan FFIT di Indonesia mengikuti prinsip dasar bahwa FFIT adalah framework, bukan rule.Dengan prinsip ini, kebijakan moneter tidak dilaksanakan secara kaku. Pelaksanaan kebijakan moneter juga mempertimbangkan sasaran-sasaran pembangunan yang lebih luas antara lain pertumbuhan ekonomi. Berbeda dengan prinsip full discretionary, FFIT menuntut agar discretionary policy dalam pelaksanaan kebijakan moneter bersifat terbatas. Konsep FFIT merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Jadi, konsep FFIT adalah: Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya prakiraan inflasi. Pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan instrumen: (i) Operasi Pasar Terbuka (OPT), (ii) Instrumen likuiditas otomatis (standing facilities), (iii) Intervensi di pasar valas, (iv) Penetapan giro wajib minimum (GWM), dan (v) Himbauan moral (moral suassion). Pengendalian moneter diarahkan pula agar perkembangan suku bunga PUAB berada pada koridor suku bunga yang ditetapkan. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pengendalian likuiditas sekaligus untuk memperkuat sinyal kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia Dengan konsep dasar tersebut, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter dengan elemen-elemen pokok sebagai berikut: Pertama, suku bunga (BI-rate) digunakan sebagai sasaran operasional moneter menggantikan uang beredar. Perubahan sasaran operasional moneter ini didasarkan pada pertimbangan makin lemahnya hubungan antara uang beredar dengan laju inflasi.
79

Kedua, kebijakan moneter diperkuat dengan strategi yang bersifat pre-emptive atau forward looking. Elemen dasar ini sekaligus merupakan tantangan besar bagi Bank Indonesia mengingat inflasi di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi yang bersifat adaptif (inertia). Bank Indonesia menyebutkan, misalnya sekitar 74% inflasi pada tahun 2001 dan sekitar 89% inflasi pada tahun 2004 terutama disumbang oleh ekspektasi yang bersifat adaptif. Kebijakan moneter perlu konsisten terhadap sasaran akhir yang akan dicapai atau menghindari time-inconsistency policy. Tanpa konsistensi yang kuat, kebijakan ke depan kurang mendapat perhatian dari masyarakat.

Ketiga, terkait dengan unsur kedua, pelaksanaan FFIT membutuhkan komunikasi yangefektif dan transparan kepada masyarakat luas. Ini diperlukan agar langkah-langkah kebijakan yang akan ditempuh ke depan benar-benar dipahami secara utuh oleh masyarakat.

Keempat, peningkatan koordinasi yang lebih kuat dengan Pemerintah. Elemen ini sangat penting dalam rangka pencapaian sasaran inflasi yang ditetapkan mengingat faktor-faktor pendorong inflasi tidak sepenuhnya berada dalam lingkup kewenangan Bank Indonesia. Meskipun kinerja dan manfaat dapat berbeda tergantung pada kondisi spesifik Negara

yang bersangkutan dan rezim yang dipraktekkan, pada umumnya negara yang menerapkan FFIT memperoleh sejumlah keuntungan, yaitu: Sukses dalam membantu negara menurunkan inflasi, Kebijakan moneter lebih secara jelas terfokus, Komunikasi, transparansi, dan akuntabilitas secara bersama diperkuat, Membantu dalam menurunkan dan mengarahkan ekspektasi inflasi dan lebih baik dalam mengatasi kejutan inflasi, Membantu dalam menurunkan volatilitas output dalam jangka menengah, Teruji terhadap kejutan ekonomi yang kurang menguntungkan, Kebijakan moneter relatif fleksibel dalam mengakomodasi kejutan inflasi temporer yang tidak mengganggu pencapaian sasaran inflasi jangka menengah, dan Independensi bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter diperkuat. Kisah sukses FFTI di sejumlah Negara maju didukung oleh terdapatnya prasyarat dan pra kondisi yang diperlukan di Negara yang bersangkutan, sementara di Negara berkembang, pra
80

syarat tersebut tidak sepenuhnya dipenuhi. Calvo dan Mishkin (2003) mengidentifikasi lima perbedaan antara Negara maju dengan Negara sedang berkembang yaitu: (a) lemahnya disiplin fiscal (fiscal dominance); (b) lemahnya kelembagaan keuangan termasuk pengaturan dan pengawasan prudential (financial dominance); (c) rendahnya kredibilitas dari kelembagaan moneter; (d) dolarisasi kewajiban; dan (e) kerapuhan (vulnerability) terhadap terhentinya aliran modal secara tiba-tiba (external dominance). Kerangka kebijakan moneter merupakan suatu hal yang dinamis, yang dapat berubah sejalan dengan perubahan pra kondisi yang diperlukan dan tantangan yang dihadapi. Masih kuatnya dominasi fiskal dan kerapuhan sistem terhadap shock terbukti mengganggu pencapaian target inflasi. Sebagai contoh, pada waktu BBM di dalam negeri dinaikkan secara signifikan pada paruh kedua tahun 2005, komitmen pencapaian target inflasi tidak dapat dipenuhi. Koordinasi kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter masih perlu ditingkatkan mengingat pencapaian target inflasi sesungguhnya merupakan tanggung jawab bersama Bank Indonesia dan pemerintah. Oleh karena itu, kredibilitas kebijakan moneter dengan FFIT bukan hanya menyangkut komitmen Bank Indonesia selaku otoritas moneter, tetapi juga komitmen pemerintah selaku otoritas fiscal. Perubahan kerangka kebijakan moneter juga dipengaruhi oleh perkembangan pasar keuangan dan infrastruktur pendukungnya seperti perubahan system pembayaran yang cukup pesat yang didukung oleh pesatnya perkembangan teknologi informasi.Dengan perkembangan system pembayaran yang sedemikian pesat, transaksi crossborder menjadi sulit dimonitor sehingga aliran modal masuk dan keluar semakin tidak mungkin dikontrol. Ketika teknologi membuat pola transaksi berubah, kebijakan moneter pun akan berubah. Ketika sistem perdagangan berubah dengan dunia berubah, kebijakan moneter yang dibutuhkan pun berubah.

DAFTAR PUSTAKA 1. Pohan, Aulia. 2008, Kerangka Kebijakan Moneter dan Implementasinya di Indonesia , PT Rajagrafindo Pustaka, Jakarta 2. Mishkin, Frederic S. 1996. Journal The Channels of Monetary Transmission: Lessons for Monetary Policy 3. Goeltom, Miranda S. The Transmission Mechanisms of Monetary policy in Indonesia
81

KEBIJAKAN PENERIMAAN PEMERINTAH BAB I GAMBARAN UMUM PENERIMAAN NEGARA Untuk mewujudkan tujuan nasional dan membiayai segala pengeluarannya, semua negara membutuhkan sumber penerimaan. Adapun sumber penerimaan negara dapat berasal dari penerimaan Pajak dan Non Pajak. Penerimaan bukan pajak misalnya adalah penerimaan pemerintah yang berasal dari pinjaman pemerintah baik pinjaman dalam negeri maupun pinjaman luar negeri, penerimaan dari badan usaha milik pemerintah, penerimaan dari lelang, dan sebagainya. A. PAJAK 1. Definisi pajak Banyak definisi atau batasan yang telah dikemukakan oleh pakar yang satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah untuk dipahami, perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang yang digunakan oleh masing-masing pihak pada saat merumuskan pengertian pajak. Pengertian pajak secara umum adalah iuran wajib dari penduduk kepada negara berdasarkan undang-undang yang pelaksanaannya dapat dipaksakan tanpa mendapat imbalan secara langsung yang hasilnya digunakan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan nasional Menurut Remsky K. Judisseno (1997:5), Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengabdiaan peran aktif warga negara dan anggota masyarakat lainnya untuk membiayai berbagai keperluan negara berupa pembangunan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan dan negara. Sedangkan menurut Mardiasmo (2002:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat di paksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Lebih lanjut, menurut Pajak ialah iuran rakyat kepada negara (peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik) berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjukan, yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada dalam bidang keuangan negara. Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak mempunyai beberapa unsur, antara lain:

82

a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaanya dapat dipaksakan, b. Dalam pembayaran pajak tidak terdapat kontra prestasi secara langsung kepada pembayar pajak, c. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun daerah, d. Pajak diperuntukkan untuk pengeluraan pemerintah. e. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif). 2. Asas pemungutan pajak Asas-asas pemungutan pajak adalah asas untuk dapat mencapai tujuan dari pemungutan pajak. Ada banyak pendapat dari para ahli mengenai asas-asas dalam pemungutan pajak. Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations menyebut ada empat asas pemungutan pajak, yaitu: a. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. b. Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum. c. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pakak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah. d. Asas Effeciency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak. Lebih lanjut, Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut. a. Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan. b. Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatankegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
83

c. Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. d. Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama). e. Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan nilai obyek pajak. Sehingga tidak memberatkan para wajib pajak Adapun asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah: a. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (worldwide income concept). b. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle). Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income
84

c. Asas sumber; negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia. Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam asas nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting. Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja (world-wide income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara yang bersangkutan. Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, tetapi mengadopsi lebih dari satu asas, bisa gabungan asas domisili dengan asas sumber, gabungan asas nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa gabungan ketiganya sekaligus. Indonesia menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya. Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi. Contoh lain penerapan asas pemungutan pajak di negara Jepang, untuk individu yang merupakan penduduk (resident individual) diterapkan asas domisili, di mana berdasarkan asas ini seorang penduduk Jepang berkewajiban membayar pajak penghasilan atas keseluruhan penghasilan yang diperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang maupun di luar Jepang. Sementara itu, untuk yang bukan penduduk (non-resident) Jepang, dan badan85

badan usaha luar negeri berkewajiban untuk membayar pajak penghasilan atas setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber di Jepang. Sementara itu di Australia, untuk semua badan usaha milik negara maupun swasta yang berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh dari seluruh sumber penghasilan. Sementara itu, untuk badan usaha luar negeri, hanya dikenakan pajak atas penghasilan dari sumber yang ada di Australia 3. Fungsi pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal tersebut maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu: a. Fungsi anggaran (budgetair) Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. b. Fungsi mengatur (regulerend) Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. c. Fungsi stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

