Anda di halaman 1dari 4

2. Pengetahuan Objektif dan Subjektif A.

Sifat Dasar dari Pengetahuan Objektif dan Subjektif sebelum membahas lebih lanjut mengenai eksposisi dan pengembangan konstruktif sosial, penting bagi kita untuk membangun beberapa pendahuluan filsafah . Sebuah kunci perbedaan yang digunakan antara pengetahuan subjektif dan objektif adalah . Ini diperjelas oleh pertimbangan dari Popper (1979) tentang definisi dari tiga dunia yang berbeda, dan jenis-jenis pengetahuan yng berhubungan. Kita dapat menyebut 'dunia 1' itu dunia fisik, dunia pengalaman sadar kita itu 'dunia 2', dan dunia kelogisan isi dari buku, perpustakaan, memori komputer, dan seterusnya adalah 'dunia 3' (Popper, 1979, hal. 74)

Saya akan menggunakan istilah 'pengetahuan objektif' , dengan cara yang berbeda dari Popper, untuk mengacu pada semua pengetahuan yang intersubjektif dan sosial. Saya ingin melibatkan semua yang dianggap Popper bukan sebagai pengetahuan objektif, termasuk teori matematika, aksioma, dugaan, bukti, baik formal maupun informal. Salah satu perbedaan adalah bahwa saya juga ingin memberikan tambahan 'produk dari pikiran manusia' sebagai pengetahuan objektif, terutama (tapi mungkin implisit) konvensi/kesepakatan yang dibagi dan aturan penggunaan bahasa. Jadi saya mengacu pada yang dibagi secara umum, pengetahuan intersubjektif sebagai tujuan, bahkan jika itu adalah pengetahuan implisit, yang belum sepenuhnya diartikulasikan/diungkapkan. Ekstensi/penambahan ini sangat tidak mungkin diterima oleh Popper. Bahkan, saya ingin mengadopsi teori sosial objektivitas yang diusulkan oleh Bloor. Teorinya adalah: objektivitas itu sosial. Yang saya maksud dengan mengatakan bahwa objektivitas adalah sosial karena karakter yang impersonal* dan stabil yang melekat dari beberapa keyakinan kita, dan rasa realitas yang melekat pada referensi mereka, berasal dari keyakinan yang dijadikan sumber/institusi social. Saya mengambilnya karena sebuah keyakinan bahwa objektif merupakan salah satu hal yang tidak termasuk pada siapapun individu. Ini tidak berfluktuasi/berubah seperti keadaan subjektif atau preferensi/karakter /selera pribadi. Ini bukan milikku atau milik Anda, tetapi bisa dibagi. Ini memiliki aspek sesuatu yang bersifat eksternal untuk itu. (Bloor, 1984, halaman 229).

Bloor berpendapat bahwa dunia 3 yang dimaksud Popper dapat diidentifikasi melalui dukungan dan manfaatnya dengan dunia sosial. Dia juga berpendapat bahwa tidak hanya struktur tiga kali lipat dari teori Popper diawetkan dalam transformasi ini, tapi begitu juga hubungan antara ketiga dunia tersebut. Tentu, interpretasi sosial tidak menjaga makna yang dilekatkan pada objektivitas, yang beranggapan bahwa karakter logis dari teori, bukti dan pendapat cukup untuk menjamin objektivitas dalam hal sebuah idealisme. Meskipun demikian, pandangan sosial mampu menjelaskan sebagian besar, jika tidak semua, fitur objektivitas: otonomi pengetahuan objektif, hal-hal yang bersifat karakter eksternal (mungkin makna asli dari objek-tifitas), dan kebebasannya dari setiap subjek pengetahuan subjektif. Sudut pandangan social melihat pengetahuan objektif seperti budaya, berkembang secara mandiri sesuai dengan aturan yang diam-diam diterima, dan tidak tunduk pada kesewanangan perintah individu.

