Anda di halaman 1dari 3

Fundamentalisme Fundamentalisme, satu kata yang memiliki banyak pengaruh kepada banyak orang yang mendengarnya.

Ketika mendengarnya, orang bisa membayangkan adanya golongan yang sangat berpegang dengan ideologinya atau yang mungkin popular di dalam media adalah golongan yang taat dalam beraagama lalu kemudian terkesan sangat kaku dan tidak bisa beradaptasi sehingga berkelakuan tak selaras dengan masyarakat umum hingga kemudian bertindak tidak sesuai dengan lingkungan disekitarnya. Ada kemudian yang ketika mendengar kata fundamentalisme,kemudian teringat pada segolongan orang yang teguh memegang ideologinya dan bekerja demi ideologinya dan percaya bahwa kemudian dengan bertindak menurut ideologinya tersebut maka perubahan positif yang diharapkan akan segera terjadi di masyarakat. Agar pembahasan tidak meluas,maka sangat baik apabila dalam memikirkan fundamentalisme ini, menyimak definisi yang sudah ada. Domenico Losurdo (2004) mengutip salah satu keterangan dari Choueiri yang berasal dari tahun 1993 dalam membantu mendefinisikan fundamentalisme,yakni suatu prinsip perpolitikan yang mengambil kitab kitab suci sebagai sumber dimana kemudian prinsip prinsip tersebut digunakan untuk menilai kasus kasus yang ada. Secara sederhana, hal ini bisa dilihat pada orang orang Yahudi yang taat lekat dengan hukum yang bersumber dari Torah atau umat Islam yang berpegang dengan Syariah dimana keduanya menggantikan institusi politik yang ada,dan baik Syariah atau Torah, dalam masyarakat harusnya dipandang sebagai hukum Ilahiah yang tidak dapat dilengserkan kedudukannya (Losurdo,2004).Pakar lain yakni Dr.Joyce A. Green,mengutip beberapa hal untuk menerangkan fundamentalisme. Yang pertama, ia mengutip Oxford Canadian Dictionary dimana dalam salah satu definisi mengenai fundamentalisme yang pas adalah : pemberlakuan secara ketat doktrin fundamental dari agama,contohnya,Islam(2001:565).selain itu,Green juga mengutip pendapat dua orang peneliti lain yakni Shupe dan Hadden dimana kurang lebih jika dapat dipahami secara sederhana adalah pencarian dalam upaya upaya resakralisasi nilai,makna dan bahkan institusi sosial. Bahasan kemudian mengalir, apa saja yang biasanya diusung bagi seorang fundamentalis? Dan apa jenisnya? Dalam menjawab pertanyaan ini, ternyata ada banyak penjelasan yang ditawarkan oleh Losurdo (2004). Dalam artikelnya, Losurdo mengatakan bahwa sebenarnya, fundamentalisme tidak terikat kencang dan menyasar agama. Dengan Logika Laisisme, bahwa sebenarnya fundamentalisme sebenarnya terkait erat dengan konten konten yang dogmatis,dimana dalam ranah filosofis, sebenarnya dogmatism adalah kemampuan untuk tidak bisa menolak kritik seperti apa yang diterapkan ke lawan (Losurdo,2004:6). Secara sederhana, dalam pandangan Losurdo,dengan konten yang dogmatis, maka orang yang biasa saja menjadi tidak bisa mengkritik apa yang dicintainya sehingga kemudian kritiknya terkesan tebang-pilih. Dengan ini kemudian menjadi jelas,bahwa sebenarnya fundamentalisme tidak terikat erat pada hal hal yang berbau agama saja namun kemudian menjadi sangat lantang dan kentara ketika hal hal yang dibahas adalah hal hal yang agamis. (Lorsudo,2004:6). Lebih lanjut, semua kebudayaan rentan terhadap fundamentalisme (Losurdo,2004:12). Fundamentalisme juga