86

d. Fungsi redistribusi pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. 4. Teori Pemungutan pajak Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi hak kepada negara untuk memungut pajak. Mardiasmo (2003:3) menyatakan bahwa teori pemungutan pajak adalah: a. Teori Asuransi Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut. b. Teori Kepentingan Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap Negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar. c. Teori Daya Pikul Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu : 1) Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. 2) Unsur Subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi. d. Teori Bakti Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga Negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban. e. Teori Asas Daya Beli Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga Negara. Selanjutnya Negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk
87

pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan. 5. Pengaruh pajak terhadap perekonomian Selain sebagai sumber penerimaan suatu negara, pajak juga mempunyai pengaruh terhadap perekonomian negara, antara lain: a. Pengaruh terhadap sistem ekonomi secara keseluruhan Secara umum, struktur perekonomian nasional (tanpa pajak) terdiri dari Pendapatan Nasional (Y), jumlah Konsumsi (C) dan Tabungan (S). Hubungan dari ketiga unsur tersebut adalah Pendapatan Nasional sama dengan jumlah Konsumsi ditambah jumlah Tabungan (Y = C + S). Apabila seluruh Tabungan (S) digunakan sebagai Investasi (S = I), maka tidak akan pernah terjadi inflasi atau deflasi. Kadang-kadang yang muncul adalah jumlah Tabungan (S) lebih besar dari jumlah Investasi (I) atau dengan kata lain, tidak semua tabungan digunakan untuk investasi (S > I) maka akan terjadi kelesuan ekonomi, penurunan harga (deflasi), dan pengangguran. Yang sering terjadi justru jumlah Tabungan lebih rendah dari jumlah Investasi (S < I). Kondisi ini menyebabkan kegairahan ekonomi dan kenaikan harga (inflasi).

b. Pengaruh terhadap komposisi produksi Pajak dapat digunakan sebagai pendorong kepada pelaku ekonomi untuk melakukan aktivitas tertentu dengan memberikan insentif-insentif. Berkaitan dengan dimungkinkannya penerapan insentif pajak pada suatu daerah tertentu, menimbulkan adanya beberapa alternatif pilihan yang dapat diambil oleh para pelaku ekonomi. c. Pengaruh terhadap usaha kerja Sebagian besar penerimaan negara dari pajak di Indonesia adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas pendapatan para pegawai. Secara teoritis,
88

pegawai-pegawai tersebut mempunyai dua pilihan yaitu bekerja atau tidak bekerja (memanfaatkan waktu santai) akibat adanya pengenaan pajak penghasilan. d. Pengaruh terhadap distribusi pendapatan Tujuan pembangunan suatu negara pada umumnya adalah peningkatan pendapatan per kapita nasional, penciptaan lapangan kerja, dan distribusi pendapatan yang merata dan keseimbangan dalam neraca pembayaran internasional. Secara teori, semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi pula persentase pendapatan yang ditabung. Dari kelompok-kelompok kaya inilah diharapkan sejumlah dana tabungan yang dapat digunakan untuk investasi. Dengan kata lain, masyarakat kelompok miskin tidak punya kemampuan tabungan dan investasi. Menurut pengertian ini, pendapatan nasional yang dikenai pajak akan banyak mempengaruhi turunnya jumlah tabungan masyarakat bukan pada porsi pendapatan yang dikonsumsi yang diasumsikan tetap. Tetapi pada kenyataannya, keadaan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pola konsumsi masyarakat cenderung lebih tinggi dari pola konsumsi masyarakat di negara-negara maju. Sehingga sulit didapatkan dana tabungan masyarakat. Penarikan dana masyarakat secara sukarela dengan iming-iming bunga yang tinggi pada akhirnya juga ikut berpengaruh pada tingkat inflasi nasional. B. PENERIMAAN NON PAJAK Disamping pajak, pemerintah dapat menggunakan sumber-sumber nonpajak yang mampu menggalang dana bagi keperluan pembiayaan pengeluaran publik. Masalah penerimaan pemerintah dari sektor nonpajak biasanya kurang mendapat perhatian dbandingkan sengan penerimaan dari sektor pajak karena asal usul dan pertanggungjawabannya sudah jelas. Jenis-jenis penerimaan non pajak tersebut antara lain: 1. Retribusi Retribusi adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintahkepada seseorang (dan atau badan hukum) yang telahmenikmati jasa (dan barang) pemerintah. Kontra prestasi/balas jasa atas pembayaran retribusi dapat diterima/dinikmati secara langsung. Berlaku azas pengecualian atau exclution principle bagi yang tidak menikmati jasa pemerintah tersebut dikecualikan dari pungutan retribusi 2. Keuntungan perusahaan negara Adalah penerimaan pemerintah dari keuntungan dalam penjualan brang-barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan negara. 3. Denda dan perampasan Merupakan pungutan paksaan terhadap seseorang yang melanggar peraturan yang dibuat pemerintah sebagau badan hukum publik.
89

4. Sumbangan masyarakat Biasanya untuk jasa-jasa yang diberikan oleh pemerintah seperti pembayaran biaya perijinan (lisensi). Perbedaanya dengan retribusi, balas jasa atas pembayaran sumbangan masyarakat tidak diperoleh secara langsung. 5. Pencetakan uang Karena sifat dan fungsinya, maka pemerintah memiliki kekuasaan yang tidak dimiliki oleh tiap individu dalam masyarakat. Pemerintah memiliki kekuasaan untuk mencetak uang kertas sendiri atau meminta kepada Bank Sentral untuk memberikan pinjaman kepada pemerintah walaupun tanpa suatu jaminan. Pencetakan uang harus dijalankan secara hatihati oleh pemerintah, karena apabila kurang hati-hati pencetakan uang cenderung menimbulkan inflasi. 6. Hasil undian negara Seperti Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Untuk Indonesia dampaknya cenderung negatif: Produktivitasnya rendah karena masyarakat jadi malas, memicu tindakan kriminalitas, dan silang pendapat tentang kaidah agama (halal vs haram) 7. Pinjaman Pinjaman bisa berasal dari dalam maupun luar negeri. Pinjaman bisa dilakukan antara: negara dengan negara; negara dengan masyarakat dalam maupun luar negeri; negara dengan badan internasional; negara dengan lembaga keuangan; negara dengan masyarakat. 8. Hadiah Penerimaan negara jenis ini merupakan pemberian yang sifatnya adalah volunter tanpa balas jasa baik langsung maupun tidak langsung. Sumber hadiah dapat berasal dari; Pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; Swasta kepada pemerintah; Pemerintah suatu negara kepada negara lain BAB II PENERIMAAN PERPAJAKAN DAN PNBP DI INDONESIA A. Perpajakan di Indonesia Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak
90

menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar Berdasarkan wujudnya pajak di Indonesia dibedakan menjadi dua, yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang dibebankan secara langsung kepada wajib pajak seperti pajak penghasilan. Sedangkan pajak tidak langsung adalah pajak/pungutan wajib yang harus dibayarkan sebagai sumbangan wajib kepada negara yang secara tidak langsung dikenakan kepada wajib pajak seperti cukai rokok dan sebagainya. Ditinjau dari lembaga pemungutnya pajak dibedakan menjadi dua yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat merupakan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Meterai. Sedangkan pajak daerah merupakan pajak yang pungut oleh pemerintah daerah. Sesuai UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis-jenis pajak yang dipungut daerah adalah pajak kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan, pajak rokok, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, serta pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan. Terdapat 3 sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia, yaitu: 1. Official Assessment System: Pemerintah (Fiskus) yang mempunyai wewenang untuk menentukan besarnya pajak terhutang. Artinya Wajib Pajak bersifat pasif karena utang pajak baru timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. Official assessment sistem diterapkan dalam hal pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dimana KPP akan mengeluarkan surat ketetapan pajak mengenai besarnya PBB yang terhutang setiap tahun. Jadi wajib pajak tidak perlu menghitung sendiri, tapi cukup membayar PBB berdasarkan Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan oleh KPP dimana tempat objek pajak tersebut terdaftar. Sejak tahun 2012 pemungutan
91

PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Namun tidak semua Pemerintah Daerah mendapatkan kewenangan ini. 2. Self Assessment system: Wajib Pajak bersikap aktif karena diberikan wewenang oleh fiskus untuk menghitung, menyetor atau membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar atau terhutang. Fiskus hanya mengawasi. Self assessment sistem contohnya diterapkan dalam penyampaian SPT Tahunan PPh (baik untuk Wajib Pajak Badan maupun Wajib Pajak Orang Pribadi), dan SPT Masa PPN. 3. Witholding tax system: Pihak ketiga (pemberi penghasilan) diberikan wewenang oleh fiskus untuk melakukan pemungutan dan atau pemotongan pajak kepada pihak lain yang menerima penghasilan, sebesar jumlah pajak yang terhutang. Sistem ini diterapkan dalam mekanisme pemotongan/pemungutan sesuai PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Final Pasal 4 Ayat (2), PPh Pasal 15, dan PPN. Sebagai bukti atas pelunasan pajak ini biasanya berupa bukti potong atau bukti pungut. Dalam kasus tertentu ada juga yang berupa Surat Setoran Pajak (SSP). Bukti-bukti pemotongan ini nanti dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh/SPT Masa PPN dari Wajib Pajak yang bersangkutan. B. PNBP di Indonesia Pengertian Penerimaan Negara Bukan Pajak mencakup semua penerimaan dengan nama dan bentuk apapun yang dapat dinilai dengan uang, baik yang diterima di dalam negeri, maupun luar negeri, diluar penerimaan perpajakan (termasuk bea cukai) serta penerimaan minyak dan gas bumi (migas). Penerimaan ini dalam garis besarnya dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu Penerimaan Umum dan Penerimaan Fungsional. Penerimaan umum adalah yang secara umum terdapat pada setiap Departemen/Lembaga. Penerimaan Umum PNBP secara umum terdapat pada setiap departemen/lembaga seperti: (1) penerimaan penjualan seperti penjualan barang yang dihapuskan, penjualan kenderaan bermotor; (2) penerimaan sewa seperti sewa rumah dinas, sewa gedung dan sewa barang milik negara lainnya; (3) penerimaan jasa meliputi penerimaan jasa giro; (4) penerimaan kembali dan penerimaan lain-lain, contohnya penerimaan kembali kelebihan pembayaran gaji/pensiun serta penerimaan denda. Penerimaan fungsional adalah jenis-jenis penerimaan yang diperoleh sebagai hasil penjualan atau pemberian pelayanan yang diberikan oleh Departemen/ Lembaga sesuai dengan fungsinya atau yang secara spesifik berada pada Departemen/ Lembaga. Penerimaan fungsional PNBP bersumber dari hasil penyelenggaraan tugas/fungsi teknis suatu departemen/lembaga seperti: (1) penerimaan rutin luar negeri seperti penerimaan visa/paspor, penerimaan
92