Karena pengetahuan obyektif dan aturan yang ada di luar individu (di masyarakat), mereka tampaknya memiliki objek-yang hampir sama dan ada secara mandiri. Dengan demikian dapat dilihat bahwa pandangan sosial mengemukakan bahwa banyak karakter penting dari objektivitas. Di luar ini, ada baiknya berkomentar pandangan sosial Bloor terhadap objektivitas menjelaskan dan mempertanggungjawabkan objektivitas. Dalam pandangan kontras secara tradisional (Termasuk Popper) menguraikan, atau maksudnya mendefinisikan objektivitas (secara intensif atau ekstensif),tetapi tidak pernah menjelaskan objektivitas. Untuk otonomi, eksistensi mandiri dari pengetahuan objektivit secara tradisional terbukti diperlukan, tanpa penjelasan apapun mengenai apa objektivitas itu, atau bagaimana pengetahuan objektif dapat menjelaskan dasar dan sifat pengetahuan objektivitas dan obyektif. Satu masalah dari sisi social yang harus segera dihadapi adalah mengemukakan pentingnya kebenaran logis dan matematis. Jawaban yang diberikan oleh Bloor (1983,1984), dan diadopsi di sini, adalah bahwa kebutuhan ini (dipahami dalam pengertian falibilitas*) bertumpu pada konvensi dasar dari linguistik dan aturan, seperti yang diusulkan Wittgenstein. Ini adalah konvensionalisasi secara penuh karena berdasarkan pengetahuan logika dan matematis.

B. Peran Pengetahuan Objektif di Matematika Setelah mengklarifikasi pengertian di mana objektivitas dipahami secara sosial, diperlukan pembahasan ulang mengenai konstruktifivisme social dari pengetahuan matematis objektif. Menurut konstruktivisme sosial, matematika yang dipublikasikan, yaitu matematika yang diwakili secara simbolis dalam domain publik, memiliki potensi untuk menjadi objektif pengetahuan. Penerapan logika Lakatos yang menemukan matematika yang dipublikasikan ini adalah proses yang mengarah pada penerimaan sosial, dan dengan demikian objektivitas. Setelah aksioma matematika, teori, dugaan, dan bukti-bukti yang dirumuskan dan disajikan secara terbuka, bahkan jika hanya dalam percakapan, otonomi (yaitu, diterima secara sosial) heuristik* mulai bekerja. Kedua proses dan produk yang objektif, juga diterima secara sosial. Demikian juga, konvensi dan aturan bahasa baik implisit dan eksplisit dan logika yang ini bersandar heuristik yang objektif , juga diterima secara sosial. Konvensi dan peraturan yang disebutkan, mengikuti konvensionalisme, mendukung pengetahuan matematis (termasuk logika). Karena mereka memberikan dasar dari definisi logis dan matematika, serta dasar untuk aturan dan aksioma dari logika dan matematika. C. Peran Pengetahuan Subjektif pada Matematika Mengingat pentingnya peran pengetahuan obyektif, saya ingin menyatakan bahwa peran pengetahuan matematika subjektif juga harus diakui, atau secara keseluruhan pemahaman mengenai matematika akan dilengkapi. Untuk pengetahuan subjektif diperlukan penjelasan asal-usul pengetahuan matematika baru, serta, sesuai dengan Teori yang diusulkan, penciptaan ulang dan menjaga kelestarian pengetahuan yang ada. Karena pengetahuan objektif itu sosial, dan bukan sebuah substensi pribadi yang ada dalam beberapa wilayah yang ideal, maka seperti semua aspek dari budaya pengetahuan ini harus direproduksi dan ditransmisikan dari generasi ke generasi (diakui dengan bantuan artefak, seperti buku teks). Menurut akun konstruktivis sosial, pengetahuan subjektif adalah apa yang menopang dan memperbaharui pengetahuan objektif, apakah itu matematika, logika atau bahasa. Demikian pengetahuan subjektif memainkan bagian sentral dalam filsafat yang diusulkan matematika. Setelah mengatakan hal ini, harus diakui bahwa perlakuan subjektif termasuk pengetahuan obyektif, dalam teori yang diusulkan, bertentangan dengan banyak pikiran modern dalam filsafah, dan dalam