bukanlah gaya hidup melainkan cara merespons sesuatu,terutama pertabrakan diantara 2 kultur dimana kemudian Losurdo lebih jauh menjelaskan kemudian muncul jarak diantara kedua kebudayaan tersebut muncul adanya identitas yang dilindungi dan terkesan eksklusif. Salah satu contoh yang diambil kemudian oleh Losurdo,dan yang cukup unik adalah tentang China, yang mengalami perputaran luar biasa, dari yang semula terkesan tertutup bahkan terkesan xenophobia lalu China berubah menjadi sangat pro Barat bahkan ter kesan keki dengan kebudayaannya,dan hal ini bisa dibuktikan dengan adanya revolusi kebudayaan yang dilakukan Mao Zhedong dibantu tentara merahnya yang kemudian dikenal sebagai The Red Guards. Zionism, menurut Losurdo juga merupakan golongan yang pertama untuk kembali ke akarnya. Bagi para zionis,dengan bangkitnya anti-semitisme mereka kemudian perlu untuk mempererat relasi dengan sesama mereka demi keberlangsungan mereka (Losurdo,2004:16). Apabila kemudian muncul pertanyaan mengenai bentrokan pandangan fundamentalis pernah terjadi di eropa,jawabannya adalah pernah dan ini adalah bentuk dari fundamentalisme. Perancis yang lebih sekuler karena melewati de-kristenisasi,zaman pencerahan dan perubahan struktur politik yang lebih dahulu pernah berbentrokan dengan negara negara seperti Jerman dan Spanyol. Hal ini bisa terjadi,karena misalnya kasus Jerman, selain karena kurang dengan kesatuan nasional,juga karena indentitas ke Jerman an juga masih dicari cari,baik oleh para filsuf maupun oleh para pejabat pemerintahnya (Losurdo,2004:19). Ekspansi Perancis pula mempengaruhi negara yang pernah dilindasnya menjadi anti terhadap dirinya,seperti Itali (Losurdo,2004:19-21). Salah satu contoh antara Nativisme dan Fundamentalisme adalah keadaan di Amerika Serikat. Dengan latar belakang perang Dunia 1 dimana kelompok Protestan menjadi tokoh sentral. Protestanisme kemudian mempengaruhi banyak hal di Amerika kala itu,dimana kemudian berbagai hal diatur ala Protestan. Mulai dari etika hingga ke hal privat seperti seks sekalipun. Amerika kemudian tercorak sangat protestan terutama ketika moralitas Anglo-Saxon diusung. Tantangan yang muncul kemudian adalah dengan pandangan pandangan saintifik melawan protestanisme itu melalui teori teori ilmiah misalnya teori evolusi Darwin dan pandangan Spinoza mengenai ketuhanan (Losurdo,2004:24-26). Lantas kemudian siapakah para fundamentalis itu sendiri? Seperti yang disebutkan sebelumnya,dari yang dapat dipetik dari penjabaran Lorduso,bahwa para fundamentalis tidak dapat mengkritik hal hal yang dicintainya,walaupun hal ini terkesan secara implicit.sementara itu Green, menyumbangkan pendapat secara implicit bahwa para fundamentalis terkesan antithesis terhadap pluralitas,dan juga fundamentalis tak kuat bersaing dengan pemikiran intelektual (Green,2003:3). Walaupun demikian, bukan berarti para fundamentalis terdiri dari golongan orang orang yang tidak terlatih dan terdidik,Lorsudo memberi contoh bahwa banyak aktivis revolusi syiah di Iran merupakan lulusan pendidikan Amerika . Losurdo lebih jauh memberikan penekanan bahwa para fundamentalis berusaha membangkitkan identitas tidak fleksibel dengan meniadakan relasi dan hubungan yang sama dari kebudayaan lain (Losurdo,2004:12).

Ketika dihadapkan dengan banyak kebudayaan maka banyak kebudayaan akan berusaha saling menilai. Ketika pihak Barat berusaha melihat diri mereka melalui pandangan negara lain terutama negara dunia ketiga maka banyak yang sepakat dengan hal ini.namun malah hal ini tidak berjalan lancer dan ketika muncul pihak pihak yang tidak sepaham dengan Barat maka akan dilabeli sebagai musuh dan julukan peyoratif lainnya (Losurdo,2004:27).dengan adanya globalisasi,maka kemudian bisa diprediksi bahwa Manichaeisme sepert yang diuraikan diatas menjadi terlihat nyata ketika terjadi konflik. Lebih lanjut, paradigma ini kemudian berkembang secara global ketika kemudian pihak Barat yang berlatar belakang yunani-kristen dan yahudi terlibat clash dengan dunia Islam. (Lorsudo,2004:32). Terlebih kemudian setelah peristiwa 9/11,kebencian terhadap Islam kemudian menjadi bagian mainstream di dunia Barat. Terlihat kemudian kedua belah pihak membela keadaannya masing-masing dan memang hal tersebut wajar. Kesimpulan : Fundamentalisme tak melulu terkait hal hal berbau agama namun terlihat nyaring ketika kontennya terkait agama. Secara sederhana dan lebih bijak fundamentalisme dapat dipandang lebih objektif ketika ia dipandang sebagai suatu entitas dogmatis yang membuat manusia tidak bisa menilai sesuatu dengan bijak,dan hal tersebut,sekali lagi, tak melulu mengenai agama,apapun ideologinya jika kemudian ia dogmatis maka ia dapat disebut sebagai bentuk fundamentalisme. Opini : setiap orang pasti fundamentalis. Ada yang fundamental berpegang teguh dengan yang diyakini,dan ada yang fundamentalis berusaha terbuka bahkan tanpa disaring. Namun , dengan adanya Fundamentalisme bukan lah hal yang buruk benar,karena Emile Durkheim pernah membahas bahwa masyarakat yang berbahaya adalah masyarakat yang terlalu larut dan kehilangan identitas karena penyeragaman,dan juga masih menurut Durkeheim,sistem yang baik adalah sistem yang organis namun memiliki peranan masing-masing.

Referensi : Domenico Losurdo, 2004. What Is Fundamentalism? Nature, Society, and Thought, vol. 17, no. 1. pp. 5-46.

Green, Joyce A. 2003. Cultural and Ethnic Fundamentalism: The Mixed Potential for Identity, Liberation, and Oppression. Public Lecture at the Saskatchewan Institute of Public Policy.

Anda mungkin juga menyukai