pemeriksaan dsb; (2) penerimaan khusus seperti pembagian laba BUMN, penerimaan kembali pinjaman, dan penerimaan lain-lain Departemen Keuangan; (3) penerimaan penjualan seperti penjualan hasil pertanian, hasil farmasi, hasil penerbitan dsb; (4) penerimaan jasa seperti jasa rumah sakit, jasa kantor catatan sipil dsb; (5) penerimaan pendidikanseperti uang pendidikan, uang ujian masuk, uang ujian praktek dsb; (6) penerimaan kejaksaan dan pengadilan seperti legalisasi tanda tangan, denda tilang, ongkos perkara, uang leges dan sebagainya. Sedangkan menurut Undang Undang No. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Dalam Undang Undang no. 20 tahun 1997 pasal 2 disebutkan bahwa kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak meliputi: 1. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah, antara lain berupa penerimaan jasa giro, sisa anggaran pembangunan, dan sisa anggaran rutin. 2. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam, antara lain berupa royalti di bidang perikanan, kehutanan, dan pertambangan. 3. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan, antara lain berupa dividen, bagian laba pemerintah, dana pembangunan semesta, dan hasil penjualan saham pemerintah. 4. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah, antara lain berupa pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan pelatihan, pemberian hak paten, merek, hak cipta, pemberian visa dan paspor, serta pengelolaan kekayaan negara yang tidak dipisahkan. 5. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi antara lain berupa lelang barang rampasan negara dan denda. 6. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah, antara lain berupa hibah dan atau sumbangan dari dalam dan luar negeri baik swasta maupun pemerintah yang menjadi hak pemerintah. 7. Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri BAB III KEBIJAKAN UMUM PENERIMAAN PAJAK DAN NON PAJAK A. Kebijakan Penerimaan Perpajakan 1. Kebijakan Umum Optimalisasi Penerimaan Pajak Sumber pendapatan utama pemerintah yang paling potensional bersumber dari sektor perpajakan. Oleh karena itu pajak harus dikelola dengan baik dan benar dengan melakukan langkah-langkah yang tepat dalam melakukan optimalisasi potensi penerimaan pajak. Optimalisasi Penerimaan Pajak dilaksanakan melalui kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan pajak.
93

Ekstensifikasi Penerimaan Pajak Ekstensifikasi penerimaan pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam admintrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ektensifikasi penerimaan pajak dilakukan dalam skala makro ataupun mikro. Ekstensifikasi dalam skala makro, ada dalam tataran kebijakan. Fiskus mengenakan pajak atas subyek ataupun obyek pajak yang semula belum dikenakan pajak. Ini dilakukan sejalan dengan perkembangan potensi ekonomi, baik melalui perkembangan teknologi industri, perdagangan, transportasi, maupun informasi. Dengan pengkajian yang komprehensif, dapatlah ditentukan subyek ataupun obyek pajak baru yang akan menambah penerimaan pajak. Ekstensifikasi dalam skala mikro, fiskus menambah wajib pajak terdaftar dari hasil mencermati adanya wajib pajak yang memiliki obyek pajak untuk dikenakan pajak, namun belum terdaftar dalam administrasinya. Ekstensifikasi dapat terjadi secara soft, yaitu wajib pajak secara suka rela mendaftarkan diri. Atau dapat juga, berdasarkan data yang dimilikinya fiskus melakukan pengukuhan secara jabatan. Intensifikasi Penerimaan Pajak Intensifikasi penerimaan pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek serta sumber pajak yeng telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak. Dengan intensifikasi, fiskus mencermati apakah wajib pajak telah melaporkan seluruh obyek pajak yang ada padanya dengan jumlah yang sebenarnya. Titik beratnya adalah masalah teknis pemungutan pajak. Secara umum dilakukan dengan penyuluhan, dengan beragam cara dan melalui berbagai media. Secara khusus untuk wajib pajak tertentu, bisa dalam bentuk himbauan, konseling, penelitian, pemeriksaan dan bahkan penyidikan apabila terdapat indikasi adanya pelanggaran hukum. Sunset Policy yang sedang gencar dikampanyekan oleh Direktorat Jenderal Pajak, adalah kebijakan ekstensifikasi sekaligus intensifikasi. Ekstensifikasi bagi mereka yang belum terdaftar dan intensifikasi bagi yang sudah terdaftar. Dengan fasilitas tidak dikenakannya sanksi administrasi, diharapkan wajib pajak akanmemenuhi kewajiban pajaknya dengan benar. Di masa kini, ekstensifikasi dan intensifikasi akan lebih mengandalkan pada ketersediaan data. Berbagai data telah dihimpun oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk diolah dan dieksekusi. Kebijakan pemerintah dalam mendukung pelaksanaan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak salah satunya dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012 yang berlaku mulai 27 Pebruari 2012 yang mewajibkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan ke Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi orang
94

pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak. Kebijakan ini sangat mendukung pelaksanaan sistem self assessmentsecara murni dan konsisten. Karena dengan data dan informasi yang dihimpun, Direktorat Jenderal Pajak akan memiliki infrastruktur yang dapat digunakan untuk mendeteksi secara cepat dan akurat terhadap adanya kemungkinan ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Pengalaman empirik negara-negara maju yang berhasil menerapkan sistem ini, kepatuhan sukarela (voluntary compliance) adalah kunci utamanya. Dalam self assessment, wajib pajak dipercaya untuk menghitung pajaknya sendiri. Karena wajib pajak sendirilah yang tahu berapa penghasilan yang diterimanya dan hitungan pajak terutang, demikian juga dengan harta dan hutangnya. Kewajiban tersebut dituangkan dan dilaporkan dalam SPT. Apa yang dilaporkan melalui SPT tersebut pada dasarnya adalah penetapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Administrasi pajak hanya menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan kepatuhan wajib pajak. Dengan sistem ini, sepanjang tidak ditemukan data yang menyimpang, maka otoritas penentuan besarnya jumlah pajak terutang sudah bergeser ke wajib pajak. Kondisi ideal tersebut dibayang-bayangi dengan kondisi sebaliknya. Membayar pajak bukanlah merupakan tindakan yang semudah dan sesederhana membayar untuk mendapatkan sesuatu (konsumsi), tetapi dalam pelaksanaannya penuh dengan hal yang bersifat emosional. Potensi bertahan untuk tidak membayar pajak sudah menjadi taxpayers behavior. 2. Pengendalian Penerimaan Pajak Adapun cara-cara mencegah terjadinya kebocoran perpajakan antara lain dapat berupa: a. Pemeriksaan pajak (tax audit) Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. b. Sistem Informasi dan Teknologi Pengendalian kebocoran melalui perbaikan sitem informasi dan teknologi ini bisa dilakukan dengan: - Dialog dan saling tukar pandangan antara Wajib Pajak dan fiskus Dengan adanya dialog antara wajib pajak dan fiskus ini diharapkan akan ditemukan titik temu dalam mengatasi permasalahan yang sering dihadapi oleh para wajib pajak
95

yang kurang mempahami regulasi perpajakan. Dengan dialog diharapkan para wajib pajak lebih memiliki kesadaran dalam membayar pajak. Penerapan Teknologi Informasi

Teknologi informasi ini merupakan faktor utama yang menopang bangunan sistem administrasi perpajakan yang dikelola DJP, karena mampu menyajikan informasi secara akurat. Namun seandainya informasi yang tersaji tidak akurat, dapat dibayangkan keputusan yang diambil pun akan menjadi tidak tepat. c. Perbaikan Administrasi Pajak Administrasi perpajakan memiliki peranan yang krusial di dalam menentukan seberapa efektif sistem perpajakan suatu negara. Untuk mengoptimalkan administrasi perpajakan ini dilakukan dengan perbaikan dibeberapa sector antara lain : Sumber Daya Manusia (SDM)

Sumber Daya Manusia selama ini merupakan sumber keluhan masyarakat Wajib Pajak dan menjadi sumber yang menimbulkan citra negatif. Kondisi ini harus direspon dengan melakukan perubahan dari sisi manusia. Sasaran perubahan ini adalah dengan melaukan perbaikan pada remunerasi, perbaikan jenjang karir, kompetensi dan pendidikan, perbaikan pada sisi job grading, serta internalisasi nilai-nilai baru organisasi melalui penerapan kode etik. Struktur Organisasi

Struktur organisasi tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat yang dinamis dan cepat berubah. Struktur organisasi ini mempengaruhi efektivitas pelayanan kepada masyarakat dan bahkan dapat dimanfaatkan oleh pihak internal dan eksternal akibat adanya celah kelemahan dari sisi struktur yang tidak terintegrasi. Di sisi lain, strategi segmentasi Wajib Pajak hanya dapat dijalankan dengan lebih efisien, terarah dan fokus apabila struktur organisasi dirombak dengan tidak lagi berdasar jenis pajak tapi berdasar fungsi. Perubahan struktur organisasi ini juga memberi pengaruh pada perbaikan proses bisnis, mekanisme sistem dan prosedur, dan jalur koordinasi dan informasi. Prosedur Perpajakan

Prosedur pengurusan pajak diseluruh level dikeluhkan masyarakat sebagai berbelit-belit dan tidak efisien, serta menjadi salah satu sumber ekonomi biaya tinggi. Perbaikan pada proses bisnis merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dengan perbaikan pada struktur organisasi. Mekanisme dan sistem prosedur akan menjadi lebih efisien jika proses bisnis tidak dipahami secara parsial, tetapi merupakan suatu
96

jaringan besar yang saling terkait dan terintegrasi. Oleh karena itu, perbaikan prosedur harus diimbangi dengan memanfaatkan kelebihan dari teknologi informasi. d. Penegakan Hukum Penegakan Hukum Kepada Wajib Pajak

Sistem perpajakan di Indonesia adalah self assessment, di mana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri pajak yang terutang. Wajib pajak juga harus melaporkan kewajiban tersebut sesuai dengan jenis Pajak dan batas waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang perpajakan. Agar pelaksanaan kewajiban perpajakan terwujud dengan baik, tidak hanya dilakukan penyuluhan dan pelayanan perpajakan kepada Wajib pajak. Tetapi juga dilksanakan tindakan penegakan hukum melalui verifikasi data, pemeriksaan pajak, penyidikan, dan penagihan pajak. Penegakan Hukum kepada Fiskus