filsafah matematika, seperti yang telah kita pahami (pembatasan intuisi, telah ditolak). Misalnya, Popper (1959) telah membedakan dengan sangat hati-hati antara 'Konteks dari penemuan dan konteks dari pembenaran 'dalam ilmu pengetahuan. Dia menganggap konteks yang terakhir sebagai subjek dari analisis logis, dan dengan demikian menjadi perhatian yang tepat bagi filsafah. Konteks yang lebih dulu,walaupun, mengkhawatirkan masalah empiris, dan oleh karena itu pemahaman yang tepat itu dari psikologi, dan bukan dari logika atau filsafah.Anti-psychologism, memandang bahwa pengetahuan subjektif setidaknya yang menurut aspek psikologis yang tidak cocok dengan untuk perlakuan filosofis, yang bertumpu pada argumen berikut. Filsafah terdiri dari analisis logis, termasuk masalah metodologis seperti kondisi umum untuk pengetahuan objetif. Permintaan tersebut adalah yang utama, dan sepenuhnya mandiri/lepas dari setiap pengetahuan empiris tertentu. Masalah subjektif tersebut adalah masalah psikologis, karena kebutuhan mereka mengacu pada isi dari pikiran individu.. Tapi hal-hal seperti, psikologi secara umum, itu empiris. Oleh karena itu, karena perbedaan kategori (yang utama versus empiris) pengetahuan subjektif tidak dapat menjadi bagian dari filsafah. Argumen ini ditolak di sini pada dua alasan. Pertama-tama, kritik kuat paham absolut, dan karenanya kemungkinan tertentu dari sebuah pengetahuan yang utama telah dipasang. (Bab 1). Atas dasar ini semua itu disebut pengetahuan utama, termasuk logika dan matematika, bergantung pembenaran pada kuasi-empiris yang dibuat. Tapi ini secara efektif menghancurkan perbedaan kategorikal yang unik antara pengetahuan utama dan pengetahuan empiris. Jadi perbedaan ini tidak dapat digunakan untuk menolak penerapan metode filosofis utama dari pengetahuan objektif untuk pengetahuan subjektif, dengan alasan bahwa yang terakhir ini telah tercemar secara empiris. Karena sekarang kita melihat bahwa semua pengetahuan,termasuk pengetahuan objektif, yang secara empiris (atau lebih tepatnya kuasiempiris) tercemar. Argumen kedua, yang berbeda dari yang pertama, adalah sebagai berikut.PAda mempembahasan mengenai pengetahuan subjektif tidak diusulkan untuk membahas isi tertentu/khusus dari pikiran individu, atau secara teori psikologi empiris yang berada dalam pemahaman yang berkedok filsafah. Melainkan maksudnya adalah untuk membahas kemungkinan pengetahuan subjektif pada umumnya, dan apa yang dapat disimpulkan tentang dasar yang mungkin terjadi pada dasar penalaran logis saja (mengingat sejumlah asumsi teoritis). Ini adalah kegiatan filosofis yang sah, seperti filsafat ilmu sah dapat merefleksikan sebuah dunia empiris, yaitu ilmu pengetahuan, sehingga tanpa menjadi sebuah wilayah yang empiris. Jadi pengetahuan subjektif adalah masalah yang tepat untuk diselidiki secara filosofis. Memang, dalam membahas pemahaman atau mengetahui subjek, inilah yang dipahami secara epistemologis oleh Sheffler (1965), Woozley (1949), Chisholm (1966) dan Popper tentunya (1979), mempertimbangkan. Selanjutnya kembali, epistemologi secara tradisional dianggap sebagai pengetahuan subjektif, setidaknya dari zaman Descartes (dan mungkin lanjut kembali ke Plato), melalui ahli empiris yang berasal dari Inggris seprti Locke , Berkeley dan Hume, melalui Kant sampai sekarang. Jadi pengetahuan subjektif merupakan daerah yang sah dari penyelidikan filosofis, berdasarkan tradisi filosofis substansial. Meskipun klaim bahwa pertimbangan pengetahuan subjektif adalah bersifat psikologis namun tetap dibantah, diakui bahwa ada bahaya nyata dan sah yang dikhawatiran timbul dari perlakuan filosofis pengetahuan subjektif. Untuk itu agar lebih mudah dilakukan maka kesalahan dari penggunaan alasan yang bersifat psikologis dalam penalaran filsafat, yaitu penalaran berdasarkan keyakinan psikologis namun menentang argumen logis. Selain

itu, perbedaan antara pengetahuan subjektif dan obyektif yang terpenting adalah untuk mempertahankan, baik untuk konstruktivisme sosial, dan untuk filsafat pada umumnya. Ini adalah dua domain pengetahuan yang benar-benar berbeda. Untuk alasan ini, sesuai dengan penjelasan dari filsafat konstruktivis sosial dari matematika, domain pengetahuan objektif dan subjektif akan diperlakukan secara terpisah. Aspek objektif dari filosofi ini adalah kebebasan/kemandirian dari aspek subjektif dalam hal pembenaran. Jadi pembaca yang tidak sepnuhnya yakin akan paham psikologis dapat mengikuti aspek objektif dari konstruktivisme sosial tanpa keraguan (tentang masalah ini, setidaknya).

*impersonal : tidak manusiawi *falibilitas : mudah membuat kesalahan *heuristik : kegiatan yang dapat dilakukan setelah pencarian, yang lebih dari sekedar bercerita saja.

Anda mungkin juga menyukai