Dalam rangka penerapan Good Governance (GG) yang didukukng oleh tiga pilar yang saling berhubungan. Dalam hal ini negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha, maka terhadap aparat perpajakan (fiskus) perlu dilakukan pengawasan. Penegakan hukum kepada fiskus meliputi penegakan disiplin sebagai PNS serta penegakan hukum terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). B. Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak 1. Kebijakan dalam Optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Pendapatan Negara Bukan Pajak yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam baik dari sektor Minyak bumi dan gas( Migas) maupun pertambangan lain ( Non Migas) merupakan sumber pendapatan Negara yang sangat potensial karena begitu besarnya jenis obyek yang bisa dikenakan dan tingkat cadangan yang terkandung dalam bumi Indonesia. Adanya upaya untuk melakukan optimalisasi PNBP yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam tentunya akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan negara dari PNBP secara keseluruhan. Langkah langkah optimalisasi PNBP yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam bisa dibagi menjadi dua yaitu melalui kegiatan intensifikasi maupun ekstensifikasi. Langkah langkah intensifikasi berarti kegiatan optimalisasi difokuskan kepada pelaksanaan peningkatan penerimaan yang berasal dari obyek obyek maupun subyek wajib bayar PNBP yang telah ditetapkan. Beberapa contoh kebijakan yang termasuk langkah intensifikasi penerimaan PNBP yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam yaitu :
97

a. Efisiensi cost recovery dan penurunan rasio cost recovery terhadap gross revenue; Cost recovery adalah penggantian biaya operasi yang telah dikeluarkan kontraktor terlebih dahulu oleh pemerintah yang terdiri atas biaya eksplorasi, biaya produksi, dan biaya administrasi. Gross revenue adalah hasil penjualan produksi minyak dan gas bumi sebelum dikurangi dengan biaya pokok atau biaya produksinya b. Optimalisasi produksi pada lapangan yang saat ini ada melalui pencapaian target lifting migas; Lifting merupakan hasil penjualan produksi minyak dan gas bumi c. Pengawasan produksi dan pengaturan atas ekspor komoditas mineral dan batubara tertentu d. Penagihan atas penjualan hasil migas bagian pemerintah secara intensif e. Revisi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terkait dibubarkannya Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) oleh Mahkamah Konstitusi f. Reviu besaran royalti batubara untuk pengusaha penambangan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam PP No.9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang semula 3-7% menjadi 10-13,5% g. Negosiasi ulang Kontrak Kerjasama dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) h. Penyempurnaan peraturan tentang tata cara pemungutan, penagihan, pembayaran, dan penyetoran PNBP sektor pertambangan mineral dan batubara, dan i. Kerjasama dengan tim Optimalisasi Penerimaan Negara yang dibentuk oleh Kementerian Koordinator Bidan Perekonomian dalam hal pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban pembayaran PNBP yang dilakukan oleh pihak wajib bayar Langkah langkah ekstensifikasi berarti kegiatan optimalisasi difokuskan kepada peningkatan jumlah obyek maupun subyek wajib bayar PNBP. Adapun langkah langkah ekstentifikasi yang ditempuh untuk meningkatkan penerimaan PNBP yang berasal dari pemanfaatan Sumber Daya alam yaitu : a. Penyederhanaan dalam proses perizinan b. Term and Condition yang lebih menarik untuk wilayah kerja eksplorasi minyak bumi dan gas yang berada di remote area c. Percepatan pengembangan lapangan baru
98

d. Penelaahan terhadap ijin ijin tambang yang illegal dan menerbitkan ijin baru sesuai dengan ketentuan yang berlaku 2. Pengendalian PNBP Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan penerimaan yang tidak berasal dari pajak, namun penerimaan ini merupakan penerimaan yang bersumber dari masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan suatu instansi pemerintah pada masyarakat. Saat ini pemerintah sedang berupaya mengoptimalkan PNBP untuk menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pembagunan nasional, oleh karena itu dibutuhkan pengendalian internal yang baik untuk mencapai target PNBP sehingga tujuan pemerintah dapat tercapai. Pengendalian internal terhadap prosedur PNBP yang baik terlihat dari keakuratan pencatatan, kepatuhan, dan tingkat keefektifannya. Salah satu contohnya adalah penerapan PP nomor 46 Tahun 2002 yang menjadi alat pengendali internal terhadap PNBP di lingkungan Kanwil Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara, dimana peran PP nomor 46 Tahun 2002 sebatas controller dalam PNBP bukan sebagai pendongkrak atau penambah jumlah PNBP. Pada 2013, pemerintah menargetkan PNBP dari sektor pertambangan sebesar Rp 31 triliun atau meningkat dari target tahun ini yang ditetapkan sekitar Rp 29 triliun. Untuk target pendapatan negara dari pajak dan PNBP pertambangan pada 2013 adalah sebesar Rp 110 triliun. Sebelum tahun 1997, ketentuan perundang-undangan sebagai landasan penyelenggaraan dan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku, meliputi berbagai ragam dan tingkatan peraturan sehingga belum sepenuhnya mencerminkan kepastian hukum. Banyak dan beragamnya bentuk pengaturan juga mengakibatkan kekurangtertiban dan kerumitan dalam pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Oleh karena itu, dibentuknya Undang Undang Nomor 20 Tahun 1997 merupakan salah satu bentuk pengendalian Penerimaan Negara Bukan Pajak agar optimal. Adapun salah satu bentuk pengendalian yang dilakukan adalah seperti tertulis dalam Pasal 6 Undang - Undang Nomor 20 Tahun 1997 di mana Menteri dapat menunjuk Instansi Pemerintah untuk menagih dan atau memungut. Di sini adalah salah satu upaya pemerintah agar PNBP yang tersebar dan banyak ini dapat dipungut oleh pihak yang berwenang dalam bidang masing masing, contohnya pada bidang pertambangan. Oleh karena itu kewajiban Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berkaitan dengan pemungutan pendapatan negara bukan pajak antara lain: a. Mengadakan intensifikasi pemungutan pendapatan negara yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya. b. Mengintensifkan penagihan dan pemungutan piutang negara. c. Melakukan penuntutan dan pemungutan ganti rugi atas kerugian negara.
99

d. Mengintensifkan pemungutan sewa penggunaan barang-barang milik Negara. e. Melakukan penuntutan dan pemungutan denda yang telah diperjanjikan. f. Mengenakan sanksi atas kelalaian pembayaran piutang negara tersebut di atas. Menurut Menteri PAN-RB, peningkatan efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi supervisi dan pengendalian PNBP pada Kementerian/Lembaga dapat dilakukan dengan cara mengefektifkan seluruh fungsi pengawasan fungsional yang dilakukan oleh Unit Pengawasan Internal, serta pengawasan atasan langsung terhadap keseluruhan proses pengelolaan PNBP pada Kementerian/Lembaga. Untuk pengendalian PNBP ini, BPKP juga ikut berpartisipasi untuk menertibkan PNBP. Salah satunya yang dilakukan oleh Deputi perekonomian Bidang Instansi Pemerintah Pusat yang membentuk tim Optimalisasi Penerimaan Negara. Sebagai catatan, tim Teknis OPN pada 2004 dilaksanakan 236 auditor dari BPKP dan instansi mitra yang tergabung dalam 63 tim audit pada lima satuan tugas. Kelima satuan itu ialah pajak, bea dan cukai, PNBP sektor pertambangan, PNBP sektor kehutanan, PNBP sektor kelautan dan perikanan, serta PNBP sektor perhubungan. Kemudian BPKP juga melakukan asistensi penyusunan standard operating procedure (SOP) penerimaan pajak, bea cukai, dan bukan pajak . C. Optimalisasi Penerimaan Negara (APBN 2013) Pendapatan negara pada periode 2007 2011 mengalami pertumbuhan rata-rata 14,4 persen per tahun. Pertumbuhan tersebut berasal dari kontribusi penerimaan PNBP yang tumbuh rata-rata sebesar 11,4 persen per tahun, kontribusi penerimaan perpajakan yang tumbuh rata-rata sebesar 15,5 persen per tahun, dan penerimaan hibah yang tumbuh rata-rata sebesar 32,6 persen per tahun. Sementara itu, dalam APBN 2013 yang telah disahkan beberapa waktu yang lalu, pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp1.529,7 triliun, yang terdiri atas penerimaan perpajakan sebesar 78,01 persen, PNBP 21,7 persen, dan penerimaan hibah 0,29 persen. Penetapan target tersebut telah memperhitungkan asumsi ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, lifting migas, dan harga minyak, juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang akan ditempuh di tahun 2013. Target Perpajakan Dalam APBN 2013, penerimaan perpajakan direncanakan mencapai sebesar Rp1.192.9 triliun, atau meningkat 17,38 persen dari target APBNP 2012. Rencana tersebut terdiri dari penerimaan pajak dalam negeri sebesar Rp1.134,3 triliun dan penerimaan pajak perdagangan internasional sebesar Rp58,7 triliun. Peneriman pajak dalam negeri terdiri dari penerimaan pajak penghasilan sebesar Rp584,9 triliun, pajak pertambahan nilai sebesar Rp423,7 triliun,
100

pajak bumi dan bangunan sebesar Rp27,3 triliun, cukai sebesar Rp92 triliun, dan pajak lainnya sebesar Rp6,3 triliun. Sementara itu, penerimaan pajak perdagangan internasional terdiri atas penerimaan bea masuk sebesar Rp27 triliun dan bea keluar sebesar Rp31,7 triliun. Dalam arti yang lebih sempit (penerimaan perpajakan dibagi dengan PDB), tax ratio tahun 2013 mencapai 12,9 persen. Sementara itu, dalam arti luas di mana tax ratio mencakup penerimaan perpajakan ditambah dengan penerimaan SDA migas dan pajak daerah dibagi dengan PDB, tax ratio 2013 mencapai 15,8 persen. Tentu pemerintah berupaya meningkatkan penerimaan perpajakan dengan tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi dan iklim investasi serta dunia usaha. Upaya tersebut ditempuh antara lain dengan: 1) meningkatkan perbaikan penggalian potensi perpajakan; 2) melakukan perbaikan kualitas pemeriksaan dan penyidikan pajak; 3) menyempurnakan sistem informasi teknologi; 4) melakukan perbaikan kebijakan perpajakan nasional yang diarahkan bagi perluasan basis pajak; 5) meningkatkan kegiatan sensus pajak nasional; 6) meningkatkan pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai; 7) meningkatkan pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai; 8) ekstensifikasi cukai; 9) menyesuaikan tarif PPnBM atas kelompok Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor; dan 10) pemberian insentif fiskal bagi kegiatan ekonomi strategis. Perlu kita ketahui bahwa kebijakan di bidang perpajakan tidak hanya bertujuan meningkatkan penerimaan perpajakan. Kebijakan di bidang perpajakan pada hakikatnya juga untuk mendorong perekonomian nasional melalui pemberian insentif fiskal. Insentif fiskal tersebut dapat berupa pembebasan atau pengurangan PPnBM dalam rangka mendorong program Pemerintah untuk mengembangkan industri kendaraan bermotor. Dengan adanya pembebasan atau pengurangan PPnBM tersebut diharapkan dapat mendorong industri untuk menyediakan kendaraan dengan harga yang terjangkau masyarakat dan kendaraan bermotor yang ramah lingkungan (hybrid dan low carbon emission). Selain itu, perlu kita ketahui pula bahwa Pemerintah tetap berkomitmen untuk memberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk pajak ditanggung Pemerintah, yang terdiri atas: 1) PPh DTP untuk komoditas panas bumi, 2) PPh DTP atas bunga, imbal hasil dan penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan kepada pemerintah dalam penerbitan SBN di pasar internasional, dan 3) bea masuk DTP. PNBP Migas Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN 2013, diketahui bahwa PNBP masih didominasi oleh penerimaan SDA migas yang ditargetkan sebear Rp174,86 triliun. Penerimaan SDA non migas sebesar Rp22,33 triliun. Sementara itu, bagian Pemerintah atas laba BUMN ditargetkan sebesar Rp33,5 triliun. Namun demikian, jika kita perhatikan lebih lanjut, tentu bukan hal yang mudah untuk mencapai target penerimaan negara dari PNBP migas. Hal ini
101

mengingat penerimaan PNBP dari migas sangat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti harga minyak, lifting minyak dan gas bumi yang dijadikan sebagai dasar perhitungan penerimaan SDA migas, dan kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh dalam tahun 2013. Namun demikian, untuk mencapai target lifting migas, Pemerintah di antaranya akan melakukan upaya-upaya sebagai berikut: 1) mendorong optimalisasi pada lapangan eksisting dengan penerapan Enchaced Oil Recovery/EOR, 2) mempercepat pengembangan lapangan baru dan struktur idle, 3) term and condition yang lebih menarik untuk wilayah kerja yang berada di remote area dan/atau laut dalam, 4) meningkatkan kordinasi dengan instansi terkait untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan regulasi perijinan, dan tumpang tindih lahan dalam rangka peningkatan produksi minyak bumi nasional, serta 5) melaksanakan Inpres Nomor 2 tahun 2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional.

BAB IV TAX POLICY FOR EMERGING MARKET : DEVELOPING COUNTRIES

Di negara berkembang, dalam menciptakan sistem perpajakan yang efektif dan efisien sering kali menghadapi beberapa tantangan yang berat. Pertama adalah masalah struktur ekonomi yang membuatnya sulit untuk membebankan dan menagih pajak-pajak tertentu. Kedua adalah terbatasnya kapasitas administrasi perpajakan. Ketiga adalah minimnya dan buruknya kualitas dari database yang dimiliki. Sehingga pada akhirnya kondisi politik negara berkembang kurang dapat menerima sistem perpajakan yang rasional. Negara berkembang sering dicirikan dengan : 1. Pertanian memiliki jumlah yang besar dalam total output dan penyediaan lapangan kerja, 2. Banyaknya aktivitas dan pekerjaan dalam sektor informal, 3. Terdapat banyak perusahaan kecil, 4. Jumlah yang kecil dari upah pada total pendapatan nasional, perusahaan modern, dan sebagainya. Karakteristik ini mengurangi kemungkinan ketergantungan pada pajak modern tertentu seperti pajak pendapatan orang pribadi dan pada pajak pertambahan nilai. Dan juga mengurangi kemungkinan pencapaian perpajakan tingkat tinggi. Dalam peranannya sebagai konsekuensi struktur ekonomi sebagai hasil dari literasi yang rendah dan human capital yang rendah, ini sangat sulit untuk mengkombinasikan semua bahan untuk membangun sebuah administrasi perpajakan yang baik. Sebagai akibatnya Negara sering
102

mengembangkan sisem perpajakan mereka untuk mengambil apapun pilihan yang mereka punya daripada mengembangkan sistem perpajakan modern dan efisien. Satu konsekuensi pada situasi ini adalah bahwa banyak negara berkembang sering berujung dengan terlalu banyaknya sumber pajak yang kecil, terlalu besar sebuah kepercayaan terhadap pajak perdagangan luar negeri, dan pendayagunaan pajak pendapatan orang pribadi yang kurang maksimal. Kantor perpajakan dan statistik mempunyai kesulitan dalam hal menghasilkan statistic yang dapat diandalkan dan detail. Hal ini dikarenakan peran yang luas dimainkan oleh kegiatan informal, persyaratan pelaporan/pemberitaan yang dibatasi, banyak kegiatan yang tidak dilaksanakan oleh perusahaan modern, dan karena adanya keterbatasan pembiayaan. Kekuarangan data yang dapat diandalkan ini, memberikan kesulitan bagi pembuat kebijakan untuk menilai dampak potensial dari perubahan sistem perundang-undangan perpajakan. Akhirnya ini baik untuk diketahui bahwa negara berkembang cenderung memiliki distribusi pendapatan yang lebih buruk dibanding dengan negara industry. Distribusi pendapatan yang sangat tidak merata ini mempunyai 2 implikasi, pertama bahwa untuk menghasilkan penerimaan pajak yang tinggi, deciles yang tinggi harus dipajaki secara signifikan dan proporsional dari pada deciles yang rendah. Kedua, kekuatan ekonomi dan politik sering di konsentrasikan pada deciles yang tinggi sehingga wajib pajak yang lebih kaya mampu untuk menghindar dari reformasi perpajakan yang akan berpengaruh buruk terhadap mereka. TINGKAT DAN SUSUNAN PENERIMAAN PAJAK Dalam perspektif makroekonomi, aspek dari sistem perpajakan yang menjadi perhatian dari para pembuat kebijakan di Negara berkembang adalah : 1. Apakah tingkat perpajakan keseluruhan yang ada, yang ditunjukan sebagai rasio pendapatan perpajakan terhadap pendapatan domestic bruto telah sesuai, 2. Level khusus yang diberikan, apakah komposisi penerimaan pajak yang ada telah sesuai (biasanya dalam urusan penerimaan relative terhadap pajak konsumsi). Sesuai yang diharapkan disini sebagian berasal dari keyakinan publik bahwa biaya kesejahteraan meningkat dengan adanya peningkatan perpajakan, dan bahwa, dalam pilihan antara penerimaan pajak dan konsumsi, yang terakhir adalah lebih buruk dalam mempengaruhi pertumbuhan jangka panjang. Literatur yang luas tentang teori pajak optimal memberikan sedikit panduan praktis dalam pilihan tingkat perpajakan secara keseluruhan. Literature yang ada sedikit lebih membantu dalam pilihan antara pajak pendapatan dan pajak konsumsi, tapi bahkan di sini nilainya terbatas. Tingkat Pendapatan Pajak Pertimbangan Teoritis Alasan utama mengapa teori pajak optimal hanya sedikit membahas tentang memilih keseluruhan beban pajak bagi perekonomian yakni bahwa banyak dari teori ini telah dikembangkan untuk menyarankan struktur pajak yang optimal dalam konteks statis untuk
103

menaikkan beban pajak yang diberikan. Dengan demikian, teori tradisional belum mengintegrasikan sisi pengeluaran dari anggaran dalam analisisnya. Untuk itu perlu, tujuan pola kebijakan normatif, adanya model yang memiliki manfaat yang jelas pada pengeluaran publik yang akan dibiayai oleh penerimaan pajak. Dengan kata lain, menentukan tingkat pajak optimal secara konseptual setara untuk menentukan tingkat pengeluaran pemerintah yang optimal. Perbandingan-perbandingan internasional Kurang jelasnya pendekatan alternatif untuk menilai apakah tingkat pajak secara keseluruhan di negara berkembang sudah "tepat" , telah diperbandingkannya rata-rata beban pajak antara negara berkembang dan maju, dengan memperhitungkan karakteristik beberapa negara. Hal ini jelas bahwa pendekatan berdasarkan statistic yang meskipun populer dan berguna, tidak memiliki dasar teoritis yang kuat. Pendekatan ini menjadi cukup modis, terutama di tahun 1960-an dan 1970-an. Rasio penerimaan pajak ini berkorelasi terhadap PDB (variabel dependen) untuk kelompok negara besar terhadap beberapa variabel independen, untuk negara-negara yang sama, yang dapat diharapkan mempengaruhi rasio pajak. Variabel yang sering digunakan dalam studi pendapatan per kapita adalah pangsa output pertanian dalam PDB, pangsa ekspor mineral dalam PDB, keterbukaan ekonomi (diukur dengan pangsa impor dan ekspor dalam GDP), rasio uang untuk PDB, dan variabel lainnya. Ketika diselesaikan dengan data untuk negara tertentu, persamaan regresi diperkirakan menyediakan rasio pajak hipotetis untuk negara itu. Hal ini, rasio pajak kemudian dibandingkan dengan ratio pajak negara yang sebenarnya. Perbandingan antara rasio pajak yang diperkirakan dari persamaan dan tingkat actual perpajakan bagi negara menunjukkan apakah, dalam perbandingan dengan Negara lain, dan dengan mempertimbangkan karakteristik sendiri, tingkat pajak negara di atas atau di bawah yang diharapkan. Pajak yang berasal dari rasio ini telah ditafsirkan untuk mencerminkan upaya tingkat pajak yang negara itu. Seperti dikatakan sebelumnya, seperti pendekatan statistic yang tidak memiliki dasar teoritis dan tidak boleh ditafsirkan untuk menunjukkan beban pajak "Optimal" bagi Negara manapun. Seperti Pendekatan yang telah sesuai baik dalam pembentukan benchmark dimana suatu tingkat pajak negara bisa dinilai terhadap norma dari Negara-negara yang sejenis dan dalam mengantisipasi kemungkinan perkembangan masa depan dimana perekonominya menjadi lebih maju. Bahkan, regresi biasanya menunjukkan bahwa, Ceteris Paribus pendapatan per kapita yang lebih tinggi diimbangi dengan rasio dari pendapatan pajak terhadap PDB yang lebih tinggi. Seperti telah disebutkan, banyak penelitian telah berusaha untuk mengidentifikasi faktor penentu tingkat pajak. Salah satu faktor penentu yang paling umum digunakan yakni pendapatan per kapita, biasanya dengan alasan bahwa pembangunan ekonomi akan membawa dampak pada peningkatan permintaan dalam pengeluaran publik (Tanzi, 1987) serta pasokan/penawaran yang lebih besar dari kapasitas/potensi perpajakan untuk memenuhi tuntutan tersebut (Musgrave, 1969).
104

Pertimbangan ini menyarankan dengan dukungan empiris umum yang kuat bahwa ada korelasi positif antara tingkat pajak dan ekonomi pembangunan. Mereka juga menyarankan, dalam teori, bahwa arah sebab-akibat cenderung bergeser dari pembangunan pada tingkat pajak, dan bukan sebaliknya. Hal ini penting karena umumnya gagasan bahwa tingkat pajak yang lebih tinggi akan menghasilkan distorsi yang lebih besar dan dengan demikian akan merugikan/menghambat pertumbuhan, ini tidak selalu bertentangan dengan korelasi yang diamati antara tingkat pajak dan pembangunan. Implikasi kebijakan utama dari diskusi di atas untuk negara-negara berkembang adalah bahwa pembangunan ekonomi akan lebih sering tidak menghasilkan tambahan kebutuhan atas penerimaan pajak untuk membiayai kenaikan pengeluaran publik sementara pada saat yang sama meningkatkan kemampuan negara untuk meningkatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut Isu penting dalam diskusi ini melibatkan komposisi pendapatan, pertama, penghasilan relatif perpajakan atas konsumsi, dan kedua, di bawah konsumsi perpajakan, pengenaan pajak pada impor konsumsi domestik. Pertimbangan pertama masalah konsumsi pendapatan pajak campuran yang optimal. Dalam mengevaluasi manfaat dari kedua basis pajak, baik efisiensi dan ekuitas terutama dalam Negara berkembang diberikan Gini koefisien yang tinggi. Namun, literatur teoritis cenderung berfokus pada terdahulu. Kepercayaan bahwa pajak pendapatan memerlukan biaya kesejahteraan yang lebih tinggi (efisiensi) daripada pajak konsumsi terutama berdasarkan pengamatan bahwa pajak pendapatan terdiri dari dua komponen besar: pajak tenaga kerja dan pajak modal. Karena pajak tenaga kerja adalah setara dengan pajak atas konsumsi dalam kerangka antarwaktu, pendapatan pajak menimbulkan tambahan distorsi dalam tabungan-yang hilang dari pajak konsumsi. keputusan yang didasarkan pada pertimbangan siklus hidup, campuran/kombinasi optimal pajak pendapatan dan pajak konsumsi akan tergantung sepenuhnya pada elastisitas yang relevan, yaitu persediaan tenaga kerja dan saving. Di negara berkembang, dampak perpajakan pada akumulasi modal fisik secara tradisional menerima perhatian yang besar yang pada gilirannya telah menyebabkan penggunaan insentif pajak untuk promosi yang berlebihan. Keprihatinan lain dalam pilihan antara pajak pendapatan dan pajak konsumsi melibatkan dampak relatif (vertikal) ekuitas. Kekhawatiran ini sangat penting mengingat distribusi pendapatan tidak merata di negara berkembang. Secara tradisional, telah terpikirkan bahwa pajak konsumsi inheren lebih regresif dari pajak pendapatan, karena secara administrative tidak layak untuk menerapkan secara efektif, dalam skala yang luas, ukuran tarif pajak pada consumption. Dari penilitian didapat beberapa hasil yang meragukan yaitu bahwa Pertama, bentuk pajak konsumsi tradisional, yaitu pajak konsumsi terjadi (seperti pajak pertambahan nilai (PPN) atau pajak penjualan ritel), telah ditemukan menjadi jauh lebih regresif dari umumnya ketika dilihat dari siklus hidup- dari pada perspective statis, Kedua, setidaknya
105

dalam teori, konsumsi dapat dikenakan pajak atas dasar ukuran yang sama sebagai pendapatan, dengan memungkinkan pemotongan tak terbatas dari pendapatan dari tabungan. Beralih ke isu pajak impor, ketergantungan tradisional bea masuk impor sebagai pemegang pajak yang potensial dalam Negara berkembang menyiratkan bahwa menurunkan tarif harga bisa menyebabkan konsekuensi ekonomi dan pendapatan yang signifikan dalam negara ini. Pertama dan terpenting, pengurangan tarif, ketika terstruktur dengan wajar dan tidak disertai dengan kenaikan lain secara eksplisit atau hambatan perdagangan implisit, akan mengarah turunya nominal dan perlindungan efektif. Kedua, pengurangan tarif juga bisa mengakibatkan kerugian yang signifikan pada pendapatan anggaran, setidaknya dijalankan dalam jangka pendek sebelum volume impor masuk direspon. Sementara mengurangi perlindungan industri domestic dari persaingan asing adalah konsekuensi yang tak terelakkan atau bahkan tujuan dari setiap program liberalisasi perdagangan, mengurangi pendapatan anggaran bisa menjadi tidak diinginkan oleh-produk dari program yang perlu ditujukan. Pendapatan kompensasi yang layak di dalam situasi yang hampir selalu melibatkan penambahan pajak konsumsi dalam negeri; hal ini jarang akan meningkatkan pajak pendapatan yang akan dianggap sebagai pilihan yang layak atas dasar kebijakan baik (karena dianggap mereka berdampak negatif terhadap investasi) dan perbandingan-perbandingan internasional. Meskipun sulit untuk menarik kejelasan pola kebijakan normatif dari atas perbandingan internasional mengenai campuran pendapatan pajak konsumsi, menarik implikasi kebijakan positif diungkapkan oleh perbandingan ini adalah bahwa ekonomi pembangunan cenderung menyebabkan pergeseran relative atas komposisi pendapatan dari pajak konsumsi ke pajak pendapatan pribadi. Pada setiap titik waktu tertentu, bagaimanapun kebijakan perpajakan negara-negara berkembang tidak begitu banyak menentukan campuran pajak optimal seperti pada a. b. c. memahami dengan jelas tujuannya yang akan dicapai oleh setiap pergeseran dalam campuran, menilai konsekuensi/dampak ekonomi dari pergeseran-dalam efisiensi dan masalah ekuitas-dalam maksud tujuan yang memungkinkan, dan menerapkan tindakan kompensasi-kemungkinan non-pajak (misalnya, pengeluaran), jika mereka yang dibuat lebih buruk oleh pergeseran ini adalah dari desil yang miskin.

ISU KEBIJAKAN DALAM PAJAK UTAMA YANG DIPILIH Di negara-negara berkembang di mana pasar mengambil peranan penting dalam mengalokasikan sumber daya, yang paling penting dari tujuan kebijakan pajak adalah untuk meminimalkan campur tangan sistem pajak dalam proses alokasi, subjek, pendapatan dan redistribusi kebutuhan. Ini berarti bahwa sistem perpajakan harus netral dalam desain yang memungkinkan, itu juga harus memiliki prosedur dan aturan yang sederhana, dan administrasi
106

yang transparan. Berikut ini adalah subbagian kebijakan perpajakan yang penting yang terjadi di Negara berkembang. Pajak Pendapatan Orang Pribadi Umum konseptual masalah yang berhubungan dengan Personal Income Tax (PIT) telah dibahas secara komprehensif di Cnossen dan Bird (1990), meskipun fokus studi yang ada di OECD negara. Di negara berkembang isu mengenai bunga biasanya dalam lingkup yang lebih sempit, tetapi umumnya membutuhkan perhatian yang lebih yang dibayar untuk implikasi administrasi mereka, mengingat bahwa kemampuan administrasi jauh lebih mengikat dalam negara-negara ini dibandingkan di negara maju. Juga, fakta bahwa pendapatan upah sering kali merupakan bagian kecil dari pendapatan nasional yang memberikan kontribusi terhadap kesulitan dalam menyelenggarakan PIT tersebut sebagai sumber pendapatan yang signifikan. Struktur tariff Setiap pembahasan tentang PIT di negara-negara berkembang harus mulai dengan pengamatan bahwa pajak ini telah menghasilkan pendapatan yang sangat sedikit di sebagian besar negara dan bahwa jumlah individu yang dikenakan pajak ini dan, terutama, yang wajib pada tarif pajak tertinggi marjinal, sangat kecil. Tingkat struktur PIT sering menjadi instrumen kebijakan yang paling nyaman dan terlihat bagi kebanyakan pemerintah dalam mengembangkan negara untuk menekankan komitmen mereka dengan keadilan sosial, dan karenanya untuk mendapatkan dukungan politik untuk kebijakan mereka. Oleh karena itu, tidak mengherankan untuk menemukan bahwa banyak negara-negara berkembang sangat mementingkan untuk mempertahankan beberapa tingkat tariff progresivitas nominal PIT dengan menerapkan banyak golongan tarif pajak, dan enggan untuk melakukan reformasi PIT yang akan menyarankan untuk mengurangi komitmen tersebut. Dan dengan kebanyakan pengurangan dan pemotongan khusus yang umumnya ditemukan dalam mengembangkan negara-negara berkembang dengan keuntungan pendapatannya tinggi. (misalnya, potongan keuntungan modal dari pajak, potongan sumbangan untuk biaya medis dan pendidikan, randahnya pajak atas pendapatan finansial). Keringanan pajak diberikan dalam bentuk pemotongan ini sangat mengkhawatirkan di bawah tarif progresif nominal PIT yang tinggi (dalam hal penghematan pajak tersirat) karena nilainya bertambah dengan golongan tarif dimana wajib pajak berada. Pengalaman dengan reformasi PIT di Negara berkembang (maupun di negara maju negara, dalam hal ini) cenderung untuk menyarankan, bahwa tarif progresif efektif dapat ditingkatkan dengan mengurangi tingkat tarif progresivitas nominal dan jumlah golongan tarif, dan mengurangi pengecualian dan pemotongan. Jika kendala batasan politik mencegah arti dari restrukturisasi tarif, peningkatan ekuitas substansial masih dapat dicapai dengan mengganti pemotongan PIT dengan kredit pajak, yang akan memberikan keuntungan yang sama bagi pembayar pajak pada semua golongan tarif. Penggunaan kredit pajak yang signifikan sejauh ini, bagaimanapun, masih sangat jarang di negara berkembang.
107

Basis pajak Sebagai tambahan terhadap masalah tingginya tingkat pemotongan dan pengurangan yang cenderung mempersempit dasar pajak dan menghilangkan banyak progresivitas efektif dari struktur tariff progresif nominal, seperti disebutkan di atas, adalah umum untuk menemukan bahwa PIT (serta CITS, dalam hal ini) di negara berkembang yang penuh dengan pelanggaran berat terhadap dua prinsip dasar kebijakan pajak yang baik pada tingkat praktis : simetri dan inclusiveness. Prinsip simetri ini mengacu pada pemulihan untuk tujuan perpajakan dari keuntungan dan kerugian dari setiap sumber pendapatan, misalnya, jika keuntungan dikenakan pajak, maka kerugian harus menjadi pengurang pajak. Prinsip inklusif berhubungan dengan menangkapan dari aliran pendapatan dalam pajak bersih(kecuali eksplisit dikecualikan) di beberapa titik sepanjang bagian aliran, misalnya, jika pembayaran adalah dikecualikan di pihak penerima, kemudian seharusnya tidak menjadi pengurang pada pihak pembayar. Pelanggaran atas prinsip ini secara umum, menyebabkan distorsi dan ketidakadilan. Sangat mudah untuk melihat bagaimana ketentuan-ketentuan perpajakan dapat dimanfaatkan untuk derajat yang bervariasi oleh para pembayar pajak untuk menghindari pajak. Untuk mengatasi mereka, perbaikan adalah dengan penghapusan baik pengurangan atau pembebasan (Tapi tidak keduanya), dan pilihan antara keduanya tergantung sebagian besar pada pertimbangan administrasi. Penjagaan Pajak Atas pendapatan Finansial Perlakuan pajak atas penghasilan Finansial khususnya dalam Negara berkembang dengan kemampuan administrasi pajak yang terbatas, sebagai bentuk penghasilan alternatif tersebut dapat dengan mudah disamarkan, ditukarkan, dan sebaliknya jika ketentuan-ketentuan pajak tidak ditulis dengan cermat untuk berurusan dengan mereka. Di sini, dibahas dua isu penting berhubungan dengan perpajakan bunga dan dividen. Di banyak negara berkembang, pendapatan bunga, jika dikenakan pajak secara keseluruhan, dikenakan pajak untuk alasan administrasi melalui pemotongan pajak final dengan tarif yang umumnya di bawah batas atas PIT rate dan tarif CIT. Rendahnya tarif pajak atas pendapatan bunga ditambah dengan pemotongan penuh pengeluaran bunga yang menyiratkan bahwa yang signifikan penghematan pajak dapat direalisasikan cukup jelas melalui transaksi tersebar. Oleh karena itu, penting bahwa aplikasi pemotongan final atas pendapatan bunga ditargetkan secara hati-hati, misalnya, pemotongan pajak final tidak diterapkan jika wajib pajak memiliki pendapatan usaha. Perlakuan pajak atas dividen menimbulkan masalah perpajakan ganda yang terkenal. Dalam kebanyakan negara-negara berkembang, pengenaan pajak ganda dividen dihilangkan, atau setidaknya sebagian diatasi melalui berbagai langkah-langkah bantuan baik di perusahaan atau level pemegang saham. Untuk sebagian besar negara berkembang, pilihan yang wajar adalah lebih baik dividen dibebaskan dari PIT sama sekali, atau pajak mereka dikenakan tarif rendah, mungkin melalui suatu pemotongan pajak final pada tingkat yang sama seperti yang dikenakan pada pendapatan bunga (jika ada).
108

Pajak Penghasilan Perusahaan Tarif CIT ganda Negara berkembang (misalnya, Mesir, Paraguay, Vietnam, Zambia) lebih rentan memiliki tariff ganda yang dibedakan di sepanjang garis sektoral (termasuk pembebasan lengkap dari sektor pajak tertentu, terutama sektor parastatal) dibandingkan di negara-negara maju, mungkin sebagai peninggalan rezim ekonomi masa lalu yang menekankan peran negara dalam alokasi sumber daya. Bagaimanapun, Praktek semacam ini, jelas merugikan berfungsinya kekuatan pasar (yakni, alokasi sektoral sumber daya akan terdistorsi oleh perbedaan dalam tarif pajak) dan, karenanya, tidak dapat dipertahankan jika pemerintah berkomitmen nyata untuk ekonomi pasar. Penyatuan tariff ganda lintas sektor dimana mereka berada adalah isu kebijakan pajak penting yang beredar di negara-negara berkembang. Penyusutan Depresiasi diperbolehkan atas aset fisik untuk tujuan pajak adalah salah satu elemen yang paling penting dalam struktur CIT dalam menentukan biaya modal, dan profitabilitas investasi. Merancang sistem depresiasi yang tepat, sangat penting untuk mendorong iklim investasi yang menguntungkan. Namun, meskipun kelemahan yang paling umum ditemukan dalam sistem depresiasi dalam Negara berkembang meliputi: (1) jumlah kategori aset dan tingkat depresiasi berlebihan; (2) rendahnya tariff penyusutan yang berlebihan, dan (3) struktur tarif depresiasi yang tidak sesuai dengan tingkat keusangan relatif aset pada kategori asset yang berbeda. Perbaikan kekurangan ini harus mendapatkan prioritas tinggi dalam musyawarah kebijakan pajak di negara-negara. Dalam sistem penyusutan restrukturisasi, negara-negara berkembang dapat berpedoman pada beberapa hal berikut: (1), mengklasifikasikan asset, katakanlah kedalam tiga atau empat kategori yang seharusnya lebih dari cukup; (2) hanya satu tarif penyusutan yang harus melekat pada setiap kategori aset; (3) tariff penyusutan umumnya harus ditetapkan lebih tinggi dari umur ekonomis yang sebenarnya sebagai kompensasi atas inflasi mekanisme dan (4) dengan alasan administratif, metode saldo menurun masih belum umum digunakan di negara-negara berkembang, mereka lebih suka metode garis lurus. Metode saldo menurun memungkinkan penyatuan dari semua aset pada kategori aset yang sama dan akun untuk untuk capital gain dan kerugian dari pelepasan aset, sehingga secara substansial menyederhanakan persyaratan pembukuan. Pajak Pertambahan Nilai, Cukai, dan Tarif Impor Pajak Pertambahan Nilai Salah satu reformasi pajak yang paling terlihat dilakukan oleh negara-negara berkembang selama tiga dekade terakhir telah dikenalkan sebagai PPN. Karena PPN sekarang dapat ditemukan dimayoritas besar negara berkembang, 34 isu kebijakan pajak yang beredar di bidang pajak konsumsi dalam negeri di negara-negara tidak lagi menggantikan omset pajak mengalir,
109

kecuali desain PPN yang tepat dan ruang lingkup pajak cukai. Sementara PPN yang telah diadopsi di negara-negara berkembang, hampir tanpa pengecualian, diterapkan melalui kreditfaktur mekanisme negara-negara di Eropa Barat, sering menderita dari keterbatasan ketidak lengkapan dalam aplikasi dalam satu bentuk atau lainnya. Hal ini terlalu umum untuk ditemukan, misalnya, bahwa sektor penting, terutama jasa dan sektor grosir dan eceran, telah keluar meninggalkan jaring PPN, atau bahwa mekanisme kredit yang terbatas (yakni, penolakan atau penundaan dalam memberikan kredit yang tepat untuk pemasukan PPN), terutama ketika datangnya capital goods. Fitur ini memungkinkan tingkat aliran yang pokok untuk tetap dalam sistem, dan dengan demikian sangat mengurangi manfaat dari memperkenalkan PPN di tempat pertama. Keterbatasan Perbaikan seperti dalam desain PPN dan administrasi oleh karena itu harus diberikan prioritas yang tinggi di negara berkembang. Aspek lain yang layak perhatian adalah adopsi pada bagian dari banyak Negara berkembang dari dua atau tingkat lebih (termasuk tariff nol penawaran nonexport tertentu). Sementara tariff ganda cenderung mempersulit administrasi PPN, mereka secara politik purapura menarik melayani-meskipun tidak selalu efektif untuk sebuah tujuan ekuitas. Pada kenyataannya, sebagian besar Negara-negara OECD juga memiliki beberapa tariff ganda. Namun, tarif administratif untuk menangani ekuitas memiliki tarif ganda PPN yang cenderung lebih tinggi dalam negara berkembang dibandingkan di negara maju. Cukai Kelemahan yang paling menonjol dari sistem cukai yang ditemukan di banyak negara berkembang adalah tidak tepatnya luasan cakupan mereka terhadap produk- yang sering dijadikan untuk alasan pendapatan, tapi kadang-kadang untuk alasan yang sulit untuk dibedakan sebagai penerimaan marjinal yang dibangkitkan dari beberapa barang dibebani cukai (yang seharusnya tidak excisable) dapat juga tidak signifikan. Seperti diketahui, alasan ekonomi dari cukai yang mengesankan ini sangat berbeda dari pembebanan pajak konsumsi secara umum, seperti PPN. Sementara yang terakhir harus berbasis luas sehingga untuk memaksimalkan pendapatan dengan distorsi minimal, yang terdahulu harus sangat selektif, menargetkan beberapa barang sebagian besar dengan alasan bahwa konsumsi mereka menyebabkan eksternalitas negatif pada masyarakat. Kebetulan bahwa daftar barang biasanya dianggap excisable atas dasar seperti (Misalnya, tembakau, alkohol, dan minyak produk; serta kendaraan bermotor) yang biasanya sangat sedikit dan permintaan inelastis. Jadi, sistem cukai yang baik adalah selalu tanpa terkecuali dicirikan oleh kemampuan untuk menghasilkan pendapatan dari dasar sempit dan dengan biaya relatif administrasi rendah. Tarif impor Seperti dicatat sebelumnya, mengurangi tarif impor sebagai bagian dari keseluruhan program perdagangan bebas merupakan tantangan kebijakan utama saat ini yang dihadapi sejumlah
110

besar negara berkembang. Dari perspektif kebijakan pajak, tantangan ini melibatkan dua keprihatinan yang memerlukan kehati-hatian. Pertama, adalah penting untuk memastikan bahwa tarif nominal yang dikurangi tidak menyebabkan perubahan yang tidak diinginkan dalam tingkat yang relatif terhadap perlindungan efektif di sektor yang mungkin terjadi dari kecerobohan atau perbedaan yang membingungkan sejauh yang pengurangan tarif nominal dipengaruhi pada input dan output. Sementara perlindungan yang efektif adalah konsep yang dibangun dengan baik dalam ilmu ekonomi, dalam praktek perhatian program pengurangan tariff program adalah semua terlalu sering terfokus pada tingkat tariff nominal. Salah satu cara sederhana memastikan bahwa konsekuensi yang tidak diharapkan akan mengurangi semua tarif harga nominal dengan proporsi yang sama kapan tarif tersebut perlu diubah. Perhatian kedua pengurangan tarif nominal adalah kemungkinan hilangnya pendapatan jangka pendek mereka mungkin perlukan. di sini, strategi harus relatif jelas, dan harus melibatkan tiga langkah kompensasi yang dipertimbangkan dalam urutan: (1) mengurangi lingkup pengecualian tarif di sistem yang ada; (2) kompensasi untuk pengurangan tarif pada impor yang dikenakan cukai dengan peningkatan yang sepadan dalam tariff cukai mereka tingkat, dan akhirnya (3) menyesuaikan tingkat pajak konsumsi umum (seperti sebagai PPN) untuk memenuhi sisa penerimaan yang dibutuhkan. Insentif Pajak Pemberian insentif perpajakan sering ditujukan untuk menarik investasi baru missal seperti dorongan investasi dalam area yang kurang berkembang, atau mengecilkan investasi di area yang ramai. Namun hal ini juga memberikan kekhawatira akan adanya tambahan biaya yang harus dikeluarkan negara (misalnya, insentif pajak dapat disalahgunakan oleh perusahaan yang sudah ada menyamar sebagai kontrak baru melalui reorganisasi nominal). Untuk investor asing, target utama dari insentif pajak dalam Negara berkembang adalah keputusan untuk memasuki sebuah negara yang biasanya akan tergantung pada seluruh faktor, antara lain yang ketersediaan insentif pajak, namun ini tidak menjadi hal yang penting bagi mereka. Keberadaan sumber daya alam , stabilitas politik dan ekonomi, transparansi hukum dan peraturan sistem, serta tersedianya institusi pendukung (misalnya, perbankan, transportasi, komunikasi, dan infrastruktur lainnya fasilitas), kemudahan repatriasi/pengembalian keuntungan, dan ekonomi dan tenaga kerja yang terampil, biasanya jauh lebih menentukan daripada pertimbangan pajak dalam menentukan lokasi investasi yang cocok. Jika faktor-faktor yang menguntungkan, dan sistem pajak negara sejalan dengan norma-norma internasional, maka insentif pajak akan memainkan peran pada margin dalam mempengaruhi keputusan investor . Insentif pajak juga bisa menjadi nilai yang dapat dipertanyakan kepada investor asing karena manfaat yang sebenarnya dari insentif dapat tidak menjadi perhatian investor yang bersangkutan, melainkan perbendaharaan negara asalnya. Hal ini muncul karena penghasilan apapun yang terhindar dari pajak oleh negara tuan rumah dapat dikenakan pajak oleh Negara asal investor jika sistem pajak yang terakhir ini didasarkan pada prinsip asal (yakni, insentif bisa mengurangi jumlah
111

kredit pajak yang tersedia untuk investor), kecuali klausa penghindaran pajak termasuk dalam perjanjian bilateral pajak berganda. Saat ini, banyak negara maju semakin enggan untuk memberikan treaties/pengecualian. Tax Holiday dan pengurangan Tarif Pajak Dari semua berbagai bentuk insentif pajak, tax holiday adalah yang paling populer di negaranegara berkembang. Sementara diakui sederhana untuk mengelola, mereka memiliki banyak kekurangan, bahkan meskipun bersama untuk beberapa derajat jenis insentif lainnya, terutama: (1) dengan membebaskan keuntungan terlepas jumlah mereka, tax holiday cenderung memberikan manfaat kepada investor yang mengharapkan keuntungan yang tinggi dan akan dilakukan yang investasi bahkan jika tidak ada insentif yang diberikan; (2) liburan pajak memberikan insentif yang kuat untuk menghindari pajak, sebagai perusahaan yang dipajaki bisa masuk ke dalam hubungan ekonomi dengan perusahaan yang dikecualikan untuk menggeser keuntungan kepada perusahaan tersebut melalui transfer pricing; (3) durasi liburan pajak, bahkan jika secara resmi terikat waktu, rawan terhadap penyalahgunaan dan pengembangan oleh investor melalui pendesainan kembali investasi yang ada sebagai investasi baru (misalnya, menutup dan restart proyek yang sama dengan nama yang berbeda tetapi dengan kepemilikan yang sama); (4) tax holiday yang terikat waktu cenderung menarik proyek jangka pendek, yang biasanya tidak bermanfaat bagi ekonomi. Yang terakhir ini mungkin menjadi menguntungkan hanya menjelang akhir liburan dan, karenanya, dapat menggunakan sedikit seperti liburan bahkan jika kerugian dapat dilakukan ke depan melampaui masa liburan (jika kerugian tidak diperbolehkan untuk dibawa maju ke periode pasca-liburan, liburan pajak bisa, dalam kondisi tertentu, menjadi disinsentif untuk investment, dan (5) biaya pendapatan untuk anggaran jarang transparan, kecuali perusahaan yang menikmati taxholiday masih diperlukan untuk file tepat penembalian pajak, dalam hal administrasi sumber daya harus ditujukan untuk kegiatan yang menghasilkan pendapatan yang kecil/nirlaba, dan sering kali manfaat dari liburan pajak akan ditiadakan: memungkinkan investor untuk tidak berurusan dengan otoritas pajak. Tunjangan Investasi dan kredit pajak Dibandingkan dengan tax holiday , insenive pajak ini memiliki sejumlah keunggulan. Mereka, misalnya, instrument penargetan jauh lebih baik dari tax holiday untuk mempromosikan jenis investasi tertentu, dan biaya pendapatan mereka jauh lebih transparan dan lebih mudah untuk dikontrol. Sebuah cara khusus yang sederhana dan efektif mengelola sistem kredit pajak adalah sebagai berikut. Setelah jumlah kredit pajak untuk diberikan pada sebuah perusahaan yang berkualitas ditentukan, maka akan "disetor" ke akun pajak khusus (disimpan hanya di perusahaan wajib pajak) dalam bentuk entri pembukuan. Perusahaan kualifikasi untuk insentif ini akan sama dalam segala hal diperlakukan seperti wajib pajak biasa, oleh karena itu, tunduk pada semua ketentuan pajak yang berlaku dan, termasuk perhitunga keuntungan kena pajak dan persyaratan dalam pengembalian pajak. Perbedaan hanya bahwa pendapatan kewajiban pajak akan dibayar dari kredit "ditarik" dari akun pajak perusahaan sampai saldo berkurang ke
112

nol. Jika diinginkan, seperti rekening pajak dapat ditutup setelah jangka waktu tertentu. (misalnya, ketentuan matahari terbenam terpasang ke account), sehingga semua kredit pajak yang dapat dikompensasi hanya diizinkan untuk berakhir. Dengan cara ini, informasi tentang total pendapatan periode terdahulu atas setiap insentif yang diberikan tersedia setiap saat. Selanjutnya, sebagai jumlah kredit pajak diberikan kepada perusahaan yang memenuhi syarat dikenal dengan kepastian di muka, ini dapat dengan mudah termasuk dalam anggaran sebagai pengeluaran pajak dan tunduk pada pengawasan yang sama seperti jenis pengeluaran lainnya dalam proses anggaran , sehingga mencapai tingkat tinggi transparansi. Pengakuan secara eksplisit atas pengeluaran pajak adalah praktek yang dapat ditemukan dalam peningkatan jumlah Negara berkembang dan Negara maju, dan sangat dapat memfasilitasi dalam peninjauan oleh pembuat kebijakan dari efektivitas-biaya dari insentif pajak. Ada dua kelemahan menonjol terkait dengan tunjangan investasi atau kredit pajak. Pertama, insentif ini cenderung mendistorsi pilihan aset modal berumur pendek yang, sejak penyisihan lanjut atau kredit menjadi tersedia setiap waktu untuk mengganti aset. Kedua, perusahaan berkualitas dapat mencoba untuk penyalahgunaan sistem dengan menjual dan membeli aset yang sama untuk mengklaim tunjangan atau kredit pajak ganda, atau dengan bertindak sebagai agen pembeli untuk perusahaan tidak memenuhi syarat untuk menerima insentif. Oleh karena itu, perlindungan harus dibangun seperti sistem insentif untuk meminimalkan bahaya ini, misalnya, dengan menetapkan holding period minimum untuk aset yang memiliki yang telah diberikan insentif. Percepatan penyusutan Menyediakan insentif pajak dalam bentuk penyusutan yang dipercepat memiliki sedikit kekurangan terkait dengan liburan pajak dan semua kebaikan yang terkait dengan investasi tunjangan / kredit pajak- dan mengatasi kelemahan yang terakhir untuk menghilangkan. Karena hanya mempercepat depresiasi aset tidak akan meningkatkan total nominal depresiasi aset yang diijinkan melampaui biaya aslinya, sedikit distorsi mendukung dihasilkannya asset jangka pendek dan juga tidak ada banyak insentif bagi perusahaan yang terlibat dalam penyalahgunaan pajak yang berhubungan dengan investasi tunjangan / kredit pajak semacam itu. Dibandingkan dengan jenis lain dari insentif pajak, penyusutan yang dipercepat memiliki dua tambahan manfaat. Pertama, umumnya paling mahal, karena pendapatan yang hilang (relatif terhadap tidak ada percepatan) di tahun-tahun awal di setidaknya sebagian ditemukan di tahun berikutnya dalam umur ekonomis suatu aset. Kedua, jika percepatan diberikan hanya sementara,maka bisa (semua hal lainnya sama) mendorong lonjakan d jangka pendek signifikan dalam investasi, karena investor cenderung untuk membawa rencana investasi maju untuk masa depan untuk mengambil keuntungan dari insentif. Investasi subsidi
113

Sementara subsidi investasi membagi beberapa dari manfaat tunjangan investasi / kredit pajak, seperti kemudahan penargetan, mereka biasanya cukup bermasalah, dengan ini bahkan mereka melakukan resiko pendapatan yang lebih serius dalam anggarannya daripada liburan pajak. Mereka melibatkan pengeluaran diluar anggaran oleh pemerintah di depan, dan mereka mendapat manfaat yang tidak berkesinambungan atas investasi sebanyak mungkin keuntungan. Sebaliknya, jenis-jenis insentif pajak pendapatan hanya bernilai untuk yang terakhir. Oleh karena itu, penggunaan investasi subsidi jarang dianjurkan. Insentif pajak tidak langsung Insentif pajak tidak langsung sangat rentan terhadap penyalahgunaan, seperti pembelian yang berkualitas dapat dengan mudah dialihkan ke pembeli yang tidak diinginkan untuk menerima insentif. Mereka juga sulit untuk membenarkan atas dasar kebijakan, kecuali dalam keadaan yang sangat terbatas. Membebaskan bahan baku dan barang modal dari PPN, misalnya, akan membuat sedikit perbedaan dengan beban pajak ultimat/keseluruhan perusahaan yang bersangkutan, karena PPN pembelian seperti biasanya dapat dikreditkan. Jika tujuan insentif tersebut hanya untuk meringankan perusahaan dari arus kas beban PPN perusahaan, maka lebih baik solusi pasti akan berada di tempat lain, terutama dalam memberikan dengan meminta pengembalian uang PPN. Membebaskan barang modal dan bahan baku digunakan untuk menghasilkan ekspor dari tarif impor agak lebih dibenarkan, seperti menghapus bea masuk yang melekat dalam isi barang ekspor melalui mekanisme pengurangan bea masuk standar tanpa terkecuali adalah kompleks dan tidak tepat. kesulitan dengan pembebasan ini Tentu saja terletak, dalam memastikan bahwa pembelian yang dikecualikan sebenarnya akan digunakan sebagai yang dimaksudkan dari pemberian insentif. Banyak Negara telah berusaha untuk memecahkan masalah ini dengan membangun zona produksi ekspor khusus /pengolahan yang batas-batas yang dijamin dengan kontrol bea cukai. Impor barang modal dan bahan baku ke dalam zona ini bebas dari tarif impor, namun tariff dikenakan pada semua ekspor dari zona ini keseluruh negara tujuan.

114

Anda mungkin juga menyukai